Shocking Confession (Sequel of Accidentally Confess)
Cast: Jung Cheonsa – Kris Wu
Genre: Fluff
Rating: PG – 13
Note: Buat yang belum baca Accidentally
Confess mendingan dibaca dulu biar gak bingung. Click
Here!
Ia pikir pembicaraan dengan topik
Kris dan pengakuan tak sengajanya seminggu yang lalu tidak akan terdengar lagi.
Ia kira teman-temannya akan melupakan semua itu dan berhenti menasihatinya
tentang ini dan itu. Tapi nyatanya ia salah besar, topik itu masih saja dibahas
di tengah ritual makan siang mereka.
Itu sangat menyebalkan.
Membuatnya harus meletakkan sendok dan kehilangan selera makan.
“Oke, aku sudah tidak bisa menahan
semua ini.” Nayoung mengganti posisi duduknya, menatap Cheonsa dengan lebih
menyudutkan dan semua orang pun melakukan hal yang sama.
Cheonsa mendesah panjang, melirik
ke kanan dan ke kirinya. Rupanya tak seorangpun berpihak padanya. Mereka semua
menatapnya dengan serius, seolah ia pelaku kriminal.
“Kau menyukainya, Jung Cheonsa!
Demi Tuhan! Kau menyukai Kris Wu dan kau malah memberinya jawaban konyol
seperti itu? Kau gila, ya?” serang Nayoung dengan nada frustasi yang tak bisa
dielakkan.
Yah, semua orang merasa tindakan
Cheonsa tidak lucu lagi. Mereka semua benar-benar tidak habis pikir dengan apa
yang gadis itu lakukan. Padahal semuanya juga tahu kalau itulah yang Cheonsa
inginkan. Bersama dengan Kris Wu pastinya.
Hara, Sora, Gyuri, Jieun, bahkan
Tao mengangguk serempak. Namun sedetik kemudian Tao berhenti mengangguk, ia
menyadari sesuatu yang janggal. Ia menoleh dengan cepat sebelum akhirnya
melebarkan mata.
“Tunggu.. KAU SUKA KRIS? KRIS WU?
PRIA YANG KAU BUAT KESAL SETENGAH MATI ITU?”
Dan begitulah. Tao benar-benar
terkejut dengan kenyataan yang baru saja terkuak. Menurutnya ini benar-benar
tidak adil. Ia sudah bersama gadis-gadis itu selama dua tahun belakangan.
Berbagi meja yang sama tiap makan siang, pergi bersama setiap ada kesempatan,
ia bahkan pacar dari Kim Sora, tapi ia tidak tahu kalau Jung Cheonsa menyukai
temannya.
Ini tidak adil. Ia pikir
gadis-gadis itu menganggapnya sebagai bagian dari mereka, tapi…
Akhirnya Tao pun menggelengkan
kepala, berusaha menepikan kekesalannya. Lelaki itu mengembuskan napas dengan
panjang, ia kembali bicara.
“Oke. Kau menyukai Kris dan kau mempermainkannya?
Maksudku kenapa kau tidak bilang ‘YA’ dan semua akan baik-baik saja?”
Kemudian semua mata beralih
menatap Cheonsa yang mendesah keras, kepalanya tertunduk dalam.
“Aku tidak bermaksud begitu,
aku…maksudku ini aneh saja. Pengakuannya terlalu tiba-tiba,” ungkap Cheonsa
dengan setenang mungkin.
Ia berusaha untuk tidak terkesan
membela dirinya sendiri, karena ia tidak bermaksud melakukannya. Ia hanya ingin
mengungkapkan apa yang selama ini ada di pikirannya.
Pengakuan Kris malam itu
mengejutkan dirinya dan betapa semua itu membuatnya senang bukan main. Namun di
sisi lain membuatnya agak takut. Apa Kris benar-benar menyukainya? Pria itu
bahkan tak pernah mencoba untuk mendapatkan jawaban apapun setelah malam itu.
Pria itu tidak berjuang sama sekali.
Oke, bukan berarti ia ingin
sekali melihat Kris mengejarnya dengan penuh harap. Ia hanya ingin tahu
seberapa besar kesungguhan pria itu. Apa itu salah?
“Kalau begitu kenapa kau tidak
meminta waktu untuk berpikir? Kurasa Kris lebih dari bersedia untuk menunggumu
daripada ditanggapi dengan jawabanmu yang super konyol itu,” sahut Hara yang disetujui oleh semua penghuni meja
itu.
