Getting Better - Part 3






Satu minggu telah berlalu tapi Tzuyu masih belum mendapatkan kabar apa pun dari Vernon, laki-laki yang menjadi asistennya untuk acara departemen olahraga dan seni. Bahkan ia tidak melihat barang sehelai rambut laki-laki itu. Agak berlebihan memang karena sehelai rambut terlalu tipis dan sangat sulit ditemukan di antara kerumunan mahasiswa. Tapi tidak bagi gadis yang masih belum bisa memecahkan permasalahannya terkait dengan sang senior, Hyebin.


Tzuyu bergerak menuju ruang rapat BEM karena hari itu memang dijadwalkan sebagai salah satu hari rapat guna melancarkan acara yang tengah mereka rancang. Namun saat ia akan membuka pintu, suara riuh di dalam membuat Tzuyu menghentikan gerak tangannya dan lebih memilih untuk berdiam di sana.



“Sudah ku katakan bukan kalau dia payah! Keberadaannya di tempat ini hanya akan menghambat kinerja kita!!” Sergah Mino. Pria itu begitu kesal terdengar dari suaranya yang meninggi dan nafasnya yang sedikit tersenggal.


“Aku tidak habis pikir, kenapa Tzuyu meminta pria itu menjadi asistennya?! Apakah ia sudah lupa bagaimana reputasi Vernon selama menjabat sebagai ketua departemen ini?? Argghh... aku tidak habis pikir!!” Sambung Jaebum dengan suara yang terdengar tak kalah kesal.


“Sudahlah kita tidak tahu apa yang tengah terjadi pada Vernon, jadi berhenti menyalahkannya. Lebih baik kita fokus saja pada persiapan acara departemen kita ini.”


“Kenapa? Apakah kini kau membela pria tak berguna itu Kang Seulgi??” Kini giliran Bobby yang membuka suaranya. Pria itu terdengar begitu sinis menanggapi ucapan Seulgi.


“Aku tidak membela siapa-siapa. Aku hanya tidak ingin kalian membuang banyak waktu hanya untuk menyalahkan seseorang yang tidak berada di sini. Bukankah akan lebih baik jika kalian menyelesaikan tugas kalian dibandingkan dengan membicarakan orang lain??”


“Benar yang Seulgi katakan. Lebih baik kita selesaikan tugas masing-masing karena sepertinya Tzuyu akan segera datang.” Tambah Jun menanggapi ucapan Seulgi.


Tzuyu menegakan tubuhnya. Sudah cukup baginya mendengar amarah anggota yang lain. Dan ucapan yang dikatakan Mino tadi menyadarkan dirinya akan kesalahan yang baru saja ia buat. Tidak seharusnya ia menawarkan jabatan sebagai asisten kepada Vernon hanya karena lembaran-lembaran kertas milik laki-laki itu yang ia temukan.


Dan tak seharusnya pula ia bersandar pada janji laki-laki itu yang mau menolongnya untuk berbicara dengan senior Hyebin. Jika saja ia tidak termakan dengan janji manis Vernon, mungkin saat ini ia telah berhasil menemui seniornya itu beberapa kali walaupun tidak ada hasil yang didapatkannya. Tapi setidaknya ia telah menemui seniornya itu daripada hanya diam berharap bahwa keesokan harinya sudah ada laporan mengenai perizinan publikasi melalui radio kampus.


Tzuyu menghembuskan nafasnya. Ia merasa begitu bersalah dengan anggota BEM yang lain karena keputusan yang ia buat. Rasanya batu di dalam hatinya semakin bertambah hingga membuat perasaannya seakan menjadi berat.


Gadis itu dengan sekali hembusan nafas lagi menekan gagang pintu dan mendorongnya. Dari depan ruang ia dapat merasakan keadaan yang mencekam karena perdebatan yang baru saja terjadi. Tapi bukan Zhou Tzuyu namanya jika ia tidak mampu menyembunyikan perasaannya.


Ia kemudian bergerak menuju kursinya dan mengeluarkan isi map yang ia bawa. Gadis itu kemudian duduk dan membiarkan anggotanya mengisi rapat hari itu dengan mempresentasikan kemajuan dari pekerjaan mereka.


Satu persatu anggota BEM mulai menampilkan hal-hal apa saja yang telah mereka lakukan selama satu pekan ini. Mulai dari pencarian, penentuan, dan pengiriman proposal kepada calon sponsor. Melakukan publikasi online. Mencari tempat acara, menentukan dekorasi, dan membeli beberapa kebutuhan dekorasi. Hingga mencari dana tambahan.


Semua itu membuat Tzuyu dapat sedikit bernafas lega karena setidaknya kemajuan dari anggotanya telah berhasil menutupi kelalaian dirinya. Gadis itu kemudian mengakhiri rapat dengan merangkum tugas-tugas yang harus anggotanya kerjakan untuk satu minggu ke depan, termaksud untuk dirinya sendiri. Namun sebelum rapat benar-benar ditutup, Tzuyu menginterupsi dengan, “Sebelumnya aku ingin meminta maaf atas kesalahan ku dalam mempercayai Vernon. Aku akan memperbaiki kesalahan tersebut jadi kalian tidak perlu khawatir. Dan setelah ini, ku pastikan bahwa Vernon tidak akan pernah muncul lagi dalam rapat ini.”


Ketika mengungkapakan semua itu bahkan setelah ia selesai mengucapkannya, tidak ada bentuk rekasi yang dimunculkan oleh Tzuyu. Bahkan tatapannya terlihat begitu dingin seakan ia tidak merasakan apa pun.


Hal itu berbeda dengan Bobby yang langsung berdiri dan bertepuk tangan. Kemudian diikuti dengan Mino yang ikut menepukan tangannya seperti yang Bobby lakukan. “Akhirnya kau mengambil keputusan yang tepat Zhou Tzuyu.” Ujar Jaebum yang masih setia menduduki kursinya.


“Kau tidak bisa melakukan hal itu Tzuyu-ssi..” Somi yang sejak awal hanya diam dan terus memperhatikan anggota lain kini berdiri dan bergerak menghampiri Tzuyu.


Ucapan Somi barusan berhasil membangktikan kembali aura-aura kelam yang menggelayuti tubuh Mino, Jaebum, dan Bobby. Ketiga pria tiu lantas menatap tajam pada Somi yang kini telah berdiri tepat di samping Tzuyu.


