Don't Go..
Main Cast = Jackson
Wang, Heo Youngji, Park Jiyeon
Length = Oneshoot
Genre = Friendship, Romance
Author = Salsa
***
“Pegawai terbaik bulan ini akan mendapat reward besar,” ucap Jackson, menirukan
suara berat presdir Song. Youngji tersenyum tipis dan memejamkan mata, ia masih
bisa mengingat semua itu dengan jelas. “Bekerja untuk perusahaan pusat, di
Switzerland,” lanjut sang pria, diiringi dengan suara tertahan Youngji yang
ikut mengucapkan bagian ‘Switzeland’.
“Tidakkah ini gila? Maksudku, bekerja di Switzerland? Wow!”
“Yeah, jadi OB.” Jiyeon datang tiba-tiba, langsung menghempaskan
diri di kursi dan mencomot kentang goreng.
“Yang benar saja! Kita tidak jadi OB,” bela Youngji.
“Benar. Kita akan jadi karyawan tetap. Yeah, kecuali jika
kau yang dikirim kesana.”
Jiyeon cuma mencebikkan bibir, lalu mencomot potongan
kentang yang lain.
“Seumur hidup aku tak pernah mendengar tawaran yang lebih
menggiurkan dari ini.” Youngji kembali pada euphorianya akan Switzerland dan
mulai mengaktifkan tatapan menerawang—lengkap dengan kedua tangan yang
menyangga dagu, dan senyuman tentu saja.
“Benar. Dan semua orang tahu siapa yang akan menang.”
Jackson melakukan hal yang sama, dengan tatapan yang sama.
“Ya,” sahut Youngji
“Aku.”
“Aku.”
Keduanya langsung menegakkan badan, menatap satu sama lain
tidak terima.
“Oh Jackson Wang, jangan gila! Aku punya banyak sanggahan untuk
ini. Pertama, presdir Song jelas tak menyukai penampilanmu. Memakai snapback di
kantor, merasa paling keren, ew menggelikan. Kau sudah 8 kali kena tegur kan?
Atau 9? 10? Siapa peduli. Kedua, kau tak pernah menjadi pegawai teladan
sekali pun selama 2 tahun bekerja! Jadi apa yang membuatmu merasa bisa menang
untuk kali ini? Hei, sebagai teman yang baik, aku hanya ingin mengingatkan,
bermimpilah sesuai kemampuan! Sebenarnya aku tak tega untuk mengatakannya
begini, tapi…. kau tahu, keajabaian hanya ada di negeri dongeng. Jadi....”
Youngji menjentikkan jarinya di depan muka Jackson. “Bangun!” Pria itu
tersenyum kecut sambil menggeleng-geleng.
“Kau harus tahu perbedaan antara tidak mampu dan tidak mau
sombong. Selama ini aku hanya belum mengeluarkan kehebatanku saja, aku hanya
merasa titel pegawai teladan benar-benar aneh dan murahan, maksudku… siapapun
bisa jadi pegawai teladan, kan?”
“Apa?” Youngji yang sudah menyandang predikat itu 9 kali
merasa benar-benar dijatuhkan. Siapapun bisa jadi pegawai teladan dia bilang?
“Well, dengar!
Jika aku mau, aku bisa saja menjadi pegawai teladan tiap bulan. Memangnya apa
lagi yang didapat ‘pegawai teladan’ selain fotonya dipajang di lobi sebulan
penuh? Itu memalukan! Tapi sekarang rewardnya
bertambah, dan aku merasa perlu untuk sedikit berusaha.”
“Sedikit berusaha? Lucu sekali.”
“Kau akan terkejut dengan pengumumannya! Aku jamin itu.”
“Aku jamin tidak akan ada yang terkejut, karena juara
bertahannya pasti akan menang.”
Youngji mengalihkan pandang pada Jiyeon.
“Menurutmu siapa yang akan menang?” tanyanya.
Jiyeon menghentikan jarinya yang bergerak lincah di layar
smartphone, lantas mengangkat kepala. Kedua orang di depannya tengah memberikan
tatapan ‘cepat-sebut-namaku’ yang intens.
