Catatan Hati Seorang Jongin - 2/2
Cast:
Kim Jongin ā Han Jieun ā Oh Sehun ā Jung Soojung
Author:
GSB
Genre:
Romance, Angst
āJongin,ā panggil ayahnya.
Ia memasukkan ponselnya ke dalam
saku jas, kemudian menatap ayahnya dengan penuh perhatian. Ayahnya datang
kemarin sore dan memutuskan untu bermalam di rumah neneknya. Itulah alasan
kenapa ia bisa bertemu dengan ayahnya di hari sekolah. Padahal biasanya sang
ayah hanya datang seminggu sampai dua minggu sekali pada hari minggu untuk
memberinya uang saku.
āPonselmu sudah kembali?ā
āOh, temanku tak sengaja membawanya.ā
Ayahnya mengangguk setelah itu.
āBaguslah kalau begitu. Lain kali jangan ceroboh, pastikan semua barangmu sudah
kau masukkan ke dalam tas.ā
Jongin hanya mengangguk patuh
tanpa menuntut permintaan maaf dari ayahnya. Ia segera bergegas dan berangkat
ke sekolah setelah berpamitan pada sang ayah. Orang-orang pada umumnya akan
meminta maaf jika berada dalam posisi ayahnya, namun tidak dengan ayahnya.
Tidak hanya ayahnya, neneknya, bibi Junhee, ibunya, dan ayah tirinya pun tidak
akan melakukannya.
Mereka tak memedulikan
perasaannya. Mereka hanya bisa menuntutnya untuk melakukan ini dan itu, namun
mereka tak sekalipun mau membimbingnya. Jika dirinya salah, ayahnya akan
memintanya untuk meminta maaf, tapi apa yang pria itu lakukan saat dirinya
bersalah? Ia malah menganggap segalanya baik-baik saja, seolah sudah melupakan
rasa sakit yang ia berikan pada putranya. Entah pada tubuhnya ataupun
perasaannya.
Jongin merenungkan hal itu
sepanjang hari. Ia memikirkan beberapa hal yang sudah ia pendam jauh di sudut
paling dalam pikirannya. Namun sejauh apapun ia berusaha menyingkirkannya, hal
itu muncul begitu saja. Rasanya tak adil mengingat bagaimana sulitnya
menyembunyikan kenyataan pahit itu, sementata untuk membawanya kembali
sangatlah mudah.
Ia bisa bertahan selama ini
karena ia selalu meyakinkan dirinya bahwa ia tidak memerlukan kasih sayang
keluarganya. Ia hanya perlu mencintai dirinya dengan lebih baik, melakukan
segalanya dengan baik agar bisa tetap hidup walau tak seorang seorang pun
menginginkannya.
Tidak diinginkan. Iya, ia adalah
anak yang tidak diinginkan. Hah, ia sudah cukup dewasa untuk dapat memahami
semuanya. Bahkan ia sudah memahaminya sejak kecil.
Orang tuanya bercerai saat
usianya menginjak lima tahun, saat itu hak asuhnya jatuh pada sang ibu. Awalnya
sang ibu begitu menyayanginya, ada nenek Eun yang juga menyayanginya. Namun
segalanya berubah pelan-pelan. Perusahaan nenek Eun bangkrut dan keluarganya
terlilit banyak utang. Semua harta yang dimiliki keluarganya habis untuk
melunasi utang-utang tersebut, dan tak lama setelah itu nenek Eun meninggal
dunia. Meninggalkan ia dan ibunya. Ibunya merupakan anak semata wayang,
sedangkan kakeknya sudah meninggal sebelum ia lahir.
Awalnya bantuan dari sanak
saudara berdatangan, namun lama-lama mereka lelah memberi bantuan. Hingga
akhirnya sang ibu terpaksa bekerja lebih keras untuk bisa mencukupi biaya hidup
mereka, dan dari tempat kerjanyalah ibu bertemu dengan Yoongil. Mereka
memutuskan untuk menikah setelah dua tahun saling mengenal.
Setelah beberapa tahun hidup
bersama, Jongin baru menyadari bahwa ayah tirinya tidak sebaik yang ia
bayangkan. Pria itu suka menghina ibunya, pria itu juga suka berjudi dan
mabuk-mabukkan. Jongin yang tidak terima ibunya diperlakukan dengan buruk,
akhirnya mengajukan protes.
Namun sia-sia saja. Usahanya
membuat segalanya menjadi lebih baik. Yoongil marah besar dan terus menghina ibunya.
Akhirnya Yoongil memutuskan untuk berhenti membiayai sekolahnya. Ibunya tak
bisa melakukan apapun ketika hal itu terjadi, ibunya bahkan tak meminta maaf
atau terlihat menyesal. Ibunya hanya kelihatan terlalu lelah dan kesal. Dan tak
lama setelahnya, sang ibu pergi ke rumah nenek Im dengan beberapa penawaran.
Singkatnya ia pun tinggal bersama neneknya setelah ayahnya membayar uang
sebesar satu juta won.
Ibunya menjualnya karena sudah
sangat muak dengannya. Ayahnya bahkan tak ingin membawanya ke apartemennya dan
hidup bersama dengannya. Pria itu malah membuatnya tinggal bersama nenek dan
bibinya yang tukang perintah. Sedangkan nenek dan bibinya, mereka menganggapnya
tak lebih dari seorang anak yang baru mereka beli. Bagi mereka, arti dirinya
sama dengan vacuum cleaner, mesin
cuci, pemanggang roti dan alat-alat lain yang mereka beli. Ia harus berfungsi
karena ia sudah dibeli.
Jadi sudah jelas kalau tak
seorang pun menginginkannya. Mereka tidak menginginkannya seolah ia adalah
pembawa sial. Huh, Jongin sudah berlatih untuk mengabaikan perasaan seperti
itu. Ia sudah berjanji untuk tidak goyah dan menjadi lemah. Namun sulit. Cih,
kalau mereka tidak menginginkannya, kenapa mereka tidak membunuhnya saja
sekalian? Tentu itu akan memudahkan berbagai pihak, bukan?
