Shocking Confession (Sequel of Accidentally Confess)




Cast: Jung Cheonsa – Kris Wu
Genre: Fluff
Rating: PG – 13
Note: Buat yang belum baca Accidentally Confess mendingan dibaca dulu biar gak bingung. Click Here!



Ia pikir pembicaraan dengan topik Kris dan pengakuan tak sengajanya seminggu yang lalu tidak akan terdengar lagi. Ia kira teman-temannya akan melupakan semua itu dan berhenti menasihatinya tentang ini dan itu. Tapi nyatanya ia salah besar, topik itu masih saja dibahas di tengah ritual makan siang  mereka.



Itu sangat menyebalkan. Membuatnya harus meletakkan sendok dan kehilangan selera makan.




“Oke, aku sudah tidak bisa menahan semua ini.” Nayoung mengganti posisi duduknya, menatap Cheonsa dengan lebih menyudutkan dan semua orang pun melakukan hal yang sama.



Cheonsa mendesah panjang, melirik ke kanan dan ke kirinya. Rupanya tak seorangpun berpihak padanya. Mereka semua menatapnya dengan serius, seolah ia pelaku kriminal.



“Kau menyukainya, Jung Cheonsa! Demi Tuhan! Kau menyukai Kris Wu dan kau malah memberinya jawaban konyol seperti itu? Kau gila, ya?” serang Nayoung dengan nada frustasi yang tak bisa dielakkan.




Yah, semua orang merasa tindakan Cheonsa tidak lucu lagi. Mereka semua benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang gadis itu lakukan. Padahal semuanya juga tahu kalau itulah yang Cheonsa inginkan. Bersama dengan Kris Wu pastinya.




Hara, Sora, Gyuri, Jieun, bahkan Tao mengangguk serempak. Namun sedetik kemudian Tao berhenti mengangguk, ia menyadari sesuatu yang janggal. Ia menoleh dengan cepat sebelum akhirnya melebarkan mata.




“Tunggu.. KAU SUKA KRIS? KRIS WU? PRIA YANG KAU BUAT KESAL SETENGAH MATI ITU?”




Dan begitulah. Tao benar-benar terkejut dengan kenyataan yang baru saja terkuak. Menurutnya ini benar-benar tidak adil. Ia sudah bersama gadis-gadis itu selama dua tahun belakangan. Berbagi meja yang sama tiap makan siang, pergi bersama setiap ada kesempatan, ia bahkan pacar dari Kim Sora, tapi ia tidak tahu kalau Jung Cheonsa menyukai temannya.




Ini tidak adil. Ia pikir gadis-gadis itu menganggapnya sebagai bagian dari mereka, tapi…





Akhirnya Tao pun menggelengkan kepala, berusaha menepikan kekesalannya. Lelaki itu mengembuskan napas dengan panjang, ia kembali bicara.




“Oke. Kau menyukai Kris dan kau mempermainkannya? Maksudku kenapa kau tidak bilang ‘YA’ dan semua akan baik-baik saja?”




Kemudian semua mata beralih menatap Cheonsa yang mendesah keras, kepalanya tertunduk dalam.





“Aku tidak bermaksud begitu, aku…maksudku ini aneh saja. Pengakuannya terlalu tiba-tiba,” ungkap Cheonsa dengan setenang mungkin.





Ia berusaha untuk tidak terkesan membela dirinya sendiri, karena ia tidak bermaksud melakukannya. Ia hanya ingin mengungkapkan apa yang selama ini ada di pikirannya.




Pengakuan Kris malam itu mengejutkan dirinya dan betapa semua itu membuatnya senang bukan main. Namun di sisi lain membuatnya agak takut. Apa Kris benar-benar menyukainya? Pria itu bahkan tak pernah mencoba untuk mendapatkan jawaban apapun setelah malam itu. Pria itu tidak berjuang sama sekali.


Oke, bukan berarti ia ingin sekali melihat Kris mengejarnya dengan penuh harap. Ia hanya ingin tahu seberapa besar kesungguhan pria itu. Apa itu salah?





“Kalau begitu kenapa kau tidak meminta waktu untuk berpikir? Kurasa Kris lebih dari bersedia untuk menunggumu daripada ditanggapi dengan jawabanmu yang super konyol itu,” sahut  Hara yang disetujui oleh semua penghuni meja itu.





