Hello Chingu - Part 5
Ia menciumku semalam! Padahal ia sudah punya tunangan. Sialan, maki
Cheonsa dalam hati.
Tak mau merasa lebih kesal ia
merogoh tas selempangnya, mencari ponsel dan power bank. Ia perlu mengisi daya
ponselnya.
Beberapa menit kemudian ponselnya
sudah aktif, beberapa pesan dan notifikasi panggilan tidak terjawab memenuhi
layar atas ponsel.
Sepuluh panggilan tidak terjawab
dari ibunya, lima panggilan tidak terjawab dari Hyerin, dan beberapa panggilan
tidak terjawab dari kantor.
Ia membuka akun Line-nya, membaca
pesan dari Kris.
Kau sudah sampai? Mau kujemput?
Ia berpikir sebentar. Jika
mengingat kekesalan tak berdasarnya pada Bang Minsoo, ia mungkin akan dengan
senang hati menerima tawaran Kris. Tapi tidak, ia akan pergi sendiri. Pria itu
hanya perlu menunggu kedatangannya.
Maka ia membalas: Belum. Masih di perjalanan dan aku tidak
butuh dijemput Tuan Wu. Tenang saja aku bisa sendiri. Jangan khawatir.
Ia memasukkan ponselnya ke tas
setelah mengirim balasan untuk Kris dan mengirim pesan untuk ibunya.
Huh, perjalanan mereka masih
panjang dan gelembung kekesalannya pada Minsoo semakin besar. Ia benar-benar
kesal saat tahu pria itu sudah bertunangan.
Masalahnya mereka berciuman
semalam! Kalau mengingat kejadian itu ia merasa seperti perempuan jahat yang
suka merusak hubungan orang lain. Ia merasa seperti perempuan murahan.
āKau akan bertemu Kris dimana?ā
āCheonsa.ā
Ia ingin mengabaikan Minsoo
sepanjang perjalanan, tapi kalau dipikirkan lagi untuk apa ia melakukannya.
Minsoo yang berinisiatif menciumnya, lagipula tadi malam ia tidak tahu kalau
pria itu sudah bertunangan.
Ia menoleh, memperlihatkan wajah
kusutnya. Membuat Minsoo terdiam sebentar. Pria itu tahu Cheonsa sedang dalam
mode ājangan ganggu akuā.
āKau mau bertemu pria itu
dimana?ā tanya Minsoo lagi.
Cheonsa menatapnya tidak senang,
kemudian merogoh tas selempang di pangkuannya. Meski merasa penasaran, namun
Minsoo tidak bertanya lebih jauh.
Setelah bersama dengan gadis itu
selama seminggu belakangan, ia semakin mengerti gelagatnya. Kalau sedang marah
gadis itu akan mendiamkannya, tapi berbanding terbalik ketika suasana hatinya
sedang baik. Gadis itu akan nampak ceria, bahkan mulutnya tak bisa berhenti
bertanya atau menyenandungkan lagu-lagu yang tidak ia ketahui.
Dan sekarang, gadis itu
jelas-jelas sedang tidak ingin diganggu. Tapi Minsoo tak akan berhenti
mengajaknya bicara, perjalanan mereka masih sangat panjang. Lagipula ia ingin
bicara banyak dengan gadis itu, tentang apa saja.
āAku akan menemuinya di sana,ā
jawab Cheonsa sambil menunjuk nama tempat di atas kartu undangan yang diambil
dari tas selempangnya.
Minsoo mengambil kartu berwarna
putih gading yang ditulis dengan tinta hitam yang terasa timbul. Ini kartu
undangan. Kemudian menemukan dua buah nama yang tertulis di sana: Kris Wu dan
Elena Tan. Sebenarnya siapa Kris Wu itu?
āBerhenti menatapku seperti itu.
Ya-ya, aku memang jauh-jauh ke sini untuk menghadiri pernikahan mantan pacarku.
Aku sudah bilang belum kalau Kris itu mantan pacarku? Belum ya?ā
Mereka saling bertatapan, Cheonsa
merebut kartu itu dan memasukkannya kembali ke dalam tas selempang.
