[WRITING CHALLENGE] - Standing Still




Main Cast = Bang Minsoo – Jang Hyunra
Genre = Romance
Length = Oneshoot
Author = Salsa



Mytha – Aku Cuma Punya Hati



***




“Minsoo, aku dijodohkan.”


Minsoo langsung menghentikan gerakan tangannya—yang sedang menyumpit segumpal nasi. Sementara Hyunra segera menunduk dalam.


“Coba ulangi lagi,” kata Minsoo masih tak percaya. Selera makannya seketika hilang. Ia melepas sumpitnya dan membenarkan posisi duduk, memberikan fokus penuh pada sang wanita.


“Kau tidak salah dengar,” jawab Hyunra. “Aku akan segera menikah dengan pria pilihan eomma.”


Minsoo tertawa sembari menyenderkan punggung, menggeleng, memaksa bibirnya untuk tersenyum. “Kau sedang bercanda kan?”


“Aku tahu ini pasti akan sangat sulit bagi kita tapi…“
“Jadi ini serius?”
“Minsoo, aku…“
“Aku akan bicara pada orang tuamu.”
“JANGAN!” sambar Hyunra cepat. “M..maksudku, aku tak mau ada keributan di rumah,” lanjutnya dengan nada yang lebih tenang.


“Kalau begitu biarkan aku bicara pada pria itu.”
“Tidak bisa!” sahut Hyunra lagi.
“Kenapa tidak bisa? Kalau semuanya tidak bisa, lalu aku harus bagaimana?”
“Ya.. tidak ada yang bisa kau lakukan.”
“Tidak ada?” ulang Minsoo sedikit lebih keras.
“Kita putus.”
“Apa?”
“Kau dengar ucapanku! Berhenti bilang ‘apa’!”
“Ya, tapi… serius? Kau tidak ingin berjuang dulu, maksudku…”
“Kau pasti bisa menemukan penggantiku secepatnya,” potong Hyunra seraya berdiri. Ia menganggukkan kepala sebagai ucapan selamat tinggal, lantas berlalu meninggalkan Minsoo dan makan siangnya begitu saja.



**********



5 hari berlalu semenjak kejadian tragis itu. Kini, Minsoo berdiri bersandar di sisi tembok sambil menyeruput bubble tea-nya yang hampir habis. Matanya tak lepas dari sepasang sejoli sepuluh meter di depan sana. Minsoo mengasumsikan itu hanya salam perpisahan usai berkencan, tapi ini sudah hampir 20 menit dan kedua orang itu masih disana—berdiri berdekatan sambil tertawa malu-malu. Minsoo tak ingat pernah melakukan hal sekonyol itu dengan Hyunra ketika mereka pacaran. Syukurlah.


Sekian menit berlalu lagi, dan untungnya… kali ini mereka benar-benar berpisah. Si pria memasuki mobil sembari melempar senyum hangat dan lambaian tangan, lalu pergi.


Saat itu, Minsoo yang sudah menunggu lama segera beraksi. Ia menghampiri Hyunra dan mencekal lengannya saat si gadis hendak berbalik.


“Jadi itu pria pilihan eomma?” Minsoo bertanya dengan nada mencibir.


Sang gadis tersentak, terkejut seperti melihat hantu. “A..apa yang kau lakukan disini?”


“Kau berhutang penjelasan padaku.”
“Penjelasan apa?”
“Kenapa kau berbohong?”
“S..siapa yang berbohong?”
“S..siapa lagi?” Minsoo meniru cara bicara Hyunra yang panik, mencemooh.
“Kukira dengan 9 bulan pacaran, kita sudah berada di tahap… kau tahu, percaya-satu-sama-lain. Tapi ternyata aku salah,” kata Minsoo kecewa.


“Darimana kau menyimpulkan aku bohong?! A..aku benar-benar dijodohkan.”
“Dijodohkan oleh siapa huh? Setidaknya kalau mau bohong beritahu orang-orang serumah dulu. Sayang sekali, padahal kau hampir berhasil.”


Hyunra cuma mengerutkan kening, masih bersikeras mempertahankan ekspresi ‘aku tak mengerti’. Minsoo menghela napas bosan.


“Tadi pagi aku tak sengaja bertemu eomma-mu di swalayan, dan dia kaget setengah mati saat kutanya kapan pernikahanmu digelar.” Perubahan ekspresi Hyunra dari ‘aku tak mengerti’ menjadi ‘oh tidak!’ terlihat signifikan, ia seketika meringis, berusaha menyembunyikan wajahnya.