Lagi-lagi Cheonsa mengawali ucapannya dengan embusan napas panjang, seolah ia benar-benar tertekan dan hampir gila kalau tidak melakukannya.




“Malam itu benar-benar lucu dan tiba-tiba saja terlintas ide untuk melakukannya. Aku tak mengira kalau balasanku akan membuat semuanya jadi kacau.”




Kemudian semua orang di meja itu menggeleng tidak percaya. Nayoung yang sejak awal sudah terlihat frustasi, tak lagi berminat untuk memberi komentar. Ia sudah muak, mungkin bukan hanya Nayoung, tapi mereka semua. Tidak bisakah sekali saja Jung Cheonsa tidak membuat orang lain kesal?




“Lagipula, ia terkesan sangat pasrah. Kurasa ia tidak benar-benar menyukaiku. Jadi tidak masalah, kan?” lanjut Cheonsa.


 


Tao menggebrak permukaan meja dengan telapak tangannya. Hal itu jelas membuat siapapun terkejut, tak hanya mereka, tapi semua pengunjung kantin yang menghentikan langkah mereka untuk sekedar menoleh. 




Namun Tao tidak peduli dengan orang-orang itu, ia mencondongkan tubuhnya. Mengintimidasi Cheonsa dengan tatapan tajamnya.




“Ia menyukaimu dengan kadar kesungguhan yang tidak pernah bisa kau bayangkan. Kris benar-benar menyukaimu. Kau pikir kenapa aku terus menyuruhmu untuk mengembalikan headset, kaset PS, jaket, atau barang apapun padanya?”




“Demi Tuhan, ia hanya Kris Wu! Pria paling payah kalau sudah dihadapkan dengan urusan mengungkapkan perasaannya.”





Baiklah, jadi itulah alasan Tao senang sekali menyuruh Cheonsa mendatangi Kris untuk mengembalikan beragam benda? Huh, sekarang apa yang harus ia lakukan? Pergi dari tempat itu dan mendatangi Kris? Dan menjadi bodoh?




 Astaga. Tidak, terimakasih.




“Intinya aku tetap tidak mengerti kenapa kau begitu tolol Jung Cheonsa. Kau menyia-nyiakan kesempatan berharga.” Jieun yang dari tadi bungkam akhirnya buka suara. Selama ini ia mencoba untuk memahami alasan Cheonsa, tapi semakin hari ia semakin jengkel dengan temannya itu.




Semua akan lebih mudah kalau Cheonsa bilang ‘YA’. Gadis itu menyukai Kris dan kabar baiknya Kris juga menyukainya. Lalu apa lagi? Kenapa gadis itu malah berulah dan mengacaukan semuanya?




“Tidak juga. Kupikir tidak seburuk itu. Aku hanya membiarkan Kris memikirkan kembali perasaannya dan sepertinya memang tidak seburuk yang kalian pikirkan. Pria yang sedang kalian bela itu selalu berkeliaran dan pamer kemesraan dengan Elena Tan dimana-mana. Jadi apanya yang mempermainkan? Aku hanya–“




Please, jangan bilang kau ingin menangis sekarang. Kau yang membuat semuanya jadi berantakan,” selak Sora yang membuat semua orang mengamati kedua mata Cheonsa.




“Berhenti menatapku seperti itu! Dengar ya, aku tidak merasa menyesal atau apapun. Lagipula aku juga tidak benar-benar menyukainya. Kupikir aku masih–“





“Menyukai Bang Minsoo?” potong Gyuri dengan sinis.



“Serius? Kau masih menyukai pria masa lalumu itu? Pria yang entah ada dimana dan bagaimana keadaannya saat ini? Kupikir kau akan dewasa, menutup masa lalumu, dan hidup di hari ini,” tandas Gyuri tanpa berpikir ulang.




Padahal mereka semua sudah sepakat untuk tidak membahas Bang Minsoo atau sosok manapun yang sempat singgah dalam masa lalu mereka. Namun Gyuri terlalu gemas untuk mengingat kesepakatan tak terucap itu.




Sebelum keadaan semakin kacau dan berpotensi menyulut pertengkaran hebat, akhirnya Tao sebagai satu-satunya pria di meja itu menengahi. Ia melambaikan tangannya, berharap gadis-gadis itu berhenti adu argumen.



