Hello Chingu - Part 9
Walau sempat ada sedikit masalah,
akhirnya mereka sampai juga di Vatikan. Namun mereka mesti lebih bersabar.
Pasalnya mereka baru tiba saat petang dan antrean di gerbang masuk pun mengular
begitu panjangnya.
Walau begitu sama sekali tak
menurunkan rasa antusias para peserta tur. Nyatanya penantian panjang mereka
terpuaskan oleh pemandangan menakjubkan yang menyambut mereka di balik gerbang
raksasa.
Selamat datang di kediaman
Paulus!
Cheonsa menatap pemandangan
negara terkecil di dunia itu dengan terkagum-kagum. Negara yang hanya seluas
empat puluh hektar itu nampak antik dan memiliki aura magis tersendiri.
Kali ini ia tak mengeluarkan
kameranya, membiarkan matanya memotret segala pemandangan dan menyimpannya di
folder khusus. Di sebelahnya peserta tur lain tengah mengoceh, memuji-muji para
Swiss guard–penjaga–yang berdiri
tegak di depan gereja katolik Basilika Santo Petrus.
“Aku sudah memimpikan datang ke
sini dari kecil, syukurlah bisa sempat ke sini,” kata Nyonya Hong padanya.
Cheonsa hanya tersenyum, sambil
mengangguk setuju pada wanita setengah baya itu. Yah, gereja megah itu memang
menjadi semacam magnet tersendiri untuk para wisatawan yang datang ke Vatikan.
Sebelum bisa masuk ke dalam
bangunan itu, mereka harus melewati para pengawal guna melewati serangkaian
pengecekan; pengecekan barang dan juga pengecekan baju yang diawasi langsung
oleh para paus. Dilarang menggunakan pakaian terlalu terbuka atau celana yang terlalu pendek. Kalau
memakai tank top harus membawa syal atau kain sebagai penutup bahu.
Beruntung para peserta tur mereka
lolos pengecekan dan bisa masuk dengan cepat.
Jika sebelumnya sudah dibuat
menganga dengan keindahan Vatikan dari luar, kini mereka dibuat merinding oleh
suasana khusyuk di dalam gereja dengan langit-langit tinggi itu. Mereka
disambut oleh pilar-pilar tinggi serta ukiran indah di sepanjang dinding dan
langit-langit.
“Nak, ini patung Petrus. Kita
bisa menyentuhnya dan berdoa di sini.”
Penjelasan Tuan Hong pada para
peserta tur yang lain membuat sebagian dari mereka tertarik untuk mendekati
patung suci itu, termasuk dirinya. Walau begitu ada sebagian lagi yang memilih
untuk berfoto ria di dekat lukisan-lukisan yang terpajang di dinding.
Seperti anggota keluarga Hong dan
beberapa turis lainnya, ia mengulurkan tangannya dengan hati berdebar. Saat
tangannya menyentuh patung marmer itu, rasa tenang dan aman langsung menjalari
sekujur tubuhnya.
Cheonsa memejamkan mata,
menggenggam kedua tangannya dengan khusyuk. Sesaat kebisingan di sana-sini
luput dari pendengarannya, seolah-olah ia sedang berteleportasi ke tempat asing
yang begitu tenang.
Semoga aku bisa kembali ke sini bersama keluargaku. Ayah dan ibu pasti
sangat senang kalau kuajak ke sini.
“Boleh sampaikan permintaanku
juga?”
Sekejap ia kembali mendapati
kesadarannya, menemukan sosok Minsoo yang tengah menatap lurus patung di
hadapan mereka. Ia berdecak kemudian siap memutar tumitnya. Andai saja pria itu
tidak menarik lengannya, mungkin ia sudah kembali menempel dan menjadi anggota
dadakan keluarga Hong.
Yah, selama perjalanan mereka di
Vatikan, ia sengaja berjalan di antara keluarga itu supaya luput dari pandangan Bang Minsoo.