“Kau bohong dan aku percaya, begitu saja.” Minsoo tersenyum getir. “Seperti orang bodoh.”


Hyunra mengalihkan tatapan matanya dengan gelisah, ke segala arah, kecuali pada Minsoo. Skak mat. Hyunra tak bisa membela diri lagi.


Minsoo terus bicara, menumpahkan semua rasa tidak adilnya terhadap Hyunra. Ia benci dibohongi begini, ia tak mengerti kenapa Hyunra harus berbohong, ia….


“Cukup!” seru Hyunra muak. “Iya aku berbohong. Iya perjodohan itu tak pernah ada, semua memang hanya akal-akalanku saja. Kau puas?”


“Belum.” Minsoo menggeleng tenang. “Katakan dulu apa alasannya!”
“Alasannya? Alasannya adalah aku ingin kau enyah dari hidupku!”
“Enyah? Wow, itu kata yang kuat!” Minsoo berseru tak percaya. Ia menatap Hyunra sembari mati-matian meredam emosi. “Oke, tapi setidaknya kau bisa meminta baik-baik kan? Kita bisa bicara dan aku akan…”


“Kau akan apa? Kalau memang semudah itu, aku pasti sudah melakukannya sejak lama. Kau tak pernah mendengarkanku setiap kali aku minta putus,” potong Hyunra.


Minsoo mengernyitkan hidung dan menatap tajam gadis di hadapannya. “Kalau kau memberiku alasan yang masuk akal, aku pasti akan terima. Aku tidak bisa dengan ‘ya.. putus saja’ atau ‘entahlah, aku sedang ingin sendiri dulu’.” Minsoo menirukan gaya bicara Hyunra saat mengatakan itu. Ya, Hyunra memang sudah berkali-kali mengutarakan keinginannya untuk berpisah. Tapi Minsoo selalu menolak, dengan dalih ‘itu bukan alasan yang dapat kuterima’.


“Aku selingkuh. Pria yang kau lihat tadi adalah selingkuhanku. Aku muak denganmu. Sekarang apa alasanku masuk akal?”


Minsoo seketika membatu, sesuatu dalam dadanya serasa meledak. Ia tak bisa berkata apa-apa, hanya membalas dengan tatapan nanar. Ia mengira Hyunra yang memintanya ‘enyah’ itu sudah terdengar sangat kasar dan menyakitkan. Tapi pengakuan barusan ternyata membuat dadanya lebih sakit lagi.


Minsoo mendongakkan kepala sambil tersenyum pahit, kemudian setelah beberapa saat baru memaksa matanya untuk menatap Hyunra lagi, “Ya.” Pria itu mengangguk. “Itu alasan yang dapat kuterima.”



**********



Sejak pengakuan itu, Minsoo benar-benar berhenti. Tentu saja. Ia merasa sudah memperlakukan Hyunra sebaik mungkin, mempertaruhkan semuanya, siap mati untuknya (ini berlebihan), tapi Hyunra malah selingkuh dan menyuruhnya enyah begitu saja, seolah hubungan mereka selama ini sama sekali tak ada artinya.


Walaupun ibu Hyunra masih sering menelfon, masih sering meminta pria itu untuk kembali pada anaknya, Minsoo tetap kekeh menolak. Minsoo merasa semuanya sudah cukup. Silahkan bersenang-senang dengan pacar barumu! Lihat apa pria itu bisa mencintaimu seperti aku!


Hingga…..


Suatu hari di Jum’at pagi…


Minsoo yang sedang berjalan pulang setelah mengambil cucian laundry bertemu lagi dengan sang mantan. Kala itu ia sedang menyebrang jalan, tanpa sengaja melihat Hyunra dan pria barunya di salah satu kafe. Mereka nampak sedang bertengkar.


Setelah melewati zebra cross, Minsoo berhenti sejenak, matanya menatap lurus kesana. Si pria tengah berteriak, sementara Hyunra sesenggukan menangis menutupi wajahnya. Ya, ini memang pemandangan yang tidak baik, tapi apa yang bisa Minsoo lakukan? Ia tak mungkin muncul tiba-tiba, menarik lengan pria itu dan mengancamnya sok pahlawan. Tidak. Hyunra sudah menyia-nyiakannya, Minsoo mempertahankan hubungan mereka sekuat tenaga tapi Hyunra menyia-nyiakannya. Ini resiko terwajar untuk meninggalkanku.


