[WRITING CHALLENGE] - Best Mistake
Cast: Hwang Jiyeong (OC) & Mark Tuan
Author: GSB
Genre: Romance
Reting: PG ā 17
āThe only acceptable excuse for cheating is āI wanted toā because thatās the only reason it happens.ā
Credit: Tumblr
***
Jiyeong menatap lekat dua lembar
tiket bioskop di tangannya. Sebuah desahan panjang ia loloskan dengan
berhati-hati. Ia mencuri pandang pada seorang pria di balik kemudi yangāentah kenapaājuga
menolehkan kepala ke arahnya. Pria itu, kekasihnya yang sempurna mengulas
senyum dan tak lupa mengulurkan tangan untuk mengacak rambutnya.
āMasih delapan jam lagi filmnya
diputar, tapi kau terus menatapnya sepanjang perjalanan.ā
āSepertinya kau lebih tertarik
memandangi tiket itu daripada memandangku barang sebentar saja.ā Pria itu berdecak,
senyumnya kembali terulas.
Seharusnya Jiyeong membalas
senyum pria itu dengan senang hati, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Rutinitas
membalas senyum atau menanggapi pria itu sudah tidak menyenangkan lagi selama
satu minggu belakangan. Alih-alih tersenyum dengan hati bahagia, Jiyeong hanya
tersenyum dengan perasaan berat hati.
Seolah-olah itulah hal terbaik
yang mampu ia lakukan. Seolah-olah getaran di dalam hubungannya tak lagi ada.
Kemudian mobil sedan itu perlahan
menepi. Mereka sudah sampai di depan gedung kantornya. Jiyeong langsung menarik
sabuk pengamannya, memasukkan dua tiket tadi ke dalam tasnya. Ia sudah siap
turun dari mobil itu.
āHei-hei, kau akan turun begitu
saja? Aigoo, kau keterlaluan Jiyeong,ā
kata pria itu menghentikan tangannya yang hendak membuka pintu.
Jiyeong hanya menyengir hambar,
merasa serba salah dengan cara pria itu memperlakukannya. Sial, bukankah pria
itu memang selalu seperti itu? Memang sudah seharusnya pria ituā
Ia segera menggelengkan kepala, āAku
buru-buru sekali, maaf ya,ā ucapnya sambil mencondongkan tubuh, membubuhkan
kecupan singkat di bibir pria itu.
āLain kali tidak akan kumaafkan.ā
Sebelum perasaan bersalah itu
membunuhnya, Jiyeong langsung keluar dari mobil setelah mengucapkan āsampai
jumpaā pada kekasihnya. Ia melambaikan tangan, menunggu sampai sedan hitam itu
meninggalkan lapangan parkir.
Ia sudah tidak tahan lagi. Ini
semua tidak benar, ia bisa gila kalau menahannya lebih lama lagi.
****
Seperti yang sudah ia rencanakan
sejak dua hari lalu, akhirnya ia menarik Solbi untuk mendengarkan ceritanya
saat istirahat makan siang. Ia menceritakan semuanya, semuanya tanpa
terkecuali. Bahkan bagian-bagian kecil yang tadinya akan ia simpan untuk
dirinya sendiri.
Tapi ia bisa gila pelan-pelan
kalau menyimpan semuanya sendiri. Ia butuh teman bicara, ia perlu seseorang
untuk mendengarkan semua hal yang mengganggunya selama ini.
Maka dari itu ia sama sekali
tidak terganggu dengan reaksi terkejut Solbi sepanjang sesi ceritanya. Temannya
itu akan melenguh panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala, dahinya berkerut
dalam dan matanya memancarkan rasa tidak setuju.
Jiyeong tidak bisa menyalahkan
Solbi, ia memang bersalah. Dari awal ia memang salah, jadi ia tidak keberatan
kalau Solbi terus menghakiminya dengan mata memicing sambil mendesis tidak
terima.
āSelingkuh? Kau gila ya?ā
āMemangnya apa yang salah dengan
pacarmu? Sejauh yang kulihat dan kudengar, ia sangat perhatian dan
menyayangimu,ā lanjut perempuan itu masih dalam rangka memprotes tindakannya.
Jiyeong tak menjawab, jujur saja
pertanyaan itulah yang terus menghakiminya selama ini. Kenapa ia berpaling pada
pria lain sementara kekasihnya sangat menyayanginya?
Selama mereka pacaran, mereka
pernah bertengkar dan saling mendiamkan satu sama lain selama beberapa hari.
Tapi semuanya akan kembali baik setelahnya. Bertengkar adalah satu hal yang
wajar dalam sebuah hubungan. Kekasihnya tidak sempurna, begitupun dengannya.