Tadinya ia ingin menempel dengan Hyerin, namun untuk saat ini Song Hyerin bukan
opsi bagus untuk misi ‘menghindar sejauh mungkin dari Bang Minsoo’.
“Ini perasaanku saja atau kau memang sedang menghindariku?”
Cheonsa berdecak tidak suka
sambil mengempas tangan pria itu, “Jangan pedulikan aku. Lakukan saja tugasmu,” tandasnya dengan dingin.
Mereka bertukar pandang sampai
akhirnya Minsoo melepas kontak mata, menghadap ke arah patung Petrus lagi.
“Bisa kau katakan pada gadis di
belakangku untuk tidak bertingkah menyebalkan? Suatu hari ia akan sangat
menyenangkan, kemudian di hari lainnya ia menjauh begitu saja. Sebenarnya apa
yang ia pikirkan?”
“Jangan bicara sembarangan! Apa sih maumu?” Cheonsa yang tak tahan melihat tingkah Minsoo,
langsung menarik pria itu.
“Lihat? Gadis ini benar-benar
membuatku bingung. Apa yang harus kulakukan? Bisakah kau membantuku wahai
Petrus yang mulia?”
Cheonsa mendecak sambil menyikut
orang di sebelahnya, “Jangan membantunya. Orang seperti ini tidak perlu bantuan
atau pertolongan,” balas Cheonsa.
“Gadis ini masih baik-baik saja
sampai tadi malam, tapi tiba-tiba WUSHH ia berubah begitu saja.” mereka
bertukar pandang, Cheonsa memandang Minsoo dengan jengkel.
“Kan, sudah pernah kubilang.
Kalau kau marah atau punya masalah apapun denganku, katakan saja langsung.
Jangan menghindar dan mendiamkanku begini,” ucap Minsoo masih
menatapnya mencari tahu.
“Mungkin kau belum tahu, jadi
biar kuberitahu. Aku bukan titisan Edward Cullens.”
Apa katanya tadi? Kalau ia
memiliki keluhan apapun pada pria itu, ia tinggal mengatakannya? Namun tidak
semudah itu. Lagipula ia tidak bisa marah-marah dan mengatakan semua yang ada
di kepalanya begitu
saja.
Aku kesal padamu! Aku terus memikirkanmu, ingin mencuri pandang ke
arahmu, dan menaruh harap kau juga melihat ke arahku. Namun di lain sisi aku
tidak boleh melakukannya.
Aku tidak boleh memikirkanmu dengan cara seperti itu, aku tidak boleh.
Kau sudah punya tunangan! Jadi berhenti mengikutiku dan membuat segalanya makin
sulit untukku!
Cheonsa memandang ujung sepatunya
gamang. Andai saja ia bisa menyembunyikan kotak malunya, ia pasti sudah
mengatakan semua keluhannya dengan jelas dan lantang.
“Kurasa kita tidak banyak bertemu
hari ini, tadi pagi kau menghilang begitu saja bersama Hyerin dan aku pergi
dengan peserta lainnya. Seingatku kita bertemu lagi di lobi hostel, kau sedang
menggosipkan aku dengan Namjoon –AHH… Anak itu pasti bicara yang macam-macam
tentangku. Ya, kan?”
Cheonsa menegakkan kepalanya,
matanya menemui mata Minsoo. Ia menangkap rasa penasaran di dalam bola mata
hitam itu.
“Sebenarnya ada apa?” tanya Minsoo,
kali ini suaranya lebih pelan.
“Entah kau menyadarinya atau
tidak, tapi sikapmu itu kentara sekali. Kau selalu menghindariku, menyelip di
antara anggota keluarga Hong, menolak bantuanku dan malah meminta bantuan dari
Namjoon. Apa yang–“
“Aku berterimakasih atas
kepedulianmu, tapi sungguh! Kau tidak perlu seperti ini! Kau tidak harus
memahami apa yang kurasakan, kau juga tidak perlu memedulikan sikapku. Kalau
kau lupa, hubungan kita hanya sebatas turis dan pemandu wisata, ingat?”
