Dragon Team : Luhan






Lembek seperti permen kenyal yang sering kami makan bersama saat kecil dulu. Menurut Tao yang selalu menganggap dirinya tangguh, begitulah diriku saat ini. Atau mungkin semua anak Dragon Team berpikir begitu. Aku yakin Kris dan Lay pasti pernah–setidaknya sekali–membahas betapa lembeknya diriku sekarang.




Lembek, kenyal, atau apalah itu aku tidak peduli. Oke, aku sedikit peduli, tapi itu bukan masalah besar.  Lagipula aku tidak merasakan gejala ‘kelembekan’ itu dalam diriku. Mungkin Tao hanya merasa iri padaku. Aku tahu diam-diam anak itu menginginkan perhatian seperti yang Gyuri berikan padaku.




Sebenarnya bukan hanya Gyuri, tapi ada beberapa gadis lain; Minhee, Seorin, dan Jangmi. Tapi entah bagaimana, bagiku Gyuri seperti sudah cukup. Yeah, dan itulah yang membuat Tao mengejekku. Memangnya siapa di antara anak Dragon Team yang berhubungan dengan satu perempuan saja? Siapa di antara Kris, Lay, Luhan, dan Tao yang menganut paham monogami? Siapa?


No one



Tak seorangpun dari kami yang begitu. Kami memang punya karakter yang berbeda, cara berpakaian yang berbeda, kegemaran yang berbeda, tapi kami punya pandangan yang sama terhadap hubungan.




Hidup hanya sekali, jadi jangan sia-siakan hidupmu dengan mengikat diri pada hubungan yang menjenuhkan. 




“Sebenarnya apa sih yang ingin kau ambil?” Aku terkesiap, sudah berapa lama aku berdiri memandangi deretan botol bumbu dapur ini?




“Tidak, tidak ada. Kau sudah mengambil semua yang kau perlukan?” Aku mengalihkan topik pembicaraan, namun tidak cukup berhasil.



Gyuri mengamatiku kemudian mendesah. Hal selanjutnya yang terjadi adalah ia mengambil alih trolley lalu mendorongnya dengan kecepatan stabil. 




Kalau salah satu anak Dragon Team melihatku, mereka pasti akan tertawa keras-keras sambil menudingkan jarinya ke arahku. Seorang Luhan yang anti-hubungan monogami sedang menemani salah satu pacarnya berbelanja di pasar swalayan. Kurang lembek apa lagi aku ini?




“Kau bisa pergi kalau kau mau,” ucapnya saat meletakkan kardus sereal ke trolley.




Tanpa melihatku ia kembali mendorong trolley, ia juga tak peduli kalau aku agak tersinggung dengan ucapannya barusan.




Di antara semua pacarku, Gyuri itu yang paling berbeda. Ia yang paling manis, yang paling polos, dan ia yang paling bukan tipeku. Aku itu anti-hubungan monogami, tapi tidak dengannya. Baginya Tuhan sudah menciptakan setiap orang berpasangan, yang artinya satu pria untuk satu wanita.





Bagiku itu sangat-amat konyol, aku seperti pacaran dengan anak SD yang mendamba pangeran seperti yang ada di dalam cerita Cinderella atau Rapunzel. Tapi aku tak pernah menghancurkan teorinya itu. Aku tak pernah membiarkan ia mengetahui hubunganku dengan gadis lain atau membiarkannya tahu kalau sebenarnya aku bukan seorang pangeran.




“Jadi, jam berapa tepatnya aku harus datang ke rumahmu?” aku berusaha mendapat perhatiannya.




Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga ia bersikap sangat dingin. Tapi yang jelas aku tidak ingin diperlakukan seperti itu, aku ingin Gyuri kembali. Gyuri yang naif dan membuatku lembek.




Aku menumpukan tanganku di atas tangannya yang masih mendorong trolley. Ia tak protes, tapi juga tak lantas menatapku. Ia masih sibuk menatap daftar belanjaannya.




“Gyu? Kau mendengarku, kan?”


Ia mengangguk, “Iya, aku dengar.” Ia mendongak, kemudian menarik kedua sudut bibirnya.


“Kau tidak perlu datang,” jawabnya tak acuh.