Lagi-lagi Cheonsa mengawali
ucapannya dengan embusan napas panjang, seolah ia benar-benar tertekan dan
hampir gila kalau tidak melakukannya.
“Malam itu benar-benar lucu dan
tiba-tiba saja terlintas ide untuk melakukannya. Aku tak mengira kalau balasanku
akan membuat semuanya jadi kacau.”
Kemudian semua orang di meja itu
menggeleng tidak percaya. Nayoung yang sejak awal sudah terlihat frustasi, tak
lagi berminat untuk memberi komentar. Ia sudah muak, mungkin bukan hanya
Nayoung, tapi mereka semua. Tidak bisakah sekali saja Jung Cheonsa tidak
membuat orang lain kesal?
“Lagipula, ia terkesan sangat
pasrah. Kurasa ia tidak benar-benar menyukaiku. Jadi tidak masalah, kan?”
lanjut Cheonsa.
Tao menggebrak permukaan meja
dengan telapak tangannya. Hal itu jelas membuat siapapun terkejut, tak hanya
mereka, tapi semua pengunjung kantin yang menghentikan langkah mereka untuk
sekedar menoleh.
Namun Tao tidak peduli dengan
orang-orang itu, ia mencondongkan tubuhnya. Mengintimidasi Cheonsa dengan
tatapan tajamnya.
“Ia menyukaimu dengan kadar
kesungguhan yang tidak pernah bisa kau bayangkan. Kris benar-benar menyukaimu.
Kau pikir kenapa aku terus menyuruhmu untuk mengembalikan headset, kaset PS,
jaket, atau barang apapun padanya?”
“Demi Tuhan, ia hanya Kris Wu!
Pria paling payah kalau sudah dihadapkan dengan urusan mengungkapkan
perasaannya.”
Baiklah, jadi itulah alasan Tao
senang sekali menyuruh Cheonsa mendatangi Kris untuk mengembalikan beragam
benda? Huh, sekarang apa yang harus ia lakukan? Pergi dari tempat itu dan
mendatangi Kris? Dan menjadi bodoh?
Astaga. Tidak, terimakasih.
“Intinya aku tetap tidak mengerti
kenapa kau begitu tolol Jung Cheonsa. Kau menyia-nyiakan kesempatan berharga.”
Jieun yang dari tadi bungkam akhirnya buka suara. Selama ini ia mencoba untuk
memahami alasan Cheonsa, tapi semakin hari ia semakin jengkel dengan temannya
itu.
Semua akan lebih mudah kalau
Cheonsa bilang ‘YA’. Gadis itu menyukai Kris dan kabar baiknya Kris juga
menyukainya. Lalu apa lagi? Kenapa gadis itu malah berulah dan mengacaukan
semuanya?
“Tidak juga. Kupikir tidak
seburuk itu. Aku hanya membiarkan Kris memikirkan kembali perasaannya dan sepertinya
memang tidak seburuk yang kalian pikirkan. Pria yang sedang kalian bela itu
selalu berkeliaran dan pamer kemesraan dengan Elena Tan dimana-mana. Jadi
apanya yang mempermainkan? Aku hanya–“
“Please, jangan bilang kau ingin menangis sekarang. Kau yang membuat
semuanya jadi berantakan,” selak Sora yang membuat semua orang mengamati kedua
mata Cheonsa.
“Berhenti menatapku seperti itu!
Dengar ya, aku tidak merasa menyesal atau apapun. Lagipula aku juga tidak
benar-benar menyukainya. Kupikir aku masih–“
“Menyukai Bang Minsoo?” potong
Gyuri dengan sinis.
“Serius? Kau masih menyukai pria
masa lalumu itu? Pria yang entah ada dimana dan bagaimana keadaannya saat ini?
Kupikir kau akan dewasa, menutup masa lalumu, dan hidup di hari ini,” tandas Gyuri
tanpa berpikir ulang.
Padahal mereka semua sudah
sepakat untuk tidak membahas Bang Minsoo atau sosok manapun yang sempat singgah
dalam masa lalu mereka. Namun Gyuri terlalu gemas untuk mengingat kesepakatan
tak terucap itu.
Sebelum keadaan semakin kacau dan
berpotensi menyulut pertengkaran hebat, akhirnya Tao sebagai satu-satunya pria
di meja itu menengahi. Ia melambaikan tangannya, berharap gadis-gadis itu
berhenti adu argumen.
