Dear My Rival (2nd battle)
Wonwoo dengan enggan masuk ke
ruang siaran. Ia sudah menolak ajakan Wendy berulang kali, tapi gadis itu tetap
memaksa. Wendy terus menggunakan jabatannya (Ketua UKM Radio) sebagai senjata.
“Tenang saja! Aku ketuanya. Tidak
akan ada yang mengusirmu,” kata Wendy sambil menyalakan lampu.
Wonwoo hanya diam selagi Wendy
menyiapkan perlengkapan siaran. Gadis itu menekan beberapa tombol dan
menghidupkan komputer—sambil menceritakan keadaan UKM selama setahun
belakangan, tanpa diminta.
“Wendy?”
Tiba-tiba seseorang memanggilnya
dari ambang pintu. Itu Changjo, si wakil ketua UKM Radio. Sebagai tamu, Wonwoo refleks
berdiri.
“Hei!” sapa Wendy.
“Tidak ada waktu untuk ‘Hei’. Ayo
ikut aku!” Changjo melirik Wonwoo—yang saat itu tengah tersenyum, berusaha menampilkan
kesan bersahabat. Namun tentu saja diabaikan. Changjo bukan orang yang tepat untuk diajak bersahabat, terlebih
apabila kau tergabung sebagai anggota partai kampus. Hell No, Changjo benci partai kampus. Changjo benci apa pun yang
berbau politik.
“Aku tak percaya kau membawanya
masuk ke ruang siaran.”
“Memangnya kenapa? Itu Wonwoo.
Dia pernah menjadi anggota UKM Radio,” bela Wendy.
Changjo menggeleng, seolah Wendy
begitu bodoh.
Mereka berdua berdebat di luar
ruang siaran, persis di sebelah jendela. Dan Wonwoo bisa mendengar semuanya
dengan jelas, terlalu jelas sampai pria itu ingin menangis. Apa mereka sengaja
membuat Wonwoo tidak nyaman? Bahkan untuk sekedar menarik napas di ruangan ini
saja, Wonwoo jadi merasa tidak enak.
“Tapi dia bukan bagian dari kita
lagi.”
“Oh ayolah! Ini bukan masalah
besar, aku cuma mengajaknya melihat kita siaran. Bukankah itu bagus jika dia
tertarik untuk…..”
“Dia anak buahnya si besar
bengis, Wen. Kukira kau sudah setuju dengan prinsip ‘bebas politik’ kita,”
potong Changjo.
“Apa?”
Melihat Wendy meneriakkan kata
‘apa’ seperti orang bodoh, Changjo langsung tertawa sinis. “Dan sekarang kau
lupa dengan prinsip kita?”
“Bukan. Tentu saja aku ingat
prinsip kita!”
“Lalu apanya yang 'Apa'?”
“Wonwoo anggota Solidarity of DIMA?”
“Yeah, partai mana lagi yang
dipimpin oleh si besar bengis?”
“Aku sama sekali tidak tahu. Dia
tak pernah memakai jaket partainya, atau pin merah, atau apa pun. Dia tidak
pernah bicara soal partai padaku.”
“Begitulah cara kerja orang
politik, melakukan hal kotor dengan cara bersih. Dia hanya ingin mendapat
simpatimu, lalu pada akhirnya akan meminta hal yang sama seperti Hyo Jin, ‘bolehkah calon senat dari partaiku berkampanye
di radiomu?’,” kata Changjo dengan nada yang dibuat-buat, kemudian berdecak.
Saat Wendy berbalik, ia melihat
kepala Wonwoo menyembul dari balik pintu.
“Hei,” kata Wonwoo canggung.
“Hei,” balas Wendy tak kalah
canggung, ia melirik Changjo—yang menatap Wonwoo seolah mereka bermusuhan sejak bayi—dan memaksanya untuk tersenyum.
“Kurasa aku tidak bisa lama-lama
di sini,” kata Wonwoo, sepenuhnya keluar dari balik pintu.
“Kurasa juga begitu,” sambut
Changjo sarkas. Wendy menyikut perutnya.
“Ada apa? Kau bahkan belum
melihat kami siaran.”
“Aku ada urusan mendadak,” karang
Wonwoo. “Daniel meneleponku, dia ingin membicarakan soal proyek lagu untuk tugas
akhir. Maaf sekali, Wen. Mungkin lain kali.”
“Mungkin tidak.” Changjo
lagi-lagi menyahut. Wendy menahan diri untuk tidak melakukan salto ke belakang
dan menendang mulut Changjo. Sebagai gantinya, gadis itu hanya menatap Changjo
dengan tatapan sengit.
Wonwoo tak menanggapi. Ia cuma mengulum senyum,
kemudian berlalu.
Setidaknya dia sudah tahu
bagaimana keadaan bangunan UKM radio sekarang ini, yang ternyata masih sama persis seperti yang terakhir
kali ia lihat. Gantungan logam alumuniumnya masih tergantung di sana, masih
bergemerincing tiap tertiup angin. Sofa kulit yang umurnya jauh di atas Wonwoo
juga masih ada, dulu dia biasa bermain gitar di situ, atau di lantai di
depannya. Intro radionya bahkan masih sama. Mengetahui itu semua sudah cukup
bagi Wonwoo, kerinduannya terobati. Bagaimana pun bangunan UKM radio pernah
menjadi tempat favoritnya.
“Kau sungguh tak tahu dia anak
partai merah?” tanya Changjo begitu Wonwoo pergi.
Wendy menggeleng.
“Bagaimana bisa?!”
“Sederhana saja. Dia tidak
memberitahuku dan aku tidak bertanya.”
“Kau harus mulai waspada dengan
siapa pun yang mendekatimu! Tch.. yang tadi nyaris saja!”
“Nyaris apa? Wonwoo tak akan
melakukan apa-apa! Bagaimana jika dia murni ingin berteman denganku? Ini semua
bahkan bukan idenya, aku yang mengajak Wonwoo ke sini.”
“Apa kau menyukainya?”
“Apa kau gila?”
“Awalnya kau selalu
mempertahankan prinsip anti-politik kita, tapi kenapa sekarang semuanya melemah
di hadapan Wonwoo?”
“Aku tidak melemah di hadapan
Wonwoo.”
Changjo menyeringai. “Yakin?”
Wendy menggeram. “Bukankah
seharusnya kita hanya anti pada kegiatan politik? Kenapa kita harus anti pada
orang-orangnya?”
“Menurutmu kegiatan politik
dilakukan oleh siapa, huh? Ya ampun, kau benar-benar suka padanya, ya? Lihat dirimu sekarang! Sebelumnya kau tak pernah
mempermasalahkan hal ini. Bahkan saat teman sekamarmu masuk DSP, kau
menjaga jarak darinya tanpa masalah. Tapi kenapa tiba-tiba sekarang semuanya
jadi masalah? Tolong jangan bawa-bawa perasaan ke UKM.”
“Siapa yang bawa-bawa perasaan? Aku hanya bilang kita seharusnya anti pada kegiatannya bukan subjeknya!”
“Mau subjek, predikat, objek, aku tidak peduli! Selama itu berhubungan
dengan politik, maka kita menentangnya, oke?”
“Bukankah aku ketuanya di sini?
Kenapa kau selalu mendikteku dalam segala hal?”
“Aku tidak mendiktemu, Wen. Ini
namanya bertukar pikiran.”
Wendy masuk ke dalam ruang siaran
untuk mengambil tasnya, lalu pergi meninggalkan Changjo dengan tergesa-gesa.
“Heh, mau ke mana kau?” Changjo
melihat arlojinya. “Kembali ke sini! Kita harus siaran lima menit lagi!”
“Siaran saja sendiri! Changjo
yang serba-bisa, kau pasti bisa melakukannya tanpa bantuanku! Kau bisa
melakukan apa pun di dunia ini tanpa bantuan siapapun. HA!”
“Kembali ke sini! Bercandamu tidak lucu!"
"WENDY! Ketua macam apa kau?”
"WENDY! Ketua macam apa kau?”
“YAH! WENDY! Aku tak tahu materi
siaran hari ini!! WEN!!!”
**********
Sore itu, sepulang kuliah, Hyo
Jin menemukan L.Joe berdiri di depan kamar asramanya. Berhubung ini malam Minggu, gadis itu sempat mengira L.Joe datang untuk mengajaknya pergi,
bersenang-senang, seperti semua orang. Namun, begitu Hyo Jin melangkah lebih
dekat, ia baru sadar tidak akan ada agenda jalan-jalan malam ini.
“Bukankah kelasmu selesai jam empat?
Aku sudah berdiri di sini hampir dua jam.”
“Kenapa kau tak meneleponku?”
“Kau habis dari mana? Kenapa jam
segini baru pulang?”
“Yuju ulang tahun, dia mentraktir
kami semua di kafetaria. Aku mencoba meneleponmu tapi ponselmu
tidak aktif.”
L.Joe mengeluarkan ponselnya dari
saku jins, lalu menunjukkannya pada Hyo Jin. Kacau. Layarnya sudah pecah.
Siapa pun yang melihat pasti akan menyarankannya membeli ponsel baru. “Kau puas
sekarang?”
“Ada apa denganmu? Kenapa aku
harus puas? Kalau tujuanmu ke sini bukan untuk mengajakku jalan-jalan maka
pergilah!” Hyo Jin meraih kenop pintu kamarnya, namun L.Joe dengan sigap
menariknya.
“Apa yang kau sembunyikan
dariku?”
Hyo Jin mengerutkan dahi padanya.
“Hentikan tatapan itu! Aku tahu
kau berbohong. Apa yang terjadi setelah konser Wendy? Dengan siapa kau di sana?
Semua temanku bilang semalam kau ke asrama pria, apa itu benar? Apa yang sebenarnya kau inginkan? Kenapa
tidak bilang?”
Lorong asrama perempuan begitu
sepi. Semua mahasiswi yang tinggal di sana berada di tempat lain, di luar sana,
bersenang-senang.
Hyo Jin menatap lantai dan
mendengarkan suara L.Joe yang sedang mengamuk. Mereka berdiri berhadapan tepat
di sebelah pintu kamar, Hyo Jin menyandarkan punggungnya di tembok
sambil bersedekap, begitu pun L.Joe, di sisi yang lain.
Hyo Jin menggigit bibirnya,
menahan kepalanya agar terus menunduk, salah satu harus mengalah. Gadis itu
sejujurnya bosan putus-nyambung setiap delapan bulan sekali. L.Joe yang temperamen
dan dirinya yang keras kepala bukanlah kombinasi yang bagus.
Mereka sangat jarang bertengkar, tapi sekalinya terjadi, itu benar-benar bencana. L.Joe sangat mudah berkata, ‘kalau begitu kita putus saja!’, dan Hyo Jin
yang tidak mau mengalah akan bilang, ‘ide bagus!’. Setelah itu, dua-tiga hari kemudian
salah satu akan minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun,
hati kecilnya tahu, hal itu akan terulang delapan bulan kemudian. Seperti tradisi.
“Serius, sebenarnya kau masih
menganggap hubungan kita atau tidak? Katakan saja kalau sudah bosan! Dua tahun
itu waktu yang lama, iya kan? Apa jangan-jangan ada pria lain yang kau temui di
asramaku?”
Hyo Jin kira ia bisa bertahan.
Tapi kalau sudah dituduh selingkuh, ia benar-benar tak bisa tinggal diam. Gadis
itu mendongak dengan mata menyipit—hanya untuk menyembunyikan matanya yang
berkaca-kaca.
“Kenapa kau menuduhku begitu?”
“Mungkin karena memang begitu?”
“Tidak!” Hyo Jin berteriak. Ia
bisa mendengar bagaimana suaranya menggema di lorong yang sepi. Hyo Jin
mendorong rambutnya dengan napas memburu, berusaha menenangkan diri. “Ya.
Kemarin aku memang ke asrama pria. Ada yang harus kuselesaikan dengan Wonwoo.”
“Wonwoo? Kenapa kau tak
memberitahuku?”
“Karena aku tahu kau akan marah.”
“Kalau kau tahu aku akan marah,
kenapa masih ke sana?”
L.Joe tak menurunkan volume
suaranya sama sekali. Beruntung tak ada siapa pun di sepanjang lorong. Tapi
bagaimana jika seseorang di lantai atas mendengarnya? Atau di lantai bawah? Hyo
Jin benar-benar malu. Ia ingin mengakhiri semuanya, tapi setiap kali gadis itu
berbalik, L.Joe selalu menarik tangannya, lagi dan lagi.
“Apa kau merasa tak
menyembunyikan apa pun dariku?”
L.Joe mendengus, seolah itu
adalah pertanyaan paling bodoh yang pernah ia dengar.
“Kenapa aku tak boleh masuk ke
kamar asramamu? Kenapa aku tak boleh menyentuh ponselmu? Kenapa aku tak boleh
melihat band-mu latihan? Kenapa kau tak pernah memperbolehkanku ikut ke
pesta teman-temanmu? Kenapa aku tak boleh mengenal mereka? Lalu bagaimana
dengan mata-mata partai merah yang sedang kau selidiki? Kenapa aku tidak boleh
tahu? Aku bukan satu-satunya yang menyimpan rahasia di sini, iya kan?”