****
Dalam usaha mengenyahkan perasaan
buruk yang tengah ia rasakan, setelah bel pulang berbunyi ia sengaja berdiam
diri di kelas. Sehun dan Soojung tak memaksanya untuk ikut dengan mereka,
keduanya memberikan ruang untuknya berpikir.
Ia beranjak dari kursinya begitu
teringat akan sesuatu. Tiba-tiba saja terpikir dan ia menyesal karena sepanjang
hari ia merenungi sesuatu yang bahkan tak bisa ia ubah meski hanya di bagian
kecil. Ia melangkah cepat ke arah UKS. Biasanya Jieun dan seorang temannya akan
menyempatkan pergi ke ruangan itu sebentar untuk membicarakan banyak hal dengan
dokter Seo atau seorang perawat bernama Moon Hayeon.
Dari tempatnya ia bisa melihat pintu
ruangan tersebut terbuka, dengan cepat ia berlari hingga merasa sesak begitu
sampai di depan pintu. Dokter Seo yang sedang berbicara serius dengan Jieun dan
perawat Moon melihatnya. Pria bertubuh kurus itu tersenyum dan mengangguk
padanya. Sebagai balasan, Jongin membungkukkan badannya.
āKau membutuhkan sesuatu?ā
seiring dengan pertanyaan dari dokter Seo, Jieun dan perawat Moon mengalihkan
pandangan mereka ke arah dirinya.
Jongin meringis. Ia benar-benar
gugup, lagipula kenapa dokter Seo terus melebarkan senyumnya? Astaga, pria itu
membuatnya semakin gugup.
āTidak. Aku datang ke sini untuk
bicara dengan Han Jieun,ā jawabnya dengan setenang mungkin.
āJongin tenang, jangan membuat
malu diri sendiriā Ia terus mengulang kalimat itu dalam hati.
Jieun tampak terkejut dengan
ucapannya. Gadis itu tercekat sambil menunjuk dirinya sendiri. Dokter Seo
kembali tersenyum, kali ini dengan suara kekehan yang mencurigakan. Pria itu
meyakinkan Jieun untuk pergi bersama dengan dirinya. Sesekali Jieun mencuri
pandang ke arahnya kemudian mendelik sinis begitu ia melebarkan senyum.
Akhirnya dokter Seo berhasil meyakinkan Jieun agar pergi bersamanya. Gadis itu
mengucap salam pada pria itu, begitupun dengan Jongin. Lagi-lagi dokter Seo
tersenyum.
Keduanya berjalan beriringan
menyusuri lorong-lorong yang belum begitu sepi. Beberapa siswa masih terlihat
melintas, tampaknya masih banyak orang yang perlu melakukan sesuatu di sekolah.
āJadi, apa yang ingin kau
bicarakan?ā tanya Jieun begitu mereka sampai di luar gedung sekolah.
Jongin berdeham canggung,
beruntung kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Kalau tidak, Jieun
bisa saja menemukan tangannya yang sedang gemetar.
āAku tidak tahu tepatnya, tapi
aku tahu aku perlu mengatakan sesuatu padamu. Ada sesuatu yang berubah di antara kita sejak
hari itu.ā Jongin memandangi bayangan kakinya yang tengah melangkah.
Jieun mendecak kemudian
mengembuskan napasnya dengan keras-keras, menarik perhatian Jongin untuk
menatapnya. Gadis itu masih menatap lurus ke depan, sedangkan tangannya
bergerak menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Jongin terpaku
menatapnya, melihat rambut Jieun berterbangan di sapu angin, membuatnya
terpukau. Astaga! Ia mulai idiot lagi.
āKau tahu? Saat kau berlari
mencari dokter Seo dan kembali bersamanya, aku merasa akan ada yang berubah.
Namun segala yang terlihat sederhana bagi orang lain, tidak berlaku padaku. Aku
terlalu terkejut dan mengacaukan semuanya.ā
Jieun menatapnya, mencoba
memahami ucapannya. Jongin butuh keberanian besar untuk mengatakannya sejelas
mungkin. Seperti yang ia katakan, segalanya akan terasa lebih mudah jika itu
orang lain, tapi tidak dengan dirinya.
āKau sangat terkejut karena tahu
namaku?ā Gadis itu menatapnya dengan intens dan membuatnya kalang kabut.
āPercayalah, aku sudah mengetahui
namamu sejak lama.ā Jieun menjingkatkan alisnya, menguji kesabarannya dengan mempertanyakan
kebenaran atas ucapannya.
āAku terkejut karena entah
bagaimana caranya, aku hanya perlu melihatmu untuk tahu bahwa setidaknya ada
satu orang di dunia ini yang mengharapkanku baik-baik saja,ā lanjut Jongin
tanpa menatap mata Jieun.
Jongin terus mengayunkan kakinya
dan baru menyadari bahwa Jieun tertinggal beberapa langkah di belakangnya.
Gadis itu membeku di tempat. Mulutnya terkatup rapat, sedangkan matanya menatap
Jongin dengan serius.
āJangan menatapku begitu! Kau
membuatku takut! Tenang saja! Aku takkan memaksamu untuk melakukan apapun!ā racau
Jongin salah tingkah.
Namun Jieun tak menghiraukan
ucapannya. Gadis itu masih terus menatapnya tanpa mengatakan sepatah kata.
Terang saja situasi itu membuat Jongin takut setengah mati. Apa Jieun sedang
mempertimbangkan kalimat yang tepat untuk menolaknya?
āKau benar, ada yang berubah
setelah hari itu,ā ujar Jieun yang akhirnya buka suara.
Jongin harap-harap cemas
menantikan tiap kata yang terlontar dari mulut gadis itu.
āBiasanya kau tidak pernah
membiarkanku bicara padamu, tapi hari itu kau mengajakku bicara. Kau tidak
pernah membiarkanku membantumu, tapi hari itu kau membiarkanku melakukannya dan
tersenyum padaku. Setiap orang yang datang ke UKS selalu bersikap baik padaku,
tidak sepertimu. Tapi kenapa aku merasa berlebihan hanya karena kau
membutuhkanku dan tersenyum padaku? Itulah yang kutanyakan pada diriku sendiri.