“Aku tidak peduli lagi nasib
hubunganmu dengan Kris, lagipula kau sendiri yang bilang tidak benar-benar
menyukainya, kan? Jadi mulai saat ini aku akan bersikap netral begitupun dengan
mereka semua. Kami tidak akan membantumu jika suatu saat kau berubah pikiran.
Ingat itu,” kecam Tao dengan tegas dan dingin.
“Tidak masalah. Aku juga tidak
akan berubah pikiran.”
****
Cheonsa POV
Semua ucapanku hari itu bohong
dan sekarang aku menderita. Sangat menderita, karena tidak bisa mengatakan
perasaanku pada mereka semua. Aku sangat kesal dan menyesal. Membuatku berharap
bisa memutar waktu dan mengulang malam
itu. Aku akan memperbaiki kekonyolanku dan langsung menjawab ‘YA’ dengan sangat
jelas.
Hari terus berlalu dan Kris
terlihat semakin dekat dengan Elena. Aku bisa melihat keduanya dimanapun; di
perpustakaan, di lorong, di tangga, pokoknya dimanapun. Memang agak mengerikan.
Aku merasa cemburu hanya karena melihat Kris bersama Elena, padahal selama ini
mereka tidak hanya berdua. Pasti ada Minseok atau orang lain yang juga panitia
acara konferensi yang akan diadakan dua minggu lagi.
Harusnya aku tidak merasa begitu,
kan? Seharusnya aku baik-baik saja dan melupakan semuanya. Persis seperti apa
yang Kris lakukan, pria itu baik-baik saja. Bahkan saat mata kami bertemu, ia
tidak memalingkan wajah dengan ketakutan, ia malah menatapku dengan datar
seolah tak pernah ada apa-apa.
Ini benar-benar tidak adil. Ia
bisa baik-baik saja, sementara aku semakin menderita setiap harinya. Berlebihan
memang, malah cenderung menggelikan. Tapi itulah yang kurasakan.
Sebelumnya aku tak pernah
benar-benar mengerti perasaan patah hati yang dirasakan Nayoung saat putus
dengan Kyungsoo atau memahami alasan Sora menangis saat ia dan Tao bertengkar
hebat. Aku hanya berusaha memahami perasaan ngilu itu karena kami sama-sama
perempuan, tapi sebenarnya aku tidak benar-benar tahu bagaimana rasanya.
Aku dan Bang Minsoo tidak pernah
pacaran. Kami memang punya semacam ikatan, tapi ikatan kami terlalu gaib untuk
membuatku bisa merasakan perasaan berat yang menumpuk di dalam dada. Sementara
yang terjadi saat ini, semuanya terasa nyata. Aku bisa melihat Kris berkeliaran
dengan seorang gadis yang sialnya lebih cantik diriku dengan mataku sendiri.
Kuberitahu saja, Elena itu punya
sepasang kaki kurus yang jenjang, rambut warna cokelat yang begitu terawat,
tubuhnya setipis kertas HVS, dan wajahnya tidak pernah terlihat kusam atau
biasa saja. Ia itu Elena.
Hanya gay saja yang tidak suka
padanya. Dan kenyataan itu membuatku sangat takut. Bagaimana kalau Kris
menyukai Elena dan menyadari kebodohannya karena pernah menyukai gadis
serampangan sepertiku?
Gadis serampangan, konyol, dan
canggung. Kupikir hanya orang yang tidak punya pilihan lain saja yang mau
mengalihkan pandangannya untuk menatapku.
Ckk..Aku berhenti
melompat-lompat, menenangkan pikiran-pikiran aneh yang sudah berhasil
mengacaukan suasana hati. Sial, dimana sih tangga kecil yang biasanya? Aku
harus mengambil buku besar terkutuk yang berbaris rapi di barisan kedua paling
atas dan sangat mustahil untuk mengambilnya tanpa bantuan benda itu.
Kemudian aku tercenung begitu
ingatan-ingatan brengsek itu datang. Aku teringat sesuatu. Bukankah aku tak
pernah menggunakan tangga kecil itu?
Pernah dua kali aku harus
mengambil buku di barisan atas, pertama saat aku akan melakukan observasi dan
yang kedua adalah ketika aku membutuhkan buku di bagian ‘psikologi klinis’.
Dan tak sekalipun aku menggunakan
tangga kecil itu. Kris–entah bagaimana caranya–akan muncul dan menawarkan
bantuan dengan ragu-ragu kemudian mengambilkannya untukku. Ia hanya perlu berjinjit
dan mengulurkan tangannya kemudian masalahpun selesai.