Lalu apa yang membuatnya berjalan
ke pelukan pria lain? Pria yang bahkan juga tak sempurna, sama seperti dirinya
dan manusia lainnya.
āAku ingin memastikan sesuatu.ā
Solbi menatapnya serius, perempuan itu mencondongkan tubuh ke depan.
āKau tahu kalau selingkuh itu
suatu perbuatan memalukan yang jelas-jelas adalah sebuah kesalahan, kau juga
sudah memutuskan hubungan dengan si Mr. X ini?ā
Jiyeong mengangguk.
āTapi yang selalu kau pikirkan
selama seminggu belakangan adalah si Mr. X? Bukan pacarmu sendiri?ā Solbi
menatapnya dengan tidak percaya.
āIya,ā jawab Jiyeong pelan.
Kemudian terdengar desah panjang
dari sisi Solbi. Perempuan itu kelihatan lelah walau yang ia lakukan dari tadi
hanya duduk dan mendengar ceritanya.
āKau tidak merasa bersalah?ā
āAku selalu merasa bersalah
setiap kali menatap matanya, melihatnya tersenyum. Tapi hanya sebatas itu.
Hanya rasa bersalah yang kurasakan setiap kali melihatnya. Aku tidak bisa
merasakan perasaan yang sama, perasaan yang biasa ada di antara kami.ā
āPerasaan itu sudah mati kurasa,ā
tambah Jiyeong seraya mengusap kepalanya.
Kemudian ia dan Solbi terdiam. Barangkali
perbincangan mereka sudah berakhir, namun perkiraannya meleset begitu orang di
hadapannya kembali bicara.
āHarusnya kau sudah menyadari hal
ini sejak kali kedua menerima ajakan makan malam dari pria itu,ā tutur Solbi
dengan misterius.
Perempuan itu menatapnya datar,
kali ini tidak terlihat menghakimi seperti sebelumnya.
āKesalahan yang pertama kali bisa
saja disebut tidak sengaja atau khilaf, tapi kesalahan kedua dan selanjutnya
bukan khilaf lagi namanya.ā Solbi menjeda ucapannya, menyeruput limun dingin di
gelasnya hingga tandas.
āKau menginginkannya. Pria itu
dan hubungan gelap kalian. Kau sudah mengetahui alasanmu Jiyeong, kau hanya tak
mau mengakuinya,ā lanjut Solbi.
Ia merasa lemas. Dengan mudah
Solbi mengungkap kebenarannya, menyudutkan dirinya yang berharap memiliki
alasan lain.
Ia memang menginginkannya tapi
terus berdalih kalau ia berselingkuh karena dikendalikan alam bawah sadarnya. Dan
rentetan alasan tak masuk akal lainnya ia katakan untuk meyakinkan dirinya dan
pria itu.
āKita harus berhenti bertemu. Kita harus menyudahi semua ini.ā
āKenapa? Kau menyesal sekarang? Kau menyesal karena aku tidak sebaik
pacarmu? Kau sudah sadar kalau akuāā
āAku sudah sadar kalau semua ini salah dan aku tidak bisa melakukannya
lebih lama lagi. Aku tidak bisa mengkhianatinya lagi. Ia sangat mencintaiku.ā
āAku juga mencintaimu.ā
āTidak. Bukan cinta yang selama ini kita rasakan. Kita hanya merasakan
euforia yang berbeda setiap kali bersama. Percaya padaku, baik kau dan aku,
kita hanya sedang merasa bosan dengan rutinitas yang sama setiap harinya. Kita
bertemu kemudian merasakan sesuatu yang berbeda dan menganggapnya sebagai
cinta.ā
āDan itu hanya euforia belaka? Bukan cinta? Selama enam bulan dan itu
masih bukan cinta. Baik, kalau itu yang kau inginkan.ā
Jiyeong mengembuskan napasnya
pelan-pelan. ia merasakan dadanya sesak begitu kilasan percakapannya dengan pria
itu muncul ke dasar ingatan. Itulah percakapan terakhir mereka sebelum akhirnya
berpisah, ia meninggalkan pria itu sendirian, menatap kecewa candle light dinner yang sudah
disiapkannya susah payah.
āLalu apa yang harus kulakukan?ā
tanyanya lemah.
Kemudian ia merasakan tangan
Solbi menggenggam tangannya, memberinya senyum kecil.