“Aku tidak peduli lagi nasib hubunganmu dengan Kris, lagipula kau sendiri yang bilang tidak benar-benar menyukainya, kan? Jadi mulai saat ini aku akan bersikap netral begitupun dengan mereka semua. Kami tidak akan membantumu jika suatu saat kau berubah pikiran. Ingat itu,” kecam Tao dengan tegas dan dingin.



“Tidak masalah. Aku juga tidak akan berubah pikiran.”





****    





Cheonsa POV





Semua ucapanku hari itu bohong dan sekarang aku menderita. Sangat menderita, karena tidak bisa mengatakan perasaanku pada mereka semua. Aku sangat kesal dan menyesal. Membuatku berharap  bisa memutar waktu dan mengulang malam itu. Aku akan memperbaiki kekonyolanku dan langsung menjawab ‘YA’ dengan sangat jelas.





Hari terus berlalu dan Kris terlihat semakin dekat dengan Elena. Aku bisa melihat keduanya dimanapun; di perpustakaan, di lorong, di tangga, pokoknya dimanapun. Memang agak mengerikan. Aku merasa cemburu hanya karena melihat Kris bersama Elena, padahal selama ini mereka tidak hanya berdua. Pasti ada Minseok atau orang lain yang juga panitia acara konferensi yang akan diadakan dua minggu lagi.




Harusnya aku tidak merasa begitu, kan? Seharusnya aku baik-baik saja dan melupakan semuanya. Persis seperti apa yang Kris lakukan, pria itu baik-baik saja. Bahkan saat mata kami bertemu, ia tidak memalingkan wajah dengan ketakutan, ia malah menatapku dengan datar seolah tak pernah ada apa-apa. 



Ini benar-benar tidak adil. Ia bisa baik-baik saja, sementara aku semakin menderita setiap harinya. Berlebihan memang, malah cenderung menggelikan. Tapi itulah yang kurasakan.




Sebelumnya aku tak pernah benar-benar mengerti perasaan patah hati yang dirasakan Nayoung saat putus dengan Kyungsoo atau memahami alasan Sora menangis saat ia dan Tao bertengkar hebat. Aku hanya berusaha memahami perasaan ngilu itu karena kami sama-sama perempuan, tapi sebenarnya aku tidak benar-benar tahu bagaimana rasanya.




Aku dan Bang Minsoo tidak pernah pacaran. Kami memang punya semacam ikatan, tapi ikatan kami terlalu gaib untuk membuatku bisa merasakan perasaan berat yang menumpuk di dalam dada. Sementara yang terjadi saat ini, semuanya terasa nyata. Aku bisa melihat Kris berkeliaran dengan seorang gadis yang sialnya lebih cantik diriku dengan mataku sendiri.





Kuberitahu saja, Elena itu punya sepasang kaki kurus yang jenjang, rambut warna cokelat yang begitu terawat, tubuhnya setipis kertas HVS, dan wajahnya tidak pernah terlihat kusam atau biasa saja. Ia itu Elena.




Hanya gay saja yang tidak suka padanya. Dan kenyataan itu membuatku sangat takut. Bagaimana kalau Kris menyukai Elena dan menyadari kebodohannya karena pernah menyukai gadis serampangan sepertiku?





Gadis serampangan, konyol, dan canggung. Kupikir hanya orang yang tidak punya pilihan lain saja yang mau mengalihkan pandangannya untuk menatapku.



Ckk..Aku berhenti melompat-lompat, menenangkan pikiran-pikiran aneh yang sudah berhasil mengacaukan suasana hati. Sial, dimana sih tangga kecil yang biasanya? Aku harus mengambil buku besar terkutuk yang berbaris rapi di barisan kedua paling atas dan sangat mustahil untuk mengambilnya tanpa bantuan benda itu.




Kemudian aku tercenung begitu ingatan-ingatan brengsek itu datang. Aku teringat sesuatu. Bukankah aku tak pernah menggunakan tangga kecil itu?




Pernah dua kali aku harus mengambil buku di barisan atas, pertama saat aku akan melakukan observasi dan yang kedua adalah ketika aku membutuhkan buku di bagian ‘psikologi klinis’.



Dan tak sekalipun aku menggunakan tangga kecil itu. Kris–entah bagaimana caranya–akan muncul dan menawarkan bantuan dengan ragu-ragu kemudian mengambilkannya untukku. Ia hanya perlu berjinjit dan mengulurkan tangannya kemudian masalahpun selesai.




