Getting Better - Part 4





Tzuyu akhirnya paham mengapa Dosen Gu Won dan semua staf muak pada Vernon, karena sekarang ia juga merasakan hal yang sama. Vernon benar-benar kelewatan. Ia nyaris tak pernah datang saat rapat, sekalinya datang pun pasti terlambat. Kali ini Tzuyu sudah angkat tangan, ia tak sudi lagi repot-repot menegur.



Sebab waktu itu, saat Tzuyu berbaik hati mengkhawatirkan keadaan tangannya yang diikat arm sling, Vernon malah berkata ‘kurasa itu bukan urusanmu’ dengan ketus.



Respon itu membuat Tzuyu sangat sakit hati. Ia bahkan hampir membuang sapu tangan biru langit milik Vernon—yang sudah mendekam di lacinya selama dua tahun. Selain itu, ia juga membuang jauh-jauh pikiran ‘mungkin dia tidak seburuk itu’ dan semua hal-hal baik tentang Vernon yang sempat terbersit di kepalanya.



Tzuyu membulatkan tekad untuk seratus persen mencampakkannya, mengabaikan kehadirannya. Dan sejujurnya itu sama sekali bukan perkara sulit, toh walaupun Vernon merupakan asistennya, mereka jarang sekali bertemu. Ditambah Vernon sendiri senantiasa bersikap acuh tak acuh padanya.



Singkat cerita, mereka saling mengabaikan kehadiran satu sama lain dengan tekun sampai akhirnya ujian akhir semester tiba.



Mata kuliah hukum laut diujikan di aula, dan kebetulan kelas Tzuyu (kelas A) dan kelas Vernon (kelas B) digabung di sana.



Ujian sudah berlangsung selama lima puluh menit ketika Vernon masuk dengan gaya khasnya; berantakan, terengah-engah, nyaris tersungkur.



Kedatangannya sontak mengundang perhatian. Nyaris semua kepala berpaling ke pintu masuk, termasuk Tzuyu. Dia menghela napas melihat betapa kacaunya Vernon Choi Hansol. Pria itu mengambil kertas ujian di meja pengawas dan tak sengaja menyenggol sekotak spidol saat berbalik. Isinya berpencar, menggelinding ke mana-mana. Raut lelah, bingung dan panik berbaur di wajahnya selama ia dan sang pengawas memungut spidol-spidol itu satu per satu.



Vernon lantas mencari-cari nomor kursi dengan linglung sebelum akhirnya duduk tak jauh di depan Tzuyu, di bagian kiri. Ia mengaduk ransel hitamnya untuk mencari pulpen, dan pemandangan itu membuat Tzuyu gemas setengah mati. Rasanya ia ingin berdiri dan menghampiri Vernon, menyodorkan pulpen sambil menjerit ‘Kenapa kau selalu terlambat?’. Tapi untuk apa dia melakukan itu? Untuk apa dia peduli?



Setelah lima menit, Vernon akhirnya bisa bernapas lega. Ia menemukan pulpennya.



Dan Tzuyu yang dari tadi memerhatikan entah kenapa ikut-ikut merasa lega.



Mata Tzuyu kini terpaku pada punggung Vernon yang terlihat gelisah. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktu untuk memandangi jendela ketimbang menuliskan sesuatu di kertas ujiannya. Tzuyu tak mengerti bagaimana mungkin dia masih sempat-sempatnya melamun di saat seperti ini—di saat terlambat lima puluh menit, di saat jumlah huruf di kertasnya lebih sedikit dari jumlah manusia di ruangan ini. Tzuyu sepertinya jauh lebih stres akan ujian Vernon daripada Vernon sendiri. Pria itu baru menoleh pada kertasnya lagi saat pengawas berkata, “Waktu ujian sepuluh menit lagi.”




**********




Begitu keluar aula, Vernon langsung menelusuri lorong-lorong kampus untuk menemukan tempat sepi. Dia masih harus menunggu sekitar tiga jam untuk menghadiri ujian mata kuliah yang lain, Cyber law.



Namun agaknya hari itu banyak yang bernasib sama dengannya. Hampir semua koridor dipenuhi mahasiswa yang duduk berkelompok, baik di kursi maupun bersila di lantai, memangku diktat sambil mengobrol.



Vernon pun terpaksa duduk di antara mereka. Ia bersandar di tembok dan meluruskan kaki. Kemudian mulai merasa tak nyaman dengan situasi di sekelilingnya. Suara tawa yang terdengar dari kanan kiri membuat Vernon merasa benar-benar sendiri. Dan fakta bahwa ia tengah duduk di antara manusia-manusia yang berkelompok membuatnya terlihat menyedihkan. Andai saja Jun atau siapa pun yang ia kenal ada di sini, pasti akan lebih baik.