“Kau tidak bisa memecat Vernon Tzuyu-ssi.” Ulang Somi.


“Kenapa tidak bisa? Dia saja tidak melakukan tugasnya. Untuk apa kita mempertahankan dia!!!” Sergah Bobby cepat.


Tzuyu tak menanggapi ucapan Somi maupun Bobby yang kini hanya saling melempar pandang dengan tatapan yang tajam. Gadis itu dengan sifat dinginnya masih menunggu kelanjutan ucapan Somi. Namun bukan penjelasan yang ia dapat dari Somi, melainkan sebuah map bening yang diberikan gadis itu padanya yang membuat perasaan bingung mencuat dari dalam hatinya.


Tzuyu mengambil map tersebut dari tangan Somi. Ia kemudian menatap Somi dengan tatapan meminta penjelasan dari gadis itu. “Itu adalah surat perizinan publikaai dari radio kampus yang diberikan Vernon pada ku kemarin.”


Sontak tatapan keterkejutan muncul secara bersamaan dari mata-mata penghuni ruang rapat. Mereka seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Somi. Namun hal itu tidak berlaku bagi Tzuyu. Gadis itu masih konsisten dengan tatapan dinginnya yang sejak awal ia pancarkan.


“Tidak mungkin. Kau pasti berbohong!”


“Tidak! Jika kau tidak percaya, kau bisa tanyakan pada Hyebin sunbea. Lagi pula aku tidak membutuhkan kepercayaan dari orang yang suka merendahkan orang lain seperti dirimu, Song Mino!” –Somi.


“Aku tidak tahu kenapa ia menghilang dan tidak memberikan kabar. Tetapi menurut asumsiku, telah terjadi sesuatu padanya. Karena saat ia menemui ku di depan gerbang kampus, kepalanya dililiti perban putih dan tangannya diikat dengan kain biru dan dikalungkan pada lehernya.”



*  *  *  *



Dengan perlahan vernon menutup pintu geser berwarna coklat itu. Ia kemudian melihat sejenak pada kaca yang terpasang di pintu sebelum memutar tubuhnya. Ketika ia hendak melangkah pergi, seorang gadis muncul dan menghalangi jalannya.


“Bagaimana?” Tanya gadis itu pada Vernon dan kemudian ia melirik singkat pada kaca seperti apa yang Vernon lakukan sebelumnya.


“Dahyun baru saja tertidur. Sepertinya obat yang diminumnya memberikan efek kantuk.” Terang Vernon sembari ikut melirik kaca pada pintu tersebut.


Kedunya lantas diam. Tak ada yang membuka percakapan lagi setelah penjelasan Vernon tadi. Vernon masih terus melihat pada kaca atau lebih tepatnya pada sosok gadis yang tengah tertidur dengan wajah pucat dan beberapa perban yang membelit tubuhnya di atas ranjang di dalam ruangan tersebut melalui kaca. Begitu pun dengan sosok gadis yang baru saja menghampirinya.


Mereka seperti tengah menerawang pada sosok gadis tersebut. Andai kejadian itu tidak terjadi, pasti Dahyun dalam keadaan baik-baik saja., Seharusnya bukan Dahyun, bukan gadis yang ia cintai yang terbaring lemah di sana, tetapi dia yang harusnya berada di sana!, dan masih banyak lagi pengandaian yang dilakukan keduanya saat melihat sosok bernama Dahyun itu.


“Maaf Hyebin sunbea, aku telah gagal melindungi Dahyun. Aku memang laki-laki tidak berguna.” Vernon mulai kembali membuka suaranya. Namun kali ini suaranya terdengar bergetar dan pelan.


Sosok di sampingnya yang ia panggil Hyebin itu memutar pandangannya sebentar lalu kembali menatap pada Dahyun yang masih tertidur di ranjangnya. “Andai waktu itu aku lebih cepat untuk menolong anak kecil tersebut, mungkin Dahyun tidak akan menjadi seperti ini.” Kembali Vernon menyuarakan perasaan menyesal dan bersalahnya. Ia kembali menyalahkan dirinya atas insiden yang terjadi satu minggu lalu. Insiden yang hampir merenggut nyawanya, nyawa Dahyun, dan juga nyawa anak kecil yang ingin ditolongnya.


Sebuah tepukan berhasil mendarat di atas pundak Vernon. Ia kemudian melirik pada sang pemberi tepukan yang saat itu tengah menatap padanya.


“Tidak ada yang perlu disalahkan. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tidak ada pula yang seharusnya berada di sana atau di sini. Semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Kau di sini dan adik sepupuku di sana, itu sudah menjadi keputusan Tuhan. Jadi berhenti menyalahkan dirimu sendiri Vernon. Ku rasa jika Dahyun mendengarnya, ia juga tidak suka jika kau mengatakan hal seperti ini.”


Ia menatp gadis yang terbaring di dalam ruang rawat tersebut. Dan tiba-tiba saja setetes cairan bening melesat jatuh dari matanya. Yang dikatakan Hyebin tadi memang mampu mengurangi sedikit rasa bersalahnya pada Dahyun, tetapi saat melihat Dahyun di dalam ruangan tersebut, rasa bersalah itu tidak bisa ia hindarkan.


Perasaan yang telah ia rasakan sejak dirinya dan Dahyun dilarikan ke rumah sakit oleh orang-orang yang menolong mereka. Dan perasaan itu semakin membesar tatkala ia harus duduk di kursi roda dan melihat tempat tidur Dahyun dibawa masuk ke dalam ruang operasi.


“Vernon, lebih baik kau pulang dan beristirahat. Kau tampak tidak begitu baik.” Hyebin kembali membuka suara. Saran yang baru saja diberikan bukan tanpa alasan, setelah ia menyelesaikan ucapannya ia melihat wajah Vernon dipenuhi dengan beban berat yang ia yakini sebagai rasa bersalah atas kejadian yang menimpa dirinya dan Dahyun.


“Tidak sunbea, aku ingin menemani Dahyun malam ini.” Tolak Vernon.


“Hari ini biar aku saja yang menemaninya. Kau pulang dan beristirahatlah. Bukankah kau harus menyelesaikan rencana acara departemen olahraga? Jika kau tak kunjung sembuh, bagaimana bisa kau menyelesaikan tugasmu.”