Rasanya ada yang janggal saat
mengatakan kalimat terakhirnya. Cheonsa merasakan dadanya bergemuruh tak
karuan, tiba-tiba menarik napas terasa lebih berat dari biasa. Rasanya sangat
agak sesak begitu matanya mendapati ekspresi terluka di wajah Minsoo.
Pria itu mendengus pelan,
melarikan pandangannya ke atas dan ke bawah sambil terus mendenguskan napasnya,
“Kupikir kita–“
“Eonnie. Ibu mengajakmu
bergabung, yang lainnya sudah pergi menuju kubah gereja. Mau ikut?”
Perbincangan mereka terhenti.
Jaekyung, putri ibu Hong menghampiri mereka. Gadis belia itu mengajak Cheonsa
untuk bergabung dengan keluarganya dan para peserta tur yang akan berangkat
melihat kubah gereja.
Cheonsa melempar senyum pada ibu
Hong yang tengah melambai dari kejauhan. Tanpa melihat lagi ke arah Minsoo, ia
mengangguk lalu mengikuti Jaekyung.
Bagus Cheonsa, kau sudah melakukan yang terbaik. Ini yang terbaik untuk
semua orang. Untuk dirimu, untuk Bang Minsoo, dan
untuk Jang Hyunra.
****
Untuk sampai di atas kubah
katedral, ada dua cara yang bisa dipilih; berjalan kaki menaiki lima ratus
undakan anak tangga atau bisa juga dengan menggunakan lift. Karena jumlah
mereka yang cukup banyak, maka tak memungkinkan untuk berjalan kaki menaiki
tangga, pasalnya bukan hanya melelahkan, tapi bentuk tangga yang melingkar dan
agak curam terlalu beresiko untuk dipijaki. Lagipula ada beberapa peserta tur
yang sudah berumur sepuh dan tak mungkin untuk melewati medan seberat itu.
Akhirnya Yongguk memutuskan agar
mereka naik lift. Setelah itu membayar tiket sebesar tujuh euro untuk setiap
orang.
Pintu lift terbuka ketika mereka
sudah sampai di bagian atap. Perlu berjalan beberapa menit untuk benar-benar
sampai di kubah.
Mereka melewati sebuah lorong
panjang yang sempit, dan saking sempitnya sampai ditulis peringatan untuk
penderita clastrauphobia supaya tidak masuk ke sana.
Setelah sampai di ujung lorong,
rasa lelah hilang diempas angin sore. Pemandangan Vatikan dan kota Roma
terlihat seperti miniatur kota dengan dominasi warna pastel langsung menyambut.
Siapapun yang melihatnya sudah pasti tak bisa berhenti menggumam takjub.
“Hei, aku minta maaf. Maaf,
karena tak mau mendengarkan alasanmu lebih dulu,” kata Hyerin.
Namjoon menyikut Minsoo dengan
kegirangan, keduanya tersenyum kecil melihat pemandangan di depan mereka.
Hyerin yang dari dua hari belakangan mendiamkan sang ketua, akhirnya
menghampiri pria itu dan meminta maaf dengan kepala tertunduk. Barangkali
saking sucinya katedral ini, rasa kesal dan benci bisa sirna begitu saja.
Detik berikutnya senyum Minsoo
ikut sirna, dahinya berkerut saat tiba-tiba teringat obrolannya dengan Cheonsa
di depan patung Petrus tadi.
“Tadi siang, kau bicara apa saja
dengan Cheonsa?” tanyanya pada orang di sebelahnya yang masih tersenyum
sendiri.
“Tidak banyak, kok. Jangan
khawatir,” jawab pemuda itu cepat.
Namjoon melanjutkan aktivitas
menonton peristiwa kembalinya Bang Yongguk ke pelukan Song Hyerin. Wajahnya
kegirangan dan tangannya langsung saja menutupi wajahnya begitu pasangan di
depan sana merekatkan bibir masing-masing.