“Kita pacaran bukan berarti kau
bisa bebas mengetahui apa yang kulakukan, Hyo!”
“Dan kita pacaran bukan berarti
kau bisa bebas berteriak di mukaku kapan pun kau mau!”
Hyo Jin kembali menggapai kenop
pintu, dan L.Joe lagi-lagi menarik tangannya.
“Jadi apa maumu?” tanya L.Joe
dengan mata sayu—seolah ingin menunjukkan betapa lelahnya ia sekarang, bukan
secara fisik, tapi mental, berdebat dengan Hyo Jin selalu menguras mentalnya.
Dari cara sang pria menatapnya,
Hyo Jin jadi berpikir mungkin pria ini sedang menyesali dua tahun kebersamaan
mereka. Mungkin di kepalanya, L.Joe sedang berkata, dari sekian gadis, kenapa harus si kepala batu ini?
“Kau bertanya apa mauku?” Hyo Jin
berusaha tidak terdengar seperti sedang menahan tangis.
“Ya.”
“Kenapa tidak melakukan tradisi delapan bulan sekali kita saja? Bukankah ini waktu yang tepat?” L.Joe menghela napas.
Ia tahu apa yang Hyo Jin maksud, mereka biasa menyebut hal itu—tradisi biadab
itu—sebagai lelucon saat sedang akur.
“Silahkan. Katakanlah jika kau
bisa.”
“Kenapa kau berpikir aku tak
bisa?”
“Karena jika kau berani
mengatakannya, kupastikan ini benar-benar akan jadi yang terakhir.” Hyo Jin
bisa merasakan dadanya terhentak, dan air mata yang berkumpul di pelupuknya
semakin banyak.
“Oke, dengar!” Hyo Jin mendorong
dada L.Joe, yang pada saat itu—entah sejak kapan—berdiri sangat dekat
dengannya. “Jangan pernah temui aku lagi! Aku tak mau kau datang ke sini pada
hari Senin, atau Selasa, atau kapan pun, untuk minta maaf, untuk
menjanjikan pelangi, kemudian mengulangi pertengkaran bodoh ini delapan bulan lagi. Aku merasa seperti berputar-putar dalam lingkaran yang sama. Jadi,
jangan pernah temui aku, setidaknya sampai kau belajar apa itu pengendalian
diri! Kau pikir ada gadis di luar sana yang tahan menghadapi sifat temperamenmu
itu selain aku? Tidak. Tidak ada.”
L.Joe cuma mengernyit padanya.
“Rasanya ini benar-benar akan
jadi hari terakhir kita. Jadi, selamat tinggal.” Hyo Jin berhasil menyelipkan
senyum. “See you never.”
Dan hal selanjutnya yang Hyo Jin
tahu adalah pintu berdebum di belakang punggungnya. Ia memasuki kamar,
bersandar di belakang pintu dan mulai menangis. Ia sudah menahan air matanya
selama ratusan detik, kepalanya pusing, ia menangis sesenggukan sambil membekap
mulutnya. Dan saat itulah, saat isakannya sudah semakin riuh, ia baru menyadari
ia tidak sedang sendiri di sana. Wendy tengah duduk di ujung ranjang, menatapnya
iba.
“Wow…”
Hyo Jin langsung menyeka air
matanya.
“Aku baru tahu pasangan paling
lovey-dovey seantero DIMA bisa meledak-ledak seperti tadi.”
“Kau mendengar semuanya?”
Wendy mengangkat bahu. “Menurutmu?”
“Tentu saja. Apa kau berniat
membocorkannya di radiomu? Apa kau merekam percakapan kami?”
“Oh, itu ide bagus. Sayang sekali
aku tidak berpikir sejauh itu.”
Hyo Jin cuma mendengus. Gadis itu
mengusap wajahnya yang basah, dan sekarang telapak tangannya ikut basah. Hyo
Jin tak percaya ia menangis sebanyak ini, ia tak percaya pelupuk matanya bisa
menampung air sebanyak ini, terlebih tidak menumpahkan setetes pun di hadapan
L.Joe. Hyo Jin merasa seperti baru saja menemukan bakat terpendamnya.
“Aku sebenarnya harus keluar dari sepuluh menit yang lalu, tapi aku takut mengganggu kalian.”
“Apa itu sindiran halus?”
“Tidak! Ya Tuhan, tentu saja
tidak! Tapi kalian memang membuatku ketakutan. Aku duduk di sini, berpikir, apa
kalian akan menghabiskan sepanjang malam untuk berteriak? Aku bahkan bisa
merasakan darah L.Joe yang mendidih dari balik pintu. Aku terus berpikir
bagaimana perasaanmu?”
“Aku baik-baik saja. Bukankah
tadi kau bilang kau mau pergi?”
“Yeah..” Wendy berdiri.
“Pergilah! Aku yakin L.Joe sudah
tidak ada di luar.” Hyo Jin beranjak ke meja belajarnya sambil mengusap muka,
mengambil minuman kaleng serta beberapa lembar kertas naskah.
“Ikutlah denganku!”
“Tidak. Tidak. Aku ada
pengambilan nilai hari Senin, aku butuh sepanjang malam untuk menghapal
naskahnya.”
“Kau bisa menghapalnya besok.
Ayolah! Bukankah kau harus menjernihkan kepalamu dulu sebelum bisa
menghapal?”
“Tidak Wen, sungguh. Terima
kasih.” Hyo Jin naik ke atas ranjang, membenahi posisi bantalnya dan duduk
meluruskan kaki.
“Baiklah. Tapi tolong jangan
memaksakan diri! Jangan memikirkan anak itu terus! Yang barusan itu tindakan
yang tepat.”
Hyo Jin menganggukkan kepalanya
dan tersenyum.
“Aku mungkin akan pulang larut.
Tidak usah menungguku. Kau bisa cabut kuncinya, aku bawa kunci cadangan. Oh..
astaga, aku harus pergi sekarang, Wonwoo sudah menungguku di gerbang.”
Hyo Jin yang sejak tadi hanya
mengangguk-angguk langsung terbelalak mendengar nama itu disebut.
“Wonwoo? Kau akan pergi
dengannya?”
Wendy berbalik.
“Ya. Dia mengajakku ke
konser Rock.”
“Berdua saja?”
“Kurasa begitu.”
Hyo Jin melempar
kertas-kertas naskahnya ke kasur dan langsung berdiri. Ada yang lebih
penting dari pengambilan nilai, batin Hyo Jin. Lagipula pengambilan nilainya hari Senin.
“Aku tak bisa menghapal satu huruf
pun. Oh tidak, bagaimana ini? Sepertinya aku harus ikut kalian.”
**********
Wonwoo dan Wendy secara kebetulan
mengenakan warna pakaian yang sama. Warna hitam. Sementara Hyo Jin memakai baju
tanpa lengan warna peach—yang setelah dipikir-pikir pasti akan menimbulkan
perhatian. Mereka akan menghadiri konser Rock. Semua orang pasti akan memakai
baju-baju gelap dan aksesoris berduri, dan ia malah memakai warna yang hampir
sama konyolnya dengan pink. Bahkan orang-orang disana mungkin akan mengira dia
memakai baju pink. Pada dasarnya hanya orang terpilih sajalah yang bisa
membedakan warna peach dan pink.
“Serius? Baju pink untuk konser
Rock?”
Dan Wonwoo jelas bukan salah satu
dari orang terpilih itu.
“Kau buta warna? Ini peach!”
balas Hyo Jin senewen.
“Itu peach,” bela Wendy.
Wonwoo mengangguk pada Wendy lalu
memutar matanya pada Hyo Jin. Hyo Jin balas memutar mata.
Wonwoo dan Wendy berjalan
berdampingan, sementara Hyo Jin tertinggal 3 langkah di belakang. Selama berjalan
menuju arena konser, Wonwoo terus menoleh padanya dengan tatapan tidak senang,
seolah berkata, ‘kenapa kau harus ikut?’. Mungkin Hyo Jin akan membalas tatapan
itu dengan seringaian kemenangan jika perasaannya tidak sedang segundah ini.
Mungkin dia akan sangat menikmati perannya sebagai orang ketiga, jika dia tidak mengatakan ‘see you never’ pada L.Joe satu jam yang lalu, atau setidaknya jika
ia mengenakan baju dengan warna yang lebih layak untuk konser Rock. Oh Ya
Tuhan, Hyo Jin menyesal setengah mati saat menolak usulan Wendy untuk ganti
baju. Walaupun menggunakan celana jeans hipster yang sobek-sobek, atasannya
tetap terlihat seperti pink, dan ia khawatir warnanya akan menyala dalam gelap.
Ia mungkin akan membuat semua orang silau. Ia mungkin akan mencuri perhatian
lebih banyak dari artisnya.
**********
Hyo Jin belum pernah menghadiri
konser Rock sebelumnya. Dan ia tak tahu semuanya akan sekacau ini. Selama yang
lain berteriak dan melompat-lompat, Hyo Jin malah bersedekap sambil mengernyit,
dan Hyo Jin merasa sudah berdiri disitu selama setengah tahun—yang nyatanya hanya
setengah jam. Ini benar-benar membosankan, tak ada yang bisa dinikmati. Hyo Jin
berharap ada kesalahan teknis atau apapun yang bisa membuat konser ini berlalu
dengan lebih cepat. Ia ingin sekali keluar. Kepalanya kerap kali ditubruk oleh
kepala seseorang, yang berdiri di belakangnya, yang mengangguk-angguk seperti
orang kesetanan. Satu-satunya hal yang ia syukuri saat ini hanyalah fakta bahwa
bajunya tidak menyala dalam gelap.
Saat Hyo Jin sedang berpikir
begitu, Wendy tiba-tiba menarik tangannya.
“Aku harus pergi!” Gadis itu
berteriak di antara suara drum yang menggebu-gebu.
“Kau bilang apa?!” Wonwoo menutup
kedua telinganya dan mencondongkan wajah ke antara 2 gadis itu.
Seseorang di belakang Hyo Jin
menubruk kepalanya lagi. Hyo Jin menggeram. Dengan semua sikutan, tubrukan dan
teriakan ini, ia benar-benar nyaris gila. Gadis itu berusaha mendengarkan
ucapan Wendy.
“Aku harus pergi!” ulang wendy,
berteriak sekencang yang ia bisa. Seharusnya mereka membawa megaphone.
“Apa? Kemana? Kenapa?” tanya
Wonwoo.
“Kantor polisi.”
“HUH?” Wonwoo dan Hyo Jin sontak
berseru.
“Changjo membuat keributan, dia
berkelahi dengan sekumpulan berandalan.”
“Dia gila,” teriak Hyo Jin.
“Memang.” Wendy menyetujui
sepenuh hati.
“Lalu apa hubungannya denganmu?”
tanya Wonwoo, masih berteriak. Tentu saja. Satu-satunya cara untuk
berkomunikasi di ruangan ini hanyalah berteriak.
“Aku harus menebusnya. Dia tidak
punya siapapun di Anseong. Semua keluarganya di Chuncheon.”
“Aku akan menemanimu.”
“Tidak. Kau temani Hyo Jin saja.
Aku tidak akan lama, aku akan kembali kesini.”
Wonwoo menoleh pada Hyo Jin
seolah dia adalah sumber masalahnya.
“Kita bisa pergi bertiga!” kata
Wonwoo lagi.
“Tidak usah. Sungguh. Aku hanya
sebentar.”
“Tapi…”
“Wonwoo! Changjo benci anak
politik. Dan dia mungkin akan membenciku juga jika tahu aku pergi ke konser
Rock bersama kalian, 2 anggota partai kampus yang berbeda. Dia berpikir kalian tidak
tulus berteman denganku. Dia berpikir kalian sedang berlomba merebut simpatiku
demi kampanye radio.”
Hyo Jin dan Wonwoo saling
melempar pandang tak nyaman.
“Aku tahu kalian tidak mungkin
sejahat itu,” sambung Wendy, yang tidak mendapat tanggapan apa-apa dari dua
orang di depannya. Wonwoo dan Hyo Jin justru menoleh ke arah lain, menolak
menatap mata Wendy.
“Lihat! Si bodoh itu menelfonku
lagi. Aku harus pergi sekarang. Aku janji tidak akan lama. Dah. Nikmati konsernya!”
Dan Wendy pun pergi dengan penuh
perjuangan. Ia terdorong kesana kemari sebelum akhirnya bisa sampai di pintu
keluar.
Setelah Wendy pergi, Hyo Jin dan
Wonwoo bertukar pandang selama beberapa saat, sebelum akhirnya saling membuang
muka.
**********
Setelah 10 menit, Hyo Jin pun
melarikan diri. Gadis itu tak tahan dengan semua kekacauan di dalam, seseorang
di belakangnya terus mendorong punggungnya, seseorang di kanan menghantamkan
bahu mereka sambil berteriak-teriak—menyanyikan lirik lagu.
Hyo Jin berjalan di sekitar arena
konser—di bagian luarnya—selama beberapa saat, sebelum akhirnya membeli
sekaleng soda di mesin minuman dan duduk di salah satu anak tangga.
