What Do You Want?
Cast:
Lee Byunghun (L.Joe) – Park Hyojin
Genre:
Friendship
Semuanya berjalan lancar sampai ia datang dengan wajah
datarnya.
-What Do You Want?-
Kadang manusia tidak benar-benar
mengerti apa yang mereka butuhkan, jangankan sampai sejauh itu, kadang kita pun
tak tahu apa yang sebenarnya kita inginkan.
Biasanya kita terjebak dalam
sebuah keadaan yang pada akhirnya membuat kita bertanya-tanya ‘apakah ini yang
kuinginkan?’ atau mungkin ‘benarkah keputusan yang telah kuambil?’. Yeah, biasanya begitu. Setahuku.
Berdasarkan apa yang kualami serta apa yang terjadi pada orang-orang di
sekitarku.
Seperti halnya yang terjadi
padaku. Aku masih ingat kalau dua minggu yang lalu L.Joe–tetangga yang merangkap
sebagai sahabatku–bilang agar kami saling memikirkan tujuan masing-masing: ia
dengan Sinbi–mantannya yang kembali menemuinya–dan aku dengan Kim Myungsoo,
seniorku di kampus. Ia bilang kita harus berhenti mengeluh, berhenti meratapi
nasib dan kembali percaya bahwa masih
ada harapan di depan sana. Maksudnya harapan untuk bersama Kim Myungsoo dan Sinbi.
Saat itu aku membisu selama
beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk dan menyetujui gagasannya. Aku tidak
menemuinya selama dua minggu, tidak menghubunginya sama sekali, dan tidak
mencoba berharap yang tidak-tidak, seperti berharap Joe akan merindukanku atau apalah.
Selama satu minggu itu aku menjalani
hidupku dengan baik. Yeah, sekedar
informasi saja, hidupku baik-baik
saja tanpa bertemu dengan ‘The Great Joe’. Bahkan hidupku baik-baik
saja sebelum bertemu dengannya. Lalu kenapa aku harus tidak baik-baik saja
tanpa dirinya?
Oke kembali pada narasiku yang
super membosankan ini. Jadi dalam waktu dua minggu itu hidupku baik-baik saja,
walau sempat terjadi beberapa kejadian mengejutkan. Misalnya; kuis
psikodiagnostik hari kamis minggu lalu dibatalkan, aku mendapat nilai A untuk ujian mingguan
statistik–yang menurutku sungguh ajaib, dan yang paling mengejutkan dari semua
hal mengejutkan yang terjadi, ialah Kim Myungsoo si ketua majalah kampus
mengajakku makan malam bersama.
Itu mengejutkan dan benar-benar
di luar perkiraanku. Sangat.
Ternyata Joe benar, kami berdua
memang tidak boleh patah semangat. Karena harapan itu masih ada. Dan Kim
Myungsoo yang begitu kukagumi mengajakku pergi ke pasar malam di sekitar jalan
Gwanghamun. Dia tidak bilang kalau itu akan menjadi sebuah kencan atau semacamnya.
Tapi tetap saja, hanya aku dan dirinya. Aku tak peduli itu kencan atau bukan.
Dan sekarang aku tengah
bersiap-siap. Mengobrak-abrik isi lemari, mengeluarkan beberapa baju yang
bergantian kucoba. Sudah lebih dari lima kali aku berganti baju yang berbeda,
dan pada akhirnya aku memutuskan untuk memakai celana jeans kesayanganku, kaos
lengan pendek yang kupadu dengan cardigan abu-abu.
Benar-benar tidak ada istimewanya
sama sekali. Penampilanku kali ini tak jauh berbeda dengan penampilanku
sehari-hari. Bahkan riasan wajahku sama tipisnya seperti saat aku pergi ke
kampus. Hanya polesan bedak tipis dan ulasan lipstick samar. Yeah, setidaknya dengan begini aku tidak
terlihat seperti mayat berjalan.
