Bitter Sugar - Part 1




Main Cast:
Andrea Jung – Lee Minhyuk (Minhyuk’s Monsta X)

Supporting Cast:
Son Hyunwoo (Shownu’s Monsta X) – Lee Kihyun (Kihyun’s Monsta x)
 Chae Hyungwon (Hyungwon’s Monsta X) – Lee Jooheon (Jooheon’s Monsta X) 

Genre:
Friendship, Romance

Rating:
PG - 15
.
.

Exit light..enter night
Take my hand… We’re off to never land



Nada dering super ribut itu memaksanya membuka mata, meloloskan erangan pelan begitu rasa pengar menyerang kepalanya.


Astaga, siapa sih yang menelepon pagi-pagi begini?


Ia mengusap kepalanya, berusaha mengenyahkan rasa berat yang semakin parah begitu nada dering sialan itu memasuki bagian solo gitar. Demi Tuhan, kemana sih pemilik ponsel laknat itu?



Matanya menyisir ke sekeliling, empat makhluk tak tahu diri itu masih terkapar damai di tempatnya masing-masing. Hyunwoo, si raksasa yang masih meringkuk di dekat kaki sofa. Kemudian si pemuda yang serupa dengan belalang sembah, Chae Hyungwon yang hanya bergerak gusar tapi tak lantas membuka matanya. Di sebelahnya ada bocah berambut merah, si Jooheon sialan yang bahkan tak sadar kalau ponselnya terus meraung, dan yang terakhir ada Kihyun yag mulai mengerang-erang seperti anak bayi yang merengek minta susu.


Tak ada pilihan lagi, ia langsung menyambar ponsel berisik itu lantas menjawab panggilannya. Belum sempat ia menyapa penelepon di seberang sana, lawan bicaranya langsung menghujaninya dengan makian. Gila.


“Heh.. Bocah brengsek! Pulang sekarang! Mau sampai kapan kau kabur, heh?”


Ia meringis, memutar bola matanya dengan sebal. Ia baru ingin menyanggah, tapi lagi-lagi perempuan di ujung sana kembali meracau.


“Surat peringatan dari kampusmu sudah sampai di rumah. Benar-benar ya kau ini. Kau akan dikeluarkan karena membolos selama satu semester! Sudah gila, ya? Cepat pulang! Kasihan ayah dan ibu–“


Ia buru-buru memutus sambungan dan melempar ponsel itu hingga mengenai kepala si rambut merah. Suara menggeram terdengar.


“Apa-apaan kau ini?” protes Jooheon dengan suara serak.


“Pulang sana. Keluargamu mencarimu, tahu.” Ia berjalan menuju dapur, menuangkan air ke dalam sebuah gelas bening.



Rasa pening tak lantas beranjak begitu air putih mengaliri kerongkongannya. Seberapa banyak ia minum semalam? Kalau rasa peningnya sampai sedahsyat ini, bagaimana caranya mereka bisa ada di sini? Di apartemennya? Sial, ia bahkan tidak bisa mengingat apapun.



“Bagaimana caranya kita pulang? Kurasa kita benar-benar kacau semalam.” Ia bertanya pada Jooheon, satu-satunya orang selain dirinya yang sudah membuka mata.



Pemuda berambut merah itu masih menekuri ponselnya sambil mengerutkan dahi. “Aigoo, kurasa Nuna akan membunuhku begitu aku pulang ke rumah. Lebih baik aku sembunyi dulu selama beberapa hari,” gumamnya setelah membaca pesan-pesan yang dikirimkan kakak perempuannya itu.




“Hyung, tadi kau tanya apa? Oh.. iya, kita diantar anak-anak itu, lalu mereka meminta bantuan satpam untuk membawa kita naik ke sini.”


“Anak-anak yang mana?” Ia coba mengingat-ingat, anak-anak yang mana?




Coba ia urutkan kejadian semalam pelan-pelan. Mereka berlima datang ke klub Combos untuk mengisi acara pesta mingguan yang biasa digelar setiap sabtu malam. Mereka memainkan lima buah lagu dengan mulus, kemudian turun dari panggung, menerima ajakan Jun–si manager klub–yang menawari mereka minum bersama. Untuk beberapa waktu, mereka hanya minum-minum, mengobrol, menikmati pemandangan wanita setengah telanjang yang mondar-mandir, kemudian–seingatnya–Hyunwoo izin ke kamar kecil. 