“Aku tahu cepat atau lambat kau
pasti akan keluar dari sana. Kau terus mengernyit pada Soo Ho.” Wonwoo
tiba-tiba duduk di sebelahnya.
Hyo Jin meliriknya sekilas,
kemudian membuka sodanya. “Siapa Soo Ho?”
“Vokalis Crying Cheese?”
“Nama band tadi Crying Cheese?”
“Kau bahkan tak tahu siapa yang
barusan kita tonton?”
“Itu bukan genre musikku,” kilah
Hyo Jin.
“Jadi untuk apa kau ikut?”
“Aku hanya tak mau kalian pergi
berdua. Kau mungkin punya rencana kotor di belakangku.”
Wonwoo menggelengkan kepalanya
dan tersenyum sinis. “Seharusnya aku tak perlu bertanya lagi.”
Hyo Jin menyesap sodanya.
“Lalu apa genre musikmu?” tanya
Wonwoo.
“Entahlah…”
“Pop? RnB? Hiphop?”
“Genre musikku adalah apa yang
L.Joe dengarkan.”
“Bahkan jika dia mendengarkan
lagu seriosa?”
“Bahkan jika dia mendengarkan
lagu pemakaman,” sahut Hyo Jin mantap.
“Wow…”
Hyo Jin menyesap sodanya lagi.
“Jika mencintai seseorang berarti
menggiringmu pada kebodohan, kurasa aku tidak mau jatuh cinta sama sekali.”
Hyo Jin menoleh pada Wonwoo dan
mulai memandangnya sambil tersenyum aneh.
“Kenapa menatapku begitu?” tanya
Wonwoo salah tingkah.
“Jadi kau belum pernah jatuh
cinta sebelumnya?” Wonwoo tak langsung menjawab, sampai Hyo Jin menyenggol
bahunya.
“Pernah,” jawabnya ragu-ragu,
“tapi aku tak yakin itu bisa dihitung.”
“Kenapa?”
“Aku tak pernah mengatakan
padanya, dan aku juga tak kehilangan rasionalitasku sama sekali. Aku tak
mengalami kebodohan.”
“Dari semua mahasiswi DIMA, masa
sih tak ada satu pun yang menarik perhatianmu?”
Wonwoo menggeleng.
“Kau tak perlu malu padaku. Kita
bisa menjadi musuh dalam hal politik, tapi aku berjanji akan tutup mulut soal
yang lain, rahasia percintaanmu aman di tanganku. Aku bahkan bisa membantumu
mendapatkannya—siapapun gadis itu. Kau lupa ya aku ini tinggal seatap dengan
seluruh mahasiswi?”
“Tapi aku memang tidak menyukai
perempuan mana pun.”
“Sungguh?”
“Ya. Kadang aku berpikir apa
jangan-jangan aku tidak menyukai perempuan.”
“Jadi maksudmu…..” Hyo Jin
menggantung kalimatnya dan menatap Wonwoo dengan mata membesar.
“Tapi aku tidak menyukai
laki-laki juga.”
“Itu berarti kau aseksual,”
simpul Hyo Jin, terkejut.
“Atau mungkin aku hanya belum
menemukan perempuan yang tepat? Serius, berhenti memberiku label!”
Hyo Jin terkikik. Gadis itu
lantas mengganti posisi duduk, ia menaikkan kedua kakinya ke anak tangga yang
sama dengan yang mereka duduki, lalu bersandar di tralisnya, menghadap Wonwoo.
“Bagaimana tipemu? Aku bantu
carikan.”
“Tidak. Aku akan mencarinya
sendiri.”
Walau sebagian hatinya merasa
kecewa (ia ingin sekali jadi matchmaker),
Hyo Jin tetap mengangguk. Gadis itu memeluk lututnya dan menatap Wonwoo, sambil
tersenyum lembut. Wonwoo pura-pura tidak melihat tatapan itu dan memandang lurus
ke depan.
Wonwoo terus menghadap ke depan
hingga ia bisa merasakan telinganya memerah, dan ia sadar ia tak bisa terus
berpura-pura. Ia alergi dengan tatapan lembut.
“Kau naksir padaku?” tanya Wonwoo
tak tahan.
Hyo Jin mendengus, namun tetap tersenyum.
“Kau terus menghindari mataku.
Bagaimana bisa aku naksir?”
Wonwoo menoleh. “Aku tak mau
menatap pacar orang lama-lama.”
“Siapa yang kau sebut ‘pacar
orang’? Aku available sekarang.”
“Hanya karena kau tidak sedang
bersamanya?”
“Karena aku benar-benar sudah putus
dengannya.”
“Apa maksudmu?”
“Bagian mana yang kurang jelas?”
“Bagaimana bisa kalian putus?”
“Dia tahu aku ke asrama pria
semalam, dia tahu apa yang terjadi dan dia marah besar.”
Wonwoo terdiam. “Tapi kau kesana
gara-gara aku.”
“Ya. Dan itu artinya kau punya
andil besar dalam musibah ini.”
Wonwoo terdiam lagi. Dia
benar-benar terkejut, dan kehilangan kata. Ia tak tahu L.Joe ternyata
sepencemburu itu. Mungkin L.Joe mengamuk pada Hyo Jin karena percakapan mereka
semalam. Wonwoo merasa sangat bersalah sampai tak mampu meminta maaf.
“Ada apa dengan ekspresi itu?”
tanya Hyo Jin.
“Mungkin memang aku penyebabnya.”
“Kurasa tidak. Dia memang hobi
berteriak.”
“Tidak, begini.. kemarin aku
berpapasan dengannya, dan menanyakan sesuatu tentangmu.”
“Menanyakan apa?”
“Aku bertanya apa dia tahu kalau
ada sesuatu yang terjadi padamu setelah konser? Tapi aku tidak bilang kau ke
asrama pria. Aku hanya ingin menggodanya, tapi mungkin itu yang membuatnya
marah… dan … “
“Tidak apa-apa.”
“Maafkan aku..”
“Tidak apa-apa. Sungguh, aku
tidak benar-benar serius saat berkata ‘kau punya andil besar’. Aku hanya
bercanda. Itu bukan sepenuhnya salahmu. Kau mungkin memang menyulut api, tapi
sebelum ini sudah banyak sekali batubara. Kami memang selalu putus tiap tahun,
paling besok pagi dia akan menelfonku dengan handphone Jeongmin—teman
sekamarnya—karena handphone-nya rusak. Atau mungkin dia akan mengetuk pintu
kamarku, minta maaf, dan segalanya akan kembali seperti semula.”
“Begitu?” Wonwoo terlihat tak
habis pikir.
“Semoga.”
“Jadi kau benar-benar akan
menerimanya lagi jika dia datang besok pagi?”
“Aku ingin sekali bilang tidak.”
“Tapi?” pancing Wonwoo.
“Aku membutuhkannya.”
Wonwoo menaikkan kedua kaki dan
memutar posisi duduknya, supaya saling berhadapan. Ujung sepatu mereka
bersentuhan.
“Kenapa kau berpikir kau
membutuhkannya?”
“Karena aku memang butuh. Karena
aku tak bisa membayangkan diriku bersama pria lain.” Hyo Jin terlihat putus
asa.
“Kau sedang bersama pria lain.”
“Tapi kau aseksual.”
“Ya Tuhan aku serius!”
Hyo Jin terkikik senang. Dan
Wonwoo bisa merasakan bagaimana hatinya luluh. Wonwoo bisa merasakan bagaimana
dirinya bersedia diberi label bodoh, atau melakukan hal konyol, hanya demi
membuat gadis ini tertawa.
Wonwoo memeluk lututnya dan
menatap Hyo Jin.
“Jadi kau sudah berani menatapku
sekarang?” goda Hyo Jin.
“Bukankah kau bilang kau available?”
Hyo Jin kembali tersenyum, kali
ini ditambah dengan tendangan pelan di betis Wonwoo.
“Kau tahu ada psikolog yang mengatakan
bahwa bertatapan mata dengan lawan jenis selama 2 menit bisa membuatmu jatuh
cinta?”
“Kurasa aku pernah dengar,” kata
Hyo Jin.
“Mau membuktikan teorinya?” tawar
Wonwoo. Hanya untuk membunuh waktu.
“Siapa takut?!” Hyo Jin menekuk
kakinya semakin dalam (agar Wonwoo bisa beringsut mendekat). Kemudian, setelah
mereka menarik napas dan menyamankan posisi, Wonwoo pun memberi aba-aba.
“Satu…
….dua….
..tiga.”
Di detik-detik awal, Wonwoo dan
Hyo Jin masih bertatapan sambil menahan senyum.
Teori yang konyol.
Apa artinya 2 menit?
Namun, semakin lama mereka
melakukannya, senyum yang ditahan-tahan tadi mulai memudar. Sampai akhirnya hilang.
Keduanya tenggelam dalam bola mata satu sama lain.
Saat itu, pintu arena konser
terbuka lebar. Semua orang keluar dari sana dan menimbulkan kebisingan luar
biasa. Beberapa orang yang menuruni tangga menatap Wonwoo dan Hyo Jin dengan
aneh. Tapi tak ada satupun dari kedua anak itu yang mendengar. Mereka bahkan
tak sadar konsernya sudah usai. Mereka tak tahu semua orang yang melewati
tangga sengaja memperlambat tempo langkahnya hanya untuk menggoda,
mengomentari, bersiul ke arah mereka.
“Apa-apaan anak-anak ini?”
“Mereka mungkin sedang lomba bertatapan.”
“Coba tendang dia!”
“Aww!” Wonwoo langsung memegangi
pinggangnya. Sementara pria usil—beserta komplotannya—yang barusan menendang
pinggangnya itu berlari menuruni tangga sambil tertawa.
“Apa itu sudah 2 menit?” tanya
Hyo Jin, membalik posisinya ke posisi awal.
Wonwoo juga sudah kembali ke
posisi semula, namun pria itu masih mengerang sambil meremas pinggangnya.
Rasanya seperti seluruh organ tubuhnya yang di sebelah kiri baru saja lompat ke
kanan.
“Entahlah. Apa ada perubahan?”
“Hmm?”
“Apa kau merasa lebih dekat
denganku? Secara batin?”
Hyo Jin tak langsung menjawab. Ia
menoleh pada Wonwoo, kemudian balik bertanya, “Bagaimana denganmu?”
Wonwoo berdehem, memberi jeda
sekian lama sebelum akhirnya menggeleng, “Aku tidak merasakan apapun.”
Hyo Jin mengangguk pelan.
“Itu teori yang konyol, ya kan?”
tambah Wonwoo.
“Ya. Ya. Sangat konyol.”
“Aku tak mengerti kenapa kita memainkannya.”
“Psikolog itu harus menguji ulang teorinya.”
“Itu benar-benar sebuah kegagalan.”
“Ya. Ya. Ya,” kata mereka
sependapat, bersahut-sahutan.
Saat itu, tiba-tiba handphone Wonwoo
berbunyi. Wendy mengirim pesan.
From : Wendy
Kalau konsernya sudah selesai, kalian langsung pulang saja. Aku masih
di kantor polisi. Changjo belum puas jika hanya membuat keributan di jalanan,
sekarang dia mencari keributan dengan polisi di MARKAS POLISI. Dia berteriak
‘aku benci birokrasi’ sambil menggebrak meja dan mereka berkelahi. Aku mungkin
akan tinggal disini sedikit lebih lama. Aku benar-benar minta maaf T_T
**********
Wendy tak pulang sepanjang malam.
Hyo Jin mengirim pesan pada Wendy, yang isinya menanyakan apakah Changjo
membuat keributan yang lain? Sebab setahunya, menebus seseorang di kantor
polisi tidak membutuhkan waktu selama ini.
Hyo Jin mengirim pesan itu jam 2
pagi dan Wendy membalasnya 3 jam kemudian. Dia bilang, “kau mungkin sudah tidur.
Aku hanya ingin mengabarimu bahwa semua baik-baik saja, dan kami sudah di jalan
pulang. Aku lelah sekali.”
Hyo Jin belum tidur. Ia langsung
membaca pesan itu 2 detik setelah mendengar bunyi notifikasi ponselnya.
Setelah membaca pesan itu, Hyo
Jin meletakkan ponselnya kembali. Ia menarik selimutnya sampai ke leher dan
menarik napas dalam. Ia sudah berbaring seperti ini selama berjam-jam, dan rasa
kantuk tak menghampirinya sama sekali.
Gadis itu menatap langit-langit
yang gelap sambil membayangkan mata Wonwoo. Ia tak bisa menghentikan kepalanya.
Matanya memang indah. Indah sekali. Astaga ia ingin menatapnya lagi.
Hyo Jin mulai berpikir bahwa
psikolog itu benar. Sejujurnya ia sudah berpikir begitu sedetik setelah mereka
berhenti bertatapan, sedetik setelah pinggang Wonwoo ditendang oleh orang
asing, sedetik setelah tatapan mereka terputus.
**********
Pada waktu yang sama di tempat
yang berbeda, Wonwoo menendang selimutnya dan beranjak ke tempat tidur Mingyu.
