Let's Try Slowly


Cast: Johnny Seo – Jennie Kim
.

Katanya, 'oke, kita coba' dan hingga detik ini kami pun masih mencoba. Mencoba untuk tidak membunuh satu sama lain.
-Johnny- 
.



Aku bisa menulis cerita yang menakjubkan. Aku bisa menulis sebuah cerita yang digemari oleh banyak orang. Bahkan bisa membuat cerita yang mampu menggerakkan perasaan banyak orang. Betapa hebatnya aku ini. Ya, hebat. 


Tapi itu semua hanya cerita masa lalu. Penggalan kisahku yang tertinggal jauh di belakang. Aku selalu bangga dengan kenyataan bahwa aku pernah menjadi bagian dari ‘penulis online terkenal’ dan aku merasa yang namanya bakat, tidak akan hilang begitu saja. Tidak peduli seberapa lama aku meninggalkanya.


Namun aku SALAH BESAR! Entah sejak kapan bakatku meninggalkan tubuhku. Aku tidak tahu kapan pastinya, pokoknya aku mulai menyadari bahwa aku kehilangan bagian tersebut saat aku berusaha menulis untuk mengisi laman blog yang sudah lama kutinggal.



Setelah itu aku terus berusaha untuk kembali menulis, namun usahaku terus saja gagal. Semua kata yang ada di kepala begitu sulit untuk kurangkai, rasanya seperti mencoba sesuatu yang mustahil. Aku bahkan sempat berpikir kalau mungkin saja ada sel-sel otakku yang putus.


Masalahnya mengarang cerita tidak pernah menjadi hal yang sulit untukku, tapi saat ini menulis justru terasa sangat mustahil dan bahkan membuat kepalaku pening.


“Ini gelas kelimamu.”



Jennie datang membawa pesananku untuk yang kelima kalinya. Kali ini ikatan rambutnya sudah tidak serapi sebelumnya, beberapa helai rambut mencuat keluar dari ikatannya. Wajahnya pun tidak seramah seperti beberapa jam yang lalu, kini ia kelihatan bosan dan mengantuk.



Ia berusaha melihat layar laptopku, beruntung aku buru-buru menutupinya dengan tubuhku. Membuatnya mendecak dan memutar matanya dengan jengkel.


“Kau belum menulis apapun?” tanyanya menghakimi.


Jelas ia sudah mengetahui jawabannya. Ia melipat kedua tangannya dan menatapku dengan sorot mata lelah.


“Lebih baik kau pulang setelah minumanmu habis,” ucapannya begitu tegas menyiratkan ia tidak ingin dibantah, namun aku terlahir sebagai seorang pemberontak. Ia tidak bisa seenaknya menyuruhku melakukan ini dan itu.


“Aku membayar semua minumanku, jadi kau tidak bisa mengusirku.”


Aku berusaha mengabaikannya yang tengah melayangkan tatapan murka sekaligus hasrat untuk menjambak rambutku. Sial, aku belum sempat memotong rambutku.

“Kau ada kelas pagi besok. Kau lupa?” katanya penuh penekanan.



Aku pura-pura mengetik sesuatu, berharap ia akan jengah dan pergi ke dalam dapur atau kemanapun saja. Demi Tuhan! Aku hanya ingin ia pergi dan berhenti menghujamku dengan tatapan mengerikan itu.



“Kau tidak mendengarku?” Suaranya tak lagi sekencang sebelumnya, namun anehnya justru terdengar lebih mengerikan bagiku.



Kemudian aku merasakan tangannya mencengkeram bahu kananku. “Dengar Johnny, apa yang kau lakukan ini? Kau sudah seperti ini selama tiga minggu dan karena itu kau gagal kuis dan kau juga bilang kau melupakan UTS-mu minggu lalu.  Kau hanya–“



Aku langsung berdiri, menatapnya tak kalah kesal. “Hanya apa? Membuang waktu? Bahkan kau berpikir begitu?” Aku mengatakannya dengan sangat kecewa.


Aku sangat kecewa ia mengatakan hal itu padaku. Biar bagaimanapun ia tahu seberapa penting menulis untukku. Bahkan awalnya ia sangat bersemangat mendukungku untuk mulai menulis, namun apa yang terjadi sekarang? Mungkin lama-lama ia mulai jengah dengan pacarnya yang payah ini. Ya, aku memang payah.