Saat Vernon berpikir begitu, tiba-tiba sepasang sepatu berhenti di depannya. Vernon mendongak, kemudian langsung mendecak dan membuang pandangannya dengan jengkel. Maksudku, siapa pun yang kukenal kecuali dia, ralat Vernon dalam hati.



“Kau ujian Cyber law juga?” tanya sang pemilik sepatu, si gadis Taiwan super pintar yang dicintai semua dosen.



“Kau sudah belajar?” tanyanya lagi.



Vernon kekeh bergeming.



Tzuyu membungkuk untuk mendapatkan perhatiannya, “Aku bisa membantumu, jika kau mau. Kita masih punya tiga jam sebelum…”



“Tidak usah,” potong Vernon. “Tidak ada gunanya.”
“Dan kau pikir duduk diam di sini ada gunanya?”



Vernon tak menjawab.



“Ikutlah denganku,” ajak Tzuyu. “Ya, aku memang tak bisa menjamin kau akan mampu menjawab semua soalnya dengan sempurna, tapi aku optimis kertas ujianmu tak akan sesepi ujian barusan.”



Vernon ingin sekali bertanya dari mana perempuan di depannya ini tahu kertas ujiannya sepi, tapi demi menjaga harkat martabatnya, ia memilih pura-pura tak dengar saja.



Tzuyu pun kembali berdiri tegak. “Tiga jam akan sangat berharga jika kau memanfaatkannya dengan baik. Tapi terserah padamu.”



“Aku ada di taman baca jika kau berubah pikiran,” tambah Tzuyu, lantas berlalu.




**********




Tzuyu membalik lembaran diktatnya setengah fokus. Ini sudah hampir satu jam dan Vernon tak kunjung datang. Tzuyu tak percaya betapa keras kepalanya Vernon Choi Hansol itu. Sejujurnya menghampiri Vernon duluan dan menawarkan tutor gratis membutuhkan keberanian besar bagi Tzuyu, terlebih di saat mereka sedang perang dingin begini. Ia merasa kalah. Tetapi salahkan rasa iba dan jiwa kemanusiaannya yang tinggi. Tzuyu hanya benar-benar tak tega melihat Vernon yang seratus persen tak berdaya di hadapan kertas ujian.



Bagaimanapun, dulu Vernon pernah membantunya, dulu mereka pernah berteman. Dulu sekali.



Tzuyu tak mengerti kenapa Vernon begitu benci padanya, ini bukan seperti dia sengaja merebut jabatan tercintanya itu atau apa, kan? Dia dilimpahkan delegasi yang tak bisa ditolak. Sejujurnya Tzuyu juga enggan menerima tugas seperti ini, ikut organisasi (terlebih menjadi ketua) hanya menambah beban pikirannya saja.



Lagipula, bukankah Tzuyu yang seharusnya marah? Setelah perlakuan ketus yang diterimanya di taman belakang waktu itu, bukankah Tzuyu yang seharusnya mengabaikan Vernon?



Saat itu, sesosok bayangan menghalangi sinar matahari yang terpantul di buku Tzuyu. Seseorang baru saja mengambil posisi duduk persis di depannya.



Tzuyu mengangkat kepala.



“Di atas semakin penuh. Jadi kukira lebih baik aku duduk di sini. Bukan artinya aku ingin belajar bersamamu,” kata Vernon, langsung membela diri bahkan sebelum Tzuyu sempat memikirkan apa-apa.



“Kalau kau duduk di sini, itu artinya kau setuju belajar denganku.”



Vernon mendengus, namun dalam hati merasa lega. Sejujurnya ia memang datang ke sini untuk belajar, tapi gengsinya terlampau besar untuk mengaku. Jadi beginilah sikapnya; mengulur waktu sampai satu jam, menatap Tzuyu dengan jengah, pura-pura terpaksa, padahal bersedia.



Di taman baca, mereka duduk di salah satu meja bundar dari semen dengan payung besar di atasnya. Tzuyu membuat tabel sederhana serta rangkuman materi selama empat belas kali pertemuan dalam tiga lembar HVS, kemudian menjelaskannya dengan sabar pada Vernon yang terus-terusan berekspresi jengah.



Satu setengah jam pun berlalu.



Tanpa Vernon sadari, ia sudah mencairkan tembok es yang dibangunnya sendiri. Vernon sejenak tenggelam dalam materi cyber law mereka, ia lupa dengan perasaan irinya pada Tzuyu dan malah antusias bertanya ini-itu. Demi menjaga keefektifan belajar mereka, Tzuyu pura-pura tak menyadari perubahan sikap Vernon.