āAku tidak tahu letak tepatnya,
tapi setelah mencari informasi dari sana-sini akhirnya aku tahu. Gedung
resepsinya ada di sekitar Gereja Basilika Santo George.ā
āKenapa kau ingin datang?ā
Cheonsa menunduk sebentar,
kemudian mengangkat bahu.
āKarena diundang. Apa lagi
memangnya?ā
āYang kutanya adalah āKenapa kau
INGIN datangā kau bisa saja tidak datang meskipun diundang,ā sahut Minsoo agak
gemas.
Cheonsa tak menjawab, ia
mengalihkan pandangannya ke luar jendela dan Minsoo mengempaskan punggungnya
dengan agak kecewa.
āKenapa aku ingin datang?ā
Cheonsa mendengus, tersenyum kecut pada pemandangan di luar jendela.
Di lain sisi Minsoo mendengarkan
tanpa menyela, memperhatikan profil samping gadis di sebelahnya saat bicara.
āKarena aku ingin bertemu
dengannya.ā Cheonsa kini menatap Minsoo.
āAnggap saja aku hanya gadis
malang yang belum bisa melupakan mantan pacarnya. Biar bagaimanapun Kris itu
pacar pertamaku, kami pacaran selama dua tahun sebelum akhirnya ia pindah ke
Kanada dan hubungan kami putus tiga bulan setelah itu. Aku bisa bilang Kris
punya tempat yang istimewa di hatiku.ā
āSatu bulan yang lalu ia mengirim
undangan ini, ia bilang aku adalah orang pertama yang ia kirimi undangan. Ia
sangat berharap aku bisa datang.ā
Minsoo menggeser posisinya,
mencondongkan tubuh supaya lebih dekat dengan Cheonsa.
āJadi ini semacam ritual untuk
terlepas dari bayang-bayang Kris Wu?ā
āTidak juga. Aku memang belum
bisa melupakan Kris, tapi bukan berarti aku masih memiliki perasaan apapun
padanya. Kedatanganku ini murni untuk melepas rindu,ā bantah Cheonsa.
Oke, Minsoo semakin bingung. Ia
memang agak payah kalau sudah berhubungan dengan masalah perempuan. Terkadang
perempuan itu terlalu kompleks dan Bang Minsoo sama sekali tidak ahli menangani
kaum mereka.
āKau belum bisa melupakannya tapi
kau sudah tidak menyukainya? Oke, ini membuatku agak bingung. Bisa tolong
jelaskan?ā
Cheonsa bersandar nyaman di
bangkunya, menatap Minsoo dengan tampang mengejek. Perlahan ia pun melupakan
kekesalannya pada Minsoo. Masa bodo pria itu sudah punya tunangan, mereka hanya
mengobrol. Mengobrol tidak masuk dalam daftar āmenggoda tunangan orang lainā.
āKris itu punya tempat sendiri
dan aku tidak bisa melupakannya secepat aku melupakan rumus trigonometri yang
diajarkan Park seosangnim.ā
Kemudian mereka tertawa begitu
teringat sosok berperut buncit yang selalu bilang ācintailah matematika maka
matematika akan mencintaimuā.
āDan ya, aku sudah tidak
menyukainya seperti dulu. Lagipula kami putus dengan baik-baik, jadi aku tidak
harus memaksa diriku untuk melupakannya.ā
āKupikir kau masih berkabung
karena putus dengan Kris sampai tidak bisa menjalin hubungan dengan orang
baru,ā sahut Minsoo.
Cheonsa menggeser posisi duduknya,
āAku tidak seperti itu. Tapi aku memang tidak pacaran dengan siapapun setelah
putus darinya.ā
āKau benar-benar menyedihkan.ā
Minsoo menggeleng sambil terkekeh geli.
āTidak seperti ituāā
āApa? Kau mau bilang apa? Aku
tahu apa yang sebenarnya terjadi,ā sergah Minsoo dengan kerlingan jahil.
āJangan sok tahu!ā
āKau tahu tidak kenapa kau rela
pergi jauh-jauh ke Praha?ā
Pandangan mereka bertaut, menatap
lebih dalam. Cheonsa hanya menggedikkan bahunya, āKan sudah kubilang, karena
aku diundang,ā kata gadis itu berkeras.