Ia menatapku lama sampai akhirnya beralih menatap ke luar jendela. Beberapa detik kemudian pintu kafe terbuka, sepasang pria dan wanita baru saja masuk.


“Selamat datang!” Jennie menyapa pelanggan yang baru datang dengan ramah.



Gadis itu menatapku sekilas, “Barusan aku mau bilang kalau kau hanya terjebak dengan masa lalumu yang hebat itu. Kau tidak bisa menerima kalau segala hal bisa berubah dalam waktu setahun. Dunia berubah dan kau pun begitu,” katanya lebih pelan.



Di meja kasir Moobin mencuri pandang ke arah kami selagi mencatat pesanan pasangan tadi. Wajahnya kelihatan serius dan penuh rasa ingin tahu. Dari kejauhan ia memberi isyarat ‘jangan bertengkar di sini!’.

Jennie merapat padaku. Ia berbisik tepat di telingaku.



“Kau hanya tidak bisa lepas dari bayang-bayang ‘The Great Johnny’ yang dulu, sampai kau lupa kalau kau sudah berhenti menulis selama hampir setahun atau lebih. Kau lupa kalau bakat pun butuh waktu untuk diasah. Dan aku baru sadar kau terlalu sombong untuk berlatih kembali,” lanjutnya dengan nada datar.



Sebelum beranjak, ia menatapku selama beberapa detik kemudian menggelengkan kepalanya.



“Aku tahu ini berat untukmu, tapi kusarankan agar kau tidak terlalu ambisius. Mulai pelan-pelan saja.” Ia membuka ikatan rambutnya, kemudian meraup kembali rambutnya dengan tatanan yang lebih rapi, lalu mengikatnya.



“Jika kau benar-benar ingin menulis lagi, maka mulailah dengan menulis hal-hal yang kau sukai. Selamat menikmati,” ucapnya sebelum pergi dan menghilang di balik pintu dorong di dekat meja kasir.



Moobin menatapku dengan penuh tanya.  



Aku hanya mengangkat bahu dan membiarkannya mati penasaran. Aku kembali menatap layar laptop dengan  perasaan kacau balau. Jemariku hendak menyentuh tuts keyboard, namun segera kuhentikan.



Akhirnya aku melipat laptopku dan memasukkannya ke dalam ransel. Aku mendesah panjang sambil menekan punggungku lebih dalam ke sandaran kursi, seolah punggungku bisa melesak ke dalamnya dan terhisap benda itu.



Lantunan musik jazz dari pemutar musik masih setia menjadi musik latar suasana canggung dan menyebalkan ini. Pandanganku tertuju pada gemerlap lampu yang menghiasi jalan dan deretan pertokoan di luar. Beberapa orang nampak tertawa, sebagian terlihat buru-buru, sisanya terlihat menyedihkan. Sama seperti diriku.



Tanganku menyentuh gelas berisi iced mocha, yang ngomong-ngomong merupakan gelas kelimaku. Jemariku menyentuh bintik-bintik air di badan gelas, merasakan dingin dan basah yang anehnya membuatku tenang.



Jennie benar, aku memang tidak bisa melepas bayang-bayang kesuksesanku di masa lalu. Aku sudah mulai menulis sejak duduk di bangku SMP, namun blog-ku baru terkenal saat aku masuk SMA. Sejak saat itu banyak orang yang membaca tulisanku dan membuatku lumayan terkenal.



Namun saat mulai kuliah frekuensi menulisku semakin berkurang dan jumlah pengunjung di blogku semakin menurun. Kegiatan kuliah membuatku malas menulis, bahkan hanya untuk sebuah cerpen. Aku hanya membuka laptop untuk keperluan tugas saja, entah untuk mengerjakan makalah, review jurnal, membuat presentasi, dan sebagainya.


Aku diliputi rasa malas dan khawatir. Aku khawatir jika aku menulis sesuatu yang tidak berhubungan dengan tugas kuliah, aku akan terlena dan menjadi terlalu asyik menulis cerita seperti saat aku SMA dulu.


