Let Love Lead part 8 (Yu Jin - James)
Aku berjalan terburu-buru menyusuri lobi J’S yang super
luas. Lalu memasuki elevator dan menghentak-hentakkan kaki menunggu benda ini
merangkak naik ke lantai 4. Ini adalah keadaan darurat. Aku harus menemui James
sekarang juga. Dia harus menyuruh adiknya membawa adikku pulang. Benar-benar
kelewatan. Ke mana mereka berdua? Apa yang mereka lakukan semalaman? Aku bahkan
tak tahu kapan persisnya mereka kabur. Apa tengah malam? Apa pagi buta? Atau
kapan?
Aku langsung melangkah keluar begitu pintu elevator terbuka,
dan…
Brak!!
“Astaga maa—“
“HEH! Gunakan matamu, keparat!” Maria berteriak. Ucapanku langsung terhenti. Aku tertohok dan menatapnya tak percaya. Dia memanggilku apa?
“Padahal aku baru saja mau bilang maaf, tapi mendengarmu
menyebutku seperti itu… tch… lupakan saja!” Aku langsung meneruskan langkah.
Maria menarik tanganku, dan detik selanjutnya kepalan tangan gadis blasteran
Inggris itu sudah melayang ke wajahku. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku
benar-benar terkejut, dan pusing, dan tidak terima, dan.. SIAL! Dia meninju
wajahku hanya karena bahunya tersenggol sedikit? Sinting!
“Ini keterlaluan!” teriakku.
“Ini tidak keterlaluan. Kau pantas mendapatkanya!”
“Hanya karena aku tak sengaja menabrakmu, maka aku pantas
untuk dianiaya?”
“Tidak juga. Rasa benciku padamu sudah menggunung. Ini
pembalasan dendam karena banyak hal, terutama untuk merebut pekerjaanku!”
“Aku tidak merebut!” protesku cepat. Maria tidak
mendengarkan, malah berjalan mendekat dengan mata berkilat.
“Sebenarnya apa yang sudah kau berikan pada James sampai dia
berubah bodoh begini? Kau tak mengerti apa-apa soal perkerjaannya. Kau tak bisa menjadi sekertaris James.” Memberi apa apanya?
"Aku memang belum mengerti, tapi aku bisa belajar."
"Ini J'S, di sini semua orang harus berkompeten. Kalau kau mau belajar, pergilah ke tempat lain!" Maria mendorongku dengan keras. Wanita ini kembali melakukan kontak fisik. Aku tak bisa diam saja.
“Kau akan menyesal pernah berurusan denganku.”
"Ini J'S, di sini semua orang harus berkompeten. Kalau kau mau belajar, pergilah ke tempat lain!" Maria mendorongku dengan keras. Wanita ini kembali melakukan kontak fisik. Aku tak bisa diam saja.
“Kau akan menyesal pernah berurusan denganku.”
“Oh ya? Memangnya apa
yang— BUGG!” Aku meninjunya saat ia sedang memainkan ekspresi wajah. Dan demi
Tuhan aku benar-benar puas.
Aku menepuk-nepuk telapak tanganku dan berjalan pergi.
Namun, tiba-tiba saja Maria berteriak kencang seperti pemimpin perang dan
menarik rambutku dari belakang. Aku tersentak dan refleks memegangi kepalanya.
Perkelahian pun terjadi. Kami saling jambak sampai jatuh dan berguling-guling
di depan lift. Ini masih sangat pagi. Karyawan yang sudah datang bisa dihitung
dengan jari. Tetapi aku tak bisa melihat atau mendengar siapa pun kecuali Maria
yang berteriak-teriak dengan bahasa planet lain. Dengan kata lain, dari
segelintir karyawan yang sudah datang itu, tak ada satu pun yang mau
repot-repot melerai kami.
Saat itu, terdengar suara lift yang terbuka. Kami masih
belum berhenti, aku pribadi tak akan berhenti sebelum dia memohon ampun—atau
pingsan sekalian. Saat itu, seseorang dari arah lift tiba-tiba saja menjatuhkan tas kerjanya dan segera merangsek
ke tengah-tengah kami—dan ikut terguling karena tidak cukup kuat. Entah
disengaja atau tidak, Maria bahkan menendangnya juga. Orang itu berjuang
sendiri memisahkan kami dengan kepala yang didorong-dorong dari dua sisi,
sambil terus berkata ‘sudah cukup!’ ‘apa yang terjadi?’ ‘Ya Tuhan, berhenti!’
