Let Love Lead part 10




Seharian itu, aku mengikuti kegiatan rapat James; berjalan di belakangnya sambil memeluk beberapa map, mengoperasikan perangkat untuk presentasi dan berdiri di sisi ruangan selama dua jam—atau lebih. Aku berusaha mengalihkan pandangku dari James yang nampak serius menyimak tim kreatifnya bicara, tapi tetap saja tidak bisa. Mataku selalu kembali padanya. Pikiran apakah-dia-mengetahui-soal-postingan-itu terus bergentayangan tak mau enyah. Ditambah dengan sikap diam sok misteriusnya itu. Serius apakah kau mengetahuinya James? Katakanlah sesuatu! Berikan aku petunjuk! Aku benar-benar penasaran, dan ingin membela diri, tapi apanya yang mau dibela jika dia tidak menuduhku apa-apa. Itu bukan tulisanku! Terkutuklah Maria dan jari-jarinya!
  

Sama seperti saat berjalan ke ruang rapat, saat kembali pun semua karyawan yang berpapasan dengan kami akan menunduk sopan pada james dan menatap rendah padaku. Mungkin jika tidak ada James di depanku, mereka akan melakukan hal yang lebih dari sekadar ‘menatap rendah’, memanggilku dengan sebutan jahat atau melakukan kekerasan fisik, misalnya. Syukurlah tidak ada sesuatu yang mengharuskanku berkeliaran sendiri sejak pagi ini. Di ruanganku ada dispenser, toilet, dan mesin print. Persis semua yang kubutuhkan.


Kami sampai di depan ruang CEO. James membuka pintunya dan berhenti, berbalik badan. Aku ikut berhenti, refleks memalingkan muka.


“Besok jam berapa pertemuanku dengan mitra dari Jeju?”
“Ha? M-mitra?” Aku terdiam memandanginya selama beberapa saat, sebelum akhirnya sesuatu terasa menyengat kepalaku. Tolol! Mitra dari Jeju, masa tidak tahu! “Ah, tunggu... sebentar...” Aku langsung membolak-balik buku memo dengan panik. Map-map di pelukanku terjatuh. Kertasnya berhamburan. Aku tak bisa mengingat apa pun; di mana aku menulisnya? Apa aku bahkan menulisnya?


“Jam 11,” jawab James sendiri, lalu menghela napas. Dia sedang mengetesku. James memandangku dengan kecewa dan melangkah masuk begitu saja. Pintu ruangannya tertutup tepat di hadapanku. Bahuku seketika turun. Pandangan kecewa itu membuatku merasa kecil. Aku berjongkok memungut kertas-kertas yang berjatuhan, menyisipkannya asal di dalam map seraya berdiri. Aku pasti terlihat sangat bodoh di mata James. Aku sekretarisnya, aku yang harusnya mengingatkannya tentang pertemuan itu, bukan sebaliknya.



**********



Aku mengarahkan kursi putarku ke kanan, tepatnya ke ruangan Yu Jin yang cuma dibatasi kaca satu arah. Dia berjalan sangat pelan ke mejanya, menyeret kaki. Berat, depresi, penuh beban, ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Yeah, sesuatu... postingan itu...


Aku mengangkat telepon dan menekan satu tombol. Seketika itu juga telepon di meja Yu Jin berbunyi. Untuk sesaat dia hanya diam, memerhatikan telepon yang berbunyi itu tanpa menggerakkan tangannya.


[Ada yang bisa saya bantu?] ujarnya kaku. Ia tak pernah menggunakan bahasa seformal itu lagi sejak lama. Aku tersenyum pahit.


“Apa itu benar?” tanyaku rendah. Yu Jin tak langsung menjawab, atau mungkin dia tidak akan menjawab. Tanpa disebut pun, aku tahu dia mengerti apa yang kumaksud dengan ‘itu’.


[Apa aku perlu membela diri di depanmu juga? Kukira kau bisa mengerti tanpa harus kujelaskan. Komputerku, akunku, semua ada di meja Maria.]


“Jadi kau menuduhnya?”
[Dia membenciku,] katanya dengan napas tertahan, [dan sekarang satu gedung membenciku.]


Aku memutar kursi ke sisi yang lain, membelakanginya. Ada sesuatu yang membebani dadaku saat melihatnya dengan wajah sedepresi itu.


“Apa kau tertekan bekerja di sini?”
[Aku tak tahu bagaimana cara menjelaskan ini padamu. Kukira kau akan menger—]
“Lupakan postingannya! Pertanyaanku tak ada hubungannya dengan itu!” selaku. “Sekarang jawab! Apa bekerja di sini membuatmu tertekan?”


[…]
“Yu Jin…”
[Ya, aku tertekan.]
“…”
[James, ini tidak…]
“Jelaskan!”
[Apa yang harus kujelaskan?]
“Soal kenapa kau tertekan.”
[Well, bagaimana tidak? Aku cuma desainer logo dari perusahaan kecil, yang menjunjung tinggi prinsip kekeluargaan, aku tak akan pernah terbiasa dengan suasana kerja sekompetitif ini. Aku tak pernah punya musuh sebelumnya. Aku tak pernah dibenci oleh orang sebanyak ini sebelumnya. Aku….]


“Maafkan aku.”
[James, tidak! Kenapa kau minta maaf?]


Yeah, kenapa aku minta maaf? Jika kau lupa, aku yang membawamu ke sini nona, sekarang coba tanya lagi kenapa aku meminta maaf. Dadaku yang sudah berat itu terasa kian getir. Aku menutup teleponnya.



**********



Jam istirahat baru saja berakhir, keadaan di ruang divisi marketing perlahan-lahan mulai ramai kembali. Aku memang terbiasa tidak keluar saat istirahat, sengaja. Sejujurnya sendirian di ruangan ini membuatku benar-benar nyaman. Yang terdengar hanya suara keyboard, mesin AC yang berdengung, juga pewangi ruangan yang menyemprot tiap sepuluh menit sekali. Tidak ada suara Hani dan dayang-dayangnya yang tertawa, yang membicarakanku di depan muka, yang mengejekku, dan semuanya—semua yang mereka lakukan, bahkan bernapas, sejujurnya membuatku terganggu. Tak mau berlebihan, 45 menit waktu tenang dalam sehari bagiku sudah cukup.


“Gelang yang bagus.” Aku langsung bergidik. Suara Hani selalu terdengar berdesis seperti ular. Iya, Hani. Entah bagaimana gadis itu sudah ada di belakangku, membungkuk dengan kedua tangan menumpang di kepala kursi.


Aku cuma menatapnya. Bodoh memang, tapi mau apa lagi? Rasanya selalu begini tiap bertatapan langsung dengan Hani. Selalu ada aura mencekam, yang membuatku tercekik sehingga tak bisa bicara. Hani tersenyum lebih lebar melihat betapa tegangnya Park Jin Ah yang lemah. Lalu meletakkan tangannya di bahuku, dengan gerakan pelan mengintimidasi seperti di film horor.


“Sepertinya itu buatan tangan. Kau tak mungkin membuatnya sendiri, kan?” tanyanya berbisik, seraya mendekatkan bibirnya ke daun telingaku. Aku refleks menghindar. Namun gadis itu mencengkeram bahuku dan menariknya kembali ke posisi semula.


Be Brave? Kau? Cih.. memangnya bisa?” gumamnya begitu berhasil membaca ukiran di gelang itu.


Aku segera berdiri dan berbalik menatapnya dengan tajam. Tidak. Tidak lagi. Sekarang apa maumu hah? Kenapa semuanya aku? Apa di gedung ini tidak ada orang lain yang bisa kau ganggu?


“Kenapa? Ada apa menatapku begitu?” Hani bersedekap dan berjalan mendekat dengan tatapan marah. “Ayo bicara saja! Buatlah gelang konyol itu sedikit berguna! Be brave, Sayang. Be brave!”


“Gelang ini dari Mino,” kataku, bodohnya dengan suara pelan ragu-ragu. Sepertinya gadis ini benar. Mana bisa aku melawan? Untuk sekadar meninggikan suara saja aku tidak bisa. Aku langsung menunduk begitu mata kami bertemu.


