Hello Chingu - Part 7






Minsoo mengerang begitu hendak bangun dari tidurnya. Kepalanya seperti habis dihantam sesuatu. Pening dan terasa berat. Matanya mengerjap-kerjap, menatap ke seluruh penjuru ruangan semampunya.



Ia berada di kamarnya. Ia kemudian mengamati ranjang tempatnya berbaring, bertanya-tanya bagaimana caranya ia bisa tidur di sana. Tunggu, ia menatap lantai yang tak jauh dari tempatnya berbaring. Ia atengah berbaring di ranjang bawah, ranjang milik Cheonsa.





Ia langsung bangun, memaksa tubuh lemasnya untuk berdiri. Ia melongokkan pandangan ke ranjang atas. Gadis itu tidak ada di sana. Langsung saja ia menyeret kakinya menuju kamar mandi, mengintip apakah gadis itu ada di dalam sana.




Namun nihil, gadis itu tidak kelihatan dimana-mana.




Ia hampir sampai di dekat pintu, namun kepalanya berdenyut lagi. Akhirnya ia menyandarkan kepalanya ke dinding. Ini memang salahnya, tidak seharusnya ia minum-minum sebanyak tadi malam.




Tunggu, ia mulai bisa mengingat kilasan samar tadi malam. Ia kemarin pulang diantar oleh salah seorang petugas kelab, kemudian berjalan sendiri menuju kamar.  Saat ia sampai di kamar, seseorang membantunya berbaring sambil mengomeli tingkahnya.




Kumohon tidur. Jangan membuatku kehilangan kesabaran, mengerti?




Ia memijat dahinya, frustasi karena tak bisa mengingat kejadian selanjutnya. Tangannya berhenti begitu menemukan selembar kertas post-it menempel di dahinya.




Aku hanya pergi membeli sarapan, jangan pergi kemana-mana.
Lebih baik kau mandi dan ganti bajumu yang bau itu.
Jadilah anak manis, mengerti?

-JCS-




Minsoo menempelkan kertas itu di cermin, kemudian bergegas mengambil peralatan mandi. Yah, Jung Cheonsa memintanya menjadi anak manis, lagipula bajunya memang bau sekali terlebih aroma napasnya.




Kira-kira apa saja yang ia katakan pada gadis itu semalam? Namjoon bilang saat ia mabuk berat, ia bisa mengatakan apa saja, entah itu masalah yang mengganggunya atau lelucon-lelucon menggelikan. 




****  





Matanya mengedar ke sekitar ruangan, dengan langkah canggung menyusuri ruangan berukuran sedang itu sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Minsoo sudah selesai mandi dan berpakaian, namun sampai saat ini Cheonsa belum juga kembali.




Jangan-jangan gadis itu tersesat di suatu tempat. Minsoo tak bisa menghentikan pikiran-pikiran buruk seperti itu berkeliaran di kepalanya. Ia langsung mengambil ponselnya, mencoba menghubungi gadis itu tapi naas Cheonsa malah meninggalkan ponselnya di atas nakas.




Jenius sekali gadis itu.




Akhirnya ia pun memutuskan untuk membereskan barang-barangnya selagi menunggu kedatangan Cheonsa. Ia memasukkan pakaian kotor dan beberapa barang ke dalam tas. Ia hanya mengecek sebentar daftar panggilan tak terjawab di ponselnya, kemudian memasukkan benda itu ke saku celana.





Ia melirik jam bundar yang melekat di dinding dekat lorong menuju kamar mandi. Ia akan menunggu sampai lima belas menit lagi. Kalau dalam lima belas menit gadis itu belum juga kembali, ia akan keluar dan mencarinya. Persetan dengan berdiam di kamar dan menjadi anak manis. Ia bahkan tak pernah memedulikan perintah ayahnya untuk jadi anak baik-baik, malah kabur dari rumah dan menjadi berandalan.