“Kalian semua kenapa diam saja? Tolong bantu aku, cepat!” teriak
pria itu tak tahan. Dia adalah Yesung, jika aku belum bilang.
Baru setelah Yesung berteriak, karyawan yang tadinya hanya
menonton berhamburan memisahkan kami.
“Lepaskan aku! Dasar penyihir! Kemari kau! Heh lepas!” Kami
terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang memegangi Maria dan kubu yang memegangi
aku. Maria masih berontak dan berteriak seperti orang gila, sementara aku hanya
menatapnya sambil mengatur napas.
Aku masih terengah bukan main, bukan hanya karena
pertarungan tadi, tapi juga karena kesulitan menahan emosi. Demi Tuhan,
tanganku benar-benar gatal ingin merobek mulutnya. Dia membuatku benar-benar
marah dan kesal dan lelah dan ingin memotong pita suaranya dengan gunting. Dia
memanggilku keparat, bajingan, bitch,
witch, slut lalu meninjuku
berkali-kali dan membuat kemejaku berkerut dan menjambak rambutku dan mencakar
wajahku dengan kukunya yang seperti singa dan dia… Astaga! Memikirkan ini semua
membuatku semakin terengah. Dan asal kalian tahu gadis itu masih
berteriak-teriak menghinaku sekarang.
“Jangan dengarkan dia! Tarik napas,” kata Yesung pelan, dia
memegangi kedua tanganku di belakang. Aku menyentak tangannya.
“Aku baik-baik saja,” balasku masih terengah, lalu
memberikan isyarat padanya supaya tidak menyentuhku lagi. Yesung mengangkat
tangannya. Aku melirik Maria sambil mendengus keras dan segera berlalu.
“HEH PARK YU JIN! Kita belum selesai! Lebih baik kau hati-hati!” Aku hanya memutar mata. Dia benar-benar membuang waktuku,
seharusnya aku sudah bertemu James sekarang. Hyo Jin bisa jadi dalam bahaya dan
aku malah berkelahi tidak penting dengan orang tidak penting.
“Aku tak tahu siapa yang meninju mataku, tapi rasanya sakit
sekali.” Tiba-tiba terdengar suara pria, Yesung sedang berusaha menyamakan
langkahnya denganku. Ia menutupi matanya dengan sebelah tangan.
Kami berjalan bersisian. “Ini jadi mengingatkanku saat di
Jerman dulu. Aku tak sengaja menyikut seseorang di kantin saat berdiri, dan itu
mengenai matanya. Dia adalah Aaron. Kau harus tahu siapa Aaron? Dia mahasiswa
paling ditakuti, julukannya adalah bone-breaker.
Kau tahu rasanya menjadi anak semester 1 super cupu dan semua orang memerhatikanmu?
Itu gila. Maksudku, sangat gila. Kami terlibat perkelahian hebat dan dia hampir
mematahkan tulangku, tapi...” Suaranya mengawang di kepalaku. Yesung sangat
suka bicara. Ia bisa bicara 5 menit penuh dengan sedikit sekali jeda napas. Ia
senang menceritakan apa saja. Aku baru beberapa hari dengannya dan percaya atau
tidak, aku sudah bisa menulis biografi kehidupan Yesung selama di Jerman. Dia
menceritakan segalanya. Saat ia salah masuk kelas. Saat tetangganya yang sudah
punya pacar mengajaknya berpacaran diam-diam. Saat tetangganya itu memberikan
kue berisi ganja setiap minggu. Saat ia dipanggil ke depan untuk menjawab soal dan
dia berhasil dan semua orang memujinya dan tepuk tangan. Ayolah, ia tak pernah
sepintar itu di SMA. Apa ceritanya benar? Apa Aaron benar-benar ada? Apa dia
sungguh punya tetangga? Tidak ada yang tahu.
Sebenarnya tak ada yang berubah, ia juga seperti ini saat kami masih pacaran. Bedanya, dulu aku tak pernah merasa bosan. Aku senang mendengarnya bicara, aku senang melihatnya bercerita dengan berbagai ekspresi, aku senang dengan keberadaannya. Tapi sekarang berbeda. Aku sudah tak terbiasa dengan serbuan cerita yang menggunung. Semua tentang dia, dia dan dia. Aku lelah menjadi pihak yang selalu mendengarkan. Aku lelah mendengarnya.