āDan aku juga sudah kubilang
kalau perjalanan ke Praha-mu itu adalah ritual untuk melepas bayang-bayang
Kris. Kau ingin melihat sendiri kalau ia sudah bahagia dengan orang lain, Kris
sudah memulai hidup barunya dengan perempuan lain.ā
āKau ingin menunjukkan pada
dirimu sendiri, sudah waktunya kau melepas bayang-bayang pria itu. Sudah
waktunya kau bahagia tanpa mengingat kenangan dari seorang Kris Wu.ā
Cheonsa tersenyum kecut, tapi tak
merasa kesal dengan apa yang Minsoo katakan. Pria itu memang benar. Kalau
dipikir-pikir lagi perjalanan ke Praha-nya memang ritual untuk melepas
bayang-bayang Kris. Ia ingin melepas semua kenangan pria itu di Praha, tempat
dimana pria itu memulai hidup barunya.
āMau dengar saranku?ā
Cheonsa menatap pria di depannya,
tersenyum geli melihat tampang sok tahunya.
āOkay, tell me,ā Cheonsa terkekeh pelan.
āHanya ada satu kau, ada satu
aku, dan satu pria ituāmaksudku Kris. Jadi berhenti mencari orang yang sama
atau nyaris sama dengan pria itu. Setiap orang memiliki warna mereka sendiri,ā
papar Minsoo dengan berhati-hati.
āBiarkan warna Kris tetap dalam
kenangan, tapi jangan biarkan warna itu menghalangimu untuk bisa melihat warna
yang lain,ā tutur Minsoo lagi.
āTerimakasih.ā Cheonsa
mengangguk, sepenuh hati menerima saran itu. Memasukkannya ke dalam pikiran dan
menanamkan dalam hatinya.
Minsoo benar. Tidak seharusnya ia
memaksakan warna Kris pada diri orang lain. Mungkin itulah alasan ia tidak bisa
benar-benar bersama pria lain. Karena ia selalu mencari-cari sosok Kris dalam
pria lain.
āAku juga punya saran untukmu,ā
ucap Cheonsa.
āIām listening.ā
āKalau kau sudah bosan jadi pemandu
wisata, ada baiknya kau buka klinik konseling masalah percintaan. Aku yakin
pasti banyak yang datang.ā
āPasti. Menyelesaikan urusan
seperti itu semudah bernapas,ā jawab Minsoo dengan bangga.
****
āCinta apanya? Buang jauh-jauh
kata itu, perutku mual mendengarnya!ā
āKau masih tertawa, huh? Pokoknya
berhenti menerorku!ā
āAku tidak akan kembali. Tidak
akan. Entah itu demi ayahku atauāapalagi demi dirimu! Harus kuakui kau makin
pintar bicara Jang Hyunra.ā
Cheonsa sudah membuka matanya sejak
beberapa menit yang lalu. Ia menutup matanya kembali, tak ingin membiarkan
Minsoo tahu kalau ia sudah bangun. Ia masih ingin mendengarkan perbincangan
pria itu dengan seseorang di telepon.
Seseorang itu Jang Hyunra.
Entah apa yang sedang mereka bicarakan,
tapi Cheonsa bisa menangkap rasa rindu yang meluap dari suara Minsoo. Pria itu
bisa saja terus-terusan mengomel pada Jang Hyunra, tapi nada rindu itu tidak
bisa disembunyikan.
āAku sibuk sekarang. Aku sedang
dalam perjalanan ke Praha.ā
āBekerja sambil bersenang-senang.
Tentu saja bersama seorang gadis, aku selalu dikelilingi gadis-gadis kalau kau
mau tahu yang sebenarnya.ā
Kemudian tawa Minsoo meledak,
Cheonsa yang mendengarnya jadi merasa cemas. Bagaimana dengan perasaan Hyunra
kalau tahu ia dan tunangannya pernah berciuman di Berlin.
āAku bisa menunjukkan fotonya
kalau kau tidak percaya. Atau kau mau bicara dengannya, aku bisaāā
āOke, oke, jadi kau cemburu
sekarang. Berhenti berteriak, telingaku bisa tuli.ā
Suara tawa Minsoo mereda, pria
itu mendehamkan suaranya. Tarikan napasnya terdengar jelas, menggoda Cheonsa
untuk mengintip sebentar.
