Dear My Rival (1st battle)
Main Cast = Jeon Wonwoo, Park
Hyo Jin
Minor Cast = L.Joe, Wendy,
Hoshi, Mino, and many more
Genre = Romance
Length = Series
Author = Salsa
**********
2016-02-28
8: 28 PM
Ruang 206, Dong Ah Institute
of Media and Arts
Rapat telah berlangsung selama 50
menit. Semua mahasiswa yang ada di ruangan itu sudah terlihat letih. Hyo Jin
menggulung lengan jas birunya—jas yang dipakai oleh semua orang di ruangan
itu, jas resmi Democratic Student Party (DSP), partai mereka—dan menariknya
sampai ke siku. Ia mengeluarkan permen karet ketiga dari saku jasnya lalu
mengunyahnya tanpa malu-malu.
“Jika dilihat dari penghitungan
suara sementara, kita cukup tertinggal,” ucap sang ketua, seorang pria blonde
imut bernama Hoshi. Pria itu mengenakan ikat kepala berwarna biru, lengkap
dengan lambang partai mereka. Akan sangat mudah mengenali Kwon Hoshi, sungguh,
dia tak pernah melepas pita itu.
“Kita punya sebulan lagi sebelum pertarungan sesungguhnya dimulai,” kata Hoshi kembali. Ia meletakkan kertas data persis di sebelah tempatnya duduk (meja dosen), lalu menatap ke depan. Ada sekitar 30 orang anggota di hadapannya.
“Tolong berikan aku ide kampanye
yang lain.”
Joshua mengangkat tangan, Hoshi menoleh pada pria itu dan menganggukkan kepala, mempersilakannya bicara, “Kurasa kita bisa membuat baliho raksasa, lalu memasangnya di depan gedung rektorat. Itu lokasi yang strategis, maksudku, semua orang akan melihatnya.”
“Tidak,” tolak Hoshi langsung,
“aku sudah bilang kita tidak akan menggunakan apapun yang berbahan kertas,
kain, atau plastik, termasuk baliho. Bayangkan pohon yang ditebang untuk
membuat baliho itu, bayangkan bagaimana benda itu akan jadi sampah setelah
semua ini selesai. Lagipula kita tidak punya dana lagi untuk membuat baliho.”
Hoshi menghela napas, pandangannya kembali mengedar ke penjuru ruang. “Ide
lain?”
“Bagaimana dengan meme?” celetuk
Nana.
“Meme?”
“Ya, kita bisa membuat meme
politik dan menyebarkannya lewat sns. Tanpa kertas,” jelas gadis itu, diakhiri
dengan senyum.
Hoshi terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk-anguk, “Boleh juga.”
“Oke, untuk meme, begini, siapapun boleh berpartisipasi. Buat sekreatif mungkin dan kirimkan padaku, aku yang akan menentukan mana yang boleh disebar.”
Para anggota mengangguk paham.
Hoshi melompat turun dari meja dosen dan segera menumpuk kertas-kertasnya,
berniat mengakhiri rapat.
“Tapi tidakkah itu terlalu lemah?
Kurasa kita butuh hal lain selain meme, kau tahu, sesuatu yang lebih
besar,” celetuk anggota lain dengan nada gelisah. Hoshi sontak terdiam.
“Kau benar,” katanya. “Apa yang
sedang booming di kampus kita?”
Tak ada yang bicara. Beberapa
dari mereka terlihat berpikir, sementara yang lain hanya diam memandangi Hoshi.
“Radio kampus?” sahut Mark.
“Ahh!” Hoshi langsung
menjentikkan jari. “Kau benar. Semua orang mendengarkan radio kampus
akhir-akhir ini.”
“Ya. Kurasa kita bisa meminta
sedikit waktu untuk kampanye.”
“Ketimbang kampanye, bagaimana
dengan sesuatu yang ringan? Seperti interview atau unjuk bakat.”
“Aku setuju. Semua orang sudah
muak mendengar visi misi.”
“Satu hari sebelum minggu tenang
adalah waktu siaran paling tepat. Kalau ini berhasil, kandidat partai merah
akan terlupakan. Bukankah begitu?”
Anggota-anggota tim sukses yang
lain saling bersahut-sahutan. Hoshi bersedekap sambil tersenyum puas. Itu ide
yang brilian. Mood tim sukses partainya seketika naik begitu kata ‘radio’
dicetuskan.
“Oke, siapa yang bisa bertanggung
jawab untuk ini?”
Bak mendapat komando, seisi ruangan kompak menunduk, menghindari tatapan Hoshi. “Oh, ayolah. Tak ada satu pun?”
“Bukankah Park Hyojin satu kamar dengan ketua UKM radio-nya?” Seseorang di ujung ruangan berceletuk, sukses membuat tatapan mereka beralih pada Hyo Jin—yang saat itu tengah tertidur di pundak L.Joe.
“Hei, bangun.” L.Joe mengguncang bahunya, membuat sang gadis mau tak mau terbangun. “Kenapa?” bisik gadis itu pada L.Joe. L.Joe mengisyaratkan untuk menoleh ke depan, dan Hyo Jin melakukannya.
“Apa benar kau satu kamar dengan
ketua UKM radio kampus kita?” tanya Hoshi begitu ia menoleh ke depan.
Hyo Jin terkejut melihat puluhan
pasang mata tengah menyorotnya, lantas membenarkan posisi duduknya yang hampir
merosot. “Maksudmu Wendy?” tanyanya dengan mata menyipit. Ia baru terbangun dan
langsung diajak bicara oleh ketua umum partai. Keterlaluan sekali.
Hoshi mengangguk cepat.
“Ya, aku sekamar dengannya.”
“Kalau begitu kau yang
bertanggung jawab.”
“T..tanggung jawab?” Matanya
langsung terbuka maksimal, ia selalu membenci kata ‘tanggung jawab’. Hyo Jin
bahkan belum tahu atas hal apa ia dituntut bertanggung jawab, tapi hati
kecilnya sudah menyuruhnya menangis. Hyo Jin menarik jas L.Joe dan meringis
meminta bantuan. Rasanya ia bisa melihat setumpuk beban tengah berterbangan
dari meja Hoshi dan hinggap di pundaknya.
“Kau bisa bicara dengan Wendy
kan?”
Hyo Jin kembali menoleh pada L.Joe, memimikkan kata ‘bicara apa?’
“Bagaimana Hyo Jin~a?” Hoshi terdengar mulai tak sabar.
Hyo Jin tak mau langsung mengiyakan. Ia sama sekali tak mendengar apapun setelah pembahasan ‘meme politik’, dan sekarang ia disuruh bertanggung jawab dan bicara pada Wendy. Itu gila. Hyo Jin memimikkan kata ‘bicara apa’ pada L.Joe untuk yang kedua kali.
“Yah! Park Hyo Jin! Aku sedang
mengajakmu bicara.”
“K..keurae.”
**********
“Aku bersumpah aku baru memejam
setengah detik dan tiba-tiba… BUM…
mereka sudah ganti topik,” celoteh Hyo Jin. Ia tak berhenti bercerita.
Walaupun L.Joe berada di sampingnya sepanjang rapat, Hyo Jin tetap merasa perlu
untuk menceritakan semua itu dari perspektifnya.
Keduanya tengah berjalan pelan
menuju asrama wanita.
“Apa yang kau khawatirkan? Kau
pasti bisa,” kata L.Joe enteng.
“Ya, bisa gila. Kau tahu sendiri
aku dan Wendy tidak dekat.”
“Kau hanya perlu bicara padanya.”
“Itu dia. Kami sudah tinggal di
kamar yang sama selama 4 bulan dan satu-satunya perbincangan kami hanyalah ‘bolehkan
kupinjam lotion-mu?’”
“Kau serius?”
“Ya. Itu sebabnya kau tak boleh
marah jika aku terlalu sering menelfonmu. Aku benar-benar kesepian.”
“Tapi dia DJ radio. Apa kau
pernah mendengar dia siaran? Perempuan itu berisik sekali.”
“Ya, dia memang sangat berisik,”
Hyo Jin tersenyum pahit, “kecuali jika sedang bersamaku.”
L.Joe mengerutkan keningnya dan
menoleh.
“Awalnya kukira dia memang
pendiam di luar radio,” Hyo Jin memberi jeda, “tapi ternyata tidak.”
Gadis itu menghela napas berat.
“Pernah sekali teman-temannya
datang ke kamar, dan Wendy berubah drastis. Dia tertawa sangat kencang, bicara
sangat banyak, bahkan semua perkataannya juga lucu. Gadis itu seperti koin yang
memiliki dua sisi. Sayangnya yang dia tampakkan padaku selalu sisi yang gelap,
bukan si ceria Wendy, tapi yang gelap.”
L.Joe masih menatapnya, “Tapi
kenapa?”
“Aku tidak tahu. Suasananya
sangat kaku jika aku dan dia berada di dalam kamar. Percaya atau tidak, selama
4 bulan ini kami sudah terbiasa menghindar satu sama lain. Jika dia masuk kamar,
biasanya aku akan langsung keluar. Begitu pun sebaliknya. Kami hanya
bersama-sama saat lampu sudah gelap, waktu tidur.”
“Kau mungkin bisa memulainya
duluan, kau tahu, tanyakan saja bagaimana harinya di kampus.”
“Aku tidak bisa. Sudah terlambat.
Akan sangat aneh jika menjadi sok akrab sekarang, maksudku, mungkin dia akan
berpikir ‘kemana saja kau selama 4 bulan kemarin?’ atau ‘kenapa
tiba-tiba kau peduli dengan hariku?’”
L.Joe tak tahu harus menghibur
Hyo Jin dengan cara apa. Jadi ia hanya mempererat genggaman tangannya dan
membiarkan keheningan mengambil alih.
Tanpa terasa, gedung asrama putri pun sudah semakin dekat. Hyo Jin berhenti 20 meter sebelum pintu masuk.
“Sampai sini saja.”
“Tidak. Aku akan mengantarmu
sampai ke depan kamar.”
“Apa kau berpikir aku akan
tersesat?” tanya Hyo jin sarkastik.
L.Joe hanya mendenguskan senyum
kecil sebagai respon.
“Pergilah,” kata Hyo Jin, melepas
tautan tangan mereka.
Semilir angin bertiup. Baik L.Joe
maupun Hyo Jin langsung memasukkan tangan mereka ke dalam saku jas
masing-masing.
“Pergilah,” ulang Hyo Jin,
“disini dingin sekali.”
“Kau duluan.”
Hyo Jin memutar mata, “Ara. Aku
masuk, kau pergi, oke?”
“Oke.”
Hyo Jin pun berbalik dan setengah
berlari menuju pintu masuk asrama, sementara L.Joe berjalan mundur dengan
langkah kelewat pelan.
“Kau harus lari,” teriak sang
gadis.
L.Joe mengangguk, namun tidak
mengubah tempo langkahnya sama sekali.
“Hyo Jin~a,” teriak pria itu.
“Wae?”
“Lakukan saja sebisamu. Tak usah
memaksakan diri. Jika benar-benar tidak bisa ya tidak apa-apa, aku yang akan
bilang pada Hoshi.”
Hyo Jin tersenyum tipis, “Akan
kucoba.”
**********
Sementara itu, di waktu yang sama, Vernon tiba di sebuah ruangan berisi sekumpulan orang berjas merah. Pria itu melepas jas birunya dan langsung menjadi pusat perhatian.
“Mereka…..akan….. kampanye
melalui radio,” kata Vernon dengan napas tersengal.
Seketika para sekutu di ruangan
itu mulai ribut, Mino yang tengah berdiri di panggung dosen langsung
mengetuk-ngetukkan spidolnya ke papan, menyuruh semua anggotanya tenang.
“Diamlah! Apa yang kalian
takutkan? Kita akan mendahului mereka, kita akan kampanye di radio,” ucap Mino
penuh percaya diri.
“Tapi ketua UKM radionya sekamar dengan salah satu anak DSP,” sahut Seulgi.
“Benar. Aku bertaruh Wendy pasti
sudah setuju,” timpal yang lain.
“Mereka mungkin sedang
menegosiasikan waktu siarannya sekarang. Habislah kita!”
Mino bersandar di meja dosen
sambil memperhatikan para anggotanya yang tak henti bersahutan.
“Vernon~a, apalagi yang akan
mereka lakukan selain radio?”
“Mereka juga akan membuat meme
politik,” jawab sang mata-mata, kali ini sudah tak tersengal.
“Itu tidak kuat,” Jinwoo
berkomentar. Mino tak merespon, namun dalam hati setuju dengan pendapat Jinwoo.
Mereka benar-benar harus mendapat kampanye radio itu jika mau mempertahankan
posisi sekarang—posisi pertama.
“Jeon Wonwoo?”
“Ne?”
“Kalau aku tidak salah, kau
pernah ikut UKM radio sebelumnya. Apa aku benar?”
Itu benar, namun Wonwoo tak ingin
mengakuinya. Ia sudah tahu kemana arah pembicaraan mereka. Wonwoo bisa
merasakan penyesalan di dadanya karena sudah mengikuti UKM radio. Sebentar lagi
Mino pasti akan menyuruhnya bicara pada Wendy. Perutnya bergejolak. Semua
tentang kampanye radio ini akan berpindah ke pundaknya dalam hitungan detik.
“Ya.”
“Bagus. Bicaralah pada Wendy!”
Bahkan tidak sampai satu detik.
“Tapi aku sudah tidak aktif lagi
di UKM itu.” Wonwoo mencoba peruntungannya untuk menolak.
“Setidaknya kau pernah kan?
Sudahlah, jangan membantah! Aku tak peduli dengan cara apa kau melakukannya,
yang pasti kampanye radio itu harus jadi milik kita. Ara?”
Wonwoo mendengus jengkel. Song
Mino dan gaya diktatornya.
“Ara,” kata pria itu sembari membuang muka.
“Dan kau Vernon, kerja bagus!
Tetap laporkan perkembangan mereka.”