Sebenarnya tak ada yang berubah, ia juga seperti ini saat kami masih pacaran. Bedanya, dulu aku tak pernah merasa bosan. Aku senang mendengarnya bicara, aku senang melihatnya bercerita dengan berbagai ekspresi, aku senang dengan keberadaannya. Tapi sekarang berbeda. Aku sudah tak terbiasa dengan serbuan cerita yang menggunung. Semua tentang dia, dia dan dia. Aku lelah menjadi pihak yang selalu mendengarkan. Aku lelah mendengarnya.
“Omong-omong, kau mau ke mana?” Ceritanya akhirnya selesai.
“Mr. CEO,” jawabku.
“Ini masih jam setengah delapan, si Mr. CEO belum datang,” ucapnya, tepat saat kami tiba di depan pintu. Aku memutar kenopnya dan
mendengus. Yesung benar.
“Sambil menunggu, berkenan menceritakan apa yang
terjadi?” Matanya mengarah pada Maria
yang tengah mengipas-ngipas wajahnya yang lebam.
“Tanyakan saja padanya! Kalian kan cukup dekat.”
“Ei, tidak usah cemburu! Kami hanya teman.”
“Kenapa aku harus cemburu? Dia yang jelas-jelas cemburu
padaku.” Yesung mengusap kepala belakangnya sambil mengeluarkan cengiran lebar.
“Jadi maksudmu kita terlibat cinta segitiga?” tanyanya
dengan sebelah alis naik.
“Bukan denganmu, tapi James.”
“Apa?”
“Dia mengira James menyukaiku.” Aku berjalan ke ruangan di
sebelah ruangan James, milik sekertaris CEO—milikku.
“Perkiraan yang masuk akal.” Suaranya terdengar tidak senang,
dan aku bisa membayangkan pria itu sedang memutar mata sekarang. Dia
mengikutiku sampai ke dalam dan duduk.
“Apanya yang masuk akal? James sempurna, dan aku hanya aku. Tidak mungkin seorang James menyukaiku,”
kataku, berbalik menghadapnya. “Dan apa yang kau lakukan di ruanganku? Keluarlah,
rapikan dirimu!” Aku menunjuk sebagian kemejanya yang keluar dari celana, lantas
mendekat ke sisi kaca. Yesung tak mendengarkan, atau mendengar tapi tetap tak
mau keluar. Ia memainkan kursi putarnya ke kiri dan kanan sementara aku menatap
pantulan bayangan diriku sendiri—yang kacau balau seperti terkena badai. Tidak lama
kemudian, Yesung bangkit dari kursi dan berdiri di sampingku. Dia juga terlihat kacau, tapi pria ini terlalu percaya diri untuk merapikan penampilannya.
“Kau sering melakukan ini?”
“Melakukan apa?”
“Bercermin di sini.”
“Ya.”
“Apa kau tidak takut?”
“Kenapa aku harus takut?”
“Yah, kau tahu, James bisa saja memerhatikanmu dari balik
kaca ini.”
Aku setengah tertawa, setengah mendengus, “Kenapa dia memerhatikanku?”
“Yah, karena dia—”
“Sepertinya James datang, aku harus menemuinya.” Aku
merapikan rambutku sekali lagi dan bergegas keluar.
“Karena dia menyukaimu.” Yesung berkata tepat saat aku
hendak membuka pintu. “Dia menyukaimu, itu jelas. Kau hanya pura-pura lugu.” Nada bicaranya naik, dan aku bisa mendengar napasnya yang memburu. "Maria bilang James berubah, karenamu. Dan aku selalu memergokinya sedang tersenyum memerhatikanmu tiap kali aku masuk. Dia licik. Lewat kaca satu arah sialan ini... dia bisa memerhatikanmu kapan saja.... Itulah kenapa ia memintamu menjadi sekertarisnya."
"Kalau kau tahu sebanyak ini, seharusnya kau tak perlu bertanya 'apa yang terjadi' dengan polos seperti tadi. Maria merasa tidak adil, kan? Aku mengerti. Tapi seharusnya dia tidak menyerangku, harusnya dia menyerang James, bukan aku."
"Itu benar. Tapi inti ucapanku adalah, dia menyukaimu."
Aku menghela napas, menahan tanganku di kenop pintu. “Apa masalahnya jika dia menyukaiku? Sejujurnya jika apa yang kalian katakan itu benar, maka bagus untukku. Dia kaya, tampan dan seorang CEO. Hidupku
terjamin. Iya kan?”