Vernon terdiam. Ia kemudian menatap singkat pada Hyebin yang kini tengah menyunggingkan senyumnya. Yang dikatakan Hyebin ada benarnya. Ia harus sembuh dan menyelesaikan tugasnya sebagai asisten Zhou Tzuyu, gadis yang telah merebut posisinya sebagai ketua departemen olahraga dan seni.


“Kau baru saja menyelesaikan tugasmu dengan mendapatkan persetujuan seorang ketua klub radio kampus yang menjadi penggila pertamamu, jadi kau harus menunjukan kepada anggota departemen kalau apa yang mereka pikirkan selama ini tentangmu itu salah. Jadi lebih baik kau pulang dan beristirahat.”


Vernon tersenyum simpul begitu mendengar ucapan Hyebin. Ya.. yang seniornya itu bilang benar. Ia baru saja menyelesaikan tugas yang sebenarnya bukan tugasnya karena itu adalah tugas Tzuyu yang dengan bodohnya ia malah menawarkan diri untuk membantu. Dan ia harus bisa menyelesaikan pekerjaan lainnya sebagai asisten guna mendapatkan kembali apa yang telah direbut oleh gadis itu darinya.


Vernon pun mengangguk dan merunduk singkat. “Baiklah, kalau begitu aku pulang sunbea. Aku titip Dahyun padamu.” Pamitnya.


“Tenang saja, tanpa kau minta pun aku akan menjaga Dahyun. Walau ia kekasihmu tapi hubungan sepasang saudara sepupu lebih erat dibandingkan sepasang kekasih. Jadi kau tak perlu khawatir kalau aku tidak menjaganya.”


Vernon kembali tersenyum mendengar celotehan Hyebin. Setidaknya ia bisa bernafas dengan sedikit lega karena ada yang menjaga Dahyun. Mengingat gadis itu kini hidup sebatang kara membuat ia tidak bisa untuk tidak menemani Dahyun.


Dahyun merupakan anak tunggal dari keluarga Kim. Ia dilahirkan di dalam keluarga yang sangat menyayanginya. Mereka bukanlah keluarga konglomerat yang memiliki banyak deposito di seluruh bank di Korea, walaupun begitu kehidupan mereka begitu bahagia dan menyenangkan.

Tapi semua itu berubah disaat hari kelulusan Dahyun. Kedua orang tuanya terlibat kecelakaan beruntun di jalan menuju sekolahnya. Kepergian kedua orang tuanya memberikan pukulan berat untuk Dahyun yang baru berusia 17 tahun. Dan sejak saat itu, Vernon lah yang menjadi teman Dahyun. Ia rela menemani Dahyun menangis sepanjang malam sejak kepergian orang tuanya. Dan karena itulah akhirnya mereka menjadi dekat dan menjadi seperti sekarang ini, sepasang kekasih.


Dahyun masih memiliki sanak saudara. Seperti Hyebin, kakak sepupunya. Tetapi ia tidak ingin merepotkan keluarga Hyebin, yang notabenenya ayah Hyebin merupakan adik dari ayahnya. Karena itulah ia bersikeras untuk hidup sendiri di rumah peninggalan orang tuanya dan bekerja paruh waktu di toko buku dan sebagai guru les untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk biaya kuliahnya sendiri. Untunglah ia memiliki Vernon yang mau menemaninya walaupun kini ia hanyalah anak yatim piatu.


Lain Dahyun lain Vernon. Hidupnya memang tidak semenyedihkan hidup Dahyun. Tetapi keduanya sama-sama harus bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya. Vernon dilahirkan dikeluarga baik-baik. Ayahnya merupakan developer sedangkan ibunya memiliki sebuah tempat makan yang telah memiliki banyak cabang yang tersebar di seluruh penjuru Korea.


Tapi Vernon harus bekerja keras untuk membiayai kuliahnya. Ayahnya tidak mau membiayai kuliah Vernon karena anak laki-lakinya itu tidak mau mengikuti kemauannya untuk belajar bisnis agar dapat melanjutkan pekerjaannya. Walau sebenarnya hukum bukanlah sesuatu yang diinginkan dan dicita-citakan Vernon, tetapi baginya menajdi mahasiswa fakultas hukum lebih baik dibandingkan belajar ilmu bisnis seperti keinginan ayahnya.


Jadi saat ia mendaftarkan diri untuk berkuliah, ia hanya mengikuti kemauan ayahnya untuk melanjutkan studinya di kampus yang telah dipilihkan tetapi ia tidak memilih jurusan seperti apa yang telah sang ayah rencanakan. Dan karena itu, ayahnya menjadi murka dan bersumpah untuk tidak membiayai biaya kuliah Vernon.


Vernon kembali tersadar dari lamunan singkatnya. Ia kemudian berjalan mendekati pintu kamar Dahyun. Menatap gadis itu sebelum berbalik dan kembali berpamitan pada Hyebin, “Aku pamit sunbea. Dan sekali lagi terimakasih.” Vernon membungkuk singkat dan kemudian berlalu pergi.



*  *  *  *



Hari telah sore. Koridor kampus telah semakin sepi mengingat semua kelas berakhir pada jam 4 sore. Vernon yang baru saja tiba bergegas menuju ruang rapat BEM dengan rasa nyeri yang masih bersarang di  tangan dan kepalanya. Ia tidak menghadiri kelas pada hari itu. Tetapi dengan tenaganya yang belum pulih ia memutuskan untuk menghadiri rapat yang hampir dua minggu ini ia abaikan.


Laki-laki itu berhenti sejenak di depan pintu ruang rapat. Dengan susah payah, ia menekan gagang pintu tersebut. Suara-suara orang yang tengah berbicara tiba-tiba saja hilang saat Vernon berjalan masuk ke dalam ruangan.


Dosen Gu Won yang tengah memperhatikan presentasi Jun tiba-tiba berdiri dengan matanya yang membulat. Ia tidak menyangka bahwa Vernon akan hadir. Terlebih mantan ketua departemen itu datang dengan keadaan yang sangat tidak biasa. Kepala yang diperban serta tangan yang diikat dengan arm sling.


“Oh, jadi seorang Vernon Choi Hansol benar-benar mengalami kejadian menyedihkan seperti ini.” Sindir Jaebum yang masih duduk dikursinya dengan tatapan tidak suka yang ia tunjukan pada Vernon.