Minsoo berusaha mengabaikan pemandangan itu dan terus berjalan, sesekali membenarkan posisi plastik laundry-nya yang merosot.


Tapi…


Siapa sangka mengabaikan seorang gadis tak berhati saja bisa sesusah ini?


“Tch, sial.” Minsoo mengumpat pelan. Ia bahkan belum mencapai langkah kesepuluh saat memutuskan untuk berbalik. Pria itu berjalan cepat menuju kafe, menyelip di antara pedestrian yang berjalan berlawanan arah, membiarkan plastik di pundaknya melompat kesana-kemari. Perasaan dan pikirannya kalut luar biasa. Melihat Hyunra dibentak orang asing membuatnya merasa marah, hati kecilnya masih tak terima.


Tak butuh waktu lama, ia sudah berhenti tepat di depan meja mereka dengan napas terengah. Kedua orang di meja itu mendongak dan menatapnya keheranan.


“M..Minsoo..”
“Kenapa kau membuatnya menangis?” seru Minsoo, sedetik kemudian merasa konyol.


Apa yang kulakukan? Ia merutuk. Kenapa aku disini?


“Apa yang kau lakukan?” Hyunra menyerukan suara pikiran Minsoo dengan tajam.
“Hyunra….”
“Apa yang dia perbuat padaku, itu bukan urusanmu,” sahut Hyunra lagi, masih dengan ekspresi yang sama. Minsoo melirik pria di depan sang gadis sambil menelan ludah. Ini lebih buruk daripada menjadi sok pahlawan. Rasanya seperti… membantu menggapai seseorang yang tergantung-gantung di jurang, tapi tangan yang kau ulur malah ditepis.


“Bukankah kau bilang alasanku diterima?” Hyunra bicara dengan nada memelas.
“Aku sudah berhasil terbebas darimu, jadi tolong… tolong jangan ganggu aku lagi,” lanjutnya, kali ini dengan mata yang berkaca-kaca. Minsoo benar-benar tak mengerti. Apa yang sudah ia lakukan sampai membuat Hyunra sebenci ini? Apa salahku?


“Kau egois, makhluk paling egois yang pernah kutemui. Kau menyuruhku mendengarmu, tapi tak pernah mau mendengarku. Apa yang kupikirkan, apa yang kurasakan, semuanya tidak berarti di matamu. Sekarang aku sudah bebas seperti ini, kau masih mau menerorku juga ha?”


Minsoo menelan kembali pertanyaan ‘apa salahku?’-nya, pertanyaan itu sudah dijawab sebelum ia sempat membuka mulut.


Minsoo mengangguk lemah mendengar penuturan Hyunra, baru sadar kalau ternyata ia seburuk itu dalam perspektif sang gadis. Ia kemudian menoleh sepintas pada pria bermantel krem yang menduduki kursi di seberang Hyunra. Pria yang aneh, batin Minsoo. Kekasihnya sedang dalam keadaan kacau begini dan dia hanya… diam, tak mencoba menenangkan, tak mencoba mengusir Minsoo, tak mencoba menjadi penengah. Jelas sekali kalau dia tidak peduli. Ia terus menyeruput kopinya sambil menatap mereka dengan senyum sinis, seolah berkata ‘dasar orang-orang bodoh!’. Minsoo tak mengerti apa lebihnya pria ini dibanding dirinya.


“Mungkin aku memang egois, mungkin keputusanmu untuk meninggalkanku memang benar. Tapi…” Minsoo mengalihkan tatapannya pada si pria. “Setidaknya carilah yang lebih baik dari ini,” sambungnya, jelas merendahkan.


“YAH!” Si pria yang merasa dihina itu langsung berdiri sambil menggebrak meja. Orang-orang di sekeliling mereka terkejut. Tapi Minsoo tetap dengan santai mengalihkan tatapannya kembali pada Hyunra.


“Kau tak pernah menegurku saat aku bersikap egois, jadi bagaimana aku bisa tahu? Kalau aku tak tahu apa salahku, bagaimana aku bisa memperbaikinya?”


Dari arah belakang, si pria mencengkram bahu Minsoo, namun Minsoo dengan cepat menepis. Matanya tak beralih sedikit pun dari Hyunra.