“Terserah. Tapi kuharap bukan aku, dan bukan kau.” Ia
menunjuk Youngji. Seketika membuat Jackson merekahkan senyum kemenangan, “… dan
bukan kau juga, Jack,” lanjut Jiyeon sambil memutar mata, sukses membuat senyum
di wajah sang pria menghilang.
“Aku tak mau kita berpisah gara-gara hal konyol ini.”
“Ini bukan hal konyol. Ini namanya kesempatan emas. Kapan
lagi kita bisa bekerja di Swiss?”
“Apa bagusnya bekerja di Swiss? Lagipula kita tidak bisa
bahasa Swiss.”
“Mereka menggunakan bahasa Jerman,” ralat Jackson.
“Ya ya, apapun itu,
memangnya kalian bisa?”
“But we can speak
English,” ucap Jackson, sengaja menggunakan aksen british. Youngji
meliriknya malas.
“Oh, terserah. Tapi kalau sampai aku yang menang, aku
bersumpah tidak akan mengambilnya.”
“Kau tak mungkin menang, Jiyeon~a. Jadi tak usah repot-repot
bersumpah,” kata Jackson.
“Dan kau pun begitu Jackson Wang,” sambung Youngji seraya
berdiri. “Tidak usah repot-repot berusaha, sudah jelas aku yang akan menang.”
Jiyeon ikut berdiri. “Tidak ada dari kita yang akan menang.
Serius aku akan berdoa sebulan penuh.”
“Tidak tidak, aku juga akan berdoa sebulan penuh demi
kemenanganku. Aku yang akan ke Switzerland,” kata Jackson, juga berdiri. Ketiga
orang itu saling melempar pandang sengit dan berbalik badan, berjalan ke arah berlawanan.
*********
Dua minggu berlalu dengan cepat, dan melelahkan. Youngji
keluar dari kubikelnya dengan setumpuk map. Nyaris semua karyawan di perusahaan
sudah pulang sejak dua jam yang lalu. Ia hampir sepenuhnya yakin bahwa dirinya
adalah satu-satunya orang di gedung ini saat….
“Jackson.” Ia menggumam. “Kenapa dia masih disini?”
Suara keyboard yang ditekan terdengar intens dari
kubikelnya. Youngji tak bisa melihat pria itu karena tertutup kubik. Lampu di
atasnya menyala.
“Jack, kau belum pulang?” Jackson menjulurkan kepalanya ke
atas, lalu tersenyum melihat Youngji dan berdiri.
“Belum. Kenapa? Takut?”
“Kenapa aku harus takut?”
“Because I’m more hardworking?”
Jackson tak menggunakan snapbacknya lagi sejak persaingan memperebutkan tiket menuju Swiss ini dimulai. Dia lebih rapih. Dan sejujurnya Youngji memang khawatir. Perkataan Jackson barusan benar, pria itu memang lebih giat daripada dirinya. Jackson menyelesaikan tugas untuk 1 minggu dalam 3 hari. Entah bagaimana caranya.
“Yeah, true. But I’m cleverer anyways, so.. nope,” balas Youngji dengan senyum simpul—yang entah
bagaimana terlihat menjatuhkan, lantas melenggang pergi.
Percakapan-percakapan saling menyudutkan seperti itu
mewarnai hari-hari mereka, tak ada hari tanpa mengkritik satu sama lain, tak
ada hari tanpa lembur, tak ada hari tanpa mata berkantung, ataupun setumpuk
map, dan jangan lupakan satu mug besar kopi.
Jujur saja, Youngji mulai tak tahan dengan semua ini.
Jackson yang sedang menginginkan sesuatu tampak sangat mengerikan, dan ia
merasa benar-benar tengah berada di medan perang. Waktu istirahat mereka
habiskan dengan saling diam, kedua orang itu ada dalam satu meja—bertiga dengan
Jiyeon—tapi sibuk masing-masing, membaca paper kerja sambil mengunyah sandwich
dengan serius. Jiyeon yang tak tahu harus apa akhirnya lebih sibuk dengan
ponselnya. Ini gila. Persahabatan 12 tahun mereka nyaris putus karena
Switzerland.