Ingatan itu membuatku agak sesak
dan kurasakan otot rahangku menegang. Aku masih menatap deretan buku paling
atas sebelum akhirnya menunduk dan menenggelamkan kepala di antara kedua kaki.
Aku terduduk di lantai dingin, seorang diri, dan menangis. Lengkap sudah
penderitaanku sebagai gadis malang yang tak bisa berkata jujur.
Astaga. Selama aku hidup, aku tak
pernah membayangkan diriku akan menangis untuk seorang pria. Namun sekarang,
aku bertingkah seolah hidupku hancur berantakan karena Kris. Menggelikan.
“Hei, apa yang kau lakukan di
sini?”
Aku mengangkat kepalaku,
mendongak dan mendapati Kris sedang menatapku dengan heran. Kemudian ia
kelihatan ngeri begitu menyadari kondisi wajahku. Oh yah, minggu lalu aku baru
saja mempermainkan pria ini dan sekarang lihat siapa yang nampak menyedihkan.
“Kau sendiri?” tanyaku tak ingin
menjawab pertanyaannya.
Ia mengulurkan sebuah buku dengan
sampul biru tua. Aku menatapnya dengan bingung. Itukan bukuku, kenapa bisa ada
padanya?
“Tadi Taerin menitipkan buku ini
padaku–“ ia berulang kali menyugar rambutnya sambil terus menatap ke sana
kemari.
Berhubung kondisi sedang amat kacau,
aku langsung menyambar buku itu dan kembali menenggelamkan wajah.
“Terimakasih,” ucapku pelan.
Selama beberapa saat aku tak
bergerak, terus menyembunyikan wajah dan tak henti-henti menumpahkan air mata.
Begitu aku merasa puas, aku mengangkat kepala. Rasa pening menyerang dan cahaya
lampu langsung menusuk pandanganku.
“Yang mana yang mau kau ambil?”
suara itu kembali menginterupsi, yang jujur saja membuatku cukup terkejut.
Kris masih berdiri di tempatnya,
menatapku kemudian menatap rak buku secara bergantian. Alisnya berjingkat begitu
aku tak kunjung menjawabnya.
“Yang itu.” Aku langsung menunjuk
buku di barisan atas.
Ia sedang berjinjit dan
mengulurkan tangannya untuk mengambil buku yang kumaksud, sambil sesekali
menoleh ke arahku.
“Yang ini?”
“Bukan. Dua buku di sebelah
tangan kananmu.”
Seperti yang sudah kubilang, ia
hanya perlu berjinjit dan mengulurkan tangannya, masalahpun akan selesai dengan
cepat.
“Kau menangis hanya karena tidak
bisa mengambil buku ini?”
Aku segera mengambil buku besar
itu tanpa menghiraukan pertanyaannya. Apa-apaan? Ia pikir aku menangis hanya
karena tidak bisa mengambil sebuah buku? Ckk, aku menangis karena dirimu bodoh!
“Kau tahu? Kau hanya perlu meminta pertolongan seseorang atau tangga
kecil untuk mengambilnya,” ucapnya sambil menatapku dengan tak percaya. Seolah
benar-benar tak percaya ada seorang gadis berusia dua puluh satu tahun sedang
menangis hanya karena tidak bisa mengambil buku di rak atas.
Dan ia menggelengkan kepalanya
dengan samar. Yah, mungkin saja ia sedang menyesali perasaannya padaku. Mungkin
saja ia baru sadar betapa bodoh dan konyolnya seorang Jung Cheonsa itu. Heol..
“Menangis tidak akan
menyelesaikan masalah. Kau tahu–“
“Iya iya, terimakasih nasihatnya.
Kau bisa pergi sekarang,” kataku tak mau mendengar nasihatnya lebih banyak.
Kemudian pandangan kami bertemu.
Tiba-tiba duniaku terasa seperti berguncang dan yang perlu kulakukan adalah
berpegang erat pada lantai di bawah. Kepalaku pusing, perutku bergejolak saat
mata kami bertemu.
Kris dengan rambut kecokelatan yang
melebihi telinga membuatku kesulitan berkonsentrasi. Dan mata hitam pekat itu,
kurasa mata itu menyorotku terlalu serius.
“Baiklah, aku duluan.”
Bodoh. Kenapa aku selalu bertingkah menyebalkan, sih?
“Kris!”
Kurasa detik ini aku terlalu
emosional, sampai memanggil namanya sekencang itu. Namun mau bagaimana lagi.
