Little Piece of My Story
Ini bukan kisah inspiratif
atau sesuatu yang bisa kubanggakan. Ini bukan tentangku yang berjuang dari hero to zero. Tidak, atau mungkin belum.
Tapi kisah yang akan kutorehkan dalam barisan kata yang saling berjalin dan
berakhir di titik paling akhir ini memang bukan tentang hero to zero. Sungguh, aku serius.
Baiklah, kisah
ini akan kumulai saat semester dua dimulai beberapa bulan lalu. Tidak seperti
pada semester satu, aku tidak begitu antusias menghadapi semester baru ini.
Sejak akhir semester satu aku sudah memutuskan untuk kembali mengikuti ujian masuk
universitas.
Mungkin mencoba
peruntungan dalam mengejar sesuatu yang kusukai. Yah, walau sampai detik ini
aku tak tahu apa yang benar-benar ingin kulakukan. Namun aku sudah menyusun
rencana, aku akan mencoba peruntungan untuk masuk fakultas ilmu komunikasi atau
bahasa inggris.
Memasuki
pertengahan maret, aku tak kunjung melakukan persiapan. Salah satu temanku atau
sebut saja seseorang yang sudah terlalu lama berteman denganku, ia tak lelah
mengingatkanku untuk belajar demi ujian masuk universitas yang diselenggarakan
pada awal Juni. Tak seperti diriku, ia adalah seseorang yang mengerti benar apa
yang ingin ia lakukan. Ia terus belajar mempersiapkan dirinya entah sejak
kapan.
Singkatnya,
akupun membeli buku tebal berisi ratusan halaman yang memuat berbagai soal
ujian dari tahun kemarin hingga empat tahun sebelumnya. Aku membukanya berulang
kali, tapi terhitung dua kali saja aku mencoba mengerjakan soal-soal di
dalamnya. Itupun tak seserius seharusnya. Dari sana, aku berpikir mungkin aku
tak perlu melakukan hal-hal seperti itu. Aku hanya perlu fokus pada kuliahku
yang sekarang.
Bagiku, kadang
kita tak benar-benar tahu apa yang kita ingin lakukan atau sebut saja aku belum
mengenal diriku sendiri. Pada awal perkuliahan aku mencoba untuk menerima apa
yang kudapat di kampus, kemudian berpikir lagi bahwa sebaiknya aku ikut ujian kembali,
lalu berubah pikiran dan berkelakar aku sudah mulai menyukai apa yang
kukerjakan, lalu pada saat semester dua semuanya menjadi kabur; aku ingin ikut
ujian masuk universitas lagi, tapi aku tidak belajar, kemudian beragam tugas
menjengkelkan membuat kepalaku berdenyut tak henti-henti, dan berbagai
kekacauan lainnya terus berdatangan.
Singkatnya aku
tidak mengikuti ujian masuk universitas tahun ini, tapi temanku mengikutinya. Dan
aku agak iri padanya, namun bukan dalam hal yang buruk pada kasusku. Aku
bersumpah. Aku merasa iri karena setidaknya temanku ini mau mencoba, tak peduli
apakah ia akan berhasil atau tidak. Segala kemungkinan bisa terjadi, namun
entah sejak kapan aku berhenti untuk terlalu banyak berharap.
Terlalu banyak
berharap itu seperti di depan matamu ada berbagai kemungkinan yang membuat
segalanya menjadi tidak pasti dan tentu akan membuatmu memiliki banyak harapan.
Kau terombang-ambing dengan rasa cemas, antusias, dan penuh harapan.
Pada akhirnya
hanya akan ada satu hal yang kau dapatkan; kau merasa bahagia karena kau
berhasil atau
kau akan merasa terpuruk karena.. Hei siapa sih yang ingin gagal?
āKurasa aku
ingin mencoba ujian tahun depan,ā kataku pada gadis berambut pendek sebahu, yah
sebut saja seorang teman yang terlalu lama berteman denganku.
āYa sudah, tahun
depan kau bisa ikut.ā Aku mendesah. Tahun depan, ya? Memangnya tidak akan
terlalu tua, ya?
Sepotong
percakapanku dengannya pada beberapa hari setelah ujian seleksi masuk
universitas dilaksanakan hanya meninggalkanku pada sebuah pertanyaan yang
hingga kini tak bisa kujawab dengan tegas. Apa yang sebenarnya ingin kulakukan
untuk hidup?
