Do You Want Some Fluff? Vol.6
Theme = Fanfiction
Main Cast = Liat
langsung aja yah..
Length = Fluff
Author = Salsa
#1. That Is You
(Taehyun – Yeonjoo)
Yeonjoo sudah menulis 4 lembar paragraf saat Taehyun datang.
Pria itu duduk di hadapannya sambil meletakkan dua cup kopi yang mengepul.
Yeonjoo cuma meliriknya.
“Sudah makan?”
“Belum,” Jawab gadis itu singkat, masih sibuk mengetik.
“Kalau begitu makan sekarang. 15 menit lagi kau ada kelas”
“Ya, sebentar” Yeonjoo masih mengetik. Suara keyboard yang
ditekan cepat mengisi sebagian besar waktu mereka. Berisik. Mengganggu. Satu
menit. Dua menit. Kopinya sudah tidak mengepul. Taehyun memperhatikan Yeonjoo,
gadis itu sama sekali tak bergerak—kecuali jari dan bola matanya.
“Bisakah kau berhenti?”
“Tidak, belum. Edison sedang melawan naga” Oh! Keren! Siapa
peduli dengan ‘Edison melawan naga’! Taehyun menghembuskan napas keras dari
hidung. Emosinya sedang merangkak ke ubun-ubun. Sejauh ini ia masih bisa
menahan diri untuk tidak meledak. Pria itu memperhatikan Yeonjoo sambil
mengangkat cup kopinya. Sudah habis.
Tangannya langsung beralih mengangkat milik Yeonjoo, meminumnya. Ia tak peduli.
Yeonjoo terlalu sibuk dengan naga, ia yakin gadis itu tak butuh kopi.
“Jadi sampai kapan kau akan mengabaikanku?”
“Sampai Edison berhasil menancapkan pedangnya
di—BUK!—HEIII!!” Yeonjoo refleks berteriak, itu
belum disave. Sekedar pemberitahuan, Taehyun baru saja menutup laptopnya,
secara paksa.
Yeonjoo sudah mengumpulkan napas untuk mengomel, tetapi urung
begitu mengangkat kepala dan mendapati betapa muaknya ekpresi Taehyun sekarang.
Ia sudah di tahap akan-meluncurkan-ledakan-amarah, seperti bom yang diikat pada
roket. Mau tak mau Yeonjoo menelan kembali omelannya, mungkin ini memang salahnya.
“Oke, aku berhenti. Sekarang apa?” Taehyun menatap gadis itu
jengkel.
“Tidakkah kau berpikir kau mulai keterlaluan?”
“Maksudnya?”
“Kita sudah jarang sekali bicara akhir-akhir ini”
“Kita sedang bicara, Nam”
“Kau tahu maksudku!”
“Tapi kita bicara. Barusan kita bicara. Sekarang kita
bicara. Kau bicara aku bicara!”
“Baek Yeonjoo!” Taehyun berteriak
“Nam Taehyun!” Balas gadis itu dengan intonasi yang sama.
Muka Taehyun langsung keras, ia mendecak, mendengus. Gadis di depannya sangat
susah diajak serius. Ia semakin menyebalkan dan menyebalkan tiap pergantian
detik. Dan Taehyun tak mengerti lagi dengan jalan pikirannya.
“Iya iya aku bercanda. Tapi mungkin alasan kita jarang
bicara akhir-akhir ini adalah kau”
“Aku?”
“Ya, kau sudah jarang sekali menceritakan gadis pujaanmu
itu” Taehyun menyentuh pipinya dengan punggung tangan. Perlahan, mukanya mulai
kembali normal, tidak mengeras, tidak merah, tidak emosi.
“Tidak ada yang bisa diceritakan lagi. Dia terlalu sibuk”
“Oh kacau! Aku butuh bahan untuk chapter 3”
“Kau menjadikan curhatanku sebagai bahan fanfiksi”
“Tentu saja. Ayolah, apa lagi yang bisa diekspektasikan dari
bercerita dengan penulis? Aku akan berterima kasih jika jadi kau” Taehyun
memutar mata.
“Well, Nam. Kau
harus tahu, fanfiksi tu sedang macet dan aku benar-benar tak mampu mengarang
apa-apa, terlebih aku sudah menulis ‘based
on true story’ di atasnya jadi tak ada alasan untuk mengarang-ngarang
sendiri. Aku butuh bantuanmu. Please,
lakukan sesuatu! Buat perubahan! Aku sudah punya banyak adegan untuk ‘menyukai
diam-diam’ atau sebangsanya. Sekarang aku butuh sesuatu yang lebih real, kau harus memulai aksi!” Ucap
Yeonjoo, benar-benar seperti sutradara film yang frustasi karena artisnya.
“Caranya?”
“Kau bertanya pada orang yang salah dan benar di saat yang bersamaan.
Berdasarkan pengalaman, jelas aku nol besar. Tapi aku sudah membaca ratusan
fanfiksi keren soal ini.”
“Ya ya ya, jadi?”
“Dari semua fanfiksi yang pernah kubaca, cara paling ampuh
adalah dengan menjauh”
“Menjauh?”
“Ya! Buat dia merasa, kau tahu, kehilangan” Yeonjoo bicara
seperti seorang pro. Dan Taehyun mendengarkannya dengan ekspresi serius yang
berlebihan.
“Jadi intinya adalah membuat gadis itu merasa kehilangan?”
“Benar”
“Bukankah aku sudah menceritakannya ratusan kali? Dia bukan
tipe gadis yang akan merasa kehilangan. Dia itu tolol, sangat!”
“Dicoba dulu, Nam! Ini bukan seperti kau bisa membaca
pikirannya atau apa kan?”
“Yeah, tapi….”
“Dekati gadis lain saat dia melihatmu! Buat dia cemburu!
Buat dia sadar kalau dia membutuhkanmu!”
“Bagaimana dengan pacar pura-pura?”
“Brilian! Carilah gadis yang bisa diajak bekerja sama!”
“Bagaimana denganmu?”
“A..aku?” Ekspresi semangat Yeonjoo yang berapi-api seperti
pelatih bola itu langsung memudar.
“Please kau harus
membantuku!” Ia menatap Taehyun serba salah. “Ayolah, kita kan teman! Yeonjoo
kumohon”
“Entahlah”
“Kau bilang harus mencari gadis yang bisa diajak bekerja
sama, kan? Lagipula ini win-win solution!
Kau mendapat bahan untuk fanfiksimu dan aku, tentu saja, mendapatkannya”
Yeonjoo sudah menggeleng berkali-kali, tapi Taehyun terus
memandanginya seperti psikopat gila. “Oke oke berhenti menatapku seperti itu!
Kau membuatku ngeri!”
“Bagus!”
“Aku tidak yakin ini akan ‘bagus’! Tapi terserahlah, jadi
sampai kapan?”
