Fall For Me, please




Main cast = Mark Tuan & Hwang Ji Yeong
Minor cast = Zio (OC)
Length = Oneshot
Genre = Romance
Author = Salsa




"Special for Kim Dhira's Birthday"





Konsekuensi menjadi mahasiswa ialah, harus selalu siap menghadapi stres, tugas tanpa akhir, drama, depresi, frustasi, mata berkantung, kafein, tugas, tugas dan tugas lagi. Oh sial! Ji Yeong sudah memandangi halaman Microsoft Word-nya selama 10 menit. Jarinya bahkan sudah membeku di atas keyboard.



Ini seharusnya menjadi sangat mudah, hanya makalah, minimal 20 lembar, topiknya bebas—tapi jelas tidak boleh melenceng dari tema. Tapi anehnya malam ini berbeda, kepalanya seperti tak mau diperintah. Ji Yeong tak bisa memikirkan apa-apa selain penghuni baru apartemen sebelah. Seorang pria. Baru tiba kemarin pagi. Apa dia tampan? Oh, astaga! Untuk apa Ji Yeong memikirkannya jika dia tidak tampan?!



Tapi ‘tampan’ bukan satu-satunya alasan, nyatanya Ji Yeong terus memikirkan pria itu karena alasan lain yang lebih krusial. Dia mirip sekali dengan Zio, tetangganya di Busan, seorang pria hiperaktif yang diam-diam pernah ia suka. Ya, secret crush itu berlangsung selama bertahun-tahun, sampai akhirnya keluarga Zio pindah—5 tahun silam.



Ji Yeong ingat Zio pernah berkata bahwa ayahnya akan diangkat jadi konsulat jendral di Filipina. Ia kira pria itu bercanda, tapi ternyata... sebulan kemudian… Ji Yeong menelan tawanya sendiri. Ia berdiri gemetar di ambang pintu kamar Zio—yang sebagian besar perabotnya sudah menghilang. Pria itu duduk di atas koper dan memberi penjelasan sambil cengengesan, bahwa ia tidak pindah ke Mars, bahwa mereka masih bisa saling berkirim surat. Zio bicara dengan gaya khasnya yang cuek, seolah akan pulang besok.



Namun, tentu saja Zio tak benar-benar pulang besok. Seminggu, sebulan, setahun, dua tahun… Dia tidak pulang.  Dia bahkan tidak mengirim surat. Mungkin Zio benar-benar pindah ke Mars.



Hingga akhirnya, selepas SMA, Ji Yeong hijrah ke Seoul, menyewa 1 kamar apartemen di sebuah bangunan batu bata kuning, tak jauh dari gedung universitasnya.




**********




Tok Tok Tok



Ji Yeong terbangun dan langsung mengangkat kepala—yang menindih keyboard. Layar laptopnya dipenuhi oleh 89 halaman huruf U.



uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu



Ji Yeong segera menoleh pada jam dinding. Pukul 7 kurang 20 menit.



Tok Tok Tok



Dan sekarang ia menoleh pada pintu, suara ketukan itulah yang membuatnya terbangun.



Ji Yeong mengusap rambut seadanya, lalu membuka pintu.



“Zio.”



Pria yang tadi mengetuk pintu itu langsung menoleh ke belakang. Dia tidak benar-benar melakukan hal itu karena mengira ada orang di belakangnya.



“Maksudmu aku?”
“Oh, maaf!”
“Apa kau punya kesulitan untuk mengingat nama? Apa namaku terlalu susah? Apa aku harus memakai nametag?” Pria itu melontarkan pertanyaan sarkastik dengan tampang datar.



“T..tidak.”
“Namaku Mark.” Mark memperkenalkan diri (lagi). Semenjak ia pindah ke apartemen ini, tepatnya kemarin lusa, ia sudah bertemu Ji Yeong 3 kali, dan sebanyak itulah Ji Yeong memanggilnya Zio, juga sebanyak itu Mark memperkenalkan diri.



“Okay, Mark.” Ji Yeong berusaha tetap terdengar sopan, “Ada yang bisa kubantu?”
“Aku mau tanya dimana laundry-nya.”
“Di rooftop. Lantai 4.” Ji Yeong menunjuk ke atas.