Beberapa waktu setelahnya, ruangan sumpek itu dihebohkan dengan perkelahian antar dua orang lelaki di dekat pintu kamar mandi. Yang satu laki-laki berbadan kekar penuh otot dengan tato naga di lengan kanannya, dan yang satu lagi adalah laki-laki berbadan cukup besar yang sudah terlalu mabuk untuk menanggapi lawannya, orang itu tak lain adalah Son Hyunwoo.




Begitu pertengkaran tak bisa dikendalikan, akhirnya Hyunwoo diseret paksa oleh dua orang penjaga bertubuh besar. Singkatnya mereka berlima diusir dari klub secara tidak hormat. Lalu, mereka tergeletak di pinggir jalan layaknya gelandangan.




Terlalu payah untuk bangun dan beranjak, hanya bisa berbaring di aspal sambil menahan rasa mual. Dan kemudian, kepalanya terasa berat hingga semuanya gelap. Dan ia tidak ingat lagi.




“Pasti kau tidak ingat. Kau yang paling kacau semalam. Kau bahkan memuntahi seorang gadis. Ckck.. keterlaluan,” kata Joohen lagi.




Pemuda berambut merah itu beranjak, menghampirinya di meja makan. Menghenyakkan tubuh di kursi di depannya sambil menenggak air putih yang masih bersisa setengah di gelas panjang miliknya.




“Gadis?”




Detik itu kepalanya semakin sakit. Pertama, karena efek alkohol yang belum sepenuhnya pergi, kedua ingatannya berceceran dimana-mana, dan ketiga ia mulai ketakutan. Memuntahi seorang gadis!




Ia, Lee Minhyuk, si gitaris paling tampan se-antero Seoul memuntahi seorang gadis tadi malam! Bagaimana kalau penggemarnya yang lain sampai tahu?



“Gadis itu salah satu anak-anak yang kubilang tadi. Kau benar-benar kelewatan, Lee Minhyuk-ssi.”


 “Berisik! Pulang sana! Aku tidak mau kalau kakakmu yang bawel itu sampai datang kemari.”



****  





Rendam ke dalam air, beri sedikit bubuk deterjen, dikucek pelan, bilas, lalu ulang lagi ke langkah pertama. Ia sudah melakukan hal yang sama tiga kali banyaknya. Seolah pakaiannya tak akan bersih kalau ia tidak melakukannya sebanyak itu.




Salahkan si gitaris kurus kering yang memuntahi pakaiannya semalam. Ia tak bisa mengenyahkan kejadian tadi malam dari kepalanya. 




Semalam ia dan ketiga temannya datang ke klub Combos untuk menonton penampilan BitterSugar, band indie yang sedang hits dan kebanjiran panggilan tampil selama dua tahun belakangan.



Jelas saja gagasan untuk datang ke sebuah klub, menikmati penampilan band yang bahkan tidak pernah muncul di teve bukanlah miliknya. Itu ide si Minyoung gila yang kalang kabut mencintai Chae Hyungwon, si pemain keyboard BitterSugar.




Semalam itu ia tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi, biar bagaimanapun ia hanya menikmati susu kocok rasa red velvetnya. Yang jelas keadaan di dalam klub menjadi kacau begitu dua orang pria yang salah satunya personil BitterSugar terlibat perkelahian. Singkatnya kelima orang personil BitterSugar diseret keluar oleh para penjaga bertubuh kekar.



Narin langsung menarik tangannya, mengajaknya keluar dari dalam klub. Mereka enemukan lima orang pria payah yang terkapar tak berdaya di dekat pintu masuk.  Dan ide untuk menolong dan mengantar pulang lima orang aneh itu pun tercetus dari kepala Sinbi, yang jelas saja langsung disetujui oleh Narin dan Minyoung.