Astaga, Minsoo menggeleng tak
habis pikir. Sepertinya Kim Namjoon
terlalu lama melajang, sampai-sampai kehebohan sendiri melihat dua orang sedang
berciuman.
Serius, anak ini butuh belaian wanita.
Ia pun meninggalkan Namjoon.
Percuma saja bicara dengan anak aneh itu, terlalu lama melajang dan terlalu
banyak membaca buku membuat otaknya agak bermasalah.
“Minsoo-ssi.” Minsoo menoleh,
kemudian mengutuk dirinya sendiri karena sudah menoleh. Shit, gadis ini kenapa terus mengikutiku?
Minyoung dan Sera sudah berdiri
di depannya sambil mengulas senyum penuh harap. Mau tak mau ia membalas senyum
kedua gadis itu.
“Ah, itu kan baju yang kau beli
di toko souvenir,” kata Sera sambil menunjuk kaos dengan tulisan ROME yang
dipakainya.
Ia hanya mengangguk sambil
tersenyum canggung. Jangan bilang mereka
memanggilku hanya untuk mengatakan hal itu.
“Ngomong-ngomong apa kau mau
menemani kami berkeliling? Itupun kalau kau tidak keberatan,” ucap Minyoung
yang diakhiri kekehan.
“Well, aku sebenarnya tidak keberatan. Tapi ada yang perlu
kulakukan,” jawabnya bingung. Sial, dalam situasi segenting ini ia tidak bisa
mengarang ide untuk lepas dari dua gadis penguntit ini.
Keduanya saling bertukar pandang
kemudian menatapnya lagi, “Sayang sekali. Tapi tidak apa-apa kalau kau memang
ada urusan lain,” tanggap Minyoung.
“Tapi, memangnya apa yang harus
kau lakukan, Minsoo-ssi?”
Minsoo terdiam, hanya menatap
Sera dengan kebingungan. Oke, apa yang bisa ia katakan? Kira-kira apa yang bisa
ia lakukan di atas kubah?
“Aku–“ kemudian lampu di
kepalanya menyala, idepun datang begitu saja. “Kalian lihat penjaga di sana?”
Minsoo menunjuk seorang penjaga di dekat pintu keluar.
“Aku harus menemuinya untuk
melaporkan keadaan peserta tur kita. Ini semacam laporan wajib bagi pengunjung
yang datang dalam rombongan tur,” jelasnya dengan nada profesional.
Beruntung dua gadis itu percaya
begitu saja dan beruntungnya lagi tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut.
“Kalau begitu aku ke sana dulu.
Kalian nikmati saja pemandangan di sini sepuasnya. Aku duluan,” pamitnya.
Huft, untung saja. Ia merasa
sangat lega setelahnya. Namun tiba-tiba berhenti. Memangnya ia mau pergi
kemana? Tadi ia meninggalkan Namjoon, kemudian melarikan diri dari dua gadis
menyebalkan itu. Sebenarnya ia tak punya tujuan khusus, ia hanya ingin
berkeliling tanpa gangguan.
“Eonnie, kau yakin tidak mau ikut kami ke
sana?”
“Nanti aku menyusul. Kalian pergi
duluan saja, aku masih mau di sini.”
Minsoo bisa melihat punggung
kecil di dekat balkon di ujung sana, Jung Cheonsa tengah sibuk memotret
pemandangan kota di bawah mereka. Ia mendekati gadis itu, menikmati suara
gumaman gadis itu yang semakin dekat semakin jelas terdengar.
“Mau kubantu? Aku bisa
memotretmu,” katanya yang langsung membuat gadis itu berjengit dan menatapnya
dengan mata melotot.
Gadis itu bergeming di tempat,
memegangi kameranya erat-erat. Seolah ia adalah seorang pencuri yang mau
mengambil kameranya.