Seketika ia teringat percakapannya dengan Hyunra beberapa hari belakangan. Gadis itu bilang ia harus pulang, ibunya sedang sakit dan ingin bertemu dengannya. Tapi ia sudah berjanji pada ayahnya tak akan menginjakkan kakinya di rumah itu lagi. Ia sudah mengucapkan janji itu dengan yakin di hari ia meninggalkan rumah tersebut.




Ia tak bisa mengingkari janjinya hanya karena merasa rindu.




Ia merindukan semua anggota keluarganya; ibunya, kakak perempuannya, bahkan ayahnya. Tapi ia sudah kadung malu dan tak mau semakin malu kalau mengingkari janjinya. Ia tidak akan pernah kembali ke sana. Tidak akan.




Ia buru-buru mengusap air matanya begitu pintu kamar terbuka, kemudian suara gadis bersenandung terdengar.



“Ah.. Uri Minsoo sudah mandi? Good boy!




Cheonsa mengacak rambutnya, kemudian bersenandung lagi sembari meletakkan plastik belanjaannya di atas lantai.




“Minsoo lihat ini! Nuna bawa sesuatu. Ini lihat aku membelikan sup untukmu,” ucap gadis itu lagi dengan suara melengking yang dibuat-buat.




Sebenarnya apa sih yang terjadi semalam? Kenapa tiba-tiba Jung Cheonsa memperlakukannya seperti anak kecil?




Melihatnya terlalu lama melamun, Cheonsa langsung menarik tangannya, memaksanya untuk menggenggam sendok yang tergeletak di sebelah mangkuk styrofoam berisi supnya.



“Minsoo kenapa? Ayo dimakan supnya, nanti keburu dingin,” kata Cheonsa sambil mengerjap-kerjapkan matanya.



“Oh ya, Nuna juga punya sekotak susu untukmu. Hore! Sekarang ayo kita mulai makan.” Cheonsa menyodorkan sekotak susu ke arahnya kemudian mengambil satu kotak lagi untuk dirinya sendiri.




Cheonsa membuka plastik makanan miliknya, mengeluarkan beragam roti seperti croissant, baguette, dan brioche. Gadis itu melahap rotinya sambil menyesap susu dari karton miliknya.




Gadis itu terlihat agak aneh, sangat aneh sebenarnya.





Minsoo bukannya tidak suka, ia sangat menyukainya. Tapi tetap saja, cara Cheonsa menatapnya kali ini membuatnya jengkel.


Cukup Bang Minji saja yang memperlakukannya seperti anak bayi.


“Kau terbentur sesuatu saat di perjalanan tadi? Sikapmu aneh sekali,” protesnya sambil menguyah sup krimnya yang masih hangat.




Cheonsa hanya melirik sekilas kemudian mengangkat bahu, tak terlalu memedulikan dirinya. Yang dilakukannya hanyalah mengunyah dan terus meminum susunya.




“Minsoo-aa, tidak boleh bicara sekasar itu pada orang yang lebih tua. Ti-dak bo-leh!” Cheonsa menggoyang-goyangkan telunjuknya, mendiktenya persis guru tk sedang menasihati muridnya untuk tidak pipis di sembarang tempat.




Minsoo mendesah panjang, benar-benar kehilangan kesabaran. Ia memasukkan sendok berisi sup kemudian memasukkan lagi sampai mulutnya penuh.


“Cheonsa aku–“




Gadis itu kembali menggoyang-goyangkan telunjuknya, “No-no-no, panggil aku Cheonsa Nuna.”




“Aku bukan anak kecil dan kau bukan kakakku! Bisa tidak kita bicara seperti biasa?”


“Tapi tingkahmu seperti anak kecil. Maksudku tingkahmu yang semalam itu kekanakan,” sahut Cheonsa sambil mengunyah croissantnya.