Cepat-cepat aku memungut buku
bersampul biru dan buku tebal yang tadi Kris ambilkan untukku, kemudian
berdiri.
Nyaris aku tersedak ludah sendiri
begitu Kris berbalik dan menjatuhkan pandangannya ke manikku. Ia kelihatan sedikit
nervous, atau mungkin aku saja yang
merasa terlalu nervous hingga menyalah artikan tatapan matanya.
“Ada buku lain yang mau kau
ambil?”
Aku tak menjawab, hanya menatap
mata hitamnya sambil menarik napas dengan berlebihan. Alisnya berjingkat,
kerutan di dahinya menunjukkan padaku kalau tuan di depan ini sedang berupaya
membaca pikiranku.
Ia mencoba mengorek arti
keheningan di antara kami lewat mataku. Jujur saja tindakannya malah membuatku
semakin sulit bicara.
Entah perasaanku saja atau memang
benar begitu, Kris berderap ke arahku yang otomatis membuatku melangkah
mundur. Jujur saja pikiranku langsung
kacau, tiba-tiba membayangkan sesuatu yang tidak seharusnya. Kris tidak mungkin
mengunci tubuh kecil malangku di antara rak buku dan lengannya kemudian
menciumku tiba-tiba ‘kan?
“Kris, aku–“
Saking kacaunya pandanganku
mengedar ke sana kemari, sampai akhirnya kubiarkan membiarkan terpaku pada
deretan buku-buku tebal di rak paling atas.
“Jadi yang mana?”
“Apanya yang mana?”
Aku menatapnya dengan tak
sabaran. Aku sedang amat kacau dan ia mengajukan pertanyaan ‘Jadi, yang mana?’,
jelas saja membuatku kehilangan kesabaran.
“Buku mana yang mau–“
Aku mengikuti arah pandangannya. Ya
ampun! Jadi ia pikir aku memanggilnya untuk minta tolong diambilkan buku, lagi?
“Kau memang menyebalkan, ya. Di
suatu malam kau bilang menyukaiku–“
“Tunggu sebentar. Aku tidak
bilang, tapi mengetiknya dalam sms,” katanya yang sudah menyandarkan sisi
tubuhnya di samping rak buku.
Langsung saja emosiku memuncak.
Oh, jadi ia mau bilang apapun yang kubaca dalam sms-nya hanya sebatas rangkaian
baris kata yang kosong, yang mungkin saja tidak dipikirkan lebih lanjut saat ia
mengetiknya.
“Sekarang aku mengerti. Apapun
isi pesanmu malam itu sama sekali tidak ada artinya. Kau tidak benar-benar
bermaksud begitu. Ya, kan?” aku kemudian berdecak, mengalihkan pandangan ke
sana kemari.
Rasanya malu sekaligus kesal.
Mungkin kalau aku bertahan di tempat ini lebih lama lagi, hatiku akan hancur
berkeping-keping. Aku menarik napas panjang, kemudian memberanikan diri untuk
menatap kedua matanya.
Namun nyaliku menciut, Kris
nampak begitu mengintimidasi. Mungkin dalam hatinya sedang mencibir tingkahku
yang terlalu percaya diri.
“Oke, mari kita perjelas semua
ini.”
Ia menatapku lebih intens bahkan melipat
tangannya di depan dada. Menegaskan betapa seriusnya ia kali ini.
Aku menarik napas panjang. Berusaha
untuk tetap terkendali dan tidak gagap saat bicara nanti. Kalau dipikir lagi,
baru kali ini aku dan Kris bicara seserius ini. Jangankan bicara dalam jarak
sedekat dan seserius ini, kami bahkan tidak akrab. Heol, kenapa ironis sekali.
Kenapa pengakuan cintanya malam
itu jadi semakin tidak masuk akal? Aku malah makin yakin kalau sebenarnya Kris
hanya penasaran denganku , ia tidak benar-benar merasakan perasaan bergetar
dan penuh kupu-kupu terbang di perutnya.
“Kau bisa menulis apapun di dalam
sms tanpa benar-benar bermaksud begitu. Sama seperti orang yang mengetik ‘LOL’
atau ‘ROTFL’ tapi sebenarnya mereka tidak benar-benar tertawa. Bisa saja kau
mengirim pesan itu saat sedang mabuk–“
“Aku sepenuhnya sadar dan serius
dengan isi pesan itu.”