“Arasseo.”
**********
Semalam, ketika Hyo Jin memasuki
kamar, Wendy sudah tertidur pulas. Ia tak mungkin membangunkan gadis itu hanya
untuk menanyakan ‘bolehkah calon ketua senat dari partaiku menjadi bintang tamu
di acaramu?’. Wendy mungkin akan mengamuk, Wendy memang tak pernah mengamuk di
hadapan Hyo Jin, tapi bukan berarti gadis itu tidak akan melakukannya. Dilihat
dari wajah pun, Wendy bukan tipe gadis penyabar. Kalau sudah begitu, hubungan
mereka yang sudah gersang pun akan semakin gersang.
Jadi, demi menjaga keharmonisan
mereka yang nyaris nol, Hyo Jin mengurungkan niatnya, tidak, dia hanya
mengundurnya sampai pagi. Hyo Jin bersumpah akan bicara dengan DJ radio itu
besok pagi. Toh mereka tinggal sekamar, ini seharusnya akan menjadi sangat
mudah, kan?
Uh, Hyo Jin hanya berusaha berpikir positif.
Nyatanya, hati kecilnya pun tahu,
bicara dengan Wendy tak pernah menjadi perkara mudah.
Keesokan harinya, saat Hyo Jin
membuka mata di pagi hari, hal pertama yang ia lihat adalah Wendy yang sedang
menyambar tas. Hyo Jin masih terlalu pusing untuk berteriak ‘Tunggu! Aku mau
bicara’. Gadis itu berkedip lemah. Detik berikutnya suara debuman pintu sudah
terdengar, Wendy resmi meninggalkan kamar. Hyo Jin menghela napas putus asa,
kali ini sambil merapal janji, “Aku
akan bicara padanya saat dia pulang.”
Hyo Jin hampir terperosok kembali
ke alam mimpi saat suara ponselnya berdering. Gadis itu mengulurkan tangan ke
nakas dan mengangkat panggilan itu. Hyo Jin tak perlu mengecek nama di layar
ponselnya untuk tahu siapa yang menelfon. Jawabannya sudah pasti L.Joe. Hanya
L.Joe yang menghubunginya sepagi ini.
“Pagi,” sapa Hyo Jin dengan suara
serak.
“Bangunlah. Kujemput
sekarang.”
“Ani. Aku belum mandi. Kau duluan
saja.”
Bukannya tak mau
dijemput—sebaliknya, ia justru senang sekali—tapi gedung fakultas mereka berada
di tengah-tengah asrama putra dan putri. Dan itu berarti L.Joe harus melewati
kampusnya dulu untuk sampai ke asrama putri, menjemput Hyo Jin dan balik lagi
ke kampus. Buang-buang waktu. Buang-buang tenaga. Ia tak tega membayangkan
kaki-kaki kurus L.Joe berjalan kesana kemari demi dirinya. Lagipula, Hyo Jin
sama sekali bukan tipikal gadis manja yang tak berani jalan sendirian. Ia
berani. Kecuali kalau malam.
“Kalau begitu cepat mandi. Aku tiba 20 menit lagi.”
“YAH! Tidak usah!” Hyo Jin
menolak keras, namun sambungan telfonnya sudah lebih dulu terputus. Gadis itu
mengerang, ia menendang selimutnya dan mau tak mau berjalan ke kamar mandi.
***********
Wonwoo bergerak cepat. Jujur
saja, semua tanggung jawab yang dibebankan padanya membuat pria itu sama sekali
tak nyaman. Pikirannya jadi kalut, makanannya terasa hambar, hatinya tak
tenang, tidurnya tak nyenyak. Bicara soal tidur, Wonwoo bahkan tak tidur semalaman,
ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menelfon kenalan perempuannya di asrama
putri, hanya demi secuil info, nomor kamar Wendy—yang untungnya ia
dapat. Nomor 49, lantai 4, pintu paling ujung.
Pagi itu, saat semua mahasiswa berbelok ke area kampus, ia malah berjalan lurus menuju asrama putri. Tidak, dia tidak membolos. Kelasnya memang baru akan dimulai pukul 11 siang. Ia berencana untuk menyelesaikan urusan ini dulu sebelum belajar, atau jangan harap ia bisa fokus. Jangan harap wajah Song Mino yang menyebalkan bisa menghilang dari kepalanya.
Wonwoo terus menggumamkan nomor
kamar Wendy selama berjalan. Ini seharusnya akan menjadi sangat mudah. Mereka
sudah saling kenal. Jika tidak salah ingat, sekitar setahun yang lalu, Wendy
pernah menyapanya di ruang siaran—saat pria itu masih bergabung di UKM radio.
Jadi, karena sudah saling mengenal, saat ini Wonwoo hanya perlu mengetuk pintu
kamar gadis itu dan bertanya apakah dia punya waktu untuk bicara. Mungkin
Wonwoo harus memberi perlakuan ekstra, seperti menyisipkan senyum manis atau
memuji rambutnya sekalipun gadis itu lupa menyisir. Pada dasarnya wanita selalu
menyukai pujian.
Setelah 15 menit berjalan, ia pun
tiba di asrama putri.
Wonwoo berhenti dan memperhatikan
bangunan itu selama beberapa saat. Ini pertama kalinya dia memasuki asrama
putri, dan rasanya benar-benar aneh. Biasanya saat memasuki gedung asramanya
sendiri, Wonwoo langsung disambut oleh sekumpulan pria berkaos oblong yang
duduk bersila di lobi sambil main kartu. Namun disini berbeda, tentu saja.
Segalanya lebih rapi, lebih wangi, tidak ada yang bergerombol. Wonwoo hampir
berdecak kagum.
Wonwoo menengok arlojinya dan
langsung terbelalak, kemudian segera berlari menaiki tangga. 10 menit lagi
kelas pagi akan dimulai, dan ia tak tahu apa Wendy punya kelas pagi atau tidak.
Jika punya, seharusnya gadis itu sudah berangkat sekarang. Dan itu berarti
pengorbanannya jauh-jauh datang kesini akan menjadi sia-sia.
Tapi Wonwoo tak mau menyerah. Pria itu berpikir setidaknya ia harus berhasil menjegat DJ radio itu di depan kamar, atau mungkin di lorong—saat ia sedang berjalan terburu-buru sambil memakai sepatu—untuk meminta waktu luang, untuk bertanya ‘apa kau mau makan siang denganku?’ sebelum menjalankan misi politiknya. Ia belum memikirkan rencana B. Tapi mungkin ia akan bertanya, ‘bagaimana dengan makan malam?’ jika Wendy ternyata menolak ajakan makan siangnya. Entahlah, satu-satunya wanita yang pernah dia ajak makan bersama hanyalah ibunya—dan wanita itu tak pernah menolak.
BRUK!
“AWWW!”
Wonwoo sedang memikirkan rencana
C saat tiba-tiba saja tubuhnya ditabrak oleh seorang perempuan. Wonwoo berhasil
berpegangan di tembok, sementara gadis itu jatuh terduduk di anak tangga di
atasnya. Tulang ekornya bisa jadi mengenai pinggiran tangga. Ow, itu pasti
sakit. Wonwoo ikut meringis sebagai bentuk keprihatinan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Wonwoo
sambil mengulurkan tangan. Itu hanya pertanyaan basa-basi, gadis itu terlihat
pucat pasi seperti habis bungee jumping tanpa tali dari menara Burj
Khalifa. Ia tak mungkin tidak apa-apa.
“Kau tak perlu minta maaf,” kata
Wonwoo lagi begitu sang gadis menerima uluran tangannya.
Lalu, setelah Wonwoo berhasil
menariknya berdiri, bukannya berterima kasih, gadis itu malah menatapnya dengan
mata berkilat. Mereka berdiri di anak tangga yang berbeda, membuat mata
keduanya bisa berpapasan langsung tanpa harus ada yang mendongak.
“Kau bilang apa barusan?”
“Kubilang kau tak perlu minta
maaf,” Wonwoo tersenyum tulus, “pasti kau sedang buru-buru kan? Jadi tidak
apa-apa. ”
“Aku memang tak perlu minta maaf,
bodoh. Tapi kau yang perlu!!!” Namun gadis itu malah membalas ucapan tulusnya
dengan kata makian.
“Kau yang menabrakku,” balas Wonwoo, berusaha tenang. Ia tak suka dipanggil bodoh. Ia juga tak suka ditatap seperti habis berbuat kejahatan. Tapi ia lebih tak suka lagi membiarkan dirinya hilang kontrol dan membalas teriakan dengan teriakan.
“Kau menghalangi jalanku!!” Namun suara gadis itu semakin meninggi.
“Jalanmu?” Oke, lupakan. Wonwoo
sudah tak bisa lagi ‘berusaha tenang’, ia memiringkan kepalanya dan balik
menatap gadis itu dengan mata memicing.
“Ini jalanan umum…..,” Wonwoo
menurunkan pandangannnya pada nametag di jas biru yang gadis itu pakai,
“…Park Hyo Jin-ssi.” Lantas kembali menatap mata sang gadis dengan tajam.
Namun, tunggu! Pria itu
merasa sesuatu di dalam kepalanya baru saja berteriak. Wonwoo kembali
menurunkan pandangannya. Ia butuh waktu sekitar 2 setengah detik untuk tahu apa
yang salah, sebelum pupil matanya mulai membesar, sebelum jantungnya berhenti
berdegup. Jas biru!, batin Wonwoo. JAS BIRU!!
Seketika itu juga Wonwoo refleks
melepas genggamannya, membuat sang gadis kembali terjerembab ke posisi semula.
Jatuh terduduk di anak tangga.
BRUKK!
“AWWW!”
“YAHHHH!””
“Dasar Brengsek! Kau sengaja ya?”
Hyo Jin terus berteriak, sementara Wonwoo memperhatikan jas biru dan plang besi di tembok secara bergantian. Plang besi itu merupakan penunjuk lantai, dan yang tertera disana adalah angka 4. Persis lantai di mana kamar Wendy berada. Lalu gadis berjas biru ini. Mereka bertabrakan di lantai 4. Wonwoo merasa seperti mendapat potongan puzzle.
Pria itu memperhatikan Hyo Jin
dari atas ke bawah sambil berpikir, ‘Apa dia orangnya? Anak DSP yang sekamar
dengan Wendy?’
“Apa yang kau lihat? Cepat bantu
aku!”
Teriakan gadis itu membuyarkan
lamunan Wonwoo. Saat ia tersadar, tangan sang gadis sudah terulur di depannya.
“Tidak bisa. Aku buru-buru.”
Wonwoo menepis tangan itu dan
segera berlari menuruni anak tangga.
“YAH!!”
“Mau kemana kau?! Dasar sialan!”
“YAAAAAHHH!”
“Lihat saja aku akan mencarimu!!
Serius, aku akan mencarimu!! Aku akan menggeledah setiap kamar di asrama putra
dan menemukanmu! Tunggu saja!!!”
“Kau tidak mau kembali hahh???”
“Biar saja! Jangan kira aku tidak menghapal wajahmu ya! Siapapun kau, aku akan mematahkan lehermu dan mencincangnya dan… dan merebusnya di dalam air mendidih. HYAAAA!!”
Wonwoo sudah berada di anak
tangga lantai 2, namun ia masih bisa mendengar teriakan Hyo Jin dengan jelas. Semua
ancaman gadis itu memang terdengar sangat sadis, tapi Wonwoo sama sekali tak
merasa terancam. Ada yang lebih membuatnya terancam saat ini. Song Mino.
Wonwoo seharusnya tidak bertemu
musuhnya di saat seperti ini. Dia seharusnya bekerja dengan bersih, tanpa
diketahui satu pun anggota partai sebelah. Beruntung Wonwoo tak memakai jas
partainya, tapi bagaimana jika gadis itu tahu? Bagaimana jika dia mengadu pada
kawanannya yang lain? Bagaimana jika Mino tahu kalau ia tertangkap basah?
Bagaimana jika….. Wonwoo merasa kepalanya hampir pecah.
“Apa yang kau lakukan disini?”
Wonwoo dikejutkan dengan suara itu. L.Joe tengah menatapnya dengan sengit. Mereka berpapasan tepat saat Wonwoo tiba di lobi.
Satu lagi anak DSP, batin Wonwoo, sembari mati-matian menahan wajahnya agar tetap terlihat tenang, Skak mat. L.Joe tahu siapa aku.
“Kau sendiri? Apa yang kau
lakukan disini?” balas Wonwoo tak kalah sengit.
“Jangan bilang kau sedang……,”
L.Joe mendecak, “Heh sial! Katakan pada ketua partaimu untuk berhenti mencuri
ide kami. Dasar licik!” L.Joe terbakar emosi. Tak peduli sehebat apapun ide
partainya, selalu saja berakhir begini. Ini sudah sangat keterlaluan.
Namun Wonwoo menanggapinya dengan
santai, ia bahkan menyunggingkan senyum, “Daripada repot-repot mengurus partai
orang, lebih baik kau suruh saja Hoshi memperketat penjagaannya. Dan satu lagi,”
Wonwoo mendekat selangkah. “Tolong sampaikan permintaan maaf dari partaiku—”
“—maaf jika kehebatan kami
membuat kalian tak berdaya.”
***********
At Kafetaria
09:49 AM
“Jadi maksudmu dia datang ke asramaku untuk menemui Wendy?”
L.Joe mengangguk.
Hyo Jin terlihat berpikir keras
selama beberapa saat. L.Joe baru saja bicara panjang lebar soal Jeon
Wonwoo—seseorang yang diduga kuat sebagai pria sinting yang menabraknya pagi
ini. Dan Hyo Jin mencoba mereka ulang kejadian itu di kepalanya.
“Gila! Kita baru mencetuskan ide ini semalam. Bagaimana bisa mereka tahu? Aku yakin 100% ada yang berkhianat di partai kita,” ucap Hyo Jin emosional.
“Yeah, sebenarnya ada satu orang
yang kucurigai.”