Namun Vernon tidak begitu tertarik untuk meladeni anggota departemen yang sejak awal tidak menyukai dirinya, seperti Jaebum. Ia hanya ingin menyerahkan hasil kerjanya yang lain dan mengikuti rapat dengan tanpa usikan. Rasa sakit yang tengah ia rasakan sudah cukup baginya sehingga ia tidak ingin membuat rasa sakit itu semakin bertambah dengan terpancing oleh ucapan Jaebum tadi.


Vernon lantas membungkuk meminta maaf atas keterlambatannya yang menyebabkan terhentinya presentasi Jun. Ia kemudian dengan susah payah mengeluarkan sebuah map dari dalam tas yang dibawanya dan memberikan pada Tzuyu dan juga dosen Gu Won.


Vernon kemudian beranjak menuju kursi kosong yang tersisa. Ia kemudian mendudukan tubuhnya di sana, pada kursi di samping Seulgi yang tengah memperhatikannya dengan alis bertaut.


“Apakah kau baik-baik saja?” Tanya gadis itu begitu Vernon duduk. Suaranya pelan namun tetap terdengar oleh anggota lain mengingat keadaan ruang rapat menjadi hening saat dirinya masuk ke dalam.


“Iya.” Jawab Vernon sekenanya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah buku catatan dan pulpen dari dalam tas. Ia berencana untuk mencatat segala hal yang dirapatkan hari itu.


Melihat Vernon yang telah siap, dosen Gu Won kembali mempersilahkan Jun untuk melanjutkan presentasinya. Walaupun sebenarnya ada perasaan penasaran yang dirasakan saat ia melihat Vernon. Ada apa dengan anak itu? Kenapa ia seperti itu???


Jun yang sebenarnya juga merasa penasaran sekaligus prihatin akan kondisi Vernon, mau tak mau mengenyampingkan perasaan tersebut dan kembali melanjutkan presentasinya. Ia kembali menjelaskan berbagai desain yang telah dibuatnya.


Rapat pada sore itu terus berlanjut hingga dosen Gu Won mengakhirinya dengan pemberian target kerja untuk satu minggu ke depan kepada seluruh anggota. Pria itu kemudian bergegas meninggalkan ruang rapat dengan membawa beberapa lembar map yang merupakan hasil kerja anggota departemen selama dua minggu belakangan ini.


Vernon yang melihat kepergian dosen Gu Won mulai bersiap untuk mengikuti sang dosen meninggalkan ruang rapat. Ia harus kembali ke rumah sakit untuk menemani Dahyun malam itu, karena Hyebin memiliki jadwal rapat dengan teman-teman satu klubnya. Dengan tangannya yang bebas, ia masukan buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Ia kenakan kembali tasnya dengan agak susah karena salah satu tangannya yang harus menggunakan arm sling.


“Vernon..” Panggilan Tzuyu berhasil menghentikan langkah Vernon yang hendak meninggalkan ruang rapat.


“Bisakah kita bicara?” Sambung Tzuyu. Gadis itu melihat ada keraguan dari pancaran mata Vernon. “Sebentar, hanya sebentar.” Tambahnya saat Vernon tak kunjung memberikan jawaban.


“Baiklah, hanya sebentar.”


Keduanya pun berjalan meninggalkan ruang rapat. Tzuyu berjalan lebih dulu memimpin Vernon untuk berjalan mengikutinya menuju taman belakang kampus. Ia kemudian menempati kursi taman dan meletakan tas serta map-map yang dibawanya di sisinya. Vernon tak lantas duduk. Ia masih berdiri dan menanti Tzuyu untuk berbicara.


“Kau tidak duduk?” Tanya Tzuyu begitu melihat Vernon yang masih berdiri.


Laki-laki itu menggeleng. “Tidak. Aku hanya sebentar. Jadi apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Vernon langsung kepokok pembicaraan.


“Baiklah, jadi kenapa kau tidak datang menemuiku di kantin?” Tzuyu memulai pembicaraan kali itu dengan membahas alasan Vernon atas ingkarnya laki-laki itu dari janji yang telah ia buat.


“Untuk itu, aku minta maaf. Ada hal yang harus aku lakukan sehingga aku tidak dapat menemuimu.”


“Apakah hal itu ada hubungannya dengan keadaanmu saat ini?” Tanya Tzuyu lagi yang masih merasa belum puas dengan jawaban yang diberikan Vernon.


Vernon memicingkan matanya dan menatap Tzuyu dengan alis bertaut. Ia merasa tidak suka atas pertanyaan dan sikap Tzuyu saat itu. Kenapa dengan gadis ini? Kenapa ia terdengar begitu sinis?? Apakah yang terjadi pada dirinya harus gadis itu ketahui. Ia tahu kalau dirinya adalah asisten gadis itu, tetapi bukan berarti segala sesuatu yang terjadi pada dirinya harus ia beritahukan pada gadis itu!


“Ku rasa itu bukan urusanmu Zhou Tzuyu.”


“Tapi kau adalah asistenku. Dan sudah menjadi tanggung jawabku untuk tahu segala hal yang bersangkutan dengan acara departemen. Dan kau hampir membuat jadwal yang telah ku buat hancur karena-”


“Maaf. Ku kira itu cukup. Lagi pula aku sudah mengerjakan tugasmu, jadi kita impas.” Selak Vernon. Ia kemudian mengalihkan pandangannya dari Tzuyu dengan menatap hamparan hijau di depannya. Walau ada rasa tidak enak yang mencuat ketika dirinya mengatakan hal menyakitkan itu.


Seperti diikat dan diletakan di samping sebuah pemabakaran, seperti itulah perasaan Tzuyu saat itu. Panas bahkan semakin lama semakin memanas saat ia melihat bagaimana raut wajah Vernon. Hilang sudah rasa simpatinya. Awalnya ia ingin berbaik hati pada laki-laki itu. Tapi melihat bagaimana reaksinya membuat Tzuyu membuang jauh-jauh perasaan simpatinya itu.


“Kurasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Terimakasih karena telah mengerjakan tugasku!” Tzuyu segera bangkit dari kursi. Kemudian mengambil map-mapnya dan menarik tali tasnya bersama dengan langkah cepatnya.