“Kalau kau memang serius kenapa
tidak bertanya apapun padaku? Kenapa tidak melakukan apapun untuk membuatku
tidak salah sangka?” kata-kata itu terucap begitu saja.
Kerutan di dahinya mengendur dan
tangannya bergerak menyugar rambutnya. Kris menatapku dengan pasrah sambil
melenguh panjang.
“Responmu malam itu juga
menyebalkan.”
Sebelum aku berhasil mengeluarkan
suara, ia menggeleng dengan penuh penghayatan. Seolah sudah melatihnya dari
jauh-jauh hari. Kemudian ia bicara lagi.
“Sebenarnya aku hanya memberimu kesempatan
untuk memikirkan kembali diskusi kita malam itu. Aku akan menanyakan jawabanmu.
Lagi.”
“Ya. Aku menyukaimu, kok. Aku hanya ingin membuat ini lebih efisien,”
kataku tepat setelah Kris menyelesaikan kata terakhirnya.
Oke, ini benar-benar gila. Tapi
aku tak mau lebih gila kalau tak merengkuh kesempatan kedua yang ada di depan
mata. Tak semua orang bisa mendapat kesempatan kedua, kan?
“Aku sudah memikirkannya dengan
baik. Sebenarnya aku tak perlu banyak berpikir tentang perasaanku karena jauh
sebelum malam pengakuan itu aku sudah menyukaimu.”
“Jadi, kau sudah menyukaiku jauh
sebelum malam itu? Sejak kapan tepatnya?”
Aku baru sadar kalau aku terlalu
banyak bicara. Seharusnya bagian ‘aku sudah menyukaimu jauh sebelum malam itu’
tak perlu kukatakan. Aku segera
mengalihkan pandanganku.
“Sejak kapan? Sejak…”
Aku menatapnya dengan kesal,
persis seperti dugaanku ia sedang menyengir penuh kemenangan. Mungkin malam itu
ia tampak konyol di mataku, tapi hari ini aku jauh lebih konyol di matanya. Karma
macam apa ini?
“Oke, lupakan masalah itu,”
katanya mencoba meredakan kekesalanku.
“Tapi aku masih penasaran. Kalau
kau memang menyukaiku, kenapa malam itu kau sangat menyebalkan?”
Aku sudah menduganya. Cepat atau
lambat Kris akan mengajukan pertanyaan seperti itu.
“Aku hanya….”
Suaraku merendah, nyaris berbisik
malah. Dan hal itu membuat Kris mencondongkan wajahnya ke arahku.
“Aku hanya merasa sedikit terkejut,
senang, takut, dan merasa terhibur. Malam itu pertama kalinya kau mengirimiku
pesan.”
“Terhibur?” ia menatapku, menuntut
penjelasan.
“Yah, jelas terhibur. Kau salah
mengirim pesan dan secara tidak sengaja mengakui perasaanmu. Itu sangat lucu
dan juga membuatku salah tingkah. Tapi kemudian aku ingat kau tak pernah
benar-benar mengenalku atau sebaliknya,” jelasku.
Ia masih mengerutkan dahi, seolah
penjelasanku itu belum cukup memuaskan rasa ingin tahunya. Aku mendesah panjang.
“Maksudku pengakuanmu malam itu sedikit
tidak masuk akal–“
“Kalau begitu ayo,” katanya
sambil mengulurkan telapak tangannya.
“Kemana?” kataku sambil menatapnya bingung.
“Let’s get to know each other better.”
END
Sebenernya ff ini udh diketik sehari setelah aku baca ff Accidentally Confess yang ditulis Salsa,
terus banyak ide yang mampir sampe kebingungan untuk nentuin yang mana yang
harus ditulis. Karena itu aku jadi bingung dan akhirnya proses nulis pun
ketunda dan aku tinggalin deh ff ini di tengah jalan. Udah basi aja. Males. Bingung
juga.
Tapi berkat satu ff yang kubaca beberapa hari lalu, aku jadi pengen
nulis. Tapi berhubung aku masih banyak tugas, aku ngerasa takut gak bisa
nyelesain satu tulisan. Terus keinget ff ini yang menumpuk bersama file dengan
judul absurd. Ohoo!! Akhirnya aku mutusin buat lanjutin ff ini. Yah, lanjutin
setengahnya.
Ya udah deh, itu aja dari aku. terimakasih buat yang udah bersedia
baca. Kalau ada yang ngasih kritik dan saran tinggal tulis aja di kolom
komentar yaa..
See You,
GSB
Comments
Post a Comment