Hello Chingu - Part 11 (END)





“Mau meninggalkanku, huh?” Langkahnya terhenti. Ia menoleh ke belakang dan menemukan Jaekyung yang sedang menaik-turunkan alis.



Hanya dengan sekali delikan mata saja, ia dan Jaekyung tertawa bersama. Tahu sama tahu apa yang mereka inginkan. Akhirnya ia pun pergi bergabung ke dalam kerumunan ‘orang gila’ bersama Jaekyung dan adiknya yang bernama Jisoo.




Bisa dibilang Cheonsa bukan penggila kehidupan malam.  Bukannya tidak pernah pergi ke kelab, tentu ia pernah pergi ke kelab malam, tapi hanya untuk minum segelas alkohol bersama teman-teman kantornya.



Ia belum pernah turun ke lantai dansa dan menari di bawah lampu disko. Dan hari ini merupakan hari yang bersejarah untuknya. Ia sedang menari di bawah lampu disko bersama orang-orang yang tak ia kenal.



DJ mengangkat tangannya ke atas. Memandu semua orang untuk berseru dan mengangkat tangan. Suasana makin tak terkendali, Cheonsa tak tahu bagaimana caranya menari, ia hanya mengikuti tempo musik yang didengarnya. Menganggukkan kepala, melompat-lompat, meliuk-liukkan tubuhnya, berteriak girang, kemudian terkikik bersama Jaekyung. Sekarang ia mirip orang gila yang sering ayahnya katakan. Padahal ia tak meminum alkohol sedikitpun.



Begitu merasakan tenggorokannya kering, Cheonsa meninggalkan Jaekyung. Ia  berjalan menghampiri Hyerin dan Yongguk yang sedang duduk di sebuah meja bundar.




“Kau anak disko juga rupanya.” Yongguk menyodorkan segelas wine kepadanya.



Ia meneguk cairan merah itu, merasakan sensasi manis dan asam bercampur rasa asing menyapa indera pengecapnya.



“Aku juga kaget melihatnya. Percayalah Jung Cheonsa itu kutu buku yang membosankan. Orangtuanya pasti akan kaget setengah mati kalau melihat anak gadisnya menari seperti...”




“Apapun itu terserah. Yang penting aku menikmati hari terakhir liburanku dengan bijak,” kata Cheonsa sambil menenggak habis winenya.



“Bijak, huh?” sahut Hyerin masih tak terima.

Cheonsa tak menghiraukan temannya itu, ia menoleh ke arah Yongguk.

“Ngomong-ngomong dimana Nyonya dan Tuan Hong?”



“Mereka kembali ke penginapan. Katanya tubuh tua mereka membutuhkan istirahat,” jawab Yongguk sambil mengunyah pringles.



“Mereka pergi bersama Namjoon?”



“Memangnya siapa lagi? Minsoo kan sedang mengantar Minyoung dan teman-temannya belanja,” jawab Hyerin sengaja memberi penekanan saat menyebut nama Minsoo dan Minyoung.



Cheonsa menatap gelasnya yang sudah kosong, mendengus keras sampai membuat pasangan Hyerin-Yongguk menyeringai jahil. Oho, ada yang cemburu rupanya.




Cheonsa mengutuk dalam hati. Baru saja perasaannya lebih baik, namun dalam sekejap Bang Minsoo menghancurkannya. Cheonsa memutar bola matanya. Ia tidak boleh kalah. Ia tidak akan membiarkan pria membingungkan dan tukang tebar pesona seperti Bang Minsoo mempengaruhi perasaannya semudah ini.



Ckk.. Untuk apa ia memikirkan pria itu. Padahal pria itu sedang bersenang-senang dengan tiga gadis sekaligus.


Cheonsa meraih sekaleng bir, membuka penutupnya, kemudian menenggak isinya dengan kesal.



“Hei, pelan-pelan!”



Hyerin begitu panik melihat Cheonsa yang menenggak birnya sampai habis. Ia tahu Cheonsa bukan orang yang kuat minum alkohol terlalu banyak.


Astaga.



Matanya membelalak semakin lebar begitu Cheonsa membuka kaleng keduanya.


Ia benar-benar panik. Saking paniknya, Hyerin menyikut Yongguk. Meminta pria itu melakukan sesuatu terlebih saat Cheonsa beranjak dan menghampiri keramaian.




“Aku tahu ia agak gila, tapi aku tak menyangka ia bisa bertingkah segila ini. Apa yang harus kita lakukan? Aku sangat khawatir...”





“Ssstt. Cheonsa bukan anak kecil, Hyerin. Ia bisa melindungi dirinya sendiri. Jangan panik begitu. Kita bisa mengawasinya dari sini. Oke?”



Hyerin mengangguk. Seperti yang dikatakan Yongguk. Ia hanya bisa mengawasinya, benar-benar mengawasi perempuan setengah mabuk yang tengah meliuk-liukan tubuhnya dengan provokatif.




****   




If I was your boyfriend, never let you go




Cheonsa tak ingat sudah berapa lagu yang bergantian dimainkan DJ di depan sana. Yang jelas tubuhnya masih belum lelah, kekesalannya yang tak beralasan belum benar-benar tuntas. Ia akan menari sampai kekesalannya hilang, sampai perasaan apapun yang ia miliki terhadap Minsoo pupus.




Mungkin ayahnya akan mengusirnya dari rumah kalau tahu perilakunya saat ini, tapi persetan. Toh, ayahnya tidak di sini. Ayahnya tidak melihat apa yang ia lakukan sekarang.



Cheonsa menoleh saat punggungnya menabrak seseorang di belakangnya.



“Sorry. I…”

“It’s okay. Chill,” sahut pria bertubuh tinggi yang hanya memakai atasan kaos putih tanpa lengan dipadu celana pantai selutut.




Menurut penglihatannya yang mulai buram, pria di depannya cukup menarik. Pria itu kelihatan seperti pria keturunan latin dan kaukasia. Wajahnya terlihat seperti orang kaukasia, kulitnya tidak terlalu putih, dan rambutnya cokelat tua. Singkatnya pria yang baru saja ditabraknya merupakan pria yang sangat tampan. Bang Minsoo sih tidak ada apa-apanya. Ckk.. Kenapa nama itu selalu muncul di kepalanya?




Cheonsa balas tersenyum begitu pria itu mengumbar senyum padanya.




“Jamie. And yours?”



Cheonsa tak mendengar jelas apa yang pria itu katakan. “Huh? WHAT DID YOU SAY?” teriaknya sambil mendekat ke arah pria tersebut.



“My name is Jamie. What’s yours?”



Cheonsa mengangguk, “Cheonsa! My name is Cheonsa!” jawabnya dengan berteriak juga.



John? Your name..”


Cheonsa berhenti. Ia menatap pria itu dengan gemas.



“Cheon-sa!” titahnya berulang kali sampai Jamie mengangguk sambil tersenyum.



Would you mind to dance with me?”


“Excuse me, dude. Aren’t we already danced?” Cheonsa menggeleng tak percaya.




Dan mungkin dalam keadaan sadar, ia pasti akan menggeleng sekeras mungkin begitu melihat tingkah liarnya. Mabuk-mabukkan, menari seperti gadis kehilangan akal, dan lebih parahnya ia sedang menari bersama seorang pria yang baru ia kenal beberapa menit yang lalu.




“Where do you come from?”




Dan dalam keadaan sadar ia pasti sudah mendorong pria di depannya dan meninjunya wajahnya. Dalam keadaan sadar Cheonsa tidak akan membiarkan pria manapun bicara padanya dalam jarak yang terlalu dekat.




South Korea!”

“Seoul?”

“Yup! And how about you?”

“Italy. Milan exactly.”




Cheonsa berseru riang membuat pria bernama Jamie tersenyum sambil menggeleng. Oke, dalam suasana ramai dan banyak orang di kanan-kirinya membuat Jamie sedikit pusing. Namun gadis di pelukannya terlihat seperti bocah kecil yang kelebihan energi. Melompat-lompat, menari (entah dengan gaya apa), kemudian tersenyum, lalu berteriak, kemudian menarik-narik tangannya.





Demi Tuhan, berhadapan dengan gadis seperti Cheonsa membuat Jamie bingung. Biasanya ia bisa mendapat ciuman dari gadis manapun yang ia temui di lantai dansa, tapi saat melihat Cheonsa dengan mata lucunya pikiran jahat itu lenyap begitu saja. Namun beberapa saat kemudian gadis itu meliukan tubuhnya sambil menyibakkan rambutnya. Dan itu terlihat...... seksi.




***** 





Cukup. Sudah cukup ia menahan diri dan membiarkan pria asing itu bertindak semakin jauh.




Tadi saat ia kembali setelah mengantar Minyoung dan dua temannya kembali ke penginapan, ia tidak menemukan sosok Cheonsa di antara Yongguk, Namjoon, dan Hyerin. Beberapa detik kemudian ia langsung menemukan gadis itu bersama lautan manusia yang masih antusias menggoyangkan tubuh mereka.