“O-oke,” kata Vernon dengan kening berkerut. “Kau menjelaskan banyak hal, tapi sejujurnya aku bahkan masih tak paham apa itu cyberspace.”



Cyberspace itu…”
“Tolong jelaskan dalam bahasa yang bisa kumengerti,” sela Vernon.



Tzuyu berusaha untuk tetap sabar. Padahal dari tadi ia tidak menggunakan bahasa yang terlalu ilmiah, namun ternyata daya tangkap Vernon amatlah memprihatinkan.



Cyberspace adalah realitas virtual. Bahasa mudahnya dunia maya, dunia tanpa batas,” mulai Tzuyu perlahan-lahan, seperti sedang mengajari balita. “Cyberspace menawarkan kita untuk hidup dalam dunia alternatif yang super luas—tanpa batas negara maupun waktu—sebuah dunia baru yang dapat mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang lebih menyenangkan, yang senantiasa menyediakan kemudahan. Kau tahu, seperti belanja online, teleconference, jejaring sosial, game online, bahkan baru-baru ini negara Jepang membuat pacar virtual juga.”



“Intinya cyberspace itu dunia maya,” simpul Vernon dengan ekspresi seolah Tzuyu mempersulit segalanya.



“Benar. Tapi bisakah kau dengarkan aku dulu? Kau tak bisa menyimpulkan semuanya seperti itu. Soal UAS kita kan esai, kau tidak mungkin menulis ‘intinya cyberspace itu dunia maya’ di kertas ujianmu. Berhentilah meremehkan semua hal!”



Vernon tak mengerti kenapa Tzuyu senang sekali bertele-tele, tapi ia berpikir tak ada salahnya mendengarkan.  Vernon pun membuat isyarat menyuruh Tzuyu melanjutkan.



“Semua harapan akan kemudahan dan kesenangan di dunia kedua itu ternyata tidak selamanya menyenangkan, karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap.”



“Seperti?”
Cybercrime?”
“Dan yang termasuk Cybercrime adalah..?”
“Apa kau pernah masuk kelas? Apa kau bahkan tahu siapa nama dosen di kelasmu?” Tzuyu menggeleng-geleng, lalu menjawab pertanyaan Vernon tanpa menunggu pria itu membalas sarkasmenya. “Pornografi. Cyberporn. Internet abuse. Spamming…”



“Jadi intinya cyber…” Vernon menghentikan ucapannya untuk melirik Tzuyu—gadis itu sepertinya anti dengan kata ‘intinya’, sementara Vernon selalu mengambil intisari dari segala sesuatu. Vernon berpikir Tzuyu mungkin akan menjawab pertanyaan satu ditambah satu dengan empat halaman esai lengkap dengan kutipan Aristoteles.



“Jadi intinya…?” ulang Tzuyu, menunggu.
“Aku boleh bilang ‘intinya’? Wow terima kasih, kukira kau akan menghardikku lagi,” kata Vernon, kemudian cepat-cepat melanjutkan sebelum Tzuyu berkomentar. “Okay, intinya cyberspace adalah dunia maya, yaitu dunia kedua yang memudahkan kehidupan manusia, namun di sisi lain juga dapat menjerumuskan kita.”



Vernon merangkum semua penjelasan Tzuyu dengan akurat. Tzuyu mengangguk puas.



“Dan sebenarnya aku punya tambahan pendapat, jika kau bersedia mendengarkan,” tambah Vernon.



Tzuyu mempersilakan.



“Begini, menurutku sisi gelap dari cyberspace bukan hanya cybercrime,” mulainya, sambil menyatukan jemari dengan serius. “Sisi baik internet juga bisa menjadi sisi gelap jika dilakukan secara berlebihan, misalnya terlalu sering belanja online dapat membuatmu boros, penggunaan jejaring sosial yang tidak bijak bisa menggiring seseorang melakukan cybersex, lalu pacar virtual yang kau bilang sedang berkembang di Jepang itu bisa menimbulkan sebuah polemik psikologi bagi penggunanya, kau tahu, seperti antipati terhadap masyarakat.” Vernon melirik Tzuyu. “Bagaimana menurutmu?”



Tzuyu mengangguk. “Aku setuju seratus persen denganmu soal sisi baik yang menjadi sisi gelap. Tapi kau harus ingat hanya cybercrime yang bisa dituntut dengan cyberlaw.”



“Kenapa?”
“Apa kau bisa dituntut karena bersikap boros? Apa kau bisa dituntut karena menjadi seorang sosiopat?”
“Yeah, memang tidak, tapi bukankah kau bisa dituntut karena melakukan cybersex? Itu bagian dari pornografi.” Vernon membalik pertanyaan Tzuyu tak mau kalah.