Dalam hitungan detik, mobil van mewah milik Minyoung sudah terparkir tak jauh dari keberadaan mereka. Pak Han segera membuka pintunya lalu membantu gadis-gadis itu membopong satu persatu personil BitterSugar.




“Kau mau cepat pulang, tidak? Kalau begitu, bantu Minhyuk oppa berdiri!” sengit Narin.




Mau tak mau ia melakukan apa yang temannya katakan. Ia melingkarkan lengannya di bahu pria yang sudah menggelepar lemas di aspal. Sekuat tenaga ia mulai berdiri, berulang kali kakinya goyah begitu tubuh pria di sebelahnya terhuyung.




“Ya Tuhan, kumohon–“


 “UEEKKK.”




Matanya melebar begitu pria kurus itu menumpahkan semua isi perutnya ke kaus bertulis LA kesayangannya, yang perlahan-lahan menetes ke celana denimnya.


“Brengsek..” Ia menenggelamkan kembali kaos dan celananya ke dalam ember.



Percuma saja ia mencuci dan membilasnya sampai tangannya memutih dan keriput, ingatan tentang kejadian semalam tidak akan enyah begitu saja. Ia meninggalkan kamar mandi sambil mengentak-entakkan kaki. 



“Cuci baju sepotong saja lamanya minta ampun. Dari tadi aku mau pipis, tahu!” Ethan menerobos masuk kamar mandi dan menutup pintunya keras-keras.



Bocah itu. Kalau saja ia tidak sedang lelah dan mual, ia mungkin akan langsung menggebrak pintu kamar mandi dan menyuruh adiknya itu keluar dari sana. Tapi ia terlalu kesal dan terlalu lelah untuk membuat keributan. Lagian ia mesti membantu Irish–kakaknya–di kafe. Hoh, benar-benar akhir pekan yang menyebalkan.



****  





Dulu kehidupan begitu mudah rasanya. Mau beli apa saja bisa, mau pergi kemanapun tak masalah. Dulu ia punya satu lemari penuh berisi tas dan sepatu dengan merek ternama; Bulgari, Louis vouiton, JimmyChoo, Burberi, Gucci. Dulu ia tidak perlu membungkuk rendah atau tersenyum ramah pada lawan bicaranya, tapi sekarang ia harus melakukannya.




Singkat cerita, kehidupannya telah berubah. Berbeda dan menyedihkan.



Tiga tahun yang lalu ayahnya ditipu dan mengalami kerugian besar sampai-sampai perusahaan biro perjalanan miliknya mesti gulung tikar. Dua tahun kemudian ayahnya meninggal dunia akibat pembuluh darah di otaknya pecah.  




Kini mereka hanya bertiga. Dua anak perempuan dan satu orang anak laki-laki. Hanya bertiga, sedangkan ibunya–maksudnya, wanita itu sudah kabur meninggalkan mereka tak lama setelah ayahnya sakit-sakitan.




Kalau tidak salah wanita itu sudah menikah dengan salah satu teman bisnis ayahnya–salah satu orang yang dicurigai menjadi penyebab kebangkrutan ayahnya. Yah, memang seperti itulah sosok ibunya. Tapi, sudahlah lupakan wanita itu.




Kini hanya ada mereka bertiga. Irish, Andrea, dan Ethan. Tiga penerus keluarga Jung yang hanya punya kafe kecil sebagai tumpuan hidup.




Mungkin banyak dari kalian bertanya-tanya kemana perginya tas, sepatu, dan barang berharga lain yang mereka miliki. Barang-barang itu mereka jual satu persatu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membayar utang, dan tentunya untuk menyewa sebuah ruko di Haeundae.



Irish yang mengusulkan untuk menyewa sebuah ruko. Katanya menyewa ruko lebih hemat daripada mereka menyewa sebuah apartemen. Jelas ide Irish itu cemerlang sekali.




Memilih ruko sebagai tempat tinggal memang bukan pilihan terbaik, tapi itu merupakan pilihan paling bijak yang bisa mereka ambil. Lantai satu mereka pergunakan sebagai kafe dan lantai dua dijadikan sebagai tempat mereka tinggal. 



“Ethan bilang semalam kau pulang dengan penuh muntah–“


Please, jangan menabur garam di atas lukaku.”