āYa, aku tahu.ā
Setelah itu yang terdengar hanya
suara āyaā, āokeā, āhmmmā yang amat panjang sebelum Minsoo menyudahi
percakapannya dengan Jang Hyunra.
āNanti kita bicara lagi. Sampai
jumpa,ā tutup Minsoo.
Cheonsa buru-buru memejamkan
matanya lagi. Ia tidak akan membiarkan Minsoo tahu kalau ia menguping
percakapannya dengan Hyunra.
āCheonsa, bangun. Sebentar lagi
kita sampai.ā
Suara Minsoo terdengar bersamaan
guncangan pelan di sisi tubuhnya. Ia menggeliat, pura-pura menolak untuk
membuka matanya.
āMau berapa lama lagi pura-pura
menutup matamu?ā
Cheonsa masih berkeras untuk
meneruskan akting pura-pura tidurnya.
āAku sudah tahu. Jadi cepat buka
matamu dan bereskan barang-barangmu atau, terserah aku akan meninggalkanāā
āAku bangun!ā
Cheonsa menyunggingkan senyum
salah tingkah, terdengar suara ringisan kecil dari mulutnya.
āAku tidak bermaksud menguping,
kok. I swear!ā Cheonsa mengacungkan
jari telunjuk dan tengah membentuk huruf āvā.
****
Seingat Cheonsa, kemarin mereka
berangkat dari Berlin pukul delapan pagi dan hari ini mereka sampai di
penginapan di Praha pukul setengah sembilan pagi. Ya Tuhan, punggungnya
benar-benar kaku. Sepulangnya dari Eropa ia mesti pijat relaksasi. Ototnya
keras dan menegang, terlebih otot kaki dan punggungnya.
Setelah turun dari bus, mereka
berjalan kaki menuju tempat penginapan. Padahal kakinya sudah sakit bukan main,
tapi Minsoo bilang mereka harus berhemat uang. Jadi berhenti mengeluh dan terus
gerakkan kakimu.
Lupakan impianmu untuk
naik taksi, jangan manja.
āAyo.ā
Minsoo baru mengambil kartu kamar
mereka dari seorang pria penjaga meja resepsionis. Yah, kali ini juga mereka
akan tidur di ruangan yang sama. Alasannya pun sama: mereka harus berhemat.
Kamar nomor 13 yang terletak
hampir di paling ujung lorong itu kamar mereka. Cheonsa melangkah lebih cepat
dan tak sabaran ketika Minsoo tengah menggesek kartu di dekat sensor.
Berhubung mereka tidak menginap
di hotel melainkan hostel, Cheonsa harus berpuas diri dengan satu ranjang bertingkat
di dalam ruangan. Tapi inipun sudah jauh
lebih baik daripada menginap di dalam tenda.
Ia buru-buru menempati ranjang di
bawah, membiarkan Minsoo mendapatkan ranjang di atasnya. Huh, ia tidak mau
tidur di atas dan merasa takut semalaman karena berpikir langit-langitnya bisa
saja runtuh dan langsung menghantam tubuhnya.
Astaga, itu seram sekali. Ia
tidak akan mau tidur di ranjang atas.
āApa agenda kita hari ini?ā tanya
Cheonsa pada Minsoo yang sudah sibuk menekuri i-padnya. Pria itu duduk di atas
lantai dengan kaki di luruskan.
āJam berapa kau akan menemui
Kris?ā
āHmmm..jam setengah delapan
malam?ā
Ia berguling, memandangi Minsoo
yang masih duduk bersandar pada tembok di seberangnya.
āKira-kira lokasi gedungnya jauh
dari sini tidak?ā
āLumayan,ā jawab Minsoo dengan
sangat singkat, jelas, dan padat.
Huh, salah satu sikap Minsoo yang
membuatnya jengkel bukan main adalah saat pria itu hanya menjawabnya dengan
satu kata: āyaā atau ātidakā, dan yang terbaru ālumayanā.
āApa yang sekarang ingin kau
lakukan?ā
Setelah diam cukup lama, suara
Minsoo kembali terdengar.
