Feels Great






Cheonsa mendesah panjang sambil mengetuk keningnya. Ini benar-benar siksaan. Semuanya kacau. Beberapa menit yang lalu ia mendapatkan sebuah ide untuk tulisan terbarunya, namun saat ia membuka lembar kerjanya, WHUSSSHHH… Hilang begitu saja. 





Sudah sebulan lebih ia tidak melakukan kegiatan favoritnya tersebut. Menulis. Setiap kali ide datang dan rasa antusias memenuhi dadanya, pasti akan lenyap begitu ia membuka lembar kerja word-nya. Kata-kata yang biasa meluncur tanpa hambatan, kini begitu sulit untuk dikeluarkan. Sepertinya ia sedang terjangkit ‘sindrom’ aneh itu, lagi.




Apa salah dirinya? Ia pikir selama dua bulan menikmati waktu liburnya, ia bisa membuat banyak tulisan untuk ia terbitkan di blognya. Ah, jangankan dua atau tiga tulisan yang siap terbit, satu tulisanpun tak bisa ia selesaikan. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk melawan ‘sindrom’ aneh itu; memaksakan otaknya bekerja merangkai kata perkata, mengisi ulang cappuccino-nya yang tak pernah absen menemani, serta memperarui playlist di ponselnya.



Namun semuanya percuma, tak ada hasilnya. Hanya ada beberapa file berjudul aneh yang berisi tulisan setengah jadi atau bahkan seperempat jadi. Dan itu hanya memenuhi laptopnya dengan percuma, membuatnya dipenuhi harapan tapi ia sendiri bahkan tidak bisa menyelesaikannya.




“Kukira kau menenggelamkan diri di sungai Han saking depresinya.” Ia tak menghiraukan Kris yang baru saja keluar dari kamarnya. Pria itu berjalan menghampiri kulkas yang terletak tepat beberapa langkah di belakangnya.




Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskannya dengan perlahan. Baik, ia perlu berjuang lebih keras lagi. Dipandanginya dengan sungguh-sungguh lembar kerja yang masih kosong. Ia baru saja menghapus semua kata yang susah payah ia tarik dari otaknya.



“Wah, jadi ini yang kau kerjakan seharian? Menarik.” Suara menyebalkan itu menggelitik tepat di telinganya.



Kris kemudian menarik kursi di sebelahnya dan menempatinya begitu saja. Di tangannya terdapat sebotol air mineral yang baru diambilnya dari kulkas.




“Laptop ini benar-benar hebat. Membuatmu lupa makan padahal seharian ini kau duduk di meja makan, lupa mandi, dan menyesap entah berapa banyak gelas kopi. Serius Cheonsa, berhenti memaksakan dirimu.” Ia menatap sekilas ke arah Kris. Benar yang pria itu katakan, tapi ia tidak bisa, ia tidak mau berhenti.



Kris berdeham pelan, balas menatapnya sebelum akhirnya menutup laptopnya begitu saja. Cheonsa menatap geram pada pria berkaos tanpa lengan yang kembali meneguk air dari botolnya.




“Kau akan berterimakasih padaku karena sudah melakukannya,” ucap Kris sembari mengusap bibirnya.




Ya Tuhan, bahkan setelah membuatnya kesal pria itu masih bisa membuatnya berpikir yang tidak-tidak. Cheonsa mendesah sambil menyangga kepalanya dengan satu tangan.



“Kau sudah melakukan hal yang sama dalam seminggu belakangan, tapi apa semua itu menghasilkan sesuatu?”




Kris menatapnya dengan kilat penuh percaya diri. Pria itu tahu kalau dirinya akan memenangkan perdebatan malam ini.



“Tapi tidak ada salahnya berusaha. Maksudku, siapa tahu beberapa menit, jam, atau mungkin besok aku mendapatkan ide dan semuanya akan kembali normal. Aku bisa menulis tanpa hambatan seperti biasanya,” sahutnya tak mau kalah.





Kris hanya membalasnya dengan tatapan pasrah. Pria itu kembali meneguk airnya dan Cheonsa pun berusaha kembali mengumpulkan akal sehatnya.




“Tadi siang pacarmu telepon. Aku menjawabnya karena ponselmu terus berdering dan aku tidak sejahat itu untuk membangunkanmu.” Kris menerawang jauh ke depan, seolah bisa membelah kegelapan yang membentang di sekitar ruang tamu.




“Kalian masih bertengkar?”




Cheonsa melirik pada sosok yang masih menatap lurus ke arah ruang tamu. Seulas senyum kecut terbit di wajahnya.



“Tidak juga, Chanyeol memang suka membesar-besarkan masalah. Aku hanya sedang tidak ingin bicara dengannya saat ini. Itu saja.”



