Sabtu Bersama Bapak
Main Cast: Yoo Seungho ā Yoo Seungjin
Minor Cast: Park Yoohwan
Genre: Family
EDISI SPESIAL ULANG TAHUN KELIMA GIGSENT FANFICTION
.
.
Seungho kembali mengecek isi tasnya,
biar bagaimanapun ia tidak ingin ada satupun barang yang tertinggal dan ia baru
mengingatnya saat sampai di gunung nanti.
Ya, hari ini ia akan pergi mendaki
bersama teman-teman kampusnya. Ya, akhirnya rencana yang sempat tertunda bisa
terlaksana juga.
Ia tersenyum puas. Semua
keperluannya sudah masuk ke ransel. Ia mencangklongkan tas carrier-nya ke pundak. Rona wajah girangnya tak bisa ia
sembunyikan, saking girangnya membuat sang ayah yang sedang sibuk membersihkan
alat pancingannya menatap heran.
āMau kemana pagi-pagi sudah membawa
tas sebesar itu?ā
Ia bergabung dengan ayahnya di sofa.
Mengamit tangan keriput sang ayah sambil menepuk-nepuknya.
Dari jauh-jauh hari ia sudah
mengatakan rencana kepergiannya hari ini pada sang ayah, namun ayahnya yang
mengidap demensia akut pasti sudah lupa hal itu.
āAku mau mendaki gunung dengan
teman-teman,ā kata Seungho dengan sabar.
Ayahnya hendak melayangkan protes,
namun Seungho segera menggelengkan kepala sembari menenangkan ayahnya.
āAku sudah memberitahu ayah, bahkan
tadi malam aku juga mengatakannya. Ayah bahkan menyuruhku untuk hati-hati.ā
Sang ayah termenung, berusaha
mengingat apa yang sebenarnya terjadi.
āTapi ayah sudah menyiapkan
peralatan memancing untuk kita berdua. Bahkan juga sudah membeli sosis kesukaanmu
untuk perbekalan.ā
Seungho menarik napas berat. Benar,
ayahnya sudah menyiapkan semuanya. Ia melirik peralatan memancing yang
tergeletak di atas meja di depannya. Ia kemudian beralih menatap wajah tua
ayahnya yang memancarkan rasa kecewa.
Ia tahu seharusnya ia ikut ayahnya
memancing seperti hari-hari sabtu biasanya. Ya, ia dan ayahnya memiliki semacam
ritual khusus di hari sabtu. Entah memancing, pergi ke tempat pemandian air
panas, atau memain baduk di rumah.
Ritual di hari sabtu yang mereka lakukan
semenjak ibunya meninggal. Setidaknya setiap sabtu Seungho meluangkan waktunya
untuk bersama sang ayah, mau apapun bentuk kegiatannya.
Tapi tidak untuk kali ini. Ia sudah
berjanji dengan teman-temannya pergi ke Suncheon. Dan ini memang sudah ia rencanakan
dari setahun yang lalu.
Kemudian ponsel di tangannya
bergetar. Satu pesan baru dari temannya.
Hei, sudah siap? Sampai ketemu di
stasiun Incheon, ya.
Seungho merasa dilema. Ia tak ingin
membuat ayahnya kecewa, tapi ia juga tak bisa membatalkan janji dengan
teman-temannya. Dan lagipula, ia sudah mendambakan perjalanan ini sejak
lama.
Ia menatap ayahnya dengan perasaan
setengah yakin. Minggu depan ia sudah pulang, dan ia akan menebus keabsenannya
sabtu depan.
Ya, lagipula ia sudah sering sekali
menghabiskan waktu bersama ayahnya. Kini waktunya ia pergi untuk menikmati
waktunya sendiri. Tak bisa ia membohongi dirinya sendiri kalau terkadang ia
merasa bosan berpergian dengan ayahnya. Terlebih dengan kondisi ayahnya yang
sangat pikun.
āMinggu depan. Aku janji. ā Ia
bangkit dari sofa.
āTapi hari ini aku harus pergi. Aku
akan menghubungi Paman Ilbong untuk menemani ayah memancing, oke?ā
***
Ada yang mengganggu perasaannya. Ia
pikir perasaan itu akan menghilang atau terkikis oleh lamanya perjalanan. Tapi
nyatanya ia masih duduk di dalam kereta tujuan stasiun Incheon dengan
menanggung perasaan gelisah.
Ya, andai ia bukan satu-satunya anak
yang dimiliki ayahnya. Ia mungkin tidak akan merasa gelisah seperti ini. Kalau
ia memiliki saudara, pasti ayahnya tak akan terlihat sekecewa itu.
Ia menoleh pada orang di sebelahnya
yang baru saja menabrak punggungnya. Pria itu buru-buru mengangkat tangan
sambil memasang wajah menyesal.
āMaaf, adikku memang suka anarkis,ā
katanya merujuk pada bocah gendut di sebelah kanannya.