Bangunan apartemen itu terdiri dari 4 lantai, dan mereka berdua menempati kamar di lantai 3. Hanya ada 2 kamar di lantai 3.



“Disana ada mesin cuci. Kau tunggu saja, paling 20 menit, setelah itu bisa langsung dijemur,” tambah Ji Yeong.



“Maksudmu aku harus mencuci bajuku sendiri?”



Ji Yeong mengulum senyum, mengangguk.




Sepuluh menit kemudian, pintunya kembali diketuk. Ji Yeong berlari dari dapur untuk membuka pintu.



Dan ternyata, di depan pintunya ada…



Orang yang sama.



Dengan wajah datar yang sama.



“Aku tak bisa mengoperasikan mesin cuci.”
“Oh, begitu.” Ji Yeong yang sedang memegang spatula hanya mengangguk.
“Oh, begitu?” ulang Mark.
“Ya memangnya aku harus bagaimana?”
“Kukira kau lebih pintar dari ini, Hwang Ji Yeong.”



Ji Yeong mengangkat sebelah alisnya.



“Cepat pakai sepatumu dan bantu aku!”




**********




Mark terlihat seperti pria pendiam nan misterius yang pandai dalam segala hal, tipikal pemeran utama dalam drama, yang dingin, namun sanggup melelehkan hati para wanita. Semua orang yang melihatnya mungkin akan kompak menyebutkan hal-hal itu sebagai kesan pertama. Tapi percayalah! Kalian semua tertipu. Silahkan patah hati, karena… Mark—Sangat—Jauh—Dari—Kesan—Pertamamu.



Ji Yeong mengira ia bisa mengandalkan Mark untuk urusan tertentu, seperti mengganti bohlam lampu, membenarkan atap yang bocor, atau mungkin mengusir tikus dari kamar. Tapi yang terjadi malah sebaliknya…



“Terima kasih,” kata Mark, setelah Ji Yeong menuruni tangga lipat.



Pria itu tersenyum memandangi lampu dapurnya yang berpendar terang. Ji Yeong mendengus sebagai pengganti ‘sama-sama’. Lantas segera berjalan ke luar apartemen Mark. Ji Yeong benar-benar jengkel. Sebenarnya siapa yang laki-laki disini?



“Ji Yeong.”
“Apa lagi? Apa lagi yang rusak?” teriak Ji Yeong tak tahan. Lama-lama ia jadi benci mendengar namanya sendiri. Mark tak berhenti memanggilnya sejak mereka saling kenal.




Ji Yeong. Aku mau mencuci. Ayo nyalakan mesin cucinya.


Ji Yeong. Keran washtafelku patah. Airnya menyembur.


Ji Yeong, coba periksa lampu dapurku!




“Jangan diam saja! Cepat katakan ada apa!! Lampu mana lagi yang harus kuganti? Lampu kamar mandi? Lampu kamarmu? Lampu merah? Lampu mana hah?!!!”



Melihat Ji Yeong mengamuk, Mark pun tak berani mendekat. Ia berhenti, bergeming di tempatnya, sambil memegang stoples selai.



“Kau tak bisa membuka tutup stoplesnya?” tebak Ji Yeong.



Mark membuka tutup stoples itu untuk mematahkan tebakan—sejujurnya itu lebih terdengar seperti tuduhan—Ji Yeong.



“Aku bisa.”
“Lalu?”
“Begini, aku punya banyak sekali selai di lemari,” kata Mark sambil menutup kembali stoples selainya.
“Oh, astaga! Aku mengerti sekarang. Maafkan aku!” Ji Yeong menggigit bibirnya dan berjalan mendekati Mark, “Aku hanya sedang stres akhir-akhir ini, makanya sikapku jadi agak… sensitif.”



“Harusnya kau bilang dari awal kalau mau memberi selainya untukku. Aku kan jadi tidak enak sudah menuduhmu begitu.” Ji Yeong mengulurkan tangannya untuk mengambil stoples di tangan Mark. Namun Mark tidak melepasnya, ia hanya balik menatap Ji Yeong datar. Selalu.