Mendengar jawaban Cheonsa membuatnya kehilangan nafsu makan, Minsoo meminum susunya hingga tandas. Lalu menatap gadis itu dengan tatapan nanar.




“Kalau kau tidak kekanakan kau tidak akan mabuk-mabukan seperti tadi malam.”


“Aku bisa jelaskan–“




NO! You said you will be okay, right? But.. last night you were too drunk, too desperate, and–GOD! You can tell me everything! You’re not alone, I’m here with you!



“Kau tahu bagaimana perasaanku saat tidak menemukanmu dimana-mana? Aku takut kau hilang di suatu tempat, dipukuli orang-orang tak dikenal atau bahaya yang lainnya. Aku panik!”




“Cheonsa. Aku..minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu khawatir,” kata Minsoo berusaha menenangkan gadis di depannya.



“Aku tidak mengkhawatirkanmu aku hanya panik! Khawatir dan panik itu berbeda! Jangan salah paham!”




Akhirnya Minsoo mengalah, ia mengangguk-anggukkan kepalanya, mencoba menatap mata gadis itu, berusaha untuk membuat emosinya lebih stabil.



 
“Aku minta maaf. Yang terpenting sekarang aku di sini dan baik-baik saja,” ujarnya.


Memaksa gadis itu untuk memperhatikan wajahnya dan kondisi tubuhnya. Ia baik-baik saja dan ia ingin Cheonsa mengetahuinya.




“Tidak ada hal buruk yang terjadi padaku. Tidak ada yang memukuliku–“


“Kau sedang beruntung saja. Ingat, orang mabuk tidak akan sadar saat membuat kekacauan.” Gadis itu menolak untuk menatapnya, menundukkan pandangannya dalam-dalam.




Minsoo mengamati gadis itu, entah kenapa dadanya merasa hangat tiba-tiba. Gadis itu mengkhawatirkannya walaupun gadis itu terus mengelak. Yah, gadis itu beralasan kalau dirinya hanya panik. Namun seseorang tidak akan panik kalau tidak merasa cemas atau khawatir.




Ia mendekat ke arah Cheonsa, kemudian mengecup puncak kepalanya. “Aku akan baik-baik saja. Kali ini, aku berjanji dengan sungguh-sungguh.”



Cheonsa langsung mendorong tubuhnya menjauh, terlihat kaget dengan kecupan singkat yang ia bubuhkan di puncak kepalanya.


Lihatlah mata melotot dan ekspresi terkejutnya. Ckk, padahal mereka pernah berciuman sebelumnya.



“Apa yang kau lakukan, hah? Sudah bosan hidup?”




Minsoo hanya mengangkat bahunya dengan santai, kembali mencondongkan tubuhnya ke arah gadis yang masih bersungut kesal.



Ia melingkari kedua lengannya di sekitar tubuh mungil itu, memeluknya dengan hati-hati.




“Beginilah biasanya aku memperlakukan kakakku. Arraseo Cheonsa Nuna?”




****  





Setelah menghabiskan makanannya, ia dan Cheonsa kembali berpetualang. Seperti janjinya kemarin, ia membawa Cheonsa ke tempat-tempat yang belum sempat mereka kunjungi.





Sepanjang perjalanan Cheonsa tak berhenti mengekspresikan rasa takjubnya pada keindahan pemandangan bangunan antik yang tertangkap matanya. Gadis itu menatap takjub Prague Castle, kemudian berlarian untuk melihat bangunan itu lebih dekat.



“Ini benar-benar mirip kastil yang ada di buku dongeng! Minsoo lihat! Kastil di kartun Disney pun hampir seperti ini bentuknya!”




Cheonsa terlihat begitu antusias, langkahnya nampak sangat ringan dan wajahnya amat girang. Melihat pemandangan seperti itu menguapkan rasa sesak yang sejak lama menumpuk di dalam dada Minsoo. Suara tercekat gadis itu ketika dibuat terpukau untuk kesekian kalinya oleh kemegahan bangunan kastil, Minsoo rasa siapa pun yang mendengarnya akan tersenyum dan menggelengkan kepala dengan gemas.