Krinngg..
Aku langsung meraih ponselku yang
berdering di meja rias. Di luar dugaanku, Joe menghubungiku. Tanpa berpikir
ulang, aku langsung menjawab panggilannya. Mendekatkan ponsel ke telinga,
mencoba tenang walau aku tidak tahu kenapa aku harus merasa tidak tenang.
“Kau dimana?”
Suara tanpa antusiasnya terdengar
mengawali percakapan pertama kami setelah dua minggu penuh tidak saling
menghubungi.
“Di kamarku. Ada apa?”
Embusan napasnya terdengar
berisik sebelum ia kembali bicara dengan nada suara serta volume yang sama.
Mungkin juga dengan ekspresi wajah datarnya yang biasa.
“Temui aku di kafe. Ada yang–“
“Harus hari ini? Hari ini aku ada janji, tidak
bisa besok saja?”
Aku bisa mendengar suara
decakannya di ujung sana. Setelah itu Joe tak bicara lagi, hanya mendengus-denguskan napasnya seperti
banteng yang berancang-ancang menyerang matador.
“Dengar, hari ini aku ada janji
dengan Kim Myungsoo.” Aku mencoba semampuku untuk kedengaran memelas atau
paling tidak membujuknya untuk mengerti. Aku punya kepentingan, seperti halnya ia
yang juga begitu.
“Ini benar-benar penting Lee
Byunghun. Siapa yang tahu kalau setelah acara berakhir ia memintaku jadi
pacarnya? Jadi aku benar-benar minta maaf, aku tidak bisa menemuimu hari ini,”
sambungku masih dengan nada yang sama. Memelas dan meminta pengertian.
“Ya sudah, kalau begitu temui aku di luar.” Setelah helaan napas panjang dan jeda yang cukup lama, Taehyun kembali bicara dan lagi-lagi memerintahku seenaknya.
Tapi apa katanya tadi? Di luar?
Di luar rumahku maksudnya?
“Di luar rumahku? Kau ada di
sana?” dengan suara super melengking aku berlari keluar dari kamar.
Tanpa menjauhkan ponsel yang
masih kusangga dengan tangan, aku melewati ruang tengah dimana ibuku hanya
memandang heran tanpa bertanya. Dengan kecepatan penuh, akhirnya aku sampai di
luar rumah dan mendapatinya tengah berdiri di luar pagar dengan pandangan
tertuju pada ujung sepatunya.
“Oke, jadi ada hal penting apa
yang ingin kau katakan sampai tidak bisa menunggu hari esok?”
Kepalanya terangkat, matanya
memicing sebentar sebelum akhirnya kembali menampakkan ekspresi bosan yang
kerap kali ia perlihatkan. Ia memutus panggilannya kemudian memasukkan
ponselnya ke dalam saku celana. Pandangannya kembali tertuju padaku.
Ia tidak mengatakan apapun, hanya
menatapku kemudian menatap sepatunya sambil menggumamkan sesuatu.
“Jadi ada apa Lee Byunghun?” desakku
dengan gemas.
Aku baru saja berlari hanya untuk
menemuinya, kukira ada sesuatu yang amat penting hingga ia harus berdiri di
depan rumahku. Kalau tahu begini, harusnya aku tidak perlu berlari.
Ia kembali menatapku, kali ini dengan
lebih yakin. Ia berdeham pelan, menelusupkan salah satu tangannya ke dalam saku
celana dan satunya lagi terangkat kemudian menyugar rambutnya yang mulai
panjang.
“Kau benar-benar akan pergi
dengan si Myungsoo itu?”
“Memangnya ucapanku tadi kurang
jelas ya?”
Ia mendesah panjang, mengalihkan
pandangannya sejenak sebelum kembali menatapku. “Aku serius, Park Hyojin,”
tegasnya seolah aku sangat idiot.