“Dan sampai kau mendapat pria yang lebih baik dariku, aku tak akan berhenti mengganggumu. Yang jelas bukan pria ini.” Minsoo berbalik di saat yang tepat—saat si ‘pria ini’ hendak meninju tengkuknya—dan dengan mudah menangkap tinjuan itu. Minsoo memelintir tangannya dan mendorongnya sampai ia menubruk meja di belakang. 3 orang perempuan di meja itu langsung berdiri sambil berteriak kaget.


Minsoo mengambil plastik laundry-nya yang tergeletak di ubin, memanggulnya di pundak, lantas berjalan pergi.



***********



Dan hari-hari berikutnya berjalan seperti itu. Ternyata Minsoo tak main-main dengan ‘aku tak akan berhenti mengganggumu’ tempo hari. Hyunra merasa Minsoo ada dimana-mana. Dia pergi ke swalayan, Minsoo disana. Dia mencari novel di toko buku, Minsoo juga disana. Dia ke kampus, ke restoran, ke taman kota, Minsoo selalu ada disana, seperti bayangan. Ini sudah di tahap ‘mengganggu’ level baru. Hyunra sejujurnya sudah tak tahan, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa—lebih tepatnya tak mau berbuat apa-apa. Sejujurnya ia tak ingin mengakui ini tapi… ketimbang mengganggu, Minsoo lebih layak disebut membantu.


Ya. Bang Minsoo, entah bagaimana, memang selalu menolongnya di saat genting. Seperti kemarin saat tangannya ditarik waktu hampir terserempet motor, atau saat pria itu dengan lelehan peluh dan napas terengah-engah tiba-tiba muncul di hadapannya sambil menyodorkanya plastik baru—sebab plastik belanjaannya jebol di tengah jalan. Dan beragam tindakan heroik lain. Kadang Hyunra suka berhenti tiba-tiba saat berjalan, suka menoleh ke sekeliling dengan mata memicing, apa Minsoo bersembunyi di balik pohon? Apa ia menyamar? Apa ia menyelip di antara kerumunan orang? Apa ia menggunakan jubah menghilang seperti di film harry potter? Tak ada yang tahu.


Dan mungkin hari ini puncaknya, dimana sang ‘bayangan’—yang hanya memunculkan batang hidung bila Hyunra butuh bantuan, tiba-tiba saja memberanikan diri keluar dari tempat persembunyiannya. Sore itu Minsoo menekan bel.


Hyunra membuka pintunya, langsung bersedekap angkuh dan membuang muka.


Gadis itu baru saja mau bertanya ‘untuk apa kesini?’ saat Minsoo tiba-tiba menyodorkan sebuah kotak berpita. Hyunra secara refleks melepaskan dekapan tangannya, mendecak bosan, “Aku tidak....”


“Jangan ditolak! Kumohon. Ini kado ulang tahun.”
“Kau tidak seharusnya membelikanku kado. Kita sudah putus.”
“Aku membelikannya sebelum kita putus.”
“Aku tidak bisa menerimanya. Simpanlah, berikan pada pacarmu yang baru.”
“Aku tak punya pacar baru. Sekalipun punya, aku tak akan memberikan barang yang kubeli untuk orang lain padanya. Aku tidak sejahat itu. Ambillah!” Hyunra tetap tak mau mengulurkan tangan.


Minsoo mendecak, “Dengar, jangan besar kepala! Aku tak pernah memintamu kembali. Ini hanya…. untukmu, aku membayangkan wajahmu saat membelinya. Jadi, terimalah!” Minsoo meraih tangan Hyunra dan memaksa gadis itu menggenggam kotaknya.


“Kau boleh membuangnya kalau tidak suka.”


Setelah mengatakan itu, Minsoo mengangguk sekenanya dan berlalu.



**********



Saat itu akhir pekan, Hyunra baru pulang ke rumah pukul 2 pagi. Setelah mendapat omelan panjang dari kedua orang tuanya, Hyunra berjalan pelan-pelan menaiki tangga—ia dalam keadaan setengah mabuk. Ya, gadis itu habis ‘mencicipi’ alkohol untuk yang pertama kalinya. Dan Hyunra cukup beruntung orang tuanya tak menyadari hal itu.


Hyunra duduk di pinggir ranjang, menatap kosong pada dinding. Perasaannya terasa hampa, dan itu membuat Hyunra benar-benar heran dengan dirinya sendiri.