“Manis sekali.” Hani mendengus. “Sekarang lepas!”
“Apa? Tidak!”
“Kau berani membantahku? Lepas!”  Hani menaikkan suaranya.
“Tidak.” Hani langsung menarik tanganku dan mencoba melepas gelangnya—yang kupegang kuat-kuat dengan tangan yang lain. Gadis itu menancapkan kuku-kukunya yang tajam di punggung tanganku. Dan kuku-kuku itu menembus kulitku dengan mudah. Dia punya keturunan keluarga falidae atau bagaimana? Aku menggigit bibir untuk menahan teriakan.


“Hani, kepala bagian datang!” Salah satu dayangnya berteriak. Hani melirik ke pintu masuk dan mendengus sambil mendorongku dengan kesal.


“Heh, kuperingatkan kau, aku bukan teman bermain yang menyenangkan. Kau akan sangat sangat menyesal jika aku melihat gelang itu masih di tanganmu. Lihat saja!” Hani mengacungkan telunjuknya dan bicara dengan napas terengah. Bola matanya yang bulat besar seperti boneka itu terlihat berkilat. Ia menyenggol bahuku dengan keras sebelum berlalu ke mejanya, dan saat itu kepala bagian pun masuk.



**********



Aku meringis sambil membasuh goresan di punggung tanganku. Mino bilang ‘aku kenal Hani. Dia tak mungkin melakukan kekerasan fisik’. Aku menggeleng kesal, jadi ini namanya bukan kekerasan fisik eh Song Mino-ssi? Kau belum mengenalnya. Tetangga dari kecil bukan jaminan kau bisa mengenal si siluman ular kejam jahat terkutuk itu dengan baik. Aku memutar keran air di wastafel sampai berhenti, lalu menatap pantulan diriku sendiri di cermin. Menyedihkan, aku sedih melihat diriku sendiri. Aku tidak menangis, tapi mataku memerah, dadaku sesak, napasku tersendat. Jujur saja, aku benar-benar memikirkan untuk resign sekarang. Lagi pula Yu Jin sudah bekerja di J’S. Gajinya sudah cu—Tidak! Tidak! Aku langsung menggeleng kuat-kuat. Aku tidak boleh menyerahkan semua tanggung jawab keuangan padanya. Dan ingat, Hyo Jin butuh uang untuk semester pendek.


BUM!


Aku kontan menoleh ke arah pintu kamar mandi yang menjeblak tiba-tiba.


“Kunci! Kalian jaga di luar!” titah seorang gadis berambut pendek—yang amat kukenal. Seo Hani.


Hani tersenyum samar begitu pintunya berhasil terkunci, lantas berbalik menghadapku.


“Eh, Jin Ah-ssi! kebetulan sekali,” ucapnya dengan ekspresi yang dibuat-buat. Gadis itu berjalan mendekat dan langsung membuatku panik. Tentu saja, memangnya siapa yang bisa tenang di situasi seperti ini? Di ruang kerja yang penuh dengan karyawan saja ia berani membullyku, apalagi kalau hanya berdua, di toilet yang terkunci pula.


Aku berjalan mundur ke wastafel paling ujung, Hani memerhatikan tingkahku itu sambil tertawa. Ia meletakkan tasnya di wastafel yang kutempati tadi dan mengeluarkan lipstik.


“Kenapa sih menatapku begitu? Memangnya aku hantu?” tanyanya sambil memoleskan lipstik di bibirnya yang masih merah sempurna.


Bukan. Kau ular berbisa. Hantu tidak ada apa-apanya dibanding dirimu.


Ia melirik pergelangan tanganku dari kaca. “Jadi...” mulainya, sembari berbalik menghadapku dengan tatapan geram. “Kau masih belum melepasnya juga?”


Aku refleks memegangi gelang itu.


“Ini dari Mino. Mino menyuruhku melawanmu, Mino percaya aku bisa melawanmu,” ucapku, langsung menyesal sudah mengatakan kalimat sepolos itu dengan nada seketakutan itu. Demi Tuhan, aku sudah berupaya untuk terdengar berani.


“Tentu saja, kau hanya perlu sedikit bubuk keberanian.” Ia meniru suara berat Mino, lengkap dengan gerakan tangannya juga. Gadis itu tersenyum. “Begitu, kan?” Ya. Pesis! Bagaimana bisa gadis ini tahu?


Hani yang sedang tersenyum tiba-tiba saja mengubah wajahnya menjadi bringas, tangannya bergerak cepat menangkap daguku dan menghelanya kasar. Aku meringis, mati-matian menahan tangis. Aku benar-benar ketakutan sekarang, dan kesakitan juga, bagaimana jika gadis psycho ini membunuhku?


“Aku tahu. Mino pasti sudah menceritakan soal warisan itu padamu.” Hani mengangkat lipstiknya dan menekannya sekuat tenaga di bibirku, membentuk garis lurus dari sudut bibir yang satu ke sudut yang lain. Rasa ngilu luar biasa langsung terasa. Ia terlihat seperti anak TK yang sedang mewarnai dengan crayon, sengaja ditekan supaya pekat. Aku mengerang dan berteriak.


“Hani, sakit!”
“Memang itu yang kumau!”


Ia menatapku lekat-lekat, dengan tatapan benci seolah aku sudah berbuat dosa besar padanya.


“Kau tahu tidak? Aku ini pernah ada di posisimu, loh. Aku tahu rasanya diajak menikah dengan iming-iming uang.” Hani mendengus. “Tapi aku bukan perempuan murahan sepertimu. Kau! Dasar sinting! Kau setuju begitu saja karena menginginkan uangnya, kan?” Ia mencengkeram kerah bajuku dan mengguncangnya sambil berteriak.


“Setiap hari pura-pura lemah di depanku, tapi di belakangku malah menggoda Mino habis-habisan. Memangnya aku tidak tahu? Dasar penjilat! Kalau Mino tidak mendapat warisan itu apa kau masih mau menikahinya?”


Hani mengambil jeda untuk menormalkan napasnya. Kemudian kembali bicara dengan nada tinggi.


“Aku tak akan membiarkan temanku menikahi perempuan sok polos sepertimu!”


Jadi ini penyebab Hani membenciku? Sungguh? Benar-benar tidak masuk akal. Dia belum mengenalku. Kenapa tiba-tiba menyimpulkan aku ‘sok polos’?


“Aku hanya ingin membantunya,” kataku, tak sepenuhnya yakin. Aku tidak hanya sekadar ingin membantunya, faktanya kita saling membantu satu sama lain. Dan jika boleh jujur, aku memang menyukainya.


“SIAPA BILANG KAU BOLEH MENJAWAB HAH?” Hani berteriak sampai urat-urat lehernya terlihat. Gadis itu lalu menghela napas berat dan melepas tangannya dari kemejaku.


Ia menggeleng sembari mendorong rambutnya.


“Maaf ya, kepribadianku memang suka meledak-ledak begini. Aku sendiri bahkan tidak bisa mengontrolnya,” ucapnya dengan ekspresi bersalah, dan aku tak bisa menebak apakah anak ini sedang serius atau tidak. Ia menggunakan tangannya untuk menghapus lipstik di bibirku. Aku jelas menghindar. Anak ini benar-benar aneh. Apa maunya sekarang?


Hani memutar keran air dan membasahi tangannya, lalu menggunakan tangannya yang basah itu untuk menyeka bekas lipstik yang berantakan di sekitar bibirku.


“Mukamu merah sekali sih. Ada apa? Kau tidak mau menangis, kan? Digertak sedikit saja sudah menangis, apalagi jadi istrinya Mino?” tanyanya, tentu saja dengan nada sok khawatir andalannya. Aku menarik wajahku dari tangan gadis itu, tapi ia dengan cekatan menangkap daguku lagi.


“Jin Ah sayang...,” katanya sambil tersenyum, “kalau tujuanmu memang hanya untuk membantu, lebih baik lupakan saja, biar aku yang membantunya. Kami kan—”


“Tapi bukankah kau sendiri yang membatalkan…”
“Jangan menyela ucapanku!”
“Argh!”


Tangan Hani bergerak cepat menarik rambutku.


“Hani lepas!”
“Aku tidak menerima kalimat perintah! Kalau mau dilepas kau harus bilang tolong dengan sopan!”
“Tolong.” Hani tertawa.
“Penurut sekali sih kau ini. Aku jadi gemas. Sekarang lepas gelangnya!” Aku langsung menjauhkan tanganku. Hani mendengus keras dan mengempaskan badanku di tembok. Aku masih kekeh mempertahankan gelang itu sementara Hani mencoba merebutnya sambil berteriak-teriak.