Ia menyambar apron yang disodorkan Irish, memakainya di sekitar pinggang lantas mengikatnya dengan kuat. Ia bergerak menuju meja kasir, mengamati tiga orang pengunjung yang sedang menikmati minuman serta sepotong kue di meja masing-masing. Kemudian matanya menemukan Dino–si pegawai magang–yang sedang mengelap meja kosong.



“Kau harus bangun, Andrea,” suara Irish kembali menginterupsi.



“Kau tidak akan menemukanku di sini kalau aku belum bangun,” tanggapnya datar.



Irish mendesah panjang. Gadis itu lelah, itu pasti. Menjadi si sulung yang harus mengurus dua orang adik dan memastikan mereka bisa melanjutkan hidup dengan layak memang berat, sangat malah.




Andrea tahu itu dan seharusnya ia tidak banyak berulah dan menambah beban pikiran Irish. Tapi terkadang bangun dan memaksa dirimu untuk menyadari bahwa hidupmu tak lagi indah tidak semudah itu. Mungkin bagi Irish mudah, tapi tidak dengannya.




“Kita sama-sama tahu bukan itu maksudku.” Mereka saling bersitatap sebelum akhirnya Andrea memalingkan pandangan.


“Kau tidak bisa terus menerus membohongi teman-temanmu. Mereka harus tahu kondisi kehidupanmu saat ini,” kata Irish lebih serius.


“Aku akan memberitahu mereka suatu saat nanti, tapi tidak sekarang. Aku–“


“Belum siap? Mau sampai kapan?” Irish mendecak, menggelengkan kepalanya dengan heran.


“Apa yang membuatmu tidak siap? Kau takut mereka akan pergi meninggalkanmu? Jika mereka memang temanmu mereka akan menerimamu apa adanya,” tukas Irish sebelum masuk ke dalam dapur.




Irish benar, ia memang takut. Takut teman-temannya pergi meninggalkannya, takut teman-temannya menghina keluarganya. Ia takut teman-temannya melakukan apa yang ‘wanita itu’ lakukan pada mendiang ayahnya. Meninggalkannya dan menjadikannya pria malang yang meregang nyawa dalam kesendirian.



Andrea takut hal yang sama terjadi padanya, takut sekali.




**** 



Kondisi apartemennya masih sama seperti sebelumnya, benar-benar kacau dan berantakan. Bantal sofa tergeletak menyedihkan di lantai, kaleng-kaleng bekas minuman soda bertebaran di meja dan lantai, remah-remahan biskuit kesukaan Kihyun berserakan di atas meja di ruang teve, tumpukan piring kotor yang sudah menggunung di bak cuci, pakaian–siapa saja–berkumpul di dekat pintu kamar mandi.




Apartemen dengan dua kamar dan satu kamar mandi itu dihuni oleh lima orang! Harusnya salah satu diantara mereka bisa merapikan semua kekacauan tersebut daripada berkumpul di ruang tengah; main PS dan berteriak seperti orang kehilangan akal sehat.




Tadi setelah mendapati kesadaran mereka kembali, lima orang pria itu bergantian membersihkan diri. Kemudian berkumpul di meja makan, mengisi perut dengan mie instan–satu-satunya makanan yang bisa mereka makan saat itu juga. Mereka membicarakan kejadian semalam, tentu saja insiden ‘diusir dan digeletakkan di pinggir jalan’ tadi malam tidak akan bisa mereka lupakan.



Hyunwoo menceritakan kronologi perkelahiannya dengan pria bertato naga semalam. Jadi begini, waktu itu baru ia keluar dari toilet, kemudian pria itu menghampirinya, awalnya ia pikir pria itu hanya terlalu mabuk dan bertingkah mengesalkan layaknya orang mabuk pada umumnya. Namun pria itu mendorongnya, kemudian menarik kerah bajunya. Pria itu menatapnya dengan bengis.



“Brengsek! Gara-gara kau, pacarku jadi meninggalkanku!”