“Katakan saja, mau kupotret
dimana?” Minsoo mengambil kamera dari tangan gadis itu tanpa mendapat
perlawanan.
“Tidak perlu. Kembalikan
kameraku.”
“Ahh, di sana saja. Ayo kita ke
sana!” ia tak menghiraukan gadis itu dan penolakannya. Ia langsung menarik
gadis itu bersamanya.
Ia memilih balkon di dekat pilar
tinggi yang dihiasi beragam ukiran. Menyuruh Cheonsa untuk berdiri di sana,
sementara ia mengambil beberapa langkah mundur.
“Senyum sedikit, Nona Jung.”
Cheonsa berdecak dan terus
memutar bola matanya dengan kesal. Gadis itu benar-benar bertingkah
menyebalkan, sama sekali tidak mengikuti arahannya untuk tersenyum. Jangankan
tersenyum, melihat ke arah kamera saja enggan. Benar-benar.
“Eh, itu bukannya Bang Minsoo,
ya?”
Samar-samar ia bisa mendengar
suara riang di belakangnya. Yah, gadis-gadis itu lagi. Astaga, padahal ia
sedang ingin bicara dengan Jung Cheonsa. Oke, walaupun Cheonsa kelihatan tidak
ingin diajak bicara, tapi tetap saja. Ia akan bicara.
“Dan, kalau tidak salah gadis itu
Jung Cheonsa. Temannya Song Hyerin yang pacarnya Yongguk oppa itu, ya kan?”
“Aku heran kenapa mereka selalu
bersama.”
“Kurasa Minsoo oppa hanya tidak
enak untuk menolak ajakan gadis sombong itu. Aku pernah sekamar dengannya di
Amsterdam dan kami tidak banyak bicara. Benar-benar menyebalkan.”
Gadis-gadis itu lagi. Tanpa
menoleh ke belakangnya, Minsoo tahu gadis-gadis itu semakin dekat. Maka itu ia
langsung menarik Cheonsa, mengabaikan penolakan gadis itu.
“Kau tidak boleh menarik orang
sembarangan, tahu!”
“Ada Minyoung dan
teman-temannya,” bisik Minsoo. “Jangan menoleh ke belakang, kumohon.” Minsoo
menarik Cheonsa semakin dekat padanya.
“Cih, kenapa aku harus
mengikutimu?” gerutu gadis itu.
Setelah memastikan jaraknya
dengan gadis-gadis menyebalkan itu sudah cukup jauh, ia pun berhenti. Mereka
berhenti di dekat balkon yang dihalangil kubah.
“Kau bisa melepas tanganku
sekarang.” Cheonsa melirik tangannya, namun tak ia hiraukan.
Ia malah menggenggam tangan kecil
milik gadis itu, menautkan jemari mereka dengan mudahnya. Kemudian menyengir, aku tidak takut dengan mata melototmu itu
Nona Jung.
“Sebenarnya apa yang kau
inginkan?”
“Bicara denganmu,” jawabnya
cepat.
Wajah gadis itu langsung
menggelap. Ia yakin kalau mereka tidak sedang bersama ribuan turis lainnya,
gadis itu pasti sudah meneriakinya atau mungkin mendorongnya hingga terjun
bebas dan mendarat mulus di aspal.
“Kita sudah bicara tadi.
Memangnya masih belum puas? Jujur saja aku sudah bosan bicara dengamu. Jadi,
pergi sana!”
Gadis itu terus
mendengus-denguskan napasnya, berusaha melepaskan tautan tangan mereka. Melihat
tingkahnya yang seperti ini membuat Minsoo yakin kalau mereka harus banyak bicara. Benar-benar
berbicara.
Pandangannya beralih ke arah tas
pinggangnya. Ponselnya berdering.
“Cepat diangkat. Kasihan Hyunra
menunggu lama,” kata gadis itu.
Ia mengikuti perkataan Cheonsa,
merogoh ponsel di dalam tasnya. Alisnya berjingkat, benar-benar merasa takjub.