Vernon terkejut saat melihat kepergian tiba-tiba Tzuyu. Ia hendak mengejar gadis itu tapi keadaan Dahyun yang masih lemah membuat ia mengurungkan niatnya. Lantas laki-laki itu memutar langkahnya hendak pergi. Namun sebuah barang yang sepertinya milik Tzuyu tertinggal di kursi taman. Ia kemudian mengambil barang tersebut.


“Gantungan kunci anjing?” Gumamnya. Ia menatap lekat-lekat benda tersebut sebelum ingatannya kembali membawa ia pada kejadian dua tahun lalu.


Vernon merasa begitu kesal. Ia tidak suka ayahnya terlalu mencampuri kehidupannya. Mengatur dan menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan masa depannya. Ia sudah besar! Ia bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya sendiri. Jadi ayahnya tak perlu repot-repot memilihkan segala sesuatu untuk dirinya lagi.


Terlebih mengancamnya dengan tidak membiayai kuliahnya jika ia berani untuk tidak memenuhi permintaan sang ayah. Cih.. Vernon tidak takut! Terserah jika sang ayah tidak ingin membiayainya. Dunia tidak akan hancur jika ayahnya tidak membiayai kuliahnya. Toh masih ada banyak jalan untuk bisa sampai di Roma. Jadi masih ada cara lain untuk dia bisa membayar biaya kuliahnya.


Mengingat bagaimana sang ayah mengancamnya membuat Vernon tidak dapat lagi membendung rasa kesalnya. Ia ingin berteriak dan mengeluarkan seluruh kekesalannya. Tapi ia sadar, ia tidak bisa melakukan hal itu di tempat tersebut. Bisa-bisa ia yang akan ditarik keluar secara paksa oleh para pejaga café.


Lantas Vernon akhrinya memutuskan untuk membayar segelas soda yang telah dipesannya agar ia bisa dengan segera pergi meninggalkan tempat tersebut. Seorang pelayan yang sebelumnya datang memberikan bill, kembali menyambangi Vernon untuk memberikan kembalian laki-laki itu. Vernon mengucapkan terimakasih dan bersiap untuk pergi.


Tapi seorang gadis yang duduk tak jauh dari mejanya menarik perhatian Vernon untuk beberapa saat. Mata gadis itu terihat sembab. Bahakn pipinya juga terlihat basah. Awalnya Vernon ingin menghiraukan keberadaan sosok tersebut. Tetapi cairan merah yang berada di telapak tangan gadis itu membuat Vernon tidak bisa untuk tidak mengindahkannya.


Ia ingin menghampiri gadis itu. Sayangnya sang gadis telah lebih dulu beranjak pergi meninggalkan mejanya. Merasa tidak mau kehilangan gadis tersebut, Vernon pun dengan cepat mengejar gadis yang memiliki gantungan kunci berbentuk anjing di tasnya itu.


Saat berada di luar, Vernon pun berlari mengejar sang gadis yang tengah berjalan menuju tempat penyebrangan. Beruntung bagi Vernon, karena saat gadis itu hendak menyebrangi jalan lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau hingga gadis itu tidak dapat melewatinya. Vernon pun dengan cepat meraih lengan gadis itu dan membuat mereka kini menjadi berhadapan.


“Siapa kau?!” Tanya sang gadis yang terkejut karena aksi tiba-tiba Vernon. Mungkin tidak hanya gadis itu saja yang bereaksi seperti itu. Semua orang akan bereaksi yang sama jika ada orang tak dikenal yang menarik mereka secara tiba-tiba.


“Maaf aku tidak bermaksud jahat. Aku tidak akan meminta uangmu atau apa pun. Aku hanya ingin...” Vernon menggantungkan ucapannya. Ia kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan sapu tangan biru langit miliknya.


“Tanganmu terluka karena selama di café kau memegang pisau dengan terbalik. Tapi setidaknya kau beruntung karena lukamu ini tidak terlalu parah karena pisau tadi bukanlah pisau pemotong daging.” Ujar Vernon lagi sembari mengikatkan sapu tangannya pada telapak tangan gadis itu untuk menutupi dan menghentikan lukanya.


Vernon memegangi gantungan kunci tersebut dengan erat. Sebuah senyum kecil terpasang diwajahnya saat ia berhasil mengingat kejadian saat itu. “Ternyata kau itu adalah dia..”



*  *  *  *



Suara gesekan pada pintu bertekstur kayu itu membuat Dahyun menolehkan kepalanya pada sumber suara. Sosok Vernon datang masih dengan arm sling yang mengikat tangannya membawa sebuah paper bag putih. Kedatangan Vernon di malam itu membuat senyuman lebar namun masih terlihat lemah tersungging pada bibir Dahyun.


“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Vernon begitu ia telah berada di dekat ranjang Dahyun.


Vernon meletakan paper bag yang di bawanya di atas meja di samping ranjang. Kemudian menarik kursi hitam yang bersandar di tembok dan mendudukinya.


“Baik, walau terkadang aku merasa begitu pusing tetapi tidak lama rasa itu hilang.”


“Apakah kau sudah mengatakannya pada dokter?” Tanya Vernon yang mulai agak khawatir dengan kondisi Dahyun. Pasalnya sejak gadis itu tersadar dari obat tidur pasca operasi, Vernon beberapa kali memergoki Dahyun yang tengah memegangi kepala dengan mata terpejam dan dahi berkerut. Seperti tengah menahan rasa sakit.


“Tidak usah, mungkin ini hanya efek dari operasiku saja. Kau tak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja.” Ujar Dahyun menenangkan. Dahyun tahu bahwa saat ini sang kekasih begitu mengkhawatirkan dirinya. Tetapi ia tidak ingin membuat Vernon terlalu mengkhawatirkannya sampai-sampai ia lupa untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Kekasihnya itu juga mengalami hal yang sama dengannya, jadi akan lebih baik jika mereka menyembuhkan diri masing-masing.


“Benarkah? Tetapi kau selalu mengalami hal ini Dahyun-aa. Apakah kau tidak ingin dokter memeriksamu?” Kembali Vernon menyuarakan kekhawatirannya. Ia tahu Dahyun adalah gadis yang kuat dan tangguh, tapi tidak semua hal harus gadis itu hadapi dan selesaikan sendiri. Terlebih mengenai kesehatannya. Dahyun bukanlah ahli medis, jadi akan lebih baik jika meminta bantuan dari ahlinya bukan.