Apa? Aku menatapnya dengan tidak percaya. Pasti aku kelihatan seperti seorang pacar yang suka memaksa dan norak. Tapi mau bagaimana lagi? Aku merasa seperti dicampakkan.



“Ibumu bilang aku harus datang. Tunggu, aku tahu sekarang.” Aku berhenti dan juga memaksanya untuk berhenti.



“Kau tidak ingin aku datang, kan?”




Ia mendelik jengkel dan itu membuatku semakin jengkel. Gyuri adalah gadis lembut kesayangan kedua orang tuanya, ia bukan tipe gadis yang suka memutar bola matanya sekalipun ia kesal. Gyuri lebih suka menangis atau memberengut daripada bersikap sinis begini.




“Hanya akan ada pesta ulang tahun anak usia lima belas tahun, Lu. Kupikir tidak ada untungnya bagimu untuk datang, jadi berhenti bersikap seolah kau punya kewajiban untuk datang,” balasnya dengan tegas.



Ia menyentak tanganku dan berlalu begitu saja dengan trolleynya. Apa sih maunya? 




Aku mengikutinya. Dengan perasaan kesal dan hasrat untuk menariknya kemudian menyudutkannya ke tembok.



“Ibumu jelas-jelas mengundangku tadi.”




“Tak usah terlalu dipikirkan. Tidak datang juga tidak apa,” sahutnya tak tertarik.





Mulutku mengatup penuh kemarahan. Aku sangat marah dan benar-benar ingin mendorongnya ke tembok, tapi ini Gyuri. Dan yang membuatku semakin marah adalah aku marah hanya karena ia tidak menginginkan kehadiranku di pesta ulang tahun adiknya. Aku pasti pria paling lembek yang payah.




“Jun pasti ingin aku datang, ia pasti menantikan hadiah dariku,” sungutku tak mau kalah.



Ia tidak luluh juga, langkahnya berderap kian cepat dan itu membuatku kewalahan. Satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah berbicara dengan menatap satu sama lain, bukan main kejar-kejaran seperti ini.




Namun kami tidak saling bicara hingga di kasir, ia sibuk memindahkan barang belanjaannya ke atas meja untuk dihitung. Sementara itu aku hanya berdiri di sampingnya tanpa memberi bantuan sama sekali dan itu membuat ahjumma penjaga kasir menatapku dengan sinis. Masa bodoh dengan wanita tua itu.




Gyuri membeli banyak barang untuk keperluan pesta besok dan kurasa ia kewalahan memindahkan semua barang ke meja kasir. Walau begitu aku sengaja menahan diri untuk membantunya, aku ingin melihatnya berhenti bersikap menyebalkan dan akhirnya meminta bantuanku.




Tapi ia bertahan sampai barang terakhir. Aku menatapnya dengan tak tentu, mengamati ekspresi tangguhnya saat menantikan semua barang selesai dihitung.




“Ini kembaliannya, nona. Kau membutuhkan seseorang untuk membantumu membawa plastik-plastik ini?”




Gyuri menyambut uang kembalian yang diberikan si ahjumma penjaga kasir sambil tersenyum sopan. “Terimakasih, bibi. Aku bisa membawanya sendiri. Terimakasih.”




Dan benar saja, ia membawa semua plastik belanjanya sendiri. Ia tak memberiku kesempatan untuk membawa setengahnya, dan langsung berderap menjauh.




“Dengar, kau tidak akan membawa semua ini sendirian.” Aku menarik semua plastik belanja di tangan kirinya, namun ia menahannya.




“Dan dengar, kau tidak berhak memutuskan apapun untukku.” Ia menyentak tanganku, tapi sebelum ia berhasil melangkah aku menarik lengannya.




“Apa sih maumu?” ia terlihat amat jengkel, seolah aku itu seorang penguntit yang sedang memaksa untuk memberi bantuan.




Aku berdecak, peganganku di lengannya semakin kuat.



“Harusnya aku yang bertanya begitu. Apa sih maumu? Kau bersikap seolah ingin menyingkirkan aku.”




Tingkat ketegangan di antara kami meningkat. Aku bisa merasakan kalau salah satu di antara kami akan ada yang berteriak setelah ini.



“Tidak ada.”



Bohong.