“Aku belum selesai bicara,” kata Mark. Ji Yeong pun melepas stoples itu perlahan-lahan.
“Kalau begitu lanjutkan.”
“Aku punya banyak sekali selai di lemari,” ulang Mark, “tapi aku kehabisan roti. Boleh minta beberapa potong?”



Ji Yeong menahan diri untuk tidak mengumpat. Dan itu benar-benar ujian besar. Bisa-bisanya ia mengira Mark Tuan akan memberikan selai itu padanya.



“Keurae. Ayo ikut aku!” Ji Yeong berkata dengan geram.



Mark pun berjalan di belakang Ji Yeong sambil terkekeh tanpa suara.





**********





Bulan demi bulan pun berlalu. Tak ada yang berubah dari Mark, ia masih pendiam, masih pelit bicara, sekalinya bicara, hanya ucapan sarkastik saja yang keluar. Bedanya, sekarang ia sudah bisa mengoperasikan mesin cuci.



Sore itu, setibanya di apartemen, Ji Yeong langsung berlari ke rooftop. Suara mesin cuci berdengung kencang. Ia menyeret kursi lipat ke sebelah Mark, yang sedang memejam dengan tangan bersedekap, lengkap dengan headphone merah yang menyumpal telinga.



“Mark Tuan!!” Ji Yeong menarik sebelah headphone Mark dan berteriak di telinganya.



Dan reaksi Mark benar-benar tidak seru, tidak sesuai harapan. Pria itu cuma meliriknya tanpa ekspresi, kemudian bertanya, “Baru pulang?” sambil memejam lagi.



“Iya. Kau tidak ke kantor hari ini?”
“Tidak. Aku hanya ke bioskop, tapi jam 3 tadi sudah pulang.”
“Enak ya jadi penulis resensi. Kerjanya cuma pergi ke bioskop, nonton, memberi bintang. Lalu pergi ke kantor hanya untuk setor muka. Cih. Pekerjaan macam apa itu!” kata Ji Yeong sambil mengeluarkan katalog dari tasnya.



Mark cuma tersenyum.



“Lihat, lucu ya!” Ji Yeong menunjuk salah satu tas tangan dalam katalog. “Menurutmu lebih bagus yang merah atau hitam?”



“Aku tak pakai tas tangan,” sahut Mark.



Ji Yeong menoleh pada Mark dan tergelak. Ekspresi datar Mark saat mengatakan itu membuat ucapannya semakin  lucu. Mark mungkin tidak tahu kalau ia sedang melucu.



“Aku hanya minta pendapat kok.”



Mark cuma tersenyum (lagi). Kali ini headphone-nya sudah tidak menutupi telinga Mark, melainkan mengalung di leher. Namun musiknya masih menyala, Ji Yeong masih bisa mendengar suara samar lagu RnB dari situ.



Ji Yeong membolak-balik lembar katalognya dengan semangat. Dia akan memuji satu barang dan Mark akan menimpali—hanya jika ia ingin bicara. Itu pun dengan kalimat sarkastik.



“Wah lihat desain gaunnya! Aku akan menikah dengan gaun ini.”



Mark melirik gaun yang dimaksud Ji Yeong.



“Dan pengantin priaku akan pakai yang ini.”
“Aku tidak mau pakai yang itu. Yang putih lebih bagus.”



Ji Yeong langsung menoleh. “Aku bilang pengantin priaku, Mark. Bukan kau.”



“Aku akan tetap pakai yang putih.”
“Siapa peduli? Bukan kau ini yang akan menjadi pengantin priaku.”
“Siapa yang bisa menjamin hal itu? Dunia ini sempit, Hwang Ji Yeong.” Mark menyebut nama lengkap Ji Yeong sambil menatapnya. Tatapan Mark selalu intens, tapi kali ini lebih intens lagi. Dan sekujur tubuh Ji Yeong terasa tersengat.



“T..tidak sesempit itu.” Ji Yeong terbata. Ia membalik lembar katalognya dengan cepat, salah tingkah. Dan akhirnya berhenti di halaman celana pendek pria. Ji Yeong tak sadar sedang memperhatikan celana pendek pria. Yang penting bukan setelan baju pengantin, pikirnya.