Bagaimana bisa Cheonsa tahu kalau yang meneleponnya itu Hyunra?
“Bagaimana bisa tahu Hyunra yang
barusan menelepon?” tanyanya penasaran.
Tapi tidak penting. Ia langsung
mematikan ponselnya dan memasukkan benda itu ke dalam tas.
“Kenapa tidak diangkat?”
“Bukan urusanmu.”
“Benar juga. Bukan urusanku kau
mau menerima panggilan atau tidak. Sekalipun itu dari Hyunra,” kata Cheonsa
menyindir.
Serius ada apa dengan Jung
Cheonsa dan sikap menyebalkannya? Seingatnya kemarin malam mereka masih
baik-baik saja.
“Memangnya kenapa kalau itu dari
Hyunra? Dan–dan bagaimana caranya kau tahu kalau yang meneleponku tadi Hyunra?”
Cheonsa mendesahkan napasnya,
“Hanya menebak. Lagipula siapa coba yang paling mungkin meneleponmu kalau bukan
Hyunra?”
“Masuk akal kan kalau Hyunra
meneleponmu,” kata Cheonsa sekali lagi.
Lama-lama ia pun merasa kesal
dengan percakapan mereka. Tidak, seharusnya mereka bicara seperti ini.
“Kau harus minta maaf padanya.
Secepatnya.”
“Kenapa aku harus minta maaf?”
“Karena itu Hyunra. Kau harus
meneleponnya lagi dan minta maaf,” kata Cheonsa berkeras. Gadis itu memaksanya
untuk mengambil ponselnya dari tas.
“Aku tidak akan meneleponnya atau
minta maaf padanya. Sial, kenapa aku harus melakukan itu semua?”
“Karena memang seharusnya
begitu,” sahut gadis itu lagi.
Ia menatap nanar gadis di
depannya, mencoba bersabar dengan segala tingkah menyebalkannya. Ya Tuhan, ia
harus tetap sabar.
“Dengar, aku tidak mau bicara
dengannya. Yang kuinginkan adalah bicara denganmu, sekarang, detik ini,”
ujarnya setelah menarik-membuang napas berulang kali.
“Kenapa kau tidak mau bicara
dengan Hyunra dan malah–“
“Kenapa kau terus menyebut
namanya?”
“Aku hanya mengingatkanmu. Kau
sudah punya tunangan bernama Jang Hyunra, itu saja,” aku Cheonsa.
“Bagaimana bisa kau–“
Cheonsa menunduk, mengembuskan
napas dengan kasar. “Hyerin, Namjoon, hanya Bang Yongguk saja yang belum bilang
apa-apa soal Hyunra,” kata gadis itu.
Pandangan mereka bertemu lagi,
namun seperti sebelumnya Cheonsa kembali menghindari matanya. Gadis itu melirik
ke sana-kemari dengan gusar.
Jadi, inilah alasan Jung Cheonsa
menghindarinya sepanjang hari.
“Ini.” Ia menyodorkan ponselnya.
“Itu yang namanya Hyunra. Kami
mulai pacaran enam tahun yang lalu,” jelas Minsoo pada Cheonsa yang sedang
mengamati foto Hyunra di layar ponselnya.
“Kami bertunangan di usia dua
puluh satu tahun, itupun tanpa diketahui orang tua kami. Hanya Yongguk dan
Namjoon yang tahu.”
“Kalian bertunangan–“
“Dan ia menikah,” ucap Minsoo
menghentikan pertanyaan Cheonsa.
Mereka saling bertatapan, Cheonsa
menatapnya dengan tidak mengerti, kemudian menatap foto Hyunra lagi.
“Bagian dari cerita ini yang
tidak diketahui Yongguk dan Namjoon adalah kami putus beberapa bulan setelah
pertunangan konyol itu terjadi.”