“Siapa?”
“Aku tak bisa memberitahumu
sekarang. Intinya kau harus waspada. Wonwoo pasti akan kembali. Jangan biarkan
pria itu mendekati Wendy.”
Hyo Jin menjatuhkan kepala di
meja dan mulai mengerang. Ia merasa ada awan-awan hitam di atas kepalanya.
“Ini penawaran keduaku, katakan saja jika kau ingin mundur. Aku yang akan bilang pada Hoshi.”
“Tidak, JANGAN!” Hyo Jin segera
mengangkat kepalanya lagi, lalu menggeleng kuat-kuat. “Apa yang akan dipikirkan
orang-orang tentangku? Aku sudah sekamar dengan Wendy selama 4 bulan dan masih
tak berani mengajaknya bicara. Itu konyol sekali.”
“Jadi apa rencanamu?”
“Tidak ada.”
“Bagus!” L.Joe menusuk potongan
buah melon di piringnya dengan garpu dan mengulurkannya ke mulut Hyo Jin.
“Makanlah! Kau butuh banyak nutrisi untuk menjalankan rencana itu.”
Hyo Jin mendengus, lalu
memimikkan kata ‘sialan kau!’ pada L.Joe sebelum menyambut suapan sang pria.
L.Joe tertawa pendek.
“Rasanya sudah lama sekali aku
tidak bicara denganmu,” kata L.Joe sambil menusuk potongan buah yang lain.
“Kita sedang bicara.”
“Bukan, maksudku pembicaraan di
luar kegiatan partai.” L.Joe mengulurkan buah semangka, “Bagaimana kuliahmu?
Apa semuanya lancar? Kau butuh bantuan?”
“Aww, manis sekali,” ledek Hyo
Jin, sedetik sebelum mulutnya dipenuhi semangka.
“Aku serius.”
“Semuanya lancar. Semester ini
lebih banyak praktik, aku hampir tidak punya tugas. Tapi sekalipun ada, aku
yakin mahasiswa musik tak bisa membantu.” Gadis itu kembali meledeknya.
“Tapi terima kasih sudah bertanya. Bagaimana denganmu?”
“Aku sedang ada projek besar.
Kami harus membuat album berisi 7 lagu untuk tugas akhir.”
“Keren sekali.”
“Yeah, tapi dengan semua kegiatan
partai ini, aku agak pesimis bisa menyelesaikannya.”
Dan perbincangan mereka pun
berlanjut cukup lama. Quality time. Setelah L.Joe bicara soal kegelisahannya
mengenai projek musik, Hyo Jin mulai mengeluh soal dosennya yang terlalu tepat
waktu, atau dosennya yang lain yang suka mengkorupsi waktu pulang. Mereka
bercanda, mereka tergelak, saling menudingkan jari, bergosip tentang orang di
meja sebelah, mereka bertaruh soal ‘berapa jumlah biji di limun Hyo Jin’,
bercanda lagi, tertawa lagi, menggoda satu sama lain, mengorek biji limun untuk
membuktikan siapa yang menang taruhan, kembali bercanda, kembali tergelak. Dan
selama mereka melakukan semua itu, L.Joe terus menusuk buah-buahan di piringnya
hingga piringnya kosong.
Kali ini, L.Joe sedang membicarakan agenda futsalnya minggu lalu saat tiba-tiba wajahnya berubah tegang. Ia terpaku pada satu titik, mukanya yang semula santai kini berubah menjadi serius.
“Mino turun tangan langsung,”
bisik L.Joe.
Hyo Jin sontak memutar kepala.
Dan seketika itu juga hawa buruk kembali menyelimutinya. Awan-awan hitam yang
sudah pergi kembali berdatangan. Ada Mino dan Wendy di ujung sana, di meja yang
sama, duduk saling berhadapan. Mereka tak bisa mendengar perbincangan kedua
orang itu, tapi semua orang bisa menebak.
Sejak tadi, Wendy hanya
bersedekap sambil menatap pria di seberangnya tanpa minat. Sementara pria yang
ditatap terus bicara, terus menebar senyum bersahaja, persis seperti salesman
yang sedang membangga-banggakan produknya. Hyo Jin tak bisa menghitung sudah
berapa kali ia dan L.Joe saling bertukar kalimat umpatan setiap kali Mino
mengeluarkan gesture sopan. Busuk sekali. Hyo Jin berpikir seharusnya ia
meminta tutor pada Song Mino agar bisa beracting sebagus itu.
Tak lama kemudian, Wendy berdiri.
Baik Hyo Jin maupun L.Joe langsung bisa menebak apa yang terjadi. Penawaran
Mino ditolak mentah-mentah. L.Joe tersenyum lega menatap kepergian sang DJ
radio, tapi tidak dengan gadis di hadapannya.
“Tenanglah, kita masih punya kesempatan.”
“Kesempatan apa? Song Mino saja
ditolak apalagi aku.”
“Iya, tapi…”
“Kurasa kau bisa bilang pada
Hoshi,” potong Hyo Jin sambil mengusap muka, “bilang padanya aku mundur.”
“Apa?”
“Iya, aku tahu aku konyol. Aku
baru saja mengatakan padamu bahwa aku tidak akan mundur, tapi...” Hyo Jin
menggeleng lemah, “Aku tak bisa.”
**********
Malam itu, setelah rapat tim
sukses pasangan Eunhyuk-Donghae (partai biru) selesai, Vernon segera berlari ke
salah satu ruang paling terisolir di lantai 4.
Dia baru membuka pintu dan semua
mata langsung tertuju padanya.
“Apa mereka menyerah?” tanya Mino langsung.
Vernon mengatur napasnya, lalu menggeleng.
“Sebenarnya Park Hyojin sudah bilang ia menyerah, tapi Hoshi menolak,” jelas Vernon, “dia menyuruh gadis itu untuk bertahan sampai akhir, bagaimanapun Hyo Jin memang harapan satu-satunya. Semua orang tahu tim radio menjunjung tinggi prinsip ‘bebas politik’. Dan menurut Hoshi, sebagai teman sekamar Wendy, Hyo Jin punya peluang yang lebih besar dari siapapun untuk membuat DJ radio itu berubah pikiran.”
Mino mengalihkan tatapannya pada Wonwoo.
“Kau dengar itu? Kalau Hyo Jin tak mundur maka kau juga tak boleh mundur.”
Wonwoo menahan diri untuk tidak melayangkan tinjunya ke muka Vernon, atau ke muka Mino, atau ke muka siapapun di ruangan ini. Kepalanya terasa panas. Dia sudah berdiri di depan seluruh anggota partai dan mengutarakan keinginannya untuk mundur selama hampir 10 menit. Lalu tiba-tiba saja Vernon datang dan mengacaukan segalanya. Wonwoo bukan tipe orang yang suka bicara, apalagi bicara di hadapan puluhan orang begini, tapi lihat dimana dia berdiri sekarang!! Dia baru saja melakukannya! Dia berdiri. Dia bicara. Di depan orang-orang. Namun semua pengorbanan maha besar itu berujung petaka. Ia tetap dibekap oleh tanggung jawab. Wonwoo masih harus bertahan hidup dengan perasaan terganjal selama 3 minggu ke depan.
“Tugasmu kupermudah,” kata Mino, mungkin bermaksud menenangkan, tapi kegelisahan Wonwoo tak sedikitpun berkurang.
“Kau hanya perlu menghalangi
mereka. Jika kita tidak mendapat kampanye radio itu, maka jangan biarkan mereka
mendapatkannya!”
Wonwoo cuma menatapnya putus asa.
Tidak, dia muak.
Ia ingin melepas jasnya dan
menginjaknya di depan Mino sambil bilang, “AKU KELUAR!”
Tapi ia tak cukup berani.
Dan ia tak mau meninggalkan
partai ini.
Dan ia masih ingin hidup.
Dan ia belum menikah.
“Satu lagi, Mino sunbae,” Vernon kembali
menjadi pusat perhatian. “L.Joe terus memperhatikanku sepanjang rapat.
Sepertinya dia mulai curiga.”
**********
Seperti biasa, selepas rapat,
L.Joe mengantar Hyo Jin sampai ke asramanya.
“Dengar! Aku yakin Wonwoo atau
mungkin antek-antek Song Mino yang lain akan kembali.” L.Joe menarik pundak Hyo
Jin agar gadis itu menghadapnya. Hyo Jin tak bicara semenjak mereka keluar dari
ruang rapat. Tatapannya terlihat kosong, wajahnya lesu. L.Joe tahu mood Hyo Jin
sudah hancur berantakan begitu Hoshi menolak permintaannya untuk mundur. Tapi
tak ada yang bisa ia lakukan untuk membantu. Jadi ia hanya diam, memberi gadis
itu ruang untuk menenangkan diri.
Dan akhirnya L.Joe sampai di tahap ‘aku tidak bisa tinggal diam lagi’, menurutnya Hyo Jin sudah mengambil waktu terlalu banyak untuk menenangkan diri. Jadi, inilah waktu yang tepat baginya untuk sedikit mengintervensi, hanya sekedar menekankan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Sekalipun Wendy menolak tawaranmu maka tidak apa-apa. Ia tak ingin Hyo Jin terbebani hanya karena hal sesepele ini.
“Tapi tolong jangan jadikan ini beban. Aku percaya pada Wendy. Seperti yang kita lihat pagi ini, Mino saja ditolak, apalagi anak buahnya, iya kan?”
Hyo Jin mengangguk.
“Kau tak perlu bicara pada Wendy
jika menurutmu…..”
“Arasseo,” sela Hyo Jin, mencoba
tersenyum. Ia mengambil kedua tangan L.Joe dari pundaknya dan menurunkannya
perlahan-lahan. “Pergilah! Aku benar-benar lelah.”
“Tapi kau harus ingat
kata-kataku.”
“Iya.”
“Hyo, aku serius, pokoknya ja—“
“Aku tahu, Joe. Sungguh.
Pergilah!”
**********
Persis seperti malam-malam
sebelumnya, Wendy sudah tertidur begitu Hyo Jin memasuki kamar. Tapi itu bukan
masalah, Hyo Jin memang sudah kehilangan minat untuk mengajak rekan sekamarnya
bicara. Toh aku sudah tahu jawabannya, jadi untuk apa repot-repot bertanya?
Namun, semua pikiran itu
menghilang di pagi hari. Tepatnya saat ia melihat muka Wendy di depan mukanya.
Tubuhnya diguncang, dan baru berhenti saat matanya terbuka.
“Hyo, sabun cairku habis..” Itu
adalah kalimat pertama yang Wendy tujukan padanya selama 2 minggu terakhir.
“Aku boleh minta sabunmu ya,”
pintanya, sambil memasang senyum tiga jari.
“Ambil saja di lemariku!”
“Terima kasih.”
Wendy pun beranjak dari tempat
tidur Hyo Jin. Dan saat itu, entah mendapat bisikan dari siapa, Hyo Jin menarik
tangan sang DJ dan berkata, “Eunhyuk dan Donghae oppa, kandidat ketua senat
dari partaiku, boleh jadi bintang tamu di radiomu, ya?”
Hyo Jin terkejut mendengar nada
bicaranya sendiri, terlalu santai, terlalu tenang, terlalu akrab. Wendy terdiam
cukup lama dalam posisi setengah berdiri. Hyo Jin menahan napas, dan masih akan
terus menahan napas sampai pertanyaannya mendapat respon. Sejujurnya kalimat
‘tidak bisa’ sudah terngiang-ngiang di kepalanya. Selama bertahun-tahun, radio
kampus mereka memang tak pernah mau menjadi media kampanye. Jadi tak ada alasan
untuk memutus tradisi anti-politik tersebut di tahun ini.
“Entahlah, Hyo. Aku harus
membicarakannya dengan timku dulu.” Mata Hyo Jin langsung terbuka maksimal. Ia
tidak menduga jawaban seperti itu bisa ia dapat. Senyumnya merekah kelewat
lebar.
“Serius?”
“Jangan berharap banyak.” Wendy
buru-buru mengingatkan. “Bagiku politisi itu hanyalah sekumpulan orang-orang
jahat yang gila hormat, yang rela berbuat apapun demi jabatan dan kekuasaan.
Aku mempertimbangkan tawaranmu hanya karena kau sering meminjamkanku lotion dan
sabun. Hanya itu.”
“Yeah, tapi tetap saja,” Hyojin
tersenyum, “—terima kasih.”
**********
Hyo Jin tak bisa berhenti
tersenyum pagi itu. Ia tak sabar untuk menceritakan semuanya pada L.Joe, bahwa
ia berhasil, bukan, bukan berhasil mendapat kampanye radionya, tapi ia berhasil
bicara—itu saja sudah sangat hebat. Dadanya terasa lapang seperti lapangan
bola. Ia lega, benar-benar lega. Ia tak bisa mengontrol wajahnya yang terus
tersenyum. Hyo Jin nyaris merasa sayapnya mengepak, nyaris, sebelum akhirnya
ia sadar ia tak memiliki sayap.
Dengan gerakan cepat, Hyo Jin
menggemblok tas ranselnya yang bermotif bendera inggris. Lalu melengoskan 3 buah
kalung berbandul lempengan besi melewati kepalanya, menyambar jas partai dan
baru setelah itu membuka pintu kamar.
Ceklek
Wonwoo berdiri.
Ya. Saat Hyo Jin membuka pintu,
pria yang tadinya tengah duduk bersandar di tembok—persis di sebelah
pintu—segera berdiri. Senyum Hyo Jin langsung menghilang begitu mengenali wajah
sang pria. L.Joe memang sudah memperingatkan kalau kaki tangan partai solidarity
(partai merah) akan datang, tapi ia tak menyangka akan secepat ini.
“Wendy sudah keluar dari setengah
jam yang lalu.” Hyo Jin berkata dengan ketus, sambil berpaling ke lorong. Tak
mau menatap mata musuhnya.
“Oh,.. okay.”