“Kalau cybersex yang kau maksud adalah prostitusi online, maka benar, mereka bisa dijebloskan ke penjara. Tapi kalau sebatas mengobrol tentang seks dalam chat pribadi, tanpa paksaan, atas dasar suka sama suka dan tidak mengganggu ketertiban umum, tentu saja tidak bisa dihukum,” tanggap Tzuyu. “Bukan artinya aku membenarkan kegiatan cybersex. Itu benar-benar merusak moral.”



“Okay.”
“Okay apa?” tanya Tzuyu. “Kau benar-benar mengerti, kan? Aku sudah bicara panjang lebar.”
“Ya, aku mengerti,” jawab Vernon yakin. “Aku sudah bisa membedakan cyberspace, cybercrime dan cyberlaw.”



Tzuyu merasa amat lega. Satu setengah jam yang mereka habiskan, untungnya, tidak sia-sia.



“Aku tak percaya akan mengatakan ini padamu, tapi terima kasih,” kata Vernon, setulus harga dirinya mengizinkan.



“Aku juga tak percaya akan mengatakan ini padamu, tapi kau tak seburuk yang kukira,” balas Tzuyu, dan sesungguhnya ia memang amat-amat tak percaya, terlebih mengingat sudah berapa kali ia merapal kalimat ‘Vernon memang buruk’ di dalam kepalanya.



“Tak seburuk yang kau kira? Jadi intinya di matamu aku masih buruk?”
“Pendapatku akanmu tak serta-merta berubah baik hanya karena perbincangan ini, Vernon-ssi.”
“Hei, tunggu. Kita bahkan tak saling kenal, kenapa kau tiba-tiba mencapku buruk?”
“Kau mau tahu kenapa di mataku kau sangat buruk?” tanya Tzuyu.



Vernon ragu-ragu mengangguk.



“Kau selalu terlambat, kau tidak bisa dipercaya, tak punya tanggung jawab, management waktumu super buruk. Kau ceroboh. Kasar. Kau melupakan seseorang dengan sangat mudah. Kau tidak konsisten, tiba-tiba membantu seperti pahlawan, lalu tiba-tiba jahat, lalu baik lagi, jahat lagi. Kau sangat buruk Vernon. Aku tidak bisa merunutnya satu per satu. Yang pasti aku sangat membencimu.”



Tzuyu bicara dengan sangat emosional dalam satu tarikan napas. Matanya berkaca-kaca. Vernon yang melontarkan pertanyaan ‘kenapa tiba-tiba mencapku buruk’ dengan nada bercanda dibuat tak berkutik.



Tzuyu menggosok matanya yang mulai berair dan segera berdiri. Vernon menangkap lengannya.



“Sebenarnya apa salahku?”
“Kau tidak mengingatku.”
“Bagaimana jika ternyata aku ingat?”
“B-benarkah?”



Vernon tak langsung menjawab. Sejujurnya ia tak tahu apa ia harus mengangguk atau menggeleng. Apa ia pernah melihat Tzuyu sebelumnya? YA. Apa ia mengenal gadis itu? TIDAK.



“Ya, sepertinya,” jawab Vernon. “Kau perempuan yang menangis di kafe itu, kan? Dua tahun yang lalu, sebelum kita kuliah. Aku mengingat benda ini.”



Vernon mengeluarkan gantungan kunci berbentuk anjing yang tertinggal di kursi taman tempo hari.



Vernon memandangi raut wajah Tzuyu. Gadis itu sepertinya kecewa dengan jawabannya. Namun Vernon sama sekali tak tahu jawaban apa yang ingin gadis itu dengar. Ia tak mengerti kenapa Tzuyu bisa begitu fasih melontarkan kekecewaan akan dirinya seolah mereka pernah terikat secara emosional, seolah dia pernah mengkhianati gadis itu.



“Memangnya ada berapa Tzuyu yang kau kenal?” tanya sang gadis parau.
“Hanya…kau?” jawab Vernon skeptis.
“Hanya aku.” Tzuyu tersenyum sinis sambil mengangguk-angguk. Ekspresi wajahnya terlihat tak habis pikir dan Vernon semakin tak mengerti.



“Y-ya. Ada apa denganmu!”
“Apa kau ingat pernah mengenal seorang anak perempuan gemuk yang sangat jelek saat SD? Apa kau ingat pernah membelanya seperti kesatria? Memberikan harapan?”



Tzuyu menahan diri agar tidak terbawa emosi, namun suaranya pecah saat ia bicara. “Apa kau ingat pernah berjanji untuk menjadi temannya selamanya?”