SRETT


Semuanya terjadi dengan sangat cepat. Yang pasti sekarang gelang itu sudah putus dan terlempar ke lantai.


Hani menyunggingkan senyum kemenangan sebelum menatapku puas. “Mengadulah pada Mino kalau—“ PLAK!


Hani yang terkejut langsung terhuyung mundur. Mino bilang, aku boleh membalasnya jika dia melakukan kekerasan fisik duluan, kan? Kurasa sudah waktunya aku membalas. Aku merebut lipstik di tangannya dan melemparnya ke tembok di sebelah kepala gadis itu.


“Apa yang sudah kuperbuat  padamu sampai kau tega melakukan semua ini, Seo Hani-ssi?” tanyaku, masih dengan nada sopan. Dia merusak gelang yang Mino buat. Perasaanku rasanya ikut hancur bersama dengan gelang itu.


Hani melangkah mundur melihat sinar mataku yang tegas. Kau boleh menghancurkanku sesukamu, tapi ini benar-benar kelewatan. Bagiku, itu bukan sekadar gelang dengan ukiran, itu adalah sebuah kepercayaan. Aku dipercaya. Ada orang yang memercayaiku.


“Kau mau tahu rasanya jadi aku? Kau mau tahu rasanya datang ke kantor setiap hari dengan perasaan takut? Kau mau tahu rasanya lembur setiap malam mengerjakan tugas orang lain? Kau tahu rasanya dibully, diejek, dihina, dijambak, difitnah, disiram kopi, di—“


“J..Jangan mendekat!”
“Aku belum selesai, Hani-ssi. Katamu memotong ucapan orang lain itu tidak sopan, kan?” Gadis itu merapat ke tembok dengan mata bergetar takut. Aku belum melakukan apa-apa, kenapa dia sudah seketakutan ini? Kukira dia gadis yang tangguh.


“K..kuperingatkan kau, JANGAN MENDEKAT!”
“Tapi kata Mino, aku harus melawanmu.”
“ARGH!”


Hani langsung berteriak kencang begitu aku mengulurkan tangan. Kuulangi, AKU-CUMA-MENGULURKAN-TANGAN. Dan sekarang dia sudah berlari ke pintu keluar, menggedor-gedor sambil meneriakkan sumpah serapah menyuruh dayangnya yang menunggu di luar itu untuk membuka.


Aku menoleh ke arah wastafel dan menemukan tasnya, “Hani, tasmu!”


“Jangan mendekat kau dasar gila!” umpatnya. Padahal aku cuma mau memberikan tasnya yang tertinggal. Serius, dia ketakutan begitu karena kutampar? Karena lipstiknya kulempar? Karena kugertak? Dia pasti tidak pernah dikasari orang sebelumnya. Tapi kenapa gadis itu sangat kasar?


Saat pintunya terbuka, Hani mengomel dan mengadu pada temannya itu sambil langsung menyeretnya pergi. Melihat sikapnya yang aneh itu, aku hanya bisa menggeleng-geleng heran. Selama ini ternyata aku dibully oleh orang yang sangat penakut. Sepertinya tidak ada lagi alasan untuk takut, aku akan mengembalikan semua tugasnya ke mejanya mulai hari ini. Aku mengangguk-angguk menyetujui pikiranku sendiri. Aku tak sabar menceritakan ini semua pada Mino, gelangnya berfung—gelangnya! Mana gelangnya?


Aku langsung bernapas lega begitu berhasil menemukan benda itu. Be Brave.



**********



“Jin Ah!” teriak seseorang begitu aku keluar dari toilet. Aku membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghapus lipstik dari sekitaran wajahku. Dan walaupun aku sudah  menggosok mukaku berkali-kali, bekas merahnya tetap tak mau hilang. Dan sekarang, karena terlalu banyak mencuci wajah, poni dan sebagian rambutku menjadi basah.


“Hei, apa Mino menghubungimu? Kita harus ke rumah sakit seka—kau habis mandi?” Seunghoon menangkap sikuku dan mengernyit.


“Tidak.” Aku menarik sikuku dari tangannya. “Aku habis melawan siluman ular itu,” lanjutku sambil membenarkan poni. “Tadi kau bilang rumah sakit?”


“Kau melawan Hani?” Seunghoon menatapku tidak percaya.
“Ya.”
“Serius?”


Aku mendengus, “Mino kenapa?”


“Oh benar. Ibunya masuk rumah sakit, aku mau ke sana sekarang, kau mau ikut?”
“Apa? Tentu saja!”
“Kalau begitu cepat ambil tasmu! Aku tunggu di lobi,” kata Seunghoon, langsung berjalan tergesa-gesa ke arah lift.


“Seunghoon tunggu! Ini kan belum waktunya pulang!”
“Tidak apa-apa. Bilang saja kau dipanggil ke ruanganku!”
“Ke ruanganmu? Membawa tas?”
“Karang saja sendiri!”



**********



Kali ini bukan Lamborghini Huracan kuning yang terparkir di depan rumahku, melainkan Ferrari—dengan warna merah mengkilat. Myungsoo yang berdiri di samping mobilnya itu terlihat sangat menawan. Begitu melihatku keluar, pria itu segera membukakan pintu penumpangnya dengan gesit.


“Hei,” sapa si pria anime itu dengan senyum seadanya. Aku cuma balas mengangguk sebagai jawaban.


Selama di perjalanan, kami tak berbincang sama sekali. Ia bahkan tak menyalakan tape-nya. Beruntung jarak dari rumahku ke restoran L.Joe tak begitu jauh, ditambah dia mengemudi dengan cepat, jadi syukurlah kami bisa segera terbebas dari keheningan yang mengerikan itu.


“Ayo.” Dia mengulurkan tangan.
“Tidak. Aku… tunggu di sini saja.”
“Apa? Tapi acaranya masih satu jam lagi. Dan setahuku L.Joe masih sangat sibuk di lantai 2. Aku tak yakin bisa menyuruhnya menemuimu di sini.”


“Tidak apa-apa. Aku sedang menunggu seseorang.”
“Seseorang?”
“Ya, teman perempuanku.”
“Oh.. baiklah, kutemani sampai dia datang.”
“Tidak!” teriakku cepat, “maaf maksudku—“


Myungsoo tertawa. “Aku tidak akan menggodamu, sungguh.” Kau tak perlu menggodaku, sejujurnya.


“Bukan itu, hanya saja…”
“L.Joe menyuruhku menjagamu sampai semua persiapannya selesai. Dia memercayakanmu padaku untuk sejam ini, jadi please izinkan aku. Jika aku membuatmu risih, aku akan menjaga jarak.”  Myungsoo mengambil satu langkah menjauh dan berdiri menghadap ke depan sambil menyelipkan tangan di saku. Dia membuatku risih? Yang benar saja! Andai kami bertemu lebih awal, aku pasti sudah meminta nomor ponselnya, dan nomor rumahnya, dan nomor-nomor yang lain.


“Kau benar-benar manis, terima kasih. Tapi begini, aku sedang butuh waktu sendiri. Aku janji tidak akan ke mana-mana, aku tidak akan kabur, kau bisa pegang ucapanku. Aku akan langsung masuk ke dalam jika sudah siap. Oke?”


Myungsoo menghela napas, lalu menatapku berat hati.


“Baiklah. Tapi jika kau butuh apa-apa, aku ada di dalam. Dan semua anak-anak juga sudah ada di dalam, maksudku jika kau ingin teman berbincang, aku bisa menyuruh Baekhyun atau Chanhee atau….”


“Terima kasih,” potongku sambil mengangkat tangan, menyuruh pria itu berhenti. Serius, apa yang L.Joe katakan sampai pria sekalem Kim Myungsoo tiba-tiba mengkhawatirkanku sebanyak ini? Ia bahkan tak melirikku lebih dari tiga kali saat kami bertemu di restoran waktu itu.


Myungsoo pun akhirnya masuk ke dalam restoran dan meninggalkanku sendiri.


Okay, Park Hyo Jin! Sekarang pikirkan bagaimana caranya kau menolak L.Joe! Dan di mana Jill? Bukankah dia seharusnya datang dan memberiku uang?