Dia pulang pagi, dia meminum alkohol, dia pergi ke bar, Hyunra menjalani kehidupan ‘orang dewasa’ yang selama ini persis ia dambakan. Lalu apa yang salah?


Keinginanku tercapai, semua rasa penasaranku terjawab, bukankah seharusnya aku bahagia?


Mungkin ini karena ia habis dimarahi.


Mungkin ini karena ia mengeluarkan 10.000 WON untuk taksi—pacarnya hilang tiba-tiba saat di bar.


Atau mungkin memang bukan ini yang kuinginkan.


Hyunra menggeleng, buru-buru menepis asumsi itu. Tidak masuk akal. Terlepas dari semua kalimat umpatan dan kepribadian cueknya, pacarnya yang sekarang benar-benar keren, mereka punya banyak kesamaan, dan yang terpenting, pria itu sama sekali tidak mengaturnya seperti anak kecil. Dia seharusnya merasa senang. Hal seperti ini tak akan ia dapat jika masih bersama Minsoo.


Ya, Bang Minsoo, si pria sok penurut itu. Setiap mereka jalan-jalan, orang tua Hyunra selalu berpesan untuk memulangkan anak gadisnya sebelum pukul 7, dan Minsoo mematuhinya, selalu. Dan itu yang membuat Hyunra muak, Minsoo bertingkah seperti pria suci, padahal ia sendiri kabur dari rumah sewaktu SMA. Hyunra merasa tidak adil. Apa hanya kau yang boleh keluar batas? Egois!


Ya, Bang Minsoo, si pria pengekang. Dia boleh minum bergelas-gelas, sedangkan Hyunra tak boleh menyentuh alkohol. Dia boleh berkumpul dengan teman-temannya sampai pagi, sedangkan Hyunra langsung digeret keluar sebelum jam 7. Dia selalu punya tato baru setiap bulan, sementara Hyunra langsung diintrogasi habis-habisan hanya karena tato kupu-kupu temporer kecil di pergelangan tangan.


Sejujurnya pria itu lebih seperti pengawal ketimbang pacar. Dia adalah manusia dengan segudang lelucon aneh yang hanya dapat dimengerti oleh dirinya dan Tuhan. Dia adalah pria membosankan yang selalu membawa Hyunra ke restoran yang sama. Sampai sekarang Hyunra masih tak percaya kalau ia sudah terbebas dari pria itu. Keajaiban.


Hyunra menghela napas lelah, badannya letih, ia menari di lantai dansa seperti orang kesetanan, bersama orang-orang asing. Ia tak tahu kenapa orang-orang di tv suka melakukan hal itu. Mereka semua menempelkan tubuh satu sama lain, menggerayang di lantai, melompat-lompat dengan dentuman musik murahan. Menjijikan. Bahkan pacar barunya hilang ditelan gemerlap lampu disko. Ia membutuhkan waktu satu jam untuk mencari sebelum akhirnya menyerah dan pulang dengan taksi. Hyunra bersumpah hari ini akan menjadi kali pertama dan terakhir ia mendatangi bar.


Hyunra mencium bau rokok yang menempel di rambutnya, lalu mengernyit geli. Kemudian, saat sedang melepas sepatu bootnya, secara tak sengaja sebuah kotak di pojok kamar tertangkap matanya. Kotak dari Minsoo, Hyunra melemparnya begitu saja kala itu—kira-kira seminggu yang lalu.


Hyunra menurunkan kaki, mengurungkan niat untuk melepas sepatu. Ia malah terdiam memperhatikan kotak itu, sibuk menimbang antara memungut dan membukanya, atau memungut dan membuangnya. Hingga….


“Aku hanya akan mengintip sedikit,” janjinya.


Saat ia membuka kotak itu, sebuah kepala badut menjulur dan membuat Hyunra berteriak histeris. Refleks ia melempar kotak itu sampai membentur lemari.


“AH! Serius! Dia bilang dia membayangkan wajahku saat membelinya?! Kurang ajar! Seharusnya aku tidak berharap banyak dari Bang Minsoo! Sial!”