“Setelah berjanji semanis itu, apa kau ingat betapa mudahnya kau mencampakkan anak perempuan itu di hadapan semua orang?”



Saat itu, Vernon baru terperanjat. Ia bisa merasakan semua memori itu melesat menuju kepalanya.



“T-tzuyu?”
“Kau mengingatku sekarang?”
“Tzuyu, aku minta maaf. Aku, saat itu aku….”
“Ya, kita memang bertemu di depan restoran dua tahun lalu,” sela Tzuyu. “Saat melihatmu di zebra cross, dengan bodohnya aku berpikir kau peduli dengan luka di tanganku karena kau mengenalku, karena kau mengingatku. Aku benar-benar terkejut sampai tak bisa berkata-kata. Lalu baru menyesal saat kau sudah menjauh.”



“Aku menyesali hal itu selama berminggu-minggu. Hingga akhirnya kita bertemu lagi saat masa orientasi.” Tzuyu tersenyum sedih. “Namun kau malah menyebut namaku dengan sangat asing. Dan di situlah aku sadar sudah berharap yang tidak-tidak. Ternyata kau memberikan sapu tangan waktu itu semata-mata untuk berbuat baik. Dan sungguh, aku tak bisa lebih kecewa lagi.”



“Terima kasih sudah menolong si bodoh yang tak bisa membedakan bagian tajam pisau ini. Aku akan mengembalikan sapu tanganmu secepatnya.”



Tzuyu memeluk semua buku di meja dengan terburu-buru, kemudian berlalu.



Dan Vernon terlalu syok untuk menahan alih-alih mengejar.




**********




Tzuyu pindah ke Korea saat berumur delapan tahun. Segalanya serba baru bagi Tzuyu. Lingkungan baru, sekolah baru, orang-orang baru, bahasa baru. Tzuyu benar-benar kesulitan menyesuaikan diri. Ia tak mengerti sepatah kata pun dan sayangnya, ia juga tidak memiliki cukup keberanian untuk mencari teman.



Ia disekolahkan di sebuah sekolah swasta elit di kawasan Anyang. Namun hal itu tak serta-merta membuat keadaan lebih baik. Justru sebaliknya, Tzuyu malah dibully secara verbal hingga kepercayaan dirinya sirna. Ia belajar banyak bahasa baru; gendut, muka berbintik, jelek, buruk rupa.



Hingga suatu hari seorang anak laki-laki berparas blasteran datang menolong. Ia memakai seragam yang berbeda, jadi sudah pasti anak itu tidaklah bersekolah di sana. Dia datang menyelak semua orang dan berdiri di hadapan Tzuyu yang tengah menangis.



“Kenapa kalian membuatnya menangis?” tanya anak laki-laki itu lantang.



“Dia bukan orang Korea.”


“Namanya aneh.”


“Dia jelek.”


“Dia gendut.”


“Dia tak punya teman.”



Semua orang berbondong-bondong menjawab.



“Dia tidak jelek, kalian yang jelek. Membuat orang lain menangis adalah perbuatan orang jelek!” balas sang anak laki-laki. “Berhenti mengejeknya tidak punya teman! Sekarang dia punya aku. Aku adalah temannya.”



Tzuyu yang sejak tadi hanya menunduk dan menangis perlahan-lahan mulai mengangkat kepala. Bahasa koreanya memang masih belum sempurna, tapi ia mengerti apa itu ‘teman’. Tzuyu bingung namun juga bahagia di saat yang sama. Anak laki-laki yang entah dari mana asalnya itu tiba-tiba mendeklarasikan diri sebagai temannya.



Nama anak laki-laki berparas mencolok itu adalah Vernon. Vernon tak mencemooh cara bicara Tzuyu yang terbata-bata, ia justru tertawa dan mengatakan bahwa logatnya lucu. Setelah hari itu, Tzuyu merasa hidupnya dipenuhi pelangi. Setiap kali melihat Vernon, ada perasaan bahagia yang membuncah. Mereka bermain seharian sepulang sekolah selama tiga hari berturut-turut; kejar-kejaran, menggambar, bersepeda. Vernon bahkan mengajarinya beberapa kalimat dalam bahasa Korea juga.



Namun kebahagiaan Tzuyu tak berlangsung lama.



Di hari keempat, saat Tzuyu sedang menunggu Vernon di gerbang sekolahnya seperti biasa, beberapa anak yang dulu suka mengejeknya datang lagi. Tzuyu memandangi tiga orang anak di depannya dengan takut, sambil terus merapatkan diri di pagar.



“V-vernon,” panggilnya gemetar.
“Siapa Vernon?”
“Anak laki-laki yang selalu bersamanya.”
“Pacarnya?”
“Iya!”