āAku ingin
menulis, aku ingin jadi guru bahasa inggris, aku ingin bahagia dan juga ingin
membahagiakan kedua orang tuaku, aku ingin berguna bagi banyak orang..ā
Jawaban seperti
itu pasti akan kulontarkan dengan fasih, karena hanya sesederhana itu yang
kuinginkan. Namun aku sadar untuk melakukan semua itu, aku harus memiliki
sesuatu dan melakukan sesuatu.
Dan kemudian aku
teringat pada tumpukan tugas yang malas kusentuh, ujian-ujian akhir yang
menanti, kegiatan perkuliahan yang masih menagih untuk diusaikan, semua itu
harus kulalui sebelum aku menjadi bahagia dan membahagiakan kedua orang tuaku
atau berguna untuk orang lain.
Akhirnya aku
mencapai sebuah keputusan sementara yang sepertinya harus kuingat baik-baik.
Aku akan berusaha mengikuti perkuliahan dengan sebaik mungkin, tak peduli
apakah tahun depan akan kembali mengikuti ujian seleksi atau tidak. Tentu aku
tak ingin kembali merasakan kekacauan yang sekarang ini melandaku. Kegiatan
perkuliahan yang terasa berat karena awalnya kukira aku akan mengikuti ujian
kembali. Belum lagi tugas-tugas yang kutunda dan kemudian kukerjakan setengah
hati.
Yah, sudah
kubilang kalau kisah ini bukan kisah inspiratif atau sesuatu yang bisa
dibanggakan. Ini hanya kisah tentangku yang tak tentu arah, hingga akhirnya tak
ada satupun hal yang bisa kukerjakan dengan benar.
Baik itu ujian
masuk universitas tahun ini, ataupun kegiatan perkuliahan yang sedang kujalani.
Dan aku hanya berharap aku bisa melalui segala kekacauan ini dan mendapat indeks
prestasi yang memuaskanāwalau kedengaran berlebihan, kalau mengingat bagaimana
kinerjaku selama dua bulan belakangan.
Dan bagi
siapapun yang berada dalam keadaan ātak tentu arahā pastikanlah kalian tidak
hanya menghabiskan waktu untuk berpikir terlalu banyak. Terlalu banyak berpikir
hanya akan membuat waktu terbuang percuma dan kau tertinggal jauh dari yang
lainnya. Tak ada yang kau raih atau tak ada yang benar-benar kau gapai.
Akhir kata, inilah ceritaku, bagaimana
dengan ceritamu?
End
Sebenarnya tulisan ini udh kutulis
dari kurang lebih dua tahun yang lalu. Waktu itu cuma iseng nulis, gak ada
maksud apa-apa. Bahkan aku pun lupa pernah nulis kayak beginian. Ini aja nemu
karena iseng lagi buka draft tulisan di laptop yang ternyata banyak banget.
Gak nyangka yah waktu berlalu cepat dan
banyak banget perubahan yang terjadi bahkan dalam rentang waktu dua tahun. Kalau
liat-liat draft, aku tuh rajin banget nulis pas tahun 2014-2015. Tapi makin ke
sini aku makin males, terus ujung-ujungnya gak nulis apa-apa.
Hmm.. Banyak hal yg aku jadiin
alasan supaya gak nulis. Dari masalah laptopku yang rusak sampe alasan-alasan
gak masuk akal.
Padahal pengin banget ngetik tapi
rasanya susah banget, kayak canggung gitu. Sekalinya ada ide, aku bingung mau
mulainya gimana, terus darimana. Giliran udah di depan laptop atau udah megang
pulpen, aku malah ragu sama ideku sendiri. Terus malah banyak mikir sampe akhirnya
monolog sama diri sendiri. āKira-kira ini bagus gak yah? Orang-orang bakal suka
gak? Ah, kayaknya ini pasaran banget.. dllā
Aku maunya sih mulai nulis lagi,
eksperimen lagi, belajar nulis yang lebih baik, berkembang lagi. Dan ternyata
mulai lagi itu lebih susah. Ngerasa kayak canggung, serba ragu, terus berasa
otak ini udah mulai mengeras.
Yah, kalau dipikir-pikir kayaknya
itu wajar karena kan aku juga udah jarang banget nulis. Aku berharap, sesulit
apapun itu untuk mulai nulis lagi, aku gak gampang nyerah dan mau terus
berusaha.
Dan... kurasa obrolan untuk kali ini
udah terlalu panjang. Mungkin panjangnya ngalahin panjang tulisan di atas. Oke deh,
terimakasih untuk semua yang udah baca. Have a nice day..
Sang
Tak Tentu Arah,
GSB
Comments
Post a Comment