Mark tersenyum geli melihat tingkah Ji Yeong. Ia tahu gadis itu sedang pura-pura membaca.



“Kenapa kau berdebar-debar?” tanya Mark, iseng.
“Siapa yang berdebar-debar?” namun Ji Yeong langsung membantahnya dengan sewot.
“Kau!” Mark mendekatkan wajahnya. Ji Yeong menahan napas.
“T..tidak kok.”
“Kau berdebar, Ji Yeong,” tekan Mark. Ji Yeong baru saja hendak membuka mulut untuk mendebat, namun Mark memotongnya dulan, “Kau, aku, dan semua orang yang punya jantung, kita semua berdebar.”



Untuk sesaat Ji Yeong tak bisa memahami ucapan itu. Hingga akhirnya Mark terkekeh-kekeh pelan sampai matanya menghilang.



“Aku bercanda.”



Ji Yeong tak bisa berkata apa-apa. Ia bergeming, ia berhenti menahan napasnya. Gadis itu merasa benar-benar bodoh, dan kesal. Kesal karena tak bisa membedakan kapan Mark sedang serius dan sedang bercanda. Ia tak tahu sejak kapan persisnya Mark bercanda, apa hanya dari ‘berdebar-debar’ atau dari ‘pengantin pria’. Ia kesal karena ia memang berdebar.



“Tidak lucu, Mark. Sungguh!” Ji Yeong berdiri.
“Oh ayolah! Kau marah karena aku bercanda?”



Ji Yeong melempar katalognya ke arah Mark, menyambar tas dan langsung berlari menuju tangga.



“Ji Yeong, maaf!”
“Urus saja cucianmu!” Ji Yeong berseru sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Mark. “Mesin cucinya sudah berhenti dari 10 menit yang lalu!”




**********




Pada malam harinya, sambil mondar mandir di depan pintu apartemennya, Ji Yeong berpikir keras. Pikiran yang sama berulang-ulang.




Mark, maaf soal yang tadi. Aku hanya sedang tidak ingin bercanda.


Mark, maaf sudah marah-marah. Aku juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba marah…


Hei Mark, apa keran washtafelmu berfungsi dengan baik? Kuharap kejadian sore ini tidak menyebabkan hubungan bertetangga kita jadi renggang.




Dan sejujurnya pikiran itu tidak membantu, sebaliknya malah membuat kepala Ji Yeong semakin pusing. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini adalah berhenti berpikir dan temui Mark sekarang juga.



“Aku harus bicara dengannya.” Ji Yeong membulatkan tekad. Lantas segera membuka pintu apartemennya. Dan woops….. Mark sudah berdiri di depan pintu. Keduanya terkejut. Ji Yeong nyaris menubruk Mark jika saja gerak refleksnya tidak sebaik ini.



“Mark.”
“Ji Yeong.”



Bersamaan.



“Oke, kau duluan.” Bersamaan lagi.



“Oke, aku duluan,” kata Mark sebelum Ji Yeong sempat bicara, “maaf jika candaanku tadi keterlaluan. Aku akan bertanggung jawab.”



“Apa? Tidak perlu! Tanggung jawab untuk apa? Tidak, tidak usah, tidak….”
“Aku hanya ingin menebus kesalahanku.”
“Tapi aku yang salah.”
“Oke, kau yang salah. Jadi kau harus menebus kesalahanmu.”  Mark membenarkan ucapan Ji Yeong begitu saja. “Kalau mau dimaafkan, besok kau harus makan malam denganku.”



“Apa?” Ji Yeong tak menyangka akan mendapat jawaban semacam itu.
“Lihat, aku punya kupon makan malam sepuasnya untuk 2 orang.” Mark mengeluarkan 2 buah kupon dari kantong celananya, lalu mengulurkannya pada Ji Yeong.



“Besok. Jam 7 malam. Bagaimana?”



Ji Yeong terperangah. Kenapa jadi begini? Intinya bukan siapa yang salah. Intinya Mark ingin mengajakku makan malam. Ji Yeong tersenyum pada dirinya sendiri, sebelum akhirnya mengangguk.