“Kenapa? Yang kudengar dari Namjoon–“
Kini giliran Minsoo yang
menjatuhkan pandangan ke bawah, menatap ujung sepatunya dengan canggung. Ia tak
pernah mengatakan hal ini pada siapapun sebelumnya. Bahkan Yongguk dan Namjoon
saja tidak mengetahuinya.
“Hyunra memang gadis yang baik, sangat
perhatian, tapi waktu itu aku terlalu bermasalah untuk memedulikan perasaan
orang lain. Aku tak tahu kenapa menerima ajakannya untuk pacaran, mungkin
kurasa itu pilihan terbaik. Hyunra itu sesuatu yang tidak kuinginkan, tapi
sangat kubutuhkan. Dari dirinyalah aku bisa menanyai kabar keluargaku,
kebetulan ia tinggal di sebelah rumahku.” Minsoo mendesah.
“Awalnya mudah saja untuk
membalas ungkapan ‘aku mencintaimu’, ‘jaga dirimu’, ‘aku juga merindukanmu’,
tapi lambat laun hubungan kami terasa lebih menuntut dari yang bisa kuberikan.
Hyunra memikirkan sesuatu yang lebih besar, ia memikirkan masa depan bersamaku.
Sementara aku masih sibuk berdamai dengan diriku sendiri,” sambungnya.
Minsoo berhati-hati mengangkat
kepalanya, malu sendiri dengan perbuatannya di masa lalu.
“Kurasa tidak adil untuknya, aku
tidak bisa memberikan apapun yang ia harapkan pada saat itu. Jadi, aku
memutuskan untuk menyudahi hubungan kami. Aku tidak bisa memberikan cinta yang
ia harapkan itu, aku
bahkan tidak bisa mencintai diriku sendiri. Rasanya terlalu berat, jadi aku
menyerah.”
****
Cheonsa menatap Minsoo dengan
perasaan tak menentu. Satu lagi rahasia Bang Minsoo terkuak di hadapannya.
Kira-kira apa lagi yang disimpan pria itu di balik wajah ‘aku baik-baik saja’
miliknya itu?
“Walau sudah menyakitinya sampai
seperti itu, ia masih peduli padaku. Ia masih memberi kabar keluargaku sesering
dulu.” Minsoo menggigit bibirnya, “Aku jahat sekali, kan?” kemudian pria itu
berdecak.
“Bagaimana keadaan Hyunra
sekarang?”
“Ia sudah menikah dengan pria
yang mencintainya tentu saja. Mereka menikah setahun yang lalu, dan belakangan
ini ia heboh sekali karena ‘wow! Aku hamil Bang Minsoo!’.”
Cheonsa mengangguk, ikut
tersenyum saat pria itu menirukan suara girang yang mungkin mirip dengan suara
Jang Hyunra.
Kemudian ia teringat dengan
kegelisahannya selama beberapa hari ini, terlebih yang ia rasakan saat ini.
Astaga, ia malu sendiri kalau mengingat caranya menghindari Minsoo. Apalagi
ucapannya pada Minsoo di dekat Patung Petrus tadi.
“Jadi, sekarang aku boleh bicara
denganmu, kan?” suara Minsoo mengembalikan kesadarannya.
“Aku bukan tunangan siapapun
sekarang dan sedang tidak berhubungan dengan perempuan manapun. Jadi bisakah
kita membicarakan tentang…kita?”
Cheonsa merasakan kembang api
meletup di dalam dadanya. Rasanya ia mau terbang ke angkasa dan berpendar
bersama matahari yang perlahan turun dari peraduan.
Tubuhnya memanas, bergetar begitu
telapak tangan Minsoo mengelus permukaan wajahnya. Namun urusan mereka
sepertinya harus ditunda dulu. Yongguk tiba-tiba muncul, memanggil Minsoo dari
kejauhan kemudian berteriak lagi pada Hyerin.
“Aku sudah mencari kalian
kemana-mana, ternyata ada di sini. Hyerin, Cheonsa ada di sini!”