Hyo Jin melirik pria itu sekilas,
terlihat bimbang, seolah-olah ada teka-teki silang di dalam kepalanya. Tapi
siapa peduli? Pecahkan teka-tekimu sendiri! Hyo Jin segera berbalik badan,
memutar kuncinya di lubang sampai terdengar bunyi ‘klik’, kemudian menarik
kunci itu dan berlalu dengan langkah dipercepat—sambil menyelipkan kunci
kamarnya di kantong jeans.
“Tunggu!” Wonwoo menarik
lengannya. Dan Hyo Jin menyentaknya cepat sembari berbalik penuh.
“Apa?”
“Aku punya penawaran.”
“Aku tidak tertarik.” Hyo Jin
kembali berbalik, nyaris melangkah, namun Wonwoo menariknya lagi.
“Dengarkan aku dulu!” Pria itu
bicara dengan nada memohon.
“Apapun penawaranmu aku tidak
tertarik!!” teriak Hyo Jin, sembari sekali lagi menepis tangan Wonwoo, lebih
kuat, sampai-sampai si pemilik tangan terdorong.
Hyo Jin kembali berjalan cepat sambil mengeratkan pegangannya pada jas.
Ia bisa mendengar suara langkah kaki Wonwoo yang berlari mendekat. Sangat cepat. Hyo Jin hampir ikut-ikut berlari karena takut. Tapi terlambat, pria itu sudah mendahului Hyo Jin dan menghadang jalannya. Kedua tangannya merentang dari sisi tembok yang satu ke sisi yang lain.
“Ayo berhenti!” seru Wonwoo
tiba-tiba. “Tidakkah tanggung jawab ini berat? Jadi ayo berhenti!”
Hyo Jin terdiam, kali ini terpaksa menatap mata sang musuh.
“Aku akan berhenti mengejar Wendy, asalkan kau juga berhenti. Ya.. konsekuensinya adalah, kita berdua tak akan mendapat kampanye radio itu. Tapi siapa peduli, iya kan? Yang penting semua orang tidak menyalahkan kita. Mereka akan berpikir ‘Oh, Wendy sangat sulit diluluhkan’. Ini rahasia antara kau dan aku. Aku bersumpah tak akan memberitahu siapapun. Bagaimana?” jelas Wonwoo, masih dengan kedua tangan merentang, dan napas sedikit tersengal.
Hyo Jin tersenyum sembari menggeleng-gelengkan
kepala, “Kau pikir aku baru mengenal partaimu kemarin sore huh? Bodoh sekali.
Awas!”
Gadis itu merunduk untuk melewati
sela kosong di bawah tangan Wonwoo, namun sang pria dengan sigap menurunkan
lengannya.
“Demi Tuhan ini sungguh tidak ada hubungannya dengan partaiku!”
Wonwoo berusaha meyakinkan, sementara tubuhnya bergeser ke kanan dan kiri mengikuti pergerakan Hyo Jin.
“YAH! Awass!” Hyo Jin memekik.
“Dengarkan aku du..”
“Kuhitung sampai 3 atau kau kutendang!”
“Tunggu seben..”
“Satuduatiga!” Hyo Jin berhitung
dengan kecepatan cahaya dan langsung melayangkan kakinya untuk menendang, tapi
Wonwoo berhasil menghindar. Gadis itu berontak habis-habisan sambil terus
berteriak dan menendang tanpa arah.
“AWAS! MENYINGKIR DARI JALANKU!
AWAS AWAS AWASSSSS!!”
“BISAKAH KAU TENANG SEBENTAR!”
Wonwoo akhirnya balas berteriak, sembari menarik pundak Hyo Jin dan
menyudutkannya di tembok. Gadis itu sangat berisik, dan lincah, dan kuat.
Wonwoo merasa sangat kelelahan.
“Coba pertimbangkan tawaranku
dengan kepala dingin. Kita sama-sama diuntungkan,” kata Wonwoo dengan nada yang
jauh lebih lembut, “aku tahu kau sudah bilang pada Hoshi kalau kau ingin mundur,
tapi dia tak mengizinkan, iya kan? Hal yang sama terjadi padaku. Mino tak
mengizinkanku mundur. Aku yakin kita punya alasan masing-masing untuk tidak
bicara dengan Wendy.” Wonwoo mengambil jeda sekian detik, menatap mata Hyo Jin
lamat-lamat, sebelum akhirnya melanjutkan dengan nada memohon, “Jadi, bisakah
kita— tanpa sepengetahuan mereka—berhenti saja?”
Wonwoo tak mengalihkan pandangannya sama sekali. Sementara Hyo Jin balik menatapnya dengan ekspresi terkejut.
Hingga akhirnya,
“Sayang sekali,” ucap Hyo Jin
dengan nada dibuat-buat. Ia menepis pelan kedua tangan Wonwoo dengan punggung
tangannya. Dan Wonwoo tak lagi memberi perlawanan, ia membiarkan tangannya didorong
dengan pasrah.
“Kalau kau datang kemarin malam, mungkin aku akan langsung setuju tanpa pikir panjang. Tapi sekarang…,” Hyo Jin menyelipkan senyum, “—aku sudah bicara dengan Wendy,” senyum Hyo Jin kian mengembang, “—dan dia bilang dia akan bicara dengan timnya.”
Wonwoo tercengang. Ia terhuyung mundur sampai punggungnya menabrak sisi tembok di seberang.
“Tapi sungguh, terima kasih..,”
lanjut Hyo Jin, dengan senyum yang tak kunjung pudar, “terima kasih sudah memberi
tahu bagaimana perasaanmu sebenarnya. Kau tahu, rasanya lega sekali mengetahui
ternyata musuhku sudah menyerah. Berarti sekarang aku hanya harus fokus
mendapatkan simpati Wendy. Kau membuatku semakin optimis. Terima kasih.”
Hyo Jin berjalan selangkah
mendekati Wonwoo. Lantas berjinjit hingga membuat wajah mereka berhadapan,
dalam jarak yang cukup dekat. Hyo Jin menatapnya dengan sinis, dengan mata
berkilat seperti serigala.
“Tapi tolong jangan samakan pemimpinmu yang licik itu dengan Hoshi! Hoshi-ku jelas jauh lebih baik.”
**********
Wonwoo berjalan gontai di selasar
kampus. Ucapan Hyo Jin pagi ini terus terngiang-ngiang. Bagaimana jika Wendy
setuju? Dia harus menghentikannnya sebelum terlambat. Mino mungkin akan menebas
kepalanya dengan kapak jika DSP benar-benar mendapat kampanye radio itu. Wonwoo
sempat berpikir untuk menemui Wendy di tempat siaran setelah kelasnya usai,
tapi urung, gedung radio sangatlah jauh, dan tak ada jaminan gadis itu ada
disana. Jadi rasanya lebih baik tidak usah, terlebih mengingat keberuntungannya
yang pas-pasan, tidak, alih-alih pas-pasan, ia justru tak punya keberuntungan
sama sekali akhir-akhir ini. Bayangkan saja, Wonwoo sudah 2 kali datang ke
asrama putri, dan sekali pun ia tak pernah bertemu dengan Wendy.
‘Wahai keberuntungan, please
datang sekarang!’ pintanya dalam hati.
Dan, tak sampai sedetik setelah
ia membatin, tiba-tiba saja badannya ditabrak (lagi). Tidak, tidak seperti
tempo hari, kali ini dia yang menabrak.
BRUKK
“Aduh!”
Tubrukan dan teriakan itu
memotong lamunannya. Wonwoo kembali tersadar, lalu menoleh untuk mengetahui
siapa manusia malang yang baru ia tabrak.
Dan seketika ia tercengang.
‘WENDY!!!’ ia berteriak dalam
kepala. Wonwoo nyaris bersorak melihat Wendy yang sedang tersungkur di
hadapannya. Ia tak menyangka permintaannya dikabulkan begitu cepat.
“M, maafkan aku!” Wonwoo terbata,
berusaha mati-matian menutupi ekspresi bahagianya. Ia tak mungkin tersenyum
antusias melihat gadis malang di depannya terjatuh kan?
Pria itu menangkap kertas-kertas
yang masih bertebaran di udara, lalu berlutut dengan sebelah kaki, untuk
memungut kertas-kertas yang sudah jatuh, baru setelah itu mengulurkan sebelah
tangannya yang bebas pada Wendy.
“Wonwoo?” Wendy menyambut uluran tangan itu dengan ekspresi terkejut. Hebatnya tanpa raut marah sedikitpun.
Keduanya berdiri.
“Astaga! Apa kabar?” tanyanya
heboh, sembari memukul lengan Wonwoo dengan spontan. Senyumnya merekah,
sementara pria di depannya masih berhasil menutupi suasana hatinya yang
terbakar rasa bahagia itu dengan senyum simpul. Sama sekali tidak terlihat
berlebihan.
“Aku baik.”
“Kenapa kau menghilang begitu
saja dari UKM?”
“Maaf. Aku sangat sibuk semester
lalu.”
“Apa kau masih sibuk semester
ini?”
“Tidak terlalu.”
“Kalau begitu kembalilah ke UKM!”
“Tidak. Aku tidak enak,” sergah
Wonwoo, seraya menyodorkan kertas-kertas di tangannya.
“Ah! Kertas not-ku.” Wendy
menyambut kertas-kertas berisi not balok itu. “Kau yakin tak ada yang
tertinggal?”
Wonwo menoleh ke sekeliling lantai. “Sepertinya tidak.”
“Semoga tidak ada yang tertinggal.
Ini hidup matiku.”
“Kau masih main biola?”
“Kau bercanda? Aku sudah sangat
ahli sekarang!”
“Benarkah? Aku senang
mendengarnya.”
“Mendengar apa? Kau bahkan belum
mendengarku,” gurau Wendy. Lalu tiba-tiba ekspresinya berubah, “Oh tunggu! Kau
bisa mendengarku!!!”
“Kelas musikku akan mengadakan pertunjukan
orkestra nanti malam. Kau punya waktu?”
Wonwoo mengangguk.
“Bagus!” Wendy langsung merogoh
sesuatu dari sakunya, lalu menyodorkan benda itu pada Wonwoo. Selembar kertas
tebal. Bukan. Tunggu! Itu tiket!! Wonwoo bisa merasakan pupil matanya
sedikit melebar.
“Kau serius? Ini gratis?” Wonwoo
menerima kertas itu dengan gugup seperti sedang menerima cek bernilai jutaan
won.
Wendy mengangguk-angguk, “Setiap penampil mendapat 3 tiket gratis. Aku sudah memberikan yang dua kepada
yang lain, dan itu sisanya, aku tak tahu harus mengajak siapa lagi. Kau
benar-benar beruntung. Harganya lumayan.” Gadis itu berbisik saat mengucapkan
kalimat terakhir.
“Terima kasih.”
“Kau harus datang.” Wendy memukul
lengan atasnya lagi, lalu mengulas senyum terakhir sebelum berpamitan.
“Kelasku mulai sebentar lagi.
Sampai jumpa.” Gadis itu melambai singkat sebelum benar-benar berlalu. Dan
Wonwoo yang masih syok hanya bisa berdiri kaku di tempatnya.
“Yeah, sampai jumpa.” Dan
akhirnya hanya berbisik sendiri setelah gadis itu sudah jauh.
Wonwoo mengalihkan tatapannya
dari siluet Wendy yang semakin mengecil ke tiket di tangannya. Ini benar-benar
sulit dipercaya. Bagaimana bisa Wendy mengenalinya seperti tadi? Ia menepuk
lengan Wonwoo seolah mereka sangat akrab, tersenyum lebar, tertawa, memberi
tiket gratis. Pria itu bahkan tak mengikuti pertemuan UKM radio lebih dari 5
kali. Ia juga tak pernah benar-benar masuk ke ruang siaran. Saat itu, hubungan
mereka hanyalah sebatas anggota UKM yang rajin bertukar senyum saat berpapasan.
Bahkan terkadang Wonwoo sengaja menghindar agar tidak harus tersenyum.
Alasannya masuk klub radio pun
benar-benar konyol. Jadi, di tahun kedua, ada isu mengerikan yang merebak di
kalangan mahasiswa, katanya siapapun tak akan bisa lulus jika tidak mengikuti
UKM. Semua teman-temannya langsung heboh, mereka serentak mengikuti UKM. Saat
itu Wonwoo menjadi satu-satunya manusia di kelas yang tidak bergabung di UKM
manapun, dan hal itu sedikit banyak membuatnya panik. Bagaimana kalau isu itu
benar? Bagaimana jika ia tidak akan lulus?
Dan kebetulan, saat sedang
bingung harus ikut UKM mana, Wonwoo menemukan selebaran UKM radio di papan
pengumuman. Saat itu juga ia langsung menelfon nomor yang tertera disana dan
menyatakan ingin bergabung.
Lokasi bangunan UKM radio
benar-benar terpencil, jauh di belakang gedung fakultas. Butuh banyak
pengorbanan untuk sampai disana.
Sepi, terpencil, jauh, banyak
ilalang tak terawat di jalan setapak, mengerikan, dan sederet hal buruk lain,
tapi Wonwoo menyukainya. Ia suka tempat yang sepi, ia suka duduk di selasar
bangunan tua itu sambil memainkan gitar sendirian. Atau berdua. Paling banyak
bertiga—dengan anggota lainnya. Tenang, damai, ada gantungan logam alumunium
yang bergemerincing tiap tertiup angin, juga suara samar intro radio dari ruang
siaran. Wonwoo sangat menikmati hari-hari itu, sampai akhirnya… tepat di
pertemuan kelima, para senior mulai menyuruhnya bicara. Mereka menyuruhnya
menemani Seungkwan untuk melakukan siaran terbuka di lobi kampus, DI LOBI
KAMPUS!!!