Sore itu, Jiyeon—yang selalu pulang tepat waktu—terpaksa
menunggu sedikit lebih lama di lobi kantor. Ada pekerjaan khusus untuknya. Alex,
perwakilan mitra dari Singapura yang dijadwalkan datang jam 12 siang mengalami
delay pesawat hingga jam 7. Karena keterbatasan waktu, ia tak bisa mengunjungi
kantor dan akan langsung lepas landas lagi jam 9. Jadi mau tak mau Jiyeon yang
harus mengantarkan proposal desain jam tangan ke bandara.
“Ya Tuhan, kau masih menganggapku teman apa tidak sih? Jack,
temani aku!”
“Naik taksi kan bisa.”
“Jackson Wang!!”
“Waee???” Pria itu menekan salah satu tombol di keyboardnya
dengan kencang, lalu beralih pada Jiyeon yang kesal.
“Kau bekerja seperti orang sinting. Berhentilah!”
“Aku tidak akan kemana-mana sebelum gadis itu pulang.”
Jackson menoleh ke arah meja Youngji—yang sama sekali tidak kelihatan dari
tempat mereka sekarang. “Dia masih bekerja, jadi aku HARUS masih bekerja juga.”
“Kau tahu rasanya menjadi teman yang diabaikan?”
“Ha?”
“Aku merasa paling diabaikan disini. Apa apa Youngji, bilang
saja kau masih disini karena ingin menjaganya. Aku tahu kau menyukainya, tapi bukankah
sebagai sahabat kau harus menjagaku juga? Aku tak akan merengek kalau bandara
Incheon itu bisa ditempuh dalam waktu 15 menit dengan taksi, bandaranya jauh.
Aku butuh tumpangan.”
Jackson terdiam selama beberapa saat.
“Jackson!”
“Ayo pergi,” ucapnya seraya berdiri, menyambar kunci.
**********
“Darimana kau tahu?”
Setelah larut dalam keheningan selama bermenit-menit,
Jackson akhirnya bersuara. Jalanannya lancar sehingga detik ini mereka sudah berada di kursi
tunggu bandara. Pesawat Alex baru akan lepas landas 20 menit lagi.
Jiyeon menekan kuku-kuku jarinya di pinggiran kursi. Gugup.
“Sepertinya ini sudah saatnya aku bilang padamu.”
“Bilang apa?”
“Kau ingat kita bertiga pernah main truth or dare saat awal masuk kuliah?” Jiyeon tak berani menatap
pria di sebelahnya sama sekali. Ia terus menatap ke depan, mengamati
taksi-taksi bandara yang berlalu lalang.
“Ada satu tantangan, menulis nama orang yang kita suka di
kertas,” lanjut Jiyeon, “kau ingat?”
“Ya. Kita memasukkan kertas itu di botol kosong dan berjanji
akan membukanya satu tahun kemudian.” Jackson tertawa pendek. “Sayang sekali
botolnya hilang.”
“Itu tidak hilang.”
“Apa?”
“Kalian salah besar menitipkannya padaku.”
“Kita bermain di rumahmu waktu itu.”
“Yeah, tapi… aku membukanya.” Jiyeon menggigit bibir, dan
akhirnya memberanikan diri menoleh pada Jackson. “Aku mencongkel botol itu
dengan obeng dan membuka kertasnya saat kalian pulang.”
“Kenapa?” Jackson tak habis pikir.
“Aku hanya penasaran!” sambar Jiyeon. “Dan aku tak bisa
menunggu satu tahun untuk tahu siapa yang kedua sahabatku suka, maksudku,
kalian sudah tahu jawabanku, Zhoumi.”
Jiyeon terus bicara.
“Karena aku memang tergila-gila padanya sejak SMA, dan
kalian tak perlu membaca kertas itu untuk tahu.” Suaranya kian rendah. “Dan
menurutku itu tidak adil.”
“K..kau.. membacanya?”
“Yeah, dan aku benar-benar syok, dan takut, dan aku
benar-benar tak ingin kalian berdua tahu siapa nama di kertas-kertas itu.”