Ingatan itu membuatku agak sesak dan kurasakan otot rahangku menegang. Aku masih menatap deretan buku paling atas sebelum akhirnya menunduk dan menenggelamkan kepala di antara kedua kaki. Aku terduduk di lantai dingin, seorang diri, dan menangis. Lengkap sudah penderitaanku sebagai gadis malang yang tak bisa berkata jujur.



Astaga. Selama aku hidup, aku tak pernah membayangkan diriku akan menangis untuk seorang pria. Namun sekarang, aku bertingkah seolah hidupku hancur berantakan karena Kris. Menggelikan.




“Hei, apa yang kau lakukan di sini?”



Aku mengangkat kepalaku, mendongak dan mendapati Kris sedang menatapku dengan heran. Kemudian ia kelihatan ngeri begitu menyadari kondisi wajahku. Oh yah, minggu lalu aku baru saja mempermainkan pria ini dan sekarang lihat siapa yang nampak menyedihkan.




“Kau sendiri?” tanyaku tak ingin menjawab pertanyaannya.




Ia mengulurkan sebuah buku dengan sampul biru tua. Aku menatapnya dengan bingung. Itukan bukuku, kenapa bisa ada padanya?




“Tadi Taerin menitipkan buku ini padaku–“ ia berulang kali menyugar rambutnya sambil terus menatap ke sana kemari.




Berhubung kondisi sedang amat kacau, aku langsung menyambar buku itu dan kembali menenggelamkan wajah.



“Terimakasih,” ucapku pelan.




Selama beberapa saat aku tak bergerak, terus menyembunyikan wajah dan tak henti-henti menumpahkan air mata. Begitu aku merasa puas, aku mengangkat kepala. Rasa pening menyerang dan cahaya lampu langsung menusuk pandanganku.



“Yang mana yang mau kau ambil?” suara itu kembali menginterupsi, yang jujur saja membuatku cukup terkejut.




Kris masih berdiri di tempatnya, menatapku kemudian menatap rak buku secara bergantian. Alisnya berjingkat begitu aku tak kunjung menjawabnya.




“Yang itu.” Aku langsung menunjuk buku di barisan atas.




Ia sedang berjinjit dan mengulurkan tangannya untuk mengambil buku yang kumaksud, sambil sesekali menoleh ke arahku.


“Yang ini?”


“Bukan. Dua buku di sebelah tangan kananmu.”



Seperti yang sudah kubilang, ia hanya perlu berjinjit dan mengulurkan tangannya, masalahpun akan selesai dengan cepat.


“Kau menangis hanya karena tidak bisa mengambil buku ini?”




Aku segera mengambil buku besar itu tanpa menghiraukan pertanyaannya. Apa-apaan? Ia pikir aku menangis hanya karena tidak bisa mengambil sebuah buku? Ckk, aku menangis karena dirimu bodoh!



“Kau tahu? Kau hanya perlu  meminta pertolongan seseorang atau tangga kecil untuk mengambilnya,” ucapnya sambil menatapku dengan tak percaya. Seolah benar-benar tak percaya ada seorang gadis berusia dua puluh satu tahun sedang menangis hanya karena tidak bisa mengambil buku di rak atas.





Dan ia menggelengkan kepalanya dengan samar. Yah, mungkin saja ia sedang menyesali perasaannya padaku. Mungkin saja ia baru sadar betapa bodoh dan konyolnya seorang Jung Cheonsa itu. Heol..




“Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Kau tahu–“

 
“Iya iya, terimakasih nasihatnya. Kau bisa pergi sekarang,” kataku tak mau mendengar nasihatnya lebih banyak.




Kemudian pandangan kami bertemu. Tiba-tiba duniaku terasa seperti berguncang dan yang perlu kulakukan adalah berpegang erat pada lantai di bawah. Kepalaku pusing, perutku bergejolak saat mata kami bertemu.




Kris dengan rambut kecokelatan yang melebihi telinga membuatku kesulitan berkonsentrasi. Dan mata hitam pekat itu, kurasa mata itu menyorotku terlalu serius.


“Baiklah, aku duluan.”




Bodoh. Kenapa aku selalu bertingkah menyebalkan, sih?



“Kris!”



Kurasa detik ini aku terlalu emosional, sampai memanggil namanya sekencang itu. Namun mau bagaimana lagi.