āEntah,ā jawab Cheonsa sama
singkatnya dengan jawaban pria itu sebelumnya.
āBagaimana kalau kita ikut walking tour. Aku baru mengecek di
internet. Turnya mulai jam sepuluh.ā
āWalking tour? Lagi? Kakiku pegal kalau harus berjalan lagi,ā keluh
Cheonsa.
Ia langsung bangkit dari
tidurnya, mengguncang kasur kurang nyamannya dengan gemas.
Namun Minsoo tidak memedulikan
reaksi Cheonsa. Pria itu hanya tertawa, kemudian mengambil handuk, pakaian ganti,
dan perlengkapan mandinya dari dalam ransel.
āKalau begitu kau tunggu di sini
selagi aku pergi. Jadi anak manis dan jangan kemana-mana,ā ucap Minsoo sebelum
masuk ke dalam kamar mandi.
****
Walau sempat menentang ide Minsoo
untuk mengikuti walking tour, pada akhirnya Cheonsa ikut bersama pria itu. Tadi
di detik-detik terakhir sebelum Minsoo meninggalkan kamar, ia langsung
berteriak dan meminta pria itu menunggunya.
Ia pergi mandi dengan secepat
mungkin, memakai kaos longgar warna biru dongker yang dipadu dengan hotpants.
Ia pun meninggalkan kamar setelah memastikan tidak meninggalkan dompet atau
ponselnya.
āIya, Bu. Aku janji. Kirim pesan
dengan rutin setiap hari. Iya aku ingat.ā
Ibunya baru saja meneleponnya,
mengeluh karena dirinya jarang memberi kabar.
āOke, walking tour-nya akan segera dimulai, kututup dulu ya Bu. Aku sayang
ibu.ā Cheonsa mengakhiri percakapan dengan ibunya, buru-buru memasukkan
ponselnya ke dalam tas selempang.
Seorang pemandu wisata bernama
Gustav, Gustav siapa ya? Cheonsa tidak hafal nama belakangnya. Lebih tepatnya
sih nama belakang Gustav terlalu susah untuk dilafalkan sehingga sulit juga untuk
memasukkannya ke dalam template di hipotalamusnya.
Kembali pada Gustav, pria yang
rambut di sekitar kepala belakangnya telah menipis itu sedang memberi
pengarahan dan penjelasan mengenai tur mereka hari ini. Seperti tempat apa saja
yang akan mereka kunjungi serta hal-hal yang boleh dan tidak boleh para turis
lakukan selama tur berlangsung.
āCap! Itukan Charles Bridge!ā
Cheonsa menunjung girang sebuah jembatan cantik yang menjadi landmark kota
Praha tak jauh dari tempat mereka.
āKau memanggilku Cap?ā
Minsoo masih belum terbiasa
mendengar gadis itu memanggilnya dengan nama panggilan yang diberikan Namjoon
itu, tapi Cheonsa hanya memukul-mukul lengannya sambil menunjuk Charles Bridge
dengan semangat.
āAku lihat di internet, tak
kusangka kalau aslinya sebagus ini. Kita harus ke sana!ā
āWell, kita tidak akan ke sana, maksudku tidak hari ini. Kau tidak
dengar tadi Gustav bilang apa?ā
Bahu Cheonsa turun dengan kecewa,
ia masih menoleh ke belakang, tepat pada Charles Bridge yang tetap di
tempatnya.
āAku tidak mendengar ucapannya
dengan jelas. Kepalanya yang setengah botak itu mendistraksi perhatianku.
Sungguh! Aku hanya memerhatikan kepalanya saja dari tadi,ā ujar Cheonsa tak
peduli Gustav sedang menceritakan sejarah Astronomical Clock, salah satu
bangunan yang berdiri di sekitar Old Town Square.
Cheonsa hanya menangkap beberapa
poin yang dikatakan Gustav. Satu set jam astronomis itu dibuat pada awal abad
15. Jam itu bisa menunjukkan pergerakan matahari dan bulan terkait lambang
zodiak. Di sisi paling atas jam ada dua buah jendela tempat patung malaikat dan
patung ayam jantan.