“Sampai kapan apa?”
“Kita pacaran, ralat, maksudku pura-pura pacaran” Taehyun
mendorong rambutnya ke belakang sambil tersenyum. Penuh makna. Lalu menatap
Yeonjoo lagi, masih tersenyum.
“Sampai kapan?” Desak gadis itu, mulai tidak tenang melihat
senyumnya.
“Sampai kau lupa kalau ini semua cuma pura-pura”
“Wow!”
“Wow apa?”
“Itu kalimat yang luar bisa. Aku harus menulisnya” Yeonjoo
langsung membuka laptopnya. Brakk! Dan Taehyun menutupnya kembali dengan
gerakan yang sama cepat.
“Bisakah kau berhenti melakukan itu? Laptopku bisa rusak!”
“Asal kau berhenti membukanya setiap saat, maka iya”
“Apa maumu?”
“Tentu saja jawaban. Apa lagi?”
“Bagian mana yang harus dijawab? Aku tahu kau cuma bercanda”
“Kenapa bercanda? Aku serius”
“Kau serius mengajakku berkencan? Oh, Nam. Jangan tolol!”
“Kau yang tolol! Gadis yang kusuka… ITU KAU!” Tangan Taehyun
masih ada di atas laptop. Pria itu baru saja berteriak sampai seluruh aktivitas
di kantin terhenti, semua menatap ke meja mereka. Yeonjoo sendiri tersentak,
balik menatap mata Taehyun dengan rasa syok tak terkira.
Bagi Yeonjoo, ini benar-benar sulit dipercaya—mendekati
mustahil. Dirinya adalah orang aneh. Dia sangat buruk dalam bersosialisasi. Dia
berlatih kata ‘hadir’ di kepalanya setiap kali menunggu namanya diabsen. Dia si
introvert gila. Dan selama 6 semester ini, Taehyun bisa jadi satu-satunya orang
yang mau menghampirinya di meja kantin—untuk mengobrol,makan bersama, atau
sekedar curhat tentang gadis misterius yang dia suka. Gadis misterius yang
ternyata…. Yeonjoo sendiri.
Semuanya berawal dari kelas menulis fiksi semester 1.
Yeonjoo mengerjakan tugas akhir Taehyun, menulis novel 100 lembar. Dan pria itu
mendapat nilai A. Jika boleh jujur, selama ini ia menganggap Taehyun bersedia
mengajaknya bicara hanya karena ingin membalas budi. Dan sekarang alasan itu
muncul kembali. Apa jangan-jangan ajakan pacaran ini juga bentuk balas budi?
“Aku tak mengerti lagi denganmu! Apa kau idiot?
Keterbelakangan mental? Apa kemampuan otakmu terbatas pada menulis fanfiksi?
Bagaimana mungkin kau tak pernah sadar? Aku sudah menjabarkannya sedetail
mungkin di tiap curhatanku. Aku menjabarkanmu sampai ke warna mata, panjang
rambut, tinggi badan… astaga! Aku tahu kau gadis paling tidak peka di muka
bumi, tapi ayolah! Ini namanya mati rasa” Menyadari tatapan di sekelilingnya,
Taehyun memelankan suara. Wajahnya terlihat benar-benar merah, dan kesal, dan
siap mematahkan meja dengan tenaga dalam.
“Dan kenapa kau diam saja, huh? Cepat jawab aku! Mau tidak?”
Yeonjoo masih tak menjawab. “Heh bodoh!”
Baru setelah itu Yeonjoo merespon. Ia menatap Taehyun dengan
tajam sebelum… huaaaa—menangis. Keras. Sampai meja mereka lagi-lagi menjadi
pusat perhatian.
“Apa yang kau lakukan? Jangan membuatku terlihat seperti
penjahat! Aku kan cuma minta jawaban! Kenapa malah menangis?”
“Kenapa? Kau bertanya
kenapa? Memangnya tak sadar sudah menyebutku apa? Tolol, cacat mental, bodoh,
idiot, mati rasa! Ini untuk membuktikan aku tidak mati rasa!! Aku bisa menangis”
Gadis itu menangis lebih keras, lalu berteriak dan mengeraskan tangisannya
lagi. Taehyun mengusap muka penuh beban.
“Tch, kau benar-benar menguji kesabaranku! Ya sudah, begini
saja, tenangkan dirimu dulu! Aku sudah terlambat masuk 10 menit. Dan sebenarnya
kau juga sudah telat, tapi tidak apa, lebih baik diam disini saja, aku akan
mampir ke kelasmu dan bilang kau sakit”
Taehyun berdiri. “Kalau sudah siap menjawab telfon aku” Lanjut pria itu. Ia
lantas melambai singkat dan benar-benar melenggang pergi. Tidak ada permintaan
maaf atau kata penenang. Yeonjoo sampai tak bisa menebak apa pria rambut aneh
itu benar-benar menyukainya atau tidak.
“Brengsek! Bagaimana mungkin aku menerimanya?”
“Aku pasti sudah gila jika menerimanya”
“Ia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang jatuh
cinta”
Yeonjoo bicara sendiri, masih dengan lelehan air mata di
pipi.
“Tapi kata-katanya tadi keren sekali. Sampai lupa kalau semua ini cuma pura-pura. Oh sial, sepertinya
aku harus menerimanya!”
“Yeah, lebih baik diterima”
#2. Read me fluff!! (Jisoo-Kyungran)
Suasana sore itu menyenangkan. Benar-benar menyenangkan.
Langitnya cerah, anginnya sejuk, ada suara anak-anak bermain dari arah selatan
dan berbagai suasana mendukung lainnya.
“Kau serius?”
“Astaga sudah berapa kali kubilang? Iya sayang iya”
“Berhenti memanggilku begitu!”
“Memanggil apa?”
“Sayang”
“Hei, jangan memanggilku begitu!”
“Hong Jisoo! Benar-benar!” Sang gadis berteriak. Sementara
lawan bicaranya hanya tertawa terhibur.
“Kau hanya perlu membacanya, ayolah apa susahnya?”
Jisoo meletakkan kedua tangannya di belakang kepala,
bersandar di batang pohon. Ia memberikan tatapan ‘cepat baca’ pada Kyungran,
lalu memejamkan mata. Sepuluh detik kemudian matanya terbuka lagi. Kyungran
belum juga membaca.
“Apa yang kau tunggu?”
“Dengar! Ini… menurutku ini tidak benar”
“Kenapa? Astaga, apa yang sangat berbahaya dari fanfiksi?”
Jisoo menegakkan badan. Kyungran persis berada di depannya—selisih satu meter,
duduk di hamparan rumput hijau sambil menggenggam ponsel.
“Ya! Tapi…. tidak
juga, maksudku untuk sebagian orang ini menggelikan. Dan aku tak mau kau
menganggapku aneh setelah ini”
“Tidak akan”
“Jisoo, kau harus…..”