Wonwoo tak tahu di dunia ini ada
yang namanya siaran terbuka. Apalagi di lobi kampus. Wonwoo sudah menolak
seratus kali dengan beragam alasan, tapi para senior itu tetap memaksa, sebagai
pelatihan mental untuk naik tingkat, katanya. Wonwoo tak suka bicara di hadapan
orang-orang. Wonwoo tak suka menjadi pusat perhatian. Wonwoo tak ingin naik
tingkat.
Dan UKM radio pun jadi tak
menyenangkan lagi setelah itu. Wonwoo tahu dia akan merindukan suara
gemerincing logam alumunium, atau bau khas ruang siaran, atau intro radio yang
mulai familiar, tapi pria itu tetap memutuskan untuk berhenti datang. Demi
menghindar dari tanggung jawab.
Tapi masalahnya belum berhenti
disitu.
Dosen-dosen mulai berceloteh soal
betapa pentingnya berorganisasi. Isu soal ‘tak bisa lulus kalau tidak ikut
organisasi’ pun masih belum reda.
Dan saat itu, saat Wonwoo tengah
gundah gulana, Mino datang bak malaikat.
Mino menghampirinya di kafetaria,
menyerahkan slayer merah berlogo kepala macan sambil menyisipkan senyum
bersahaja. Kemudian mengatakan, ‘pertemuan pertama akan dimulai besok malam, di
ruang kelas lantai 4. Jika kau punya waktu, cobalah datang!’
Dan Wonwoo datang.
Ia mendapat atribut partai serba
merah itu secara cuma-cuma. Lalu mendadak semua orang di partai itu
mengenalnya, menjadi temannya, menyapanya. Ia tidak lagi duduk sendiri di
kafetaria, tidak lagi main gitar sendiri di ruang musik. Wonwoo memakai pin
berlogo kepala macan itu kemana-mana, lalu melakukan salaman rahasia tiap kali
berpapasan dengan anggota lain. Sejujurnya Wonwoo merasa keren dengan titelnya
sekarang, politisi kampus. Persetan dengan tindakan kotor para petinggi partai;
yang mengirimkan mata-mata untuk mengawasi partai musuh, mencuri ide kampanye
mereka, menyebar fitnah. Selama ia tidak diterjunkan langsung, maka Wonwoo
tetap merasa keren di balik jasnya. Tangannya masih bersih.
Tapi… Wonwoo tak bisa
mempertahankan tangannya agar tetap bersih.
Dua hari yang lalu, ia kembali diberi
tanggung jawab, yakni ‘menghalau partai sebelah untuk mendapat kampanye radio’.
Luka lama pun bersemi kembali. Ya, perasaan terbebani yang ia rasakan saat
masih bergabung di UKM radio pun kembali naik ke permukaan. Ia tak bisa mundur,
terlebih urusannya kali ini bukan cuma ‘para senior yang terus mendesak untuk
siaran’, seribu kali lebih parah dari itu, ia harus menghadapi Song Mino.
Ditambah kamar mereka cuma selisih satu lantai, Mino mungkin akan menggebrak
pintu kamar Wonwoo dan meninjunya jika pria itu sampai gagal. Mino bukan tipe
orang yang bisa menerima kekalahan.
Itu sebabnya dia bicara pada Hyo
Jin pagi ini, bermaksud menawarkan gencatan senjata. Tapi sayangnya gadis itu
sudah keburu mengangkat senjata, jadi Wonwoo tak punya pilihan lain selain ikut
mengangkat senjata.
Perang pun dimulai.
***********
Saat itu jumat malam, dan Hyo Jin
masih duduk di antara anggota partai yang lain. Rapat internal. Ia mencoba
fokus pada ucapan Hoshi, tapi pikirannya terus mengembara. Pagi ini ia
berbicara dengan Wendy, bahkan juga bertemu Wonwoo.
Hyo Jin belum bilang pada siapa-siapa. Oke, ia memberitahu L.Joe soal pembicaraannya dengan Wendy pagi ini, dan reaksi pria itu sangatlah bagus. Tapi hanya sebatas itu, Hyo Jin tak menyinggung soal Wonwoo sama sekali. Gadis itu berpikir untuk menjadikan tawaran Wonwoo sebagai rencana cadangan—jika ternyata Wendy menolak, dan kemungkinan besar memang begitu. Dan itu berarti ia tak boleh bilang anggota partainya sama sekali, termasuk L.Joe. Semenjak mereka berkencan, ini kali pertama ia memiliki rahasia di belakang L.Joe. Dan rasanya benar-benar tak nyaman. Seperti sedang selingkuh.
“Masih punya permen karet?” Hyo Jin terlonjak mendengar suara itu, suara L.Joe—yang menggema di kepalanya tepat setelah ia memikirkan kata ‘selingkuh’.
“E..entahlah. Sebentar.”
Hyo Jin segera merogoh saku
jasnya. Namun, bukannya menyentuh plastik permen, jemarinya malah menusuk ujung
kertas yang kaku. Dengan kening berkerut, Hyo Jin segera mengangkat benda itu.
“Apa ini?”
L.Joe melirik benda itu sekilas. “Yang pasti bukan permen,” katanya kecewa, lantas kembali menoleh ke depan. Sementara Hyo Jin masih kebingungan menatap kertas itu.
“Pertunjukan musik klasik?”
L.Joe melirik benda itu lagi,
kemudian pandangannya beralih ke Hyo Jin—yang juga tengah meliriknya.
“Apa kau memikirkan apa yang sedang kupikirkan?”
Hyo Jin mengangguk.
Mata keduanya melebar di detik
yang sama.
“Astaga! Coba lihat jamnya!”
L.Joe merebut tiket itu dari Hyo Jin dan semakin terbelalak. “Acaranya sudah
mulai dari 30 menit yang lalu!!!”
Saat itu juga L.Joe langsung berdiri sambil menarik tangan Hyo Jin. Sontak aksinya itu membuat konsentrasi satu ruangan pecah. Hoshi berhenti bicara dan menoleh pada mereka.
“Kami harus pergi,” kata L.Joe, sembari berjalan mundur pelan-pelan. Hyo Jin mengangguk-angguk di belakangnya.
“Tidak. Aku belum selesai. Kembali ke kursimu!”
“Ani. Ini masalah kampanye. Aku
akan menceritakannya padamu nanti.” Setelah mengatakan itu, L.Joe langsung
mendorong pintu dan berlari keluar.
Mereka sudah keluar dari gedung
kampus, namun L.Joe tidak memperlambat larinya sama sekali. ia terus
menyeret-nyeret Hyo Jin sambil berkata ‘ayo cepat!’.
“Tunggu! L.Joe! Tunggu dulu!”
Hyo Jin menarik diri, membuat
pria di depannya mau tak mau berhenti.
“Ada apa?”
“Aku mau ke asrama dulu!”
“Hah? Mau apa lagi? Acaranya
sudah mulai!”
“Aku mau pakai gaun. Itu acara
formal.”
“Tak ada yang akan melihatmu.
Ayolah!” L.Joe menarik tangannya lagi, namun Hyo Jin segera mengelak.
“Aku tidak peduli! Walaupun tak
ada yang akan melihatku, aku tetap mau pakai gaun!”
“Jangan seperti anak kecil!”
L.Joe berseru.
“Masa bodo! Aku mau pakai gaun!”
Hyo Jin balas berseru dengan suara melengking. Lantas berlari ke arah
berlawanan, menuju asramanya.
“YAH PARK HYO JIN!” L.Joe
mengerang, “Bodoh sekali! Acaranya sudah mulai!”
“Masa bodo!!!!”
“Dasar keras kepala!”
“MASA BODO!”
“Kekanakan!”
“MASA BODOOO!”
***********
Hyo Jin berlarian menuju gedung pertunjukan.
Ia sudah memakai gaunnya sekarang. Gaun hitam selutut yang ia beli bulan lalu,
masih kaku, Hyo Jin belum pernah memakainya—dan itu sebabnya ia ingin sekali
memakainya malam ini, mumpung ada alasan.
Begitu sampai di gedung pertunjukan,
Hyo Jin memperlambat tempo larinya. Ia bisa melihat L.Joe di depan pintu masuk,
membawa buket bunga. Hyo Jin menahan senyumnya, L.Joe mungkin akan minta maaf
karena sudah membentaknya. Ralat, dia memang harus minta maaf.
Gadis itu berhenti di depan sang pria, bersedekap dan membuang muka dengan angkuh.
“Tiketnya habis. Aku tidak bisa masuk.”
Hyo Jin tak merespon.
“Mana mantelmu?”
“Aku tak bawa.”
“Tak bawa? Kau lupa sedingin apa
ruang pertunjukan kita? Sudah bosan hidup? Mau mati beku?” L.Joe lagi-lagi
mengomel.
Kalau mau minta maaf ya minta maaf saja!, batin Hyo Jin. Ia memperhatikan bunga di tangan L.Joe dan mendengus sinis. Untuk apa beli bunga? Akan lebih baik jika dia memberikan cokelat, atau voucher belanja Zalora, atau apapun yang lebih berguna.
“Aku tak punya waktu untuk
bertengkar denganmu. Awas!” Hyo Jin mengulurkan tangannya untuk mendorong sang
pria, namun gerakannya kalah cepat. L.Joe menangkap tangannya duluan.
“Pakai jasku!”
“Ani. Aku tak mau memakai jas
partai di konser musik klasik.”
L.Joe mendecak sembari membuka
jas birunya.
“Kubilang aku tidak mau pakai
itu!” sergah Hyo Jin.
“Kalau begitu pakai jaketku!”
L.Joe memakai jaket kulit di
balik jas birunya—yang saat ini sudah ia lepas. Pria itu menyodorkan jaket
kulitnya ke arah Hyo Jin.
“Tidak. warnanya tidak cocok
dengan gaunku!”
“Kubilang pakai,” paksa L.Joe
dengan intonasi yang lebih tajam. Hyo Jin berusaha untuk mengabaikan nada
dinginnya, atau ekspresi muaknya, atau semua aura mengintimidasi yang sedang
mengepung mereka, tapi pada akhirnya ia tetap kalah saat beradu pandang dengan
pria itu.
Hyo Jin mendecak keras, menyambar
jaket kulit di tangan L.Joe dan memakainya dengan wajah tertekuk sembilan.
“Berikan pada Wendy!” kata L.Joe
sembari menyodorkan bunganya.
“APA?” Hyo Jin refleks berteriak.
Bunga itu ternyata bukan untuknya. Hyo Jin bisa merasakan hatinya retak. Namun
tangannya tetap mengulur mengambil bunga itu.
Bunganya bukan untukku. Bukan untukku. Bukan untukku.
“Dia mungkin sudah selesai. Kau
langsung ke backstage saja.”
“Ani. Aku mau masuk,” Hyo Jin
bicara dengan ketus.
“Ya Tuhan, anak ini!”
“Mana mungkin aku tidak masuk ke
dalam? Aku sudah pakai gaun!” Hyo Jin membela diri.
“Iya iya terserah! Masuk sana!”
L.Joe menghela napas. “Nanti saat kau bertemu Wendy jangan lupa berikan
bunganya! Kau harus memuji penampilannya juga. Ara?”
Hyo Jin tak merespon. Ia hanya
berdiri disana, memperhatikan L.Joe sembari meremas bunganya diam-diam. Kepalanya
tak berhenti merapal kata ‘brengsek’, ‘dasar brengsek!’, ‘tidak punya hati’.
“Apa lagi yang kau tunggu? Cepat
masuk!”
Hyo Jin semakin jengkel. Ia
memukulkan buket bunga di tangannya dengan keras ke muka L.Joe—sebagai bentuk
balas dendam—kemudian langsung kabur sebelum pria itu sempat berteriak. Hyo Jin
terkikik saat berlari, merasa lebih lega. Walaupun tidak seberapa, setidaknya
ia sudah balas dendam.
Hyo Jin bisa mendengar nada pesan
dari ponselnya begitu ia duduk. Dari L.Joe.
From : Chicken-ssi
‘Akan kubalas kau. Tunggu
saja!’
Gadis itu kembali terkikik, ia
sempat mengetikkan balasan, tapi buru-buru dihapus lagi. Ia sudah sangat
terlambat, tak ada waktu untuk membalas pesan L.Joe. Hyo Jin menyurukkan
ponselnya ke saku dan langsung menoleh ke depan, tepatnya ke panggung. Kemudian
mulai melongok-longok mencari keberadaan Wendy.
Hyo Jin duduk di deretan ketiga dari belakang, dan ruang pertunjukan kampus mereka terbilang cukup luas. Orang-orang di panggung hanya seukuran jari kelingkingnya.
Setelah sekian detik melongok-longok, Hyo Jin pun menyerah. Kepalanya pegal. Ia tidak bisa membedakan sekumpulan pemain biola itu sama sekali.
Akhirnya Hyo Jin memilih untuk menikmati pertunjukan saja. Namun… ketika baru menyenderkan punggung…
Suara tepuk tangan menggema.
Semua orang berdiri.
“Tidak!” Hyo Jin langsung terbelalak. Ia tak ingin ikut berdiri, ia bahkan tak ingin bertepuk tangan.
“ENCORE!!” Hyo Jin berteriak.
Membuat pria di sebelahnya menoleh kaget.
“Aku belum mendengar apa-apa,”
keluhnya pada pria itu.
Ini konser musik pertamanya dan
ia tak mendengar apa-apa. Oke, gadis itu mendengar beberapa detik terakhir,
tapi itu hanya 0.5% dari durasi pertunjukan dan semuanya benar-benar tidak
adil. Harga tiketnya mahal, Hyo Jin merasa rugi sekali. Yeah, dia memang
mendapat tiket itu secara cuma-cuma, tapi Hyo Jin tetap merasa rugi sekali. Dia
sudah pakai gaun. Dia sudah menyemprot parfum. Dia sudah membawa bunga!!
“Oh! Aku harus ke backstage!” Hyo Jin baru teringat setelah mendengungkan kata ‘bunga’. Gadis itu segera berdiri, namun terlambat, jalan menuju pintu keluar sudah sangat sesak. Gadis itu berjalan ke ujung deretan kursi dan tak bisa bergerak lagi.