Meski pening yang ia rasakan belum sepenuhnya hilang, melihat gadis itu berlari dari satu titik ke titik lain dengan mulut menganga lebar membuat Minsoo tak keberatan untuk berlarian di belakangnya. Well, Minsoo tidak berlari, namun berjalan secepat yang ia mampu saja.




“Cap! Ke sini!”



Cheonsa melambaikan tangannya, memacu langkahnya dua kali lebih cepat. Mereka sedang berada di atas Charles Bridge, bergabung dengan wisatawan lain yang tengah melintas atau mengabadikan foto mereka di salah satu spot terbaik.



Minsoo menghampiri Cheonsa yang tengah mencengkeram tembok pembatas dengan erat, kepalanya melongok ke bawah, mengamati aliran sungai Vlatava yang tenang.




“Bagaimana perasaanmu sekarang?” gadis itu berbalik badan, menatapnya dengan rasa ingin tahu.




“Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Dari tadi siapa yang berlarian seperti bocah kecil?”




“Maafkan aku yang kampungan ini. Jangan salahkan aku! Pemandangan ini terlalu indah dan aku belum pernah melihatnya secara langsung. Bisa menginjakkan kaki di sini, menghirup udara segar di tempat ini, aku bersyukur tidak melewatkan Praha. Eh.. Ngomong-ngomong kau belum menjawab pertanyaanku!”




Minsoo berdecak, sulit sekali mengalihkan topik pembicaraan dengan gadis di depannya. Ia bukannya ingin mempertahankan kesan misterius yang orang-orang katakan tentang dirinya, namun ia juga tak terbiasa mengutarakan isi hatinya pada orang lain. Lagipula di saat ia menjawab pertanyaan itu, ia yakin Cheonsa akan melontarkan pertanyaan selanjutnya. Satu pertanyaan mengundang pertanyaan lainnya.




Ia hanya tidak siap menguak kebenaran tentang dirinya pada Cheonsa. Jujur saja ia takut, takut menghancurkan imajinasi menakjubkan yang selama ini Cheonsa pikirkan tentang dirinya.




Tapi tetap saja kan, tanpa menguak itu semua gambaran Cheonsa tentang dirinya di masa lalupun mulai bias melihat bagaimana penampilan dirinya sekarang.




“Melihatmu berlarian seperti anak kampungan membuatku senang, bangga sih lebih tepatnya. Aku jadi tahu aku sudah melaksanakan tugasku dengan baik,” jawab Minsoo tanpa mengungkit sedikitpun tentang ‘masalahnya’.



Cheonsa langsung menyikut perutnya, “Menurutmu aku kelihatan sangat kampungan? Walaupun iya, tak seharusnya kau mengatakan yang sebenarnya. Apalagi pada seorang gadis, itu tidak sopan.” Gadis itu bersungut-sungut, namun beberapa detik kemudian seulas senyum terbit di wajahnya.




“Kukira julukan ‘pemandu terbaik’ yang kau sombongkan itu ada benarnya,” ungkap Cheonsa sebelum memalingkan wajahnya ke aliran sungai di bawah mereka.


Angin senja pelan-pelan menggelitik wajahnya, menggodanya untuk mengulas senyum lebar. Entah kenapa setelah berulang kali berpergian di sekitar Eropa, Praha kini menjadi kota tercantik yang pernah dilihatnya.




Minsoo ikut menatap ke arah matahari mulai terbenam. Praha akan tetap selalu menjadi Praha yang cantik dan menawan, namun karena senyum gadis di sebelahnya Praha terlihat punya pesona yang lebih  istimewa.   