Hyunra memungut kotak itu dengan geram dan nyaris membuangnya ke tempat sampah. Ya, nyaris. Hyunra tak jadi membuangnya. Matanya berhasil menangkap benda lain di pinggiran kotak. Sebuah cincin. Hyunra mengambil cincin itu, warnanya perak, cantik, berkilau. Hyunra benar-benar terpukau sampai lupa dengan rasa marahnya. Ia terus memandangi cincin itu hingga akhirnya tersadar kalau cincinnya diikat oleh seutas benang tipis, benang yang tersambung dengan kartu berukuran sedang bertuliskan ‘selamat ulang tahun’.


Hyunra membalik kartu itu dan menemukan lebih banyak tulisan.



Ingat benda ini? Kau memang tidak mengatakannya terang-terangan, tapi oh nona, semua orang bisa menebak. Ini kan bendanya? Yang kau ketuk-ketuk di etalase waktu itu? Semoga aku tidak salah beli. Seleramu jelek sekali, cincin di sebelahnya jauh lebih indah—dan lebih murah. Aku merelakan uang untuk membeli kanvas demi membeli cincin ini. Jadi please jaga baik-baik.



Hyunra tersenyum pahit. Itu memang cincin yang dia lihat di etalase, yang ia pelototi dengan tatapan terkagum-kagum dengan harapan Minsoo akan membelikannya. Dan ternyata pria itu—pria yang mengaktifkan ekspresi datar sepanjang jalan—tanpa diduga-duga benar-benar membelikannya.


Hyunra sudah memasang benda itu di jari manisnya, dan sejak saat itu ia tak mampu mengalihkan pandang kemana-mana. Cincin itu terlalu cantik untuk tidak dilihat. Hyunra bahkan tak berhenti tersenyum juga.


Saat itu perlahan-lahan senyumnya memudar. Ia mengangkat kartu itu lagi. Tadi, sewaktu ia membaca tulisan disana, ia bisa memvisualisasikan Bang Minsoo dengan sangat nyata, seolah-olah pria itu benar-benar tengah berdiri di hadapannya. Dengan senyum mencemooh dan gaya bicaranya yang seperti orang mabuk, Minsoo mengamati ekspresi wajahnya dan ikut tersenyum.


Hyunra merasa dadanya ditindih sesuatu sampai-sampai tak bisa bernapas. Ia merindukan Minsoo. Dan sekarang seluruh narasi yang tadi terbayang-bayang di benaknya menjadi berubah plot.


Ya, Bang Minsoo, si pria sok penurut itu. Ia mematuhi semua perintah orang tua Hyunra yang sangat pengekang dengan alasan, “Aku bisa memahami mereka. Kau tahu? Jika aku punya anak perempuan secantik kau, aku juga akan jadi sangat protektif.” Hyunra tersenyum getir mengingat kalimat itu, kalimat andalan Minsoo tiap kali ia merajuk soal ‘kenapa kita harus pulang pukul 7?’. Kalimat yang selalu berhasil membuatnya tersenyum tersanjung tanpa sadar.


Ya, Bang Minsoo, si pria sok suci. Ia bahkan kabur dari rumah sewaktu SMA. Tapi Minsoo mengakui kesalahannya, ia pernah bilang, “Kau tak akan tahu seberapa sakitnya perasaan orang tuaku saat itu. Aku tak akan membiarkanmu tahu. Cukup aku saja. Itu memang terasa keren di hari pertama atau kedua, tapi hari-hari selanjutnya terasa seperti neraka, rasa bersalahnya tak mau hilang bahkan sampai sekarang. Jangan biarkan orang tuamu merasa gagal dalam membesarkanmu. Jangan.”


Minsoo minum alkohol, tapi tak pernah mengizinkannya untuk mencicip barang setetes. Minsoo bilang, “Apa kau pernah melihatku minum di waktu senggang? Aku minum begini hanya untuk menghargai teman-temanku. Alkohol itu memicu radang, bahkan bisa membuat berat badan naik juga. Aku lebih senang melihatmu minum jus atau teh. Apa The dr. oz show belum membahas tentang alkohol? Haruskah aku menelfon mereka? Jangan. Minum. Alkohol.”


Minsoo adalah maniak tato, sedangkan Hyunra diperlakukan seperti terdakwa pembunuhan hanya karena tato temporer super kecil. “Aku hanya takut kau ketagihan dan malah membuat tato permanen. Aku mengenalmu dan penyakit penasaranmu yang akut. Dengar, mentato tubuh itu banyak konsekuensinya! Pertama, rasanya sakit. Kedua, kau tidak bisa menghapusnya. Ketiga, image-mu langsung jelek, kau tetap akan dipanggil ‘si berandalan’ sekalipun kau rutin berdonasi untuk acara amal, tidak semua orang bisa menghadapi itu. Sekalipun kau bisa, aku tak mau kau menghadapinya. Ini buruk, tapi aku ketagihan, percayalah aku masih berjuang untuk menghentikan diriku sendiri. Jadi selagi kau belum terjerumus, maka jangan!”