Aku mempererat cengkeramanku, membuatnya semakin kesal dan berusaha melepaskan tangannya.




“Berhenti bersikap kau punya kewajiban apapun yang menyangkut diriku. Apa itu jelas? Jadi, kau tak perlu memedulikan permintaan ibuku, adikku, atau mungkin obrolan bersama ayahku. Berhenti melakukan semua itu,” tuturnya.




“Apa yang–“



“Berhenti menyibukkan dirimu dengan hal-hal konyol seperti itu. Kau tidak perlu makan malam bersama keluargaku, main video game dengan Jun, atau menemani anjing kami jalan-jalan,” potongnya dengan tegas.




Kemarahanku semakin meningkat. Kenapa? Ada apa dengan Park Gyuri?




Saking kesalnya aku tak langsung menggubris penuturannya. Dadaku terasa penuh dan membuatku tersengal.




“Dengar, kau tak perlu mengantarku. Aku sudah mengirim pesan pada Jongdae untuk menjemputku,” tuturnya lagi. Kali ini dengan lebih diplomatis, seolah aku akan senang mendengarnya.




Dan kini aku menemukan diriku mendecak keras sambil mengusap rambut berulang kali. Apa ia bilang? Jongdae akan datang? Jadi, ia sudah merencanakan semua ini? Ia akan pulang bersama Kim Jongdae tetangganya itu?




“Oke, aku mengerti sekarang,” kataku sambil melepas lengannya.




“Kau menyambutku dengan tidak senang saat tadi aku datang ke rumahmu, kaupun tidak setuju dengan usulan ibumu agar aku mengantarmu ke tempat ini, kau mengabaikanku, dan kau bersikap sangat menyebalkan. Aku tahu sekarang alasannya.”




“Jadi, sekarang kau sudah menyadari perasaan terpendammu pada pria payah itu dan berencana untuk meresmikan hubungan kalian? Tak peduli ada aku ataupun tidak,” lanjutku dengan mencondongkan wajah padanya.



“Memangnya kenapa? Kau keberatan?”



Apa katanya? Aku menatapnya dengan nanar sambil mendenguskan napas.




“Kau lupa? Kau masih pacarku!”



Kemudian ia memalingkan wajahnya, mendecak keras sambil menggeleng-gelengkan kepala.




“Apa itu masalah? Kau sendiri pacaran dengan lebih dari satu orang gadis pada saat yang bersamaan, kenapa aku tidak boleh?” nada suaranya terdengar mencemooh. Menelanjangiku dan mengempasku dengan kasar, itulah yang baru saja ia lakukan dan anehnya aku sangat kesal.




Ini bukan pertama kalinya salah satu pacarku tahu kalau aku punya hubungan dengan gadis lain. Biasanya aku akan bersikap tenang, berusaha menenangkannnya, memeluknya, dan memberi penjelasan panjang lebar hingga akhirnya mereka tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Bahkan Jangmi tidak peduli sekalipun aku punya sejuta gadis lain di hidupku.




Tapi ini Park Gyuri. Tidak seperti pacar-pacarku yang lain, Gyuri tidak tahu kalau ia bukan satu-satunya gadis dalam hidupku. Kenyataan bahwa ia mengetahui yang sesungguhnya membuatku ketakutan.



“Aku sudah mengetahuinya dua minggu belakangan ini, aku bahkan sempat mengikutimu dan melihat semuanya dengan lebih jelas.”



“Kenapa kau tidak mengatakan apapun, Gyu?”




Ia menggigit bibir bawahnya, menatapku dengan ragu-ragu. “Karena.. Karena kurasa itu tidak perlu. Hubungan ini–“ ia menggeleng. “–maksudku, bagimu sebuah hubungan itu harusnya dipenuhi kesenangan. Sebuah hubungan harusnya tidak perlu terlalu serius dan mengikat. Itu memang tidak sesuai dengan yang kuinginkan, tapi... tapi aku pun tidak tahu kenapa aku tidak ingin merusak suasana dan mengakhiri semua ini. Aku–“ ia mengangkat pandangannya, menatapku dengan lebih mantap.



“Aku hanya tidak tahu, Lu,” tukasnya dengan suara bergetar.




Titir air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Aku bisa melihat jelas perjuangannya untuk menahan agar titik-titik itu tidak jatuh.