Awalnya ia berusaha menenangkan diri. Bertindak sok pahlawan dengan menarik paksa gadis itu hanya akan membuatnya jadi bahan ledekan selama sebulan. Padahal baru kemarin ia bilang kalau hubungannya dan Cheonsa hanya sekadar teman.





Tapi kali ini ia tidak peduli. Terserah apa yang akan dipikirkan teman-temannya. Ia sudah tak tahan melihat Cheonsa menari dengan pria asing yang tak canggung memeluk pinggang gadis itu. Demi Tuhan, jarak mereka terlalu dekat. Ckk.. Apa itu masih bisa dibilang berjarak? Tubuh mereka bahkan menempel satu sama lain.




Jadi ia tak berpikir ulang saat bangun dari duduknya, melangkah cepat menghampiri Cheonsa. Beberapa orang mendesis sebal saat ia menyerobot masuk ke dalam keramaian.




Minsoo mendengus begitu gadis di depannya terkekeh setelah pria asing berambut kecokelatan itu membisikkan sesuatu di telinganya. Ckk.. gadis ini benar-benar hilang kendali.




Ia mendekat, menarik napas panjang. Biar bagaimanapun ia harus tetap tenang. Ia tidak ingin ada baku hantam terjadi.




Excuse me. Sorry, she’s with me,” katanya mengintrupsi di antara Cheonsa dan pemuda asing yaang tengah gencar menebar pesona.




Minsoo meraih lengan Cheonsa, menjauhkan gadis itu dari pemuda yang tengah menatapnya tidak terima. Cheonsa pun tak terima, gadis itu mengempas tangannya.




“Cukup main-mainnya. Sekarang ikut aku.” Minsoo mengamit lengan gadis itu lagi, namun dengan cepat Cheonsa mengangkat tangannya.




“Siapa sih kau ini? Kau bukan ayahku! Pergi sana! Jangan perintah aku sembarangan!”




Minsoo menarik paksa lengan Cheonsa, membuat pria di belakangnya protes. Minsoo segera mengangkat tangan, meminta pria itu untuk tidak ikut campur.




Sial, siapa sih pria itu?




Minsoo membawa Cheonsa keluar dari keramaian. Gadis itu langsung mengerang, mengempaskan tangannya.



“Sial! Apa sih maumu? Kenapa suka sekali mengusik kesenangan orang lain, huh?” 



Cheonsa melangkah goyah, terhuyung ke sana kemari. Ia memegangi tubuh malang itu dengan sigap. Namun Cheonsa langsung memberontak.



Gadis itu mengacungkan telunjuk ke arahnya.



“Kenapa kau ada di sini, huh? Minyoung baru mencampakkanmu, ya?” gadis itu menjentikkan jarinya.


“Aku tahu. Kau datang ke sini karena pacar barumu itu  habis mencampakkanmu, kan? Makanya kau di sini, mengusik kebahagiaanku! Dasar!”




Cheonsa berpaling, menghentakkan kakinya sebelum melangkah ke depan. Gadis itu berjalan menjauhi meja yang ditempati Hyerin. Terus saja berjalan, sampai sosoknya nampak begitu kecil di mata Minsoo.



Minsoo mengusap wajahnya. Langsung mengikuti gadis itu. Menyamakan posisi dan berusaha membawa gadis itu kembali.




Namun ia mengurungkan niat untuk membawa gadis itu kembali. Ia justru mengekor di belakang Cheonsa, tampak sigap jika sewaktu-waktu gadis itu ambruk.




Cause baby I’m a nightmare dressed like a daydream...”


Nyanyian Cheonsa berhenti sejenak, diganti suara cegukan dan erangan. Kemudian nyanyian tak bermelodi itu kembali terdengar dan terhenti lagi saat si penyanyi gadungan di depannya melupakan lirik selanjutnya.




“Sampai kapan kau mau luntang-lantung seperti ini? Ayo kembali. Hyerin pasti mengkhawatirkanmu.”


Cheonsa menatapnya, mendecak sambil menggelengkan kepala.




“Jangan sok baik padaku, ya!” gadis itu mengacungkan telunjuk ke arah wajahnya.

“Pedulikan saja Minyoung-mu itu. Dasar tukang tebar pesona! Aku tidak akan terpesona denganmu sekalipun kau menatapku seperti itu!” Cheonsa mendorongnya.




Minsoo tak memberi perlawanan, membiarkan gadis itu mendorong-dorong dadanya dengan telunjuk. Ia membiarkan gadis itu menumpahkan kekesalannya.




“Tadi aku bertemu pria yang berkali-kali lebih tampan dan menarik darimu! Tapi sayangnya kau datang, mengganggu pendekatan kami! Menyebalkan!”


“Aku sudah muak berurusan denganmu! Suatu saat kau baik padaku, berusaha menjelaskan kesalahpahaman tentang dirimu. Kau membuatku percaya kalau....”




Cheonsa membekap mulutnya, Minsoo buru-buru menuntun gadis itu menepi. Tanpa diperintah Cheonsa memuntahkan isi perutnya, mengerang lalu menarik napas panjang.




“Ini semua karena dirimu. Aku tidak akan sekacau ini kalau saja kau tidak muncul terus di kepalaku.”


Samar-samar ia bisa mendengar apa yang Cheonsa gumamkan. Perasaan bersalah menguasainya. Ia menelan ludah. Andai saja ia tidak sekacau ini, andai saja ia punya keberanian barang secuil saja ia pasti akan terang-terangan menggenggam tangan Cheonsa dan meminta gadis itu untuk bersabar sampai ia benar-benar kembali. Sampai ia berani menghadapi kenyataan.




Masalahnya ia tidak punya rencana untuk kembali. Malah tidak punya rencana jangka panjang. Ia hanya begini saja. Berjalan pelan, terkadang hanya jalan di tempat.




Dan ia tahu, cepat atau lambat ia hanya akan memerangkap gadis itu dalam rasa penyesalan andai saja mereka memutuskan untuk bersama. Ia bukan orang yang bisa diandalkan, ia hanya orang yang sudah kehilangan arah. Ia tidak ingin Cheonsa menjadi bagian dari hidupnya yang membingungkan. Yang penuh rasa putus asa dan penyesalan.




Ia tidak mengatakan apa-apa saat mereka kembali berjalan. Ia baru bicara begitu mereka sampai di sebuah kafe yang menawarkan segala kehangatan di dalamnya. Ia meminta gadis itu untuk duduk manis selagi ia memesan susu hangat dan air putih. 




Sebenarnya susu hangat dengan tambahan vanila dan kayu manis tidak ada di dalam daftar menu, tapi ia mengenal Eleanor dengan baik. Perempuan paruh baya bertubuh tambun itu menyambutnya dengan sangat baik, bahkan terlalu baik sampai tersenyum jail sambil menunjuk sosok Cheonsa yang tengah duduk dengan membenamkan wajahnya.




Ia tahu apa yang dimaksud Eleanor. Namun ia tidak repot-repot memberi penjelasan, hanya mengambil pesanan sambil mengucap terimakasih.




Cheonsa mengerjapkan mata, menatap aneh segelas susu yang ia sodorkan.



“Minum. Ini bisa membuatmu merasa jauh lebih baik.”



“Bisa membantuku melupakan seseorang?”


Pandangan mereka berserobok. Tidak terlalu lama, namun cukup untuk membuatnya goyah. Tapi beruntung Cheonsa mengalihkan pandangan, buru-buru menyesap susunya.




Selama beberapa saat tak ada yang bicara. Yang terdengar hanya suara lagu lawas dari piringan hitam di ujung ruangan, suara derap langkah kaki, riuh-rendah perbincangan yang terdengar asing.




“Maaf.”


Yang itu suara Cheonsa. Minsoo mengerutkan dahi, mengamati orang di sebelahnya dengan penasaran.

“Saat menemukan buku agendamu tadi pagi, aku tidak sengaja melihat selembar foto di bagian belakang.”

“Foto keluargamu” lanjut gadis itu.




Kini mata mereka kembali bertemu. Ia bisa menemukan rasa takut di dalam mata Cheonsa.


“Bagaimana rasanya berpisah dengan keluargamu selama tujuh tahun? Bagaimana rasanya berada di tempat yang bukan rumahmu?”


Bagaimana rasanya? Minsoo menatap lurus ke depan. Ia meresapi apa yang dirasakannya selama tujuh tahun terakhir. Kesepian? Entahlah.. Ia tidak ingin mencari tahu lebih jauh.




“Saat melihat foto itu banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku. Sampai akhirnya satu pertanyaan penting muncul ‘kapan kau pulang? Kapan kau akan menemui keluargamu?’. Apa kau bahkan pernah memikirkan itu?”