Kemudian satu tinjuan mendarat di pipi kanan Hyunwoo, ia pun memberi perlawanan. Itu juga karena ia harus melindungi dirinya sendiri, bukan semata-mata ingin pamer kekuatan. Ia tidak menyangka perkelahian itu membuat mereka berlima diusir. Benar-benar tidak adil, ia bahkan bukan pihak yang memulai keributan.




Seusai rapat kecil itu, empat diantara mereka langsung merapat ke ruang tengah sementara Minhyuk masuk ke kamarnya.  Dan tak seorang pun peduli pada mangkuk-mangkuk kotor dan peralatan makan lainnya yang perlu dicuci.




Minhyuk langsung membuka laptopnya, dengan cepat masuk ke akun Webtoon miliknya. Ribuan komentar telah memenuhi seri cerita yang baru ia terbitkan dua hari lalu.




Ia membaca sekilas, lalu membuka akun e-mailnya. Ada sepuluh e-mail baru, delapan di antaranya akan ia baca kapan-kapan. Kemudian membuka sebuah surat berjudul ‘KAU SUKSES BESAR LEE MINHYUK!’. Pesan itu dikirim oleh Seungkwan, bosnya di perusahaan Webtoon tempatnya bekerja.




Ia mengempaskan punggungnya, menatap lelah e-mail dari Seungkwan. Pria berpipi bulat itu sudah merencanakan banyak hal rupanya. Pria itu bahkan sudah menanyakan rencananya untuk judul cerita baru yang diharapkan bisa langsung menggantikan ‘Rebellious Flower’–judul komik yang saat ini sedang ia kerjakan. Seungkwan bilang, mereka harus menggunakan kesempatan saat ini dengan sebaik mungkin.




Karya Minhyuk sedang sangat digandrungi, banyak yang menggemarinya dan selalu menunggu setiap serinya rilis. Ya, itu memang benar. Ia memang sedang sangat terkenal, tapi bukan berarti ia bisa membuat cerita satu seri dalam semalam. Otaknya perlu istirahat, matanya juga begitu. Bosnya itu memang mesin pengeruk uang.



Dan yang paling membuatnya tak habis pikir, Seungkwan mengusulkan agar mereka membuat acara temu penggemar. Gila apa? 



Dari awal mereka sudah membuat perjanjian, identitasnya tidak akan dibeberkan ke publik. Si ‘Vabolous’ pengarang ‘Treacherous’, ‘Low Battery’, dan ‘Rebellious Flower’ akan tetap dirahasiakan. Biarkan sosok itu eksis di Webtoon tanpa mengganggu eksistensinya di kehidupan nyata. 




Ia memang suka menjadi pengarang komik online, tapi ia tidak pernah berencana untuk membuka identitasnya pada para penggemar. Entahlah, ia lebih suka begini. Ia adalah si Vabolous di akun Webtoon, sementara ia menjalani kehidupan sebagai Lee Minhyuk yang suka tebar pesona di kehidupan nyata.




Tak mau terbebani dengan isi e-mail Seungkwan, ia menutup e-mail itu, membuka e-mail kedua. Tanpa harus membaca isinya, aura kelam dan tidak menyenangkan langsung menyeruak. Sukses membuat mood-nya semakin kacau.



Ia tidak begitu memperhatikan setiap kata di dalam surat elektronik tersebut, ia hanya menangkap kalimat di bagian akhir.




‘Tolong temui aku di kafe SummerHunt jam setengah dua nanti’



Ia melirik ponselnya. Sudah pukul tiga. Rasanya percuma juga ia datang ke sana, orang itu pasti sudah pergi. Namun hatinya bergejolak, ia mendesah panjang kemudian beranjak dengan perasaan serba salah. Baiklah, ia akan ke sana.



**** 



Kira-kira sudah setengah jam berlalu sejak wanita elegan itu meninggalkan kafenya. Andrea mengamati baik-baik setiap pengunjung yang melewati pintu masuk kemudian mencocokkan dengan foto yang diberikan wanita tadi padanya. Tak seorangpun yang terlihat mirip dengan pemuda dalam foto itu.