“Karena aku menulis…”
“Karena kalian berdua menulis nama satu sama lain," potong Jiyeon. "Dan aku
takut itu akan merusak persahabatan kita. Pikirkan saja, kalau kalian pacaran,
bagaimana denganku? Kau bebas menyukai siapa saja kecuali aku dan Youngji,
karena kita sahabat, dan seharusnya sahabat tidak….. tidak…. oke aku salah, itu
pemikiranku 6 tahun yang lalu, dan sekarang aku minta maaf.”
“Tunggu, jadi Y..Youngji.. menulis namaku?”
“Iya, gila kan? Maksudku, apa hebatnya kau?”
“Youngji menulis namaku? Dia menyukaiku?” Perlahan-lahan
Jackson tersenyum. “Kalau ada penghargaan untuk manusia-paling-susah-ditebak,
gadis itu harus jadi pemenangnya. Serius. Youngji selalu terlihat muak denganku,
siapa sangka dibalik semua itu ternyata dia….. ” Jackson terkikik lalu mulai
tak bisa menghentikannya. Ia tertawa bahagia. Mukanya bersemu sendiri.
Jiyeon meliriknya sambil menggeleng-geleng. Saat itu
ponselnya berbunyi.
“Alex sudah menelfon. Aku akan menunggunya di pintu
kedatangan.”
“Tunggu!” Jackson menangkap tangan Jiyeon. “Kenapa kau
mengatakannya padaku? Kau bisa saja berbohong seumur hidup, aku dan Youngji
bahkan tak pernah mengungkitnya lagi.”
“Karena akan lebih baik melihat kalian berdua pacaran
daripada harus merelakan salah satu dari kalian pergi. Kau tahu, firasatku
bilang salah satu dari kalian akan ke Swiss.”
“Aku jamin tak ada dari kita yang akan pergi.”
Jiyeon tersenyum hambar, lalu mengedikan bahu. “Kuharap.”
**********
Youngji keluar dari kubikelnya dengan wajah cerah yang
dibuat-buat, lalu begitu melewati kubikel Jackson—dan sadar anak itu sudah tak
ada— wajah cerah itu langsung berganti menjadi lesu. Siapa yang tidak lesu jika
harus lembur berturut-turut selama tiga minggu? Ia hanya tak ingin Jackson
mengiranya memaksakan diri—sialnya aku
memang memaksakan diri.
Gadis itu bersandar di sisi kubikel milik Jackson dan
mengusap wajahnya. Lelah. Dia benar-benar lelah. Ia menghela napas berat dan
memejamkan mata.
“Youngji?”
Gadis itu refleks berdiri tegak, membuka mata.
“Presdir, anda masih disini?”
“Kau selalu pulang jam segini?” Pria dengan setelan jas rapi
itu memandangi betapa merahnya mata Youngji dengan khawatir.
“Ya.”
“Ada yang ingin kukatakan padamu.”
**********
“Entahlah, aku tak yakin. Bagaimana kalau ditolak?”
“Itu tidak mungkin. Dia menyukaimu.” Jiyeon membuka gulungan kecil bertuliskan ‘Jackson’—yang ditulis oleh Youngji 6 tahun lalu.
Mereka berdua keluar dari kubikel Jackson dan berjalan
beriringan menuju Youngji, lengkap dengan serangkaian mawar di balik punggung
sang pria. Gadis itu masih mengetik dengan wajah serius.
“Hei.”
Jackson memulai, wajahnya berseri. Ia tak pernah segugup ini
seumur hidup.
“Punya waktu?” Youngji menghentikan aktivitasnya dan
mendongak.
“Semuanya, kita dipanggil presdir. Tolong segera berkumpul
di aula, sekarang!” Salah satu karyawan tiba-tiba berteriak. Semua orang,
termasuk Youngji, berdiri dari tempat duduknya. Jackson baru saja membuka mulut
saat itu terjadi.
“Kau mau bicara apa?”
“Tidak, nanti saja.” Jackson menekan mawarnya semakin dalam ke
punggungnya dan mundur selangkah, memberi jalan.
“Apa yang kau lakukan?” bisik Jiyeon, ketika Youngji sudah
pergi.