Ia bungkam lagi, membiarkan pertanyaan itu berlalu dan terlupakan seperti pertanyaan sebelumnya.

“Apa kau...”

Pertanyaan Cheonsa menggantung di udara, ia buru-buru menyelak sebelum gadis itu menyelesaikan pertanyaannya.




“Habiskan susumu. Kita harus kembali ke penginapan. Kau butuh istirahat untuk perjalanan besok,” ujarnya tegas.


Gadis itu mendelik tidak suka. Namun tetap melakukan apa yang ia perintahkan.


Ia mengamati Cheonsa. Gadis itu kelihatan lebih baik setelah menghabiskan susunya. Sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Ia serius saat mengatakan Cheonsa butuh istirahat.



Gadis itu memang membutuhkan energi yang cukup untuk penerbangan besok pagi. Yah, besok-pagi. Dalam hitungan beberapa jam, mereka akan berpisah.




Untuk sampai di penginapan mereka melewati kawasan Rambla de Mar. Kawasan yang kelihatan cantik dengan puluhan kapar pesiar yang tengah bersandar, lampu menara yang berkedap-kedip, dan beberapa orang yang duduk di dekat dermaga sambil mengulas senyum takjub.


“Hei, boleh kita duduk di sana sebentar?”




Ia menoleh ke belakang, menemui sosok Cheonsa yang tengah menatap jauh ke arah dermaga. Ia melirik jam yang melingkar di tangannya. 11.45 malam. Mereka benar-benar harus kembali secepatnya.




Ia melirik dermaga, air laut yang terlihat tenang, lalu kembali menatap Cheonsa. Oke, mungkin terlambat sedikit tidak masalah.




Mereka duduk bersisian, jarak antara bahunya dan bahu Cheonsa barangkali hanya lima senti.



“Kau benar.” Cheonsa bersuara, memecah keheningan di antara mereka.



Minsoo menatap orang sebelahnya penuh perhatian. Merekam bagaimana bola mata hitam yang penuh keberanian dan keluguan itu mengerjap, bagaimana bibir tipis itu mengulas senyum ragu-ragu, dan bagaimana rambut panjang kecokelatan itu menari mengikuti tiupan angin. Jujur saja membuat tangannya gatal untuk membenamkan jari-jarinya di antara helaian rambut milik Cheonsa.




“Setelah meminum susu tadi, mualku agak berkurang. Kepala juga sudah tidak berdenyut,” sambung gadis itu seraya melarikan pandangan ke papan kayu di bawah mereka.



“Sudah kubilang, kan?”


“Tapi bukan itu yang kuinginkan. Aku ingin merasa pusing luar biasa, kacau bukan main sampai kehilangan kesadaran. Dan di saat aku bangun besok, aku tidak akan mengingat apapun.”



“Tidak merasakan apapun. Paling-paling hanya merasa pusing dan mual saja.”




Meski dari tadi Cheonsa tak mengatakan secara jelas tentang sosok ‘seseorang’ yang ingin dilupakannya, Minsoo tahu benar siapa yang gadis itu maksud. ‘Seseorang’ yang dimaksud adalah dirinya.




Namun ini pilihan paling bijak untuk saat ini. Minsoo menyadari benar bagaimana dirinya sering termenung, menyendiri, dan terus berharap bisa kembali ke masa lalu. Ia selalu berharap bisa memperbaiki semuanya sehingga bisa bernapas lega tanpa harus teringat kesalahan besar yang diperbuatnya.




Dan Julie benar. Ia terlalu berhati-hati, ia takut untuk membiarkan orang lain menjaga hatinya. Dan ia ingin belajar untuk menyingkirkan ketakutan itu. Namun sebelum ketakutannya benar-benar hilang, ia rasa ia tak perlu menjanjikan apapun pada Cheonsa. Itulah mengapa ia memilih mundur teratur.



Ia mengepalkan tangan kuat-kuat, menahan tangannya terangkat dan mengusap kepala Cheonsa atau memberi pelukan hangat.




“Harusnya kau tak perlu mengatakan apa-apa sore itu,” kata Cheonsa masih menatap jauh ke menara yang lampunya masih berkedip.




Sementara Cheonsa menghindarinya, Minsoo justru membiarkan dirinya terang-terangan menatap gadis itu. Agak salah, sih. Seharusnya ia tak perlu berlama-lama menatap gadis itu kalau tak bermaksud memberi harapan, tapi ia sudah begitu keras pada dirinya sendiri. Jadi biarkan saja matanya melihat apa yang bisa dilihat, merekam semua yang bisa ia kenang.



Untuk yang satu ini, ia ingin memiliki kenangan indah yang bisa ia ingat setiap ia merasa kesepian.


“Kau tak seharusnya melambungkan perasaanku kemudian menjatuhkannya begitu saja. Itu jahat. Kau membuatku bingung, aku merasa seperti orang bodoh.”




Cheonsa berpaling menatapnya. Dan jujur saja membuatnya menahan napas selama beberapa detik.


Ia bisa melihat kelelahan di sana, dan juga harapan. Ia menghela berat.


“Atau mungkin aku saja yang salah paham. Aku saja yang berpikir terlalu..”



“Kau tidak salah.” Ia menyela, lalu menggeleng tegas.



Biar bagaimanapun ia tidak ingin Cheonsa berpikir kalau ia tidak merasakan perasaan yang sama dengan gadis itu. Ia merasakannya. Bahkan sampai detik ini. Jantungnya berdetak cepat, sekujur tubuhnya seperti dirasuki sesuatu.



“Aku merasakannya juga,” kata Minsoo tegas.

Pandangan mereka bertaut. Menyelami rasa yang tak tersuarakan dengan jelas. Meresapi apa yang mereka miliki untuk satu sama lain.



“Tapi kau mundur.”


“Kau mundur karena kau tahu apa yang kita alami hanya euforia musim panas. Hanya sensasi sesaat.”



Cheonsa menjatuhkan pandangannya begitu butir pertama air matanya menitik. Gadis itu menarik napas panjang, mengembuskannya pelan-pelan. Berusaha menekan kekecewaan yang merangkak naik menguasai dirinya.




“Mungkin aku terlalu naif dengan berpikir kalau kita memiliki kesempatan untuk benar-benar bersama,” lanjut gadis itu sambil menyeka air matanya.




Sementara itu yang bisa ia lakukan hanya mengamati gadis itu menelan kekecewaannya. Berharap ia punya keberanian untuk menghapus duka itu.




Tapi bagaimana kalau nantinya mereka hanya saling menyakiti? Bagaimana kalau nantinya apa yang mereka miliki berakhir seperti kisahnya dengan Julie?


“Bisa berhenti menatapku seperti itu?”


Gadis itu terkekeh sambil menggelengkan kepala. “Kau hanya membuatku berpikir yang macam-macam,” ujarnya seraya mendesah.




Ia tersenyum kikuk, merasa bersalah namun juga senang melihat gadis itu salah tingkah karena dirinya.


“Aku bukan pria yang bisa kau banggakan,” akhirnya kalimat itu bisa ia ucapkan.




Cheonsa menatapnya lekat. Berusaha memahami maksud ucapannya.


“Aku terlalu kacau. Aku tidak yakin dengan diriku. Aku tidak yakin dengan apa yang bisa kuberikan padamu nanti. Aku bukan pria yang bisa kau andalkan,” lanjutnya serius.




“Dan bukan juga pria yang bisa kau ajak bertemu dengan orangtuamu.”

Cheonsa berpaling sambil mendesah berat. Gadis itu kembali menatapnya.




“Klasik. Intinya kau sedang menolakku.”

“Baiklah kalau begitu,” kata gadis seraya bangkit.




“Ayo kembali ke hostel. Kelamaan di sini hanya membuatku ingin menenggelamkan diri ke laut.”




*****  






Mereka berhenti tepat di depan pintu kamar Cheonsa. Berpandangan sambil menghentakkan ujung sepatu dengan gusar. Rasanya tak adil kalau mereka berpisah dengan cara seperti ini. Namun Minsoo lebih tahu dari siapapun bahwa inilah yang terbaik untuk mereka berdua.




Maka dari itu ia menyuruh Cheonsa untuk segera masuk ke kamarnya. Membuat gadis itu mendengus tidak terima.



“Setidaknya aku pantas mendapat pelukan hangat karena kau baru saja mematahkan hatiku. Ayo peluk aku!” protes Cheonsa.



Melihat dirinya bergeming, Cheonsa mendengus. “Selain tidak punya perasaan, kau juga pelit ya ternyata,” kata Cheonsa sebelum memeluknya.




Ia bisa merasakan sepasang tangan melingkar erat di pinggangnya. Hangat. Rasanya hangat saat Cheonsa mengendus dan menarik napas dalam pelukannya. Dan akhirnya ia kalah. Ia balas memeluk gadis itu.