****  




Cheonsa dan Minsoo sudah meninggalkan penginapan sekitar satu setengah jam lalu. Sebenarnya jarak penginapan ke bandara tidak terlalu jauh, mungkin hanya memakan waktu perjalanan sekitar tiga puluh menit. Namun karena harus check in dan melewati pemeriksaan bagasi, belum lagi ada masalah teknis yang memakan butuh waktu satu jam lebih hingga akhirnya bisa duduk dengan santai di dalam pesawat.




Pesawat baru lepas landas pukul delapan lewat lebih lima belas menit dan kira-kira akan sampai pukul sembilan lewat empat puluh lima menit. Itupun kalau perhitungannya benar. Tadi Minsoo bilang perjalanan dari Praha ke Venezia hanya butuh waktu satu setengah jam.




Tidak, mereka tidak akan ke Venezia karena rombongan tur Yongguk sudah sampai di Roma dua hari yang lalu. Kembali ke perhitungan waktu ‘mereka akan sampai’ versi Jung Cheonsa.




Berhubung Minsoo bilang waktu tempuh Praha-Venezia hanya satu setengah jam, Cheonsa berasumsi Praha-Roma tak akan terlalu berbeda. Venezia dan Roma itu kan sama-sama kota di Italia.



Yah, itu hanya perkiraan logikanya yang sok tahu saja. Ia bahkan tidak tahu seberapa dekat Venezia ke Roma atau lebih dekat mana Praha ke Venezia atau Praha ke Roma. Cheonsa kemudian menggelengkan kepala, tiba-tiba merasa pening. Ya Tuhan, inilah akibatnya kalau ia suka mengira-ngira waktu dan jarak.




Untuk mengalihkan minatnya pada perkiraan waktu dan jarak, ia  melirik pria di sebelahnya (yang ngomong-ngomong tengah menatap layar ponsel dengan dahi berkerut). Cheonsa kemudian mendengar suara desahan panjang dari orang di sebelahnya.




“Sebenarnya kau punya masalah apa, sih?”




Minsoo menoleh bingung, wajahnya masih tegang seperti sebelumnya.




“Oke, kalau begitu kuganti saja pertanyaannya. Apa masalahmu sangat berat sampai kau mabuk-mabukan seperti tadi malam?”




Pria itu meliriknya dan ponsel di genggaman bergantian, kemudian menghela panjang dan mengabaikan ponselnya. Cheonsa rasa pria itu sedikit demi sedikit mau membicarakan masalahnya. Yah, ia hanya perlu bersabar untuk mendengar ceritanya.




Cih, siapa yang sebelumnya mati-matian bilang tak mau mencampuri urusan orang lain?




Minsoo menatap ke depan menarik napas panjang sebelum memberi jawaban sambil menganggukkan kepala.




“Ya, berat. Sangat. Mungkin kau akan langsung membayangkan aku punya tumpukan utang yang mesti dibayar atau orang tuaku menderita karena anak lelakinya jadi buronan dan kabur ke Eropa. Tapi masalahku tidak seperti itu,” jawab Minsoo.




Cheonsa mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Minsoo.



“Memangnya masalahmu seperti apa? Coba beritahu aku.”




Minsoo menoleh ke arahnya, “Kau tahu? Rasa penasaran itu awal dari sebuah ketertarikan. Kusarankan saja, jangan terlalu penasaran padaku,” kata pria itu dengan senyum jahil yang melekat di wajahnya.




“Siapa suruh mabuk-mabukan dan bertingkah seperti orang malang? Sudahlah, jawab saja pertanyaanku. Jangan mengalihkan pembicaraan!”




Dan pada akhirnya Minsoo memejamkan mata. Cheonsa tidak bisa dialihkan begitu saja. kalau pria itu tidak ingin membicarakan masalahnya, yang perlu ia lakukan adalah memejamkan mata dan tidur dengan lelap. Namun sialnya Minsoo tidak ingin tidur.