“Bagus. Kuponnya kau saja yang pegang. Besok ada premier film yang harus kutonton. Setelah itu langsung membuat resensinya di kantor. Jadi kita bertemu di restoran saja ya..”



“Baiklah.” Ji Yeong menerima 2 kupon itu dan pura-pura memperhatikan alamat restorannya dengan serius. Ia tak berani menatap Mark terlalu lama. Entah kenapa.



“Sekarang giliranmu. Kau mau bilang apa?”



Mau tak mau Ji Yeong pun mengangkat kepala.



“Oh, itu… err, maaf sudah melemparmu dengan katalog. Sakit tidak?”



Mark langsung mengusap bagian bawah dadanya sambil meringis dibuat-buat.



“Lumayan. Mau coba?”
“Mau dilempar buku telfon ya?” ancam Ji Yeong, namun lantas menggeleng-geleng sambil tersenyum melirik Mark. Ia bercanda, tentu saja. Ini 2016, siapa yang masih menyimpan buku telfon?



Mark yang masih memegangi dadanya itu ikut tersenyum.



“Kalau begitu sampai jumpa besok.”
“Ingat, jam 7.”
“Iya, ingat.”
“Kalau sampai tidak muncul, tidak akan kumaafkan.”
“Iya, Mark.”
“Jangan telat.”
“Iyaaa,” tekan Ji Yeong, seraya menutup pintu apartemennya pelan-pelan.
“Sampai jumpa besok.” Mark menelengkan kepala, mengintip dari celah terakhir.





**********





Sambil mendengarkan kuliah, Ji Yeong memikirkan baju apa yang harus ia pakai untuk acara penebusan kesalahan (makan malam sepuasnya) dengan Mark. Ia sampai di rumah pukul setengah lima sore dan langsung membuka lemari bajunya. Ji Yeong menghabiskan 20 menit lebih hanya untuk menentukan apa ia harus pakai sweater dan jeans atau baju terusan. Ia mau tampil spesial, tapi ia tak mau Mark menyadari bahwa ia sengaja tampil spesial. Itu terdengar aneh sekali, tapi itulah yang ia inginkan. Bagaimana caranya tampil istimewa tanpa membuat Mark besar kepala.



Ji Yeong tengah mengeluarkan semua baju terusan yang ia punya saat pintunya diketuk. Gadis itu seketika berhenti.



‘Bukankah seharusnya kita bertemu langsung di restoran?’ pikirnya, sambil berjalan menuju pintu.




“Ini masih jam 5, Ma… EOMMA! APPA!” Ji Yeong langsung membekap mulutnya.
“Astaga! Kenapa tak bilang-bilang kalau mau datang?”
“Kalau bilang-bilang ya bukan kejutan namanya. Selamat ulang tahun, Ji Yeong.”
“Ulang tahun?”
“Lihat! Dia lupa hari ulang tahunnya,” ibu Ji Yeong berbisik sambil menyikut pelan pinggang sang ayah.
“Memangnya tanggal berapa sekarang?”
“Kau tak percaya pada eomma? Ini sungguh hari ulang tahunmu, Hwang Ji Yeong!”
“Bukannya tidak percaya. Aku sama sekali tidak tahu tanggal, eomma. Sudahlah, ayo masuk! Kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh,” kata Ji Yeong, dengan gesit meraup semua bungkus mie instan dari meja makan.



“Ji Yeong, kami membawa hadiah untukmu.”
“Letakkan saja di meja, nanti akan….,” Ji Yeong berbalik. “…kubuka,” lanjutnya lemas.



“Hei, apa kabar?” sapa si hadiah, “Kurasa hadiah yang ini bukan untuk dibuka.”



“Zio…”





**********




“Aku mungkin akan tinggal di Thailand untuk 5 tahun ke depan,” kata Zio, setelah berbicara panjang lebar tentang kehidupannya di Filipina.



Zio baru tiba di Korea 2 hari yang lalu, kemudian langsung menghasut orang tua Ji Yeong untuk membawanya kesini.