Namun di saat aku mulai mencari jawabanku, kau malah menghindarikuāā
Jongin meringis pelan sambil
mengusap-usap tengkuknya. āPercayalah, aku hanya benar-benar terkejut dan aku
tidak mau membuatmu ikut terkejut,ā ucapnya menyela penuturan Jieun.
Ia benar-benar tak menyangka
Jieun merasakan hal seperti itu. Ia tak bermaksud untuk membuat Jieun
tersinggung dengan sikapnya. Ia menghindari gadis itu hanya untuk mengurangi
kemungkinan mempermalukan dirinya sendiri, misalnya pingsan di tempat begitu
Jieun berdiri tepat di depannya.
āAku terkejut, tapi ini kejutan
yang menyenangkan,ā tutur Jieun malu-malu.
Senyumnya terulas ragu, namun
Jongin ikut tersenyum melihatnya. Apalagi melihat kedua tangan Jieun yang
mengepal di kedua sisi tubuhnya. Huh, setidaknya Jieun juga merasa gemetaran
sampai rasanya ingin mati seperti dirinya.
āBaguslah. Ternyata bukan cuma
aku yang merasa begitu.ā Jongin menyeringai puas, membuat Jieun mendesah
panjang sambil memutar bola matanya dengan sinis.
Seringai di wajah Jongin perlahan
memudar ketika Jieun melangkah ke arahnya dengan wajah ragu. Ia merasa gugup
begitu Jieun semakin mendekat, namun rasa gugup itu sia-sia. Jieun hanya
melewatinya begitu saja.
Gadis itu berhenti, kemudian
memutar tubuhnya. āKajja! Jangan
bilang kau gugup jalan di sampingku. Aigoo,
noraknya.ā Gadis itu menatapnya dengan mengejek.
Huh, apa yang baru saja gadis itu
katakan? Ia gugup? Itu memang benar. Tapi, norak? Serius, gadis itu memang
tidak ada manis-manisnya.
Tak mau harga dirinya terluka,
Jongin melangkah cepat menyusul Jieun yang sudah berjalan cukup jauh di depan.
Ia melingkarkan lengannya di bahu Jieun secara tiba-tiba. Ia mencengkeram bahu
gadis itu yang berhasil membuat gadis di sebelahnya geram.
āEisshhā¦ Jangan bilang kau gugup
aku rangkul begini. Aigoo, aigoo..goo..
Noraknya,ā ucapnya mengulangi kalimat Jieun sebelumnya.
Ia tak menghiraukan aksi Jieun
yang masih berusaha melepaskan tangannya. Gadis itu pun mendengus begitu sadar
bahwa usahanya sia-sia. Jieun meniup-niupkan udara ke wajahnya, membuat helaian
rambut yang menutupi wajahnya berterbangan. Huft, sebenarnya ia sangat gugup
tapi ia juga masih sangat kesal dengan Jongin dan aksi petak umpetnya.
Ckk, lagipula ini tidak seperti
yang ia bayangkan. Ia selalu berharap ada seorang pria yang menyatakan perasaan
padanya dengan melakukan hal-hal romantis seperti memberinya cokelat,
menyanyikan lagu untuknya atau paling tidak menatap matanya dengan sungguh-sungguh
sambil menggenggam kedua tangannya. Bukannya teriak-teriak di pinggir jalan
seperti tadi.
Serius, Jongin bahkan kelihatan
seperti sedang marah-marah padanya tadi. Huft, bocah itu benar-benar payah.
****
Semuanya berubah perlahan-lahan,
kecuali sikap Jongin yang suka seenaknya dan canggung di saat-saat tertentu.
Hampir semua orang di sekolah sudah mengetahui kedekatan Jongin dan Jieun. Hal
itu menyurutkan niat para-para gadis yang mengagumi Jongin, namun bukan berita
baik untuk Jieun. Gadis itu menjadi bahan omongan di sana-sini. Banyak yang
mempertanyakan kedekatan Jongin dan Jieun. Kenapa anak seperti Jongin bisa
bersama dengan anak seperti Jieun? Huh, Jieun tak menghiraukan pembicaraan
mengenai dirinya. Bikin pusing saja.
Ia hanya heran kenapa semua orang
berpikir ia dan Jongin berpacaran. Padahal Jongin tak pernah memintanya untuk
menjadi pacar pria itu. Memang benar pada sore itu ia dan Jongin menyatakan apa
perlu mereka katakan. Mereka jujur pada satu sama lain, tapi hanya itu saja.
Mereka hanya mengatakan bahwa ada yang berbeda. Dan setelah hari itu semuanya
memang berbeda.
Jongin lebih sering mendatanginya
sekalipun itu bukan di UKS. Jongin akan memanggil namanya saat ia tak menyadari
keberadaan pria itu. Jongin akan melambaikan tangan seperti orang idiot padanya
sambil melebarkan senyum yang tak kalah idiot. Mereka juga sering menghabiskan
waktu bersama, seperti makan di meja yang sama, berbincang saat tak sengaja
bertemu di gerbang sekolah pada pagi hari, atau pulang bersama setiap harinya.
Kelihatannya memang seperti orang pacaran, tapi Jongin tidak pernah memintanya
untuk pacaran dengannya.
Namun segala yang terlihat sederhana bagi orang lain, tidak berlaku
padaku.
Ia selalu mengingat kalimat itu.
Setidaknya kalimat itulah yang membuatnya merasa tenang. Kalimat itulah yang
membuatnya merasa yakin bahwa Jongin hanya membutuhkan waktu untuk segalanya.
Seperti memintanya menjadi pacarnya. Tapi ia tak bisa terus mengandalkan
kalimat itu.
āSudah dua minggu aku melihat
kalian berkeliaran bersama dan semua orang juga sudah mengetahuinya.
Sebenarnyaāā
Jongin meletakkan sendoknya
kembali ke atas piring, kemudian menatap Sehun sambil melenguh panjang.
āSudah kubilang kami pacaran! Kau
pikir aku bercanda, ya?ā
Jieun melebarkan matanya. Ia
langsung menatap Jongin dengan tidak percaya.
āTapi yang kudengar Jieun bilang
pada orang-orang kalau kalian tidak pacaran,ā tutur Sehun sambil menudingkan
sumpitnya ke arah Jieun.