Dahyun menggelengkan kepalanya pelan dan singkat. Ia kemudian meraih tangan Vernon dan menggenggamnya. “Aku baik-baik saja. Percayalah..”


Vernon hanya menghela nafasnya. Ia sudah tidak bisa lagi membujuk atau merayu Dahyun jika gadis itu sudah memutuskan. Gadisnya itu memiliki keteguhan hati yang besar, jadi sulit bagi orang lain untuk menginterupsi apa yang telah diputuskannya, termasuk dirinya sendiri.


“Oh iya, apa yang ada di dalam paper bag itu?” Dahyun mengalihkan pandangannya dan melepaskan genggamannya. Ia kemudian menunjuk paper bag yang berada di atas meja nakas.


“Oh ini,” Vernon akhirnya kembali menyunggingkan senyumnya setelah alisnya terus bertaut saat berbicara dengan Dahyun. Ia kemudian mengeluarkan isi dari paper bag tersebut dan menunjukannya tepat di hadapan Dahyun.


“Roti bakar dari kedai kesukaanmu.”


Dahyun tak mampu menyembunyikan rasa senangnya begitu mendengar dan mencium aroma roti bakar kesukaannya. Dengan gerakan yang lemah, ia berusaha untuk mengambil roti tersebut dari Vernon. Tapi belum sempat tangannya mengambang ke atas, Vernon telah lebih dulu menjauhkan bungkusan roti bakar tersebut dari hadapan Dahyun.


“Aku akan menyuapimu, jadi kau diam dan jangan bergerak.”


Malam itu keduanya habiskan dengan dua porsi roti bakar serta susu murni yang sangat lezat. Bahkan perkiraan bahwa hujan akan turun dan membasahi ibu kota tidak terjadi malam itu. Semua itu seperti langit ikut merasakan kebahagian kecil Vernon dan Dahyun. Tidak ada setetes air pun yang langit jatuhkan ke bumi. Tetapi malah bintang-bintang yang menghiasi langit hitam yang diberikan langit untuk menemani malam keduanya.



*  *  *  *



Gadis yang hanya ditemani segelas jus jeruk itu terus saja menitihkan air matanya. Sudah hampir satu jam lebih, sejak ia sampai hingga detik itu, matanya terus mengalirkan cairan bening yang akan memberikan efek bengkak pada matanya.


Gadis itu berusaha untuk menyekah aliran air yang mengalir membasahi pipinya. Mengusap matanya kasar. Tetapi lagi-lagi cairan bening itu tidak mau berhenti mengalir. Ia lelah. Ia putus asa. Apakah tidak ada yang bisa mengerti dirinya?!? Bahkan air matanya sendiri saja tidak bisa!


Ia ingin pergi jauh. Sangat jauh dan tidak kembali lagi. Tapi apa yang dikatakan orang lain jika ia benar-benar melakukan hal itu. Seorang Zhou Tzuyu melarikan diri hanya karena dipaksa melanjutkan studinya di faktultas kedokteran. Bisa hancur harga dirinya. Bisa hilang reputasinya sebagai gadis pintar yang mampu menghadapi segala macam tantangan hidup.


Tapi ia juga tidak bisa menghilangkan keinginan dan hasrat hidupnya untuk menjadi bagian dari dunia pemerintahan. Ia ingin menjadi seorang politikus handal yang dihormati dan dicintai masyarakat. Ia tidak ingin menjadi seorang dokter yang bekerja untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Baginya menyelamatkan nyawa orang lain bisa menjadi sia-sia jika Tuhan sudah berkehendak lain.


Dan ia tidak ingin hal itu terjadi. Ia tidak ingin usahanya menjadi sia-sia hanya karena bertentangan dengan suratan Tuhan. Ia tidak ingin merasa bersalah karena gagal menyelematkan nyawa seseorang. Dan ia juga tidak siap untuk disalahkan atas sesuatu yang tidak ia kehendaki dan juga bukan kuasanya.


Dan karena itulah, sejak satu jam yang lalu gadis bedarah Taiwan itu berada di meja tersebut. Menangis oh tidak, berusaha untuk membendung tangisnya walau air mata terus jatuh bebas dari matanya.


Ia tidak tahu harus pergi kemana lagi selain café tersebut. Baginya café itu merupakan tempat terbaik setelah kamarnya. Ia tidak peduli dengan pengunjung café lainnya yang mungkin memperhatikannya dengan bingung. Ia tidak peduli jika orang lain mengasihaninya bahkan menganggapnya seperti orang gila karena menangis di tempat umum.


“Sudah cukup Zhou Tzuyu. Sudah cukup. Jangan menangis lagi. Tangisanmu tidak akan mengubah keputusan ayahmu. Jadi berhentilah!!” Ujarnya mencoba memberikan semangat untuk dirinya sendiri.


Ya, gadis itu menangis karena keputusan yang baru saja ayahnya buat. Saat pesta kelulusan di sekolahnya, sang ayah datang dan memberikan sebuah amplop padanya. Sebuah kertas yang terlipat rapih di dalam berhasil menarik rasa penasarannya. Ia penasaran dengan isi surat tersebut.


Dengan perlahan ia membuka lipatannya. Sebuah kata ‘selamat’ tertulis besar dan tebal pada bagian atas surat. Ia tidak tahu maksud kata itu apa. Namun saat ia membuka secara utuh lipatan kertas tersebut, namanya telah tertulis di sana sebagai pemberitahuan bahwa seseorang bernama Zhou Tzuyu resmi diterima menjadi mahasiswi fakultas kedokteran Universitas Cheong-Dam pada tahun ajaran baru.


Tzuyu menatap sang ayah dan ibu yang tengah tersenyum dengan lebar padanya. Ia tidak tahu apa yang telah kedua orang tuanya lakukan. Ia juga tidak tahu harus bereaksi apa atas surat yang dipegangnya saat itu.


“Ini apa ayah?” Tanyanya masih dengan raut bingung yang begitu kentara sekali pada wajahnya.