Minsoo adalah pria dengan selera humor yang aneh. Tapi leluconnya sering kali berhasil membuat Hyunra tertawa sangat keras sampai minumannya keluar dari hidung.


Minsoo selalu mengajaknya ke restoran yang sama. Tapi sebenarnya tanpa Hyunra sadari, ia sendirilah penyebabnya. Ia pernah bilang sup daging sapi di restoran itu adalah yang terenak. Lagi, Hyunra tak pernah bilang ia mau pergi ke restoran lain, ia tak pernah menggeleng saat Minsoo bertanya, “Mau makan di restoran biasa?” Hyunra mau dimengerti tanpa harus berkata-kata. Dan Minsoo belum menguasai ilmu membaca pikiran. Jadi…


Siapa yang lebih egois?


Semua narasi di pikirannya terpampang nyata bak sebuah adegan film. Hidung Hyunra memerah. Ia sudah terduduk di lantai, memeluk lututnya dan menangis terisak-isak. Ini klimaksnya. Saat dimana akhirnya ia sadar siapa yang sudah ia sia-siakan. Pacar barunya memang keren dan kekinian tapi… semuanya tidak pas. Bukan dia yang kubutuhkan.


Hyunra tak peduli sekonyol atau seegois apa Bang Minsoo, ia tak peduli jika pria itu akan mengekangnya lagi, ia hanya… ingin kembali seperti semula. Ia ingin bersama Bang Minsoo lagi. Ia ingin duduk bosan, mengeluh, berguling kesana kemari menunggu Minsoo menyelesaikan game-nya. Ia ingin dipulangkan pukul 7 malam. Ia ingin diomeli karena membuat tato temporer. Ia ingin makan sup daging sapi di restoran biasa. Ia ingin Bang Minsoo.


Tapi, apa dia masih menginginkanku? Apa dia mau memaafkanku? Hyunra membatin, merasa benar-benar menyesal.


Saat itu, ia teringat dengan kertas post-it kuning yang menempel di tutup kotak. Tulisan berbahasa Inggris, Hyunra tak benar-benar membacanya saat Minsoo memberikan kotak itu—atau tadi saat membukanya. Sejujurnya ia paling benci jika pria itu menggunakan bahasa Inggris. Dia bicara pakai bahasa Korea saja sudah sulit dimengerti, sekarang mau sok-sokan pakai bahasa Inggris? Perlu diketahui, Minsoo itu bicara seperti orang mabuk, atau kumur-kumur—atau orang mabuk yang sedang kumur-kumur. Jadi, menurut pertimbangan bijak Hyunra, ketimbang belajar bahasa Inggris, lebih baik pria itu memperlancar pelafalan Koreanya saja.


Hyunra berhasil menemukan tutup kotak itu dan langsung membaca tulisan disana.



No matter how far you try to
push me away, I will never
ever, stop caring about you




Senyum tipis langsung menghiasi wajah Hyunra. Ini seperti Minsoo sedang menjawab pertanyaannya. Hyunra segera meraih ponselnya dan tanpa berpikir dua kali langsung menelfon Minsoo. Ini pukul 3 pagi, dan pria itu pasti sedang duduk di depan laptop, bermain League of Legends. Hyunra sudah hapal benar kebiasaannya itu.



Ia menempelkan layar ponselnya di telinga dan menunggu nada sambung dengan gelisah. Harusnya ia tidak langsung menelfon begini, kepalanya kosong, ia tak tahu bagaimana harus memulai percakapan. Ia tak mau terdengar agresif, tapi tak mau terdengar bertele-tele juga. Apa yang harus…..


“Hyunra, serius? Kau butuh waktu selama ini untuk menyadari aku lebih baik dari pria itu? Hei, ini agak sedikit keterlaluan, 3 minggu itu terlalu lama. Aku nyaris mencari pacar baru.”


Hyunra terkesiap pelan. Itu adalah sambutan yang hangat, jauh di luar ekspektasinya.