Jongin ikut menatap Jieun yang
duduk di hadapannya, di sebelah gadis itu terlihat Soojung tengah mendesah
bosan.
āKenapa kau bilang begitu pada mereka?ā
āMemang begitu, kan? Kita memang
tidak pacaran,ā sahut Jieun tak kalah kesal.
Sementara Jongin dan Jieun masih
mendebatkan masalah hubungan mereka, Sehun mengamatinya dengan tertarik.
Sementara itu Soojung hanya menggelengkan kepala dan menyuapkan sesendok penuh
nasi ke dalam mulut.
āKau tidak pernah memintaku jadi
pacarmu,ā tambah Jieun yang tak mau kalah. Lagipula memang benar, kan?
āMemangnya aku tidak pernah?ā
Tak tahan mendengar perdebatan
tolol itu, Soojung akhirnya membanting sendoknya ke atas meja. Dengan cepat
perdebatan itu langsung berhenti. Jongin dan Jieun menatap ke arah Soojung
dengan ngeri.
āKenapa kau begitu, huh? Aku sudah mengatakan perasaanku padanya. Lalu bagaimana bisa ia bilang pada orang-orang kalau kami tidak pacaran? Bukankah itu sangat menyebalkan?ā tukas Jongin membela diri.
āTapi kau tidak memintakuāā
āCukup Jieun.ā Soojung mengangkat
tangan, menyuruh Jieun dan siapapun yang hendak bicara untuk menutup mulut.
Ia mendesah panjang. āHan Jieun,
kalau boleh kuberitahu Kim Jongin itu benar-benar payah! Yang paling payah dari
yang terpayah!ā Ia kemudian beralih menatap Jongin.
āDan kau.ā Ia mendorong kepala
Jongin dengan telunjuknya.
āMemangnya kau pikir semua orang
itu bisa membaca pikiranmu? Lagipula kau tidak bisa pacaran dengan seorang
gadis hanya karena kau menyukainya. Kau perlu mengatakannya dengan jelas.
Setidaknya katakan padanya kalau kau ingin bersamanya. Astaga, aku tak percaya
aku harus mengajari hal dasar seperti ini.ā Soojung mengakhiri kalimat
panjangnya dengan gelengan kepala penuh rasa iba.
****
āAku berangkat,ā pamitnya pada
semua penghuni meja makan yang masih sibuk mengunyah makanan pagi mereka.
āJongin sebentar, ada yang mau
kutanyakan padamu,ā ujar sang nenek yang menghentikan langkahnya. Jongin
berhenti dan memutar tubuhnya.
Wanita itu meneguk air dari
gelasnya, kemudian berdeham. āSiapa gadis yang menelepon tadi malam?ā
Jongin sudah tahu cepat atau
lambat pertanyaan itu akan terlontar, entah dari mulut nenek atau bibinya.
Mereka tidak menanyakannya kemarin setelah ia selesai menggunakan telepon, jadi
sekaranglah waktunya.
āSoojung, teman sekelasku,ā
jawabnya tenang.
Semalam Soojung menelepon ke rumah
karena ponsel gadis itu mati dan yang ia ingat pada saat itu hanya nomor
telepon rumahnya saja. Gadis itu menanyakan hal-hal seputar masalah
sekolah seperti PR matematika yang harus
dikumpulkan hari ini dan juga beberapa masalah di tim tari mereka.
āOh, Soojung yang kau bilang
pernah tinggal di Amerika itu?ā sahut
bibinya dengan semangat. Sebagai tanggapannya, Jongin membenarkan sambil
menganggukkan kepala.
āGadis itu bukan pacarnya, bu.
Lagipula mana mungkin gadis seperti itu mau dengan anak ini,ā kata bibinya pada
sang nenek.
Mendengar ucapan bibinya memang
sangat tidak menyenangkan, tapi nampaknya itu cukup berguna. Karena setelah itu
neneknya tak lagi menatapnya dengan curiga. Neneknya memang sedikit sensitif
dengan hubungan di antara pria dan wanita. Tak jarang wanita tua itu
menasihatinya untuk tidak mendekati gadis manapun.
āBaguslah, kalau begitu.ā
Neneknya mengangguk dengan tatapan mata masih mengarah padanya.
Meskipun penampilannya cukup
menarik, tapi bagi nenek dan bibinya ia hanya itik buruk rupa yang tidak ada
bagusnya. Bagi mereka ia tidak menarik, tidak tampan, kulitnya terlalu hitam,
dan ia juga tidak terlalu pintar.
****
Ia memang tidak terlalu pintar.
Ia tidak mau membantah kebenaran itu di saat ia baru saja melihat angka lima di
kertas ulangan matematika yang diberikan Heo seosangnim. Lima itu sudah cukup
bagus. Lagipula ia juga tidak menyukai pelajaran itu. Ia memang buruk di
pelajaran matematika dan ekonomi, namun ia cukup pintar di pelajaran Bahasa
inggris dan sejarah.
Ia tidak perlu menguasai
segalanya, kan? Setidaknya ada yang ia bisa kerjakan dengan baik dan baginya
itu sudah cukup.
āKupikir kau akan mendapat nilai
tujuh lagi. Ternyata lima memang angka keberuntunganmu,ā ucap Sehun setelah
melihat nilainya.
Kemudian Soojung memutar tubuhnya
ke belakang dan menatap Sehun dengan mengejek.
āAigoo, lihat siapa yang bicara!
Nilaimu bahkan tidak lebih baik darinya.ā
Jongin tertawa puas mendengarnya.
Soojung memang benar, tidak seharusnya Sehun menghina nilainya. Anak itu hanya
berhasil mendapat nilai tiga.
āDan kau, belajarlah yang benar!
Kau tidak malu mendapat nilai seperti itu sementara pacarmu salah satu anak
pintar di sekolah ini?ā Soojung menatapnya dengan sungguh-sungguh. Gadis itu
benar-benar sudah putus asa.
Jongin melipat kerta ulangannya,
menyimpannya ke dalam tas. Ia kembali menatap Soojung, āKenapa aku harus malu?ā
****
Kenapa aku harus malu? Kalimat
itu terus Jongin katakan pada dirinya
sendiri setiap kali menyadari kesenjangan antara dirinya dan Jieun. Ada jarak
yang membentang di antara mereka. Ia memang murid populer dan berbakat, tapi
Jieun adalah seorang murid pintar dan teladan.