Selama beberapa waktu mereka hanya saling memeluk. Tak rela melepaskan kehangatan yang ada. Cheonsa yang pertama menjauhkan diri.




Gadis itu menatapnya lama sebelum berkata, “Kau berdebar,” ucap Cheonsa.


Gadis itu menekan telapak tangan ke dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak kencang.




“Aku juga punya perasaan.”

“Ya. Tapi kau tidak memperjuangkan perasaanmu,” balas Cheonsa sambil mengulas senyum kecut.




Memalukan memang, tapi ia tak bisa membantah kebenarannya. Ia tidak berani memperjuangkan perasaannya. Ia terlalu pengecut.



“Setidaknya aku jadi punya alasan kuat untuk melupakanmu,” kata gadis itu lagi.


Pandangan mereka semakin intens. Dan diam-diam Minsoo berharap Cheonsa tidak melupakannya. Tapi itu egois sekali.




“Aku tidak bisa bersama dengan orang yang enggan memperjuangkan diriku. Ya, kan?”


Pahit. Namun ia tetap mengumbar senyum sambil menganggukkan kepala.


“Boleh aku memberi saran padamu?”




Lagi-lagi hanya mengangguk. Ia benar-benar seperti orang dungu yang hanya bisa melakukan gerakan menganggukkan kepala. 



“Kau harus mempertimbangkan untuk kembali ke rumahmu,” kata Cheonsa hati-hati.



Gadis itu menatapnya ragu. Minsoo mengusap tangan gadis itu, memintanya untuk mengatakan semuanya tanpa merasa ragu. Apapun itu. Ia akan mendengarkannya.


“Bukan untukku, tapi untuk keluargamu. Untuk ibumu, kakakmu, dan ayahmu.”




“Aku tahu itu tidak akan mudah, tapi kau harus memberi mereka kesempatan. Dan juga memberi dirimu kesempatan. Aku yakin mereka akan memaafkanmu.”




“Kau hanya perlu mencobanya. Biar bagaimanapun kau harus menghadapi mereka,” ucap Cheonsa sambil mengulas senyum. 





Barangkali terlalu banyak sihir malam ini. Ia bahkan tak merasa terganggu sedikitpun saat Cheonsa memintanya memikirkan kepulangannya. Padahal hal itu merupakan salah satu isu yang paling ia hindari. Namun malam ini semuanya terasa tepat, seolah nasihat yang mampu mengetuk hatinya sudah ditakdirkan akan terdengar hari ini. Dan orang yang mengatakannya adalah Jung Cheonsa.




Ia merasapi kehangatan telapak tangan Cheonsa yang menangkup wajahnya. Gadis itu berjinjit, membuat dirinya secara refleks merunduk.




Jarak di antara mereka begitu dekat, bahkan terlalu dekat sampai-sampai bisa merasakan embusan napas masing-masing.


Cheonsa membelai wajahnya, mendekatkan wajah ke arahnya. Kemudian sesuatu yang hangat mendarat di keningnya. Ciuman manis di kening itu bertahan cukup lama. Cukup untuk merangkum segala emosi yang sedang mereka rasakan. 




Ia memejamkan mata, meresapi ketenangan yang Cheonsa berikan.


Jemari itu kembali membelainya, mengembalikan dirinya pada kenyataan.




Maniknya bertemu dengan milik Cheonsa. Minsoo bersumpah ini merupakan momen mereka yang paling intim. Meski telah berbagi ciuman penuh hasrat waktu di Jerman, tapi Minsoo rasa apa yang terjadi malam ini jauh lebih intim.




Lebih intim. Penuh emosi. Penuh harapan.



Perlahan Cheonsa menjauhkan diri, mundur satu langkah. Menciptakan jarak di antara mereka. Membuat segalanya lebih jelas. Setelah jarak ini, mereka akan berpisah. Jarak mereka bukan hanya selangkah atau dua langkah, tapi bermil-mil jauhnya.




“Setelah sampai di Korea, aku akan ikut kencan buta,” ucap Cheonsa setelah berdeham.




“Aku akan berkencan dengan pria-pria yang lebih tampan, lebih kaya, lebih menarik. Pokoknya aku akan mengencani pria yang berkali lipat lebih baik darimu. Lihat saja!”




Kemudian air mata gadis itu tumpah. Pada akhirnya gadis itu menangis sambil marah-marah. Dan entah bagaimana ia harus menanggapinya. Rasanya pilu, tapi juga menggemaskan.





Gadis itu mendorong lengannya dengan kesal. “Aku akan berkencan dengan pria yang tidak punya tato sepertimu! Ayahku mana mau punya menantu yang suka menggambar bebas di tubuhnya!” kata Cheonsa lagi. Suaranya terdengar serak sekarang.




“Aku akan membuatmu menyesal karena sudah menolak perempuan seperti diriku. Lihat saja!”



Dan pada akhirnya butir-butir air mata merembes. Akhirnya ia pun menitikkan air mata. Minsoo mendecak.

“Lakukanlah. Kau berhak bahagia,” ujarnya lirih.





Rasanya tidak rela membayangkan Cheonsa bersama pria lain. Kenapa ia membiarkan Cheonsa bersama orang lain kalau ia juga bisa membuat gadis itu bahagia? Ckk, ia lupa. Ia kan seorang pengecut.


“Jangan khawatir, aku pasti akan bahagia.”


Ia mengangguk.


“Kau juga harus bahagia Minsoo. Semua orang berhak bahagia,” kata Cheonsa lagi.




Dan lagi-lagi ia hanya mengangguk.


Tak berkata apapun saat Cheonsa berbalik, meraih pintu kamarnya. Namun sebuah pertanyaan tiba-tiba melintas di kepalanya. 



Ia memanggil gadis itu. “Apa menurutmu aku bisa melakukannya? Apa aku bisa kembali bersama keluargaku? 




Cheonsa menatapnya lama, lalu berdeham. “Meski semua orang di dunia ini mempercayaimu, percuma saja kalau kau sendiri tidak percaya pada dirimu.” 





*****      







Tak ada pelukan selamat tinggal, tak ada kecupan penuh kekecewaan atau bahkan sekadar ucapan ‘baik-baik di sana. Kalau sudah sampai hubungi aku’.




Begitu suara resepsionis terdengar memberi peringatan jadwal penerbangan, Yongguk mengarahkan peserta turnya serta Chunji dan Kiseop,  dua rekan mereka yang akan memandu rombongan kembali ke korea. Semua orang mengangguk khidmat, sesekali bertanya mengapa bukan Yongguk, Namjoon atau dirinya yang mendampingi kepulangan mereka.




Kemudian seperti biasanya Namjoon yang selalu bertugas memberi penjelasan. Sebenarnya ada sekitar sepuluh orang yang bergabung dalam bisnis kecil mereka. Semuanya adalah orang-orang korea yang kebetulan berdomisili di Jerman. Namjoon menjelaskan mereka semua sudah memiliki tugas masing-masing. Yongguk, Namjoon, dan dirinya bertugas menjemput rombongan dari bandara Frankfurt kemudian membawa mereka tur keliling Eropa selama dua minggu. Sedangkan Dongho (yang sedang cuti untuk membantu istrinya menjaga bayi), Chunji, dan Kiseop bertugas mendampingi peserta tur yang terbang dari Korea menuju Jerman. Dan lima orang lainnya bertugas membawa rombongan turis asing mengelilingi korea.




“Aku akan sangat merindukanmu Minsoo-ssi,” kata Minyoung.




Entah sejak kapan perempuan itu berdiri di sebelahnya, ia baru menyadarinya saat Minyoung menyentuh lengannya.




Ia tersenyum rikuh serta berusaha melepaskan cengkraman Minyoung di lengannya tanpa terkesan tidak sopan. Ya Tuhan. Apa-apaan sih perempuan ini? Ia merutuk dalam hati.





Perempuan itu memberi gesture ingin memeluknya, namun dengan cepat ia menjabat tangan kurusnya dan menepuk-nepuk bahunya dengan akrab. Tanpa sengaja pandangannya bertemu  dengan Cheonsa.




Namun tak butuh lama, Cheonsa langsung memalingkan wajah. Perempuan itu terlihat kesal. Terimakasih pada Minyoung yang sedang merengek untuk berfoto dengannya. Yang pada akhirnya ia layani dengan pasrah. Minyoung memanggil dua temannya, Saera dan Sunmi untuk bergabung.





“Wow, kau mencampakkan Cheonsa dan bersenang-senang dengan tiga gadis sekaligus? Kau tega sekali, hyung,” bisik Namjoon setelah Minyoung dan kedua temannya bergabung mengerubungi Chunji dan Kiseop.




Ia menyikut Namjoon, membuat pria itu makin menjadi.




“Hubungi aku saat sudah sampai nanti.” 