**********
Kami memang berjodoh. Tepat saat aku keluar ruanganku, James
memasuki ruangannya. Aku segera berlari dan menahan pintu itu sebelum tertutup,
lalu ikut masuk bersamanya. James yang baru berbalik—untuk duduk di
kursi—tersentak melihatku tiba-tiba berada di hadapannya, sedang bertolak
pinggang.
“Kau tak bisa mengetuk pintu?”
“Aku tak perlu mengetuk kalau pintunya terbuka.”
“Oke, ada apa?”
“Adikmu menculik adikku.”
“Apa?” James melotot kaget.
“Sekarang cepat telepon adikmu!”
“Hei, tunggu! Apa buktinya jika adikku yang melakukannya?”
“Kubilang cepat telepon dia!!”
“Tidak, sebelum kau memberiku bukt—“
“JAMES CEPAT!!!”
“OKE OKE KUTELEPON!”
James mengangkat ponselnya dengan kesal, lalu sesaat
kemudian… “Tidak aktif.”
“Handphone Hyo Jin juga tidak aktif. Tch, ke mana kira-kira
anak itu membawa adikku?”
“Mana aku tahu!”
“Kau kakaknya!!”
“Lalu bagaimana bisa kau membiarkan adikmu dibawa kabur? Kau
kakaknya! Terlebih kau tinggal serumah dengannya!”
“Aku tak membiarkan dia kabur! Anak itu kabur sendiri.”
“Berarti kau yang bermasalah. Dia tak akan kabur kalau—“
“JAMES!!! Ini bukan momen yang bagus untuk bertengkar! Adik
kita hilang! Teleponlah seseorang! Lakukan sesuatu seperti kau memata-mataiku
dulu! Kukira kau orang canggih.”
Pria itu mendengus. “Aku akan menelepon tukang bersih-bersih
di apartemennya.” James mengangkat teleponnya lagi.
“Kalian berdua tinggal sendiri-sendiri?”
“Kami hanya bertemu enam bulan sekali, atau setahun sekali,
saat natal.” James masih menunggu nada sambung. “Atau biasanya dia datang lebih
sering jika aku menghentikan transferan bulanannya.” Pria itu masih
sempat-sempatnya terkekeh. Dan detik berikutnya teleponnya diangkat.
Aku menunggu dengan tidak sabar, bersedekap sambil mengentak-entakkan kaki.
“Dia tak pulang semalaman.” James menurunkan ponselnya.
“Bagus!” Aku langsung mengusap muka. Bisakah sehari saja Hyo
Jin berhenti membuatku frustasi? “Lalu ke mana? Apa anak itu punya apartemen
lain? Atau villa?”
“Terakhir yang aku tahu, dia punya lebih dari 6 villa. Dan
informasi itu belum diupdate sejak 8 bulan.”
“Oh gila! Keluarga macam apa kalian?”
“Itu yang kupertanyakan sejak dulu!”
“Telepon seseorang!” Aku berteriak.
“Aku sedang melakukannya!” James balas berteriak. Dia memang
sedang mengangkat ponsel, dan aku malah berteriak ‘telepon seseorang’ seolah
pria itu hanya duduk dan diam. Jangan salahkan aku. Aku hanya panik.
“Ya, selamat pagi. Aku
butuh bantuanmu……… Tolong cari tahu apa L.Joe mengunjungi salah satu villanya
semalam.......... tolong kabari aku secepatnya………. Terima kasih.”
Aku langsung menjatuhkan diri di sofa, membuat suara-suara
aneh, meracau tidak jelas. Ini semua membuat perutku sakit, dan cemas, dan
nyaris gila, dan susah napas. Apa yang mereka berdua lakukan? Kenapa mereka
harus kabur berdua? Jujur saja, aku lebih senang jika Hyo Jin kabur sendiri. Setidaknya
aku tahu dia akan pulang saat uangnya habis. Kalau dia pergi bersama orang
lain—dalam kasus ini pria kaya— maka bisa jadi anak itu tak akan pulang karena
kehabisan uang. Ini gawat.
“Apa kau selalu sepanik ini tiap adikmu hilang?”
“Apa kau selalu setenang ini tiap adikmu hilang?” Aku
membalik ucapannya sambil menegakkan badan.
“Adikku selalu hilang. Justru aneh jika menemukannya di
rumah.”
“Oh wah, lucu sekali. Dari mana Hyo Jin menemukan anak itu?”