“Zio hanya akan menetap di Korea selama 2 minggu. Jadi lebih baik kau ajak dia jalan-jalan, Ji Yeong~a.” Ayah Ji Yeong berucap sambil menepuk-nepuk bahu Zio.



Sementara itu, Ji Yeong hanya duduk diam memperhatikan 3 orang di hadapannya—sambil memangku buket mawar dari Zio. Segalanya masih terasa tidak nyata. Kedatangan orang tuanya saja sudah membuat syok, sekarang ditambah Zio. Saat ini, pria itu tengah heboh bercerita tentang Kiram, temannya di Filipina, dan juga sekolah barunya, dan tak lupa memamerkan kemampuannya berbahasa Filipina (Tagalog). Ji Yeong tidak keberatan, ia selalu suka cara Zio berceloteh tentang segala hal. 



Bicara soal Zio, tak ada perubahan besar darinya. Ia hanya tumbuh layaknya pria normal, badannya lebih tinggi, suaranya lebih berat, kulitnya lebih gelap karena tinggal di wilayah tropis, potongan rambutnya lebih pendek, secara keseluruhan dia masih seperti Zio 5 tahun yang lalu. Ia masih sehiperaktif dulu, masih berisik, masih pandai melucu. Satu-satunya yang berubah disini hanyalah perasaan Ji Yeong.



Ia kira ia akan sangat senang sampai menangis tersedu-sedu saat bertemu Zio, tapi ternyata tidak. Ji Yeong senang, tentu. Tapi hanya sebatas,.. ‘hei, sahabat karibku kembali.’. Reaksinya jauh di bawah ekspektasi, tidak ada pelukan panjang, tidak ada percakapan emosional, tidak ada isak tangis.



Anehnya, di balik rasa bahagia bertemu orang tua dan Zio, Ji Yeong justru merasa…. tak nyaman. Seperti ada sesuatu yang salah. Seperti ada sesuatu yang ia lupakan.



“Hei, kau punya kupon makan sepuasnya! Ayo kesini besok siang, Ji Yeong~a.”



Ji Yeong menoleh tanpa tenaga pada Zio, lalu pada kupon yang dipegang oleh pria itu. Dan seketika itu juga Jiyeong merasa disambar petiir.



“MARK!!”





**********





Mark melirik arlojinya untuk yang kesekian puluh kali dalam 2 jam terakhir. Pukul 9 lewat 20 menit.



“Apa sekarang sudah mau pesan?” Pelayan yang sama kembali mendatangi mejanya.



Mark menggeleng.



“Maaf, tapi 10 menit lagi kami tutup,” kata sang pelayan serba salah.



Mark menoleh pada layar ponselnya dan menghela napas. Ji Yeong tidak menggubris pesannya sama sekali.



“Aku tidak bisa pesan sekarang.”
“Tapi…” Pelayan itu menggaruk pelipisnya. Dan Mark tahu ia harus berhenti bersikap egois. Ia tak mungkin memaksa semua pelayan disini menunggu Ji Yeong.



“Baiklah,” putus Mark.
“Anda mau pesan?”
“Tidak. Aku akan datang kesini lain kali.”




Dengan langkah berat, Mark keluar dari restoran itu dan berjalan menuju halte.



Dan saat itulah tanpa diduga-duga bus yang ditumpangi Ji Yeong datang.



Ji Yeong turun dari sana dengan tergesa-gesa dan langsung berlari menghampiri Mark.



“Mark. Astaga! Maaf. Maaf sekali. Aku….. hosh….. terlambat.”



Mark hanya menatapnya.



“Oke, kau boleh tidak memaafkanku. Aku keterlaluan. Ini bukan terlambat lagi namanya.”
“Beri aku penjelasan yang logis.”
“Apa?”
“Katakan kenapa kau terlambat. Aku akan mendengarkannya.”


Sebenarnya, Ji Yeong ingin bicara dengan tenang, namun ia tak bisa lagi menahan air matanya yang sudah membendung. Akhirnya gadis itu menjelaskan sambil terisak.