“Begini, mungkin apa yang kukatakan nanti akan menghancurkan pendapatmu tentang Bang Minsoo yang menggemaskan–“


“Tanpa mendengar ceritamu pun, pendapatku tentang dirimu sudah berubah.” Kemudian mereka saling bertatapan.



“Lagipula waktu itu aku tidak benar-benar berteman denganmu, dulu kita tidak pernah bicara seperti ini. Maksudku benar-benar bicara seperti dua orang yang saling mengenal. Jadi pendapatku bisa saja salah karena aku belum mengenal dirimu, ibaratnya aku hanya melihat lapisan paling luar dari seorang Bang Minsoo. Now, tell your story,” papar Cheonsa dengan lebih serius. Ia sudah benar-benar penasaran.

“Baiklah..”



“Ini berawal dari ketertarikanku pada mural. Aku melihat banyak karya mural di tembok-tembok sekitar tempat tinggalku dulu. Singkat kata aku bergabung di sebuah komunitas, pokoknya aku sangat bahagia dan punya banyak teman.”



“Kemudian aku bertemu dengan Kenzi, salah satu orang yang paling disegani dalam kelompok. Ia bilang karyaku cukup menarik, aku harus mengasah kemampuanku dengan lebih serius kalau mau membuat karya yang lebih menakjubkan. Seiring berjalannya waktu, Minji Nuna yang sesekali menjemputku setelah kegiatan kelompok usai, berkenalan dengan Kenzi dan kau tahu kan apa yang terjadi? Mereka menjalin hubungan.”





Cheonsa mengangguk, tingkat penasarannya bertambah dari detik demi detik.





“Ayahku sangat menentang hubungan mereka karena Kenzi memang bukan idola para ayah. Kenzi itu punya banyak tato di usianya yang baru dua puluh tahun, tindikan di telinganya membuat ayahku terkejut setengah mati, dan sikapnya juga berandalan. Tapi waktu itu aku terlalu naif, aku membelanya mati-matian. Aku bilang setidaknya Kenzi bisa memahami keinginan kakakku, setidaknya Kenzi tidak menekan Minji Nuna untuk menjadi ini dan itu.”





“Masalah demi masalah pun datang. Ayahku menemukan tato pertamaku, di punggung. Kau mau lihat?”




Cheonsa memutar bola matanya dengan jengkel, “Nanti saja. Lanjutkan ceritamu!”




“Nilaiku menurun, aku pernah ketahuan merokok, bertengkar dengan anggota komunitas, kakakku sering pulang larut malam. Puncak masalahnya adalah waktu aku merayakan kemenanganku di sebuah kompetisi, aku minum-minum dan terlalu mabuk untuk menghiraukan suara dering ponsel–“




Minsoo mengalihkan pandangannya, ia melempar pandangannya jauh ke depan. Mengilas balik kejadian tujuh tahun silam dengan getir.




“–aku tak sadarkan diri di salah satu sudut kelab dan teman-temanku yang lain tak kalah parah. Mungkin jika aku mau berusaha lebih keras, mengumpulkan kesadaran, dan menjawab panggilan itu ceritanya akan berbeda. Tapi nyatanya aku mengabaikan panggilan itu dan tak sadarkan diri.”





Minsoo menghirup udara sebanyak-banyaknya, entah kenapa dadanya terasa sesak tiba-tiba. Sudut-sudut matanya mulut perih dan genangan air di pelupuk mata sudah siap menggelincir.





“Andai saja aku menjawab telepon itu, kejadiannya pasti akan berbeda. Kalau aku tidak egois dan mau berusaha sedikit lebih keras mungkin aku bisa mendengar jerit minta tolong kakakku di detik-detik terakhir sebelum Kenzi memerkosanya. Aku–“




Karena tak kuat lagi menahan airmatanya, pada akhirnya titik tu mengalir deras membuat dadanya semakin sesak dan tubuhnya gemetaran.



Cheonsa yang melihat merasa bersalah sekaligus simpati. Ia langsung mengelus-elas punggung pria itu, meski ia tahu tindakannya tidak berarti sama sekali.