Tadi ada seorang wanita elegan dengan menjinjing tas Gucci mampir ke kafenya, memesan latte kemudian duduk gelisah di tempatnya. Sekitar satu jam lamanya wanita itu duduk di tempatnya sambil berulang kali menoleh ke jendela. Wanita itu pun beranjak dari kursinya setelah berulang kali meyakinkan diri.



Sosok elegan itu mengurungkan niatnya untuk mendorong pintu, ia kembali. Menghampiri Andrea yang sedang berjaga di meja kasir.  Wanita itu tersenyum anggun, menunduk sedikit kemudian berbicara dengan berbisik.



“Bisa tolong berikan ini pada seseorang?”



Wanita itu memberikannya selembar kertas yang telah dilipat rapi. Begitu Andrea menatapnya bingung, wanita itu lantas memberinya selembar foto ukuran 4x6.



“Kalau pemuda di foto ini datang, tolong berikan kertas tadi padanya.” setelahnya Andrea mengangguk paham sambil mengulas senyum seadanya.



“Terimakasih ya. Aku berutang banyak padamu. Sampai jumpa.” Wanita itu lantas melambaikan tangan dengan riang, jelas berbeda dengan dirinya selama sejam belakangan.



“Pemuda itu belum muncul juga?” Irish menyikutnya, ia segera menanggapi dua gelas sekali pakai berisi pesanan pelanggan kemudian menyuruh Dino mengantarnya ke meja masing-masing.





Andrea menatap Irish, meloloskan lenguhan panjang. Ia mengangkat bahu, “Entahlah. Kurasa pemuda itu tidak akan datang. Ini, aku mau minum dulu.” Andrea menyerahkan dua kertas itu pada kakaknya, kemudian menghilang ke dapur yang juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan persediaan kebutuhan kafe.



Di dalam sana Andrea meminum beberapa gelas air putih, duduk sambil meluruskan kedua kakinya yang sudah menegang. Ia mengaktifkan ponselnya yang dari tadi dibiarkan mati. Beberapa pesan sudah menagih untuk dibaca dan diberi balasan.




Akhirnya Andrea melupakan kesibukan di depan sana dan benar-benar tenggelam dengan ponselnya.



Sementara itu Irish tengah mengulas senyum ramah pada dua orang pelanggan yang baru saja keluar, lalu Ethan muncul dari ujung tangga. Remaja tanggung itu langsung menghampiri kakak sulungnya, bertanya apakah kakaknya butuh bantuan. Kemudian langsung bergabung dengan Dino yang sedang sibuk mengangkut piring-piring kotor dan gelas kosong.



Lonceng di atas pintu berbunyi. Seorang pelanggan baru saja masuk. Seorang pemuda dengan jaket baseball warna biru tua dan celana jins tua dipadu sepatu converse yang sudah pantas dimusiumkan.



Irish, Ethan, dan Dino kompak menyambut pelanggan tersebut.



“Selamat datang!”



Pemuda itu mengedarkan pandangannya, mengerinyit begitu tak menemukan sosok yang sudah membuat janji dengannya. Ia kemudian melirik jam dinding berbentuk bundar yang menempel di sudut ruangan. Sudah pukul empat lewat sepuluh menit.


Baiklah, ini memang salahnya yang datang terlambat.




Tak mau kedatangannya berakhir sia-sia, ia berjalan ke meja kasir.



“Selamat datang di SummerHunt. Ada yang bisa kubantu?” Irish yang sedang berjaga langsung menyambutnya dengan hangat.



Pemuda itu tersenyum tipis, “Aku mau pesan dua Americano, satu vanilla latte, dan dua cappuccino frappe.” Ia menyebutkan pesananannya dengan lancar.




Sementara itu Irish mencatat pesanan di mesin di hadapannya. kemudian menatap pelanggannya lagi, “Ada tambahan? Mungkin mau mencoba menu baru kami? Hari ini ada ‘Oreo Munch’ dan ‘Cheese Trap’,” tawar Irish tak kalah ramah dengan sebelumnya.



“Tidak, terimakasih. Itu saja.”

“Minum di sini atau take away?

Take away.