Di sisi lain Yongguk tengah mengatakan sesuatu dan Hyerin mengangguk dengan pengertian. Kemudian pasangan itu kembali berpelukan.





Minsoo bisa melihat Cheonsa mengusap bosan, kemudian meninggalkan temannya meneruskan ‘adegan perpisahan di bandara yang mengharukan’. Ia mengamati sosok Cheonsa yang sedang berjalan ke arahnya. Perempuan itu menarik koper berwarna merah dan buah tas selempang bergaya vintage tersampir di bahunya. Minsoo tak bisa melepaskan pandangannya, terus mengamati hingga sosok itu berhenti tepat di depannya.





Hari ini Cheonsa kelihatan agak kacau. Rambutnya tergerai berantakan, ia bertaruh gadis itu tak menyisir rambutnya. Sebuah kacamata hitam dikenakannya, barangkali sengaja dipakai untuk menutupi mata sembabnya. Huh, semalam bukan malam yang mudah untuk dilewati.





Tiba-tiba terbersit keinginan untuk melepas kacamata hitam yang Cheonsa gunakan. Ia ingin melihat apakah mata hitam itu bengkak, apa area di bawah mata Cheonsa terlihat menggelap. Ia berharap tidak.




Tapi seperti sebelumnya, ia tidak melakukan apapun.





“Ngomong-ngomong terimakasih untuk bantuannya selama ini. Aku sangat beruntung bisa bertemu denganmu. Aku pasti akan merindukanmu, Kim Namjoon,” kata Cheonsa dengan santai.




Detik berikutnya, ia membeku melihat gadis itu menghambur ke arah Namjoon. Memeluk pria itu sambil menepuk-nepuk punggungnya.




Hei, gadis itu berhenti tepat di hadapannya. Tapi yang mendapat pelukan hangat seperti itu malah si Namjoon idiot yang dengan tidak tahu  malunya balas memeluk tubuh Cheonsa.





“Kau bisa menghubungiku kapanpun Cheonsa. Kau punya nomorku, kan?”





Ia tak bisa menyaksikan pemandangan ini lebih lagi. Ia mengalihkan pandangan dan mendapati Yongguk dan Hyerin tengah menatapnya dengan seulas senyum mengerikan.




“Oh, jadi kau kalah dari Namjoon.”



“Diam kau,” sahut Minsoo cepat.





Tak berapa lama setelah itu Chunji memberitahu mereka untuk segera check-in. Membuat rombongannya sibuk bukan main. Begitu juga dengan Cheonsa yang tak sekalipun menoleh ke arahnya.


Gadis itu sudah mengantri tepat di depan Hyerin. Punggungnya semakin kecil dari yang Minsoo ingat.




Tangannya mengepal, sementara ia terus mengingatkan dirinya sendiri. Ini yang terbaik.





Namun siapa yang sedang ia bohongi? Ia menginginkan gadis itu bersamanya. Meski yang ia katakan semalam begitu menyebalkan, ia tetap berharap gadis itu melepas kacamatanya. Menatap matanya dan mengatakan sesuatu. Tapi gadis itu tak melakukannya.




Apa ini sudah berakhir?




Begini saja? Di saat mereka belum memulai apapun?




Minsoo menghela berat, menggertakan gigi begitu gadis itu melewati seorang penjaga dan tak terlihat lagi. Ya, ini sudah berakhir.




“Ini bukan zaman perang dunia lagi, man. Kau bisa menghubunginya kapanpun kau mau. Ini era globalisasi,” kata Yongguk sambil merangkulnya.





“Lagian kau bisa minta kontaknya padaku.” Kali ini Namjoon yang bicara.



“Aku punya semuanya. Nomor telepon, akun sosial medianya, alamat emailnya juga punya. Kau hanya perlu merendah sedikit, Bang.” Lanjutnya yang dihadiahi sebuah hi-five dari Yongguk.




*****





Egoku terlalu besar untuk menoleh dan memeluknya. Aku terus berjalan hingga giliranku tiba. Dan perpisahan itu semakin nyata.



Petugas bandara mengecek pasporku, melakukan pekerjaannya dengan teliti kemudian menyilakanku untuk melewatinya. Dan perpisahan itu memang nyata.




Namun aku bersikap seolah perpisahan ini hanya khayalanku belaka. Tapi semuanya nyata. Foto-fotoku bersama Jihoo masih ada di kameraku. Dan perasaan itu masih ada bersamaku.




Obrolan kami di dermaga malam itu juga masih begitu hangat di ingatan. Aku berusaha menyibukkan diri sendiri selama sisa musim panas supaya tidak melulu mengingatnya. Namun seiring berjalannya waktu Jihoo masih di sini, dalam ingatanku. Aku bisa mengingatnya dengan baik. Bagaimana sikap tenangnya, sikap menyebalkannya, bagaimana ia tersenyum dan matanya menghilang. Tato-tato yang mengular dari lengan atas hingga pergelangan tangannya.




Semuanya, aku bisa mengingat semuanya. Apa yang membuatnya resah, alasan kenapa ia melarikan diri dari keluarganya dan dari kenyataan. Detik itu aku mulai bisa mencerna, sedikit menerima alasannya yang tak berani mengambil resiko.




Di situlah aku baru mengerti betapa dalamnya Ahn Jihoo terjatuh. Seberapa besar kejadian masa lalu mempengaruhi dirinya. Seberapa jauh kejadian itu menyeretnya dalam lubang rasa bersalah dan penyesalan yang begitu gelap.



Dan di situlah aku mulai memahaminya. Meredam kemarahanku padanya. Yang tersisa hanya pengharapan supaya cepat atau lambat Jihoo menemukan cahayanya, dan berani meraih kebahagiaannya sendiri.



Sementara aku, aku akan melanjutkan hidupku. Membiarkan kenangan tentangnya tersimpan rapi dalam ingatan. Aku tersenyum menatap fotonya.



Baik-baik di sana lelaki musim panas.




Ya, aku baik-baik saja. Minsoo memandangi paragraf terakhir di akhir cerita. Kemudian menutu buku dengan sampul berwarna  jingga dengan sketsa pemandangan kota-kota besar di eropa.



Summer Tale



Jemarinya mengusap tulisan timbul yang tertoreh di bagian depan buku. Kemudian mengusap rangkaian huruf yang berbaris rapi di pojok bawah.



Jung Cheonsa.






Ya, buku ini merupakan buku yang ditulis Cheonsa. Ia mendapatkannya tiga bulan yang lalu setelah meminta Hyunra dengan susah payah untuk mengirimkan buku itu padanya.





Selepas kepergian Cheonsa, ia kerap memantau kegiatan gadis itu melalui akun resmi twitternya serta akun pribadi. Gadis itu merilis buku barunya kira-kira lima bulan yang lalu. Tepatnya tiga bulan setelah mereka berpisah.





Dan kini sudah sekitar delapan bulan berlalu. Salju sudah mulai turun, menyelimuti jalanan hingga terlihat seperti putih dimana-mana.



Rasanya baru kemarin ia melewati perjalanan itu, tapi kini ia bisa membaca kisah perjalanannya dalam buku berjudul ‘Summer Tale’ tersebut.




Saat membacanya ia seperti kembali ke hari-hari itu, ia seperti kembali berpetualang melihat kecantikan Eropa. Hanya saja ‘perjalanannya’ kali ini diambil dari sudut pandang Cheonsa.




‘Perjalanannya’ kali ini membuat dirinya lebih memahami apa yang gadis itu rasakan. Apa yang gadis itu pikirkan tentang dirinya. Dan bagaimana perasaan gadis itu setelah perbincangan mereka di dermaga.




“Minsoo-aa. Makan malamnya sudah siap! Keluar dari kamarmu!”




Lamunannya buyar, ia menoleh ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya sudah berdiri di depan sana, terlihat tidak sabar.



“Ya, sebentar bu.”




*****





Ia sudah kembali.




Kira-kira sudah dua minggu ia sampai di Seoul. Bisa dibilang dua minggu terberat dalam hidupnya.





Ia masih ingat bagaimana wajah haru campur tak percaya milik ibunya saat membukakan pintu untuknya. Wanita itu tercekat sambil membekap mulutnya. Kemudian memeluknya dengan erat sambil mengucap syukur.


Di ruang tengah ia disambut wajah kaku ayahnya. Pria tua itu menatapnya lama sebelum akhirnya pergi ke dalam kamar.





Sambutan yang tidak ramah dari ayahnya sudah ia perkirakan jauh sebelum ia memesan tiket kepulangannya. Ia pun tidak ambil hati. Ia memang pantas mendapat perlakuan seperti itu,  namun ia akan mencoba memperbaiki hubungannya dengan sang ayah. Biar bagaimanapun ia tidak mengambil keputusan sebesar ini hanya untuk menyerah.





Ia harus percaya pada dirinya sendiri. Ya, seperti yang Cheonsa harapkan.