Berbekal drama di televisi dan pengetahuan seadanya, anak-anak di depan Tzuyu itu menyimpulkan.



“Kau kan masih kecil, kok punya pacar?”


“Pacar itu untuk orang dewasa, tahu!”


“Kau kan jelek seharusnya tidak punya pacar!”



Tzuyu semakin gemetar begitu mereka mulai riuh, menggaungkan kalimat-kalimat buruk yang sebagian besarnya tak dapat ia pahami. Yang Tzuyu tahu, buku gambar di pelukannya tiba-tiba ditarik paksa dan dirobek. Tzuyu baru saja membuka mulut untuk menjerit saat Vernon datang, yang kontan membuatnya girang bukan kepalang.



“Jangan lakukan itu!” seru Vernon.
“Pacarnya datang!”
“Pacar? Aku bukan pacarnya. Aku temannya.”
“Kalau perempuan dan laki-laki bermain bersama namanya pacar.”
“Bukan! Kata siapa?”
“Kau tidak punya televisi, ya?”
“Teman ya teman!”
“Tidak. Kalian pacaran.”
“Aku tidak mau.”



Tzuyu bisa melihat wajah Vernon yang semakin merah, serta tangannya yang mengepal di samping badan. Tzuyu mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Vernon, namun anak laki-laki itu malah menepisnya dengan keras.



“Jangan pegang!” bentak Vernon. “Kita bukan teman lagi.”
“Vernon?”
“Jangan panggil namaku lagi! Aku tidak mau!”



Tzuyu kekeh menarik tangan satu-satunya teman yang ia punya itu, sementara beberapa anak di depannya bersorak menggaungkan kata ‘pacar’. Vernon yang terlanjur malu bercampur kesal akhirnya mendorong Tzuyu dan berlari meninggalkannya.



Semua perlakuan Vernon itu membekas di hati Tzuyu seperti ukiran. Ia menolak pergi ke sekolah hingga mau tak mau harus mendatangkan guru ke rumah.



Di lain sisi, Vernon malah melupakan kejadian itu begitu saja. Ia ingat berbicara dengan ibunya soal ‘apa perempuan dan laki-laki tak boleh berteman’, ia juga ingat bagaimana ia dinasehati bahwa perbuatannya itu salah, bahwa ia harus minta maaf pada Tzuyu. Tapi saat Vernon datang ke sekolah Tzuyu di keesokan hari, anak perempuan itu tak ada. Ia selalu datang ke sekolah Tzuyu selama nyaris dua minggu, namun Tzuyu tak pernah ada. Dan Vernon memutuskan untuk berhenti datang, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sudah dimaafkan.




*********




Selepas UAS mata kuliah cyber law, semua staf departemen olahraga dan seni berkumpul untuk rapat. Namun sore itu ada yang berbeda, ketua mereka yang disiplin luar biasa tak kelihatan batang hidungnya. Ya, Tzuyu tak datang, dan itu kali pertama ia absen sejak menjadi ketua.



Tanpa kehadiran Tzuyu, rapat nyaris tak berjalan, namun Vernon berinisiatif mengambil alih. Ia harus berbohong dengan mengatakan mendapat mandat langsung dari Tzuyu untuk memimpin rapat, hanya supaya semua orang di dalam ruangan itu mau mendengarnya. Dan syukurlah mereka percaya.



Acaranya tinggal seminggu lagi dan sebenarnya, persiapan mereka sudah hampir rampung. Terima kasih pada Tzuyu, tentu saja.



Park Si Hwan, runner-up Superstar K5 yang sedang naik daun bersedia menjadi juri untuk acara mereka. Somi sengaja memilih Park Si Hwan karena pria itu merupakan alumni dari universitas mereka dan bersedia tampil tanpa dibayar. Alhasil anggaran untuk juri tamu bisa dialokasikan untuk penataan panggung supaya lebih meriah.



Pertandingan cabang olahraga pun sudah diurus tuntas oleh Mino cs. Semuanya sudah siap, hanya tinggal eksekusinya saja.



“Kalau begitu kalian fokus saja pada UAS yang tersisa. Kita bertemu lagi Jumat sore. Tenda-tenda bazar dan panggung akan mulai dipasang, kita harus mengawasi semuanya,” kata Vernon. “Jadi jangan lupa bawa baju ganti, kita semua akan menginap di kampus selama persiapan.”



“Aku harap ini benar-benar akan sukses,” kata Jun, antusias bercampur cemas.
“Tentu saja. Ini pasti akan super sukses. Percaya padaku!” seru Jaebum, kontan membangkitkan kepercayaan diri semua staf. Senyum-senyum sumringah menyebar cepat bak virus.