“Kita dipanggil presdir,” jawab Jackson dengan ekspresi
‘memangnya kau tak dengar?’. Jiyeon mendengus, menyenggol lengannya dengan
sengaja dan setengah berlari mengikuti Youngji.
Pria itu menghela napas, lalu ikut berjalan seperti semua
pegawai disana. Ia berhenti di belakang kerumunan. Presdirnya yang memakai
setelan jas rapi berdiri menghadap mereka, siap berbicara.
“Selamat siang,” ucapnya memulai.
Untuk beberapa menit setelahnya, Jackson tenggelam dalam
pikirannya sendiri. Ia memerhatikan si presdir, lalu memerhatikan
pegawai-pegawai di sekelilingnya, lalu matanya menangkap Youngji dan Jiyeon
yang berdiri bersisian. Youngji terlihat lesu. Sejak pagi tadi gadis itu
terlihat lesu. Seperti sesuatu baru saja direnggut darinya. Seperti ada yang
salah. Ia mulai berpikir untuk menunda pernyataan cinta ini. Ia hanya… tak
yakin.
Saat itu, tiba-tiba saja semua orang bertepuk tangan. Dan
semua orang menoleh padanya. Jackson terkesiap, tersadar. Salah satu rekannya
menarik paksa lengannya, ia didorong ke depan, dengan iringan ucapan selamat
dari semua pegawai yang ia lewati. Dan disanalah ia sekarang, berdiri bingung
di samping presdirnya yang terus tersenyum. Jackson lupa kalau ia sedang
memegang buket mawar, dan sekarang mawar itu tergantung di tangan kirinya—nyaris terlihat seperti ia
sudah tahu akan menang dan memutuskan untuk membeli mawar untuk dirinya
sendiri. Ekpresi wajahnya terlihat benar-benar kosong, dan baru mengerti saat
sang presdir menyematkan pin pegawai teladan sembari memberinya selamat.
“Aku menang?”
“Selamat Jackson Wang!”
“Tapi aku tidak mau ke Swiss.” Suaranya terdengar seperti bisikan, seperti anak kecil yang siap menangis.
“Tapi aku tidak mau ke Swiss.” Suaranya terdengar seperti bisikan, seperti anak kecil yang siap menangis.
“Kau tidak perlu ke Swiss,” ucap sang presdir, mengurai
senyum.
“Benarkah?”
“Tentu. Seperti yang kubilang tadi.”
“Terima kasih banyak.” Jackson menjabat tangan presdirnya
kuat-kuat dengan wajah berseri. Lalu berbalik ke depan dan mengangkat buket
mawarnya tinggi-tinggi, mengayunkannya beberapa kali, diiringi dengan tepuk
tangan riuh semua pegawai.
Tak lama kemudian kerumunan itu mulai membubarkan diri.
Jackson melompat dari undakan dan mencari-cari seseorang. Suara pegawai di sekelilingnya
terdengar berdengung, mereka sangat banyak dan semuanya bicara bersamaan.
Youngji tidak ada di tempatnya berdiri tadi, Jiyeon pun begitu. Berkali-kali ia
menabrak beberapa pegawai yang berjalan di depannya, lalu meminta maaf. Youngji mungkin marah karena aku yang
menang.
“Hei.” Ternyata Youngji sudah kembali ke mejanya. Disana
juga ada Jiyeon, berdiri di depan kubikelnya dengan mata memerah.
“Aku menang.” Jackson tersenyum, menunjukkan pinnya.
“Tunggu, ada apa?” Tak ada yang menjawab. Jackson tertawa tertahan dan mengusap
mata berairnya dengan punggung tangan—yang memegang buket mawar.
“Oke, aku menang, tapi ini bukan salahku kan? Aku bekerja
lebih keras dari kalian.” Jackson mengusap air matanya lagi. Ia hanya tak
percaya ia yang menang, dan mengalahkan Youngji, dan mendapat tepuk tangan dari
semua orang, dan jika dilihat dari dekat ternyata senyum presdir lumayan
menawan. Ia ingin menang lagi bulan depan.