Bisa dibilang buku yang gadis itu tulis berperan besar  dalam pengambilan keputusannya kali ini. Ya, walau begitu tetap saja keputusan ini melewati tahap pemikiran yang cukup panjang.




Semua yang Cheonsa tuangkan di dalam bukunya, pesan-pesan yang tak gadis itu sampaikan langsung kepadanya membuka matanya setelah ia menyelesaikan buku itu. Ia harus menghadapi kenyataan hidupnya, berdamai dengan keluarganya.





Ia memang bersalah dan tak seorangpun bisa menghapus kenyataan tersebut. Yang bisa ia lakukan adalah menerima kenyataan dan memperbaiki keadaan. Butuh nyali besar untuk melakukannya. Maka itu setelah berpikir cukup lama, akhirnya ia mengambil keputusan untuk pulang dan merayakan natal bersama keluarganya.




Hari-hari pertamanya kembali ke rumah adalah hari-hari paling berat, lebih berat dari hari pertamanya sampai di Jerman. Di sini ia bisa melihat wajah lelah dan sabar ibunya, wajah kaku ayahnya, dan belum lagi Bang Minji.





Pertemuannya dengan Bang Minji adalah yang terberat. Ia masih bisa mengingat jelas bagaimana kondisi kakaknya itu setelah kejadian naas yang menimpanya beberapa tahun lalu. Depresi, penuh ketakutan, dan kehilangan semangat hidup. Ia bahkan bisa mengingat jerit histeris Minji setiap malam setelah kejadian pemerkosaan itu.




“Baru kembali, huh? Tahu tidak ibu sangat merindukanmu! Ia bahkan menyebut namamu saat tidur! Dasar anak nakal!”




Waktu itu ia hanya menunduk, tak berani menatap kakaknya. Malu dan rasa bersalah itu masih ada di dalam hatinya.



Minji menyadari perasaannya. Perempuan itu berusaha sebaik mungkin untuk meyakinkan dirinya kalau ia baik-baik saja. Badai itu sudah ia lalui, kini hidupnya bahagia.


“Kami di sini belajar menerima semuanya. Kami berusaha berjalan lagi. Meninggalkan semua kenangan buruk itu dan perlahan kami bisa melakukannya,” kata Minji sambil menggenggam tangannya.




“Tapi aku tidak tahu kalau kau masih hidup dalam kenangan buruk itu. Kau harus keluar Minsoo, kau hanya akan terus merasa bersalah kalau tidak melupakannya. Lihat, aku baik-baik saja sekarang.”



“Aku sudah punya anak perempuan yang menggemaskan, Lee Soeul dan Myungjin, suamiku yang menyebalkan. Aku harap kau juga bisa memulai kebahagianmu sendiri.”



Kemudian air mata mulai menitik, terjun bebas membasahi wajahnya.



“Aku tidak menyangka akan datang hari seperti ini. Melihatmu menangis.”




Setelah pertemuan itu ia semakin yakin bahwa ia mampu menghadapi kenyataan. Ia tak bisa mengubah masa lalunya, yang bisa ia lakukan adalah menjadi orang yang lebih baik daripada sebelumnya.




Dan untuk melakukan semua itu, ia perlu keberanian.




Ia semakin optimis. Ia mencoba memulai percakapan dengan sang ayah. Awalnya tidak mudah. Biar bagaimanapun mereka punya sejarah yang kurang baik. Namun beruntung ibunya selalu punya cara sendiri untuk membuat percakapan di antara ia dan ayahnya bertahan lebih lama.




Setidaknya setelah dua minggu berusaha, kadar kecanggungannya dengan sang ayah mulai berkurang. Kini mereka bisa mengobrol santai tentang tagihan listrik, lutut ayahnya yang mulai nyeri, kebiasaan menggosip ibu-ibu di sekitar rumah yang ayahnya benci, sampai rencana tentang hidupnya ke depan.





Sebenarnya ia belum memikirkan langkah selanjutnya. Ia masih terikat kontrak dengan sebuah perusahaan periklanan di Jerman, ia akan kembali ke sana bulan Januari nanti. Bukannya ia tidak memiliki rencana untuk benar-benar tinggal di Seoul,  rencana untuk tinggal bersama keluarganya sudah terbayang oleh Minsoo. Hanya saja ia masih memiliki banyak urusan yang mesti diselesaikan untuk mewujudkan rencananya itu. 





“Kata ibu kau terus mengurung diri seharian ini,” kata Bang Minji setelah menutup pintu kamarnya.


Perempuan itu duduk di kasurnya, menatap jengah layar laptop yang sedang memuat email yang akan ia kirim ke atasannya di Jerman.




“Serius? Kau masih mengurusi pekerjaanmu selagi berada di sini? Kukira kau sedang berlibur.”



“Ini hanya laporan singkat. Jangan membuatnya seperti aku benar-benar gila kerja.”


 “Aku akan keluar setelah pekerjaanku selesai,” katanya lagi.


Minji bangkit, menghampirinya lalu menepuk bahunya.




“Ibu hanya mengkhawatirkanmu, kawan. Ia sudah tidak melakukan hal seperti ‘mengkhawatirkan anak lelakinya’ selama beberapa tahun, jadi biarkan ia melakukan itu sekarang,” ujar Minji sambil meremas bahunya.


“Aku tahu,” sahut Minsoo.



“Baiklah, kau harus keluar dari kandangmu setelah selesai dengan pekerjaan itu. Soeul ada di bawah dan ingin bertemu dengan pamannya.”



Sebelum Minji mencapai pintu, Minsoo memanggilnya. Membuat sang kakak menatapnya heran.

“Aku mau bertanya sesuatu,” ungkapnya ragu.

“Oke, katakan.”




Minsoo menelan ludah, menyiapkan mental untuk mengajukan pertanyaannya. Oke, ia harus meminta pendapat Minji.

“Hmmm...”




“Aku akan keluar kalau kau tidak jadi bertanya,” kecam Minji.


Ia mengangkat tangan, meminta sang kakak tetap di tempat.


“Begini. Aku mau minta pendapatmu.”


Ia bisa melakukannya. Minsoo meyakinkan dirinya.


“Kalau ada seorang pria mencampakkanmu kemudian setelah beberapa waktu ia kembali lagi dan memintamu untuk memberinya kesempatan kedua, apa kau akan memberikannya?”




Ia menatap Minji takut-takut. Pasti perempuan itu sedang merangkai beragam dugaan mengenai pertanyaannya. Ia tentu belum lupa kalau Bang Minji begitu penasaran dengan kehidupan asmaranya.


“Jawab saja pertanyaanku. Tidak usah mengajukan pertanyaan lain,” katanya memberi peringatan.




Minji kelihatan tidak puas. Lihatkan? Sama seperti ibunya, sang kakak juga begitu penasaran dengan kehidupan percintaannya.



“Tergantung.”


“Tergantung apa?”



Minji mengangkat bahu, “Tergantung kesungguhan pria itu. Kalau pria itu benar-benar tulus dan punya niat baik, kenapa tidak?”



Ia berharap gadis itu punya pemikiran yang sama dengan kakaknya. Semoga gadis itu tidak membencinya.




“Kalau boleh kutahu siapa gadis malang yang menjadi korbanmu?”




Ia memutar bola matanya. Ckk, Minji benar-benar tidak akan berhenti sebelum mendapat informasi yang bisa digosipkan dengan ibunya.




“Keluar dari kamarku sana. Aku sedang sibuk,” katanya sebelum berpaling, kembali menatap layar laptop.


Terdengar suara gerutuan di belakangnya. Kemudian pintunya berdebum.



*****




Ia merapatkan mantel, menghalau udara musim dingin masuk. Ia mendongak, memastikan nama restoran di depannya sama dengan nama restoran dimana ia akan bertemu teman kencannya.



Teman kencan buta lebih tepatnya.



Semalam Hyerin mengirimkan sms padanya. Katanya Son Hyunwoo, pria yang ia temui dua minggu yang lalu mengajaknya untuk bertemu lagi. Ia pun setuju dan membiarkan pria itu yang menentukan tempatnya




Sejauh ini ia sudah bertemu dua kali dengan pria itu. Kalau dari skala satu sampai sepuluh, ia akan memberi delapan untuk pria itu.




Ya, Son Hyunwoo seorang banker yang tampan dan bertubuh tinggi dan agak besar, sepertinya pria itu rajin melatih otot-ototnya. Untuk kepribadian, Cheonsa rasa perlu waktu lama untuk benar-benar mengenal kepribadian seseorang. Namun sejauh yang ia lihat, Son Hyunwoo itu orang yang pendiam, pemalu, tapi terlihat begitu serius di waktu-waktu tertentu.




Teman diskusi yang menyenangkan sekaligus hiburan yang menggemaskan. Pria itu terlihat menggemaskan saat tersenyum ataupun tertawa. Matanya akan menghilang dan membentuk bulan sabit. Persis seperti anak kecil.