Ia mengguncang bahu teman sekamarnya itu dengan brutal.
“Mingyu, bangun! Please, kau harus bangun! Ada sesuatu
yang mengganggu kepalaku dan aku tak bisa berhenti memikirkannya. Kau harus
mengajakku bicara sekarang atau aku benar-benar akan gila.”
“Nggggg, berhentilah!”
“Tidak. Bangun dan dengarkan aku!”
“Besok saja.”
“Tidak bisa. Aku tidak tahan
lagi. Aku sudah memikirkan perempuan itu sepanjang malam. Dan aku mulai tak
bisa bernapas sekarang. Kau harus membantuku.”
Mingyu menoleh pada Wonwoo dengan
mata menyipit. “Perempuan?”
“Ya.”
“Aku baru tahu kau bisa suka
perempuan.”
“Aku akan menceritakan semuanya
jika kau mau duduk dan mendengarkanku.”
Mingyu menarik selimutnya sampai
menutupi kepala. “Tidak, terima kasih.”
“Hei, aku hanya butuh 10 menit.
Setelah itu kau bisa tidur sampai hari jum’at. Aku tak akan mengganggumu lagi.”
Wonwoo mencoba menyibak selimutnya. Tapi Mingyu menahannya.
“Telfon gadis itu. Kau hanya
merindukannya,” ujar Mingyu dari balik selimut.
“Aku tidak punya nomernya.”
“Bagaimana bisa?”
“Aku tidak sempat minta.”
“Kalau begitu itu masalahmu.
Berhenti menggangguku, please. Aku
ngantuk.”
“Kau benar-benar tidak berguna,”
keluh Wonwoo. Dan detik berikutnya, ia sudah bisa mendengar suara dengkuran.
Mau tak mau, Wonwoo beranjak
kembali ke ranjangnya. Saat sedang mengambil selimutnya yang terjatuh, ia
mendengar suara pantulan bola basket di lapangan asrama. Wonwoo lantas
menyingkap gorden jendela. Dan ternyata memang benar ada seseorang disana,
sedang mendribble basket, memasukkannya ke ring, mengejarnya, mendribblenya
lagi. Sendirian.
Wonwoo tak pikir panjang. Ia
menyambar jaketnya dan segera keluar kamar. Ia benar-benar butuh teman, atau
setidaknya aktivitas yang bisa membuatnya melupakan Hyo Jin untuk sesaat. Keadaan
sunyi dan gelap yang ada di kamarnya hanya memperburuk segalanya. Pria itu tak
bisa membayangkan apapun selain iris Hyo Jin yang berwarna cokelat, yang
bentuknya serupa almond, yang luar biasa indah. Ia tak bisa membayangkan hal
lain selain Hyo Jin, matanya, wajahnya, tangannya, bibirnya, kukunya,
rambutnya, dagunya. Semuanya.
Ia masih bisa merasakan betapa
gemetar dirinya saat berjalan berdampingan dengan Hyo Jin selama perjalanan
pulang. Tanpa Wendy. Mereka berjalan di antara kesunyian yang mencekam. Ia tak
yakin apa perasaannya sekarang ini adalah cinta atau malah penyakit. Wonwoo
bisa mengingat bagaimana paru-parunya mengembang memenuhi rongga dada,
seolah-olah ingin meledak. Ia ingat bagaimana keningnya berkeringat di malam
yang dingin, telapak tangannya basah, kakinya berubah jadi agar-agar. Hyo Jin
bilang, ketika jatuh cinta kau akan mengalami kebodohan, tapi Wonwoo malah
mengalami kelumpuhan. Dan ia tak percaya penyebab semua ini adalah 2 menit
bertatapan. Ia benar-benar menyesal sudah melakukan itu, ia harus mencari
penawarnya. Ia tak bisa menyukai Park Hyo Jin. Tidak bisa.
Wonwoo mendekat ke lapangan
basket dan baru menyadari bahwa pria yang bermain sendirian disana adalah
Vernon.
“Kenapa kau tidak tidur?” tanya
Wonwoo begitu jarak mereka semakin dekat.
“Aku tidak bisa.”
“Sorry. Apa suara bolanya membangunkanmu?” Vernon menangkap bolanya
dan menoleh pada Wonwoo dengan napas tersengal. Wonwoo sudah sangat terbiasa
melihat Vernon tersengal-sengal, Vernon selalu terlihat seperti itu setiap kali
memasuki ruang rapat.
“Kau bisa cerita padaku,” kata
Wonwoo.
“Cerita apa?”
“Pasti ada masalah kan?”
Vernon menghindari pertanyaan
Wonwoo dan kembali mendribble bolanya.
“Ini hari minggu. Semua orang
pasti lebih memilih memendamkan diri di balik selimut yang hangat daripada
bermain basket sendirian. Di dini hari yang super dingin, tanpa jaket. Terlebih
aku bisa melihat kekhawatiran di wajahmu. Ada apa?”
“Mino menyuruhku untuk tidak
bicara dengan anak partai merah. Aku masih jadi mata-mata. Lebih baik kau masuk
sebelum ada yang melihat kita.”
“Tidak ada yang melihat kita.”
“Ada ratusan jendela di
belakangmu. Paling tidak ada satu dua orang di balik sana, mengintip.”
“Sekalipun ada yang mengintip,
mereka tak bisa melihat wajah kita. Berhenti beralasan dan ceritakan padaku!”
Vernon menangkap bolanya dan
menarik napas.
“Aku lelah.”
“….”
“Kenapa dari sekian banyak orang
di partai kita harus aku yang dijadikan mata-mata? Ini tanggung jawab yang
besar. Ini mengerikan.”
Vernon tak lagi menutupi
ketakutannya. Wonwoo bisa melihat dahi pria di depannya berkerut, juga bibirnya
yang tertarik tegang.
“Kau ingat saat aku bilang ‘L.Joe
mulai curiga’?”
Wonwoo mengangguk. “Kau bilang ia
memperhatikanmu sepanjang rapat.”
“Sebenarnya tidak hanya itu.
Beberapa hari ini Zio, L.Joe dan beberapa anak DSP lain mengikutiku saat aku
mau ke lantai 4—ruang rapat partai kita. Untung saja aku menyadarinya di tengah
jalan dan berbelok menuju kamar mandi. Mereka menungguku di luar, jadi aku
bertahan disana cukup lama. Sampai anak-anak itu pergi.”
“Jadi itu sebabnya kau sangat
terlambat,” simpul Wonwoo, lebih kepada dirinya sendiri.
“Mereka sepertinya mulai kesal
karena semua ide kampanye partai mereka bocor, dan aku mengerti kenapa
anak-anak itu berpikir akulah mata-matanya—karena aku anak baru, dan aku sangat
pendiam, aku tak bisa berbaur. Dan karena tidak mendapat bukti, mereka mulai
mengancamku sekarang.”
“Mengancam? Mengancam seperti
apa?”
“Saat Taeyong—teman sekamarku—tidak ada, mereka masuk ke kamar dan mengobrak-abrik lemari pakaian. Mencari
atribut partai merah—yang untungnya selalu kutinggal di ruang rapat. Lalu
mereka mulai murka dan menghantamkan kepalaku ke tembok. Ada sekitar 5 atau 6
orang saat itu. Zio menodongkan pencukur dan menggeram menyuruhku mengaku,
sementara yang lain memegangiku dari berbagai sisi, tapi aku bersikeras
membantah, jadi dia menekan alat cukurnya di sepanjang tanganku.” Vernon
menggulung lengan bajunya dan memperlihatkan tangan kirinya yang lecet kepada
Wonwoo. Warnanya sudah biru kehitaman. Wonwoo menatap Vernon tak habis pikir.
Ia tak bisa membayangkan seperih apa rasanya tangan Vernon pada saat itu, dan
mungkin pada saat ini.
“Dan kau diam saja? Kau tak
bilang pada Mino? Itu keterlaluan. Kau dibully. Kau bisa melaporkannya pada
rektor. Kau bisa melaporkannya pada polisi. Mereka bisa dipenjara.”
“Kau tak lihat bagaimana ekspresi
Mino saat aku bilang L.Joe mulai memperhatikanku? Dia terlihat sangat marah,
dia menatapku seolah aku benar-benar tidak becus, dan aku tak mau dia
meremehkanku seperti itu. Tenang saja, aku bisa. Aku hanya perlu bertahan
beberapa minggu lagi. Aku bisa melewati ini, tenang saja.”
“Bagaimana bisa aku tenang?
Mereka pasti akan melakukan hal yang lebih buruk dari itu—seolah itu belum cukup
buruk. Maksudku, bagaimana bisa kau berpikir kau bisa melewati ini? Sendirian?”
“Aku ada di posisi yang serba
salah. Aku tidak punya teman sama sekali sekarang. Semua teman-temanku ada di
Solidarity Party, dan Mino melarangku untuk bicara dengan anggota Solidarity Party.
Aku juga tak punya teman di DSP. Tak ada yang bisa kulakukan selain bertahan.
Jika aku mengaku sebagai mata-mata, maka DSP akan membenciku, Solidarity juga
akan membenciku, intinya semua orang akan membenciku. Aku tak punya pilihan lain.”
“Kau punya. Kau bisa berhenti.
Kalau mereka benar temanmu, mereka tak akan meninggalkanmu. Aku tak percaya
politik kampus bisa semengerikan ini.”
“Itu bukan pilihan. Aku mau
berjuang sampai akhir, aku mau melihat partai kita menang.”
“Kau pikir apa yang akan terjadi
seandainya partai kita menang? Apa kau yakin Zio, L.Joe dan seluruh anak DSP
akan diam saja? Apa kau yakin Mino tak akan menyingkirkanmu?”
“Kenapa kau berpikir Mino akan
menyingkirkanku?”
“Demi nama baik partai, tentu
saja.”
Vernon terdiam, lalu mulai
mendribble bolanya lagi.
Wonwoo tak yakin sudah berapa
lama mereka berbincang, tapi langit masih sangat gelap. Dan sejauh mata
memandang, tak ada siapapun di sekitar mereka. Wonwoo berjalan mendekati Vernon
dan berhasil menangkap bolanya.
“Kau harus bilang pada Mino. Dia
pasti tahu apa yang harus dilakukan.”
“Tidak. Aku bisa mengatasinya.”
“Ya. Tentu kau bisa. Tapi tidak
sendiran.”
Vernon menggeleng, lalu merebut
bolanya lagi.
“Jangan pedulikan aku.”
“Oke, jika kau tak mau bilang
pada Mino. Setidaknya beritahu aku jika mereka mengganggumu lagi.”
Vernon tersenyum kecil dan
mengangkat sebelah alisnya. “Memangnya apa yang akan kau lakukan?”
Wonwoo mengedikan bahu. “Aku
belum berpikir sejauh itu.”
Vernon memasukkan bolanya tepat
ke dalam ring. Bola itu memantul-mantul dan berhenti di depan kaki Wonwoo, pria
itu membungkuk memungutnya.
“Tapi berdua selalu lebih baik
dari sendiri,” ujar Wonwoo, diselipi senyum. “Deal?”
“Deal,” kata Vernon begitu saja. “Sekarang giliranmu.”
“Aku tak bisa main basket.”
“Bukan. Ceritakan padaku!”
ujarnya. “Ceritakan masalahmu! Ini hari minggu. Semua orang pasti lebih memilih
memendamkan diri di balik selimut yang hangat daripada menghampiri pria yang
sedang main basket sendirian. Kecuali kalau kau sedang punya masalah. Iya kan?”
“Kau pintar menghapal ucapan
orang lain ya? Tak heran Mino menunjukmu.”
“Kau ingin memancing emosiku hah?
Cepat katakan apa yang mengganggumu!”
“Aku tak bisa tidur karena
memikirkan perempuan.”
“Tuhan!” Vernon berdecak. “Apa
tak ada masalah yang lebih rumit lagi?”
“Aku bersumpah ini lebih rumit
dari yang kau pikirkan.”
“Siapa perempuan itu?”
“Hyo Jin.”
“SIAPAA?”
“Hyo Jin. Park Hyo Jin. Aku yakin
kau pasti mengenalnya.”
“Wow, tunggu dulu! Kau tahu kan
dia pacarnya siapa? Aku minta maaf sebelumnya, tapi kau benar-benar tak punya
harapan, kawan.”
“Mereka sudah putus.”
“Kau bercanda,” tuduh Vernon.
“Tidak. Hyo Jin yang bilang
sendiri padaku.”
“Apa kau yakin kau tak salah
dengar?”
“Apa sebegitu anehnya?”
“Ya. Itu benar-benar aneh. Kau
tahu, mereka tidak terpisahkan. Dimana ada L.Joe, disitu ada Hyo Jin. Dan pria
itu, jika sedang bersama Hyo Jin, kau tak akan percaya dia adalah orang yang
sama dengan orang yang kuceritakan barusan. Dia sangat lembut, dia selalu menatap
Hyo Jin seperti gadis itu baru saja menerbitkan matahari. Aku satu divisi
dengan Hyo Jin, dan kami punya sekitar 5 kelas yang sama. Dan setiap aku keluar
kelas, L.Joe selalu disana, di samping pintu, menunggu. Dia mungkin menghapal
jadwal Hyo Jin lebih baik daripada jadwalnya sendiri. Lalu saat rapat, oh
astaga! Haruskah aku menceritakan bagaimana dua orang itu flirting tanpa henti saat Hoshi bicara? Aku sering kehilangan
konsentrasi. Hubungan mereka ibaratnya seperti, kau tahu….. impian semua orang.