“Kyungran, please!”
Selanya seraya bangkit. Perbincangan ini mulai membuatnya muak. Mereka sudah
hampir 15 menit disitu, berdebat.
“Bacakan sekarang atau kuprint semua fanfiksi di blogmu!”
“Kau tak tahu alamat blogku”
“Aku bisa mencari tahu”
“Kau terlalu bodoh untuk mencari tahu”
Jisoo mendecak, berjalan menghampiri gadis itu dan duduk di
sebelahnya. “Bacakan sekarang atau kucium”
“Itu ancaman?”
“Aku tahu, lebih terdengar seperti reward daripada ancaman, iya kan?” Lagi-lagi Jisoo tertawa
terhibur. Kyungran menatapnya dengan tatapan ‘itu tidak lucu’ yang sengit,
mengesampingkan fakta bahwa orang di sampingnya ini adalah crush-nya sejak 2 tahun—yang mulai dekat sebulan belakangan.
Bayangkan sesenang apa dia sekarang! “Ayolah, aku serius. Baca!”
“Baiklah, baiklah, aku bacakan” Jisoo tersenyum manis.
Saking manisnya Kyungran sampai harus bergeser. Tapi percuma. Entah Jisoo
sedang berpura-pura lugu atau memang lugu, ia malah ikut bergeser. Membuat siku
mereka kembali bersentuhan.
“Aku butuh ruang untuk mengetik url-nya” Kyungran beralasan.
Jisoo menatapnya dengan wajah lugu yang sama. “Tanganku tak bisa bergerak jika
kau dekat-dekat” Gadis itu memperjelas—dengan ekspresi terganggu yang
meyakinkan. Jisoo memutar mata, sebelum akhirnya terpaksa bergeser menjauh.
Sedikit. Sangat sedikit.
“Oke, aku tak akan membacakan genre yang biasa kubaca. Kau
pasti akan muntah. Jadi kita mulai dengan yang ringan” Jisoo cuma mengangguk.
Dia sama sekali tak tahu genre apa yang Kyungran maksud.
“Ini fanfiksi karangan Moli, Shout at heart. Main cast-nya
Kai EXO. Well, Jongin disini”
“Oke”
Kyungran menghirup napas banyak-banyak dan melirik Jisoo
sekali lagi. Pria itu mengangguk, seolah sedang meyakinkan.
“Malam minggu pertama
di bulan Desember. Jongin mengamati salju yang turun dari balkon apartemennya,
bersandar di tralis besi, ditemani dengan segelas anggur yang membuat wajahnya
memerah. Jongin menggoyangkan gelasnya, lalu meneguk cairan di dalamnya sampai
habis. Dari arah dalam, suara alunan musik klasik terdengar samar. Jika bukan
karena satu hari di musim gugur itu, mungkin situasinya akan berbeda. Mungkin
akan ada suara tawa disana, akan ada kerlap-kerlip lampu, akan ada pohon natal
yang sedang dihias, dan mungkin…. Mungkin, ada Ji Eun juga”
Kyungran terus bicara, terus….. tak peduli tenggorokannya
mulai kering, suaranya mulai serak, dehidrasi. Ia bahkan tak sadar kalau Jisoo
sudah menyandar di punggungnya. Pria itu berpindah posisi semenit yang lalu,
pegal, butuh sandaran. Batang pohon yang tadi terlalu jauh untuk dijangkau.
Jadi ia berputar dan bersandar pada Kyungran, saling membelakangi. Suara
Kyungran terdengar sangat jernih dari balik punggungnya, seolah gadis itu
bicara langsung di telinganya.
“….. Jongin melangkah
ke dalam, mematikan radio. Lalu mengambil figura kecil, ada foto seorang gadis
di dalamnya. Cantik. Ia terlihat sangat cantik saat tersenyum, sangat cantik saat
berada dalam genggamannya, sangat cantik saat bersamanya. Senyum Jongin
perlahan-lahan menghilang. Sepotong kejadian pada musim gugur kemarin
terlintas, membuatnya nyaris menitikan air mata. Saat itu, suar—engh”
Saat itu Kyungran tersedak. Jisoo meletakkan kepalanya di
lekuk lehernya. Rambutnya benar-benar halus, lembut, menggelitik, wangi. Untuk
beberapa saat Kyungran hanya melotot menghadap pohon. Posisi mereka terlalu
dekat, sampai-sampai ia takut untuk menelan ludah. Jisoo pasti akan mengira dia
gugup sampai harus menelan ludah. Kalau sudah begitu, Jisoo pasti akan
menggodanya sepanjang hari, tidak, sepanjang tahun.
“Ceritanya sudah selesai?” Jisoo mengernyit, sebelum
akhirnya mengintip dan menggerakkan kepalanya ke kiri untuk melihat si pembaca.
Kyungran lekas menggeleng, mengangkat ponselnya kembali, berusaha keras
bersikap santai.
“Sampai mana tadi?” Tanya gadis itu.
“Jongin nyaris menitikan air mata melihat figura. Oh,
tunggu! Pacarnya pasti sudah meninggal, biar kutebak, kecelakaan di musim
gugur?” Sahut Jisoo sok tahu. Ia menutup matanya dan tertawa pendek. “Gampang
ditebak”
“Diamlah!”
“Kau harusnya memilih cerita yang lebih susah ditebak”
“Demi Tuhan, Jisoo! Kalau kau tidak diam tak akan
kulanjutkan” Jisoo langsung membuat gerakan mengunci mulut dan bersedekap, memejam,
kembali bersandar di punggung Kyungran. Kyungran menghembuskan napas keras,
menata detak jantungnya dan lanjut membaca….
Selama bermenit-menit kemudian, Jisoo diam. Diam yang
benar-benar diam. Seperti orang mati. Dia benar-benar mendalami gerakan
mengunci mulut itu sepenuh hati. Kyungran memperlambat tempo membacanya dan
melirik ke belakang.
“Aku tidak tidur. Lanjut!” Ujar pria itu tiba-tiba. Kyungran
yang terkejut segera meluruskan kepala, mendekatkan layar handphonenya lagi.
“….. Ji Eun berteriak
tepat saat kain yang menyumpal mulutnya dilepas. Jongin tertawa pelan, lalu
berjongkok di hadapannya. “Aku tak akan melakukan ini jika kau tak macam-macam”
Ucap pria itu, menyentuh lengan Ji Eun. “Lepaskan aku, psycho!” “Dan
membiarkanmu bahagia bersama Kyungsoo? Tidak!” Ia mengelus leher Ji Eun,
tersenyum, berpindah ke kening, mengusap dahinya yang penuh pelu dan
membenarkan poninya.
“Kau milikku” Pria itu
mendekatkan bibirnya di telinga Ji Eun, berbisik.