Jiyeon mulai menangis sampai sesenggukan. Sementara Youngji
menunduk dalam, dengan telapak tangan di kening.
“Oh ayolah, kalian harusnya senang melihatku senang.”
Jackson menggoyangkan bahu kedua gadis itu bergantian, sambil tertawa dan
menangis. Tapi keduanya tetap tak bereaksi.
“Aku tak mengerti sekarang. Ada apa? Kalian takut aku
meninggalkan kalian? Tidak, tidak, aku tidak ke Swiss.”
“Memang bukan kau
yang ke Swiss,” kata Youngji tiba-tiba, mengangkat wajah dengan cepat. “Tapi
aku.”
“Apa?”
“Jack, kau tak dengar tadi presdir bilang apa?” Jiyeon ikut
mengangkat wajahnya—yang basah, berteriak.
“Bilang apa? Dia bilang aku yang menang.”
“Kau yang menang, tapi Youngji yang akan berangkat,” jawab
Jiyeon, semakin sesenggukan.
“Kenapa? Itu tidak adil. Harusnya aku.”
“Harusnya tidak kalian berdua,” racau Jiyeon.
“Presdir menemuiku kemarin malam, dia sudah menentukan… aku
akan berangkat lusa.” Youngji menghela napas. Ia tidak menangis, tetapi
wajahnya memerah, matanya memerah.
“Tidak boleh. Tidak bisa. Kenapa kau? Perjanjiannya bukan
begitu. Aku yang menang.”
“Tapi aku yang terpilih.”
“Tidak.”
“Ya.”
“Aku yang menang.”
“Kalau begitu selamat.”
“Aku tidak butuh selamat. Aku butuh kau. Jangan pergi!”
“Ini mimpiku. Kau tak bisa menghalangiku.”
“Kami sahabatmu. Seharusnya kami bisa.”
“Kau tak boleh pergi. Kalau kau tidak ada, aku bagaimana?”
Jiyeon menangkup tangan Youngji dan menangis disana.
“Ada Jackson.” Jiyeon menggeleng-geleng.
“Apa Swiss lebih penting dari kami berdua?” Jackson menarik
tangan Jiyeon dengan kuat, membuat gadis itu berdiri di sampingnya. Jiyeon
mencoba menghalangi eyeliner-nya yang rusak dengan sebelah tangan.
“Bukan begitu Jiyeon~a. Tolong mengerti~”
“Jangan pergi! Demi kami.” Jackson bicara dengan tegas.
“Aku akan pergi,” ucap Youngji bulat.
“Tapi kami sahabatmu,” kata Jackson tak percaya, “dan aku mencintaimu.” lanjutnya dalam
hati.
“Ya. Dan sahabat seharusnya senang melihat sahabatnya senang.
Jika kalian terus-menerus menangis dan menyuruhku untuk tidak pergi, demi Tuhan
lupakan saja persahabatan ini.”
“Youngji, apa yang kau katakan?” Jiyeon menyentak tangan
Jackson dan maju sampai kakinya mengenai kursi Youngji. “Kau benar-benar
membuatku kecewa. Apa semua tahun yang kita lalui bersama tidak ada artinya?
Apa kau tak mau bersama-sama kami lagi? Kau tak mau bertemu aku dan Jackson
lagi? Begitu? Hah?”
“Kau tahu, itu konyol. Ada sns, ada video call, kau bisa
menghubungiku kapan saja, kita bisa berbicara kapan saja. Lagipula aku akan
pulang tiap tahun. Dan......” Youngji menghela napas, lalu menatap kedua
temannya bergantian. “Kita tak harus bertemu setiap hari untuk bisa dikatakan
bersahabat, kan?”
“Oke, ini memang berat. Aku menangis semalaman karena ini.
Awalnya Swiss terdengar gemerlapan, dan keren, dan aku harus mendapatkannya.
Tapi saat semuanya semakin dekat, dan semakin nyata, dan benar-benar menjadi
kenyataan, sebagian dari diriku justru menolak, aku justru tak ingin pergi.