“Orang tuaku datang tiba-tiba. Ternyata ini hari ulang tahunku. Dan mereka membawa Zio juga. Kami berbincang sampai lupa waktu,” jelas Ji Yeong kacau. Kalimatnya terdengar tumpang tindih, patah-patah, Ji Yeong tak mengerti kenapa kemampuan merangkai katanya jadi seburuk ini.



Namun Mark mengerti.



“Jadi bunga itu dari Zio?”



Ji Yeong  baru sadar ia masih menggenggam bunga pemberian Zio. Gadis itu tak menjawab pertanyaan Mark, namun tak menjawab juga merupakan jawaban.



“Itu alasan yang logis. Orang tuamu datang, terlebih pangeranmu datang, kau pasti merindukannya wajar jika kau tak mengecek ponselmu.”



Ji Yeong menunduk. Kenapa Mark harus mengoloknya soal Zio? Seperti orang yang sedang cemburu saja. Tangan Ji Yeong pun semakin gemetar. Tangannya sudah gemetar sejak ia berlari dari apartemen.



“Mark, aku lupa bawa kuponnya.”
“Restorannya sudah tutup.”



Ji Yeong menoleh pada restoran yang seharusnya menjadi tempat makan malam mereka. Lalu menggigit bibir, memaki diri sendiri dalam hati.



“Tapi kau sudah makan kan?” tanya Ji Yeong hati-hati.
“Tentu saja. Aku sudah makan sampai kenyang.” Sarkastik lagi.
“Maafkan aku.”
“Jangan minta maaf terus. Ini hadiah dariku. Selamat ulang tahun.”



Ji Yeong menyeka air matanya, lalu mengambil ratusan lembar HVS yang dijepit dengan penjepit kertas. Hadiah dari Mark. Pria itu bahkan tidak repot-repot memberi cover. Hanya ada tulisan ‘Fall For Me, please’ besar-besar, lalu di bawahnya ada nama sang pengarang, Mark sendiri. Sederhana sekali.



“Kau tahu ini hari ulang tahunku?”
“Tentu saja. Itu informasi dasar yang harus diketahui seorang pengagum rahasia.”
“Pengagum rahasia?”



Mark tidak meladeni keterkejutan Ji Yeong. “Cerita fiksi itu ditulis berdasarkan sudut pandangku, tentang aku dan seorang gadis yang kusuka sejak 2 tahun lalu.”



“2 tahun yang lalu, si mahasiswi baru sedang berjalan sendirian di lorong kampus, rambut digerai, kacamata baca,” kata Mark dengan tatapan menerawang, “tch, lihat betapa bodohnya aku saat bicara. Intinya aku membuat cerita untukmu dan kau harus membacanya.”



Ji Yeong mendengarkan ucapan Mark dengan serius.



Mark tersenyum canggung sambil mengusap tengkuknya, “Pokoknya baca saja.”



“Gadis itu….. aku?”
“Kalau bukan kau, kenapa kuberi padamu?”
“Tapi, coba jelaskan kenapa harus aku?”
“Coba jelaskan bagaimana rasanya air?”
“Mark!”
“Ji Yeong, itu sesuatu yang tidak bisa kujelaskan. Aku hanya….menyukaimu. Pokoknya baca saja. Aku menggambarkan semuanya secara detail. Tentang kebetulan-kebetulan yang luar biasa. Aku memang sangat pendiam, aku bodoh dalam mengekspresikan perasaan, tapi bukan berarti aku tidak punya perasaan. Maksudku….”



Mark menggigit bibirnya.



“Aku tak sengaja melihatmu masuk bangunan apartemen, lalu pindah kesana agar bisa dekat denganmu. Konyol sekali, tapi aku benar-benar bahagia. Akhirnya, setelah berbulan-bulan kehilangan jejak, aku menemukanmu lagi. Tapi kau malah memanggilku Zio, dan sesuatu di dalam sini rasanya hancur.” Mark memegang dadanya. “Bukan hanya sekali atau dua kali, kau memanggilku Zio selama 2 minggu lebih… dan rasanya seperti… kalah sebelum melihat siapa lawanku.”



Ji Yeong merasa hatinya ikut hancur.