“Dulu iya. Tapi
sekarang…”
“Dulu, sekarang,
besok, lusa dan seterusnya, kau milikku!!” Sela Jongin keras, membanting kursi
di samping Ji Eun. Gadis itu terkesiap dan tersengal-sengal menarik napas,
gemetar, takut.
“Jika aku tak bisa
memilikimu,” Jongin meraup dagu Ji Eun dan menariknya ke atas, berhadapan
langsung dengan wajahnya yang marah, yang memerah akibat anggur, menatap
langsung pada matanya yang juga memerah, yang kacau. Ji Eun semakin gemetar,
air matanya mengalir. Jongin terlihat seperti orang lain. Ini bukan Jongin yang
Ji Eun peluk setahun yang lalu. “.. maka tak ada yang bisa” lanjut si pria
dengan gigi bergemelatuk.
Saat itu, tiba-tiba
saja pintu di belakang mereka terbuka. Suara letupan besar terdengar. Ji Eun
refleks memejam erat, terkejut. Ia bisa merasakan cengkraman tangan Jongin
mengendur di dagunya. Ia memberanikan diri untuk membuka mata, dan langsung
menyesal. Jongin—yang wajahnya hanya selisih beberapa inci darinya—tengah
menyorotnya lemah, sendu, lengkap dengan senyum tipis yang terasa pahit, senyum
yang tak pernah ia lihat selama berhari-hari disekap, senyum yang ia rindukan.
Ia menatapnya seperti itu sebelum akhirnya ambruk menimpanya. Ji Eun terkejut
bukan main, tangannya sudah berlumuran darah. Gadis itu tersengal, tersedak
napas sendiri sampai tak sanggung berteriak. Saat ia menoleh ke depan, ada
Kyungsoo tak jauh dari pintu. Tengah menodongkan pistol dengan tangan yang
gemetar. Ji Eun menggeleng, segila apapun Jongin, tetap tidak bisa seperti ini.
Kyungsoo terjatuh berlutut di lantai, sementara Ji Eun mulai menangis tidak
karuan”
Kyungran menghela napas. Ia sudah membaca fanfiksi ini lebih
dari 10 kali, dan ia masih saja merasa berat, seolah ada yang mengganjal. Moli
selalu jadi author favoritnya untuk genre angst seperti ini. Ia melirik Jisoo,
tak ada reaksi. Gadis itu memutar mata dan berdiri tiba-tiba, membuat pria di
belakangnya nyaris terjungkal. Ya, nyaris. Jisoo memiliki refleks yang bagus
dan langsung menyangga kedua tangannya di rumput.
“Ceritanya sudah selesai” Ucap Kyungran, bersedekap dengan
ekspresi kecut. Jisoo mendongak untuk melihat gadis itu, mengernyit, lalu
menekuk kakinya dan meletakkan kedua lengannya menggantung di atas lutut.
“Darimana Kyungsoo tahu Ji Eun disekap di apartemen Jongin?”
“Mudah saja, insting seorang kekasih” Jawab Kyungran asal.
“Itu terdengar tidak masuk akal”
“Cih! Sudah diam saja! Tenggorokanku sampai perih begini,
bukannya bilang terimakasih! Dasar”
“Terimakasih”
“Telat” Kyungran mendengus. Jisoo hanya tertawa pelan, lalu
mengernyit lagi “Kalau itu bukan genre yang biasa kau baca, biasanya membaca
apa?”
“Aku benci sad ending, angst, apalagi kalau sampai ada yang
mati begini. Aku hanya membaca romance, umumnya fluff”
“Fluff? Genre yang seperti apa fluff itu?”
“Yang seperti senyummu” Jisoo mengangkat sebelah alisnya ke
atas, tak mengerti. Kyungran tersenyum pada dirinya sendiri. Menyenangkan
rasanya bisa bicara secara gamblang tanpa harus diketahui lawan bicaranya.
Jujur saja, ia muak berpura-pura tidak suka.
“Dan maksudnya adalah?”
“Fluff itu fanfiksi yang sangat pendek, dan tak ada
maknanya. Seperti senyummu, sedikit, aneh, tidak jelas” Tentu bukan itu maksud
Kyungran. Tapi ia tak bisa bilang ‘karena senyummu semanis fluff’ kepada Jisoo.
Tak akan bisa.
“Kenapa kau membaca fanfiksi yang aneh, sedikit dan tidak
jelas?” Jisoo membalik ucapan gadis itu dengan mulus, sambil tersenyum
aneh-sedikit dan tidak jelas.
“Bukan urusanmu! Aku bisa saja membaca fanfiksi gay Baekhyun
EXO dan Barack Obama, atau Kyuhyun Super Junior dengan Shrek, dan itu juga
bukan urusanmu” Tawa Jisoo langsung menyembur.
“Sudahlah, aku mau pulang!”
“Tunggu” Jisoo menangkap tangannya.
“Kau tahu apa itu crush?”
Pria itu tiba-tiba bertanya dengan tampang polos. Kyungran menatapnya terkejut,
tak bisa menjawab.
“Kau punya crush?”
Tanyanya lagI. Kali ini Kyungran benar-benar tak bisa menghirup napas. Entah
sekonyol apa ekspresinya sekarang. Crush-nya
bertanya ‘apa kau punya crush?’ Gila!
Kyungran harusnya pingsan sekarang, atau paling tidak mimisan.
“Uh, maaf, tidak usah dijawab. Hanya… tiba-tiba aku ingin
menanyakannya” Jisoo melepas tangannya dan memegangi tengkuk. Sebelum akhirnya
tersenyum lagi menatap Kyungran. “Besok kesini lagi ya, jam 4 sore. Bacakan aku
fanfiksi lagi”
“Lagi?”
“Yang tadi tidak buruk. Lagipula, aku mau mendengar fluff”
Jisoo berdiri dan menepuk-nepuk kepala Kyungran, “Sampai bertemu besok, rekan
fanfiksi” Ucapnya sambil tersenyum, masih tersenyum, Hong Jisoo selalu
tersenyum. Kyungran cukup yakin kalau pria itu tahu bahwa senyumnya manis.
Makanya dia tersenyum terus. Pamer.
“Aku duluan ya.. bye” Seru Jisoo sambil melambai, berlari.
Ia berbalik menghadap Kyungran setiap 5 langkah, tersenyum, melambai, berjalan
lagi, lalu berlari. Kekanakan.
Untuk sesaat Kyungran cuma mengangguk, balas melambai dengan
kesadaran yang mengambang. Hingga,
“tunggu…”
“membaca fluff?”
“TIDAK TIDAK JISOO
TUNGGU!!!! AKU TIDAK BISA MEMBACAKANMU FLUFF! JISOOO! DENGAR AKU! HEEHHH
KEMBALI!”