“Seharusnya aku menjawab panggilannya, mendengar jeritan minta tolongnya, dan langsung pergi untuk menyelematkannya. Tapi tidak, aku malah tidur di lorong dekat kamar mandi dan baru sadar keesokan harinya. Aku menemukan sepuluh panggilan tak terjawab dari nomor yang sama, serta deretan pesan yang juga dikirim oleh nomor yang sama. Kakakku. Ia sudah memintaku untuk menjemputnya, ia sudah menuliskannya di pesan yang ia kirim satu jam sebelum akhirnya ia menelepon.”




Cheonsa bergeming, ia benar-benar tidak menyangka pria di sebelahnya punya cerita seperti itu. Ia merapatkan tubuhnya ke arah Minsoo, lantas mengusap-usap tangan pria itu.




“Ayahku benar-benar marah. Ia membenciku dan aku sadar ia berhak untuk itu. Tapi waktu itu aku sangat egois, aku memberontak apalagi saat ia melarangku untuk melanjutkan kegiatan mural. Aku jadi membencinya, namun aku tahu sebenarnya aku hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa satu-satunya orang yang patut kubenci adalah diriku sendiri.” Pria itu masih mengoceh, suaranya bergetar di pundak Cheonsa.




“Setelah lulus SMA ia melarangku untuk masuk jurusan desain grafis, ia bilang tidak akan membayar biaya kuliahku jikalau aku nekat masuk. Dan aku menantangnya yang lalu dijawabnya dengan tantangan yang lebih besar. Ia bilang aku harus angkat kaki kalau memang mau nekat, aku langsung mengiyakan keinginannya. Aku bilang aku akan pergi dari rumah itu, aku akan pergi jauh dan meraih cita-citaku. Aku tak akan kembali lagi ke sana,” tuturnya lagi.




Cheonsa menarik tubuhnya, menatap mata Minsoo dengan terkejut. Namun pria itu mengalihkan pandangan, menyeka jejak air mata di pipinya.





Pria itu menarik-membuang napas dengan panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Juga berulang kali mendeham-dehamkan suara.





“Lihat? Bercerita itu lebih efektif membuang keresahan. Jadi, jangan sungkan untuk menemuiku kalau kau punya masalah. Aku pendengar yang baik, kok,” kata Cheonsa dengan bangga. Ia ingin mengenyahkan situasi rikuh di antara mereka.




Minsoo berdecak, “Yah, dan membiarkan semua rahasiaku terkuak. Memalukan sekali. Kau punya jurus apa sih sampai membuatku menceritakan semuanya?”




“Aku kan Angel-nya semua orang!”



Minsoo mendorong kepalanya kemudian berdecak lagi.




“Kali ini kubiarkan. Ini kompensasi untuk seseorang yang baru saja menangis dengan khusyuk.” Ia melirik Minsoo kemudian tawanya meledak, membuat pria itu jengkel dan berusaha membekap mulutnya.





Beruntung pesawat yang mereka tumpangi tidak mengangkut banyak penumpang, hanya terlihat beberapa deret tempat duduk yang terisi. Seandainya pesawat itu penuh pasti mereka sudah dilempari barang dari berbagai arah.



TBC 


Senengnya bisa updet ff ini lagi. okeh.. berhubung laptop aku mulai moodian, nanti bisa nyalah - nanti enggak aku bakal updet selagi laptop unyu ini bisa diajak kerjasama. 

Oiya untuk updetan selanjutnya, mungkin akan sesegera mungkin dipublish sebelum laptopku makin eror dan bikin aku tambah males updet. Buat yang udah masuk sekolah esok hari, semangat yahh.. aku di sini juga pernah ngerasain kok... 

Baiklah..itu aja untuk hari ini. Terimakasih semuanya---



Thanks, 


GSB

Comments

Popular Posts