Kemudian hening. Terkadang Cheonsa merasa kehadiran Kris di sampingnya lebih dari cukup untuk membuatnya merasa semuanya akan baik-baik saja. Ia tak perlu berbicara panjang lebar, Kris pun tak akan memaksanya kalau memang ia tidak ingin melakukannya. Hanya begitu saja. Menikmati keheningan dan kehadiran satu sama lain dalam kegelapan yang tenang.




Cheonsa menjatuhkan pandangannya ke permukaan meja. Astaga, belum juga selesai masalahnya dengan ‘sindrom’ aneh itu, kini ia malah dibebani dengan perasaan aneh yang membuatnya lupa diri.




“Bagaimana kalau kau ikut denganku besok?” Kris sudah berdiri dari kursinya.




Cheonsa menatap pria itu tanpa menanggapi pertanyaannya. Ia hanya sedang menikmati apa yang bisa ia nikmati. Memandangi ekspresi sinis, alis tebal yang terjingkat angkuh, serta bibir penuh yang masih agak basah.




“Jangan tanyakan kemana kita akan pergi, karena akupun tidak tahu. Kita hanya akan keluar dari apartemen ini,” lanjut pria itu dengan gaya malas andalannya.




Lagi, Cheonsa tak memberi tanggapan. Hanya termangu memandangi sosok di hadapannya. Ia benar-benar tenggelam dalam pikiran jahatnya.




“Dan sekarang kau bisa melanjutkan kencan dengan laptop kesayanganmu itu. Semoga beruntung.” Pria itu menepuk pundaknya, kemudian berjalan menjauhinya yang masih membeku di atas kursi.




Cheonsa kembali mendapatkan akal sehatnya, begitu Kris menutup pintu kamarnya. Huft.. harusnya pria itu melakukannya dari tadi.




Ia memang menyukai kehadiran Kris di sampingnya, namun ia juga benci dengan pikiran aneh yang muncul setiap kali Kris berada di sampingnya. Seolah Chanyeol dan Elena tak pernah ada di kehidupannya dan Kris. Seolah keberadaan dua orang itu tidak cukup untuk menghentikan fantasi gilanya.



Tunggu. Cheonsa terkesiap begitu sebuah ide melintas di kepalanya. Dengan cepat ia meraih laptopnya dan menekan tombol power.




Setelah mengembuskan napas penuh keyakinan, ia lantas menarikan jemarinya dengan mantap. Seulas senyum optimis tak ayal terbit di wajahnya. 




Judul: Roommate



Punggung lebarnya bergerak menjauh, meninggalkan aku yang masih termangu di tempat. Terbersit ide untuk berlari ke arahnya dan memeluknya dengan erat. Namun segera kuenyahkan pikiran itu. Ya Tuhan, mau sampai kapan Kau akan menyiksaku seperti ini. Sampai kapan aku menyimpan fantasi kotor bersama teman seapertemen-ku itu. Maksudku ini Nathan. Pria urakan yang begitu bangga dengan keindahan fisiknya.




Ia merasakan ketenangan yang begitu dikenalnya saat suara tuts berbunyi saling bersahutan dan lembar kerjanya mulai dipenuhi rangkaian kata yang membuatnya tersenyum lebar saat kembali menatapnya.




Akhirnya setelah lama tak merasakannya, sekarang ia bisa merasakan kenikmatan tiada tara dari aktivitas favoritnya itu. Menulis, dan juga mengembangkan pikiran kotornya mengenai pria pemilik tato kalajengking itu. Satu kenikmatan dengan kualitas yang berkali lipat.






END 



Halo semuanya. Oke, langsung aja yah..
Berhubung aku pun lagi terjangkit sindrom aneh yang sama kayak Cheonsa, jadi yah aku jadi jarang nulis, apalagi update. Dan ff ini sebenernya bahan uji coba. Awalnya aku cuma mau nulis curhatan, tapi pas di pertengahan mikir ‘kenapa gak dimasukin karakter tertentu aja?’ dan kebetulan aku lagi kangen CheonRis jadi y udh..mereka nongol.

Gak kerasa yah, tgl 1 nanti aku udah masuk lagi ke kampus. Sumpah, ngebayanginnya aja udah ngedown. Makin ngerasa down lagi pas engeh kalo selama liburan aku gak nulis apapun, selain ‘Catatan Hati Seorang Jongin’. Selebihnya tulisan-tulisan gagal bertebaran dimana-mana, sampe kesel bacainnya berulang kali tapi tetep ga dapet feeling buat ngelanjutinnya.   

FF ini pun bisa kelar karena dipaksain bgt. Aku pengen banget publish sebelum kembali ke tempat asing yang mirip rumah sakit jiwa itu*kampus maksudnya* jadi walopun ff ini cuma ficlet gak bermutu, yah aku ngotot harus kelar. Semoga setelah ff ini aku bisa mulai nulis yg lebih panjang, ngelanjutin little secret ato marry me misalnya.  Baiklah itu aja, udh perih bgt mantengin layar laptop. Makasih buat yg udah baca..

See You,

GSB




Comments

Popular Posts