Aku berdiri gelisah selama 30 menit lebih di depan restoran. Tamu-tamu undangan datang satu per satu, mereka semua memakai baju formal dan rapi dan elegan dan… uh sial! Aku menyesal setengah mati karena bukannya memakai gaun malah memakai jins usang plus mantel tebal yang rajutannya sudah keluar-keluar. Demi Tuhan rasanya aku ingin berlari pulang saja.


Beberapa karangan bunga ucapan selamat mulai dijejerkan memenuhi dinding-dinding restoran. Aku terlihat sangat konyol berdiri di antara semua bunga dan mobil bagus ini. Aku sempat beberapa kali melangkah untuk masuk ke dalam, tapi urung begitu melihat pakaianku sendiri—terlebih ruangannya sudah mulai penuh. Seharusnya aku ikut Myungsoo saja tadi. Aku menghela napas.


“Hey, kenapa tidak masuk?”


Aku langsung terpaku mendengar suara itu. L.Joe. Dan lebih terpaku lagi begitu berbalik dan melihat penampilannya hari ini. Oke, dia memang selalu terlihat memukau, maksudku jika kau punya wajah keren dan selalu memakai baju bermerek, maka sudah dipastikan kau akan selalu terlihat memukau. Tapi kali ini berbeda, tidak ada jins. Dia memakai setelan formal serba hitam, dengan jas yang digulung di lengan, dan rambut berantakan yang seksi—mungkin dia habis berjalan kesana ke mari memastikan peresmian restoran perdananya ini berjalan sempurna. Wajahnya terlihat lelah, tapi pria itu masih bisa-bisanya menyisipkan senyum tulus, khusus untukku.


“Tidak, terima kasih. Jika ada yang ingin kau bicarakan, bicaralah di sini! Aku ada urusan lain.”


L.Joe langsung terlihat lemas. Saat ia baru membuka mulut, ponselnya berbunyi. Pria itu segera mengecek ponselnya dan memberikan tanda padaku untuk menunggu sebentar, lantas berbalik badan.


“Hyung, kumohon datanglah!” katanya memelas.
“Eomma dan appa tak datang. Dan sekarang kau bilang kau tak bisa datang juga. Ayolah, selain teman-temanku tak ada lagi orang yang kukenal di dalam. Lagi pula aku sudah bilang pada mereka semua kau akan datang.”


“Lalu aku harus bagaimana sekarang? Ini pertama kalinya aku meresmikan sesuatu.”
“Aku berhasil menjalankan restoran ini sampai ke peresmian. Tidak adakah sedikit reward untuk adikmu ini? Aku tidak menjualnya seperti toko-toko sebelumnya, aku belajar tanggung jawab, sedikit demi sedikit. Setidaknya luangkanlah waktu 10 menit berhargamu itu untuk memberi sambutan, sebagai CEO J’S, ini cabang perusahaanmu juga kan? Kalau kau tidak bisa melihatku sebagai adikmu, sebagai rekan kerja juga tidak apa-apa. Kumohon datanglah!”


Yang kulihat dari tempatku berdiri hanyalah punggungnya, dan kakinya yang bergerak maju mundur gelisah. Suara paraunya yang terdengar luar biasa kecewa itu membuatku benar-benar sedih. Jika situasinya tidak seperti ini, aku pasti sudah berlari dan memeluknya.


“Aku bekerja keras untuk ini. Kenapa semua orang tak ada yang bisa menghargaiku?”
“Yeah, baiklah. Aku benar-benar berharap kau muncul, hyung. Bahkan di menit terakhir juga tidak apa-apa.” L.Joe mematikan sambungan teleponnya dan diam di posisinya selama beberapa saat. Lalu seakan baru teringat, dia segera berbalik, dengan ajaib mengubah wajah lelah penuh kekecewaan itu dengan senyum tipis. Kau tak perlu melakukan itu, Joe. Sungguh! Sikapmu yang seperti ini hanya akan memperburuk segalanya.


“Okay, jadi...yeah, ada yang mau kubicarakan padamu. Tapi tidak di sini. Di dalam.”
“Aku tidak mau masuk.”
“Kenapa?”
“Aku tidak mau.”


L.Joe mengeluarkan kotak beledu dari gulungan jas di lengannya dan memutar-mutarnya di tangan sambil menghela napas.


“Aku sudah mempersiapkan sesuatu untukmu Hyo, sejak pagi buta kemarin dan baru selesai sekarang. Dan sekarang kau malah bilang begini,” ucapnya, masih memainkan kotak beledu itu dengan tampang tak percaya.


“Maaf, tapi…”
“Kalau kau pikir aku akan memaksamu duduk bersama semua orang aneh itu,” kata L.Joe sambil menunjuk tamu-tamu undangan lewat kaca. “Kau salah besar. Aku sudah mempersiapkan lantai dua khusus untuk kalian. Kau dan teman-temanku. Kalau aku tidak salah lihat, Tao membawa pasangannya. Kau tidak akan jadi perempuan sendirian di sana. Masih tak mau masuk?”

“L.Joe, tapi bajuku begini..”
“Ada apa dengan bajumu? Kau sempurna!” serunya. “Hyo, kumohon. Aku sudah banyak sekali mengatakan ‘kumohon’ sejak tadi pagi. Kepada ayahku, ibuku, James, dan ujung-ujungnya mereka semua tak bisa datang. Dan sekarang kau juga? Hyo, please.” Pria itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri dan berlutut di depanku. Kontan aku langsung terbelalak dan menarik tangannya. Beberapa orang di dalam restoran melihat kami, dan aku benar-benar merasa tidak enak. L.Joe adalah CEO dari restoran ini, dan dia sedang berlutut di depan gadis biasa yang memakai mantel compang-camping. Ya Tuhan!


Dia benar-benar sialan. Sekarang apa boleh buat!



“Oke, oke aku masuk!”


L.Joe yang sedang berlutut itu langsung tersenyum. Dalam sekejap sudah bangkit berdiri dan menarikku masuk.



**********



Aku yang berlari dari ujung lorong langsung menangkap tangan Mino yang terulur dan bertanya dengan khawatir. “Bagaimana keadaan ibumu?”


“Aku masih belum tahu.”


Seunghoon yang baru sampai langsung menepuk-nepuk punggung Mino.


“Sebenarnya dari tadi pagi eomma sudah mengeluh sakit kepala, tapi aku hanya menyuruhnya minum obat.” Mino menghela napas. “Lalu setelah aku berangkat, Dara menelepon dan bilang eomma menggigil sambil bicara tidak jelas. Aku langsung kembali pulang dan saat itu eomma sudah pingsan.”


“Untungnya Dara ada di rumah,” kata Seunghoon. Aku melirik pria itu sambil mengangguk. Dara yang mereka bicarakan sekarang pasti adik perempuan Mino.


“Kau sudah makan siang?” tanya Seunghoon.


Mino menggeleng. “Aku tidak mau ke mana-mana dulu sampai dokternya keluar.”


“Kalau begitu biar kami belikan ya,” ujarku.
“Tidak, tidak. Biar aku yang beli. Kau temani Mino saja di sini.” Seunghoon mengibaskan tangannya.
“Tidak bisa. Masa kau sendirian?”


Mino langsung menangkap tanganku. “Masa aku sendirian?”


Seunghoon yang melihat pemandangan itu langsung mendengus. “Lihat, kan? Dia tak mau ditinggal olehmu.”


Mino terkekeh pendek, “Dia tak mungkin tersesat kok, iya kan Seunghoon?”


“Ya ya ya, aku sudah hapal seluk beluk seluruh bangunan di Seoul dengan baik! Kau jangan khawatir,” kata Seunghoon sarkas. Ia kemudian menggeleng-geleng bosan sebelum akhirnya berlalu dari lorong itu.


Setelah Seunghoon sudah tak terlihat lagi, aku baru duduk di samping Mino dan ikut menatap pintu ruang ICU yang tertutup.


“Terima kasih ya sudah datang.”
“Apa yang kau bicarakan? Tentu saja aku datang!”
“Tunggu! Di mana gelangnya?” Mino tiba-tiba saja menarik pergelangan tanganku.
“Ada di tas.”
“Kau malu memakainya?”
“Bukan begitu, tch.. kau tak akan percaya.”
“Ada apa?”
“Tadi aku habis melawan Hani. Dan dia benar-benar ketakutan padaku. Sepertinya gelang darimu itu berfungsi.”