***********
Butuh 15 menit bagi Hyo Jin untuk
bisa terbebas dari ruangan itu. Ia langsung menarik napas dengan rakus. Ini
gila, ia menghabiskan lebih banyak waktu untuk meraih pintu keluar daripada
duduk dan benar-benar menikmati konsernya. Plastik bunganya bahkan sudah koyak
karena dihimpit orang-orang.
Sebenarnya, mereka bisa saja keluar dengan tertib, dengan membiarkan para penonton di kursi belakang keluar duluan, deret demi deret. Tapi mungkin karena ruangan itu sudah terlampau dingin, semua orang jadi ingin cepat-cepat keluar. Keadaan barusan persis seperti adegan evakuasi kapal tenggelam di film Titanic. Mengerikan. Hyo Jin mungkin akan mengidap phobia ringan dengan ruang pertunjukan untuk beberapa bulan kedepan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
gadis itu segera melangkah menuju backstage.
Dan itu dia!
Hyo Jin akhirnya bisa melihat
Wendy. Lengkap dengan dress putih, rambut yang digulung, dan 3 buah
biola di pelukannya. Hyo Jin mengerutkan kening melihat biola-biola itu. Apa
Wendy memainkan semuanya sekaligus? L.Joe menyuruhnya untuk memuji Wendy,
dan Hyo Jin jadi ragu apa ia harus tersenyum anggun sambil berkata ‘permainanmu
indah sekali’ atau justru berteriak ‘ASTAGA! Yang tadi luar biasa!’ dengan mata
terbelalak super heboh. Pujian pertama pasti akan terdengar bodoh jika Wendy
ternyata bermain 3 biola sekaligus. Dan pujian kedua akan terdengar sangat
berlebihan jika ternyata gadis itu hanya bermain beberapa bait sambil duduk di
kursi paling ujung. Sudah dibilang ia dan Wendy sama sekali tidak dekat, Hyo
Jin tak tahu sejauh mana kemampuan biola Wendy.
“Jangan mulai tanpaku!” Wendy berseru pada rekan-rekannya yang mulai meninggalkan ruangan. Dan mereka membalasnya dengan tawa dan gurauan.
“Semangat
sayang!”
“Goodbye, Wen~.”
“Jangan lupa
dikunci lagi!”
Hyo Jin yang
sedang berdiri di depan pintu segera menyingkir, memberi jalan kepada
sekumpulan orang berbaju formal itu untuk keluar.
“Hei!” Dan kini, giliran Hyo Jin yang maju.
“HEIII! Aku
tahu kau pasti menemukan tiketnya.” Wendy tersenyum lebar. “Tadinya aku
menyelipkan tiket itu di bukumu, tapi aku takut kau tak membuka buku.”
Hyo Jin cuma tersenyum meringis.
Apa gadis
ini sadar dia sedang menghinaku? Apa dia sadar betapa kentalnya sarkasme di
kalimatnya itu?
Hyo Jin menahan diri untuk tidak menyurukkan bunga yang ia bawa ke muka Wendy, kemudian menyodorkannya baik-baik.
“Yeah, kau sangat mengenalku,” balas Hyo Jin, berusaha tidak terdengar ketus, “tapi sorry. Aku menemukannya agak telat, jadi aku duduk di belakang dan tidak bisa menemukanmu. Tapi aku yakin kau mengagumkan seperti biasanya.”
“Oh, terima kasih.”
Wendy mencoba menyambut uluran bunga dari Hyo Jin, namun tak bisa, tangannya sudah penuh dengan biola.
Sebagai manusia
yang peka, Hyo Jin segera meletakkan buket bunganya dan mengambil 2 buah biola
dari tangan Wendy.
“Biola-biola
ini…,” Hyo Jin menggantung ucapannya dan menatap Wendy.
“Aku harus
mengembalikannya ke gudang.”
“Ohhh.” Hyo Jin
mengangguk.
“Aku kalah
taruhan,” timpal Wendy lagi. “Mereka semua akan merayakan pesta kecil-kecilan.
Kau tahu, pertunjukan malam ini sukses besar. Tiketnya habis.”
Hyo Jin tahu. L.Joe tidak bisa masuk karena kehabisan tiket.
“Kalian harusnya membersihkan tempat ini bersama-sama, lalu berangkat ke tempat pestanya bersama-sama juga.”
“Aku tahu. Tapi ini sudah seperti tradisi. Kami selalu menjadikan satu orang sebagai tumbal setiap kali menggelar show.”
“Oh, okay.” Hyo Jin tak menyukai gagasan itu.
“Percayalah itu
menyenangkan,” Wendy tertawa, “kecuali kau yang kalah.”
Hyo Jin merespon ucapan Wendy dengan kekehan kaku—ekspresi mukanya masih terlihat tak senang. Hyo Jin tak mengerti bagian mana yang menyenangkan dari ‘menumbalkan seseorang’. Mereka bisa bergotong royong.
“Tenang saja, aku akan membereskannya dalam 15 menit.”
“Yang benar
saja, mereka bisa menghabiskan sepuluh porsi steak daging dalam 15 menit.
Pergilah!”
“Apa?”
“Kau pergilah,”
ulang Hyo Jin. “Pertunjukanmu sukses besar, aku tak akan membiarkanmu
ketinggalan pestanya. Anggap saja ini ungkapan terima kasih karena diberi tiket
gratis.”
Wendy
terkesiap. Di ruangan yang remang itu, Hyo Jin masih bisa melihat matanya yang
berbinar-binar, “Kau serius?”
“Keurae. Aku
hanya harus membawa semua alat musik ini ke gudang kan?”
“Kau serius?”
“Iya. Kalau kau
bertanya sekali lagi aku akan…”
“Astaga! Terima
kasih banyak.” Wendy memotong ucapan Hyo Jin dan memeluknya sekilas, lalu tanpa
basa-basi lagi langsung mengambil lengan gadis itu dan memberikan sebuah kunci.
“Itu kunci gudangnya!”
“Dan biola ini juga.” Wendy menumpuk biola yang tersisa di tangannya ke atas 2 buah biola yang berada di tangan Hyo Jin.
“O…kay.” Hyo Jin dengan sigap berusaha menyeimbangkannya.
“Sungguh.
Aku—Terima kasih,” Wendy kehilangan kata.
“Yeah.
Pergilah!” Hyo Jin berujar susah payah sambil terhuyung kesana kemari.
Saat itu, Wendy menoleh ke belakang, tepatnya ke arah seorang pria yang tengah berlutut melipat stand keyboard. Hyo Jin baru sadar kalau sedari tadi mereka tidak hanya berdua.
“Wonwoo~a,” panggil Wendy, “bolehkah aku pergi duluan? Hyo Jin akan membantumu.”
Wonwoo dan Hyo Jin bertatapan untuk yang pertama kalinya. Hyo Jin tersentak hebat, ia bisa merasakan sesuatu di kepalanya tengah berteriak ‘AAAAA’, namun reaksi pria di seberang sana justru bertolak belakang. Ia hanya memandang Hyo Jin sekilas lalu kembali berpaling pada Wendy, mengangguk dan tersenyum sekenanya.
Wonwoo memang sudah mengetahui keberadaan Hyo Jin dari tadi. Ia sudah terkejut duluan, ia sudah merutuk duluan. Jadi tak ada alasan untuk menampilkan ekspresi semacam itu lagi.
Hyo Jin melirik meja rias, baru sadar bahwa ada buket bunga lain di sebelah buket bunganya. Itu pasti dari Wonwoo. Dia kalah cepat dari Wonwoo.
“Terima kasih
banyak kalian berdua!!” Wendy berseru senang sembari menyeret tas dan memeluk kedua
buket bunganya. Detik berikutnya, suara heels yang beradu dengan lantai
terdengar nyaring. Wendy berlari melewati Hyo Jin menuju pintu keluar.
Dan tinggalah mereka berdua.
Hyo Jin mendengus berkali-kali, sementara Wonwoo sibuk sendiri. Pria itu sedang berkutat dengan stand keyboard yang ketiga.
Hyo Jin
meletakkan 3 buah biola di pelukannya ke lantai, lalu menghentakkan kunci
gudang yang diberikan Wendy di meja rias.
“Aku tak sudi
bekerja sama dengan musuh.”
Wonwoo tak merespon.
“Aku pergi!”
Wonwoo masih
tak merespon.
“Aku
benar-benar akan pergi!” Hyo Jin mengeraskan suaranya, sembari berjalan mundur.
Namun reaksi Wonwoo masih sama. Hyo Jin bisa merasakan harga dirinya
terjerembab ke jurang.
“Awas kalau kau bilang Wendy soal ini!” ancamnya persis di ambang pintu, lantas benar-benar berlalu.
**********
Saat Wonwoo
keluar dari pintu backstage, ia langsung bisa menemukan Hyo Jin. Gadis
itu—masih dengan dress hitam dan jaket kulitnya—tengah duduk di undakan
tangga ketiga menuju ruang pentas. Ia menyangga kepalanya yang tertunduk dengan
kedua tangan.
Wonwoo menghela
napas. Ia melangkah menghampiri Hyo Jin dan berhenti di depannya.
Hyo Jin belum
sepenuhnya mendongak saat Wonwoo mengulurkan kunci.
“Cepat ambil!
Atau kau mau aku memberikan ini langsung pada Wendy?”
Hyo Jin
tersentak mendengar suara itu. Ia refleks meraih kunci yang tergantung di depan
matanya dan berdiri.
“Dari mana kau
tahu aku…”
“Kau tak
mungkin menungguku tanpa alasan, kan?” sela Wonwoo.
Hyo Jin
terdiam. Nyatanya ia tidak menunggu dari awal, gadis itu sudah hampir tiba di
gedung asramanya saat teringat ‘KUNCI GUDANGNYA!!’, kemudian detik itu juga
langsung putar arah. Jika ia meninggalkan kunci itu pada Wonwoo, maka sama saja
ia memberi Wonwoo kesempatan untuk bertemu lagi dengan Wendy. Tidak bisa
dibiarkan.
Hyo Jin
baru tersadar dari lamunannya saat Wonwoo sudah berbalik pergi.
“Yah!
Jeon Wonwoo!!”
Wonwoo tak
mengindahkan panggilannya dan terus melangkah. Hyo Jin tak tinggal diam. Ia
segera mengejarnya, lalu mengulurkan tangan dan menarik pundak si pria tuli itu
dengan paksa.
Wonwoo pun
mau tak mau menoleh.
“Dari
mana kau mengenal Wendy?”
“Bukan
urusanmu.”
“Kenapa
kau tak bilang padaku kalau kau mengenalnya?”
“Kenapa
aku harus bilang?”
Hyo Jin menghembuskan napas dari hidung. Wonwoo benar. Kenapa dia harus bilang?
“Okay, soal tawaranmu kemarin pagi, err…..,” Hyo Jin menjeda cukup lama. Ia sebenarnya sudah memikirkan hal ini sejak tadi. Tapi ia tetap tak bisa mengatakannya begitu saja. Ini terlalu beresiko.
Wonwoo
yang tidak sabar pun kembali berjalan.
“—bagaimana
jika aku menerimanya?” teriak Hyo Jin sangat cepat. Sukses membuat langkah
Wonwoo terhenti. Pria itu sedikit menunduk untuk menyembunyikan senyum
kemenangannya. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Ketimbang merespon, Wonwoo
justru kembali melangkah.
Hyo Jin
mengerang, mengejar Wonwoo lagi.
“Memang
agak telat sih, tapi setelah kupikir-pikir tawaranmu boleh juga,” kata Hyo Jin
sambil menyamakan langkah.
Wonwoo
meliriknya.
“Kau
bicara begini karena takut kan?”
“Takut
apa?”
“Banyak.”
Wonwoo kembali menoleh ke depan, kemudian meneruskan ucapannya dengan nada
ringan, “Kau pasti takut kalah dariku, apalagi setelah tahu aku dan Wendy
saling kenal. Kau juga takut disalahkan, oleh Hoshi, oleh L.Joe, oleh semua
orang di partaimu. Kau takut tim radio menolak permintaanmu, atau yang lebih
buruk, kau takut Wendy berbohong, bagaimana jika sebenarnya ia tak pernah
bicara pada tim radio soal permintaanmu? Kau takut aku dan Wendy semakin dekat,
sampai ke tahap dia rela menyelundupkan calon ketua senat dari partaiku—GD
hyung dan CL noona—ke ruang siaran. Dan masih banyak lagi.”
Wonwoo
mengakhiri ucapannya dengan senyum meledek. Ia bahkan tertawa. Sedikit, tapi
dalam.
Tak
dipungkiri, Hyo Jin memang merasa posisinya terancam. Ia masih tak habis pikir
bagaimana bisa Wonwoo dan Wendy saling kenal.
Hari ini
nyaris saja. Coba bayangkan, bagaimana jika Hyo Jin tidak menghadiri konser
tadi? Maka Wonwoo dan Wendy akan memindahkan alat musik berdua, menghabiskan
waktu selama setengah jam di backstage, HANYA BERDUA, bertukar senyum,
bercanda, membangun suasana intim dan akhirnya saat Wendy sudah terlena, Wonwoo
akan menyinggung soal kampanye radio. Dan BAM!! Wendy yang sudah terbuai dengan
ikatan fana di antara mereka akan mengangguk seperti terkena sihir.
Untung
saja L.Joe meminta permen karet.
“Aku tidak akan berhenti mengikutimu sampai kau bilang iya.”
“Silahkan
saja.”
“Serius, aku benar-benar menyesal soal yang tadi pagi,” kata Hyo Jin dengan nada bersalah.
"Santai saja. Aku sudah tidak memikirkannya."
"Terima kasih banyak." Hyo Jin tersenyum lega,"Itu artinya kita sudah deal kan?"
"Santai saja. Aku sudah tidak memikirkannya."
"Terima kasih banyak." Hyo Jin tersenyum lega,"Itu artinya kita sudah deal kan?"