“Jung Cheonsa! Aku sudah mencarimu
kemana-mana. Kupikir kau hilang–HEHHH!! Apa yang kalian lakukan di sana?”
“Sungguh, aku ingin mendorong
mereka ke bawah,” keluh Minsoo.
****
Obrolan tentang ‘kita’ yang
harusnya mereka selesaikan di kubah akhirnya ditunda hingga batas waktu yang
tak bisa ditentukan. Tadi setelah kembali ke bus, Minsoo disibukkan lagi dengan
pekerjaannya.
Cheonsa dan Minsoo semakin tidak
memiliki kesempatan bicara begitu mereka sampai di bandara Fiumicino. Semua
orang sibuk dengan koper dan paspor, tentunya juga rasa lelah dan kantuk.
Jadi begitu masuk ke dalam
pesawat, Cheonsa langsung memejamkan matanya. Ia sangat lelah, apalagi setelah
menuruni lima ratus anak tangga dari atas kubah karena liftnya penuh.
Sebenarnya ia tak ingin tidur begitu saja setelah kejadian di atas kubah tadi,
namun matanya terlalu lelah untuk imajinasi noraknya.
“Kenapa?”
Hyerin yang sedang menyantap
salad yang baru saja diberikan pramugari sebagai makan malam mengangkat
kepalanya, menatap curiga ke arah pria yang berdiri di depannya. Bang Minsoo
tengah menatapnya dengan tidak berminat.
“Tukar tempat duduk,” sahut pria
itu.
Sungguh, Minsoo masih kesal
setengah mati karena kehadiran tidak diinginkan Song Hyerin dan Bang Yongguk di
kubah tadi. Dan melihat
Hyerin masih bisa melahap saladnya dengan bahagia membuatnya semakin kesal.
Apa-apaan ini?
Ia bahkan tidak bisa duduk dengan
tenang karena kepalanya mau meledak.
“Tidak mau. Aku lelah,” balas
Hyerin acuh tak acuh.
“Dengar, aku tidak bisa tidur
karena kemunculan–“
“Aku tahu. Tapi tolong hargai
keputusanku, Tuan Bang. Aku tidak akan bertukar tempat duduk denganmu. Masalah
kita selesai,” selak Hyerin dengan berlagak serius.
“Tapi–“
“Tidak ada tapi. Aku tidak peduli
apapun yang ingin kau
lakukan pada anak ini, tapi lakukan besok saja. Lihat? Gadis ini sudah
memejamkan mata, jadi kumohon kembalilah ke tempat dudukmu,” kata Hyerin masih
berlagak sebagai seorang jaksa penuntut umum.
Akhirnya Minsoo menyerah, ia
sudah sangat lelah dan seisi pesawatpun begitu. Ia tidak ingin menciptakan
keributan dengan nenek sihir ini. Sebelum pergi ia melirik Cheonsa yang
tertidur-sangat-pulas.
Hyerin terkekeh pelan setelah
Minsoo kembali ke tempatnya, ia menoleh ke arah Cheonsa. Gadis itu bernapas
dengan sangat tenang, kemudian ia
teringat wajah frustasi Minsoo tadi.
“Kau keterlaluan, Nona Jung,”
decaknya.
END
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Boong deh… TBC kokkk……
Satu persatu kebenaran/rahasianya Minsoo mulai kebongkar. Di part 10
nanti juga bkl ada rahasia lain yg bkl dibongkar. Can somebody guess it? Oiyah,
mau bikin pengumuman juga nih…
Sedikit lagi Hello Chingu tamat. Aku belum nulis sampe tamat sih, tapi
on the way ke sana kok. Jadi siap-siap aja. Walau aku juga masih belum bner2
yakin dengan akhir cerita yg lagi kususun.. doain aja semoga aku bisa mendapat
ide terbaik untuk penyelesaian cerita Cheonsa-Minsoo.
Yaudah itu aja. Terimakasih buat yg udah bca…
Regards,
GSB
Comments
Post a Comment