“Sungguh?”
“Ya. Dia mati-matian merebut gelang itu, dia tak suka aku memakainya. Aku sudah berusaha menjaganya, tapi akhirnya gelang itu putus dan aku refleks menamparnya.”


“APA?!” Mino berteriak seakan-akan aku sudah menganiaya Hani dengan sadis. Aku memutar mata melihat reaksinya itu.


“Aku menamparnya secara refleks kok, bukan sengaja. Dan kondisinya saat itu memang mengharuskanku untuk melawan, kau tak akan percaya jika aku ceritakan semuanya. Tapi ini salah satunya.” Aku memperlihatkan bekas cakaran yang memerah di punggung tanganku. Mino mengerutkan kening.


“Apa aku harus melakukan visum agar kau percaya?” tambahku sinis.
“Tidak. Ya ampun, ada apa denganmu?”
“Cara bicaramu dan tatapanmu, dan semuanya darimu seperti mengatakan bahwa kau berada di pihaknya.”


Mino terlihat berpikir selama beberapa sesaat sebelum akhirnya menggeleng, “Aku ada di pihakmu, tentu saja. Tapi ini aneh, Hani yang kukenal tidak akan melakukan kekerasan fisik seperti itu. Ya, dia memang punya emosi yang tidak stabil dan semua orang tahu betapa menyakitkannya ucapan gadis itu jika sedang marah, tapi…”


“Sepertinya dia mulai menyukaimu dan menyesal sudah membatalkan pertunangan kalian,” ucapku ketus.


Mino mendengus pelan seolah mencibir. Aku ikut mendengus melihat reaksinya, dia jelas menganggap remeh ucapanku barusan, seolah itu hanya omong kosong.


“Apa Hani dan pacarnya masih bersama?”
“Kenapa kau ingin tahu soal itu?”
“Kata Seunghoon, empat hari yang lalu kalian pergi berdua sepulang kerja. Apa aku benar atau benar?” tanyaku dingin.


Mino mendengus lagi. “Ya. Dia memang mengajakku minum.”


“Kenapa dia mengajakmu, bukan pacarnya?” 


Mino tersenyum tipis sebelum menjawab pertanyaan itu dengan enteng, “Karena mereka putus sehari sebelumnya. Okay dengar, sebelum kau menyimpulkan yang tidak-tidak, dia cuma butuh teman curhat dan aku memang selalu menjadi teman curhatnya sejak lama. Aku tak mungkin menolaknya begitu saja hanya karena….”


“Hanya karena aku,” sambungku.
“Bukan begitu.”
“Tidak apa-apa, kau benar, kalian mengenal satu sama lain lebih lama ketimbang aku mengenalmu. Intinya sekarang aku lega, aku sudah tahu alasan kenapa tiba-tiba gadis itu menjadikanku sasaran kebencian. Dan jika dia menggangguku lagi, aku sudah tahu bagaimana cara mengatasinya.” Setelah berbicara panjang tanpa jeda, aku langsung mengembuskan napas.


“Aku tak akan mengungkit masalah warisan dan pernikahan itu lagi, sungguh. Hani jelas-jelas bilang padaku bahwa dia bersedia membantumu. Semuanya ada di tanganmu sekarang.”


“Apa maksudmu?” Mino menatapku dengan waspada.
“Maksudku, berhubung kita belum saling suka sungguhan, lebih baik tidak usah,” kataku, berusaha terdengar tegas. Mino nampak terluka dan aku refleks memalingkan muka.


“Apa kau menganggapku sebatas itu?”
“Maaf, tapi kau yang menganggapku sebatas itu. Dari awal aku memang cuma pengganti Hani, jadi…”
“Awalnya iya, tapi sekarang aku menginginkanmu, bukan Hani,” selanya. Entah tulus atau tidak.
“Jika ini bisa membuatmu lebih baik, aku hanya menelepnmu dan Seunghoon. Aku tidak menelepon Hani. Kami cuma tetangga, dan aku memang menganggapnya sebagai adikku karena kami saling mengenal sejak kecil dan dia selalu bergantung padaku, dalam segala hal. Bahkan aku juga yang merekomendasikannya untuk bekerja di bank. Jika kau terganggu dengan status ‘mantan tunangan’ itu, maafkan aku, tapi aku tak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya.”


Dari awal hubungan ini memang sudah tidak sehat. Kami punya kepentingan sendiri-sendiri, Mino dengan warisannya dan aku dengan obsesi konyolku untuk menikah muda.


“Serius. Jadi sekarang apa masalahnya? Kau tidak mau melanjutkan ini lagi karena menurutmu Hani mulai menyukaiku?” tanya Mino.


Karena dia lebih mengenalmu, dan kau lebih mengenalnya. Aku hanya merasa tidak pantas.


Pria itu menyentuh rambutnya dan memijit-mijit keningnya sendiri dengan mata memejam, seolah semua pembicaraan ini membuatnya sakit kepala. Ia lalu menatapku lagi dan berkata, “Jika itu alasannya, maka jangan harap kau bisa mundur.”


Aku mengernyit. Itu kedengaran sangat egois, namun di sisi lain membuat perasaanku menghangat. Aku pasti sudah gila.


“Aku akan memperjuangkanmu sebisaku. Aku tidak bodoh, di mana lagi aku bisa menemukan gadis sepertimu? Seperti Park Jin Ah? Aku masih ingat bagaimana reaksimu saat pertama kali kuberi tahu soal warisan itu, kau tersenyum seolah itu bukan masalah. Atau saat aku meminta maaf karena niatku yang tidak tulus, kau malah menggeleng dan bilang apa yang kulakukan itu tulus. Kau bersedia membantuku begitu saja, dan entah bagaimana, aku yakin semua itu bukan karena harta warisannya. Kau langsung setuju saat aku bilang akan mengembalikan sisa warisan itu pada keluarga ayah tiriku, itu bukti yang sangat jelas kalau kau tak menginginkan warisannya. Kau menginginkanku,” kata Mino, mengambil jeda untuk bernapas. “Dan saat itu aku benar-benar yakin padamu, saat itu aku sungguh merasa bersyukur karena dipertemukan dengan gadis yang tepat. Tapi sekarang kau malah mau mundur karena alasan yang tidak masuk akal.”


Hatiku bergetar mendengar semua penuturannya. Aku hendak bicara untuk menyangkal, tapi sejujurnya tak ada yang bisa disangkal. Aku memang tak pernah memikirkan warisan itu, sama sekali. Aku hanya ingin menikahinya, membuat keluarga yang lucu, dan hidup bahagia. Sesederhana itu.


Tiba-tiba saja Mino meletakkan tangannya di kedua pundakku dan membalikku menghadapnya. Tatapan matanya terlihat lembut tapi juga penuh keyakinan. Dan aku tak bisa menahan diri untuk tidak berdebar.


“Kalaupun Hani menginginkanku,” kata Mino dengan serius, “aku tetap akan memilihmu.”
“Berikan aku waktu, dan akan kubuktikan padamu bahwa kau tidak salah mencintai orang.”



**********



Okay, aku benar-benar lega duduk di antara mereka semua. Saat aku naik ke lantai dua, pemandangan yang tersaji benar-benar berbanding terbalik dengan pemandangan di bawah. Suasananya terasa lebih hangat, dan semua orang memakai baju santai. Tao bahkan cuma memakai celana pendek dan kaos tanpa lengan—pria itu duduk di kursi belakang bersama seorang perempuan, entah kekasihnya sungguhan atau hanya salah satu gadis ‘kesepian’ di Lafrein. Jungkook juga memakai celana pendek. Hanya Jin yang memakai celana bahan dan kemeja semi formal yang rapi. Kemudian sisanya memakai jins dan sweter biasa—termasuk Myungsoo yang tadi mengantarku. Mereka semua sedang mengobrol bersama di meja besar yang penuh makanan. 


L.Joe segera turun kembali setelah mengantarku. Teman-teman L.Joe menghentikan obrolannya dan menyambutku dengan hangat, Jungkook berdiri dari kursinya dan mempersilakanku duduk. Aku sudah mengibas-ngibaskan tangan menyuruh anak itu duduk kembali (karena ya ampun, masih banyak kursi di sini), tapi ia tetap menarikku dan memaksaku duduk di tempatnya tadi. 