Untuk sesaat, mereka membuang perasaan tidak suka satu sama lain dan bersatu demi kelancaran acara ini.



Vernon bertanya-tanya dalam hati, apa mereka bisa sekompak ini tanpa campur tangan Tzuyu?



Mungkin tidak, batinnya.



Tidak mungkin, ralatnya kemudian.



**********




Vernon baru saja mendorong pintu toko buku tempatnya bekerja saat sang bos, Kim Heechul menghadangnya.



“Sejak kapan?” tanya si pemilik toko buku itu tanpa basa-basi.
“Apa yang sejak kapan?”
“Kau pacaran dengan Dahyun.”
“Itu privasiku. Kenapa menanyakan sesuatu yang bukan urusanmu?”
“Bukan urusanku? Heh, tentu saja itu urusanku. Kalian sudah melanggar aturan.”
“Aturan apa?”



Heechul mengedikkan kepalanya pada papan putih bertulis ‘sesama karyawan dilarang pacaran’ yang kelewat besar. Dan ironisnya, karyawannya cuma ada dua.



“Seingatku tidak ada peraturan seperti itu sebelumnya.”
“Sekarang ada.”



Vernon benar-benar tak habis pikir. “Apa maumu?!”



“Kau tidak boleh mempermainkan perasaan Dahyun!”
“Mempermainkan? Siapa yang mempermainkan? Kita sama-sama suka, kok.”
“Berapa usiamu, huh? Seharusnya kau sudah tahu ada banyak jenis perasaan suka. Kau harus bisa membedakan perasaan suka itu,” kata Heechul, dengan gaya seolah ia lebih mengetahui isi hati Vernon daripada Vernon sendiri. “Siapa yang tidak menyukai Dahyun? Dia cantik, ramah dan memiliki aura minggu pagi yang ceria. Berada di sekitarnya membuat semua orang tenteram. Tapi apa itu perasaan yang kau butuhkan?” Heechul menggeleng dengan bijak sebagai jawaban. “Jujur saja, kau mengencaninya karena tahu dia sakit, kan?”



“Apa? Tidak!”
“Oh ya? Bukankah kau tahu Dahyun menyukaimu sejak lama? Lalu kenapa baru sekarang?”
“Karena aku baru menyukainya sekarang,” jawab Vernon emosi. “Lagipula aku baru tahu dia sakit setelah kecelakaan kemarin. Selama ini dia menyimpan penyakitnya sendiri.”



“Sungguh?”
“YA!!” seru Vernon sewot. “Tapi tunggu, darimana kau tahu Dahyun sakit?”



Heechul sesaat tertegun.



Setelah melihat reaksi pria di depannya, Vernon langsung dapat menyimpulkan. “Kau sudah tahu sejak lama,” katanya. “Itulah yang membuatmu sangat perhatian pada Dahyun.”



Heechul merasa tak ada gunanya lagi berbohong. Ia menghela napas dan mengangguk. “Ya, benar. Dan aku sungguh akan membunuhmu jika kau mempermainkannya. Dia sendirian, Vernon. Dia tak punya siapa-siapa.”



“Dan apa yang membuatmu berpikir aku sedang mempermainkannya?”
“Karena yang terpancar dari matamu bukan perasaan seperti itu. Kau hanya iba.”



Vernon praktis mendengus, “Terima kasih ocehannya. Sangat tidak berguna. Sepertinya datang ke sini bukan ide yang bagus. Lebih baik aku menemani Dahyun di rumah sakit,” kata Vernon sembari berbalik.



“Dia sudah di rumah. Tadi siang kujemput pulang.”



Vernon menahan kakinya, lantas kembali menoleh pada Heechul. “Dia sudah boleh pulang?”



“Ya."
“Lalu bagaimana dengan penyakitnya?”
“Kau berharap Dahyun berbaring di rumah sakit selamanya?”
“Bukan, maksudku…”
“Dia diberi banyak obat.”
“Baiklah, lebih baik aku…”
“Rapikan buku-buku di dalam dus sebelum kupecat,” sambar Heechul. “Aku bosmu. Aku yang menentukan apa yang harus kau lakukan. Datang ke sini adalah kewajiban, bukan ide yang bagus atau buruk, dasar kurang ajar. Kadang aku tak percaya betapa baiknya aku karena belum memecat karyawan sebodoh dirimu. Kau pikir ini toko bukumu, ya?”



“Tapi Dahyun…”
“Dia tidak sedang koma, Vernon. Ya ampun! Dia tidak apa-apa. Dia bilang akan kembali bekerja secepatnya!”