Jangan menangis. Kumohon.   



*** 






Aku dan Gyuri masih bersama. Dan Gyuri, tidak, gadis itu tidak pacaran dengan Jongdae atau pria manapun. Aku masih satu-satunya pria yang bersamanya saat ini. Aku tahu hal itu karena aku selalu menanyakannya. Apa kau pacaran dengan Jongdae? Apa aku masih satu-satunya?




Itu memang sangat egois. Aku tahu itu. Tapi apa yang harus kulakukan? Apa aku harus mengakhiri hubunganku dengan tiga gadis lainnya lalu berikrar setia pada Park Gyuri? Tidak, aku tidak sejahat itu.




Saat memutuskan untuk menjalin hubungan dengan seorang gadis, aku tidak pernah punya niat untuk menyakitinya. Konsep hubungan menurutku adalah aku senang dan gadis yang bersamaku juga senang. Intinya kami bersama, bersenang-senang, dan bertualang.




Lagipula apa yang kulakukan setelah menjadi seorang penganut monogami? Menikahi Gyuri? Tentu saja tidak. Aku masih dua puluh lima tahun dan menikah itu bukan tujuanku saat ini. 




“Apa kau merasa ada ikatan di antara kalian? Maksudku, kau tahu, kan? Kita bukan remaja yang dimabuk kepayang, alasan kita menjalin hubungan dengan para gadis adalah karena kita butuh bersenang-senang.” Aku mendengarkan dengan serius penuturan Lay. Mungkin kau tak akan menemukan penganut hubungan monogami di dalam Dragon Team, tapi kau bisa menemukan pria menyenangkan untuk diajak bicara bernama Lay.




Sebenarnya aku tidak ingin membagi keluhanku pada siapapun terlebih anggota Dragon Team. Tapi Lay adalah teman yang pengertian. Ia punya kepala yang cukup dingin, tidak seperti Tao. Ia pun memiliki hati yang hangat, tidak seperti Kris .




“Aku tidak tahu, aku tidak pernah memikirkannya sejauh itu,” jawabku sambil mengangkat bahu.




Ia mengamati gerak-gerikku dengan cermat, memangku dagunya dengan telapak tangan dan jarinya mengetuk-ngetuk dagu.




“Aku yakin kau menyukai semua pacarmu, tapi adakah yang membuatmu merasakan yang lebih dari itu?”




“Kau tahu, seseorang yang membuatmu kecanduan seperti para pecandu. Mereka tahu rokok itu tidak baik, tapi mereka tetap mengisapnya. Sama saja seperti kau tahu bahwa terlalu terikat itu tidak baik, tapi kau membiarkannya dan tidak masalah dengan hal itu,” lanjutnya dengan fasih.




Aku menatapnya heran. Aku yakin tak seorangpun akan percaya kalau Lay punya dua gadis dalam hidupnya saat ini; Hara dan Ye Eun.




“Entahlah, aku malah semakin bingung. Lalu bagaimana denganmu? Kau punya seseorang yang seperti itu?”




Ia tak menjawab, hanya mengangkat bahunya dan menyeruput kopinya dengan tenang. Ckk..ckk.. Jangan-jangan... Tapi,  baiklah aku akan menyimpan fakta ini untuk diriku sendiri. Tapi gadis yang mana? Hara atau Ye Eun?




*** 




Saat Seorin tahu aku punya hubungan dengan gadis selain dirinya, ia agak kesal tapi tidak marah untuk waktu yang lama. Kami kembali seperti sebelumnya, walau tentu saja ada yang berubah, seperti caranya mengejekku. Tapi tetap saja, tidak ada perubahan yang terlalu signifikan.




Namun berbeda dengan saat ini. Semuanya berubah, seolah ada badai yang menjungkir balikkan dunia kami dan menimbulkan kekacauan dimana-mana. Gyuri memang tidak berteriak padaku atau memukuliku seperti orang kesurupan, tapi ia menarik diri.




“Apa kau merasa tidak tenang untuk besok?” tanyaku merujuk pada acara wisudanya esok hari.