Seungho melirik bocah gendut di
sebelah pria itu, kemudian mengangguk sambil tersenyum seadanya. Ya, ini bukan waktu yang tepat untuk
mengumbar kekesalannya pada dua kakak beradik yang terlihat sedang berduka.
Ya, walau tak kelihatan seperti itu
juga. Tapi kain dengan garis dua yang melingkar di tangan pria itu menjelaskan
bahwa āsebenarnyaā mereka ingin mengunjungi sebuah pemakaman.
Untuk beberapa menit selanjutnya, ia
sibuk mengecek kabar terbaru dari teman-temannya. Haneul sudah sampai di
stasiun Incheon dan sedang mengeluh karena tak ada seorang pun bersamanya. Meski
mereka semua bersemangat, namun tak ada yang bisa mengalahkan antusiasme Kang
Haneul yang sampai bangun dari pagi buta.
āHei, kau mau mendaki?ā
Seungho mengalihkan pandangan ke
arah pria di sebelahnya. Pria yang tadi tak sengaja menubruknya dan pria yang
kelihatan serba hitam namun tak kelihatan berduka sama sekali.
āYa. Suncheon,ā jawabnya sambil
menunjukkan brosur dengan gambar gunung pada pria itu.
Pria itu melirik sekilas kemudian
menatapnya dengan antusias. āPilihan yang bagus sobat. Aku sering ke sana
dengan ayahku. Pemandangannya bagus sekali, apalagi air terjunnya.ā
Meskipun merasa agak janggal,
masalahnya Seungho bukan orang yang mudah akrab dengan orang baru, namun
melihat kegirangan di wajah pria itu membuatnya lupa kalau mereka bahkan tak
mengenal nama satu sama lain.
āNgomong-ngomong namaku Yoohwan,
Park Yoohwa. 23 tahun,ā kata pria itu mengulurkan tangannya.
āYoo Seungho, 23 tahun.ā Seungho
menjabat tangan itu dengan mantap.
āBagus. Aku tadi khawatir harus
bicara formal denganmu,ā oceh pria itu dengan akrab.
āOh ya, yang ini adikku. Namanya
Hojoon. Jangan harap si gendut mau menyapamu. Dia punya tendensi untuk bersikap
tidak sopan pada orang baru.ā
Ia tertawa rikuh sambil melirik adik
Yoohwan yang sibuk menatap layar tabletnya. Terlihat jelas bahwaa kakak beradik
tersebut memiliki kepribadian yang berbanding terbalik.
āAku juga mau ke Suncheon.ā
āDengan pakaian seperti ini? Kupikir
kau mau mengunjungi makam seseorang,ā sahut Seungho keheranan.
āMemang. Tapi aku tidak pergi ke
gunung sepertimu, kok. Hanya mengunjungi makam yang berada di salah satu
pedesaan di sana.ā
Seungho mengangguk, kemudian melayangkan
sebuah pertanyaan.
āKau pergi ke Suncheon hanya untuk
mengunjungi sebuah makam?ā
Yoohwan mengangkat bahu, āYa, mau
bagaimana lagi? Ayahku itu banyak maunya,ā katanya sambil menghela panjang.
āPadahal tak seorang pun sanak
keluarga kami tinggal di sana. Tapi ayahku bilang āmakamkan aku di sana. Biar aku bisa setiap hari menikmati pemandangan indah
itu. Aku akan menyatu dengan alam, gunung, dan air terjunā dan karena kami
tak ingin hidup tidak tenang karena digentanyangi arwah ayah, makanya kami
tetap memakamkan jasadnya di sana,ā jelasnya.
Seungho menelan ludahnya perlahan.
Rasanya tak enak sudah menyinggung masalah itu.
āTidak apa kawan. Tidak perlu merasa
menyesal. Lagipula ayahku sudah meninggal lima tahun yang lalu.ā
āKami selalu mengunjunginya di hari
sabtu pada musim panas,ā kata Yoohwan lagi sambil menyengir.
Oke, ada apa sih dengan Hari Sabtu
dan ikatan emosional antara anak dan ayah? Kenapa Yoohwan harus mengunjungi
makam ayahnya di hari Sabtu?
āAyahmu meninggal di salah satu
sabtu pada musim panas?ā tanya Seungho.
Yoohwan buru-buru menggeleng, āBeliau
meninggal tanggal 1 Januari, waktu itu musim dingin.ā Yoohwan menatapnya dengan
tertarik. Pria itu pasti mengetahui kalau dirinya penasaran dengan korelasi
antara hari sabtu, musim panas, dan pemakaman.
āWaktu mendiang ayahku masih hidup,
kami sekeluarga biasanya pergi ke Suncheon pada hari sabtu di musim panas
kemudian baru pulang pada hari seninnya.ā
āAlasan kami mengunjungi makam ayah
pada salah satu hari sabtu di musim panas adalah karena perjalanan ini terasa
seperti ayah ada bersama kami. Seolah kami ingin mengatakan pada ayah, walaupun
beliau sudah tidak ada kami tetap menjalankan kebiasaan kami. Walaupun beliau
sudah tidak ada di dunia ini, tapi ingatan tentangnya tetap hidup di hati
kami.ā
Seungho merasa tertampar mendengar
penuturan Yoohwan. Ia tercenung dan merasa lemas. Tiba-tiba teringat wajah
kecewa ayahnya.