L.Joe menjemput dan mengantarnya ke asrama setiap pagi, setiap malam. Siapapun
bisa melihat betapa berharganya Hyo Jin di mata L.Joe. Dan aku cukup yakin Hyo
Jin mencintainya sama besar.”
Vernon mengangguk-angguk pada
penjelasannya sendiri, lalu menoleh pada Wonwoo yang bergeming memegang bola
sambil menatapnya tak senang.
“Apa?” kata Vernon.
“Apa kau puas sekarang?”
“Oops, apa aku salah bicara? Itu
cuma pendapatku kok, tak usah dipikirkan, hahaha,” kata Vernon, mencoba tertawa
untuk mencairkan suasana. “Jika mereka benar-benar putus yahh… maka bagus
untukmu.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama, kawan.”
Wonwoo keluar dari kamarnya untuk
menghampiri orang asing di lapangan hanya untuk bercerita, untuk menumpahkan
kegundahannya agar membuat perasaannya lebih baik, tapi ternyata perasaannya
malah semakin suram sekarang. Rasanya seperti mendapat penegasan ‘kau pasti
kalah’ dari dua sisi. Sebelumnya Hyo Jin menceritakan langsung padanya tentang
L.Joe, bahwa ia bersedia mengalami kebodohan demi anak itu. Dan sekarang Vernon
menceritakan hal yang sama, dari sisi L.Joe, bahwa sebuah batu bisa berubah menjadi
selembut kapas di hadapan kekasihnya.
“Aku mau ke kamar,” kata Wonwoo.
Vernon menoleh dan langsung melempar bola basket padanya, “Jangan! Kau harus
temani aku main!”
“Aku tak punya tenaga untuk itu,”
kata Wonwoo sambil menghindari bolanya. Bola itu melayang di samping bahu Wonwoo dan
jatuh di semak-semak. Vernon mendecak.
Wonwoo melanjutkan. “Mungkin akan
lebih baik jika aku berbaring di kamar dan membayangkan matanya daripada bicara
padamu.”
Vernon yang sebelumnya mendecak
karena bolanya sudah menghilang kini malah terkikik mendengar ucapan Wonwoo.
“Dan aku yakin dia sedang tidur
nyenyak sekarang, menanti pagi, berharap bisa memperbaiki hubungannya dengan
L.Joe,” kata Vernon, sengaja. Menggoda pria yang sedang cemburu adalah hal
paling menghibur sedunia.
“Benar,” kata Wonwoo sambil
tersenyum kecut.
Vernon terkikik lagi.
“Terima kasih, sungguh. Kau
sangat membantu,” ujar Wonwoo sarkas, sambil berjalan meninggalkan Vernon. Ia
mengerti sekarang kenapa anak itu ditinggalkan teman-temannya. Semakin lama
bersama Vernon, semakin ia ingin mendorongnya ke jurang. Itu bukan kiasan.
**********
Hyo Jin berdiam di depan rak
buku, matanya berkilat pada gadis berambut merah dengan riasan gothic itu—si
penjaga koperasi.
“Aku bersumpah kemarin lusa
temanku beli buku yang sama, disini, dan harganya cuma 4000 Won.”
“Itu kan kemarin lusa,” ujar si
gothic. “Harga dollar sudah naik sekarang.”
“Tuhan! Apa hubungannya?”
“8000 Won, atau letakkan kembali
bukunya!”
“Aku butuh buku ini untuk kelas
besok. Si janggut putih itu tak akan mengizinkanku masuk kelasnya kalau tidak
bawa buku ini, dan sebenarnya ditambah 4 buku lain… yang sepertinya sudah
habis.” Hyo Jin memelankan suaranya di kalimat terakhir, putus asa. Ia sudah
berkeliling di seluruh rak buku dan yang tersisa hanya buku ini. Dan sekarang
si penjaga koperasi yang selalu berdandan menyeramkan ini malah menaikkan harga
bukunya 2 kali lipat, seenak jidat.
“Dengar, walaupun aku berhasil
mendapatkan buku ini, aku masih tak tahu apa aku boleh masuk ke kelasnya.
Bisakah kau berhenti mempersulit hidupku?”
“Kurasa tidak,” kata si penjaga,
tangannya bergerak cepat merebut buku di tangan Hyo Jin.
“Heiiii!” seru Hyo Jin tak
terima. Gadis itu melempar tasnya dan langsung melompat ke arah si penjaga.
Pertarungan sengit pun di mulai.
Mereka saling tarik-menarik buku,
seraya menyumpah satu sama lain. Orang-orang di sekitar koperasi mulai
berkerumun, mengambil foto, merekam video, bersorak sorai.
Lepaskan bukuku dasar kau setan merah!
Keparat, buku ini bukan punyamu!
Kau tak punya hak menaikkan harganya jadi 2 kali lipat!
Tentu saja aku berhak!
Saat itu, seseorang menarik
pinggang Hyo Jin dan menjauhkannya dari si gothic berambut merah. Si penjaga
itu pun memeluk bukunya dan segera berlari menjauh. Hyo Jin berteriak keras, “tidak!
Tidak! Mau kemana kau?”
Hyo Jin menyikut pria yang
melerainya itu sampai pegangannya terlepas, lantas bersiap untuk mengejar sang
penjaga koperasi. Namun si pria dengan cepat menangkap tangan Hyo Jin.
“Jangan ikut cam—Wonwoo?”
Wonwoo mengerang memegangi
perutnya.
“Astaga! Apa yang kau lakukan
disini? Maafkan aku,” ujar Hyo Jin.
“Ayo keluar dari sini!” bisik
Wonwoo, dengan ekspresi menahan sakit, lantas berseru pada beberapa orang yang
masih mengacungkan ponsel ke arah mereka.
“Hehh! Berhenti merekam!”
“Ayo!” Ia pun menarik tangan Hyo
Jin dan berlalu pergi, diiringi sorakan.
“Wonwoo, aku butuh bukunya,” kata
Hyo Jin begitu mereka di luar.
“Aku tahu.”
“Kalau begitu lepaskan aku!”
“Memangnya apa yang mau kau
lakukan?”
“Menghajar setan merah itu.
Merebut bukunya. Apalagi?”
“Atau kau bisa membelinya di
tempat lain? Secara baik-baik?”
“Itu untuk besok. Aku tak punya
waktu lagi.”
“Sampai jam berapa kelasmu hari
ini?”
“Jam 3.”
“Kalau begitu kau masih punya
waktu.”
Hyo Jin mengerutkan dahi.
“Pasar loak Anseong. Tidak
terlalu jauh. Hanya sekali naik bus. Dan Kau bisa mendapat 5 buku dengan 10.000 Won disana,” jelas
Wonwoo.
“Kau sungguh mau mengantarku
kesana?”
“Ya.”
“Wow. Sungguh?”
“Yaa~ kenapa tidak?”
“Tanpa Wendy?”
“Kau mau mengajak Wendy?”
“Tidak. Tidak. Maksudku…. hanya
berdua? Apa ini bagian dari misi politikmu? Apa kau janji tak akan
meninggalkanku disana?”
“Aku akan menunggumu di gerbang
DIMA jam setengah 4?”
Hyo Jin menatap Wonwoo dengan
takjub. “Apa kau yakin kau baik-baik saja?”
“Kalau kau terus bicara omong
kosong, lupakan saja pasar loaknya!”
“Oke!” Hyo Jin menyela secepat
dan sekeras yang ia bisa. “Jam setengah 4! Chill,
my dear rival. ”
“Dear?” ulang Wonwoo, sedikit tersenyum.
“Yeah, but still a ‘rival’ so…” Hyo Jin mengedikkan bahu.
“Apa L.Joe sudah menemuimu?”
Hyo Jin menggeleng.
“Jadi kau masih available?”
Hyo Jin menatap Wonwoo sambil memasukkan
kedua tangannya ke saku jeans, sambil memainkan alis, mengernyitkan hidung,
menahan senyum.
“Ya.”
“Ya?”
“Ya.”
**********
Wonwoo tak bisa menunggu sampai
jam setengah 4. Segera setelah kelas sejarah musiknya usai, Wonwoo berlari ke
asramanya dan mengganti baju secepat yang ia bisa. Mingyu sedang bermain game
online di laptop saat itu terjadi. Dia bertanya, “apa ada gempa?” yang tentu
saja dihiraukan Wonwoo.
Wonwoo berjalan cepat melewati
ruang pertunjukkan, lalu memperlambat tempo langkahnya saat melewati
jendela-jendela kelas teater—mungkin Hyo Jin ada di salah satu kelas itu.
Dia sampai di depan gerbang pukul
2 lewat 48 menit.
“42 menit lagi,” gumamnya. “Tidak
lama.”
Hyo Jin tiba 20 menit kemudian,
jauh lebih awal dari yang mereka janjikan. Gadis itu berlari ke arahnya dengan
gembira, lalu menangkap tangan Wonwoo sambil tersenyum dan tersengal-sengal.
“Apa aku terlambat?”
“Tidak.”
“Tadinya aku mau ganti baju dulu.
Tapi aku melihatmu.”
Gedung asrama wanita hanya
berjarak 25 meter dari gerbang. Wajar gadis itu melihatnya.
“Kau bisa ganti baju dulu,” kata
Wonwoo. “Pakai sesuatu untuk menutupi lenganmu. Kita akan naik bus.”
Hyo Jin memakai turtleneck blouse
berwarna nude dan jeans hitam. Dan jika mereka akan pulang larut—seperti saat
konser Rock sabtu lalu—ia tahu ia akan membeku. Dan yang lebih buruk, Wonwoo
hanya memakai kaos hitam berlengan panjang saat ini, yang artinya, tak ada
jaket atau mantel yang bisa ditawarkan untuk menghangatkannya.
“Oke, aku akan ambil cardigan.
Diam disini!”
“Tentu.”
**********
Ini pertama kalinya Hyo Jin
mengunjugi pasar loak di Anseong. Dan ia tak menyangka pasar loak bisa sebesar
dan seramai ini. Banyak kedai yang menjual barang-barang antik, sesuatu yang terbuat
dari kayu, piringan hitam, baju-baju. Puluhan lampion oranye digantung di kanan
kiri jalan. Dan semua orang disini terlihat super ramah.
Mereka membeli teh susu Thailand
dan masuk ke toko baju gipsy. Hyo Jin mengambil Maxi dress dengan motif penuh
dan bahan yang melambai seperti sifon, lalu berjalan kesana kemari dengan
bangga. Sementara Wonwoo tertawa di depannya.
“Kau cocok dengan gaya hippie.”
“Ini gipsy.”
“Bukankah mereka sama?”
“Setahuku gaya gipsy lebih bebas,
lihat betapa abstraknya motif ini,” kata Hyo Jin. Wonwoo mengedikan bahu. “Aku
sama sekali tak mengerti. Tapi itu indah.”
“Yeah, mau membelikannya
untukku?”
“Kau gila?”
Hyo Jin terkikik.
“Berapa harganya?”
Hyo Jin berhenti terkikik dan
langsung membekap mulutnya. Matanya berbinar-binar dan Wonwoo bisa merasakan
betapa lebarnya senyum Hyo Jin dibalik bekapan tangan itu. “Kau serius?”
“A..aku hanya ingin tahu
harganya.”
“OHHHHHH!!! Itu pilihan yang
bagus, sayang.” Tiba-tiba seorang wanita yang terlihat seperti peramal kartu
tarot—dengan rok bermotif bunga, headband silver dan cincin-cincin besar—datang
dan meletakkan tangannya di lengan Hyo Jin. “Hanya 30.000 Won sayang. Kalau aku
jadi kau, aku akan langsung membelinya untuk pacarmu yang cantik ini.”
Wonwoo nyaris menabrak rak baju
di belakangnya. “30.000?”
“Ya. Sangat murah untuk kualitas
terbaik,” katanya dengan suara melengking.
Wonwoo dan Hyo Jin saling
bertukar pandang dengan takut.
“A..aku beli.”
“Sudah kudugaaa!!” teriak sang
wanita, refleks melepas lengan Hyo Jin.
“…gelangnya,” lanjut Wonwoo
cepat, sebelum si wanita kelewat girang. “Maksudku, aku beli gelangnya,” Wonwoo
langsung meraup setengah lusin gelang.
Wanita itu menatapnya tak
percaya, lebih seperti murka, seolah ia akan melemparkan serbuk beracun sambil
tertawa ala Maleficent di film sleeping beauty.
“Satunya 300 Won.”
“Oke.” Wonwoo segera mengeluarkan
dompetnya, lalu memberi isyarat pada Hyo Jin agar gadis itu segera melepas baju
gipsy-nya.