Aku tahu ia pasti gugup karena acara itu, makanya aku memutuskan untuk datang ke rumahnya dan mengajaknya pergi kafe yang letaknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Lagipula sudah dua minggu kami tidak saling bertemu, tentu hari ini menjadi waktu yang sangat tepat untuk duduk berdampingan di sudut ruangan sebuah kafe.




“Aku terlalu antusias sampai rasanya tidak ingin tidur. Aku ingin malam cepat berlalu dan hari baru datang. Aku benar-benar tidak sabar.” Suaranya bergetar di bahuku dan itu membuatku merasa nyaman.




“Apa kau juga merasakan hal seperti itu menjelang hari kelulusanmu?” ia mendongak, menatapku dengan ingin tahu.




Aku bergeser sedikit hingga tanganku bisa melingkari tubuhnya. Aku tahu tidak seharusnya kami bertingkah seperti ini di depan umum, tapi tempat ini sepi. Hanya ada kami, dan dua orang pelanggan lain yang kurasa tidak akan keberatan dengan pemandangan ini.




“Hanya sedikit, tapi aku masih bisa tidur dan berharap malam masih panjang karena aku ingin tidur lebih lama,” jawabku sambil memainkan jemarinya.




“Bagaimana bisa kau –ah, aku lupa. Kau kan punya keahlian untuk mengubah konsep tentang segala hal menjadi lebih mudah dan sederhana. Kuharap aku bisa melakukannya, hingga tak perlu merasakan semua ini.” Aku tak tahu apa yang ia maksud pada kalimat terakhirnya. Aku tidak tahu perasaan seperti apa yang sedang ia bicarakan. Rasa antusiasnya untuk acara besok atau perasaannya pada hubungan ini?



Kemudian aku merasa dicubit, tidak dicubit sungguhan. Tapi aku merasakannya dengan jelas.




Hal selanjutnya yang kutahu adalah aku mengusap kepalanya, membenamkan jari-jariku di antara helaian rambutnya selagi ia menyesap frappe-nya.




“Kau tahu, besok–“



Kringg..




“Sebentar,” ucapku saat merogoh saku celana untuk mengambil ponsel.



Jang Minhee.



Ckk, kenapa harus gadis itu? Maksudku, kenapa harus ada sesuatu yang mengganggu malam damaiku?




Gyuri menyadari kejanggalan pada sikapku, tapi ia tidak mengajukan pertanyaan apapun. Ia hanya bergeser, merapat ke dinding dan membiarkan sekat di antara kami menjelaskan perasaannya. Dan itu hanya membuatku semakin bingung.



Namun ponselku masih terus berdering. Sial. Sebelum menjawab panggilan, aku melirik Gyuri. Ia sudah menekuri layar ponselnya, berusaha untuk terlihat santai. Tapi aku tahu ia tidak begitu. Ia tidak setangguh itu.




Aku menggeser tanda hijau di layar, menempelkan ponsel ke telinga.



“Ya, aku tahu, aku minta maaf, oke?”



“Baiklah, aku mengerti. Oke, jadi ada apa?”



“Oh, wow! Aku tidak tahu, benarkah? Kapan?”




Besok. Minhee memintaku untuk menemaninya ke Jeju untuk acara pamerannya. Dan besok adalah hari kelulusan Gyuri. Apa yang harus kulakukan? 



“Sebentar, aku sedang berpikir.”




Aku melirik Gyuri lagi dan kali ini pandangan kami bertemu. Ia nampak terkejut dan memalingkan wajahnya dengan canggung. Tapi aku tak lantas berpaling, aku masih memandanginya dan berharap bisa melihat ekspresinya. Bagaimana ekspresi wajahnya kalau kubilang aku mau menemani Minhee?




“Besok ya? Bagaimana ya?” Ia terlihat berjengit namun berusaha untuk tidak menolehkan kepalanya.



“Iya Jang Minhee, bersabar sedikit. Aku sedang mengingat-ngingat sesuatu.”




Gyuri masih memalingkan wajahnya, menahan kuat-kuat keinginannya untuk menatapku atau mungkin mengambil ponselku dan melemparnya ke suatu tempat. Hal itu membuatku penasaran. Apa yang sebenarnya ia pikirkan? Kenapa ia bertahan dengan keadaan yang kuberikan? Padahal ini semua tidak sesuai dengan dirinya. Tapi yang lebih membuatku penasaran adalah kenapa aku begitu peduli? Padahal konsep sebuah hubungan untukku hanyalah fasilitas untuk mencari kesenangan.