“Ada yang kurang dari formasi kalian,” kataku sambil mengernyit.
“Ya, Jonghwan.” Jin yang berada di depanku segera menoleh.
“Huang Zitao! Kau sudah telepon dia?” Tao yang tak mendengar pertanyaan Jin itu malah asik tertawa-tawa di belakang. Baekhyun yang geram melihat tingkah Tao langsung melemparkan kotak tisu ke kepalanya.


“YAH!” teriak Tao.
“Sudah telepon Jonghwan belum?”
“Sudah! Tapi tidak diangkat,” kata Tao sembari mengecek ponselnya lagi. “Ia bahkan tak membaca pesanku.”


“Ke mana sih dia? Lee Chanhee…”
“Sudah, sudah! Aku sudah mengiriminya pesan sms, whatsapp, bbm, line, aku juga komen di instagramnya, kuunfollow lalu kufollow lagi, tapi anak itu tidak membalas juga,” sela Chanhee heboh, sambil memperlihatkan layar handphone-nya ke berbagai sisi.


Aku menatapnya dengan heran, bukan cuma aku, bahkan semua orang di lantai dua menahan napasnya dan menatap anak itu dengan tatapan aneh.


“Kau semakin sakit saja! Aku memanggilmu karena minta diambilkan pie labu.” Baekhyun menunjuk pie labu yang dia maksud dan menatap Chanhee sambil menggeleng-geleng.


“Oh..” Chanhee mengambil pie labu di depannya dan memberikannya pada Baekhyun. Pria yang sudah terlanjur malu itu mencoba tertawa untuk mencairkan suasana, tapi tawanya terdengar kaku dan malah membuat suasana semakin dingin. Semua orang tak berhenti menatapnya, untuk apa dia mengirimi pesan dari semua aplikasi? Untuk apa dia unfollow lalu difollow lagi? Aku ikut menggeleng-geleng tanpa sadar. Saat itu, suara mikrofon terdengar dari lantai satu. Acara akan segera dimulai.


“Aku mulai khawatir. Anak itu aneh sekali.” Tiba-tiba saja Myungsoo sudah duduk di sebelahku. Aku menoleh dengan kaget.


“Maksudmu Chanhee?” tanyaku bingung.
“Kalau dia sih tidak usah ditanya lagi. Maksudku Jonghwan.”
“Ada apa dengan Jonghwan?”
“Dia tak bisa dihubungi dari tadi pagi. Sebelum menjemputmu aku ke rumahnya dulu, tapi mobilnya juga tidak ada. Tidak biasanya anak itu menghilang begini.” Aku bisa merasakan betapa khawatirnya Myungsoo sekarang. Sekalipun sedang bicara padaku, ia terus saja memerhatikan ponselnya.


“Tapi dia pasti akan datang. Tak mungkin anak itu melewatkan hari paling bersejarah bagi si cecunguk itu,” ucapnya lagi.


“Tentu. Bagaimanapun ini peresmian restoran pertama L.Joe.” Aku menyetujui.
“Benar. Tapi bukan itu yang membuat hari ini akan bersejarah.” Myungsoo melirikku sambil tersenyum penuh makna.
“Memangnya ada apa lagi?”
“Tunggu saja. L.Joe sudah menyiapkan sesuatu untuk seseorang, dan dia melakukan segalanya sendiri.”


Sepertinya aku mengerti maksud Myungsoo. Jujur saja, mengetahui fakta bahwa L.Joe menyiapkan segalanya sepenuh hati membuat perasaanku mulai goyah. Bagaimana bisa aku menolaknya nanti? Sebenarnya jika ini hanya masalah uang, aku bisa saja membatalkan perjanjian dengan Jill, maksudku, L.Joe itu orang kaya, uang 300.000 WON pasti tidak ada apa-apanya bagi putra bungsu pemilik J’S.


Tapi masalahnya ini bukan hanya sekadar soal uang. Lebih dari itu, ini menyangkut kepercayaan. Dari awal, niatku ini memang sudah kotor. Aku mendekatinya karena mengharapkan bayaran dari Jill, lalu aku juga sudah membuat J’S rugi besar karena masalah logo restoran daging waktu itu—aku mencuri logo Yu Jin untuk ikut lomba, ingat?—dan yang terpenting adalah, L.Joe menginginkan gadis baik-baik. Itu artinya aku tak masuk kualifikasi. 


Saat itu, suara L.Joe mulai terdengar dari pengeras suara. Dia mengucapkan terima kasih pada tamu undangan dan semuanya, pria itu berdiri di panggung kecil dan menjadi pusat perhatian. Benar-benar menawan. L.Joe yang di depanku tadi terlihat nyaris menangis sekarang malah menebarkan senyum memikat ke berbagai sisi, sambil bicara penuh percaya diri. Dan seperti yang kubilang tadi, dia benar-benar menawan, melihatnya memakai pakaian serapi itu membuat jantungku berdegup lebih keras.


Tapi serapat apa pun ia mencoba menyembunyikannya, aku tahu jauh di dalam hatinya itu tersimpan kesedihan. Tak ada satu pun dari keluarganya yang hadir. Mata L.Joe berulang kali tertuju pada kursi kosong di sebelah kanan—kursi yang sepertinya dipersiapkan untuk James. Dan hal itu membuat perasaanku ikut sakit. Dia sudah terluka karena ini, apa aku tega melukainya lagi?


Aku segera mengeluarkan ponselku dan mengetikkan pesan untuk Yu Jin.


Apa kau sedang bersama bosmu? Jika iya, tolong suruh dia menghadiri acara peresmian adiknya.


Yu Jin pasti akan marah besar saat aku sampai di rumah nanti. Aku sudah berjanji untuk tidak menemui L.Joe lagi padanya, tapi ini benar-benar pengecualian, aku tak bisa melihat L.Joe menahan rasa kecewanya begini.


Yu Jin membalas pesannya dengan cepat.


KAU MENEMUI L.JOE!


Sudah kuduga. Aku langsung bergidik karena merasa seperti mendengar teriakannya langsung.


Kau boleh mengurungku seumur hidup. Tapi untuk sekarang kumohon suruh James datang.



**********



“Anak ini benar-benar!” Aku mendengus begitu melihat pesan Hyo Jin. Dia pasti sedang bersama L.Joe. Aku tahu anak satu itu memang tidak bisa dipercaya.


Aku berusaha mengabaikan pesannya, tapi tidak bisa. Jadi saat ini L.Joe sedang meresmikan restorannya, ya? Tapi kenapa James tidak datang? Aku refleks menoleh ke ruangan sebelah, dan yang kudapati hanyalah pantulan bayanganku sendiri. Aku tahu mereka memang tidak terlalu dekat, tapi kurasa ini agak keterlaluan. Bagaimana pun mereka adalah saudara. Kalau Hyo Jin sampai mengirimiku pesan ‘bunuh diri’ begini, pasti ada sesuatu yang terjadi.


Aku pun berdiri dan bergegas menuju ruangan James. Setelah terdiam cukup lama di depan pintu ruangannya, akhirnya tanganku mulai bergerak untuk mengetuk, dua kali, tiga kali, tetap tak ada jawaban. Dengan segala keberanian yang ada, aku membuka pintu itu perlahan-lahan.


“Siapa yang memperbolehkanmu masuk?” sambut James dingin, tanpa mengalihkan tatapannya sama sekali dari kertas. 


Aku membungkuk meminta maaf dan hendak menutup pintunya lagi. Namun urung begitu teringat pesan Hyo Jin tadi. Gadis itu menulis ‘kau boleh mengurungku seumur hidup’, aku tahu Hyo Jin memang gemar melebih-lebihkan segalanya, tapi sepertinya ini memang keadaan gawat.


James mengangkat kepalanya begitu aku berhenti di depan mejanya.


“Apa maumu?”
“Datanglah ke peresmian restoran L.Joe.”
“Sejak kapan kau merasa berhak untuk mengaturku?”
“Dia adikmu.”
“Aku sedang sibuk.”
“Tapi dia adikmu.” Aku melirik kertas-kertas di mejanya dan mengernyit. “Lagi pula tidak seharusnya kau mengerjakan itu. Itu semua pekerjaanku. Tanggung jawabku.” James meletakkan penanya dengan keras, lalu menatapku tajam.