Awalnya ia tidak terganggu dengan
kenyataan tersebut. Ia bisa menerima kenyataan kalau Jieun lebih pintar dan
cerdas dari dirinya, namun lambat laun ia juga merasa agak terganggu. Ia merasa
buruk setiap kali melihat nilai tes matematikanya yang tak keruan. Pernah
beberapa kali Jieun menangkap kegundahan yang ia rasakan sehari menjelang ujian
matematika dilakukan. Gadis itu berdecak kemudian menatapnya dengan mengejek,
namun sama sekali tak keberatan untuk membantunya. Gadis itu juga sering
membantunya mengerjakan PR matematika miliknya. Belajar bersama dengan gadis
itu memang menyenangkan, Jongin jadi memiliki waktu yang lebih banyak untuk
dihabiskan bersama gadis itu. Namun tetap saja ia merasa terganggu.
āDari tadi kau terus melamun. Ada
masalah di rumahmu?ā ia tersadar dari lamunannya begitu Jieun menyenggol
lengannya.
Ia menggeleng tanpa menghiraukan
rasa curiga Jieun. Ia terus berjalan menyusuri jalan pulang tanpa melirik gadis
di sampingnya.
āKau bisa mengatakannyaāā
āTidak ada. Kalaupun ada pasti
ada tanda lebam di wajahku,ā selanya yang membuat Jieun menatapnya dengan kesal.
Yah, kurang menyedihkan apa lagi?
Ia tidak pintar, ia bersikap menyebalkan, dan Jieun juga sudah mengetahui
segala masalahnya di rumah, entah tentang neneknya, bibi Junhee, atau ayahnya
yang gemar main tangan untuk menyelesaikan masalah. Gadis itu pun tahu mengenai
ibu dan ayah tirinya. Sudah lengkap, bukan? Jieun benar-benar malang. Gadis itu
mendapatkan seseorang seperti dirinya; seseorang yang tidak pintar,
menyebalkan, dan punya masalah keluarga yang sangat amat rumit.
āJangan berkata begitu. Aku ingin
menangis mendengarnya,ā protes Jieun yang membuatnya menyeringai jahil.
āAku yang dipukuli, kenapa kau
yang menangis?ā
Jieun mendengus kesal. Gadis itu
benar-benar tidak menyukai sikap Jongin yang menganggap semua hal yang terjadi
pada dirinya wajar-wajar saja. Pria itu terus menyunggingkan senyumnya, tertawa
kencang, terperangkap dengan pikirannya, seolah ia baik-baik saja. Tapi tidak,
Jongin tidak baik-baik saja. Pria itu sudah menahan luka yang sangat dalam
untuk waktu yang amat panjang. Dan Jieun berharap pria itu mau berhenti
bertingkah baik-baik saja.
āKau tahu betapa kesalnya aku
setiap kali kau menceritakan masalah keluargamu? Aku juga sangat takut saat
tahu kalau ayahmu begitu ringan tangan terhadapmu. Aku selalu merasa ingin
menangis setiap kali melihatmu meringis kesakitan menahan rasa nyeri itu. Jadi
berhenti mengatakan hal seperti itu, seolah kau itu benar-benar seorang
masokis!ā
Jongin berhenti kemudian menatap
Jieun dengan ekspresi tidak terbaca.
āKalau begitu jangan dengar,
jangan lihat, dan jangan pikirkan,ā tandas Jongin serius. Pandangan mereka
bertaut dan hal itu memudahkan Jieun untuk melihat betapa banyak luka yang
Jongin tahan selama ini.
Jieun menarik napas panjang, menahannya
sejenak sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan-lahan. Dadanya menjadi sesak
setiap kali mengingat kisah Jongin. Kenapa pria itu menerima begitu banyak
kesedihan di umurnya yang masih muda? Meski Jongin sering bersikap menyebalkan,
tapi pria itu anak yang baik. Ia selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik.
Walau tak pernah mengakuinya, Jieun tahu kalau sebenarnya Jongin ingin membuat
ayahnya merasa bangga memiliki putra seperti dirinya. Tapi lagi-lagi Jieun tahu
kalau Jongin sudah terlalu lelah untuk menyimpan harapan sesederhana itu.
āKau pikir aku senang dipukuli?
Aku hanya tidak bisa melakukan apapun untuk membela diriku. Semakin aku melawan
semakin banyak pukulan yang kuterima. Aku, aku sangat kesakitan tapi apa yang
bisa kulakukan? Menangis? Apa gunanya? Menangis hanya membuatku semakin
kesakitan. Satu-satunya cara untuk membuatnya sedikit lebih baik adalah dengan
bersikap baik-baik saja.ā Jongin melenguh, tanpa ia sadari air mata mulai
mengalir membasahi pipinya.
Jongin tak mengerti kenapa ia
harus mengatakan semua ini pada Jieun. Jongin juga tak mengerti kenapa ia malah
menangis di depan gadis itu. Dan hal itu benar-benar membuatnya ketakutan. Ia
takut Jieun akan menganggapnya payah dan pada akhirnya akan membuangnya seperti
yang telah keluarganya lakukan. Ia takut Jieun tidak menginginkannya lagi.
Jongin menundukkan kepalanya
dalam-dalam. āDan mengungkitnya dengan santai adalah salah satu cara untuk
membuatku terbiasa. Aku harus terbiasa dengan rasa sakitnya, karena aku tak
tahu kapanāā
Tanpa membiarkan Jongin
menuntaskan kalimatnya, Jieun langsung melingkarkan tangannya di sekeliling
tubuh Jongin. Isakan kecil Jongin bisa terdengar oleh Jieun begitu kepala pria
itu menyentuh bahunya.
āAku benar-benar cengeng. Harusnya aku tidak menangis, biasanya aku bisa menahannya.ā Jongin mengatakan yang sama berulang kali, membuat Jieun akhirnya terkekeh dalam tangisnya.