“Oke, besok kita berangkat!”



“Yayayaya..tapi berhenti berteriak di telingaku!”



“Yah, sampai jumpa besok.”





Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kuinginkan. Namun sudah jelas aku tidak ingin menyakiti siapapun, tidak seorangpun, termasuk Gyuri yang nampak sangat terkejut. Aku juga tak ingin membuatnya terdiam sambil menarik napas susah payah.  



“Lu, aku ingin pulang,” tukasnya tiba-tiba.




Matanya dengan ragu menemui mataku yang dipenuhi rasa ingin tahu. Namun tidak ada apapun di sana. Ia menyembunyikan semua yang ingin kuketahui.




“Kenapa? Ini bahkan belum begitu malam. Kau bilang kau tidak bisa–“



“Aku akan pulang sendiri kalau begitu.”





Begitu ia berdiri akupun sontak berdiri dan ikut keluar bersamanya. Begitu melewati pintu, ia berjalan ke arah yang berlawanan. Dengan cepat aku menangkap lengannya, membuatnya mau tak mau menatapku.




“Lewat sini, Gyu.”



“Aku tahu jalan lain. Lagipula aku sudah bilang, aku akan pulang sendiri.” Ia berniat memutar tubuhnya, namun aku kembali menariknya, membuatnya berdecak tidak senang.




“Kau tidak akan pulang–“




“Kenapa kau bersikap seperti ini, hah? Aku bahkan bukan satu-satunya untukmu. Kenapa kau begitu egois? Kenapa?” ia menggigit bibirnya, kemudian mendesah panjang.




Aku tidak ingin menenangkannya atau melakukan hal-hal yang biasanya kulakukan saat pacar-pacarku marah. Aku ingin mendengar semuanya, aku ingin tahu apa yang ia pikirkan, ia rasakan. Aku ingin tahu dan aku tak peduli sekalipun itu membuktikan bahwa aku benar-benar lembek, kenyal, atau encer.





“Awalnya kupikir aku bisa menerima keadaanmu, pandanganmu, dan semuanya. Tapi hari ini aku sadar, aku tidak setangguh itu. Aku tidak seperti pacarmu yang lain, aku tidak bisa bersikap santai atau baik-baik saja sementara pacarku menerima telepon dari pacarnya yang lain.”





“Kupikir aku hanya harus lebih bersabar sebelum akhirnya kau menjadikanku satu-satunya, tapi tidak. Kau konsisten dengan prinsipmu dan itu membuatku jijik pada diriku sendiri.” Dan air mata itu akhirnya jatuh, meluncur tak berkesudahan di pipinya.




Rasanya ingin sekali memeluknya, kali ini bukan karena aku punya kewajiban melakukannya, tapi karena aku ingin melakukannya.




“Ini salah. Harusnya kita putus dari kemarin, tapi aku tidak ingin melakukannya karena kupikir..”




Kemudian ia terisak. Aku langsung mencondongkan tubuh ke arahnya, namun ia mendorongku.



“Jangan. Kumohon. Jangan mendekat.”




“Aku tidak ingin kau memelukku dan menghancurkan kekuatan terakhirku,” ucapnya diantara isakannya.




Dan aku menuruti keinginannya, walau sulit sekali untuk menahan tubuhku untuk tetap berdiri di tempat.




“Aku ingin kita putus,” katanya dengan tersengal.




“Kenapa? Aku tahu, tapi–“ aku mengusap wajah dengan kasar. Tak satupun kata bisa mewakili isi pikiranku karena aku sendiri tak mengerti dengan apa yang sedang kupikirkan.




“Lihat? Kita terlalu egois. Aku egois karena ingin memiliki dirimu untuk diriku sendiri dan kau egois karena kau ingin memiliki semuanya. Bagimu hubungan seperti ini tidak salah, tapi aku tidak bisa, Lu.” Suaranya semakin serak, dan mendengarnya membuatku ingin memukul diriku sendiri.