āTergantung apa yang diinginkan
hatimu. Coba berdamai dengan hatimu dan pahami baik-baik apa yang kau inginkan.ā
****
Sesuai rencana ia akan dijemput
pukul setengah empat. Namun Jiyeong sudah meninggalkan kubikelnya dari tiga
puluh menit yang lalu. Ia berjalan menjauh dari gedung perkantoran, berderap ke
arah halte. Memberhentikan sebuah taksi yang melintas, dengan fasih menyebutkan
alamat apartemen yang terletak di kawasan
Gwangjin-ju.
Ia menatap keluar jendela dengan
pikiran berkecamuk. Keputusan besar baru saja diambilnya. Sesuai saran Solbi,
ia terus merenungkan masalahnya. Ia berulang kali menatap lembaran tiket dalam
tasnya, hingga akhirnya sebuah keputusan pun diambilnya.
Ponselnya berdering, dengan berat
hati ia menerima panggilan itu.
āā¦ā¦ā
āMaaf, Seungheon-aa aku ada rapat
mendadak di kawasan Pyeongchang-dong,ā jawabnya pada penelepon di seberang
sana.
āā¦ā¦.ā
āMemang benar-benar mendadak. Aku
bahkan tidak ingat untuk menghubungi saking terburu-buru. Lain kali bagaimana? Aku
janji.ā
āā¦ā¦.ā
āSerius? Kau tidak marah?
Terimakasih, iya aku akan berhati-hati. Kau pun berhati-hati menyetirnya.ā
āAku mencintaimu,ā kata pria itu
menutup percakapan.
āAku juga.ā
Jiyeong menatap ponselnya, merasa
bersalah namun merasa lega di lain sisi. Ini benar-benar aneh.
Kemudian taksi yang ditumpanginya
sampai di depan gedung yang begitu familiar. Ia menjejakkan kaki di bahu jalan,
menatap gedung menjulang di depannya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak
mengunjungi tempat itu.
Ia berderap dengan dada
bergemuruh, bahkan ujung-ujung jarinya terasa dingin. Ia bisa mendengar detak
jantungnya sendiri. Ini gila, seharusnya ia merasakan semua itu saat bersama
kekasihnya, Baek Seungheon.
Bukan pria itu.
Harusnya perasaan itu bukan untuk
penghuni kamar 407.
Tangannya bergantung di udara,
tiba-tiba merasa ragu untuk menekan bel di depannya. Mulutnya terasa kering dan
tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Apa sebaiknya ia pulang saja?
Ia mendesah, ia tidak boleh
pulang begitu saja. Setelah meyakinkan dirinya, ia pun menekan bel sebanyak
tiga kali.
Suara langkah kaki terdengar semakin dekat, kemudian suara pintu dibuka membuat napasnya nyaris
hilang. Jiyeong dan pria di balik pintu sama-sama mematung.
Namun pria itu langsung
menatapnya dengan kesal, tak berniat menyuruh Jiyeong masuk.
āHei, sudah lama tidakāā
āKatakan saja apa maumu,ā selak
pria itu.
Jiyeong menatap ujung sepatunya,
tak berani menatap langsung pada mata memicing di hadapannya. Pria di depannya
tak pernah suka basa-basi, ia jauh berbeda dengan Seungheon yang selalu tersenyum
dan membuat lawan bicaranya merasa nyaman.
āMark, akuākau tidak menyuruhku
masuk. Kita bisa bicara di dalam,ā ucapnya terbata-bata.
Namun pria itu, Mark tidak
mengacuhkan rasa gugupnya. Mungkin ditinggal begitu saja setelah susah payah
menyusun makan malam romantis pada malam itu membuatnya membenci Jiyeong.
āKita hanya akan membuat
kesalahan lagi jika aku menyuruhmu masuk ke dalam. Kan, kau sendiri yang bilang kitaāā
āSekalipun kita hanya akan
membuat kesalahan lagi, setidaknya
itu adalah kesalahan yang kuinginkan.ā
Jiyeong tak mengingat kejadian
beberapa detik selanjutnya, ia kembali sadar begitu suara pintu berdebum
terdengar tak jauh darinya.
Ia sudah di dalam apartemen,
berhadapan dengan Mark yang menatapnya dengan intens. Membuatnya mengerut di
antara dinding dan tubuh Mark yang menghimpitnya.
āKau secara sadar kan datang ke
sini? Aku tidak mau tiba-tiba kau bilang keputusanmu ini dikendalikan alam
bawah sadarmu atau apalah itu,ā ucap Mark serius. Suaranya berat dan serak.
Jiyeong mengangguk pelan, tak
kuasa untuk membuka mulutnya. Saraf-sarafnya serasa kaku, seolah sudah tak
digunakan selama beberapa tahun lamanya.