“Dia punya nama. L.Joe.”
“Aku tahu. Bahkan namanya terdengar lucu.”
“L itu nama keluarga, Lee.”
“Aku tahu. James Lee dan Joe Lee. Dan itulah kenapa nama
perusahaan kalian adalah J’S, yang artinya milik J, James dan Joe. Aku
memecahkan teka-tekimu dari dulu. Diamlah.”
“Itu bukan teka-teki jika terlalu mudah,” kata James dengan
tatapan ‘itu sungguh bukan teka-teki’. “Kau sungguh menganggap itu teka-teki?”
“Kenapa namamu tidak L.James?”
Saat itu, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. James langsung mengangkatnya.
Dia cuma berkata ‘halo’ dan ‘terima kasih’ lalu langsung menutupnya lagi.
“Bagaimana?” Aku langsung berdiri.
“Mereka di Suwon,” kata James.
“Ayo kita ke sana!”
**********
Kami berdebat lagi. Aku minta dibawa ke Suwon saat itu juga
sementara James bersikeras untuk tidak pergi. Ia bahkan menjadikan dirinya
sendiri sebagai jaminan, pria itu yakin adiknya tak akan melakukan apa-apa. Dia
juga bilang mereka mungkin akan pulang hari ini atau besok. Aku benar-benar tak
habis pikir. Mungkin James bicara begini karena adiknya laki-laki, dan mereka
tidak terlihat dekat. Sementara aku menjaga Hyo Jin dari bayi, dan anak itu
sangat unggul dalam menciptakan masalah. Setelah sepuluh menit adu mulut, akhirnya
James menyerah dan berdiri. Aku bersorak dalam hati, tapi tetap mempertahankan
ekspresi ‘kau membuang-buang waktuku’ dan berjalan keluar mendahuluinya.
James menyetir sendiri. Suwon tidak jauh dari Seoul. Mungkin
kami bisa tiba dalam satu atau dua jam. Pada awalnya itu yang kupikirkan, tetapi
setelah kami nyaris melewati perbatasan, barikade polisi dengan bendera yang
melambai-lambai menyapa. Ada longsor yang menutupi jalan. Kami harus putar
arah.
“Tenang, aku tahu jalan pintas,” ucap James sebelum aku
sempat mengatakan apa-apa.
Mobilnya berbelok ke kiri, ke jalan beraspal mencurigakan
yang terlihat lengang. Sepuluh menit, dua puluh menit, bukan hanya lengang, jalanannya juga
mengecil, hanya muat untuk satu mobil sekarang, dan berkali-kali James harus
mundur saat berpapasan dengan mobil lain. Aku menghabiskan bermenit-menit untuk
memaki orang-orang yang tidak mau mengalah, dengan James yang terus menghela
napas dan berjuang sendiri dengan setirnya. Kami berjalan lagi, kini jalanannya
sudah tidak beraspal, rumah-rumah yang tadi berjejer di kanan kiri mulai jarang.
James diam, memijit kening, menggigit bibir, tapi tetap konsisten menginjak
pedal gas. Ini mulai mencurigakan, tapi mungkin ia memang tahu, mungkin ini
memang jalannya. Bagaimana pun adiknya punya villa di Suwon. Seharusnya ia sudah
terbiasa. Ia pasti sudah terbiasa.
Aku berhenti melihat jam dan mulai bersedekap, perjalanan
panjang ini membuatku mengantuk. Saat itu James menghentikan tape-nya, musik yang dari tadi terdengar samar kini benar-benar
menghilang. Aku menoleh padanya, namun tetap tak mau bicara. Dia pasti tahu jalannya. Mungkin ini jalanan
memutar jadinya agak lebih panjang. Mungkin villa L.Joe ada di atas gunung.
Hingga…..
Mataku mengerjap-ngerjap dan baru menyadari kalau mobilnya
sudah berhenti. Aku menoleh ke kursi kemudi, James sudah menghilang. Dengan
cepat aku menegakkan badan, jalanan di depan kami masih sama seperti yang tadi.
Jalanan tanpa aspal, dengan pohon-pohon tinggi menjulang, dan juga beberapa
rumah tradisional yang jaraknya berjauh-jauhan. Aku segera menoleh ke kiri
kanan, lalu menyerong ke belakang. James. Pria itu sedang mondar-mandir di
belakang mobil, menelepon.
Aku nyaris membuka pintu mobil saat tiba-tiba saja ponselku berbunyi.