Wonwoo kembali menyunggingkan senyum. “Sayang sekali. Jika kau mengatakan ini tadi pagi, di depan pintu kamar asramamu, mungkin aku akan langsung setuju tanpa berpikir. Tapi sekarang aku sudah sangat dekat dengan tujuanku.”
Hyo Jin
merasa benar-benar konyol. Itu persis ucapannya pagi ini. Dan sekarang
situasinya berbalik. Wonwoo mencuri kalimatnya.
“Dia
bahkan mengajakku siaran,” tambah Wonwoo. Hyo Jin kembali dibuat tertohok.
Saking terkejutnya, ia bahkan nyaris tersandung kakinya sendiri.
“Bohong!!”
Wonwoo cuma mengangkat bahu.
Sebenarnya,
ia tidak benar-benar diajak siaran. Tadi, tepat setelah tirai tertutup, Wonwoo
yang duduk di deretan paling depan langsung melompat ke panggung dan memasuki backstage—bersamaan
dengan para pemain trompet. Ia menyelip di antara para musisi dan alat musik
itu, mencari-cari keberadaan Wendy dan langsung menangkap tangannya.
“Hei.”
“Wonwoo!”
Wendy terkesiap. “Kau datang!” serunya, terlihat senang sekali.
Wendy
terus menyerukan nama ‘Wonwoo’, ia juga terus berkata ‘astaga’ selama Wonwoo
memujinya. Wonwoo memberinya buket bunga, lalu memperlihatkan bagian solo Wendy
yang ia rekam diam-diam di ponselnya.
“Aku
benar-benar menyukai bagian solomu. Sungguh,” kata Wonwoo, “aku tidak
melebih-lebihkan. Itu manis sekali.”
“Kau
manis sekali,” balas Wendy.
“Terima
kasih banyak untuk tiketnya.”
“Tentu
saja. Aku malah sangat bersyukur sudah mengundangmu.”
Wonwoo tersenyum.
“Hei, besok jadwalku siaran. Mau ikut?”
“T..tidak,
aku…”
“Tidak
ada para senior disana. Besok jadwalku dan Changjo. Hanya kami berdua,” potong
Wendy, “aku tahu kau ingin menghindari para senior.”
Wonwoo
meringis malu, "Apa itu tertulis di keningku?”
“Entahlah.
Keningmu tertutup poni.” Wendy balas bergurau.
“Tapi
serius, apa yang kau takuti dari mereka? Maksudku, hei.. aku ketuanya
sekarang.”
“Bukan
takut. Aku hanya… tidak enak. Kau tahu, aku pergi setelah mereka menyuruhku
siaran terbuka dengan Seungkwan. Dan acara itu nyaris gagal jika tidak ada
kau.”
“Kau benar. Berterima kasihlah pada dewi penyelamatmu ini,” kata Wendy dengan ekspresi dibuat-buat.
Wonwoo tertawa geli.
Saat itu, teman-teman Wendy memanggil. Wendy menoleh pada Wonwoo untuk meminta izin, Wonwoo langsung mengangguk seolah berkata ‘tentu saja’. Wendy pun segera menghampiri teman-temannya yang sudah bergerombol di tengah, ikut bergabung membentuk lingkaran besar, dan ritual pun dimulai. Mereka melakukan permainan ringan untuk menentukan siapa yang harus mengembalikan semua alat musik ke ruang penyimpanan. Tidak sampai 10 detik, tiba-tiba teriakan dari gerombolan itu menggema. Sebagian besar berteriak kegirangan, tapi Wonwoo tak menangkap ekspresi itu di muka Wendy, sebaliknya gadis pirang itu malah terlihat terkejut sekali. Dan benar saja, Wendy kalah. Gadis itu menoleh pada Wonwoo sambil mencebikkan bibir.
“Aku
akan membantumu,” kata Wonwoo lewat mimik mulut.
Wendy
menggeleng, “Tidak usah.”
“Aku
memaksa.”
“Aku juga memaksa.”
“Berdua lebih baik dari sendiri.” Selain mimik mulut, kali ini Wonwoo juga menggunakan bahasa isyarat untuk memperjelas ucapannya. Ia menggunakan jari telunjuknya untuk menunjukkan perbandingan antara berdua dan sendiri.
Dan untungnya Wendy bisa menangkap ucapan Wonwoo. Gadis itu tersenyum, lalu mengangguk setuju.
“Aku
akan mulai dengan keyboardnya.” Wonwoo menunjuk keyboard di sebelahnya.
Dan Wendy lagi-lagi mengangguk.
“Terima
kasih.”
Wonwoo
mengibaskan tangan.
Pria itu
mendekati sederet keyboard yang dirapatkan di tembok, lalu segera berjongkok
untuk melipat stand kakinya. Sekali-kali ia menoleh pada Wendy—yang kini sudah
memeluk 3 buah biola. Lalu kembali fokus pada stand kaki keyboard-nya yang tak
bisa dilipat. Penyangganya macet, mungkin karena sudah berkarat.
Setelah beberapa saat, Wonwoo menoleh lagi untuk mengecek Wendy. Namun ia malah melihat seseorang di pintu masuk, seseorang yang membuatnya hampir-hampir membanting keyboard di depannya dan membuat keributan. Ada musuhnya di ambang pintu, ada Park Hyo Jin.
**********
Tanpa
terasa, Wonwoo sudah memasuki lobi asramanya. Saat sedang menaiki tangga,
Wonwoo bisa mendengar pletak pletuk sepatu heels wanita. Wonwoo segera menoleh.
“Astaga!”
Hyo Jin
ikut berhenti.
“Kau
masih mengikutiku?” seru Wonwoo tak habis pikir.
“Sudah
kubilang aku akan mengikutimu sampai kau berubah pikiran.”
“Keras kepala.”
“Memang.”
“Jadi kau mau mengikutiku sampai kamar?”
“Kalau kau tidak mau, kita bisa menyelesaikannya disini. Kau tinggal bilang ‘deal’.”
“Kenapa aku harus tak mau? Kajja!” Wonwoo melirik Hyo Jin dan tersenyum, dengan ekspresi menantang seolah berkata ‘ayo ikut aku kalau berani’, lantas kembali melangkah menaiki tangga.
Sesampainya
di lantai 2, Wonwoo baru memberanikan diri melirik ke belakang. Dan untungnya
tak ada siapapun di belakangnya. Wonwoo kontan menghela napas lega, mengusap
dada. Ia bersyukur karena Hyo Jin ternyata tidak segila yang ia kira.
Pria itu lantas berjalan menuju kamarnya, dengan langkah yang lebih tenang.
Pria itu lantas berjalan menuju kamarnya, dengan langkah yang lebih tenang.
**********
Hyo Jin
terdiam di anak tangga, sementara Wonwoo terus berjalan naik. Seluruh tubuhnya
sekejap merinding begitu mendengar perkataan Wonwoo barusan.
“Kenapa aku harus tak mau? Kajja!”
Kajja!
Kajja!
DIA
BILANG ‘Kajja!’
Kepalanya
terus mengaungkan kata-kata Wonwoo, dan Hyo Jin semakin bergidik. Ia tak sadar
sudah berjalan sejauh ini, bahkan bertindak senekat ini.
‘Masuk kamar L.Joe saja tidak pernah, sekarang kau malah berpikir untuk masuk kamar Wonwoo? Hanya demi sebuah perjanjian di bawah tangan yang bisa pria itu khianati kapan saja? Wake up, bodoh! L.Joe akan langsung menalakmu jika tahu,’ batin Hyo Jin.
Dengan berat hati, Hyo Jin pun menarik diri, membiarkan Wonwoo melenggang menang.
Begitu
berbalik, Hyo Jin baru sadar akan semua kekacauan di hadapannya. Lobi asrama
putra terlihat persis seperti posko penampungan korban banjir. Lantainya becek,
bekas tapak sepatu lengkap dengan tanah-tanahnya tertinggal dimana-mana. Hyo
Jin bertaruh para pria disini tak membuat jadwal piket seperti yang dibuat di
asrama wanita, tempat ini terlihat seperti tidak pernah disapu.
Di depan
meja resepsionis yang sudah tak berfungsi, ada sekumpulan pria yang sedang
duduk-duduk sambil main kartu, beberapa dari mereka tidak memakai baju, seolah
bangga dengan bentuk perutnya—yang menurut Hyo Jin tidak ada bagus-bagusnya.
Belum lagi aroma tak sedap yang menguar dari seluruh penjuru. Gadis itu tahu
kalau asrama pria memang selalu kotor, tapi ini sudah benar-benar kelewatan.
Ini bukan asrama, ini kandang sapi.
“Eh? Sendirian saja.. mau kutemani?” goda salah satu dari mereka.
“Sini
main kartu sama oppa,” timpal yan lain, sambil bergeser dan menepuk-nepuk
lantai di sebelahnya.
Hyo Jin
menggeleng—bukan untuk menolak si pria, tetapi lebih kepada dirinya sendiri. Ia
menolak gagasan untuk berdiri lebih lama di tempat itu.
Saat Hyo
Jin hendak berjalan, tiba-tiba saja tangannya ditarik. Hyo Jin menoleh untuk
melihat siapa manusia kurang ajar yang menariknya itu, dan yang ia dapati ialah
seorang pria dengan rambut cepak, dan wajah yang tidak familiar. Pria itu
menyunggingkan senyum jahil, kemudian berkata, “Mau kemana?”
Hyo Jin
menarik tangannya sekuat tenaga, tapi itu hanya membuat tangannya sakit.
“Lepas!”
Pria itu
malah tersenyum semakin lebar, seolah sangat terhibur.
“Kubilang
lepas!”
“Toloongg!”
“Yah!
Aku tak melakukan apa-apa,” protes sang pria.
“Lepas
tanganku! Aku harus pulang.”
“Kenapa
buru-buru?”
“L.JOEEEE! L.JOEEE!!!!”
Di
situasi seperti ini, Hyo Jin tak bisa memikirkan nama lain selain L.Joe. Gadis
itu terus memanggilnya sekeras mungkin, sampai-sampai tenggorokannya perih.
Padahal bisa jadi pria itu masih rapat internal di kampus, atau mungkin sudah
tidur di kamarnya, di lantai 3.
Namun ia
tak punya pilihan lain. Sebab dari sekian banyak pria di lobi, tak ada satu pun
yang berinisiatif menolongnya. Hyo Jin berpikir mungkin pria cepak yang
menahannya sekarang adalah kepala geng(?) atau semacamnya, jadi tak ada yang
berani. Selama Hyo Jin berjuang sendiri menarik-narik tangannya, gerombolan
pria disitu cuma terkikik, bahkan beberapa dari mereka malah menggodanya dengan
kalimat yang semakin parah. Keterlaluan. Hyo Jin mulai merasa pelupuk matanya
basah.
“Hei! Aku belum melakukan apa-apa, kenapa sudah menangis? Payah sekali.” Pria itu memegangi kepala Hyo Jin dan mendongakkannya dengan paksa. Hyo Jin tentu saja berontak, namun percuma, ia kalah kuat. Si pria terus mengeratkan pegangannya sampai pergerakkan Hyo Jin sepenuhnya terkunci. Hyo Jin meringis. Air mata yang awalnya hanya berkumpul di pelupuk kini mulai mengalir turun.
Saat itu, tiba-tiba saja si pria cepak tersentak menjauh, seperti ditarik dari belakang. Dan ternyata dia memang ditarik dari belakang.
“Dia tidak sendirian. Dia bersamaku,” kata Wonwoo datar.
Si pria cepak yang baru saja ditarik kasar sampai berbalik badan itu mendengus. “Dia memanggil L.Joe. Bukan kau!”
“Ya, tapi dia bersamaku.” Wonwoo terlihat sangat santai bahkan saat sedang marah. Hyo Jin merapat ke dinding untuk mengatur napasnya, masih menatap Wonwoo.
Kedua pria itu terlibat adu mulut untuk beberapa saat. Si pria cepak berkali-kali mengangkat tinjunya ke udara, tapi tak ada yang terjadi. Wonwoo masih terlihat tenang, bahkan saat sedang melontarkan ancaman. Semua itu berlangsung dengan cepat sampai akhirnya pria yang mengganggu Hyo Jin tadi pergi sambil meludah.
Wonwoo pun menghampiri Hyo Jin, tanpa basa-basi menyambar tangannya dan membawa gadis itu keluar.
“Cepat telfon L.Joe sekarang! Katakan padanya untuk mengantarmu pulang!” suruh Wonwoo setelah melepas, tidak, menyentak tangannya dengan kasar di depan gedung asrama. Dengan nada dingin, dengan tatapan muak.
“Dia mungkin masih rapat,” jawab Hyo Jin pelan, seraya menunduk, tak ingin tatapan mereka beradu.
“Menyusahkan!
Jadi aku juga yang harus mengantarmu? Tch!” Wonwoo mencoba meraih
tangan Hyo Jin lagi, namun gadis itu dengan cepat mengelak.
“Kalau kau tidak ikhlas ya tidak usah! Aku bisa pulang sendiri!” seru Hyo Jin ketus, namun tetap tak mau mengangkat kepala. Ia tak mau menatap Wonwoo, ia malu, sangat sangat malu.
Hyo Jin melangkah dengan perasaan tak nyaman. Ia belum bilang terima kasih. Tapi ia juga tak mau berterima kasih. Perasaannya semakin tak nyaman.
************
Hyo Jin
berjalan dengan langkah tenang di hadapan Wonwoo—sebagai pembuktian bahwa ia
tidak takut. Tapi setelah sudah cukup jauh, setelah kira-kira Wonwoo tak
mungkin bisa melihatnya lagi, Hyo Jin pun berhenti berpura-pura. Ia takut.
Semua obyek di sekelilingnya membuatnya paranoid. Bagaimana jika ada yang
menepuk pundaknya dari belakang? Atau malah muncul dari depan? Dari
semak-semak? Bagaimana jika ia bertemu orang jahat, atau binatang liar, atau
binatang tidak liar? Bagaimana jika sesuatu turun dari langit? Meteor?