“Karena prestasimu selama ini, ayah meminta wali kelasmu untuk mendaftarkan mu di fakultas kedokteran. Dan kamu diterima pada pilihan pertama Tzuyu. Kamu menjadi mahasiswi fakultas kedokteran kini. Kamu bisa melajutkan pekerjaan ayah dan ibu jika kami telah tiada nanti.” Seru sang ayah sembari memberikan pelukan hangat penuh kebahagian kepada Tzuyu.


“Ibu bangga padamu nak. Kamu akhirnya bisa meneruskan cita-cita kami sebagai dokter. Kami sudah cukup tua untuk terus berada di dunia kedokteran, jadi akan lebih baik jika kami memilki penerus. Dan kamu adalah satu-satunya penerus kami.” Kini sang ibu ikut menyuarakan rasa bahagianya. Ia ikut memberikan pelukan hangat serta kecupan singkat pada kening anak gadisnya itu.


Mengingat kejadian itu, lagi-lagi tangis Tzuyu pecah. Ia tidak dapat mengendalikan rasa kecewanya pada orang tuanya sendiri. Dan yang lebih membuatnya merasa kecewa adalah dirinya yang tidak berani mengatakan apa yang sebenarnya ia inginkan kepada kedua orang tuanya.


Mendapat pelukan dan ucapan selamat membuat Tzuyu bungkam seribu bahasa. Ia hanya diam dan membiarkan kedua orang tuanya berbicara, membayangkan hal-hal yang akan terjadi dimasa depan saat dirinya telah memiliki gelar dokter. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia bingung. Kemampuan berbicaranya seakan hilang saat melihat raut bahagia ayah dan ibunya sendiri.


Dan karena itulah akhirnya ia berakhir di café tersebut. Duduk di salah satu meja yang berada di pojok, memandang ke kaca luar dengan ditemani segelas jus jeruk yang sama sekali tak disentuhnya. Tzuyu sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa. Oh bukan tidak tahu lagi, tetapi memang sedari awal ia tidak tahu harus melakukan apa.


Ia tidak ingin mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan keinginan orang tuanya karena itu berarti akan menghancurkan harapan dan rasa bahagia mereka. Tetapi ia juga tidak ingin menggeluti hal yang tidak ia minati. Ia tidak ingin kuliah 6 tahunnya menjadi sia-sia karena ia yang tidak mencintai bidangnya.


Rasa kecewa yang begitu besar membuat Tzuyu tanpa sadar terus memegangi pisau yang memang sengaja disediakan di atas meja. Gadis itu terus memeganginya dan membiarkan cairan kental berwarna merah mengalir dari sela buku-buku tangannya. Tzuyu sudah tidak tahan lagi berdiam diri. Ia ingin mengeluarkan keluh kesahnya. Dan saat itu juga, ia bergegas pergi meninggalkan café.


Ia tarik tali tasnya dan mengenyampirkan dengan kasar pada pundaknya. Ia kemudian dengan langkah cepat berjalan menuju tempat penyebrangan. Namun saat ia sampai, lampu lalu lintas berubah hijau dan ia tidak bisa menyebrangi jalan raya itu. Dan saat ia tengah menunggu lampu untuk berubah kembali menjadi merah, seseorang menarik lengannya dan membuat tubuhnya berputar.


“Siapa kau?!” Tanya Tzuyu terkejut. Ia tidak tahu siapa sosok laki-laki yang baru saja menariknya. Ia ingin teriak agar ia dapat terbebas dari laki-laki itu. Namun gerakan laki-laki itu membuat dirinya hanya diam dan menatap sosok itu dengan bingung.


“Maaf aku tidak bermaksud jahat. Aku tidak akan meminta uangmu atau apa pun. Aku hanya ingin...” Laki-laki itu terlihat merogoh saku celananya dengan sedikit sulit. Lalu tak lama sebuah sapu tangan biru langit keluar dari balik saku belakang celananya.


“Tanganmu terluka karena selama di café kau memegang pisau dengan terbalik. Tapi setidaknya kau beruntung karena lukamu ini tidak terlalu parah karena pisau tadi bukanlah pisau pemotong daging.” Pria itu berujar sembari mengikatkan sapu tangannya pada telapak tangan Tzuyu.


Setelah selesai, laki-laki itu melepaskan tangannya. Ia kemudian mengangkat kepalanya dan menyunggingkan senyumnya begitu mata mereka bertemu. “Akan lebih baik jika kau segera membersihkan lukamu saat tiba di rumah.” Ucapnya sebelum melenggang pergi menyebrangi jalan bersama dengan orang-orang lain di pinggir penyebrangan tersebut.

Tzuyu menatap kepergian sosok itu saat lampu lalu lintas kembali berubah hijau. Ia kemudian menatap kembali pada sapu tangan biru yang kini menutupi luka yang baru saja disadarinya itu. “Vernon..” Gumamnya melafalkan ukiran pada sapu tangan tersebut.


Tzuyu bangkit dari ranjangnya. Ia berjalan menghampiri meja belajar. Menarik kursi meja tersebut keluar dan mendudukinya. Ia kemudian membuka laci meja dan mengeluarkan sapu tangan biru langit dari sana.


“Aku tidak menyangka kau seperti itu Vernon. Kau bukanlah pria baik seperti yang ku pikirkan. Dan seharusnya aku tidak menyimpan benda ini!”


Gadis itu bangkit dari duduknya. Berjalan menuju tempat sampah di pojok ruangan dan menginjak injakan benda tersebut. “Akan lebih baik jika aku membuangnya sejak awal.” Dengan kilatan amarah yang terpancar dimatanya, Tzuyu mengangkat tangan berniat untuk membuang sapu tangan tersebut. Namun gerakannya tiba-tiba terhenti dan kemudian tangannya hanya diam mengambang di udara.



*  *  *  *



Waktu telah menujukan pukul 2 dini hari. Tempat itu begitu sunyi melebihi kesunyian pada umumnya. Terang saja karena tempat tersebut mempunyai peraturan untuk tidak membuat keributan jika tidak ingin ditarik paksa oleh penjaga.


Namun keadaan menjadi ricuh dengan tiba-tiba. Vernon yang terlelap tidur di sofa tiba-tiba saja terperanjak begitu mendengar suara rintihan. Laki-laki itu segera menanggalkan sofa dan menghampiri Dahyun yang tengah merintih kesakitan sembari memegangi kepalanya.