Dan biasanya menjelang pergantian
jam para turis akan berkerumun di depan jam untuk menyaksikan pergantian jam
dimana patung-patung malaikat keluar dari jendela dan patung ayam jantan pun
akan keluar setelahnya sambil berkokok.
Pria itu mengoceh lagi tentang
banyak hal tentang jam itu, tapi Cheonsa tidak mendengarkan.
āKau sudah tahu mau memakai apa?ā
tanya Minsoo.
āApa?ā
Saking ramainya Cheonsa tak
mendengar suara Minsoo dengan jelas. Akhirnya pria itu menariknya, mendekatkan
wajahnya ke telinga Cheonsa.
āKau sudah tahu mau memakai apa
ke pestanya Kris nanti?ā
āAku bawa satu gaun. Pokoknya
sudah siap, kau tenang saja. Aku tidak akan membuatmu menemaniku ke toko baju
untuk membeli pakaian.ā
āAku juga tidak yakin kau mampu
membeli bahkan hanya sepotong gaun di siniāawwwhh,ā Minsoo meringis setelah
Cheonsa memukul punggungnya
Minsoo mengusap-usap punggungnya,
menatap kesal Cheonsa yang tengah tertawa riang. Gadis itu melangkah cepat
mengikuti rombongan tur yang lain. Ia pun mengejar gadis itu, berjalan di
belakangnya.
Mereka pun meneruskan walking
tour. Mengunjungi beberapa tempat lain di sekitar Old Town Square, sepert Franz
Kafka Monument, Tyn Church, Kinsky Palace, dan St. Nicholas Church.
āAku tidak mengerti apa yang
kurasakan sekarang,ā kata gadis itu ketika mereka sampai di cafĆ© outdoor yang
terletak di sisi selatan Old Town Square.
āTur tadi sangat melelahkan, tapi
aku senang sekali. Aku merasa bisa melihat dunia dengan lebih luas dibanding
biasanya. Kakiku sangat pegal tapi semangat untuk berkeliling masih ada. Bisa
kau bayangkan apa yang kurasakan saat ini?ā
Minsoo hanya tertawa kecil
menanggapi celotehan Cheonsa. Tak lama kemudian seorang pelayan menyapa mereka,
memberikan dua buku menu.
Setelah menatap deretan menu yang
tertulis, Cheonsa akhirnya menyerahkan urusan pemesanan pada Minsoo. Ia sama
sekali tidak mengerti arti semua tulisan yang ada di buku itu. Kemudian Minsoo
menyebutkan pesanan mereka.
āNgomong-ngomong kau ikut
denganku, kan?ā
āKemana? Jangan bilang kau mau
mengajakku ke pesta mantan pacarmu?ā
****
Minsoo tidak akan ikut dengannya
ke pesta Kris. Pria itu hanya akan mengantarnya ke tempat acara lalu pergi. Sebenarnya
Cheonsa merasa agak kecewa dengan keputusan Minsoo, tapi apa yang harus ia
lakukan. Ia tidak bisa memaksakan kehendaknya, lagipula Minsoo sudah banyak
membantunya selama beberapa hari ini. Ia tidak bisa terus menerus membebani
pria itu.
Tadi setelah selesai berkeliling,
mereka kembali ke penginapan. Cheonsa langsung pergi mandi kemudian merias
diri. Sementara Minsoo, pria itu mundar-mandir dengan ponsel di telinga.
āYa aku tahu, tapi aku tidak akan
pulang,ā kata Minsoo pada seseorang di ujung telepon.
Cheonsa hanya menoleh sekilas,
kemudian kembali menatap pantulannya di dalam cermin. Memulas bibirnya dengan
lipstick. Ia berusaha untuk menahan rasa ingin tahunya. Ia sudah mendengar
terlalu banyak.
Seingatnya Minsoo sudah
berbincang dengan orang itu cukup lama, dari ia hendak masuk ke kamar mandi
sampai sekarang. Sepertinya Minsoo punya masalah yang cukup serius. Cheonsa
ingat betul percakapan pria itu dengan tunangannya ketika di bus tadi pagi.
Minsoo bilang ia tidak akan
kembali, dan percakapan saat ini pun hampir serupa. Sepertinya orang yang
menghubungi Minsoo pun orang yang sama yang menghubunginya saat mereka di bus.