āItu semua karena dirimu. Kalau
saja kau tidak melihatku seolah aku layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik,
aku tidak akan begini. Kalau saja kau tidak memedulikanku, kalau saja kau tidak
tersenyum, kalau sajaāā
Jieun menatap Jongin dengan
kesal. āKenapa jadi aku yang salah?ā
āKenapa kau malah menangis?ā
keluh Jongin begitu melihat matanya sembab dan air mata membasahi pipinya.
āKau sendiri menangis, kenapa aku
tidak boleh?ā sahut Jieun tak terima. Ia benar-benar tidak terima dengan sikap
Jongin yang seperti itu. Jongin selalu saja meneriakinya setiap kali ia
menangis karena pria itu. Memangnya kenapa? Ia peduli dengan Jongin, ia
menyayangi pria itu.
āKau membuatku merasa semakin
buruk!ā
āKenapa?ā
Jongin mendesah tak sabaran,
kemudian mengambil satu langkah mundur.
āMasih bertanya? Aku merasa buruk
karena kau lebih pintar dariku, aku merasa buruk karena kau tahu masalah
keluargaku dan hidupku yang menyedihkan, dan sekarang kau membuatku merasa
lebih buruk karena kita baru saja menangis bersama!ā runtut Jongin dengan cepat
dan jelas.
āAku tak merasa ada yang salah
menangis bersamamu? Memangnya kenapa? Kita memang perlu menangis saat merasa
sedih,ā sergah Jieun.
Kemudian Jongin diam, ia
benar-benar sudah kehabisan kata untuk menghadapi Jieun. Gadis itu memang
benar, tapi juga salah di waktu yang sama. Manusia memang perlu menangis di
saat merasa sedih, tapi tidak dengannya. Ia harus menahan tangisnya agar tidak
menjadi beban siapapun. Ia terbiasa menelan kesakitannya agar ibunya tidak
merasa terbebani, walau nyatanya sang ibu tetap merasa terbebani karena
dirinya. Sehingga yang bisa ia lakukan adalah menahan segalanya dan berusaha
untuk tidak membebani siapapun dengan perasaannya. Termasuk Jieun. Ia tidak
ingin Jieun melihatnya menangis, ia tidak ingin Jieun merasa terbebani. Ia
tidak ingin Jieun melangkah mundur dan akhirnya hanya meninggalkannya sendirian.
Jieun melangkah lagi ke arahnya,
gadis itu kembali mendekapnya. Kali ini dengan menyandarkan kepalanya di dada
Jongin. Jongin merasa terkejut begitu menyadari kedua lengan Jieun melingkari
pinggangnya.
āJieun, aku sudah terbiasa
diabaikan, aku sudah biasa ditinggalkan. Namun aku tidak tahu apa jadinya kalau
akhirnya kau tidak menginginkanku lagi. Aku tidak pintar, hidupku sangat
menyedihkan, dan sekarang kau melihatku menangis. Bukankah aku benar-benar
payah?ā ujar Jongin sambil menatap lurus jalan panjang yang terbentang di
hadapannya.
Jongin menjatuhkan pandangannya
pada tas biru milik Jieun. Ia mencoba untuk menjauhkan dirinya dari Jieun. Ia
mendorong gadis itu, namun Jieun malah semakin mengeratkan kedua tangannya.
āBerhenti saja sebelum aku
terlalu melekat denganmu. Kita tidak akan tahu kapan kau akan merasa bosan dan
akhirnya meninggalkanku. Jadi, berhenti saja.ā
Jieun menatap Jongin. āBisa tidak
kau menaruh rasa percayamu padaku? Sedikit saja,ā keluh gadis itu dengan kesal.
āAku tak bisa melakukannya. Aku
terlalu takut. Aku tidak pintar, aku menyedihkan, dan aku cengeng. Apa lagi
yang bisa membuatku percaya kau akan terus menginginkanku?ā
āKenapa kau memandang dirimu
serendah itu?ā Jieun benar-benar merasa kasihan pada Jongin. Ia pikir pria
populer itu penuh dengan rasa percaya diri, tapi nyatanya terlalu banyak ketakutan yang
pria itu simpan dalam hatinya.
āKarena aku memang seperti itu,ā
jawab Jongin dengan tenang.
Rasanya Jieun ingin kembali
menangis. Pasti Jongin sudah melewati banyak hari dengan rasa sakit dan berat
sampai bisa bersikap sepasrah itu. Ya Tuhan, ia pikir setiap anak yang lahir
diberikan kasih sayang berlimpah dari kedua orang tuanya.
Jieun menggenggam kedua tangan
Jongin, meremas telapak tangannya yang mulai basah. āKalau begitu belajarlah
dengan benar. Aku akan membantumu. Kau harus menunjukkan pada mereka semua
kalau kau itu berhak mendapatkan yang lebih baik dari yang kau terima selama ini. Percaya padaku,ā ujar Jieun
sambil menatap Jongin dengan tulus.
Jongin tak tahu bagaimana harus
bersikap. Ia sudah terbiasa memandang dirinya dengan cara seperti itu, seolah
ia memang tidak perlu menyimpan harapan untuk mendapat kehidupan yang lebih
baik. Tapi melihat bagaimana Jieun menatapnya dan mendengar semua ucapan gadis
itu membuatnya mulai berharap. Hal itu membuatnya takut.
Namun Jieun bilang ia berhak
mendapat segala yang terbaik. Kalimat itu membuatnya mulai merencanakan hal-hal
mustahil dalam pikirannya. Ia akan belajar dengan baik, setidaknya berusaha
agar ia bisa lulus dan masuk perguruan tinggi, mengejar mimpinya menjadi
reporter, kemudian keliling dunia untuk melaporkan banyak hal pada banyak
orang, memiliki rumahnya sendiri, dan di saat ia sudah cukup mapan, ia akan
mendatangi ayah Jieun untuk menikahi gadis itu. Bukankah itu berlebihan?
Jongin tersadar dari lamunannya
begitu Jieun mengguncang tangannya. Ia memandangi Jieun yang nampak begitu
yakin dengan tekadnya. Bagaimana bisa gadis itu begitu yakin sementara ia
selalu merasa ragu?
Ia melepaskan genggaman Jieun di
kedua tangannya. Ia menatap gadis itu selama beberapa detik sebelum akhirnya
mendekap gadis itu ke dalam pelukanya.