“Dahyun-aa.. kenapa? Ada apa?” Tanya Vernon mulai khawatir. Ia kemudian memegangi Dahyun yang terus bergerak karena rasa sakit yang tiba-tiba saja menyerang kepalanya.


“Dahyun-aa..”


“Sakit.. Kepalaku sakit.” Hanya itu yang mampu diungkapkan Dahyun. Sakit. Tidak ada kata lain selain itu.


Vernon yang mendengarnya berusaha untuk menenangkan gadis berbalutkan pakaian rumah sakit itu. Namun usahanya tidak bisa membuat gadis itu tenang dan berhenti menjerit. Sudah merasa tidak tahu harus melakukan apa lagi, akhirnya laki-laki itu menekan tombol pemanggil perawat yang berada di atas ranjang Dahyun. Tak lama seorang perawat dan seorang dokter jaga datang.


“Ada apa ini?” Tanya sang dokter begitu melihat pasiennya menggeliat tiada henti di atas ranjangnya.


Dokter itu dengan cepat menghampiri Dahyun. Dengan bantuan sang perawat, keduanya berusaha untuk menenangkan Dahyun. Namun usaha mereka tidak membuahkan hasil apa pun. Dahyun tetap menjerit sembari memegangi kepalanya. Merasa tak ada pilihan lain, sang dokter meminta perawat untuk mempersiapkan jarum suntik beserta obat bius.


Tak lama, jarum berisikan cairan bius telah diserahkan oleh perawat itu kepada dokter. Kembali dengan bantuan sang perawat, dokter tersebut menyuntikan habis cairan bius ke dalam tubuh Dahyun. Setelah habis, dengan perlahan ia menarik kembali jarum suntik dari lengan Dahyun.


Dahyun yang mulai melemah, kian lama ia mulai menghentikan gerakannya walau masih ada rintihan-rintihan kecil yang keluar dari mulutnya. Tidak sampai 2 menit, obat bius itu telah benar-benar berhasil membius Dahyun hingga kembali tertidur.


Sang dokter, perawat, dan Vernon akhirnya dapat menghela nafasnya lega. Setidaknya tidak ada lagi rintihan menyakitkan yang keluar dari mulut Dahyun untuk malam itu.


“Sebenarnya ada apa dengan pasien?” Tanya dokter saat sang perawat tengah merapihkan posisi Dahyun.


“Saya tidak tahu dok. Tiba-tiba saja dia menjerit dan mengatakan sakit dikepalanya.” Terang Vernon. Ia kemudian melirik sejenak pada Dahyun sebelum kembali menatap dokter yang tengah memikirkan sesuatu.


“Kepala? Sudah berapa kali ia mengeluh sakit dan sejak kapan ia merasakan rasa sakit dikepalanya?” Tanya sang dokter lagi, kali ini dengan raut yang lebih serius.


Vernon diam. Ia berusaha untuk mengingat semua keluhan sakit yang keluar dari bibir Dahyun. “Saya kurang tahu pasti dok, tapi sejak ia sadar dari operasinya ia mulai mengeluhkan rasa sakit dikepalanya. Dan rasa sakit itu muncul hampir setiap hari.”


Dokter tersebut kembali diam. Namun alisnya semkain menegang begitu mendengar penuturan Vernon.


“Memangnya ada apa dok? Apa yang terjadi pada Dahyun?” Tanya Vernon lagi yang mulai merasa risau saat melihat raut wajah sang dokter yang tidak biasa itu.


“Kita harus melakukan pemeriksaan mendalam pada pasien untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.”


Vernon merasa jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan harapannya. Ia menginginkan jawaban yang lebih dari itu untuk membeirkan sedikit rasa tenang pada dirinya.


“Katakan yang sejujurnya dok. Apa yang terjadi pada Dahyun!” Paksa Vernon. Ia mengguncang tubuh sang dokter dengan tangannya yang bebas.


Dokter tersebut berusaha menenangkan Vernon. Ia kemudian melepaskan genggaman Vernon pada pundaknya. “Menurut diagnosa sementara saya, sepertinya ada sesuatu pada kepala pasien yang menimbulkan rasa sakit itu. Sesuatu itu bisa tumor atau adanya gumpalan darah pasca operasi. Karena itu kita memerlukan pemeriksaan lebih mendalam sebelum menarik kesimpulan.”


Seperti tersambar petir disiang bolong. Vernon langsung limbung begitu mendengar penuturan dokter. Ia tidak tahu kenapa hal seperti itu dapat terjadi. Dahyun adalah gadis yang baik. Bahkan gadis itu rela untuk menyelematkan dirinya dan juga anak kecil yang mereka tolong dan membiarkan dirinya sendiri menderita luka yang lebih parah.


Tapi kenapa Tuhan malah memberikan cobaan yang lebih pada Dahyun?? Bukankah itu tidak adil??? Bukankah lebih baik jika hal itu terjadi pada dirinya? Ia hanya mengalami patah tulang dan luka ringan, sedangkan Dahyun, gadis itu harus menjalani operasi terlebih dulu untuk menyelamatkan nyawanya.


Dan kini, dokter memberikan diagnosa sementara bahwa ada tumor di dalam kepala Dahyun?!?! Tidak, itu tidak mungkin! Itu tidak mungkin terjadi!! Bagaimana bisa? Kenapa Dahyun? Kenapa harus gadis itu dan bukan dirinya???!?


“Anak muda, apakah kau baik-baik saja?” Tanya sang dokter yang mencoba menahan Vernon agar tidak jatuh.



Vernon berusaha mengembalikan kesadarannya. Ia kemudian mencoba untuk berdiri tegak dan berjalan masih dengan sedikit limbung menuju rangjang Dahyun. “Kau akan baik-baik saja Dahyun-aa.. aku janji.”




TBC




"HAPPY NEW YEAR 2017!!"



Seperti yang udah dua author sebelumnya bilang kalau ini challenge, dan menurut rencana awal seharusnya ini bagian terakhir dari rangkaian challenge kali ini. Tapi kalau kalian baca lagi dari part 1 dan part 2, agak sulit dan terlalu maksa kalau cerita ini harus bener-bener selesai di aku.


Jadi karena itu, aku akan menyerahkan tongkat estafet kembali ke author pertama. Dan karena itu saya persilahkan kepada author selanjutnya untuk memasuki ruang kerja :)

Comments

Popular Posts