Aku mendecak. “Aku juga serius.
Aku akan pergi dengan Kim Myungsoo, Kim Myungsoo si senior yang kugilai itu. Kim
Myungsoo yang sering kuceritakan padamu. Kim Myungsoo si senior kesukaanku yang
sampai kapanpun akan kugilai–“
“Jangan pergi,” cegahnya begitu
saja.
“Apa kau bilang? Aku sudah
memimpikan ini sejak lama dan sekarang kau melarangku pergi?” aku
benar-benar tidak percaya. Memangnya siapa ia? Aku bahkan tidak pernah
melarangnya menemui Sinbi atau gadis manapun.
“Aku tidak benar-benar
melarangmu, aku hanya–“
Aku mengamatinya, menunggu jawaban
konyol apa yang akan ia berikan.
“–baiklah, apa kau benar-benar
ingin bertemu dengannya? Maksudku, apa kau sudah yakin kalau ini yang kau
inginkan?”
“Tentu saja. Kenapa kau bertanya
begitu?”
Ia tak langsung menjawab, walau
kelihatannya semua jawaban sudah berada di ujung lidahnya. Tapi ia menahan, ia
memandangiku lebih lama.
“Oke, begini. Kita bicarakan saja
nanti malam, sekarang aku harus bergegas. Aku tidak ingin membuat Myungsoo
menunggu lama.”
Aku memutar tubuh dengan gerak
ringan dan sedikit jengkel. Di balik punggung ini kusembunyikan rasa kesal yang
serta merta memunculkan rasa aneh di dalam dada. Apa-apaan ini?
Ia sendiri yang bilang kalau
seharusnya kami fokus pada keinginan masing-masing dan tidak saling bertemu
untuk sementara waktu. Kenapa sekarang ia malah berdiri di depan rumahku dan
melarangku meraih apa yang kuinginkan? Dasar egois.
“Heh, dengarkan aku dulu! Kau
tidak bisa pergi begitu saja!”
Aku tidak berhenti, terus
berjalan menuju pintu rumah. Tidak peduli sumpah serapahnya di belakang sana
yang tak berujung. Ia harus tahu bahwa ia tidak bisa terus memerintah orang
seenaknya.
“Beberapa hari yang lalu aku dan Sinbi
bertemu,” ucapnya kali ini dengan suara yang lebih tenang.
“Kami hampir berciuman, tapi kau
tahu–“
Aku berbalik, menatapnya dengan
tajam. Aku benar-benar tidak percaya ia datang ke rumahku hanya untuk menceritakan kisah–hampir–ciumannya itu. Maksudku, tidakkah itu keterlaluan? Ia
hampir mencium Sinbi di hari lain dan melarangku untuk bertemu dengan Kim
Myungsoo di hari ini.
“Aku tidak ingin tahu, simpan
saja ceritamu. Sekedar pemberitahuan saja, bukan hanya kau seorang yang punya
urusan, aku juga punya. Jadi bisa kau pergi dari sini atau mungkin pergi dari
hidupku selamanya?”
Seperti biasa, ia tidak ingin
mengalah. Ia selalu ingin didahulukan dan aku benci karena aku sama sekali
tidak keberatan dengan hal itu.
“Kau harus tahu Hyo, aku sudah
tahu apa yang kuinginkan.” Ia menatapku dengan serius, lebih tepatnya menekan
dan memaksa.
“Begitupun denganku,” balasku
tanpa minat.
“Maksudmu si Myungsoo itu? Kau
benar-benar menyukainya? Bersama dengannya adalah yang kau inginkan?” tanyanya
bertubi-tubi.
“Yayaya.. Kau sudah mengetahui
semuanya, Joe.”
Ia kemudian menendang aspal di
depannya sambil meringis-ringis. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin ia
katakan dan aku juga tidak ingin tahu. Aku hanya ingin segera naik ke kamarku
dan mengambil tas. Aku harus segera pergi.