“Tapi sekarang, aku tahu aku tidak kalah dari anak itu.” Mark mengambil bunga di tangan Ji Yeong dan melemparnya ke bangku halte.



“Aku memberimu cerita 143 lembar, font Arial, size 12. Murni dari kepalaku sendiri. Sedangkan dia, bunga? Siapapun bisa memberimu bunga. Aku menyukaimu lebih dari itu, lebih dari sekedar menyisihkan uang untuk membeli sebuket mawar. Jika cinta diukur dengan bunga, aku pasti akan memberimu kebun bunga 4 hektar.”



“Apa bagusnya bunga jika aku bisa memberimu…. dunia?”



Ji Yeong tak menyangka Mark bisa bicara sebanyak ini. Ucapannya terdengar sarkastik seperti biasa, tapi sarkastik yang manis. Ji Yeong menyeka bekas air mata di pipinya. Ia tak ingat kapan ia menangis lagi, mungkin saat Mark berkata ‘sesuatu di dalam sini rasanya hancur’.



“Cerita ini bukan sebatas imajinasi saja. Sebagiannya nyata, pertemuan pertamaku denganmu di kampusmu, pertemuan pertama KITA di apartemen, proses menjadi dekat. Dan beberapa hal kecil lain. Mungkin kau akan terkejut saat membacanya. Aku tidak sepayah yang kau kira.”



Ji Yeong jadi ingin cepat-cepat berlari ke tempat sepi dan membaca cerita ini.



“Kau bilang setengahnya nyata. Lalu setengahnya lagi?”
“Sisanya kukarang sendiri. Dan aku akan sangat berterima kasih jika kau mau mewujudkan semua karangan itu denganku.”



Itu terdengar manis sekali. Namun Ji Yeong tak bisa berhenti menerka. Siapa kau? Apa kau seniorku di kampus? Kalau bukan, apa yang kau lakukan di kampusku? Sejak kapan kau membuat cerita ini?



“Mark, aku… aku belum benar-benar mengenalmu, ini semua terlalu….”
“Tolong jangan bicara apa-apa,” potong Mark. “Bicaralah begitu kau selesai membaca. Kau akan mengenalku. Sungguh. Beri aku kesempatan. Aku tidak mau kalah dari Zio.”



“Mark.”
“Ini sudah malam, kita harus pulang. Oh lihat, busnya! Ayo!”



Mark sengaja mengalihkan pembicaraan. Ji Yeong mungkin masih menyukai Zio, dan Zio ada di apartemennya saat ini. Mark tak mau mendengar kalimat penolakan. Belum, jangan, tidak sekarang, tidak kapanpun.



Kebetulan sekali, bus mereka benar-benar datang. Mark memberi jalan agar Ji Yeong bisa masuk lebih dulu, dan sang gadis memanfaatkan kesempatan itu untuk berbisik tepat di telinga Mark.



“Aku memang belum membacanya, tapi… aku jamin kau tak akan kalah dari Zio. Kalau aku masih menyukai Zio, aku tak akan lari kesini, kan?”



“Cepat masuk,” suruh Mark, tiba-tiba kembali ke watak aslinya. Apa pengaruh sihirnya sudah selesai?



“Kau tak akan kalah dari siapapun.” Ji Yeong menekankan.



Mark mempertahankan ekspresi dinginnya, namun begitu Ji Yeong berbalik…..



“Tuan, bisakah senyum-senyum di dalam saja? Kau menghalangi pintu!” seru sang sopir.




END




HAPPY BIRTHDAY KIM DHIRAAAAA



Aduh g tau mau ngomong apaaa>,< berasa failed banget. Sorry ya Far… nanti taun depan bikin yang bagusan. Hehe..



Pokonya happy birthday!!!!!! Finally 20 taun!!!! Semoga di umur yg udah kepala dua ini bisa makin dewasa (tapi jangan dewasa2 banget ya far). Trus semoga langgeng sama secret crushnya aka si cadok yang IG-nya udah diprivate (mau sampe kapan ‘secret’ mulu????) dan semoga tetep jadi dhiya farah athaya wijaya yang stay cool di segala situasi. Jangan kapok-kapok temenan sama kita^o^


Comments

Popular Posts