āOkay, letās see.ā Mark membawa wajahnya semakin mendekat, pria itu
menatap bibirnya dan perlahan memejamkan matanya.
Begitupun Jiyeong, ia membiarkan
matanya terpejam, meresapi momen mendebarkan itu dengan khusyuk.
Ia bisa merasakan kehangatan di
bibirnya, tersapu pelan dan lembut. Kemudian perlahan beranjak menjadi lebih
menuntut dan dalam.
āMark Tuan Yi Er!ā
Kalau saja suara serak
menyebalkan itu tidak terdengar, mungkin ia dan Mark sudah beranjak ke kamar
dan melakukan apa saja. Tapi, sial.
Mark mendengus kesal, berbalik
menatap nanar seorang pria dengan tampang bodoh berdiri di ruang tengah.
āAku tahu kau sedang patah hati
tapi bukan berarti kau bisa membawa masuk sembarang perempuan!ā
Jiyeong terkekeh mendengar
penuturan pria itu, namun langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Mark
menatapnya kesal, āJangan lupa, itu semua kan karena ulahmu,ā gerutu Mark.
āAnyway, aku tidak membawa sembarang perempuan. Ini Hwang Jiyeong, the one and only.ā Mark menyingkir,
membiarkan pria berkaos tanpa lengan itu melihat keberadaan Jiyeong.
āOh, Hei Jiyeong. Akhirnya kau
datang, Mark sudah hampir gila karenamu,ā sapa pria itu dengan cengiran lebar.
āGadismu hebat, she brought you pain and healed you, then.
Oh man.ā
āBilang saja kau iri.ā Mark
kemudian merangkul Jiyeong, mengisyaratkan temannya untuk segera angkat kaki
dari apartemennya.
āBeginikah sikapmu pada seorang
sahabat yang sudah setia menemanimu? Pada akhirnya aku disisihkan lagi?ā
Jiyeong tak bisa menahan tawanya.
Ia cekikikan melihat tingkah dramatis
Jackson, yah nama pria drama itu Jackson Wang.
āTahu diri sedikit. Aku dan
Jiyeong butuh privasi. Jadi tolong tinggalkan apartemenku.ā
Akhirnya Jackson pun pergi dengan
mulut bersungut. Malangnya pria itu.
āJadi sampai dimana kita tadi?ā
Mark menginterupsi, Jiyeong mengalihkan pandangannya dari pintu ke arah Mark.
Pria itu tersenyum jahil,
kemudian melingkarkan kedua tangan di sekitar pinggangnya. Memeluknya erat,
membuatnya tak bisa menahan senyum.
āSampaiā¦aku secara sadar datang
ke sini,ā respon Jiyeong sambil melingkari leher Mark.
āGood girl.ā
Setelahnya Jiyeong tidak ingat
detailnya, yang jelas Mark masih memeluknya dan bibir mereka masih bertautan.
Sial, ini memang tidak benar.
Tapiā¦inilah yang diinginkannya.
End
Well, seperti
judulnya ff ini merupakan pembuka dari event WRITING CHALLENGE. Jadi aturan
main untuk event kali ini adalah setiap author memberikan satu buah quotes,
satu lagu dan satu pasang cast yang kemudian dikocok. (jadi kayak tukeran misi
gitulah, tapi dikocok biar lebih deg-degan)
Dan aku kebagian
cast dari author Kim Dhira dan sebuah quotes dari dia juga. Aturan main
selanjutnya adalah FF masing-masing author akan dipublish sehari satu ff. Aku
pun kebagian urutan pertama.
Jadi untuk dua
ff lagi akan terus diupdate dua hari ke depan.
Now, letās talk
about this fic thenā¦
Hoooā¦waktu
dapet quotes itu aku berasa mati kutu, karena walaupun pernah nulis ff dengan
tema yang serupa tapi kan tetep aja.. bukan keahlian aku bikin ff begini.. jadi
yah, aku buat berdasarkan kemampuan aku aja, tapi ini udah dikerahkan
semampunya kokā¦klo kurang di sana-di sini yah maklumin ajaā¦
Danā¦sorry
banget karna munculin Jackson di tengah-tengah adegan PARAPARA-nya Mark sama
Jiyeong, jujur aja aku gak kuat pas ngetiknya. Jadi biar ada jeda sebentar buat
otak malang ini, akhirnya aku munculin Jackson.
Itu aja deh dari aku, ikutin terus event kita sampe hari rabu nanti. Semoga
event kayak gini bisa diadain lagi*amin* oke dadah..
See you,
GSB
Comments
Post a Comment