Akhirnya, mereka berhasil keluar
dari lapak si wanita gipsy. Hyo Jin tak bisa mengendalikan tawanya, dia
terkikik sampai matanya berair.
“Apa yang sangat lucu ha? Dia
hampir menelan kita hidup-hidup.”
“Ekspresimu,” jawab Hyo Jin tanpa
basa-basi. “Kau sangat takut. Kau bahkan tak mencoba menutupinya.”
“Dia memang mengerikan. Dia
terlihat seperti siap mencolok mataku dengan batu cincinnya.”
Hyo Jin terkikik lebih keras,
mendorong Wonwoo. Pria itu ikut tertawa. “Aku serius.”
“Sebenarnya kau tak perlu
membelikanku gelang-gelang ini.” Hyo Jin mengangkat tangan kirinya yang
dipenuhi 6 gelang berwana-warni dengan koin-koin perak. “Aku tak benar-benar
serius saat memintamu membelikan bajunya.”
“Tapi kau sudah mencoba 5 baju,
jika aku tak salah hitung. Dan kita sudah menghabiskan waktu disana lebih dari
40 menit, kita tak bisa keluar begitu saja tanpa membeli sesuatu. Itu tidak
sopan.”
“Aww. Kau peduli dengan hal-hal
seperti itu? Manis sekali.”
“Memangnya kau tidak?”
“Tidak.”
“Oke, tapi penjualnya mengerikan.
Aku tak berani menolaknya.”
Hyo Jin mengangguk sambil
membayangkan gaya busana wanita tadi. “Kurasa dia kelewat gipsy.”
“Ya.”
Wonwoo tak tahu sejak kapan
mereka melakukan ini, yang pasti mereka sudah bergandengan tangan. Mungkin
sejak keluar dari toko gipsy, mungkin lebih awal dari itu. Wonwoo
bertanya-tanya dalam hati apa Hyo Jin menyadarinya. Apa lebih baik ia melepas
tangannya sekarang, sebelum gadis itu sadar? Atau lebih baik pura-pura tidak
sadar saja?
“Lihat! Astaga boneka kayu!!”
Saat Wonwoo sedang cemas dengan keadaan tangan mereka, Hyo Jin malah memekik.
“Ayo masuk kesana!! Mungkin ada Pinokio dan paman Gepetto.”
Hyo Jin langsung menarik tangan Wonwoo, bersiap mendekati toko itu, namun Wonwoo menahan kakinya.
“Kau ingat tujuan kita kesini?”
Hyo Jin mengernyit.
“Kita sudah mampir ke mana-mana,
Hyo. Ini sudah hampir jam sembilan. Bagaimana dengan buku seni dramamu?”
Hyo Jin merengut. Wonwoo membuang
muka karena tak tahan dengan ekspresi itu.
“Lima menit. Aku cuma mau foto
dengan pinokio,” pinta Hyo Jin.
“Kata siapa ada Pinokio?”
“Jika tak ada kita bisa langsung
keluar.”
“Kau janji?”
“Ya!! Ayo!”
Dan tidak ada Pinokio. Semua yang
dipajang di sana hanyalah manekin-manekin dengan beragam ukuran, tanpa wajah.
Tapi Hyo Jin tetap meminta Wonwoo memotretnya dengan manekin yang paling besar.
Bukan itu saja, Hyo Jin bahkan mendorong Wonwoo untuk gantian berfoto dengan
manekin itu.
Setelah keluar dari toko manekin
kayu, Wonwoo mencoba mengingat-ingat dimana lapak bukunya.
“Kesana!” kata Wonwoo, seraya
melangkah.
“Kau yakin?”
“Entahlah! Seingatku ada di depan
toko musik.”
“Toko musik?”
“Aku biasa kesana saat belajar gitar.
Penjaga tokonya baik. Lalu kalau tidak salah di depannya ada toko buku.”
“Jadi begitu sudah mahir, kau
berhenti kesana?”
“Bukan karena sudah mahir.”
“Lalu?”
“DIMA membeli 5 gitar tambahan.
Aku tinggal pergi ke ruang musik kalau mau belajar.”
Dan ternyata Wonwoo benar. Mereka
menemukan toko buku itu persis di depan toko alat musik. Wonwoo menunggu Hyo
Jin di depan toko sambil membaca buku kumpulan puisi. Tetapi matanya terus
melirik ke alat-alat musik yang berjejer di seberang sana.
Wonwoo tak tahu siapa yang ia
coba bohongi. Dirinya sendiri? Untuk apa dia membaca kumpulan puisi?
Pria itu menutup buku puisi
tersebut dan meletakkannya kembali di rak. Lantas berjalan ke seberang.
Tak ada perubahan besar dari toko
musik itu. Kecuali di bagian depan, alat-alat musik yang berkarat kini sudah
dipindahkan ke belakang.
“Wonwoo?”
“Paman Ong. Kau masih
mengingatku?”
Pria setengah baya itu mengenakan
kemeja kotak-kotak putih dan suspender. Rambutnya putih, kumisnya putih.
Bibirnya melengkung lebar.
“Kau pikir setua apa aku ini
sampai tidak mengingatmu? Kau dulu kesini tiap hari. Kemarilah, lihat! Gitar ini
sengaja kusimpan agar kau bisa memainkannya.”
Wonwoo tak beranjak dari
tempatnya. “Paman Ong,” panggilnya, membuat sang paman kembali berbalik. “Kau
tahu kenapa aku berhenti ke sini?”
“Karena akhirnya kampusmu menyediakan
dana untuk membeli gitar tambahan? Ya Tuhan, kau sudah bilang. Kenapa kau
senang sekali mengetes ingatanku?” Pria itu memegangi tali suspendernya dan
tertawa seperti sinterklas.
“Ya. Itu benar. Tapi ada alasan
lain.”
Paman Ong mengerutkan dahinya.
“Ada yang lain?”
“Ya. Aku takut menjadi parasit.
Maksudku, aku memang sudah menjadi parasit. Aku ingin berhenti membebanimu.”
Paman Ong mengerutkan dahinya
lagi, lalu berkata dengan lirih. “Kenapa kau berpikir begitu?”
“Karena aku memang seperti itu.
Aku ke sini tiap hari, memainkan gitarmu tanpa membeli apa-apa. Kau menolak
uangku. Kau memberiku air minum dan kudapan, dan mengajakku ngobrol, dan memuji
permainanku yang payah. Kau baik sekali. Benar-benar baik. Rasanya tidak enak
dihujani dengan kebaikan, tapi kau tak berdaya membalasnya, barang sesenpun.
Aku juga ingin memberimu sesuatu, paman Ong. Aku ingin sekali.” Wonwoo bisa
merasakan bagaimana hatinya memberat. “Tapi aku tak punya apa-apa.”
Paman Ong menatapnya dengan
sedih, yang membuat Wonwoo semakin tak enak hati.
“Kebaikan macam apa yang
menurutmu paling dibutuhkan oleh pria tua sebatang kara ini?”
Wonwoo tak menjawab. Matanya
sudah terlalu perih untuk bicara tanpa meneteskan air mata.
“Dengar nak, kau meluangkan waktu
untuk bermain gitar di tokoku saja sudah lebih dari cukup. Kau sama sekali tak
membebaniku. Kau mendengarkan semua ceritaku, menemaniku. Kebaikan macam apa
lagi yang ingin kau berikan?”
Paman Ong melanjutkan. “Aku
kesepian. Aku manusia paling kesepian di muka bumi. Orang-orang tak begitu
senang mendengarkanku bicara. Tapi kau mendengarkanku, bahkan meresponnya. Aku senang mendengar permainanmu, nak. Ya,
itu bukan yang terbaik, tapi kau akan berkembang. Dan aku senang melihatmu
berkembang di tokoku. Aku merasa hidup, dan itu semua karenamu. Kebaikan macam
apa lagi yang ingin kau berikan?”
Wonwoo terenyuh. “Kau serius? Itu
cukup?”
“Ya,” sahutnya tegas. “Ya,
Wonwoo. Ya. Maukah kau bermain malam ini?”
“Dengan senang hati.”
Paman Ong segera mengambil gitar
yang ia maksud dengan penuh semangat, kemudian menyerahkannya pada Wonwoo. Pria
itu terlihat seperti sudah menunggu hari ini seumur hidupnya.
Wonwoo duduk di kursi kayu tinggi
sementara Paman Ong yang terlihat sangat gembira itu bersandar di tembok.
“Lagu apa yang akan kau mainkan
kali ini?”
“Aku punya lagu ciptaanku
sendiri. Spesial untukmu.”
“Benarkah?”
“Tidak juga, sebenarnya ini untuk
pengambilan nilai hari Rabu. Tapi kau akan jadi orang pertama yang
mendengarnya. Jadi ini spesial untukmu.”
Paman Ong tersenyum bangga dan
mengangguk, menyuruhnya bermain.
Wonwoo mulai memetik senar-senar
gitar itu, menghasilkan suara yang lembut. Hanya nada-nada indah tanpa lirik,
namun penghayatan Wonwoo membuat lagu itu lebih bermakna dari ribuan kata yang
dibuat oleh Morrissey.
Wonwoo bisa merasakan tangannya
bergetar di ujung lagu, dan saat ia mendongak, wajah Paman Ong sudah dipenuhi
air mata, dalam artian baik. Pria berambut putih itu tersenyum dan menggelengkan
kepala, dia tersenyum bangga, yang membuat Wonwoo ikut tersenyum, lebih bangga.
**********
Hyo Jin bermaksud menggoda
Wonwoo—yang sedang membaca buku kumpulan puisi—saat tiba-tiba pria itu menutup
bukunya dan menyebrang jalan. Hyo Jin tak bicara apa-apa, ia memperhatikan
Wonwoo memasuki toko musik itu dalam diam.
Kemudian, karena ingin menyusul, gadis
itu membayar buku-bukunya dan ikut menyebrang, ikut masuk ke dalam sana tanpa
suara. Hyo Jin mendengar percakapan mereka, yang membuatnya mengagumi Wonwoo dengan
kadar luar biasa, yang membuat hatinya luluh lantak. Dan saat itu, saat Hyo Jin
sedang memungut serpihan hatinya yang luluh lantak, Wonwoo memetik senar
gitarnya.
Dan detik berikutnya, Hyo Jin
menemukan dirinya tergugah. Itu lagu yang sangat sederhana, namun terdengar
begitu tulus, begitu indah.
Hyo Jin bisa mendengar lagu
itu mengalun di telinganya.
Hyo Jin bisa mendengar lagu
itu mengalun... di hatinya.
Selanjutnya, yang Hyo Jin tahu,
air matanya keluar bak air bah. Ia mendorong pintu keluar dan berlari.
Butuh sepuluh menit bagi Wonwoo untuk
bisa menemukannya. Pria itu menghela napas lega begitu melihat Hyo Jin duduk di
salah satu undakan tangga menuju lapangan. Wonwoo tak langsung menghampiri, ia
membeli sebotol air mineral sebelum berjalan ke arahnya.
“Apa kau mencariku? Maaf, tadi
aku ke toko alat musik di depan,” kata Wonwoo, sembari menyodorkan minumannya.
“Kau haus? Aku beli minum.”
Hyo Jin menoleh, beruntung lampu
jalan di trotoar tak cukup terang untuk menyinari matanya yang sembap. Jadi Hyo
Jin tak perlu berkilah.
“Kau dengar lagu itu?” tanya Hyo
Jin.
“Lagu apa?”
“What if there was no light? Nothing wrong, nothing right.” Hyo Jin
menyanyikan lagu itu. Lagu Coldplay, terdengar sangat samar dari lapak-lapak
musik.
Wonwoo mempertajam pendengarannya
dan mengangguk.
“Mau dansa denganku?” tanya Hyo
Jin.
“Apa?”
“Aku mau dansa denganmu.”
“Diiringi dengan lagu sedepresi
itu?”
“Ya.”
“Ya? Entahlah.”
“Kumohon.” Hyo Jin berdiri dan
menarik tangan Wonwoo. Pria itu benar-benar tak mengerti dengan tingkah gadis
ini. Ia mengernyit pada Hyo Jin, seolah berkata ‘kau adalah manusia paling random sedunia’.
Begitu keduanya berdiri, Hyo Jin
mengalungkan tangannya di leher Wonwoo. Tersenyum tipis. Sementara Wonwoo
benar-benar tak tahu harus apa, ia tak membalas senyum Hyo Jin, tangannya
mengambang dua centi dari pinggang sang gadis. Jantungnya siap meledak.
What if you should decide
That you don't want me there by your side
That you don't want me there in your life
Lagu itu sangat samar, tapi
Wonwoo masih bisa mendengarnya. Dan sesuatu di dalam dadanya terasa perih.
Bagaimana jika L.Joe datang besok pagi? Bagaimana jika Hyo Jin akhirnya kembali pada pria itu? Apa ia akan baik-baik saja? Apa ia bisa pura-pura baik-baik
saja?
Wonwoo balik menatap Hyo Jin,
sedalam yang ia bisa, seolah sedang menghipnotisnya, ‘Cintai aku! Cintai aku!’.