#3. Just A Piece Of Advice (Chen- Kayo)
Kayo melangkahkan kakinya menuju kantin, lalu segera duduk
di kursi kosong terdekat. Ia meletakkan tas selempangnya di meja dan mendesah
berat, seolah masalah seluruh penduduk Seoul berpindah ke pundaknya.
“Hey!” Sapa seseorang, langsung duduk di sebelahnya.
“Apa maumu?” Tanya gadis itu ketus.
“Wow! Santai! Masa karena kalah lomba saja langsung berubah
galak?”
“Tahu darimana aku kalah?”
“Dari postinganmu semalam tentu saja”
“Aku mempublishnya jam 2! Chen, sungguh, kau benar-benar…… freak! Kau tahu, aku mulai berpikir kau
jatuh cinta padaku”
“Hanya karena aku membuka blogmu jam 2?” Kayo mengangguk,
sembari menyangga dagunya dengan tangan dan tersenyum penuh makna. Cuma
bermaksud menggoda.
“Kebetulan aku memang belum tidur semalam, dan notifikasi
emailku berbunyi jadi yah…” Pria itu berdehem, mengusap tengkuknya dan melirik
Kayo yang masih tersenyum.
“Well, anggap saja aku jatuh cinta” Ucap Chen akhirnya,
dengan kedua tangan terangkat. Menyerah. Kayo langsung tertawa.
“Jadi bagaimana?”
“Apanya?”
“Perasaanmu”
“Terhadapmu?”
“Bukan aku. Fanfiksinya. Lombanya. Ya Tuhan!” Kayo dibuat
tertawa lagi. Chen sangat mudah untuk dibuat bersemu, atau naik darah, atau
bersemu sekaligus naik darah. Dan dia suka melihat reaksinya.
“Aku baik-baik saja. Yeah,… sejujurnya masih agak kesal,
tapi tenang saja, aku sudah tidak memikirkannya lagi”
“Baguslah”
“Ya, bagus. Sepertinya fanfiksiku terlalu bagus sampai mata
mereka terbakar saat membacanya. Maksudku, fanfiksiku itu, luar biasa. Aku
selalu mendapat 1000 hits perhari. Andai saja mereka tidak menggunakan sistem
anonim, kalau mereka tahu aku author Queenkay, mereka pasti akan berpikir ulang
untuk membuatku kalah. Aku bicara begini bukan tanpa alasan, kau harus liat
fanfiksi yang menang! Itu chaos! Menggelikan! Kacau!” Ucap sang gadis yang
barusan bilang ‘aku sudah tidak memikirkannya’.
“Aku tidak mengerti, Chen. Aku tak pernah kalah. Kenapa aku
harus kalah sekarang? Di saat hadiahnya sangat bagus, tiket konser Beast!!”
“Semalaman aku berpikir, jangan-jangan ada orang dalam yang
main tangan, maksudku…..”
“Sejak kapan kau suka Beast?” Sela Chen, sama sekali tidak
tertarik dengan hipotesis tak berdasar soal ‘orang dalam yang main tangan’.
“Aku tidak suka Beast! Aku hanya ingin nonton konser gratis”
“Kau bisa minta pacarmu membelikannya”
“Aku bukan tipe gadis seperti itu”
“Oh.. kalau begitu usahalah lebih keras lagi” Chen berujar
datar, memalingkan mukanya ke depan. “Kau tahu, harusnya kau mengencani
seseorang yang membuatmu nyaman”
“Sepertimu?”
“Kayo, serius!”
Kayo menghela napas singkat dan menyerong sepenuhnya pada
Chen, “Oke, jadi…. kenapa tiba-tiba bicara begitu?”
Dan pria itu langsung ikut mengambil posisi yang sama,
menghadapnya.
“Karena pacaran itu bukan hanya sekedar bertemu dan
berciuman” Ucap Chen, dengan nada muak—setidaknya di telinga Kayo. “Dan faktanya, itu satu-satunya hal yang kau
lakukan dengan Steve”
“Jangan tersinggung, tapi…. caramu menyombongkan diri soal
1000 hits perhari dan mengencani Steve terlihat persis sama. Seperti pencapaian.
Sekedar pencapaian. Dan berkencan itu
masalah perasaan bukan pencapaian”
“Apa yang kau cari dari Steve? Sungguh, dia bukan tipemu!
Hanya karena dia tampan, dan popular, dan semua gadis menginginkannya, maka kau
harus mendapatkannya?” Kayo tak bisa berkata-kata. Ia menekan topi baseball-nya
sampai menutupi mata dan menunduk lebih dalam.
“Aku juga tak mengerti, Chen. Aku hanya….. dia menyukaiku…..
dan memintaku menjadi pacarnya….. dan—“
“Dan kau menerimanya begitu saja”
“Aku percaya cinta itu tumbuh karena kebiasaan”
“Ini bukan kebiasaan, ini pemaksaan”
“Darimana kau menyimpulkan ini semua? Ayolah, hanya karena
kita menghabiskan waktu berdua setiap saat bukan berarti kau bebas mendikte
hidupku!”
“Aku tidak sedang mendikte hidupmu. Dan aku mendapat semua
kesimpulan ini dari sesuatu yang menurutku paling akurat. Mungkin terdengar
gila, tapi…fanfiksimu. Ya, Ya, serang aku sepuasmu! Tapi… sungguh…. aku merasa
seperti sedang membaca buku diary atau semacamnya. Aku merasa seperti kau
sedang mengajakku menjelajahi perasaanmu”
“Bodoh! Itu cuma fanfiksi”
“Yeah, tapi terkadang, terkadang,
kau hanya menulis sesuatu yang tak bisa kau ucap keras-keras”
“Dan terkadang, rasanya aku mengenalmu sedikit lebih banyak dari kau mengenal dirimu sendiri”
“Apa Steve bahkan tahu kau menulis fanfiksi?” Chen mengeluarkan tawa tertahan yang dibuat-buat, provokatif. “Tidak” Ucapnya, pelan—tapi tegas, untuk sesaat menahan tatapannya pada bola mata si gadis berdarah Jepang.
“Kau tahu, ini cuma saran seorang teman. Kau boleh mengabaikannya”
Chen menggeser kakinya hingga kembali menghadap meja, lalu mendorong rambut
ikalnya salah tingkah. Sepertinya dia terlalu jauh. Kayo sampai terlihat pucat.
Dan masalahnya, Kayo yang periang itu jarang sekali terlihat pucat. “Kay, jika
itu semua menyinggungmu, aku minta maaf”
“Tidak, tidak. Kau… ada benarnya. Entahlah, aku cuma duduk,
tapi semua ucapanmu tadi membuatku kelelahan, seperti habis marathon. Dan
sekarang aku benar-benar mempertanyakan hubungan kami”
“Sebenarnya aku kesini hanya untuk menghiburmu soal lomba
itu. Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba jadi begini”
“Menghiburku? Wah... baiknya! Tapi terlambat. Kalau mau
menghiburku seharusnya dari semalam. Bukankah seharusnya kau langsung
menelfonku setelah membaca postingan itu?”