“Oh? Jadi kau sudah mengerti tanggung jawab sekarang?”
“Maaf?” tanyaku sambil mengernyit tidak terima. Apa maksudnya itu.
“Kau bahkan tak tahu jadwalku.”
“Tunggu dulu! Kau marah karena itu? Aku hanya lupa, James. Hari ini aku benar-benar tidak dalam kondisi baik, semua orang membenciku gara-gara postingan itu. Dan.. “


“Dan itu artinya kau tidak profesional,” sela James.
“Okay, aku minta maaf,” balasku menyerah.
“Keluar dari ruanganku!”
“Tidak sebelum kau juga keluar dari sini dan menghadiri acara L.Joe,” ujarku sengit. Mengagumkan. Aku bicara begini pada salah satu orang paling kaya di Korea Selatan.


Sesaat kemudian James berdiri sambil menyambar jasnya.


“Oke,” katanya.


Aku terbelalak karena tak menyangka membujuknya pergi ternyata sebegini mudah.


“Tapi kau tak boleh keluar dari sini. Jam berapa pun aku kembali, kau harus masih ada di sini!”
“Apa?”
“Kerjakan semuanya dengan teliti! Ada satu huruf saja yang salah, maka jangan harap kau bisa menginjakkan kaki di gedung ini lagi.”


Mataku terbelalak makin lebar lagi. James mengancamku dengan ekspresi serius, menyatakan bahwa dia sedang tidak main-main. Dan aku baru sadar mungkin perkataanku tadi membuatnya merasa dihina. Astaga! Aku pikir kami sudah cukup dekat.


Pria itu berjalan melewatiku, dan seketika hawa dingin langsung menjalar sampai menembus tulang-tulangku.


“Dan kau tahu? Jika ada karyawan yang dipecat dari J’S, biasanya mereka tak akan mendapat kerja di perusahaan mana pun, jadi yeah.. kerjakan yang benar.”


BUM!



**********



Berbagai agenda acara sudah terlewat dan James belum juga datang. Aku bisa melihat bagaimana semua kru acara, termasuk MC dan L.Joe, mengulur-ulur waktu demi James. Tapi satu jam sudah berlalu dan sepertinya orang yang ditunggu-tunggu itu tidak akan datang.


Sebuah pita raksasa dibentangkan di depan L.Joe, seorang wanita dengan gaun hitam ketat berdiri sambil membawa nampan berisi gunting. Ini adalah prosesi terakhir sebelum restoran ini benar-benar ‘sah’ dibuka. Para undangan mulai berbisik-bisik karena tidak ada sambutan dari pemimpin tertinggi J’S—yang digadang-gadang akan datang. L.Joe mengambil mikrofon dari MC dan menenangkan para undangan itu.


“Okay, aku bilang pada kalian kalau James Lee, CEO J’S akan menghadiri peresmian ini. Tapi aku baru saja mendapat telepon darinya. Ada urusan mendadak yang harus ia selesaikan jadi...” L.Joe menjeda ucapannya dengan napas tertahan. Aku kontan menggigit bibir, tak tahan melihat bagaimana kerasnya anak itu menahan diri untuk tidak terlihat sedih. L.Joe menatap semua undangan dengan berat hati.


“Jadi, dengan segala hormat aku meminta maaf yang sebesar-besarnya karena James tidak….”


Saat itu tiba-tiba saja pintu masuk terbuka. Semua orang menoleh ke belakang. James berjalan menuju panggung sambil mengaitkan kancing di lengan jasnya—langkahnya terkesan cepat, dengan tubuh tegap, dan karisma yang luar biasa. Aku kontan berdiri. Ini benar-benar seperti adegan dalam film. L.Joe terdiam membatu sambil menahan mikrofonnya di depan mulut. Kemudian baru tersadar saat James sudah berdiri di sampingnya.


“James tidak... akan lupa menghadiri acara peresmian ini, tentu saja.” L.Joe menyambung kalimat sebelumnya dengan senyum merekah. Ia memberikan mikrofonnya pada James dengan mata berbinar seolah berkata ‘terima kasih’.


Saat itu, aku bertepuk tangan tanpa bisa menahan senyum. Ini mungkin berkat Yu Jin. Aku jadi penasaran kalimat macam apa yang ia gunakan demi meyakinkan James untuk datang. Aku kembali duduk di kursiku, bertepuk tangan makin meriah. Mungkin yang paling meriah di lantai dua.


“Semangat sekali sih,” bisik Myungsoo sambil menahan tawa. Aku menoleh padanya dan langsung tersadar. Menghentikan cengiran lebar dan tepuk tangan hebohku. 


“Tidak, kok. Biasa saja.” Aku kembali menoleh ke bawah, pura-pura mendengarkan sambutan James dengan khidmat. Aku bisa mendengar suara Myungsoo yang tertawa pelan di sebelahku.



**********



“Pertama-tama, aku benar-benar minta maaf karena sudah terlambat di acara sepenting ini. Bahkan sejujurnya aku nyaris tidak mau datang. Suasana di gedung utama J’S sedang tidak kondusif, dan aku tidak bisa meninggalkannya. Tapi aku senang bisa berubah pikiran walau di menit terakhir, dan akhirnya bisa hadir di antara kalian semua.”


“Dan di kesempatan ini, aku akan menyampaikan rasa bangga dan terima kasihku pada L.Joe,” kataku sambil mengulurkan tanganku pada bocah kecil di sisi panggung. Pria yang sedang melihatku itu langsung mengalihkan tatapannya dengan muka memerah. Lalu menampilkan ekspresi mendengus bosan sambil mengangguk seadanya pada tamu undangan yang bertepuk tangan. Aku tahu kami memang tidak terbiasa dengan situasi seperti ini, aku tak ingat kapan terakhir kali aku memujinya. Aku tersenyum mencibir melihat reaksinya yang sok tenang itu. Umurnya memang sudah dua puluh dua tahun tapi tetap saja di mataku dia masih seperti anak kecil.


“Aku bangga karena akhirnya dia berhasil meresmikan sesuatu,” lanjutku, yang langsung mendapat tatapan tajam dari L.Joe.


“Sebelum restoran ini, aku sudah memberikan banyak peluang usaha untuk dikembangkan. Tetapi mungkin karena masih terlalu muda, bukannya dikembangkan, ia malah menjual semuanya.” Aku bisa melihat beberapa orang tersenyum, atau bahkan tertawa. Dan rasanya aku bisa mendengar sumpah serapah L.Joe di dalam hati. Aku tersenyum puas pada diriku sendiri. Anak itu memang harus dipermalukan sesekali.


“Dan sejujurnya saat aku memberikan proyek restoran ini padanya pun, aku sama sekali tak berpikir dia akan berhasil. Aku memberikan tenggang waktu yang singkat, dan dia harus melakukan semuanya dari awal. Aku bahkan sempat tak percaya saat dia meneleponku kemarin malam, memintaku menghadiri peresmian. Peresmian apa?” Aku mengucapkan kalimat terakhir itu dengan ekspresif, sambil menengadahkan sebelah tangan. Beberapa orang mulai tak malu-malu lagi untuk tertawa.


“Aku sama sekali tak datang ke sini untuk mengawasi perenovasiannya. Dan…” Aku memutar kepalaku mengamati desain restoran yang hangat, lantas tersenyum.


“Dan ternyata dia melakukan tugasnya dengan baik. Aku menyukai pemilihan warna dan mebelnya, semuanya terlihat ramah sehingga pengunjung pasti akan betah berlama-lama. Aku belum melihat menu atau siapa yang dia tunjuk sebagai koki utamanya, tapi kuharap semuanya tak kalah bagus.” Mataku kembali mengedar.


“Dia bahkan melengkapi ruangan ini dengan CCTV, jadi sudah pasti keamanannya akan terja… cctv!” Aku bergumam dengan mata terbelalak. Kenapa tidak terpikir sebelumnya? Aku bisa melihat CCTV kantor untuk mengetahui apakah yang menulis postingan itu benar Yu Jin atau tidak.


Saat itu, aku baru tersadar dan melanjutkan sambutanku dengan kikuk.


“Ya, secara keseluruhan aku sangat menyukainya. Dan kuharap semoga restoran ini, bersama dengan cabang usaha J’S yang lain, akan sukses. Aku tak akan campur tangan terlalu banyak dalam menjalankan restoran ini, karena aku percaya adikku bisa melakukannya.”