Keduanya bergerak ke kanan kiri dengan
anggun, laksana berdansa di ballroom sungguhan.
Ooh ooh-ooh, that's right
Let's take a breath, try to hold it inside
Ooh ooh-ooh, that's right
How can you know it, if you don't even try
Ooh ooh-ooh, that's right
Irama jantung Wonwoo mulai
tenang, dan ia sudah berani memeluk Hyo Jin dengan erat. Mereka berada di
bagian terluar pasar, di penghujung malam, di hari Senin. Suasana di sana jelas
lebih sepi daripada biasanya. Sekalipun ada yang lewat, tak ada satu pun yang
terlihat peduli, sudah sibuk dengan urusan masing-masing.
“Apa sungguh tak ada yang berubah
dengan perasaanmu selepas kita bertatapan waktu itu?” tanya Hyo Jin, masih di
posisi yang sama. “Sedikit pun?”
Wonwoo menelan ludahnya. Itu
adalah pertanyaan jebakan. Irama jantungnya meroket begitu saja.
“Entahlah.”
“Aku tak bisa tidur semalaman,”
jawab Hyo Jin jujur. “Memikirkan matamu.”
Wonwoo merasakan dirinya
tersenyum, merasa seolah sesuatu yang hangat tumpah di hatinya.
Hyo Jin melanjutkan, “Aku
berpikir itu hanya perasaan sesaat. Tapi aku bahkan masih memikirkanmu sampai
detik ini, saat jarak kita sedekat ini.”
Hyo Jin menunggu Wonwoo bicara.
Tapi pria itu benar-benar tak punya apa pun untuk dikatakan. Dia merasa seperti
baru saja terhempas dari bumi.
Hyo Jin masih menunggu. Dia menatap
Wonwoo seolah berkata 'katakanlah sesuatu!'.
Akhirnya, dengan suara serak dan
aneh (karena perasaan gugup yang meledak-ledak), Wonwoo bertanya. “Apa kau
sudah bertemu dengan L.Joe sejak itu?”
Hyo Jin menggeleng.
“Mungkin itu masalahnya,” kata
Wonwoo, masih dengan suaranya yang serak dan aneh. “Mungkin perasaanmu akan
jelas saat kau bertemu dengannya.”
Hyo Jin terdiam, namun pada
akhirnya tetap mengangguk.
“Yeah, mungkin. Tapi aku hanya
ingin membuatnya jelas untuk sekarang. Bahwa aku menyukaimu.”
“Jawaban apa yang ingin kau
dengar dariku?”
Hyo Jin tak tahu, ia sama sekali
tak tahu. Gadis itu menarik napas dalam, kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah
Wonwoo. “Apa saja.”
“Apa saja?”
“Ya. Entahlah.”
“Kau sungguh menyukaiku?”
“Demi Tuhan.”
“Kalau sekarang aku bilang aku
juga menyukaimu, dan besok pagi L.Joe datang, siapa yang akan kau pilih?”
Hyo Jin menekankan hidungnya di
sepanjang rahang Wonwoo, kemudian berbisik. “Kau.”
Every step that you take
Could be your biggest mistake
It could bend or it could break
That's the risk that you take
**********
Hyo Jin sampai di lorong
asramanya pukul 11 malam. Dia benar-benar kelelahan dan kegirangan di saat yang
sama, kakinya terasa melayang. Gadis itu melangkah pelan-pelan menaiki tangga,
sambil menggoyang-goyangkan paper bag-nya
yang berisi buku, sambil memandangi gelang-gelangnya yang menjadi saksi bisu.
Saksi bisu apa? pikir Hyo Jin. Toh tidak ada yang terjadi.
Setelah lagunya habis, Wonwoo
menarik pundaknya dan berkata, “kita harus berlari ke halte sekarang jika tak
mau ketinggalan bus terakhir. Aku tak punya uang untuk taksi.”
Dan mereka tak bicara sama sekali
saat di bus. Hyo Jin terlalu malu untuk bertanya, ‘apa kau menyukaiku juga?’.
Lalu, saat keduanya berpisah di
depan asrama wanita, saat Hyo Jin sudah hampir menginjak lantai, Wonwoo
berteriak dan berlari menyusulnya. Ia bilang, “aku belum bisa mengatakan aku
menyukaimu sekarang—bukan artinya aku tidak menyukaimu. Aku hanya takut kau
belum yakin. Mungkin kau hanya merindukan L.Joe. Kau tahu, dia sudah bersamamu
2 tahun, dan kita baru.. 2 hari? Aku…yeah, kau mengerti kan?”
“Ya, ya tentu.” Hyo Jin
mengangguk. “Dan maaf soal yang tadi, aku benar-benar terbawa suasana. Kau
mungkin akan jijik padaku setelah hari ini. Benar-benar jalang.”
“Tidak. Jangan katakan itu. Kau
menyenangkan. Ini hari yang menyenangkan. Lagipula siapa yang tidak terbawa
suasana? Maaf sudah memelukmu.”
“Ampun! Jangan minta maaf.”
“Kita ketemu lain waktu?”
“Ya.”
“Ya.”
Saat Hyo Jin berbalik di lorong
kamarnya, langkahnya terhenti. Senyumnya juga terhenti.
Ada pria di depan kamarnya.
L.Joe.
Menyandar di tembok sambil
bersedekap, dan seolah punya radar, pria itu langsung menoleh padanya, lantas
berdiri tegak. Sudah terlambat bagi Hyo Jin untuk kabur, jadi dia melangkah dan
berdiri di depan L.Joe.
“Kemana saja?” tanya pria itu
putus asa. “Kau tahu aku sedang tak punya handphone sekarang. Aku benar-benar khawatir.”
“Untuk apa kau khawatir?”
“Bagaimana bisa aku tak
khawatir?” tuntut L.Joe tajam. “Ini jam 11. Dengan siapa kau pergi?”
“Hei, kau tak berhak lagi
membentakku. Bahkan sekalipun kita masih pacaran, kau tak berhak membentakku!”
Hyo Jin berteriak sekuat tenaga, dan mendorong L.Joe dengan marah. Emosinya
meletup-letup dan pelupuk matanya basah. “Tuhan! Aku belum 5 menit bersamamu,
dan kau sudah membuatku menangis lagi!”
Hyo Jin menjatuhkan paper bag dan mengusap wajahnya. L.Joe
terdiam. Hyo Jin bersandar di dinding dan merosot ke bawah, menyembunyikan
wajahnya di balik lutut sambil menangis tersedu-sedu.
“Tidak. Maafkan aku!” Pria itu
berjongkok, beringsut mendekati Hyo Jin.
“Hei.. hei.. jangan menangis. Aku
benar-benar minta maaf. Aku tak bisa mengontrol nada suaraku. Kadang aku tak
sadar aku sedang berteriak.”
“Aku bilang kan jangan dekati aku
sampai kau bisa mengendalikan temperamenmu. Itu mengerikan. Kau mengerikan,”
kata Hyo Jin di sela-sela tangisnya.
L.Joe menangkup wajah Hyo Jin dan
mengusap air matanya dengan ibu jari.
“Kenapa kau marah-marah terus?
Bahkan ketika kita sudah putus? Aku lelah.” Hyo Jin menepis tangan L.Joe.
“Aku marah karena aku peduli.”
“Apa tidak ada cara yang lebih
baik untuk menunjukkan kepedulianmu selain berteriak?”
“Aku bilang aku akan berhenti,
Hyo!”
“Lihat dirimu sekarang! Kau
berteriak lagi!” sahut Hyo Jin.
“Makanya dengarkan aku!”
“Dengar apa?”
“Tenangkan dirimu, dan dengarkan
aku, aku akan menjelaskan semuanya! Jangan menangis. Please.. “
“Menjelaskan apa?”
“Kenapa kau tak boleh ke asrama
pria? Kenapa kau tak boleh menonton rehearsal bandku? Kenapa aku tak
memberitahumu soal mata-mata partai merah? Atau pertanyaan lain.”
Hyo Jin berhenti menangis dan
menatap L.Joe, yang kini sudah duduk bersila di depannya.
“Pertama, kenapa kau tak boleh ke
asrama pria? Karena… yah.. untuk apa? Ratusan cowok tinggal di satu atap itu
lebih horor dibanding film horor manapun. Banyak orang gila disana. Apalagi di
lobi. Mereka akan mengganggumu. Dan tempat itu benar-benar jorok, bahkan
kamarku. Percayalah, tak ada yang bisa kau lakukan disana. Apa yang kau
harapkan dari asrama pria? Cowok-cowok ber-abs? Tidak. Tidak ada yang seperti
itu. Asrama pria lebih buruk dari kandang buaya. Aku tidak melebih-lebihkan. Aku
lebih senang melihatmu masuk kandang buaya sungguhan daripada masuk kesana.
Oke?”
Hyo Jin pernah masuk kesana. Dan
ia setuju. Dan ia mengerti. Dan itu alasan yang masuk akal.
“Kedua, kenapa kau tak boleh
menonton rehearsal bandku? Cih..”
***********
Wonwoo tak pernah merasa sesenang
ini seumur hidupnya. Ia berlari seperti menggunakan turbo dalam video games, ia
berlari sembari tersenyum lebar dan menggertakkan gigi. Orang-orang di lobi
asrama pria menatapnya dengan heran, tetapi ia tak peduli.
Wonwoo menggebrak-gerbrak pintu
kamarnya dengan senyum lebar dan napas yang tersengal, ia terlalu bahagia
sampai-sampai tak mengingat dia punya kunci sendiri di kantong celananya.
Mingyu membuka pintu kamar itu
sambil mengerang. “Bodoh. Kau kan punya kun—KYAAA!”
Wonwoo melompat ke arah Mingyu
sebelum pria itu sempat menyelesaikan kalimatnya. Benar-benar melompat. Seperti
kangguru.
Wonwoo memeluk Mingyu dengan erat
sambil berteriak, “dia menyukaiku! Dia memikirkan mataku sepanjang malam! Kau percaya
itu?! Tidak bertepuk sebelah tangan!”
Wonwoo mencium pipi Mingyu, yang
kontan membuat teman sekamarnya itu berteriak seperti habis digigit simpanze.
Mingyu bisa merasakan pita
suaranya bergetar dahsyat sebelum akhirnya putus, kemudian tertelan dan
bersarang di perut. “Dasar gay!” semburnya, mendorong Wonwoo sampai pria itu
menabrak meja belajar.
Wonwoo tak peduli dengan punggungnya
yang sakit—ia bahkan tidak bisa merasakan rasa sakit sama sekali, ia tak peduli
pada teriakan itu, ia tak peduli pada Mingyu yang tengah menyumpahinya, yang
berlari ke kamar mandi dan menggosok-gosok pipinya dengan sabun batangan.
Wonwoo melompat ke ranjang. Adrenalinnya melesak ke seluruh penjuru tubuh, ia
berguling-guling di ranjangnya selama beberapa saat, sebelum akhirnya lelah
sendiri dan berhenti dalam posisi tengkurap.
Wonwoo membenamkan mukanya di
bantal. “Aku menyukaimu juga,” gumamnya sebanyak mungkin. Ia menyesal setengah
mati karena tidak mengatakan itu di depan muka Hyo Jin. Kejadian seperti tadi
bukanlah sesuatu yang bisa terulang setiap hari. Bodoh. Bodoh.
“Jadi kau dan
siapapun-gadis-malang-itu sudah jadian?” tanya Mingyu sambil mengeringkan
mukanya dengan handuk.
Wonwoo membalik posisinya menjadi
telentang. “Belum.”
Mingyu melotot. “Dan kau sudah
sesenang ini? Ya Tuhan! Apa yang akan kau lakukan padaku jika kalian jadian?”
seru Mingyu frustasi, seraya berjalan tergesa-gesa ke pintu. Pria itu membukanya dan
melengoskan kepalanya ke luar. “Siapapun yang ingin bertukar kamar denganku.
Aku bersedia!!”
Mingyu menutup pintu di
belakangnya dan bertolak pinggang menatap Wonwoo.
“Jadi apa yang kalian lakukan
sampai selarut ini?”
“Jalan-jalan di pasar loak.”
“Keren. Lalu?”
“Dan dia mencium rahangku.”
“Apa kau tahu orang normal
berciuman di bibir?”
“Yeah. Tapi siapa peduli? Dia
mencium rahangku dengan hidung.” Wonwoo terdengar sangat bangga saat
mengucapkannya, seolah itu adalah hal paling keren yang terjadi di muka bumi.
Mingyu kehilangan kata. “Wow.
Oke. Jelas itu sesuatu yang tak akan aku lakukan. Tapi bagus untukmu, maksudku,
sepertinya kalian memang tercipta untuk satu sama lain. Orang aneh dan orang
aneh.”
“Itu menakjubkan.”
“Ya. Ya. Ya. Apa pipimu tidak
sakit? Kau tersenyum seperti psikopat. Berhenti tersenyum!”
“Aku tidak tahu caranya.”
“Kau bisa menelfonnya sekarang,
katakan selamat malam atau apalah. Lalu pejamkan matamu! Tidur!”