“Postinganmu emosional sekali. Orang-orang tidak akan
menyangka kau sedang membicarakan kalah lomba”
“Aku tidak akan memberitahu siapapun aku kalah. Itu
memalukan. Kayo tidak pernah kalah—seharusnya begitu”
“Tapi aku tahu kau
membicarakan lomba itu”
“Aku tidak terkejut. Kau tahu semua hal tentangku” Pria itu
bertopang dagu, tersenyum kecil.
“Kurasa begitu”
“Memang begitu”
“Masih mau nonton konser Beast?”
“Tidak, lagipula aku tak hapal lagunya. Kurasa lebih baik
membeli 10 DVD dan menontonnya di rumah, sambil menangis makan popcorn”
“Ide bagus. Butuh teman?”
“Itu bukan sesuatu yang harus ditanyakan. Tentu saja kau
ikut. Ayo!” Tiba-tiba saja Kayo berdiri dan menarik lengan Chen.
“Kemana?”
“Beli DVD”
#4. He Knew It (Mark-Jiyeong)
Jiyeong memutar lagu yang sama untuk ketiga kalinya. CN
Blue, band favoritnya, baru merilis single baru seminggu lalu, dan dia
benar-benar jatuh cinta, tidak, terobsesi. Ia sudah membayangkan belasan adegan
keren di otaknya. Mahakarya akan terbentuk. Ini akan mengguncang blognya. Ini
akan… menjadi fanfiksi terbaiknya. Hanya saja ada satu masalah, ia tak tahu
harus mulai dari mana.
“Kau tak lelah?” Seseorang tiba-tiba saja duduk di
sebelahnya. Jiyeong bahkan tak mendengar suara deritan kursi.
“Lelah?” Ulang si gadis, refleks menutup bukunya.
“Belajar, tiap detik” Orang itu melirik bukunya.
“Aku… tidak sedang belajar”
“ Heh, awas! Aku mau duduk” Jackson, pria yang sedang duduk
di sebelah Jiyeong itu kontan menoleh, lalu mau tak mau berdiri begitu melihat siapa
yang datang. Si pemilik bangku.
“Iya Iya, astaga, aku sedang berdiri! Kau harus berlatih
yoga untuk kesabaran” Miji, si pemilik bangku, langsung duduk di kursinya,
mendelik kasar ke arah Jackson dan kemudian menoleh pada teman sebangkunya.
“Sama-sama” Bisiknya.
“Aku tak merasa harus berterima kasih kali ini” Ujar Jiyeong
lesu, sembari memperlihatkan kertasnya yang masih kosong.
“Wow! Tumben. Ada apa? Ngomong-ngomong mana sumber
inspirasi?” Gadis itu melongok ke depan, menyapu keadaan kelas dengan mata
menyipit.
“Tidak ada. Tak lama setelah kau keluar dia ikut keluar”
“Jadi itu alasannya kau tak bisa menulis apapun?”
“Bisa jadi”
“Payah”
“Terima kasih”
“Tentu”
Kedua gadis itu kemudian sibuk dengan kegiatan
masing-masing. Miji dengan handphone-nya, sementara Jiyeong dengan fanfiksinya.
Ya.. Jiyeon AKHIRNYA bisa menulis beberapa paragraf.
Bel masuk berbunyi, Jiyeong bisa melihat si sumber inspirasi
masuk dengan langkah tenang. Seragamnya rapi, ralat, seragamnya memang selalu rapi, tidak seperti beberapa
siswa yang masuk di belakangnya. Urakan, kemeja dikeluarkan, blazer tidak
dikancing. Itulah mengapa dia menyebutnya sumber inspirasi. Pria itu enak
dilihat. Ia terlihat seperti orang yang merencanakan dan menulis rapi
apa-yang-akan-kulakukan-besok di kertas post-it lengkap dengan jamnya.
Disiplin. Keren. Sempurna. Seperti napas yang teratur.
“Heh, dia disini!
Sumber inspirasi” Miji menyikutnya.
“Aku tahu. Diamlah!” Gumam Jiyeong, sambil melemparkan
tatapan kesal. Namun Miji terus menyikutnya sambil bilang ‘sumber inspirasi
datang’.
“Rambutnya bertambah panjang. Apa menurutmu poninya tidak
terlalu panjang?” Jiyeong sudah berkali-kali mengerang, memberikan kode untuk
membuat gadis di sebelahnya diam, atau paling tidak menurunkan volume suaranya.
Tapi gadis itu tak mau mengerti.
“Bisakah kau berbisik saja? Dan berhenti bilang ‘sumber
inspirasi’ lima detik sekali. Orang-orang mungkin akan curiga”
“Aku sudah berbisik. Lagipula tak ada yang tahu siapa sumber
inspirasi selain kita”
“Apanya yang berbisik? Cih.. sungguh, diamlah. Jangan bicara
soal dia lagi. Aku tahu dia disini, aku tahu poninya memanjang, aku tahu, oke? Please, diam!”
Namanya Mark. Julukan ‘sumber inspirasi’ tak sengaja keluar
dari mulut Jiyeong sebulan yang lalu, saat ia sedang membicarakan fanfiksinya
dengan Miji. Dan setelahnya, semua itu mengalir secara natural hingga ‘sumber
inspirasi’ menjadi julukan official rahasia mereka berdua untuk pria itu, Mark
Tuan, si sumber inspirasi nyaris semua fanfiksi yang Jiyeong tulis.
Miji terbelalak, refleks menyikut gadis di sebelahnya.
“Kenapa dia duduk disitu?” Bisiknya. Well, Miji menyebut suara 60 desibel itu bisikan.
“Astaga! Kenapa dia duduk disitu?”
“Kau hanya menambahkan ‘astaga’ pada kalimatku”
“Kenapa dia duduk disitu?”
“Dan sekarang kau menyalinnya sama persis”
“Miji, serius!”
“Mana aku tahu? Bukankah tadi aku bertanya duluan?”
“Ini tidak baik”
“Kenapa tidak baik? Justru sebaliknya, Yeong. Begini ya,
kalau sumber inspirasinya mendekat, logikanya tulisanmu juga akan semakin
lancar kan?”
“Kau dan logika konyolmu!”
“Kalian berdua, apa yang kalian perdebatkan?” Tiba-tiba saja
pria yang sedang mereka perdebatkan itu menoleh, dan bertanya ‘apa yang kalian
perdebatkan’. Dia adalah Mark. Ya.. pria yang seharusnya duduk di deretan depan
itu—entah karena alasan apa—malah duduk persis di depan Jiyeong, berdampingan
dengan Jackson.