Malaikat? Hantu? UFO?
Hyo Jin
menelfon L.Joe dengan cemas. Ia terus menoleh ke kanan, kiri, ke kanan lagi, ke
kiri lagi sembari menunggu nada sambung. Semak belukar di kanan kiri jalan
terlihat semakin mengerikan. Ia merasa diperhatikan dari berbagai sisi, tidak,
lebih seperti diikuti. Bahkan bulan purnama di langit juga mengikutinya. Ini
gawat. Hyo Jin berpikir ia mungkin tak akan bisa tiba di asramanya hidup-hidup.
“Yoboseo.”
“L.Joe!”
Hyo Jin refleks memekik senang mendengar suara itu. “Kau dimana? Masih rapat?”
“Ani.
Aku sudah di kamar. Kenapa?”
Jadi L.Joe sudah ada di asrama saat insiden itu terjadi. Hyo Jin membuka mulutnya, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar. Jika ia mengatakan ‘tadi aku diganggu oleh pria aneh di lobi asramamu’, maka L.Joe pasti akan murka dan langsung merentetnya dengan beribu pertanyaan. Untuk apa kau ke asrama pria? Dengan siapa? Kenapa tidak menelfonku? Bukankah aku sudah bilang jangan pernah mendekati asrama pria tanpaku? Hyo Jin tak bisa mengatakan yang sebenarnya.
“Tidak
apa-apa,” sahut Hyo Jin akhirnya.
“Konsernya
sudah selesai?”
“Sudah.”
“Bunganya sudah dikasih?”
“Sudah.”
“Kau dimana sekarang?”
“Aku baru melewati gedung kampus.”
“Masih disitu? Memangnya baru keluar?” L.Joe menaikkan nada bicaranya karena khawatir.
Hyo Jin menarik napas, ia merasa sangat tidak nyaman terus-menerus berbohong begini. Tapi ia tak punya pilihan lain.
“Ya.
Tadi aku membantu Wendy membereskan alat-alat musik dulu.”
“Brilian sekali.”
“Aku memang brilian.”
“Jadi kau pulang bersama Wendy kan?”
“Menurutmu kenapa aku menelfon?” Hyo Jin tak menunggu L.Joe menjawab, ia langsung merengek, “Aku sendirian, Joe. Wendy ada pesta kecil-kecilan dengan tim orkestra.”
“Ah~
benar. Kau hanya menelfonku jika sedang kesepian.”
Hyo Jin terkekeh, “Keurae. Kau pria penghibur favoritku.”
“Favorit?
Kukira aku satu-satunya.”
“Tepat sekali. Jadi tahu kan kenapa kusebut favorit?”
L.Joe
kontan mengumpat. Sementara Hyo Jin tergelak sendiri di jalanan yang sepi.
“Jalannya
pelan-pelan saja. Aku menyusul dari belakang.” Hyo Jin bisa mendengar suara
pintu ditutup.
“Tidak
usah, aku sudah dekat. Kau hanya perlu berbaring di kamar sambil mengajakku
ngobrol.”
“Aku sudah keluar kamar.”
“Sudah
di tangga.”
“Di
Lobi.”
Hyo Jin
tersenyum mendengar pria itu mengupdate semua pergerakkannya.
“Jadi apakah aku harus diam disini sampai kau datang?”
“Ani.
Jalan biasa saja, maksudku tak perlu lari. Aku hanya ingin kau berjalan dengan
perasaan aman. Tidak akan ada binatang liar, atau hantu, apalagi alien yang
akan mengganggumu. Your yeobo is on the way.”
Hyo Jin
membuat suara jijik, bukan berarti itu sejalan dengan perasaannya. Nyatanya ada
migrasi besar-besaran dari taman bunga matahari di Jepang ke perutnya. Hyo Jin
sangsi ia bisa tersenyum lebih lebar dari ini.
Seperti yang sudah gadis itu bilang, asramanya memang sudah dekat, bahkan sebelum L.Joe keluar kamar sekalipun. Dan sekarang, gedung asrama putri hanya tinggal lima puluh langkah lagi dari tempat Hyo Jin berdiri. L.Joe mungkin masih di kawasan asrama putra sekarang.
Saat
itu, Hyo Jin menoleh ke belakang. Dan ia bisa melihat sesosok pria tengah
berjalan ke arahnya.
“Ya
Tuhan. Kau cepat sekali,” puji Hyo Jin.
“Cepat?”
“Yeah,
aku bisa melihatmu,” Hyo Jin tersenyum pada pria seukuran jari kelingking di
ujung sana. Lalu kembali berbalik, melanjutkan langkahnya dengan perasaan
senang. “Apa menurutmu kita harus bertemu?”
“Tunggu, memangnya kau ada dimana sih?”
“Serius kau
tidak melihatku?” Hyo Jin menoleh sekilas ke belakang, lalu memutar mata. “Jalanan di sebelahmu masih sangat luas. Kenapa kau menempel
di semak-semak?”
“Aku tidak menempel di semak-semak.”
Hyo Jin tak mendengarkan. Untuk kesekian kali, ia menoleh lagi pada pria di belakangnya—yang tak kunjung menipiskan jarak, padahal Hyo Jin sudah sengaja berjalan sangat pelan.
“Kalau
bukan menempel, maka apa namanya?”
Hyo Jin setengah tertawa, namun pria di ujung sana tak tertawa sama sekali. Alih-alih tertawa, Hyo Jin tak bisa mendengar suara apapun lagi dari speaker ponselnya.
“L.Joe?”
Masih tak ada respon.
Hyo Jin
mengecek sambungan telfonnya dan langsung melenguh melihat sambungannya sudah
terputus. Gadis itu mengernyit heran, sebelum akhirnya memutuskan untuk
berbalik badan penuh.
Melihat Hyo Jin berbalik tiba-tiba, orang di seberang sana sontak berhenti.
Melihat Hyo Jin berbalik tiba-tiba, orang di seberang sana sontak berhenti.
“Kau
pulang saja!” teriak Hyo Jin. “Terima kasih sudah menemaniku sampai sini.”
Gadis
itu melambai besar-besar dan menyatukan ujung tangannya di puncak kepala,
membentuk heart sign, sebelum akhirnya kembali berbalik ke depan. Hyo
Jin berlari menuju asrama putri yang sudah sangat dekat, sesekali menoleh, melambai,
tersenyum.
**********
Wonwoo
tak perlu berpikir terlalu keras untuk tahu apa yang sebenarnya
terjadi—khususnya soal kenapa tiba-tiba si gadis sewot melambai-lambai sok
manis sambil memberinya heart sign. Hyo Jin pasti menyangka dirinya
adalah L.Joe. Dan dugaan itu semakin diperkuat saat ia berpapasan dengan L.Joe
ketika berjalan pulang, kira-kira 20 meter setelah gedung pertunjukan.
Pria itu sudah memakai hoodie biasa, bukan jas partai. Dan ia berjalan dari arah asrama, bukan kampus.
Sebenarnya, tadi saat Hyo Jin berkata ‘mungkin L.Joe masih rapat’, Wonwoo ingin sekali mendebat. Karena berdasarkan pesan Line group Solidarity Party yang baru ia baca, partainya itu sudah selesai rapat sejak 30 menit yang lalu. Dan itu berarti, rapat partai DSP sudah selesai jauh lebih awal dari itu—karena rapat partainya memang baru benar-benar dimulai setelah Vernon, si mata-mata, selesai menghadiri rapat yang dipimpin Hoshi, lalu datang ke ruangan lantai 4 dengan napas tersengal-sengal. Ya, licik sekali. Tapi siapa peduli? Kau harus punya taktik untuk menang.
“Hyo Jin
sudah pulang dengan selamat,” kata Wonwoo begitu L.Joe melewatinya.
L.Joe seketika berhenti.
“Aku habis dari gerbang, ada urusan dengan teman di luar Dong Ah. Lalu tak sengaja melihat Hyo Jin masuk asrama putri.” Wonwoo segera menambahkan, baru sadar bahwa perkataannya barusan pasti akan membuat L.Joe curiga. Wonwoo mungkin akan diinterogasi dengan kalimat, Darimana kau tahu? Apa kau membuntutinya?
“Oh,” L.Joe mengangguk. Namun ekspresinya tetap terlihat curiga.
Saat itu, Wonwoo bisa melihat handphone di tangan L.Joe yang sudah rusak parah, layarnya retak seperti habis dipukul palu.
“Ada apa
dengan ponselmu?”
“Bukan
urusanmu,” sambar L.Joe. Ia mengamati penampilan formal Wonwoo dari atas ke
bawah, lalu berucap tak senang, “Kau datang ke konser.”
“Kalau
iya kenapa?”
“Ani.
Hanya… aku baru tahu ternyata kau suka musik klasik.”
Wonwoo
menyunggingkan senyum mendengar ucapan sarkas itu. “Berhenti berbasa-basi. Kau
tahu alasannya.”
“Tentu saja aku tahu. Kalau ketua UKM radio itu tidak berpartisipasi disana, maka kau juga tak mungkin ada disana.”
“Tepat
sekali,” sambut Wonwoo tenang.
“Persaingan ini semakin panas saja ya..,” L.Joe memalingkan mukanya ke arah lain
sambil tersenyum kecut, lalu kembali menoleh pada Wonwoo, “Aku tak sabar
menunggu bagaimana akhirnya.”
“Aku
juga.”
“Kau
tahu, biasanya pecundang memang selalu menang di awal. Jadi kalau boleh
mengingatkan, jangan terlalu berbangga dulu.”
Wonwoo
tertawa. “Klasik sekali, tapi okay.. terima kasih sudah diingatkan.”
“Artinya
kau mengakui kau pecundangnya?”
“Apa Hyo
Jin memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi?”
Wonwoo dengan cepat mengalihkan pembicaraan, yang menurutnya semakin tidak penting. Ia tak peduli siapa pahlawan dan siapa pecundangnya. Tidak semua pahlawan akan menang, dan tidak semua pecundang akan kalah. Lagipula, semua orang bisa menebak siapa yang akan menang. Yeah, partainya—yang secara konsisten unggul di setiap perolehan suara sementara—sudah jelas akan menang. Walaupun Wonwoo membenci Mino setengah mati, tapi ia tetap mengakui kecerdikan Mino dalam memimpin, walaupun pria agresif super licik itu sangat menjengkelkan, tapi setidaknya ia bisa diandalkan. Tidak seperti Hoshi yang hanya pandai di mulut.
“Apa maksudmu?” tanya L.Joe dengan kening berkerut.
“Apa dia
memberitahumu apa yang terjadi di konser? Atau kejadian lain di luar konser?
Apa ia memberitahumu apa alasannya ia baru pulang jam segini?” repet Wonwoo
dengan ekspresi menjatuhkan.
“Tentu saja. Dia habis membantu Wendy merapikan alat musik.”
“Membantu
Wendy merapikan alat musik?” ulang Wonwoo, sambil mengangguk-angguk dengan
bibir mencebik. Matanya menyorot L.Joe dengan tatapan kasihan. Hyo Jin bahkan
tak berani memberitahu kekasihnya sendiri soal apa yang terjadi, bahwa gadis
itu bertemu dengan Wonwoo, bahwa ia mengikuti Wonwoo ke asrama pria, bahwa ada
insiden kecil di lobi. L.Joe terlihat tidak tahu menahu soal semua itu.
Menyedihkan sekali.
“Memangnya
ada apa lagi?” tanya L.Joe.
Wonwoo
mengedikan bahu, lalu kembali melangkah begitu saja.
L.Joe segera menarik bahu Wonwoo, membuat sang pria tersentak dan berbalik kembali menghadapnya. “Apa yang terjadi?” tuntut L.Joe tak sabar.
“Tidak
ada,” jawab Wonwoo dengan raut terganggu, “sekalipun ada, Hyo Jin pasti berpikir kau tak perlu
tahu.”
TBC
Inilah yang bikin
aku ga ngetik identical stranger selama sebulan (lebih) belakangan ini. /sigh/ maunya
oneshot tapi bener2 ga ada waktu buat ngetik. Semester ini gila banget ya Rabb,
rasanya pengen cepet2 UAS aja. T_T ato lulus sekalian, atooooo.... //
Btw kalo ada di
antara kalian yang pernah baca ‘High School Romance’ (main cast-nya L.Joe-Hyo
Jin juga), ini tuh mirip banget iya ga si? Feelnya sama, bedanya dulu
Myungsoo+Chunji sekarang Wonwoo. Ya gapapa, sengaja kok. Anggep aja ini high
school romance jilid 2. ‘high school’-nya diganti jadi ‘art institute’ gitu
hoho.
2nd battle-nya bakal aku ketik
bulan depan. Jadi sekarang mau nyuri2 waktu kuliah buat ngetik identical
stranger dulu, publish part 6nya, baru lanjut ngetik ‘DMR’. Jadi bisa
dipastikan publishnya masih sangat lama.
BTW aku bikin
denah kampusnya nih, supaya kalian enggak nerawang sendiri sebenarnya asrama putra-putri
tuh di sebelah mana…
Terus, seandainya
belom nangkep, ini loh nama partainya..
Democratic Student Party (DSP) = Partai biru, ketua
partainya Hoshi, kandidat senatnya EUN-HAE
Solidarity of DIMA = Partai merah, ketua partainya Mino, kandidat
senatnya GD-CL
Dan tambahan, mereka semua program akademiknya MEDIA
& SENI, cuma beda divisi aja, kalo dijabarin jadinya begini :
Wonwoo, L.Joe, Mino, Wendy = Musical instrument
Hoshi = Audio production
Hyo Jin = Theatre
Buat yang lain silahkan dikarang sendiri, EUNHAE mungkin
masuknya divisi performing arts kali ya.. ngedance gitu..
Yaudah sekian.
Wasalam^^
Comments
Post a Comment