**********




Begitu air matanya habis, Tzuyu baru mulai bisa berpikir rasional lagi.



Kenapa aku harus membentak Vernon? Toh bukan salahnya kalau dia lupa, aku saja yang melebih-lebihkan. Sebenarnya apa yang aku tangisi? Dan tunggu dulu, bukankah tadi sore ada jaDWAL RAPATT??


Tzuyu terbelalak dan langsung merangkak ke ujung kasur. Ia mengulurkan badannya sampai menjangkau ponsel di meja belajar dan mencoba menelepon Seulgi. Namun malam itu, di saat Tzuyu sedang kalut luar biasa, Seulgi yang senantiasa menjawab panggilannya di dering kedua malah tak bisa dihubungi. Ia terus mencoba sambil merutuki kecerobohannya sendiri.



Pada akhirnya Tzuyu pun menyerah di percobaan kelima. Ia tak memiliki nomor ponsel staf yang lain karena seperti yang sudah disebutkan, Seulgi itu biasanya sangat mudah dihubungi—Seulgi saja sudah cukup untuk mengedarkan informasi ke telinga semua staf.



Tzuyu tengah menimbang-nimbang apa ia harus menelepon Dosen Gu Won saat bayangan kertas berisi nomor telepon Vernon berkelebat di kepalanya. Ya, dia punya nomor Vernon. Tzuyu segera beranjak dari ranjang dan menghampiri laci, mengeluarkan semua kertas yang bertumpuk di sana dan mulai mencari-cari satu yang dia maksud. Itu adalah kertas konsep yang dirancang Vernon, yang terjatuh berserakan di rapat pertama, sewaktu mereka disuruh beradu presentasi.



Tzuyu menemukannya. Untuk beberapa saat ia hanya memandangi deretan nomor yang tertulis di pojok kiri kertas itu tanpa tahu harus apa.



Mana mungkin aku meneleponnya setelah kejadian tadi?


Tapi sebagai ketua departemen, mana mungkin aku masa bodo dengan tanggung jawabku?



Pikiran-pikiran itu berkecamuk di kepalanya. Tzuyu berusaha mengenyahkannya, namun mereka semua menempel di setiap sudut otaknya seperti lirik lagu.



Halo, aku Tzuyu. Jangan tanya aku mendapatkan nomormu dari siapa…


Halo, aku Tzuyu. Aku mau tanya apa rapat tadi berjalan dengan lancar….


Halo, Vernon. Ini ketua departemen olahraga dan seni. Seulgi tak bisa dihubungi, jadi dengan sangat terpaksa aku menghubungimu. Bagaimana rapat tadi?


Halo, ini Tzuyu. Aku minta maaf sudah membentakmu dan berkata yang tidak-tidak. Tolong lupakan saja semua perkatanku itu..


Dengar, aku tahu ini mungkin tiba-tiba sekali, tapi bisakah kita mengulang semuanya dari awal? Maksudku, aku mungkin sempat kecewa dengan sikapmu di masa lalu, tapi sekarang aku sadar aku tak bisa selamanya hidup di masa lalu.


Semua ucapanku tadi siang pasti membuatmu bingung, kan? Sebenarnya, perasaan senang dan kecewa timbul tenggelam dalam dadaku tiap kali kita bertemu.


Saat di depan restoran waktu itu, kupikir kau mengenali wajahku. Aku senang bukan main hingga tak bisa berhenti memikirkanmu.


Lalu tiba-tiba kita bertemu lagi saat masa orientasi kampus, dan hancurlah ekspektasiku. Kau ternyata tidak mengenaliku, dan aku merasa kecewa untuk yang kedua kali. Sangat kecewa sampai-sampai mendengar namamu saja membuatku marah.


Tapi..


Itu bukan salahmu.




Tzuyu belum memutuskan akan mengucapkan kalimat yang mana, namun tangannya sudah menekan nomor telepon Vernon. Dan panggilannya tersambung.



[Halo.]



Tzuyu praktis menahan napas.



[Halo,] ulang Vernon.
[Halo?] Vernon terus mengucapkan ‘Halo’ dengan nada terganggu. [Ayolah, aku sedang bekerja. Kututup teleponnya.]



“Ini Tzuyu,” sambar Tzuyu.



Tenggorokannya mendadak terasa sangat kering. Dan semua kalimat yang sudah ia latih di kepalanya lenyap tak berbekas.



“Aku cuma mau bilang sapu tanganmu akan kukembalikan besok,” kata Tzuyu, sembari melirik sapu tangan biru langit yang sempat ia injak-injak dan nyaris masuk ke tempat sampah. “Kututup teleponnya.”




TBC



Comments

Popular Posts