āEntahlah, aku tidak peduli pada
mereka. Aku akan berusaha lebih baik karena aku sudah tahu apa yang ingin
kulakukan.ā Jongin tersenyum, ia sedang membayangkan semua impiannya menjadi
nyata. Menjadi reporter, memiliki rumah yang cukup bagus, dan menikahi Jieun.
Ia memang masih belum sepenuhnya
yakin dengan keputusannya. Tapi bagaimana mungkin orang lain mempercayainya
kalau ia sendiri tidak mampu mempercayai dirinya sendiri? Ia harus berhenti
merendahkan dirinya dan mengabaikan hidupnya yang menyedihkan. Ia memang
dilahirkan di tengah orang-orang yang tidak menginginkannya, itu menyedihkan.
Namun bukan berarti ia harus hidup menyedihkan sepanjang waktu, kan?
āAku hanya harus berusaha lebih
keras, kan?ā
Jieun mengangguk sambil mengulas
senyumnya. Ia menghela panjang, namun sia-sia saja usahanya begitu matanya bertaut dengan mata hitam pekat milik Jongin.
Dadanya
bergemuruh kencang, sementara aliran panas dan menggelitik melingkupi sekujur
tubuhnya. Ia sudah bilang belum kalau Jongin memiliki sepasang mata hitam pekat
yang memesona? Baginya sepasang mata itu terlalu berbahaya. Terlalu memesona
sampai-sampai ia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Dan itu benar-benar
buruk.
Ia bahkan tidak menjauhkan wajahnya
ketika salah satu tangan Jongin menangkup wajahnya. Pria itu tersenyum ketika
ibu jarinya mengusap-usap pipinya. Jieun bersumpah Jongin pasti mendengar
tarikan napasnya yang begitu panjang dan keras. Pasti.
Ia benar-benar merasa gugup
sampai-sampai tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Terlebih saat angin senja
berembus menyapu kulitnya dan telapak tangan Jongin di wajahnya terasa sangat
hangat. Napasnya kian memburu, ia berani bertaruh ia bisa saja tersungkur kalau
kedua tangannya tidak mencengkeram jas yang Jongin kenakan.
Jieun bisa merasakan embusan
napas Jongin yang menyapu wajahnya. Rasanya hangat dan membuatnya tak keruan. Ia
merasakan sesuatu di perutnya bergejolak hebat setelahnya. Wajah Jongin kian
dekat, ia bahkan bisa merasakan hidung mereka bersentuhan.
Kedua mata Jongin masih menatapnya,
menyihirnya hingga ia tak berkutik sama sekali. Ia kemudian memejamkan matanya,
menahan napasnya begitu bibir penuh itu merekat di atas bibirnya. Ia bersumpah,
ia benar-benar tidak bernapas selama lima detik saking gugupnya. Ia kembali bernapas
ketika bibir Jongin bergerak di atas bibirnya. Rasanya lembut, hangat, dan agak
basah.
Astaga.
Jongin menjauhkan wajahnya,
pemuda itu mengulas senyumnya sementara Jieun hanya menatapnya dengan kikuk.
āAku jamin kau tidak akan pernah
merasa bosan denganku,ā ucap Jongin dengan penuh kesungguhan. Ia menarik Jieun
ke dalam pelukannya. Mendekap gadis itu dengan erat dan menenggelamkan wajahnya
di antara helaian rambut gadis itu.
****
Jongin POV
Seoul, 2014
Halo semuanya namaku masih Kim
Jongin. Kini aku adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu komunikasi di
Universitas Konkuk. Aku cukup keren, kan? Yah, hidupku memang mulai agak keren
setelah aku dan Jieun berpelukan sambil berderai air mata pada sore itu.
Astaga, itu memang memalukan tapi sayangnya aku juga sangat senang
mengingatnya. Oh ya, tanpa siapapun sangka, aku dan Jieun masih bersama hingga
detik ini. Kami tidak baik-baik saja, karena nyatanya kami memang sering
berdebat dan bertengkar. Sebenarnya aku ingin menjalani hubungan yang dipenuhi
dengan cinta kasih dan terlihat romantis seperti yang dilakukan Taemin dan
Naeun. Nampaknya sulit betapa keras kepalanya seorang Han Jieun dan betapa
payahnya diriku.
Ngomong-ngomong, Jieun itu adalah
seorang mahasiswi sastra Inggris di Universitas Seoul. Gadis itu sering sekali
membuatku jengkel. Menghabiskan waktu bersamanya membuatku mengerti kalau gadis
itu memang senang membuat orang kesal. Bayangkan saja, siapa yang tidak kesal
melihat gadisnya menempel dengan pria lain. Aku tahu Jieun hanya menganggap Joo
Won sebagai temannya, tapi aku tidak percaya pada pria itu. Joo Won itu lebih
tinggi dariku, lebih manis dariku, lebih sering menghabiskan waktu bersama
Jieun dibandingkan diriku. Jelas saja itu membuatku kesal. Bagaimana kalau
tiba-tiba Jieun berubah pikiran dan menyukai pria itu?
Dan tentang keluargaku, mereka
sudah mengetahui hubunganku dengan Jieun. Nenek dan bibi Junhee menentang
hubungan kami. Aku tidak terkejut dengan hal itu, walau begitu akupun tidak
menghiraukannya. Aku sudah keluar dari rumah itu dua tahun yang lalu setelah
uangku cukup untuk menyewa sebuah flat murah yang terletak tak jauh dari
kampus.
Kurasa mereka tidak berhak
mencampuri urusan pribadiku, seolah aku masih berada dalam tanggungan mereka.
Seperti halnya ayah yang tak kubiarkan untuk mengetahui banyak hal tentang
kehidupanku saat ini. Aku sudah keluar dari rumah itu dan bisa membiayai
hidupku sendiri. Yah, aku bekerja pegawai sebuah restoran dan penulis lepas
untuk sebuah surat kabar. Jadi aku menyimpulkan kalau ayahku tak berhak
mengurusi hidupku lagi. Toh, aku sudah mandiri.