Irish mengangguk kemudian menyebutkan total harga sembari menyerahkan kertas bon, pemuda itu lantas menyerahkan kartu kreditnya. Setelah transaksi pembayaran selesai, Irish mengembalikan kartu kredit pada sang pemilik. Kemudian mempersilakan si pelanggan untuk menunggu sebentar.



“Selamat datang!” sambut Dino dan Ethan kompak pada dua orang mahasiswa yang baru saja datang.


Dua pelanggan tersebut langsung berdiri di depan kasir, memesan, membayar tagihan, kemudian duduk di salah satu meja kosong seperti yang diminta Irish.



 “Astaga! Ada banyak pesanan yang menunggu dan kau malah bersantai di sini?” omel Irish begitu menemukan Andrea sedang duduk santai di dekat tumpukan plastik berisi gelas sekali pakai.



Irish yang tadinya ingin mengambil dua karton susu menghentikan langkahnya kembali begitu menemukan adiknya tengah berduduk sambil meluruskan kaki. 



“Cepat bangun dari situ dan bantu aku di depan!” kata Irish sebelum mnghilang dari balik pintu.




Andrea mendengus jengkel. Oh astaga, kakaknya itu masih muda tapi mirip sekali dengan bibi Haesun yang tinggal di Daegu. Dengan berat hati Andrea beranjak dan mematikan ponselnya, memasukkan benda kecil itu ke dalam saku celana.



Ia langsung membantu Irish yang sedang sibuk dengan teko takaran berisi susu segar, dengan sigap ia menyalakan mesin pembuat kopi kemudian melakukan teknik yang sudah sangat ia hapal di luar kepala.




Dengan berhati-hati ia memasukkan cairan cappuccino ke dalam gelas kemudian menutupnya dengan kencang. Ia menghitung kembali pesanan yang sudah dibuatnya; dua Americano, satu vanilla latte, dan dua cappucchino frappe. Setelah lengkap semua, ia memasukkan gelas-gelas siap antar itu ke dalam plastik besar.



“Lee Minhyuk-ssi.” Andrea memanggil nama yang tertera di kertas pesanan. Ia mencentang kertas kecil, tanda kalau pesanan sudah selesai dibuat.


“Terimakasih,” ucap si pemilik pesanan.  Orang itu melirik pesanannya, memastikan tidak ada yang terlupakan.




Saat itulah Andrea menyadari sesuatu. Ia rasa ia sudah tidak asing dengan wajah di depannya dan kemudian menatap curiga kertas pesanan yang baru dicoret. Lee Minhyuk. Tunggu.. Lee Minhyuk.. Minhyuk..



“Maaf, sepertinya aku pernah melihatmu di suatu tempat.”


Pemuda di depannya menegakkan pandangan, bertemu pandang dengannya kemudian mengulas senyum tebar pesona miliknya. Cihh, Andrea merutuk dalam hati.



“Gitaris BitterSugar, Minhyuk?” cecar Andrea tak membiarkan lawan bicaranya buka suara. Padahal pemuda itu sedikit senang begitu tahu gadis di balik meja kasir ini mengenalnya, yang bisa jadi salah seorang penggemarnya.


Ckk, yang benar saja.



Senyum di wajah pemuda itu, maksudnya Minhyuk, semakin lebar. Wajahnya kelihatan riang, raut serius yang selama beberapa menit menempel di sana pupus.


Minhyuk mengangguk senang, “Ya. Kau tahu BitterSugar?” tanyanya berbasa-basi.



Dan memang begitulah trik Minhyuk mendekati seorang gadis. Mengulas senyum, bertukar basa-basi, tersenyum lagi, kemudian target akan masuk ke perangkapnya. Tapi satu hal yang tidak Minhyuk sadari, perempuan di hadapannya tengah mengatupkan mulutnya kuat-kuat, seolah bisa berteriak kapan saja kalau tidak melakukannya.



Andrea mengulas senyum, mengikuti permainan Minhyuk.




“Aku bahkan melihatmu semalam di Combos,” ucapnya manis.


Tragedi pengusiran semalam langsung melintas di benak Minhyuk. Pemuda itu melenguh panjang. Jangan bilang perempuan di hadapannya juga tahu kalau ia diusir lalu dilempar ke pinggir jalan.