Nada pesan. HYO JIN. Mataku langsung terbelalak.
Aku lapar. Kenapa di
rumah tak ada makanan?
Untuk sesaat aku cuma bisa terbelalak memerhatikan pesan
itu. Dia di rumah. Park Hyo Jin sialan ada di rumah. Dia sudah pulang. Jin Ah
benar. Bahkan, James juga benar. Aku mengusap wajah, lalu mengetikkan pesan
dengan cepat.
Bagaimana bisa kau di
rumah? Aku sedang menyusulmu ke Suwon!
Saat itu, tiba-tiba saja pintu di sebelahku terbuka. Aku
refleks menyembunyikan ponsel di belakang badan. James menunduk ke arahku
dengan tampang gugup, ia tersenyum tipis. Aku balas tersenyum, lebih tipis,
lebih gugup. James mungkin akan membakarku hidup-hidup jika tahu Hyo Jin sudah
ada di rumah. Beruntung pria ini belum menelepon L.Joe, atau L.Joe belum
meneleponnya. Sama saja.
“Kau haus?” tanyanya.
“Ya,” jawabku cepat.
“Kalau begitu ayo turun.” Ia menyingkir memberiku jalan. Aku
keluar pelan-pelan, menoleh ke sekeliling.
“Di sana ada kedai kecil, mereka menjual minuman dan
makanan.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku berjalan kes ana tadi, saat kau masih tidur.” Memangnya selama
apa aku tidur?
“Kenapa kau tak membangunkanku?”
“Cepatlah keluar, aku mau mengunci mobilnya.” Aku menjauh dari
pintu. James menutupnya dan langsung menekan tombol pada kunci yang ia pegang.
Kemudian berjalan mendahuluiku sambil memasukkan kuncinya ke kantong celana.
Kedai yang James maksud berjarak kurang lebih seratus meter dari
mobil. Dan kedai kecil itu ternyata benar-benar kecil, terbuat dari kayu dengan
atap rendah. Dengan dekorasi kuno yang membuatku berpikir tempat itu sudah
berdiri sejak tahun 50-an. Semuanya terbuat dari kayu dan serat pohon, terlihat
benar-benar cokelat, kelabu, usang dan retak-retak. Aku dan James
terlihat seperti dua orang yang baru keluar dari mesin waktu.
“Siang.” James tersenyum pada si pelayan. “Anda punya
minuman atau makanan? Kopi, apa pun.”
“Tentu.”
Kami berdua duduk di belakang kayu panjang di hadapannya dan
langsung disuguhkan kopi. “Terima kasih.” Pelayan itu balik tersenyum.
James menyesap kopinya, lalu mengernyit dalam sampai dagunya
hampir menyentuh leher. “Jahe.” Ia menoleh padaku.
“Bagus. Aku suka jahe,” kataku, langsung menyesapnya. “Menyegarkan.”
Aku mengerutkan kening sambil mendecak puas dengan aroma dan rasanya. James mengangguk-angguk, namun
ekspresinya terlihat tidak setuju. Dia tidak suka.
Si pelayan kembali lagi. Kali ini sambil membawakan beberapa
potong roti panggang dengan selai kacang yang kasar. Pinggirannya gosong. Lalu
ada makanan yang berbeda di piring lain, terlihat berantakan. Itu seperti
daging, dan telur, dan sesuatu yang kenyal dicampur aduk bersama mayones.
Sang pelayan lalu meletakkan dua pasang sumpit di meja.
“Ada masalah,” kata James sambil mengambil salah satu
sumpit, kemudian menggunakannya untuk memakan daging yang terlihat
berantakan—untuk menghindari ucapannya sendiri.
“Aku tahu. Kita tersesat, mungkin bensinnya habis. Lalu? Ada
masalah apa lagi?” Aku merobek roti di bagian tengahnya dan memasukkannya ke
mulut. Selai kacang rumahan itu ternyata benar-benar enak, dan langsung meleleh
di mulut, dan rotinya gurih. Aku menahan diri untuk tidak langsung mencomot
potongan yang lain.
“Bukan. Aku hanya salah belok di awal. Bensinnya masih ada, aku
berhenti di sana karena terlalu sempit jika harus parkir di sini.”
“Intinya kita tersesat.” Aku memerhatikan roti itu dan
melirik James—yang sibuk memakan daging yang terlihat berantakan—sebelum akhirnya
mencomot potongan yang lain.