Walau terkadang berada dalam
keadaan ekonomi yang sulit dan harus menahan lapar seharian, tapi hidupku saat
ini terasa lebih baik. Aku tak harus merasa buruk karena keluargaku tak
menginginkanku. Aku tak peduli, karena sekarang aku tahu ada banyak orang yang
merasa bahagia karena adanya diriku. Seperti para pembaca surat kabar yang
membaca artikelku, para pelanggan di restoran, bosku, teman-temanku, dan
tentunya Han Jieun.
āKim Jongin! Tutup laptopmu!
Kenapa sulit sekali menyuruhmu istirahat?ā
Astaga, gadis itu, gadisku yang
bawel dan menyebalkan. Ia berkacak pinggang sambil menatapku dengan kesal.
Ia merebut laptop di pangkuanku
dan menutupnya begitu saja, kemudian meletakkan benda itu di atas meja kopi.
āBerhenti bekerja terlalu keras.
Kau butuh tidur, jadi tidur sekarang juga!ā
āAku akan tidur kalau kau
bergabung di atas sini denganku.ā Ucapanku berhasil membuat matanya melebar dan
dengusannya terdengar sangat keras.
āSedang sakit saja masih bisa
berpikir begitu. Ckck.. dasar mesum!ā
Aku hanya tertawa melihat reaksi
galaknya. Huft, terkadang aku berpikir kenapa Tuhan tidak mempertemukan kami
lebih cepat. Tapi aku sudah bertemu dengannya sekarang dan itu sudah cukup.
Kalau saja aku bukan diriku, bukan Kim Jongin yang payah, aku pasti sudah mengatakan
segudang kalimat manis pada gadis itu. Aku pasti sudah mengatakan padanya betapa
aku sangat beruntung bisa bertemu dengannya, aku ingin selalu bersamanya, aku
ingin memiliki banyak anak bersamanya, dan kami akan terus bertengkar sampai
akhirnya tak bisa melakukan apapun lagi selain berbaring dengan mata terpejam.
Namun aku hanya Kim Jongin yang
payah, yang hanya bisa berteriak dan membuatnya kesal. Walau begitu aku selalu
berharap Jieun dapat memahami segala hal yang tak kukatakan padanya. Aku tahu
Jieun itu bukan semacam Edward Cullens yang mampu membaca pikiran orang lain.
Tapi aku berharap setidaknya gadis itu bisa merasakan ketulusanku padanya.
Astaga, aku benar-benar norak.
āCatatan Hati Seorang Jonginā
END
Halo semuanyaā¦. Akhirnya aku balik. Tadi baru aja liat kalo ternyata
aku udh menghilang selama dua bulan lebih 3 hari. Padahal aku gak punya niat
buat hiatus. Gpp yg penting aku balik..
Momen apa aja yg udh aku lewatin? Puasa dan lebaran. Oiya mohon maaf
lahir dan batin ya semuaā¦ aku tau ini telat banget, tapi telat itu lebih baik
dripada enggak sama sekali.
Satu lagi, HAPPY BIRTHDAY SALSA!!! Aku tau udah telat, tapi y udahlah. Jadi
sebenernya salsa itu ultah pas tgl 20 juli. Aku udh nanya ke dia, klo aku ngetik
ff, dia mau castnya siapa, terus dia bilang kai. Nah, tadinya aku mau publish
ff pas tgl 20, tapi apa daya? Selama bulan puasa dan libur lebaran, ide-ide
membeku, mengkristal. Aku gak punya ide ditambah males buka laptop. Pokoknya suram
bgt deh waktu itu. jadi ya udh aku g maksain diri buat ngetik, krna aku emg ga
janji apa-apa. Aku cuma nanya pendapat dia, salsa g tau kalo aku nanya buat
proyek ultahnya. Tpi pas hri minggu tgl 1, aku tiba-tiba kepikiran. Tadinya mau
bikin fluff, tapi setelah merenung panjang lebar, malah begini deh hasilnya.
Mohon maaf klo gak sesuai harapan. Hehehehā¦bisa nulis segini aja aku
udh seneng bgt. Oiya sebenernya ini ff oneshoot, Cuma menurut aku oneshoot dgn
kata lebih dari 8500 itu bisa bikin muntah, kecuali ceritanya seru bgt.
Dan kenapa harus ācatatan hati seorang Jonginā? kayaknya Galiema gak
kreatif bgt sampe bikin judul yg kyak judul sinetron si āhello kittyā.
Sebenernya aku emg lgi miskin ide, jdul itu aku dapet pas aku lgi nyusun
konsep. Konsepnya tuh ff ini kayak curahan hatinya Jongin, Cuma diambil dari
sudut pandang author. Genre ff ini kn angst gitu, miris bgt nasibnya Jongin di
sini. Y udh, awalnya aku Cuma iseng bilang ācatatan hati seorang Jonginā, ehā¦tapi
malah langsung āklikā. Kayakā¦..emang tepat aja. Pokoknya pas aku nyantumin
judul itu di posternya, aku langsung puas.
Karena menurut aku jdul itu emg yang
paling pas buat ngegambarin ff ini.
Walaupun tadinya aku takut bgt pke judul itu, karena takut disangka ff
lawak terus akhirnya gak ada yg bca. Tapi aku pke aja, aku nulis ini pke hati,
boong deh pke jari-jari tangan. Yah..pokonya aku udh berusaha sebaik mungkin. Semoga
ff ini bisa menghibur hati yang galauā¦ semoga ff ini merupakan petanda baik
buat aku, misalnya aku jadi rajin publish.. hehehehā¦y udhlahā¦aku udh ngoceh
terlalu panjang. Aku pamit yaahh.. Dadahhhhā¦
Have a nice day,
GSB
Aku selalu senang dengan story di blog ini.. rata" bukan cuma sekadar fanfic yg gitu" aja tpi juga ada nilai" kehidupan (?) Selalu ditunggu karya lainnya.. tetap semangat menulisnya ya untuk semua penulis di blog ini.. hwaiting!!!
ReplyDeletesemoga bnr yah..ada nilai kehidupannya.. btw thank u so much udh bca+komen, walopun aku gak tau kamu siapa, tpi dri setiap komen aku tau kmu org yang sama..thx krna udh ngikutin blog ini smoga g bosen! terus semangat!!
Delete