“Tidak ada” Jawab Jiyeong cepat, berhasil menahan Miji yang
nyaris saja menjawab ‘kau’. Mark menahan posisi setengah menyerongnya itu
selama beberapa saat, sebelum akhirnya kembali ke posisi semula. Kedua gadis di
belakangnya langsung menghela napas lega.
“Kenapa kau belajar terus sih?” Kali ini giliran Jackson
yang membalik badan tiba-tiba. Ia bertanya dengan kening berkerut-kerut. “Kau
tahu, itu membuatku panik. Aku terus-terusan bertanya dalam hati, apa akan ada
ulangan dadakan hari ini, apa ada pengambilan nilai, apa ada ini atau itu…”
“Siapa peduli? Teruslah bertanya dalam hati!” Jawab Miji
sewot, tak peduli kalau Jackson jelas-jelas tidak sedang bertanya padanya.
“Jiyeong~a, apa kau sedang—“
“Dia tidak sedang belajar! Berhentilah bertanya ‘apa kau
sedang belajar’ padanya! Astaga!”
“Lalu sedang apa?” Jackson ikut bertanya dengan sewot.
“Bukan urusanmu!”
“Iya Jackson Iya, aku sedang belajar. Aku hanya….. ada yang
tidak kumengerti”
“Aha! Kau dengar itu? Dia sedang belajar” Jackson langsung
berseru menang di depan muka Miji.
“Jiyeong! Apa yang kau lakukan?” Miji tidak terima. Jackson
kembali membalik badannya ke depan sambil terkekeh senang.
Ada Mark di depannya. Bagaimana jika Jackson terus bertanya
‘apa yang sedang kau lakukan?’. Bagaimana jika pria super kepo itu mengambil
bukunya secara paksa? Ia tak mau orang lain tahu dia sedang menulis fanfiksi,
selain Miji tentu saja. Ia tak mau terdengar aneh di mata orang-orang, di mata
teman sekelasnya, di mata Mark.
“Aku hanya mau menghindarinya, oke?”
“Tapi itu bukan belajar. Itu fanfiksi”
“Fanfiksi?” Jiyeong baru saja akan menyuruh lawan bicaranya
berbisik saat Mark menoleh. “Kau bilang fanfiksi?”
Kedua gadis itu tak ada yang mau menjawab, saling melempar
pandang. Tatapan Jiyeong jelas-jelas lebih tajam, seolah sedang menyalahkan.
“Jadi, kau membacanya? Atau menulisnya?”
Tidak enak rasanya membiarkan pria ini terus-terusan
bertanya, dan terus-terusan tidak dijawab.
“Dua-duanya” Akhirnya Jiyeong menjawab.
“Hebat! Apa kau tertarik untuk membukukannya?”
“Apa?”
“Kakakku. Dia sedang ada projek untuk menerbitkan novel, yah
semacam novel. Rencananya ini akan berbentuk kompilasi fanfiksi dari berbagai
author. Aku bisa merekomendasikanmu jika kau mau”
“Wah.. benarkah? Tentu saja aku mau”
“Bagus. Tapi dia akan melihat ceritamu dulu sebelumnya”
“Tentu saja”
“Jadi kau suka membaca fanfiksi?” Tanya Miji.
Mendengar perbincangan di belakangnya, Jackson ikut berbalik.
“Apa yang kalian bicarakan?”
“Hanya fanfiksi kakakku. Dia sudah cukup lama punya blog
sendiri, biasanya dia menyuruhku membacanya lalu menanyakan pendapatku, atau
terkadang membenarkan beberapa kata yang salah eja” Jiyeong menahan diri untuk
tidak berteriak. Ini luar biasa. Ini lebih luar biasa dari luar biasa. Mark
tahu fanfiksi. Mark membaca fanfiksi. Mark membenarkan typo dalam fanfiksi.
Mark tahu fanfiksi.
“Kalau begitu kau harus membaca fanfiksi Jiyeong juga. Kau
tahu, dia sering memasukkan karaktermu ke fanfiksinya”
“Benarkah?”
“MIJI!!” Jiyeong menyikutnya dengan keras. Ia bisa merasakan
pembuluh darah di pipinya melebar. Wajahnya pasti memerah. Sial.
“Apa itu fanfiksi? Aku benar-benar tak mengerti apa yang
kalian bicarakan. Bagaimana cara memasukkan karakter Mark ke fanfiksi? Apa itu
fanfiksi?” Jackson terus bertanya, dan tak ada satu pun dari mereka yang
mendengarkan.
Saat itu, guru sejarah mereka—yang sudah terlambat 10
menit—masuk. Semua murid langsung berhamburan ke tempat duduknya.
“Kita bisa membicarakan ini sepulang sekolah jika kau tak
keberatan” Ujar Mark.
“Tentu” Sahut Jiyeong, bertepatan dengan instruksi sang guru
untuk membuka buku paket. Mark tersenyum, lalu menghadapkan badannya ke depan.
Jackson yang kesal karena tidak diacuhkan itu pun mau tak mau ikut menghadap ke
depan.
“sama-sama” bisik Miji sambil mengerling. Jiyeong
meliriknya, memutar mata. Namun lantas tersenyum.
“Oke, kali ini terima kasih”
#5. Plagiarism (L.Joe
– Hyo Jin)
L.Joe menggeliat di sofa, lalu melirik ke meja komputer
dengan mata menyipit. Pria itu menggeleng takjub, Hyo Jin masih duduk disitu,
persis seperti sebelum matanya memejam. Bedanya ia tak seribut ini tadi.
Berteriak, menggebrak mouse, mengomel sendiri pada layar komputer. L.Joe
menekan kedua matanya yang masih terasa
berat, lalu menyerah dan memejam lagi.
“Dasar sialan! Kenapa malah dia yang marah-marah?” Hyo Jin
berteriak lagi, menggebrak mouse lagi, mengomel lagi. L.Joe menghela napas
geram dan bangun, mau tak mau.
“Aku benar-benar ingin membunuhnya, menghidupkannya kembali
dan membunuhnya lagi. Lalu hmphh…..” Mulutnya dibekap dari belakang.
“Lalu apa huh, nona sadis? Kau membuatku terbangun dari
tidur siangku yang berharga. Jadi apa masalahnya?” Ucap L.Joe, sambil
mencondongkan kepala sampai sejajar dengan kepala Hyo Jin, ikut menatap layar
komputer. Hyo Jin menarik tangan L.Joe dari mulutnya.
“Ada yang memplagiat fanfiksiku. Dan sekarang, bukannya
minta maaf, dia malah mengajakku perang”
“Cool! Bisakah kau
berperang tanpa suara?”
“L.JOE!”