Jang Hyunra.
Cheonsa menatap sekali lagi
pantulan dirinya, kemudian menyematkan jepitan kecil bermotif bunga dengan
taburan permata ke helaian rambut di sekitar telinga. Ia tersenyum, memastikan
pulasan riasan di wajahnya sudah cukup rapi. Ia mengambil tas kepit di atas
nakas dekat cermin.
Hatinya mencelos ketika melihat
Minsoo duduk di atas ranjangnya dengan kepala tertunduk. Kemudian suara
seraknya terdengar bersama tawa garing yang tak terdengar menyenangkan.
āAku merindukan semua yang ada di
sana. Aku merindukan kalian, tapi aku tidak bisa pulang. Akuā¦ā
Ia tak bisa menahan langkah kakinya,
ia menghampiri pria itu. Perlahan menemukan wajah murung dan air mata yang
turun pelan-pelan membasahi pipinya. Sebenarnya masalah apa yang Minsoo miliki?
āAku belum siap atau mungkin tidak akan pernah siap,āujar pria itu sebelum memutuskan sambungan telepon dan melempar ponselnya ke atas ranjang.
Detik itu Cheonsa hanya mematung
dengan perasaan bingung. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mencampuri
urusan orang lain. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Melihat Minsoo merenungi
masalahnya dengan kepala tertunduk dan tangan yang mencengkeram kepalanya erat
membuatnya goyah.
Akhirnya ia pun memberanikan
untuk menyentuh pria itu. Mengusap bahu Minsoo, hingga pria itu menoleh ke
arahnya.
Cheonsa bisa melihat kemarahan,
kesedihan, kerinduan yang amat besar dari mata itu. Sebenarnya apa yang
terjadi?
Minsoo tersenyum kaku, balas
menggenggam tangannya.
āSudah siap?ā
TBC
Lil bit closer to the gorgeous Kris Wu!!! Kayak yg bisa kalian baca di
atas, Sang Mantan terindah bakalan muncul!!
Tapi jangan berekspektasi terlalu banyak, kemunculan kris g akan
memberi kontribusi besar kok di ff ini. Dan untuk Hyunra yang nelponin CAP
mulu, okelahā¦ setiap orang pasti punya sosok-sosok istimewa di hidup mereka.
Hyunra pun bakal dikuak di episode selanjutnya. pelan-pelan dan satu-satu.
Part ini mungkin jadi bagian pembuka kisah-kisah krusial
Cheonsa-Minsoo, mulai kentara masalah mereka. mereka punya masalah sama diri
masing-masing gitu deh.
Oiya..GIGSent punya akun ig lohhhā¦ ayokk klo yg mau interaksi sama
author2nya difollow official account blog ini yaitu
gigsent
siapa tau ada yg mau nanya tentang pengiriman ff freelance, mau kasih
usul untuk blog ini, kasih masukan buat author-authornya, atau yg sekedar mau
kenalan, chatting, bisa tuh kita komunikasi lewat media itu.
Mungkin yg sebenernya punya uneg-uneg dan segala macamnya tapi g pernah
tersalurkan karena ninggalin komen di blog ini tuh ribetā¦nah.. ada kabar bahagia untuk kita semua,
kini kulit manggis ada ekstraknya*abaikan* ayoo yg bersedia dengan suka rela
follow akun ig kita yah..
Offial account: gigsent
Okelahā¦sampai jumpa di episode selanjutnya.. kalau ada yg mau ngasih
kritik, saran, komentar, curhat, silahkan isi di kolom komentar aja yoooā¦
Regards,
GSB
Rasanya selalu bahagia ketika tau part terbaru dari story ini dipublish... sepertinya perjalanan cinta minsoo dan cheonsa penuh lika-liku HAHAHA tpi mereka akan bersatu kan?? Tetep semangat buat nulisnya yaaa.. hwaitingggg
ReplyDeletewahhh...seneng bgt kalo tau ada yg ngikutin ff ini.. well.. ya agak berliku dan cenderung lambat. Bersatu atau gak ya? Nah..makanya ikutin terus yah kelanjutannya*promo* btw Thanks udh komen... komennya menyegarkan kayak sirup marjan
Delete