Cepat-cepat aku memungut buku bersampul biru dan buku tebal yang tadi Kris ambilkan untukku, kemudian berdiri.




Nyaris aku tersedak ludah sendiri begitu Kris berbalik dan menjatuhkan pandangannya ke manikku. Ia kelihatan sedikit nervous, atau mungkin aku saja yang merasa terlalu nervous hingga menyalah artikan tatapan matanya.




“Ada buku lain yang mau kau ambil?”




Aku tak menjawab, hanya menatap mata hitamnya sambil menarik napas dengan berlebihan. Alisnya berjingkat, kerutan di dahinya menunjukkan padaku kalau tuan di depan ini sedang berupaya membaca pikiranku.




Ia mencoba mengorek arti keheningan di antara kami lewat mataku. Jujur saja tindakannya malah membuatku semakin sulit bicara.




Entah perasaanku saja atau memang benar begitu, Kris berderap ke arahku yang otomatis membuatku melangkah mundur.  Jujur saja pikiranku langsung kacau, tiba-tiba membayangkan sesuatu yang tidak seharusnya. Kris tidak mungkin mengunci tubuh kecil malangku di antara rak buku dan lengannya kemudian menciumku tiba-tiba ‘kan?




“Kris, aku–“




Saking kacaunya pandanganku mengedar ke sana kemari, sampai akhirnya kubiarkan membiarkan terpaku pada deretan buku-buku tebal di rak paling atas.




“Jadi yang mana?”


“Apanya yang mana?”




Aku menatapnya dengan tak sabaran. Aku sedang amat kacau dan ia mengajukan pertanyaan ‘Jadi, yang mana?’, jelas saja membuatku kehilangan kesabaran.




“Buku mana yang mau–“




Aku mengikuti arah pandangannya. Ya ampun! Jadi ia pikir aku memanggilnya untuk minta tolong diambilkan buku, lagi?




“Kau memang menyebalkan, ya. Di suatu malam kau bilang menyukaiku–“


“Tunggu sebentar. Aku tidak bilang, tapi mengetiknya dalam sms,” katanya yang sudah menyandarkan sisi tubuhnya di samping rak buku.




Langsung saja emosiku memuncak. Oh, jadi ia mau bilang apapun yang kubaca dalam sms-nya hanya sebatas rangkaian baris kata yang kosong, yang mungkin saja tidak dipikirkan lebih lanjut saat ia mengetiknya.




“Sekarang aku mengerti. Apapun isi pesanmu malam itu sama sekali tidak ada artinya. Kau tidak benar-benar bermaksud begitu. Ya, kan?” aku kemudian berdecak, mengalihkan pandangan ke sana kemari.





Rasanya malu sekaligus kesal. Mungkin kalau aku bertahan di tempat ini lebih lama lagi, hatiku akan hancur berkeping-keping. Aku menarik napas panjang, kemudian memberanikan diri untuk menatap kedua matanya.



Namun nyaliku menciut, Kris nampak begitu mengintimidasi. Mungkin dalam hatinya sedang mencibir tingkahku yang terlalu percaya diri.




“Oke, mari kita perjelas semua ini.”




Ia menatapku lebih intens bahkan melipat tangannya di depan dada. Menegaskan betapa seriusnya ia kali ini.




Aku menarik napas panjang. Berusaha untuk tetap terkendali dan tidak gagap saat bicara nanti. Kalau dipikir lagi, baru kali ini aku dan Kris bicara seserius ini. Jangankan bicara dalam jarak sedekat dan seserius ini, kami bahkan tidak akrab. Heol, kenapa ironis sekali.




Kenapa pengakuan cintanya malam itu jadi semakin tidak masuk akal? Aku malah makin yakin kalau sebenarnya Kris hanya penasaran denganku , ia tidak benar-benar merasakan perasaan bergetar dan penuh kupu-kupu terbang di perutnya.




“Kau bisa menulis apapun di dalam sms tanpa benar-benar bermaksud begitu. Sama seperti orang yang mengetik ‘LOL’ atau ‘ROTFL’ tapi sebenarnya mereka tidak benar-benar tertawa. Bisa saja kau mengirim pesan itu saat sedang mabuk–“




“Aku sepenuhnya sadar dan serius dengan isi pesan itu.”