“Yes miss, why so
grumpy? Aku cuma bercanda”
“Itu tidak terdengar seperti candaan di telingaku. Apa aku
menganggu tidurmu?” Tanyanya ketus, dingin, datar, mengintimidasi. Dan L.Joe
cukup paham untuk tidak menjawab jujur, atau Hyo Jin benar-benar akan meledak.
Dan semua kekesalannya soal plagiat fanfiksi akan terlampias hebat pada sang pria.
L.Joe percaya di dunia ini ada dua benda yang bisa bererupsi, gunung… dan Park
Hyo Jin.
“Oke, oke, calm down, jadi……” L.Joe menegakkan
badan, bertolak pinggang. “Haruskah aku menelfon polisi?” Lanjutnya, tidak
terlihat yakin.
“Ini bukan masalah yang bisa diselesaikan oleh polisi”
“Lalu?”
“Aku bisa menanganinya sendiri, yeah…. dengan beberapa bala
bantuan” Gadis itu menyeringai.
“Bala bantuan?”
“Ya, aku meminta seluruh pembacaku menyerangnya”
“Apa? Wow tunggu nona! Katakan padaku apa yang kalian lakukan!”
“Tidak seburuk itu. Aku cuma menyuruh mereka komentar di
postingannya”
“Komentar macam apa?”
“Link! Aku meminta mereka memenuhi kolom komentar dengan
link fanfiksiku”
“Okay, bagus! Berperanglah dengan rasional! Jangan
macam-macam! Kau bisa jadi sangat buas dan heartless,
dan kau harus tahu ada undang-undang informasi dan transaksi elektronik di
Negara kita”
“Tentu”
“Jadi, dia menjiplak semuanya? Dari judul sampai END?”
“Dia menerjemahkan fanfiksiku ke bahasa Vietnam, tanpa credit sama sekali. Dan itu…
mengecewakan” Ucap Hyo Jin, suaranya menipis di akhir kalimat. ‘Mengecewakan’
sebenarnya bukan kata yang tepat, tapi gadis itu tak dapat menemukan kata yang
pas. Ini jelas lebih dari mengecewakan. Ia merasa barang berharganya diambil,
oleh orang asing. Dan sejujurnya ia lebih ke marah daripada kecewa.
Saat itu, tiba-tiba saja sepasang tangan menjulur melingkari
area lehernya. L.Joe memberikan pelukan longgar, sementara dagunya ia
tumpangkan di bahu sang gadis.
“Yeah, pasti! Tapi, bukankah kau bisa mengambil sisi
postifnya? Maksudku, berarti anak Vietnam itu menyukai karyamu. Dia membutuhkan
waktu berjam-jam untuk menerjemahkan fanfiksi itu. Kalau aku jadi kau, aku akan
merasa sangat bangga”
“Tapi tidak begini caranya, apalagi dia tak mau mengaku.
Barusan dia membalas chatku di sns dan dia malah balik marah-marah. Cih… aku
benar-benar butuh tiket ke Vietnam sekarang, aku ingin membuat perhitungan
dengannya, face-to-face” Hyo Jin
menggeram. Jika ini adalah adegan dalam komik, maka sekarang adalah waktu yang
tepat untuk membuat efek-efek api di sekitar mukanya.
“Sayang sekali aku tak punya uang”
“Yep, sayang sekali aku cuma mengencani mahasiswa kere
pekerja part-time” L.Joe memejamkan matanya sambil tersenyum kecut, tak ada
yang salah soal itu. Hyo Jin bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik
darinya, tapi sayang sekali Hyo Jin terlanjur menginginkan si mahasiswa kere
pekerja part-time itu, lebih dari siapapun yang kata orang lebih baik.
“Ngomong-ngomong 20 menit lagi kelasmu dimulai” L.Joe
refleks melirik jam tangannya.
“Shit!” Pria itu
langsung melepas rangkulan tangannya dari Hyo Jin dan setengah berlari
menjangkau sofa, mengambil jaket jeans denimnya yang usang. Hyo Jin terkekeh
kecil.
Setiap rabu dan kamis L.Joe mendapat 4 jam waktu jeda
setelah mata kuliah pertama. Dan ia selalu menghabiskan waktunya disini,
menumpang tidur siang di sofa apartemen sang kekasih.
“Nanti malam ada waktu? Mau jalan? Kencan?” Tawar L.Joe
sambil membenarkan kerah jaketnya.
“Tentu” Hyo Jin menjawab, sama sekali tak mengalihkan
pandang dari komputer.
“Mau clubbing?” L.Joe menoleh pada Hyo Jin yang sudah
mencebikkan bibir, lalu menawarkan opsi lain. “Atau minum bubble tea di
pinggiran Namsan Tower?”
“Sounds good”
“Yang mana?”
“Bubble Tea” L.Joe menyeringai kecil, menyampirkan tas
punggungnya—yang nyaris kosong—di sebelah bahu, menggantung. Lalu masih
menyempatkan diri menghampiri si gadis di depan komputer.
“Kau memilih itu karena takut kalah saing dengan gadis-gadis
di Bar, kan?”
“Cih… seolah mereka akan melirikmu”
“Kau bisa gila jika tahu berapa banyak gadis yang
menginginkanku di kampus” L.Joe mengakhiri perkataannya dengan kecupan singkat
di pipi. Hyo Jin tak bereaksi banyak, cuma tersenyum kecil, dan itu pun bukan
karena L.Joe. Anak Vietnam yang tadi baru saja membalas chatnya—yang dikirim 15
menit lalu, faktanya anak itu butuh 15 menit untuk menjawab chat Hyo Jin dengan
kalimat singkat ‘aku tak mau masalah ini jadi panjang. Akan kuhapus’ dan gadis
itu merasa menang. Jika dia tidak salah, dia tidak akan menghapusnya, bukan
begitu?
“Aku tak perlu khawatir kan, Joe?”
“Apa?” L.Joe sudah membuka pintu.
“Soal gadis-gadis di kampus yang menginginkanmu” L.Joe
tersenyum menyeringai. Ia mengayun pintunya semakin lebar dan
melangkahkan sebelah kakinya ke luar.
“Tidak. Aku sudah menjatuhkan pilihan. Kau. Tak ada yang
harus dikhawatirkan”
“cool”
“yeah, cool.
Berdandanlah yang cantik untuk nanti malam”
“Aku tak perlu berdandan untuk bubble tea”
“Untukku?”
“Lebih tidak perlu lagi”
-FIN-
Mark-Jiyeong belong to Kim Dhira, trus Taehyun-Yeonjoo belong to GSB
Yang pada puasa syawal, yang lagi nyiapin barang2 MOS, yang mulai senen pada masuk sekolah semangat!
Will working on Let Love Lead soon...^^
Suka dengan story yg terakhir.. tetap semangat dlm menulis yaa hwaiting!!
ReplyDeleteMakasih ya.. Yep hwaiting(ง ^_^)ง
Delete