**********



Hari sudah semakin gelap. Mino yang kelelahan tertidur di sofa ruang rawat. Ibu Mino belum juga siuman, tetapi dokter sudah memperbolehkan kami untuk masuk dan menemani di dalam. Sejak tadi, mataku tak lepas dari layar ponsel, mencari anjuran dan pantangan makanan bagi penderita pneumonia, lalu menuliskannya di atas kertas. Aku tak henti membekali diriku sendiri mengenai penyakit ini; penyebabnya, gejalanya, cara mengobatinya, dan lain-lain. Aku hanya ingin menjadi sedikit lebih berguna di sini.


Setelah sekian lama, mataku mulai berkunang-kunang. Menatap layar ponsel terlalu lama membuatku benar-benar lelah. Aku meletakkan ponsel dan kertas itu di meja, lalu menghela napas dan tersenyum mengamati wajah tenang ibu Mino dari dekat. Walaupun penuh selang infus dan tabung oksigen, aku tetap merasa tenteram dan aman berada di dekatnya, energi positif seorang ibu memang berbeda. Aku sudah lupa rasanya punya ibu dan duduk di kursi persis di samping ranjangnya begini entah bagaimana membuatku merasa senang. Rasanya seperti punya ibu. Aku terus memerhatikannya dalam keheningan.


“Hei…” Aku langsung terlonjak.
“Tch, kau mengejutkanku!” omelku. Suara Mino yang sudah berat itu terdengar sangat serak karena baru bangun. Mino cuma terkekeh pelan sambil menangkis tanganku.


“Kau harus pulang,” katanya lagi.
“Ya. Aku akan pulang. Tapi setelah ibumu siuman.”
“Tidak usah. Sebentar lagi Dara akan datang menemaniku. Kau pulanglah! Besok pagi harus kerja.”
“Besok pagi kau juga harus kerja. Lagi pula aku masih….”
“Kalau begitu sampai bertemu di kantor. Pulanglah, aku serius.” Jika dia sudah bilang ‘aku serius’ dengan nada seserius itu, dengan tatapan yang sama seriusnya pula, maka apa boleh buat. Tak mau membuatnya marah, aku berdiri sambil menyampirkan tas.


“Beri tahu aku perkembangan ibumu ya,” kataku, “jika kau tidak keberatan tentu saja.”


Mino langsung menatapku sambil tersenyum lembut. “Aku tidak keberatan.”



**********



BRAK!


Aku terlonjak dan tak sengaja membuat dokumen yang sedang kurevisi tercoret. Aku terbelalak lebar dan hendak mengomel,  “LIHAT APA YANG—“


“Ikut aku ke ruang cctv!” James tiba-tiba menarik tanganku, membawaku keluar dengan terburu-buru.
“Kita mau ke mana?” tanyaku. Aku berusaha menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh. Oh demi neptunus, James Lee yang terhormat, tidak lihatkah kau aku pakai high heels?


“Sudah kubilang. Kita ke ruang cctv.”
“Untuk apa?”
“Mengetahui kebenaran.”
“Kebenaran? Well, James, aku tak peduli kebenaran apa yang kau maksud! Sekarang lepaskan aku! Tanganku sakit, tumitku sakit, semuanya sakit!” Saat itu juga James langsung melepasku. Untuk sesaat kupikir dia adalah seorang gentleman yang peduli, yang tak sadar kalau perilakunya membuatku menderita, yang merasa tidak enak saat aku bilang aku kesakitan, tapi saat aku menoleh ke depan… ternyata kami sudah sampai di depan lift. Dan tidak ada alasan baginya untuk menyeretku lagi. 


“Keterlaluan!” Aku bergumam dan mendelik ke arahnya.


Sesampainya di ruang cctv, James langsung memerintahkan salah satu penjaga untuk memutar rekaman lama.


“Rekaman tanggal berapa, Tuan?”
“Tanggal berapa tulisan itu diupload?” James langsung membalik badan menghadapku.
“Oh? Jadi yang kau maksud dengan kebenaran adalah postingan itu?”
“Astaga Park Yu Jin! Tanggal berapa?”
“Yesung baru memberitahukannya kemarin. Tanggal 19 Oktober,” jawabku.
“Lantai 4. Tanggal 19 Oktober.” James berkata pada sang petugas—yang langsung mengetikkan sesuatu di komputernya. Tak lama setelah itu, rekaman hitam putih itu terputar mulai pukul 00.00. James meletakkan sebelah tangannya di kepala kursi sang petugas, dan membungkukkan badan menatap layar tersebut. Matanya tertuju pada meja lamaku—yang kini ditempati Maria. Ia berulang kali menyuruh si petugas untuk mempercepat rekaman itu sampai….


“Tidak, tidak. Tanggal 18,” desis James.
“Putar rekaman tanggal 18!” Pria itu lekas memberi perintah. Petugas di depannya langsung mengganti rekamannya dengan gesit. Tak lama kemudian rekaman serupa—namun dengan tanggal yang berbeda—terputar. Pukul 8 lewat 10 menit, seorang gadis berambut panjang duduk di meja itu.


“Aku tahu! Pelakunya memang gadis itu!” seruku.
“Diamlah!”
“Semuanya sudah jelas sekarang! Dia benar-benar keparat! Aku tahu dia membenciku, tapi ini benar-benar keterlaluan!”


“Hei, bisa diam tidak? Itu mejanya! Wajar jika dia duduk di situ.” James menoleh padaku dengan geram.
“Lalu dari mana kita tahu kalau bukan dia pelakunya?” Aku balik bertanya tak kalah geram.
“Kita lihat dulu, jika tidak ada orang lain yang duduk di meja itu selain Maria, maka kemungkinan memang gadis itulah pelakunya.”


“Bagaimana bisa kau masih bilang ‘kemungkinan’? Ya Tuhan! Kenapa kau terus membelanya?” James mengulurkan sebelah tangannya ke belakang dan membekap mulutku begitu saja.


“Hmmphh hmphhh.”


“Bisa kau percepat saat semuanya sudah pulang?” James lagi-lagi memberi instruksi. Tidak percaya sekali, sih! Ini pasti Maria. Lantai 4 sudah sepenuhnya kosong, dan satu-satunya orang yang terlihat duduk di sana sepanjang hari cuma gadis blasteran Inggris itu.


“ARGH!” James berteriak dan menarik tangannya (karena aku baru saja menggigitnya).
“Apa masalahmu?” teriak pemuda itu.
“Aku yang harusnya bertanya! Apa masalahmu?”
“HEH! Aku ini sedang membantu! Walaupun kau dan Maria saling membenci satu sama lain tetap saja kau tak boleh asal tud—“


“Tuan, ada yang kembali!” Penjaga itu memotong ucapan James dengan nada terkejut. Aku dan James kontan menoleh.


Astaga!


Aku terbelalak lebar, dengan mulut yang juga terbuka lebar.


“Ternyata pangeranmu.” James melirikku dengan sinis.
“Y-yesung?”



TBC



Kalau kalian liat tanggal aku publish let love lead prolog, itu persis tanggal 21 oktober. Apa artinya? Let Love Lead udah resmi 1 tahun. ^^


Endingya udah hampir selesai ko, udah 80% rampung lah. Berhubung Let Love Lead anniv hari ini, aku pengen publish sesuatu (pupuslah harapan aku buat genepin ff ini jadi 10 part) well, aku udah ngetik lumayan panjang, udah 30 page, terus aku ambil 20 page-nya buat dijadiin part ini.. sisanya bakal aku selesain sampai end. Kalau udah keketik semua langsung aku publish, suwer.



Yaudahlah besok pagi~ *yaiyalah pagi* babay




Comments

  1. Astaga... akhirnya story ini dipost juga part lanjutannya :") sejujurnya sangat berharap ada drama yg lebih lgi antara yu jin dan james.. mereka keren sekali :") tetap semangat ya dalam menulis.. hwaiting

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nih Yujin-James-nya kurang bgt di ff ini. Sorry >,< Makasih banyak ya udah komen^^ hwaiting

      Delete
  2. Akhirnya lanjutannya dipublish.
    Kayaknya emang yesung deh yg ngepost itu biar yujin kelihata jelek dimatanya james. Gak sabar nunggu kelanjutannya
    Yg cepat ya min

    ReplyDelete
    Replies
    1. yep, yesung pelakunya *nangis* sbnrnya ga tegaaaa ngenistain ultimate bias, tp apa daya(?). Harap sabar yah, masih diketik XP

      Delete

Post a Comment

Popular Posts