“Kalau kau memang serius kenapa tidak bertanya apapun padaku? Kenapa tidak melakukan apapun untuk membuatku tidak salah sangka?” kata-kata itu terucap begitu saja.




Kerutan di dahinya mengendur dan tangannya bergerak menyugar rambutnya. Kris menatapku dengan pasrah sambil melenguh panjang.



“Responmu malam itu juga menyebalkan.”



Sebelum aku berhasil mengeluarkan suara, ia menggeleng dengan penuh penghayatan. Seolah sudah melatihnya dari jauh-jauh hari. Kemudian ia bicara lagi.




“Sebenarnya aku hanya memberimu kesempatan untuk memikirkan kembali diskusi kita malam itu. Aku akan menanyakan jawabanmu. Lagi.



“Ya. Aku menyukaimu, kok. Aku hanya ingin membuat ini lebih efisien,” kataku tepat setelah Kris menyelesaikan kata terakhirnya.  




Oke, ini benar-benar gila. Tapi aku tak mau lebih gila kalau tak merengkuh kesempatan kedua yang ada di depan mata. Tak semua orang bisa mendapat kesempatan kedua, kan?




“Aku sudah memikirkannya dengan baik. Sebenarnya aku tak perlu banyak berpikir tentang perasaanku karena jauh sebelum malam pengakuan itu aku sudah menyukaimu.”



“Jadi, kau sudah menyukaiku jauh sebelum malam itu? Sejak kapan tepatnya?”


Aku baru sadar kalau aku terlalu banyak bicara. Seharusnya bagian ‘aku sudah menyukaimu jauh sebelum malam itu’ tak perlu kukatakan.  Aku segera mengalihkan pandanganku.




“Sejak kapan? Sejak…”




Aku menatapnya dengan kesal, persis seperti dugaanku ia sedang menyengir penuh kemenangan. Mungkin malam itu ia tampak konyol di mataku, tapi hari ini aku jauh lebih konyol di matanya. Karma macam apa ini?



“Oke, lupakan masalah itu,” katanya mencoba meredakan kekesalanku.



“Tapi aku masih penasaran. Kalau kau memang menyukaiku, kenapa malam itu kau sangat menyebalkan?”



Aku sudah menduganya. Cepat atau lambat Kris akan mengajukan pertanyaan seperti itu.



“Aku hanya….”



Suaraku merendah, nyaris berbisik malah. Dan hal itu membuat Kris mencondongkan wajahnya ke arahku.




“Aku hanya merasa sedikit terkejut, senang, takut, dan merasa terhibur. Malam itu pertama kalinya kau mengirimiku pesan.”




“Terhibur?” ia menatapku, menuntut penjelasan.




“Yah, jelas terhibur. Kau salah mengirim pesan dan secara tidak sengaja mengakui perasaanmu. Itu sangat lucu dan juga membuatku salah tingkah. Tapi kemudian aku ingat kau tak pernah benar-benar mengenalku atau sebaliknya,” jelasku.



Ia masih mengerutkan dahi, seolah penjelasanku itu belum cukup memuaskan rasa ingin tahunya. Aku mendesah panjang. 



“Maksudku pengakuanmu malam itu sedikit tidak masuk akal–“



“Kalau begitu ayo,” katanya sambil mengulurkan telapak tangannya.



 “Kemana?” kataku sambil menatapnya bingung.




Let’s get to know each other better.”




END



Sebenernya ff ini udh diketik sehari setelah aku baca ff Accidentally Confess yang ditulis Salsa, terus banyak ide yang mampir sampe kebingungan untuk nentuin yang mana yang harus ditulis. Karena itu aku jadi bingung dan akhirnya proses nulis pun ketunda dan aku tinggalin deh ff ini di tengah jalan. Udah basi aja. Males. Bingung juga.



Tapi berkat satu ff yang kubaca beberapa hari lalu, aku jadi pengen nulis. Tapi berhubung aku masih banyak tugas, aku ngerasa takut gak bisa nyelesain satu tulisan. Terus keinget ff ini yang menumpuk bersama file dengan judul absurd. Ohoo!! Akhirnya aku mutusin buat lanjutin ff ini. Yah, lanjutin setengahnya.



Ya udah deh, itu aja dari aku. terimakasih buat yang udah bersedia baca. Kalau ada yang ngasih kritik dan saran tinggal tulis aja di kolom komentar yaa.. 




See You,

GSB








Comments

Popular Posts