Entah kenapa aku merasa sangat berat. Ada rasa berat yang membebani dadaku dan itu membuatku kehilangan keberanian untuk menatapnya yang masih berderai air mata. Kenapa? Ini bahkan bukan pertama kalinya seorang gadis memutuskan hubungan denganku. Biasanya aku akan sepakat dengan mudah. Bukankah berhenti adalah keputusan yang tepat di saat kau merasa sudah tidak nyaman?




“Aku ingin menghormati diriku sendiri. Aku ingin melakukannya sesuai dengan prinsipku, tapi bersamamu hanya membuatku tidak bisa menghormati diriku sendiri.”




“Kita punya tujuan yang berbeda, lalu untuk apa masih bersama?”




Aku mendongak menatap langit, perasaanku benar-benar campur aduk. Kemudian menarik napas panjang yang berat, menatapnya lagi. Matanya masih berair, air matanya masih bergantian meluncur, dan yang ingin kulakukan adalah menariknya ke pelukanku. Namun aku tidak ingin menghancurkannya.





Yah, sekarang aku tahu. Aku tahu. Ia begitu percaya padaku. Ia sudah memercayakan semuanya padaku. Impiannya dan hatinya. Ia ingin aku melakukan hal yang sama, tapi yang kulakukan hanya memberinya pelukan, hadiah, dan ciuman. Dan sekarang ia tahu bahwa aku tak berniat memercayakan hati dan impianku pada gadis manapun, termasuk dirinya.




Saat aku hendak bicara, mulutku bergetar dan rasanya berat untuk sekadar meloloskan satu katapun. Di tengah hawa dingin yang menusuk aku merasakan mataku memanas, sekejap pandanganku mengabur.




Aku menarik rambutku, berusaha menyadarkan diri ini dari sensasi menggelikan yang kini menguasai.




“Baik. Baik, kita putus.” Rasanya seperti dicekik, sulit sekali untuk mengatakannya.





Ia mengusap air matanya sambil mengangguk setuju. Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam lantas mengembuskannya dengan setenang mungkin.





“Tapi sebelum itu, bisakah aku memelukmu dan mengantarmu pulang? Biar bagaimanapun, aku ingin kita berpisah dengan baik-baik,” pintaku yang langsung ditolak olehnya. Ia menggelengkan kepalanya dengan begitu yakin.




Dan kami pun berpisah. Punggungnya semakin menjauh dan perlahan tak terlihat lagi. Sementara itu aku masih berdiri di tempatku, sedikit berharap ia akan kembali ke sini dan memelukku. Namun ia tak kembali. Jalan dimana ia menghilang tadi terlihat sepi dan harapanku terbang diembus angin malam.




Lembek. Mungkin itu yang akan Tao katakan kalau ia melihat diriku saat ini. Meratapi kepergian seorang gadis dan berharap semua yang baru saja terjadi hanya lelucon.



Tapi kenapa? Kenapa aku punya harapan seperti itu? Saat jelas-jelas aku tidak bisa memberikan apapun yang ia inginkan. Kenapa aku ingin ia berlari ke arahku saat jelas-jelas aku tidak ingin jadi pangerannya?




Ckk, kurasa keputusanku untuk ikut Minhee ke Jeju ada bagusnya. Aku perlu waktu, aku perlu ruang untuk berpikir. Dan aku berharap malam bisa berakhir dengan cepat agar semua yang kurasakan saat ini hilang bersama datangnya matahari. Tapi akankah seperti itu?





Fin

Oke, ini apa? Intinya ini cuma wujud kekangenanku sama Luhan, Tao, Kris, & Lay. Intinya mereka orang-orang ganteng yang gabung dalam satu geng dan nama gengnya adalah kuartet kampret, eh salah maksudnya Dragon Team.

Dragon Team ini tuh bukan kelompok mafia atau bandar narkoba gitu yaahh.. Cuma nama doang, biar kesannya kecehh dan gak lembek *permen yupi kali ah* Yah pokoknya mereka Cuma gengan doang. Terus...gimana ama trio ubur-ubur yg blum diceritain? Yah..tiap anak DT ada ceritanya, jadi buat yg ngepens ama trio ubur-ubur*kris,lay,tao* tungguin aja..

Okelah itu aja dulu dehh dri aku, semoga terhibur. Selamat hari minggu semuanya!!

Regards,

GSB

Comments

Popular Posts