āDulu aku suka bosan pergi bersama mereka,
tapi setelah ayah pergi aku baru tahu rasanya. Tiba-tiba perjalanan sabtu kami
hilang dan aku merindukannya, merindukan ayah. Makanya aku selalu berusaha
meluangkan waktu dan tidak pernah absen untuk menjenguk makam ayah,ā sambung
Yoohwan yang tengah menerawang jauh ke depan.
āCengeng sekali memang, tapi kau
baru akan merasakannya kalau orang tuamu sudah pergi ke tempat yang tidak bisa
kau datangi. Jadi luangkanlah waktu untuk mereka, sebelum mereka kehabisan
waktunya.ā
Seungho merasakan sekujur tubuhnya
menegang. Ia hanya tersenyum sambil mengangguk pelan begitu Yoohwan menepuk
bahunya.
Ia janji ia akan menebus keabsenannya
hari ini. Ia akan pergi bersama ayahnya, kemanapun yang ayahnya inginkan. Tuhan, berikan ayah dan aku umur yang panjang agar kami bisa mengukir
banyak kenangan bersama.
End
Met ultah blog kesayangan!!! Oke, janjinya pling lambat publish jam
21.02, tapi ini udah lewat banget hehehe.. Maafkan aku si siput nakal ini wahai
kanjeng Kim Dhira dan kanjeng Salsa*sujud bareng Seungho-Yoohwan*
Ya, GIGSENT udh lima tahun... dan gak nyangka kita bisa jalan sampai
sejauh ini. Tadi baca cuap-cuap (entah kim dhira atau salsa) perjalanan lima tahun ini merupakan bukti
kesetiaan kita, ya walau kadang2 aku
kepengen keluar terus buka lapak sendiri. Tapi ya gimana ya? Meski suka patah
semangat, aku tetep balik ke sini.
Nengok blog ini, mau tau ada updetan bru
atau enggak.
Dan blog ini merupakan wadah buat aku untuk memantau keadaan Kim Dhira
atau Salsa. Kalau salah satu dri mereka publish, aku bakal ngerasa lega karena
āalhamdulillah, mereka masih hidup. Mereka masih bernapas di bumi iniā. Maksudnya hidup secara harfiah atau hidup dalam maksud tertentu, you know what I mean.
Oiya, sebelumnya baik Salsa atau Kim Dhira belum ngejelasin proyek
khusus ultah GIGSENT tahun ini. Jadi tantangan untuk tahun ini adalah nulis ff
dengan dua tokoh aktor yang udah diseleksi alam, terus kita harus nulis ff
dengan judul sesuai salah satu novel yang kita punya dan udah pernah kita baca.
Nah, Kim Dhira pake judul Summer Kiss yang diambil dri judul komik yg
pernah dia baca. Salsa pake judul He Was Cool yang diambil dri novel best
seller seharga 27rb yg dia beli entah dimana. Dan aku si siput nakal, pake jdul
Sabtu Bersama Bapak karyanya Aditya Mulya.
Btw, tadinya aku emang smpet nyeletuk mau make judul ini tapi itu cuma
sesumbar aja karena wktu itu kebetulan novel yg bersangkutan lgi mejeng di atas
meja bljr. Tapi krna aku si siput nakal, makanya aku suka nunda-nunda dalam hal
apapun termasuk nulis untuk proyek ini.
Kebetulan selama liburan aku juga kejar setoran buat nulis Hello Chingu,
dan pas masuk kuliah langsung dikasih tugas bejibun*mau nangis* jadi yah... aku
kelabakan.
Terus suatu nalam aku bbm-an sama salsa, ngeluh ini-itu terus aku bilang palingan bakal
nerusin salah satu ff setengah jadi yang numpuk di laptop. Dan aku nemuin dua
ff potensial, terus mutusin untuk milih salah satunya. Aku udah pede banget
bilang ke Salsa kalau aku bakal nulis ff dengan judul Interlude. Jdul yg sama
dg novelnua Windry Ramadhina.
Tapi gara2 aku naik transjakarta tadi pagi aku dapet ide untuk ff ini.
Tiba2 aku ngerasa kayak ada di dlm transportasi yg sama ama Seungho dan
Yoohwan. Terus ide itu datang, berkembang...ngikutin aku bahkan sampe aku lagi
beli cilok pas perjalanan pulang dari kampus. Seriusan!
Nah, berhubung ff yg rencananya bkl dijudulin Interlude itu gak mungkin
aku terusin untuk sekarang, dan berhubung ide ff ini gak mau ninggalin kepala aku,
ya udah aku memutuskan untuk banting setir.
Nah, itulah cerita singkat tentang awal mula keberadaan ff ini. Sekian
dari aku, sekali lagi HBD EAAA GIGSENT!!
Regards,
GSB
Comments
Post a Comment