Tapi sebagian yang lain berbeda, ini ambisiku, ini mimpi menjadi nyata, dan aku
mungkin akan menyesal seumur hidup jika tidak mengambilnya. Lama-kelamaan
kalian akan mengerti, kalian pasti mengerti. Harus.”
“Ya, benar. Selamat jalan,” ucap Jackson pelan, lalu pergi.
“Aku akan memikirkan kata-katamu,” Jiyeon menghapus air
matanya dengan hati-hati—menggunakan telunjuk. “Dan kau mungkin bisa memikirkan
kata-kata kami juga. Masih ada waktu untuk berubah pikiran.”
Lawan bicaranya tersenyum, lalu menggeleng pelan.
“Tidak. Aku sudah memikirkan ini,” kata Youngji, “aku tidak
akan berubah pikiran.”
Jiyeon mengedikan bahu, menghela napas, lalu tersenyum kecut
ke arahnya. “Baiklah. Aku tidak akan memaksamu lagi.”
Kemudian........ “Jack,
tunggu!” Berlari mengikuti Jackson.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa tidak bilang?” tanya Jiyeon
saat mereka sampai di meja sang pria.
“Entahlah, aku tak ingin.”
“Kenapa?”
“Mungkin lebih baik kita hanya bersahabat,” ucap Jackson
seraya mengangkat bahu. “Maksudku, aku tak ingin mengatakannya sekarang. Di
situasi seperti ini. Di situasi dia akan pergi.”
“Setidaknya biarkan Youngji tahu.”
“Tidak. Tidak semua hal menggunakan prinsip itu. Dan untuk
kasus ini, kurasa akan lebih baik jika dia tidak tahu.”
“Aku tak mengerti.”
“Ini sudah menjadi rahasia bertahun-tahun, apa salahnya merahasiakan ini lebih lama?”
“Bagaimana jika ternyata dia masih menyukaimu?”
“Bagaimana jika ternyata dia masih menyukaimu?”
“Itu gawat. Ini mimpinya. Aku tak mau jika aku bilang
sekarang dan malah membuatnya menjadi berat untuk pergi. Lagi, aku tidak mau
menjalin hubungan jarak jauh.”
“Well, sejujurnya
aku tak yakin dia masih menyukaimu.”
“Itu juga gawat.”
“Kenapa?”
“Tentu saja gawat. Itu seperti pukulan berlapis untukku.
Cinta ditolak dan ditinggal pergi sahabat. Tidak terima kasih.”
“Jadi, maksudmu lebih baik jadi pecundang?”
“Bukan pecundang, ini namanya berjiwa besar.”
“Cih, jiwa besar? Kau hanya sedang menghindar. Apa kau akan
mengatakannya pada Youngji jika ia kembali?”
“Jika aku benar-benar tidak bisa jatuh cinta dengan gadis
lain, apa boleh buat?” Jackson meliriknya, lalu mengangkat bahu lagi.
“Dan mungkin jika hari itu datang, kau sudah sangat
terlambat. Dia mungkin saja sudah menggandeng pria Swiss yang keren.”
“Tidak apa-apa.”
“Kau rela?”
“Itu konsekuensi. Jadi tentu aku harus rela.”
END
Happy 4th anniversary GIGSent Fanfiction!!
Oke, seperti yang udah kim dhira bilang di postingan sebelumnya, challenge buat anniv taun ini adalah bikin ff dengan cast, tema
dan genre yang udah ditentuin sama author lain. Dan kebetulan aku dapet
challenge-nya dari GSB. Castnya Youngji-Jackson-Jiyeon, genrenya not so
romance-friendship-angst, dengan latar mereka kerja di tempat yang sama tapi ga
bisa bersatu karena sama-sama ambisius. Huhu… semoga ini cukup mendekati ya XD
Anyyeong^^
Ceritanya bagus... keep writing! Ini gawat. Butuh sequel. Jadiin chaptered dong!!
ReplyDeleteOh, iya. Mampir ke blog aku yaa deliadea78.blogspot.com
ReplyDeleteThanks^^
Apanya yang gawat??? btw thanks.... (tapi kayanya g akan ada sequel, apalagi chapter)
Deletesureee, pasti mampir^^