“Well, ada
handphone, mobil, uang. Kita baik-baik saja.”
“Hei, KAU!” seru James sembari berdiri. Aku refleks
menoleh. Ia bicara dengan seorang anak laki-laki belasan tahun, dengan kupluk hitam dan baju kebesaran.
“Bisakah kau membelikanku bensin?” James mengeluarkan
dompetnya.
“Tidak ada pom bensin di dekat sini," kata anak itu dengan raut menyesal. "Paman harus berjalan
melewati jalan setapak itu untuk sampai ke pemukiman sebelah, beberapa dari
mereka punya mobil, jadi pasti ada pom bensin juga di sana. Aku tak mau kalau harus jalan sejauh itu.”
James mengeluarkan lebih banyak uang.
James mengeluarkan lebih banyak uang.
“Oke. Berapa liter?”
James kembali duduk dan mengambil sumpitnya.
“Kau bilang belum habis?”
“Memang belum. Tapi tinggal dua baris,” jawabnya. “Aku tak mau
nekat berjalan sampai benar-benar habis. Kita pasti butuh lebih banyak bensin
untuk sampai di villa itu.” Berarti dia belum menelepon L.Joe, dan L.Joe belum
meneleponnya. Berarti dia belum tahu kalau Hyo Jin sudah di rumah, menanyakan
makanan.
“Hebat. Dua baris. Kalau tinggal segitu sebenarnya sah-sah
saja jika dibilang sudah habis. Dan sebenarnya aku mulai berpikir kita tak
perlu ke Suwon.”
“Tidak. Tidak apa-apa. Kita sudah sejauh ini.” James
meletakkan sumpitnya. Kemudian mengangkat cangkir kopi jahe dan mengernyit
sebelum sempat meminumnya.
“Ya, tapi…..”
“Kabar baiknya kita sudah di Suwon. Kita hanya harus keluar
dari pemukiman ini, kembali ke jalan raya, dan villa L.Joe akan segera
terlihat.”
“Oh, itu bagus. Tapi Hyo Jin sudah di rumah.”
“APA?” Kopi jahenya nyaris tersembur. Aku memejamkan mata,
siap-siap diteriaki.
"Dia di rumah?" Aku mengangguk pelan, memejam semakin erat.
“Kalau begitu syukurlah,” ucapnya. Ia malah berucap ‘syukurlah’. Aku
menoleh padanya. Tak habis pikir.
“Apa maksudmu dengan syukurlah? Ini saat yang tepat untuk
memakiku sungguh. Aku tak akan mendebatmu.” James terkekeh pendek sembari
meletakkan cangkir kopinya. Dia mengernyit lagi.
“Sejak kapan dia di rumah?”
“Dia mengirimiku sms beberapa menit yang lalu.” Aku
menggigit bibir. Jika James tak mau mengomel, bolehkah aku mengomeli diriku
sendiri? Menampar dan mencakar wajahku sendiri? Maksudku… seharusnya aku tahu
ini akan terjadi. Apa pun yang terjadi, Park Hyo Jin pasti akan pulang. Pasti.
Aku sudah membuang-buang waktu seorang CEO J’S yang terhormat, mengajaknya
berputar-putar di pemukiman pinggiran Suwon, duduk di kedai kecil yang
retak-retak, meminum kopi jahe sampai membuatnya mengernyit seratus kali,
memakan makanan berantakan, membuat sepatunya bergesekan dengan tanah basah.
Wow. Park Yu Jin… wow.
“Dan L.Joe tak melakukan apa-apa, kan?”
Aku mengedikan bahu. Itu sesuatu di luar pengetahuanku. Aku
tak punya indra keenam. Bahkan jika Hyo Jin bilang mereka tidak melakukan
apa-apa, belum tentu aku bisa percaya 100%. Mereka di villa semalaman, hanya berdua.
Aku tak bisa membayangkan mereka duduk berjauh-jauhan atau hanya menonton TV di
sofa. Itu aneh.
“Kau harus coba ini. Aku tak tahu apa ini, tapi rasanya
benar-benar enak.” Tiba-tiba saja James mengulurkan sumpitnya padaku. Tunggu,
dia mau menyuapi…. aku? Sungguh? Setelah semua yang kulakukan? Oke… ini mulai membuatku berpikir kalau apa yang
Maria dan Yesung katakan tadi benar—kecuali bagian ‘kau hanya berpura-pura lugu’ karena aku sama sekali tidak sedang berpura-pura, bukan berarti aku lugu juga.