“Aku tak bisa menelfonnya.”
“Jangan bilang kau belum punya
nomernya?!” tanya Mingyu waspada.
“Memang belum.”
Mingyu menatapnya prihatin.
Wonwoo tersenyum lebar.
Wonwoo tersenyum lebar.
**********
“Kedua, kenapa kau tak boleh
menonton rehearsal bandku? Cih..” L.Joe menghela napas putus asa. “Kenapa kau
harus menghancurkan rencanaku? Padahal aku ingin sekali melihat reaksimu saat
kami tampil. Aku bisa membayangkan kau menjerit kencang. Kau menghancurkan
fantasiku. Sial.”
L.Joe melanjutkan dengan berat
hati. “Kau tahu apa posisiku disana?”
Hyo Jin menggeleng. “Kau
merahasikan segalanya dariku.”
“Tebak.”
“Keyboardist? Apa lagi yang kau
bisa? Kecuali kalau violinist diizinkan dalam band? Sekalipun diizinkan kau
pasti akan terlihat sangat feminin.” Hyo Jin nyaris terkikik, sebelum akhirnya
ia sadar ia sedang marah.
“Aku drummer.”
“APA?” Hyo Jin terbelalak.
“Yeah, yeah, berteriaklah!” kata
L.Joe dengan senyum bangga. Dia berhasil. Dia berhasil membuat Hyo Jin
kehilangan kendali, gadis itu membekap mulutnya.
“Kau bohong, kan?”
“Untuk apa aku bohong?”
“Entahlah.”
“Kau bisa berhenti mengagumi
Minhyuk sekarang. Sungguh.”
“Kau benar-benar tidak waras,”
kata Hyo Jin takjub. “Kau belajar drum karena cemburu aku menyukai Minhyuk?”
“Bukankah itu keren?”
“Tidak. Itu sinting.” Hyo Jin
mendorong bahu L.Joe sembari tergelak kencang. “Astaga!!! Aku semakin penasaran
sekarang. Aku mau melihat bandmu. Apa namanya?”
“Pelankan suara cekikikanmu. Kau
tak mau aku diusir kan?”
Hyo Jin menggeleng sambil
mencebikkan bibir seperti anak kecil. Mereka sudah meremas tangan satu sama
lain tanpa sadar. L.Joe terus beringsut mendekat, walau nyatanya jarak di
antara mereka sudah terpangkas habis. L.Joe menekankan dahinya pada dahi Hyo
Jin sambil terkikik—dan bicara soal drum. Hyo Jin sangat menyukai drum—terlebih
drummer. Dan sekarang L.Joe adalah drummer. Wow.
“Ketiga, kenapa aku tidak memberitahumu soal mata-mata partai merah?” L.Joe menjauhkan kening mereka dan melepas tangannya dari Hyo Jin. Wajahnya berubah serius.
“Ada apa?” tanya Hyo Jin
hati-hati.
“Bisakah aku merahasiakannya dulu
untuk sekarang? Sedikit lagi semuanya akan terbongkar.”
“Apa maksudmu?”
“Kami mencurigai seseorang, tapi
dia belum mengaku. Kami harus hati-hati. Bahkan Hoshi pun tidak kami beritahu.
Dengar—“ L.Joe mengambil tangan Hyo Jin dan menciumnya, “aku percaya padamu.
Aku percaya. Tapi aku tak bisa mengkhianati Zio, Mark, Jinyoung dan Gong Myung.
Mereka teman-temanku. Oke?”
Hyo Jin mengangguk.
“Jadi kita baikan sekarang?”
**********
Keesokan paginya, Wonwoo berjalan ke asrama wanita. Ia ingin
menjemput Hyo Jin. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan gadis itu sejak
semalam. Ia tak peduli akan seheran apa Hyo Jin saat melihatnya berdiri disini,
ia benar-benar merindukan gadis itu sampai mengabaikan semua gengsinya.
Aku tak peduli kau musuhku, aku menyukaimu.
Wonwoo benar-benar dimabuk
kepayang. Wonwoo mengalami kebodohan, kemunduran mental, kelumpuhan. Semuanya.
Ia lebih dari yakin ia sedang jatuh cinta.
Hyo Jin akhirnya keluar dari
pintu asrama dan langsung menyapa Wonwoo dengan canggung. “Hei.”
Wonwoo berusaha untuk tidak tersenyum terlalu lebar, namun sekeras apa pun usahanya, pria
itu tetap terlihat seperti ingin menyaingi matahari.
Saat Wonwoo membuka mulutnya
untuk membalas sapaan itu, tiba-tiba seseorang memanggil Hyo Jin dengan keras.
Itu L.Joe.
L.Joe mencium Hyo Jin sebelum
gadis itu sempat menolak. Kejadian itu berlangsung dengan sangat cepat di depan
mata Wonwoo. Wonwoo tak tahu harus menoleh ke arah mana, jadi ia tak
menggerakkan kepalanya sama sekali. Hyo Jin mendorong L.Joe sambil berbisik,
“apa-apaan sih!” lalu menunduk.
L.Joe merangkul Hyo Jin dan
memandang Wonwoo dengan seringaian jahat, seolah ia bisa melihat betapa
hancurnya hati Wonwoo sekarang dan bahagia akan hal itu.
“Mau apa kesini?” tanya L.Joe,
ketus seperti biasanya.
“Aku mencari Wendy,” jawab Wonwoo
senatural mungkin.
“Dia masih di kamarnya,” kata Hyo
Jin, tanpa memandang Wonwoo sama sekali.
“Oke.” Wonwoo juga tak mau
memandang Hyo Jin. Ia berlalu begitu saja melewati 2 orang itu dan masuk ke
asrama putri. Demi menyelamatkan harga dirinya.
Ia berharap ia tidak bertemu
Wendy, atau siapapun. Ia tak mau bertemu siapapun sekarang. Rasanya ia ingin
pergi ke Kutub Selatan (atau Utara, terserah) untuk mengunci diri dalam Iglo,
jika ada orang-orang Eskimo atau penguin di dalamnya, ia pasti akan mengusirnya
terlebih dahulu. Ia benar-benar ingin sendiri.
**********
L.Joe dan Hyo Jin sudah setengah
jalan menuju gedung kampus saat sang gadis tiba-tiba berhenti. Ia tak akan bisa
berkonsentrasi di kelas mana pun jika hatinya terganjal seperti ini. Ia harus
bicara pada Wonwoo. Sekarang. Ia bisa gila jika harus menunggu sampai sore.
“Astaga!” Hyo Jin melengoskan
tangannya dari genggaman L.Joe. “Bodoh sekali! Apa aku baru saja membiarkan
Wonwoo bertemu Wendy?”
“Kau membicarakan soal kampanye
radio itu?”
“Yeah. Mereka sudah semakin
dekat, kau tahu. Wendy bahkan sudah mengajak Wonwoo ke ruang siaran. Gila, kan?
Ini benar-benar kelewatan. Dia bisa mendapat kampanyenya.” Hyo Jin merasa
ilmunya selama mengikuti kelas-kelas teater 2 tahun ini tidak sia-sia. L.Joe
terlihat percaya dengan kalimatnya itu.
“Apa yang harus kita lakukan?”
tanya L.Joe.
“Bukan kita. Tapi aku.”
“Kau mau kembali ke asrama?”
“Tentu saja. Aku harus kembali
ke sana sekarang, sebelum terlambat.”
“Oke. Ayo!” L.Joe meraih tangan
Hyo Jin dan siap berputar haluan.
“Tidak.” Hyo Jin menarik
tangannya. “Ini sudah jam delapan. Kau pasti akan telat jika ikut denganku.”
“Tidak apa-apa.”
“Apa kau tidak percaya padaku?
Aku bisa mengatasinya sendiri, Joe. Aku bisa.”
“Kau yakin?”
“Aku tak pernah seyakin ini
sebelumnya.”
L.Joe terlihat keberatan, namun
pada akhirnya tetap mengangguk. “Hati-hati,” katanya, mengacak rambut Hyo Jin.
Maka di sinilah Hyo Jin sekarang,
di bangunan asramanya. Hyo Jin menemukan Wonwoo di anak tangga lantai dua, tengah
duduk sambil menatap nanar pada tembok. Hatinya mencelus. Dia benar-benar
merasa seperti bajingan. Hyo Jin berjalan sangat pelan menghampiri Wonwoo,
kemudian berhenti satu meter di depannya.
Wonwoo yang baru menyadari
keberadaan Hyo Jin langsung berdiri. “M..mungkin Wendy masih tidur. Aku
mengetuk kamar kalian lama sekali tapi tak ada jawaban.” Wonwoo berkelit.
“Kau tidak mencarinya. Kau
mencariku,” kata Hyo Jin.
“Tidak. Untuk apa aku mencarimu?
Ada sesuatu yang harus kukatakan pada Wendy.”
“Kau mencariku!”
“Tidak.”
“Ya, mengakulah!”
“YA. YA. YA. Aku mencarimu. Aku
mau melihatmu. Aku merindukanmu. Kau puas?” Mata Wonwoo mendadak sangat merah.
Perasaan sakitnya seperti tembus pandang. Hyo Jin cuma memandangi pria itu
selama beberapa saat, sebelum akhirnya bicara pelan. “Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa. Aku senang kalian
baikan. Pada akhirnya aku benar kan? Kau tidak benar-benar menyukaiku, kau
hanya merindukannya,” ujar Wonwoo sarkas.
“Tapi aku sungguh-sungguh saat
mengatakan itu. Aku memang menyukaimu.”
“Tentu, Hyo. Tentu. Kau
menyukaiku, tapi kau mencintai L.Joe. Semua orang bisa melihat perbedaannya.
Tidak ada orang yang bisa jatuh cinta hanya dalam 2 hari.”
“L.Joe sudah ada di depan kamarku
saat kita pulang dan…”
“Apa kau pikir aku ingin
mendengarnya?” potong Wonwoo.
“Aku hanya….”
“Tidak.” Wonwoo menjawab sendiri
pertanyaannya. “Aku sama sekali tak peduli. Padamu. Pada pacarmu yang brengsek
dan tukang bully itu. Pada hubungan kalian yang kekanakan. Aku tidak peduli.”
“Tutup mulutmu! Kenapa kau bisa
berpikir dia tukang bully? Jangan bicara sembarangan.”
“Memangnya kau tahu apa huh?”
Emosi Wonwoo membuncah sampai ubun-ubun. Rasanya ia ingin membocorkan segala
hal tentang Vernon sekarang, soal
bagaimana kulit tangannya dicukur dengan sadis di kamar asramanya sendiri, dan
pacar Hyo Jin yang manis itu adalah salah satu tersangkanya. Tapi tak ada
gunanya bicara tanpa bukti. Dengan kadar cinta—lebih seperti kebodohan— yang
Hyo Jin punya sekarang, gadis itu tak mungkin memercayai ucapan Wonwoo.
“Itu dua malam yang menyenangkan,
Hyo. Aku tidak menyesalinya barang sedetik pun. Tapi sekarang waktunya kita
bangun dan kembali pada kenyataan. Kita adalah musuh, kita di sini untuk
memperebutkan kampanye radio.”
“Yeah.” Hyo Jin mengepalkan tangan. “Aku
tak percaya aku benar-benar mengatakan aku menyukaimu.”
“Aku tahu kau pasti akan
menyesal. Meludahlah sekarang! Cuci lidahmu dengan sabun. Bersihkan mulutmu!
Pergi ke dokter spesialis? Lakukan perawatan? Atau cium L.Joe sampai mati rasa?”
Detik berikutnya suara tamparan
terdengar kencang.
Hyo Jin menampar Wonwoo sekeras
yang ia bisa. Dia tahu dia salah, tapi pria itu mulai keterlaluan. Hyo Jin
nyaris tak mengenal siapa orang ini. Dia bukan Wonwoo yang bersamanya semalam.
“Aku membencimu,” bisik Hyo Jin.
Wonwoo tak tahu harus merespon
kalimat itu seperti apa. Ia tidak membenci Hyo Jin, bahkan setelah semua ini,
ia masih ingin membayangkan mata perempuan itu sampai terlelap. Ia hanya
terlalu sakit hati sampai bicara tanpa saringan. Perasaan sakitnya sudah
menghancurkan akal sehatnya. Semua sel tubuhnya sedang meledak-ledak sekarang.
Wonwoo mengerti kenapa gadis itu
membencinya.
Jadi, Wonwoo cuma mengangguk.
Dan berlalu.
**********
Di sore harinya, seisi DIMA
digemparkan dengan kabar Vernon yang dilarikan ke rumah sakit. Tak ada saksi
mata. Tapi menurut bagian medis, kepalanya dipukul benda tumpul hingga
menyebabkan pendarahan di dalam. Dia ditemukan oleh petugas keamanan di koridor
ruang pertunjukkan.
Sore itu, 3 buah mobil polisi
terparkir di area kampus mereka.
Dan beberapa orang ketakutan
setengah mati.
TBC
Makasih banyak udah baca :")
Mungkin part ketiga nanti bakal jadi part terakhir. Jangan kelewatan
ya~ babay^^
Comments
Post a Comment