Aku berbalik lagi, kali ini
dengan lebih yakin.
“Baiklah, terserah apa katamu.
Tapi aku hanya ingin bilang aku menggagalkan ciumanku dengan Sinbi yang sangat
berharga itu karena melihat wajahmu dimana-mana.”
Tanganku sudah mencapai knop
pintu, menekan dan mendorongnya perlahan saat ia kembali bicari. Sebenarnya aku
ingin sekali memutar tubuh dan menatapnya, meminta penjelasan lebih banyak,
tapi aku harus cepat-cepat pergi.
“Itu gila! Tapi, baiklah. Kita bicarakan kapan-kapan saja. Kau harus bertemu
dengan Kim Myungsoo, kan?”
Aku tidak menjawab, hanya
melangkah masuk dengan langkah kecil. Tidak ingin cepat-cepat mengakhiri
percakapan abstrak kami.
“Kau tahu? Aku hanya berharap kau
melihat wajahku dimana-mana saat bersama Kim Myungsoo.”
“Kalau itu benar-benar terjadi,
kau tahu kan dimana harus mencariku?”
“Kau akan mencariku kan, kalau
hal itu benar-benar terjadi?”
Aku menutup pintu, bersandar
dengan segala keresahan yang tiba-tiba muncul karena kalimat terakhirnya. Detak
jantungku tiba-tiba terasa agak berbeda, kemudian napasku terhela pelan-pelan.
Sial! Aku bahkan sudah bisa melihat wajahnya saat memejamkan mata.
Bagaimana kalau nanti wajahnya
terus muncul saat aku bersama Myungsoo? Apa itu berarti bukan Kim Myungsoo
orang yang kuinginkan, itu berarti.. SIAL!!
Fin
Halooo!!
Gimana agenda tahun baruannya? Udah pada kemana aja? Well..semoga pada
seneng, tapi inget jangan terlalu berlebihan yah ngerayainnya. Segala sesuatu
yg berlebihan itu gak baik*Apaan sih?* Ehh…tunggu deh, besok kan udah hari senin.
Udah basi bgt ngomongin hari libur..
Okelah..let’s talk this fic
Oke,, sebenernya ini ff gagal yg ngampar di folder dokumen. Tadinya pas
aku buka masih belum ada endingnya, jdi yah..aku tambahin dikit, dikit banget
pokoknya. Berhubung aku lupa tujuan cerita ff ini tuh apa, jdi yah..aku buat
eksekusinya kaya gitu aja..
Kenapa sih aku ga bikin cerita
baru aja daripada ribet ngelanjutin cerita setengah jadi kaya gini?
Yah…karena…sayang, kebetulan ff ini kan cuma semacem ficlet aja jdi aku juga
gak ngerasa terbebani buat ngelanjutinnya, dan yang terakhir karena banyak bgt
ff setengah jadi di folder dokumen.. Mana gak ada judulnya, jdi setiap buka
folder tuh ngeliatin dokumen dengan jdul
‘ketika aku menginjak’ atau ‘Baekhyun merasakan napasnya memburu’ atau ‘awalnya
ia mencoba menghirup’ pokoknya gak disave dengan judul yg pantas. Jadi pasti
aku buka terus aku baca dan ujung-ujungnya ngerasa sayang.
Intinya lagi cuci gudang aja…hehehe.. Abis suka sakit kepala kalo liat
folder gaje numpuk..
Sekedar info aja, mungkin*masih mungkin* aku bakal publish There is A
Will There is A Way minggu depan. Kalo g ada halangan akan kuusahain untuk
publish, pokoknya yg penting minggu ini aku mau fokus UAS dulu *kayak belajar
aja* Yaudah deh itu aja yg mau aku kasih tau.. terimakasih buat yg udah baca,
semoga hari seninnya menyenangkan yaa..
Regards,
GSB
Comments
Post a Comment