“Yaa.. begitulah, banyak yang harus dipertimbangkan,” ucap Hyunra, susah payah menekan gengsinya.
“Bicaralah!” suruh Minsoo, intonasinya berubah serius.
“Aku cuma mau bilang……” Hyunra menahan diri, “hmm, dari mana kau mendapat quote itu?”


Di ujung telfon, Minsoo seketika tersedak dan nyaris menjatuhkan gelasnya. “Uhuk.. APA? Kau bertanya APA?”


“Aku.... entahlah. Hei dengar, aku sedang ingin makan sup daging sapi. Kau tahu tempat yang enak?” Itu hanya kalimat pancingan. Hyunra ingin bertemu Minsoo secepatnya, ia ingin minta maaf dengan layak. Namun, bukannya langsung menyebutkan nama restoran biasa, Minsoo malah terdiam. Hyunra menggigit bibirnya menunggu jawaban.


“Jadi,” tanya Minsoo setelah beberapa saat, “kita sudah baikan?”
“Kurasa begitu.”
“Itu…. bagus. Jadi kau mau ke restoran biasa? Akan kujemput besok, jam 11,” kata Minsoo tak yakin. Dia terdengar bingung, tapi di sisi lain Hyunra bisa merasakan pria itu tersenyum.


“Tentu, sampai jumpa besok. Selamat malam.”
“Apa kau masih mau tahu dari mana aku mendapat quote itu?”
“Tidak terlalu. Tapi kurasa kita bisa membicarakannya sambil makan sup. Selamat malam.”
“Baiklah,” jawab Minsoo. “Selamat malam.”


Setelah itu, Hyunra pun menjauhkan ponselnya dari telinga. Namun, belum sampai 5 centi ponsel itu menjauh, “Minsoo, tunggu!” Hyunra berteriak, buru-buru menempelkan ponselnya kembali.


“TERIMA KASIH!” ucapnya tegas. “Terima kasih sudah menungguku. Aku benar-benar bodoh, maaf.”


Tak ada suara apapun. Mata dan bibir Hyunra sudah bergetar, bahkan tangannya juga gemetar. Ia mengumpulkan seluruh keberanian untuk mengucapkan itu, tapi Minsoo ternyata…


“Ya.” Tiba-tiba saja suara tenang di ujung sana kembali terdengar. Dadanya mencelos. Hyunra bisa merasakan pria itu tersenyum—kali ini senyuman yang lebih lebar, lebih hangat, membuatnya seketika ikut tersenyum lega. Semua benda di sekitarnya terlihat seperti mozaik karena matanya sudah digenangi air.


“Terima kasih untuk memaafkanku semudah ini. Aku sejujurnya tak berhak,” kata Hyunra lagi, dengan suara yang lebih serak.


“Kau selalu berhak. Lagipula harusnya aku yang minta maaf,” kata Minsoo, “maaf jika selama ini sikapku egois.”


“Tidak, jangan minta maaf. Aku merindukan sikap egoismu, jadi tidak apa-apa. Egois saja!”


Minsoo tertawa. “Aku penasaran apa yang membuatmu bicara begini. Kau habis minum ya?”


“Ya, aku minum sampai mabuk. Tolong omeli aku!”
“Kau benar-benar mabuk ternyata.”
“Tolong omeli aku!”
“Tidurlah! Akan kuomeli besok.”



END


Aku kebagian cast punya GSB (Minsoo-Hyunra), dan lagu pilihan Kim Dhira (Mita – Aku Cuma Punya Hati). Kebetulan berhubung kebagian jadi penutup event ini, aku mau ngucapin makasih buat semua yang udah baca, semoga ff kita bertiga ga mengecewakan~ dan semoga event kaya gini bisa diadain lagi^^


Kalian tau lagunya mita yang ini? Tau liriknya? Aku udah kudet banget, waktu dapet lagu ini kepala aku langsung penuh tanda tanya  ‘mita siapa? Ini lagu tentang apa? Aku dimana? Kamu siapa?’ pokonya gitu.



FF sama lagunya emang ga nyambung2 banget. Tapi yah namanya juga cuma terinspirasi, iya g? jadinya cuma ngambil beberapa bait doang.. intinya si Minsoo tetep setia, tetep nungguin walau Hyunranya jelas2 lagi selingkuh. Close enough



Oke pamit dulu, udah janjian di restoran biasa, mau diomelin Minsoo wasalam. 

Comments

Popular Posts