Son Hyunwoo adalah pria terbaik jika dibandingkan dengan kandidat-kandidat sebelumnya. Pria itu bukan stalker, penjilat, ataupun seseorang yang terjangkit prince syndrome. Bisa dibilang normal, tapi sampai sekarang Cheonsa belum menaruh perasaan apapun pada pria itu.




Namun siapa yang tahu? Mungkin setelah pertemuan hari ini ia akan menyukai pria itu. Tidak ada yang tahu, kan?




Begitu masuk ia disambut oleh sapaan ramah seorang pegawai perempuan dengan rambut yang disanggul rapi.




“Selamat datang. Sudah membuat reservasi sebelumnya?”



Ia mengangguk, tak lupa mengulas senyum. “Atas nama Son Hyunwoo.”




Perempuan di depannya mengecek daftar, tak lama kemudian kembali menatapnya.

“Meja nomor sembilan. Ada lagi yang bisa kami bantu?”



Cheonsa mengangguk sambil mengulas senyum. “Terimakasih.”





Ia berderap melewati lorong panjang yang menghubungkan bagian depan restoran dengan ruangan utamanya. Kira-kira sudah berapa lama Son Hyunwoo menunggunya? Ia melirik jam tangan. Ia terlambat dua puluh menit dari waktu yang ditetapkan.




Ia merasa tidak enak. Andai saja ia punya nomor telepon pria itu, ia pasti sudah meminta maaf dan memberitahu alasan keterlambatannya. Tadi sebelum berangkat ibunya menyuruh untuk membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang mulai habis. Namun sayangnya ia tidak punya nomor telepon pria itu, begitupun sebaliknya.




Biar bagaimanapun ini merupakan antisipasi yang ia tempuh agar kejadian yang sama tidak terulang kembali. Sekitar lima bulan yang lalu, ia diteror teman kencannya. Pria itu selalu menelepon dan mengirim pesan-pesan menjijikkan. Tak peduli pagi, siang atau malam sekalipun. Membuatnya harus mengganti nomor telepon.





Maka dari  itu ia memutuskan untuk tidak memberikan nomor teleponnya sebelum merasa benar-benar yakin. Sehingga untuk membuat janji temu, pria tersebut harus menghubungi Hyerin yang berperan sebagai walinya dalam kencan buta ini. Biar bagaimanapun Hyerin-lah yang benar-benar ngotot untuk mendaftarkannya ke dalam agensi biro jodoh.





Perempuan itu menanggapi serius omongan sesumbarnya untuk mengikuti kencan buta. Ia masih ingat waktu itu minggu-minggu pertama setelah kepulangan mereka dari Eropa. Hyerin memperlakukannya lebih lembut dari sebelumnya, sangat berhati-hati seolah takut ia nekat mengakhiri hidupnya karena Bang Minsoo.




Karena merasa risih dengan perhatian berlebihan yang diberikan Hyerin, ia pun meyakinkan perempuan itu kalau ia baik-baik saja dan sesumbar akan mengikuti kencan buta. 




Ia pikir itu merupakan keputusan terbaik, namun siapa sangka kalau besoknya Hyerin sudah mendaftarkannya dalam sebuah agensi biro jodoh? Memiliki seorang teman yang impulsif itu merepotkan.




Ia mengedarkan pandangan, mengamati satu meja ke meja lain. Meja nomor sembilan....


Nah, itu dia. Ia melangkah optimis, dalam hati sudah menyiapkan permintaan maaf dan penjelasan yang akan ia sampaikan pada pria itu.





Pandangannya tak lepas dari meja nomor sembilan, dimana seorang pria sedang duduk menunggu di sana. Ia kian dekat, makin jelas punggung gagah yang terlihat bosan. Ngomong-ngomong punggung itu terlihat lebih kecil dari terakhir kali ia melihatnya.




Tinggal selangkah lagi. Cheonsa menyiapkan diri.




Ia langsung meminta maaf sambil membungkukkan badan begitu sampai di hadapan teman kencannya.


“Son Hyunwoo-ssi maaf aku terlam.....bat.”




Matanya melotot, napasnya tercekat begitu melihat sosok di hadapannya. Bukan Son Hyunwoo yang sedang menunggunya di meja nomor sembilan, melainkan Bang Minsoo.





Jadi Hyerin membohonginya? Dasar perempuan itu.




Cheonsa memutar bola mata. Perasaan kesal mulai naik menguasainya. Setelah delapan bulan membuatnya kesal setengah mati karena sikap tidak tegasnya, pria itu kembali lagi. Maksudnya kenapa baru sekarang?




Ia menatap nanar pria bebal yang tengah menyengir kegirangan. 





“Seingatku aku membuat janji kencan dengan Son Hyunwoo,” katanya sinis.


“Aku tidak tahu dimana pria yang kau sebut itu. Tapi kau tidak salah, kau memang membuat janji kencan,” sahut Minsoo masih berlagak polos.



“Tapi denganku bukan Son Hyunwoo,” tambahnya sambil mengulas senyum jahil.




Ia mendengus. Rasanya kesal setengah mati melihat Minsoo ada di hadapannya sambil tersenyum menyebalkan seperti itu. Kesal juga karena tiba-tiba terselip perasaan senang dan antusias. Ckk, ia tak boleh selemah itu, kan? Setidaknya ia harus pura-pura tidak senang.




“Hei-hei, kau mau kemana? Tidak sopan meninggalkan teman kencanmu begitu saja.”




Minsoo menahannya, menarik lengannya dan menggiringnya untuk duduk. Kini ia terhimpir dinding dan pria itu.




Ia mendesah keras, diam-diam mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Ya Tuhan, kalau semudah ini ia luluh untuk apa kencan buta selama lima bulan belakangan?




Ia menoleh ke arah Minsoo setelah berulang kali meyakinkan bahwa ia tidak akan melompat kemudian memeluk pria itu. Ckk, kenapa ia terdengar seperti perempuan gampangan, sih?




“Mau apa kau di sini?”

“Bertemu denganmu,” jawab Minsoo sambil mengangkat bahu.
  
“Untuk apa?”



Minsoo bergeser sedikit, membuatnya bisa melihat wajah pria itu lebih jelas.


“Tentu saja untuk membicarakan semua yang perlu kita bicarakan,” jawabnya masih setenang biasanya.




Ia mendengus, “Saat terakhir kali kau bilang ingin membahas tentang ‘kita’, kau mundur tiba-tiba. Menjauhiku seolah tidak terjadi apapun,” cecarnya tak mampu menahan kekesalan.




“Aku tahu. Tapi kali ini aku sudah yakin. Aku tidak akan mundur tiba-tiba. Janji.” Pria itu mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya.




Tidak tidak tidak. Ia tidak boleh luluh semudah ini.



 
Ckk, kau terlalu percaya diri Bang Minsoo. Kau lupa ya, belakangan ini aku sering berkencan dengan banyak pria. Kau pikir aku masih berharap padamu apa?”




Pria itu mendekat lagi ke arahnya. “Tapi belum ada yang cocok, kan? Setidaknya kau belum memberikan nomormu pada mereka. Ya, kecuali teman kencanmu yang pertama.”




Sialan. Apa saja sih yang Hyerin katakan pada Minsoo?



“Tapi sepertinya aku mulai tertarik dengan Son Hyunwoo,” sergahnya membela diri.




Namun percuma saja. Minsoo tidak terpengaruh sama sekali. Senyum penuh kemenangannya makin lebar. Seolah sudah tahu kalau ucapannya hanya bualan.



“Sudah sejauh apa kau menyukainya?”

“Aku dalam perjalanan menuju ke sana.”


Pria itu mengangguk penuh percaya diri.



“Tapi tetap saja kau belum memberi nomormu pada pria itu, kan?”


 Ia berdeham. “Aku hanya berhati-hati saja. Ckk, kenapa pelayannya tidak  membawakan buku menu, sih?”

 
“Aku sudah memesan beberapa menit sebelum kau datang.”


“Tolong jangan mengalihkan pembicaraan, Jung Cheonsa.”




Ia mendelik sinis. “Mau membicarakan apa lagi? Banyak hal terjadi dalam delapan bulan dan kau pikir aku masih mau bersama denganmu?” Cheonsa menyugar rambutnya.



Selain merasa kesal, ia juga merasa tidak nyaman dipandangi seintens itu.

“Aku tidak tahu. Hanya kau yang tahu,” jawab Minsoo sambil menampilkan wajah polos.



Cheonsa mendengus, mengusap wajahnya dengan gemas. Minsoo benar. Hanya ia yang tahu.



“Aku salah waktu itu dan aku minta maaf.”


Minsoo menatapnya serius, seolah sungguh-sungguh dengan ucapannya. Atau memang pria itu sungguh-sungguh?