Aku memakannya dan mengangguk-angguk dengan mata melebar.
Ini sungguh tidak kalah enak dengan selai kacang yang meleleh di mulut.
“Ini benar-benar enak.”
“Sudah kubilang.”
“Tapi ini juga enak.” Aku memindahkan piring berisi
potongan-potongan roti ke hadapannya. James mencobanya dan mengangguk-anggukkan
kepala. “Seperti ada sesuatu yang meleleh di mulutku,” komentarnya, “kacang.”
Aku mengangguk-angguk.
Saat itu aku baru sadar kalau ia mengeluarkan kemejanya,
membuka dua kancing paling atas, dan dasinya sudah entah di mana. Dia sudah
berpenampilan seperti ini sejak aku terbangun, tapi entah bagaimana aku baru
menyadarinya sekarang. Rasanya seperti sedang berkencan. Aku tak ingat kapan
terakhir kali aku berkencan. Tapi tersesat bersama James hari ini benar-benar
menyenangkan, sayang tersesatnya cuma di Suwon, harusnya Hyo Jin dan L.Joe
pergi lebih jauh. Jeju misalnya. Oke, bercanda.
“Kau memakai heels itu terus-menerus.”
“Kau memerhatikan heelsku?”
“Tidak. Hanya, biasanya orang-orang yang diberikan barang
akan berterima kasih. Setidaknya satu kali.”
“Aku sudah berterima kasih.” Aku mengerutkan kening.
“Oh ya? Kapan?”
“Tepat saat dia memberikannya.”
“Maksudmu Maria?”
“Maksudku Yesung,” balasku segera. Aku tak mengerti. Kenapa
tiba-tiba Maria?
“Yesung?”
“Ya. Dia yang memberikannya padaku.”
“Apa? Tapi harusnya, uh tunggu… apa Maria memberimu heels?”
“Tidak.”
“Sungguh? Di hari empati banjir bandang Mongolia.”
“Yesung memberinya hari itu.”
“Oke, itu aneh.” James memalingkan wajahnya ke depan. Ada
lipatan kasar di keningnya.
“Aku akan bertanya pada Yesung nanti,” ucapku segera.
“Tidak perlu. Itu cuma sepatu.”
“Jadi kau yang membelikannya?”
“Sudahlah, itu cuma sepatu.”
“Tidak. Ini bukan ‘cuma’. Kalau kau benar, berarti dia sudah
berbohong padaku di hari pertama kami bertemu. Dan aku tidak terima. Pantas
saja tiba-tiba anak itu tahu kalau heelsku pat—tunggu! Apa jangan-jangan bentuk
empati itu kau buat karena tahu heelsku patah?”
**********
Aku merindukan kantor
lamaku. Gajinya memang tidak seberapa, tapi aku merasa jauh lebih nyaman
di sana. Persaingan di sini benar-benar gila. Dan aku tak sanggup lagi. Belum
lagi seseorang berinisial ‘J’ di kantor ini benar-benar menggelikan. Dia boleh
kaya dan terpelajar, tapi apa sikap sombong, dingin dan kasar itu harus
ditunjukkan? Aku membencinya. Aku muak dengan sikapnya. Dan lelah rasanya harus
bersikap sok manis di depannya setiap saat. Dia tidak sebaik apa yang terlihat.
Klik.
Post.
TBC
Oke, part selanjutnya
bakalan balik ke konsep awal. Ini udah mau abis ko.. 2 atau 3 part lagi juga
selesai. Sabar ya kawan-kawan, bentar lagi kita ke garis finish huhu…
Dan sorry kelamaan
publishnya, aku g publish LLL bulan juli (Kan di awal aku bilang mau publish
lll tiap bulan, jadi yah… aku salah) Berhubung lagi libur semoga bisa publish
part 9 bulan ini ya. ;A;
Ini udah 8 part, ada
yang masih g ngenalin mukanya James kah?
Kl Mino, L.Joe, Uee,
Nana udah apal kan ya? Kl Hyo Jin mah bayangin aja OC suka-suka kalian, ini
anaknya… kembaran aku…
Anyyeong^^
Astaga betapa bahagianya ketika melihat part ini keluar.. astaga... ini keren sekali.. tetap semangat ya menulis story ini.. hwaiting!!!!
ReplyDeleteaku lebih bahagia lagi ngeliat komen km ;A; thanks a lot<33 sip semangat teruss( ง ^_^ )ง
Delete