Menyadari perubahan ekspresi Minhyuk, Andrea tersenyum licik. 


“Kejadian semalam memang kacau, kan?”



“Ya, aku bahkan tidak sadar bagaimana caranya bisa sampai di apartemen.” Minhyuk mengeluh, sementara Andrea mendecak tidak suka.




Tunggu, kalau begitu Minhyuk tidak ingat kalau semalam memuntahi kaos LA kesayangannya? Andrea mengepalkan tangan.



“Berarti kau juga tidak ingat kalau semalam kau muntah di baju orang lain?”

Minhyuk terkekeh, “Entahlah, aku bahkan–Tunggu! Bagaimana bisa kau–“



“Enak sekali ya kau bisa melupakannya begitu saja. Aku bahkan tidak bisa mengenyahkan kejadian semalam walau sudah mencuci bajuku sebanyak tiga kali,” ucap Andrea tidak terima.


“Jadi kau, gadis yang semalam…”


“Ya, gadis yang kau muntahi bajunya. Memang aku orangnya. Sekarang kalau kau sudah mendapatkan pesananmu, kau bisa segera menyingkir dari sini.” Andrea tak memandang lawan bicaranya, ia menanggapi satu nampan berisi dua buah cangkir dan dua buah piring kecil berisi potongan kue dari Irish.



“Aku benar-benar minta maaf–“



“Ethan, tolong berikan ini pada meja nomor 5.”



Tak lama Ethan datang sambil menatap heran sosok Minhyuk yang kelihatan bersalah kemudian menatap Andrea yang kelihatan bengis seperti biasanya. Anak itu lantas mengambil nampan yang dimaksud dan meninggalkan dua orang itu.



“Hei, aku benar-benar tidak sadar semalam. Aku–“



“Persetan. Aku tidak peduli!” Andrea lantas pergi ke ruang penyimpanan, meninggalkan Minhyuk yang masih berdiri dengan tampang bodoh.


Irish yang dari tadi mengamati diam-diam, akhirnya angkat bicara.



“Maafkan sikap adikku,” ucap Irish bijak.



Minhyuk menggeleng, “Tidak masalah. Aku mengerti, aku memuntahinya semalam. Aku bahkan tidak ingat,” sergahnya maklum.


Sementara itu Andrea duduk di ujung ruangan di dekat tumpukan kardus-kardus bekas. Menelan kekesalannya seorang diri.



Tidak adil. Pria itu bahkan tidak ingat sudah memuntahinya, sementara ia tidak bisa melupakannya. Ia bahkan bisa mengingat bau muntahnya.


Pria itu muntah di kaos LA limited edition miliknya, yang ia beli saat ia pergi ke Los Angeles. Kaos paling berkesan dan satu-satunya barang bermerek yang tidak ia jual.


Kaos itu satu-satunya barang yang bisa mengingatkan dirinya betapa dulu ia begitu mampu membeli barang mahal.


Satu-satunya barang yang mengingatkan perjalanan liburan keluarganya yang terakhir. Ayahnya, Jung bersaudara, dan ibunya.


Dan satu-satunya barang yang mengingatkan kalau ia pernah memiliki keluarga bahagia dan utuh.  


Tapi gitaris kurus kering sok tampan itu memuntahinya! Dan bahkan tidak ingat pernah melakukannya! Sial!!





TBC 


Yehettt... akhirnya berani juga nge-post ff ini. Yah, berhubung laptop kesayangan udah sehat kembali, aku pun langsung publish FF yg sebenernya udah cukup lama ada di laptop. Mungkin seangkatan sama FF Hello Chingu.
Udah terlalu lama dibiarin mengendap di dalem laptop jadi aku bertekad untuk publish ff ini dgn tujuan biar termotivasi untuk nerusin sampe THE END.
Semoga mood baik ini terus bertahan, at least aku bisa ngatur jadwal nulis supaya ttp produktif tapi gak jenuh. Okelah.. sekian dari aku kali ini. Terimakasih buat kalian yang udah baca, tungguin kelanjutannya. Sampai jumpa semuaa..


Regards,

GSB

Comments

Popular Posts