“Delapan bulan Bang Minsoo. Kenapa kau baru datang sekarang?”


“Maaf karena berpikir terlalu lama. Tapi percayalah waktu yang lama ini tidak sia-sia,”ujar Minsoo serius.




Pria itu menggenggam tangannya, mengusap-usapnya dengan lembut.

“Aku tahu pasti kau sangat membenciku, tapi kumohon beri aku kesempatan.”



Pandangan mereka bertaut, mencoba menyalurkan perasaan yang terlalu lama terpendam. 





Cheonsa menggeleng sambil menghela berat. “Bagaimana kalau tiba-tiba kau ragu dan meninggalkanku begitu saja? Kau pikir aku sekuat itu untuk kembali mendapat perlakuan yang sama seperti sebelumnya?”




Kenangan mereka di dermaga mencuat ke permukaan. Mengingatkan dirinya bagaimana Minsoo pernah menyerah terhadapnya. Cheonsa tak ingin jatuh lagi. Tapi genggaman Minsoo begitu meyakinkan. Cara pria itu menatapnya, ucapannya, dan kedatangan pria itu sendiri membuatnya ingin percaya.




Mereka punya harapan. Ia dan Minsoo bisa menjadi satu kesatuan bernama ‘kita’. Tapi...




Dan kata ‘tapi’ terus muncul dalam benaknya.




“Aku tidak datang sejauh ini hanya untuk mundur dan meninggalkanmu. Kalau aku tidak cukup yakin, aku mungkin sudah kembali ke Jerman setelah mendapat sambutan tidak ramah oleh ayahku,” kata Minsoo lebih lirih, namun tetap terdengar yakin.




“Kau sudah menemui keluargamu?”




Minsoo mengangguk, meletakkan satu tangannya yang bebas di atas genggaman tangan mereka.




“Hubungan kami sudah mulai membaik. Dan kuharap kondisi ini juga berlaku untuk kita. Beri aku kesempatan, oke? Kumohon?”



Minsoo menatapnya penuh harap. Membuatnya merasa hangat, tersentuh.


“Kau sungguh-sungguh, kan? Kau tidak akan tiba-tiba kabur ke Jerman, kan?”



Pria itu terkekeh, namun kembali serius. “Sebenarnya aku harus kembali ke sana bulan januari nanti,” jawab Minsoo.


Oke, jadi pria itu sudah berniat pergi lagi? Cheonsa menyesal karena sudah melunak.


“Dengarkan aku dulu.” Minsoo berusaha mengambil hatinya.




“Aku harus menyelesaikan kontrakku dengan perusahaan di sana sebelum benar-benar tinggal di sini,” jelasnya dengan sabar sementara Cheonsa masih enggan untuk menatapnya.




“Kurasa musim panas tahun depan aku sudah menetap di sini,” katanya lagi. Dan usaha Minsoo kali ini berhasil.


“Lalu bagaimana dengan usaha travel-mu itu?”



“Aku sudah bicara dengan timku. Mereka setuju kalau aku bergabung dengan tim yang mengurus perjalanan turis asing berkeliling Korea.”




Cheonsa menatap pria itu serba salah. Ia merasa senang saat tahu kalau pria itu sudah merencanakan segalanya dengan matang. Tapi rasa kesalnya pada Minsoo masih dapat ia rasakan.



“Oh, jadi persiapanmu sudah sampai sejauh itu?”

 
“Sebenarnya baru dua hari yang lalu aku bicara dengan mereka.”


“Jadi?”




Cheonsa tahu apa yang pria itu inginkan, tapi ia sedang menerapkan jurus ‘jual mahal’. Ia ingin pria itu merayunya. Tidak berlebihan, kan?



“Beri aku kesempatan. Aku pastikan kau tidak akan menyesal. Ayolah Jung Cheonsa.” Minsoo menaik turunkan alisnya, kemudian mengguncang tangannya.



“Lalu bagaimana dengan Son Hyunwoo?”



“Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan pria lain Cheonsa. Kau hanya perlu memikirkan aku dan masa depan kita.”



“Masa depan kita? Seingatku kau pernah bilang kau bukan pria yang bisa diandalkan.” 





Cheonsa tahu ucapannya barusan agak kelewatan. Harusnya ia bilang ‘ya’ tanpa harus mengungkit masa lalu. Lagipula Bang Minsoo kelihatan sangat bersungguh-sungguh, tak sulit untuk menyetujui permintaan pria itu. Tapi tetap saja melihat pria itu mendesah dan menetapnya dengan memelas membuat Cheonsa bahagia. 



“Waktu itu memang begitu, tapi sekarang kau bisa mengandalkanku,” kata Minsoo mulai kehabisan kesabaran.




Cheonsa menahan senyumnya. Kapan lagi melihat Bang Minsoo memelas dan memohon sambil menggenggam tangannya? Oke, tapi sudah cukup bermainnya. Ia tahu ia juga menginginkan hal yang sama. Ia ingin mereka mencoba gagasan ‘kita’ yang ditawarkan Minsoo.



“Tapi kau sungguhan, kan? Tidak akan mundur tiba-tiba?” pria itu langsung menggeleng.


“Tidak.”


“Janji?” 


Pria itu mengangguk, lantas mengecup punggung tangannya.

“Janji,” kata Minsoo sungguh-sungguh.



Ia tak mampu menahan senyum dan demi Tuhan perutnya terasa agak mual. Taruhan, ia pasti kelihatan norak. Bersemu merah, tersenyum malu-malu seperti remaja baru jatuh cinta.



Lagipula darimana sih Minsoo belajar bertingkah manis begini?




Bang Minsoo. Delapan bulan yang lalu pria itu melepaskannya begitu saja, menyerah sebelum mereka memulai kisah. Dan hari ini Minsoo muncul tiba-tiba di hadapannya, memohon diberi kesempatan, meski tak banyak menawarkan janji manis, tapi terlihat sangat menjanjikan. Sialnya, membuat dirinya luluh dengan mudah.


Pria itu mengacak rambutnya, sebagai balasannya ia mendengus sambil mendelik malas.




“Entah perasaanku saja, tapi kau kelihatan agak…..” Minsoo mendekat, membisikkan sesuatu di telinganya.




“Gendutan,” lanjut pria itu lebih pelan dari sebelumnya.




Apa? Ia menatap nanar pria di sebelahnya. Ia tarik lagi ucapannya. Minsoo hanyalah Minsoo. Bukan pria-pria romantis yang keluar dari drama.


“Tapi lucu, kok. Aku suka,” kata Minsoo lagi. Kali ini sambil mencubit pipinya.



Delapan bulan mereka tidak bertemu! Dan pria itu berani mencela bentuk tubuhnya? Dasar…






END



Huh, akhirnya selesai juga!!!! Yeayyy..... rasanya bahagia banget. FF ini netes pas aku lagi libur semester awal tahun kemarin dan FF ini berakhir di libur semester 4. Bangga banget bisa nyelesaiin ff ini, mengingat ff chaptered terakhir yg kupublish smpe END itu Painfully Smile.



I wanna say Thanks to Allah SWT, of course. Yg gak berhenti memberi aku kekuatan untuk meres otak untuk ngelanjutin ff ini selama liburan kali ini. Terus makasih banyak buat Mbak Nina Ardianti dan Mas Mahar Pradana untuk novel kerennya ‘Sunset Holiday’. FYI, ff ini terinspirasi dari novel itu.



Tapi mau klarifikasi aja, saat ide untuk bikin ff ini dateng aku langsung berhenti baca novel itu karena takut plot yg aku bikin buat ff ini jadi kebawa cerita di novel. Yang sama dari novel dan ff ini adalah rute perjalanannya aja, lebih tepatnya aku ambil banyak informasi tempat sama transportasi dari novel itu. Untuk cerita sih beda. I guarantee. Bahkan ada beberapa tempat yang di novel gak ada, tapi di ff ada. Thanks buat resources yg nyediain info2 kece tentang eropa.



Last but not least, terimakasih untuk para pembaca. Kalian itu penyemangat karena seenggaknya buat aku tau ada yg baca ff ini.  



Tapi mau minta maaf juga kalau ff ini masih banyak kekurangan, I’ll be better next time. Not promise. Hehehe..



Dan mau minta maaf juga karena part ini terlalu panjang dan bikin sakit mata. Ini tuh dua kali lipat dari part 10 dan part-part sebelumnya. Tadi aku mau bagi dua aja, jadi di part 12 nanti baru END. Tapi untuk beberapa alasan aku nggak jadi.




Maklumi aja yaa.. aku juga gak nyangka bakalan nulis sepanjang ini. Oke deh, selagi terimakasih untuk semua yang ngikutin perjalanan Cheonsa dan Minsoo dari awal. Semoga ff ini berkesan di hati. Sampai jumpa nanti, gengs!!



 

Regards,


GSB











































Comments

Popular Posts