Dan aku juga khawatir terlalu lama tidak menulis cerita akan membuatku kehilangan kemampuan itu. Kekhawatiranku benar-benar terjadi. Kini aku bingung harus bagaimana.



Aku selalu merasa menulis adalah salah satu hal terbaik yang bisa kulakukan dan kubanggakan. Namun kalau sekarang aku tidak bisa menulis, apa lagi yang bisa kubanggakan dari diriku?



Ya, Jennie memang benar aku tidak sabar melatih diriku untuk kembali terbiasa dengan kegiatan menulis. Aku selalu diliputi bayang-bayang akan jumlah pembaca yang banyak dan cerita bersambung yang membuat semua pembacaku penasaran.



Namun pada akhirnya aku hanya bisa menelan kenyataan bahwa aku bahkan tidak mampu merangkai kata hingga menjadi satu paragraf. Seolah semua ide berkeliaran dan saling tumpang tindih, membuat kata-kata berlarian dan berhamburan hingga aku kewalahan untuk memungutinya.



Aku menenggak habis minumanku dan meletakkan kembali gelasnya di atas meja. Aku menoleh ke belakang. Menatap jauh ke arah meja bar, hanya ada Moobin di sana. Sepertinya Jennie tidak akan keluar dari dapur selama aku masih berada di sini.



Aku pun beranjak dan tak lupa membawa serta ranselku. Begitu aku melewati meja bar, Moobin melambaikan tangannya.



“Kau tidak mau menunggunya pulang?”

Aku menggeleng, “Anak itu bisa pulang sendiri. Aku pergi,” kataku sambil mengangkat tangan.



Jennie bisa pulang sendiri. Lagipula aku masih punya harga diri yang perlu diselamatkan, jadi lebih baik aku menghindarinya untuk sementara waktu.



**** 



Tidak ada kemajuan selama dua minggu setelah insiden malam itu. Entah dengan tulisanku atau dengan Jennie. Setelah malam itu aku memutuskan untuk menenangkan diri dan fokus untuk mengikuti kegiatan di kampus. Aku cukup sibuk dua minggu ini. Membuat esai, menyusun rencana observasi, pergi ke sekolah menengah lokasi observasi, berhubungan dengan teman-teman sekelompok yang brengsek dan menyebalkan, serta berusaha menulis laporan observasi.



Tidak ada waktu dan aku memang tidak berusaha meluangkan waktu untuk berurusan dengan Jennie atau tulisanku. 



Lagipula aku sangat lelah dan hanya berharap minggu-minggu penuh kekejaman ini berakhir. Namun sejak beberapa menit lalu setelah aku duduk di salah satu kursi bus, tiba-tiba aku memikirkan Jennie.



Tiba-tiba di tengah keramaian lalu lintas perkotaan yang membuat bus yang kutumpangi terjebak macet, aku merindukannya. Kemudian aku mengingat semua ekspresi wajahnya. Mulai dari ekspresi dinginnya, saat ia terseyum, ia merengut, ia memutar matanya, saat ia hanya diam dan terlihat begitu serius mengerjakan sesuatu.



“Aku tahu ini berat untukmu, tapi kusarankan agar kau tidak terlalu ambisius. Mulai pelan-pelan saja.”


Aku bisa mendengar bagaimana suaranya saat mengatakan hal itu padaku. Ia merendahkan nada suaranya dan berharap aku mengerti.



“Jika kau benar-benar ingin menulis lagi, maka mulailah dengan menulis hal-hal yang kau sukai.”



Saat menyadari bahwa aku telah lupa caranya menulis dan kehilangan sedikit demi sedikit tekad untuk menulis, yang kulakukan hanya ngotot untuk bisa menulis sebagus yang dulu pernah kulakukan.


Aku lupa bahwa aku sudah meninggalkan dunia tulis-menulis untuk waktu yang lama. Aku perlu waktu untuk bisa menulis seperti dulu atau barangkali lebih baik.



Namun yang kulakukan justru memaksa diri untuk menulis hal-hal rumit yang membuatku tidak mampu menyelesaikan tulisanku. Aku lupa untuk memulainya dengan sesuatu yang mudah, menuliskan sesuatu yang kurasakan atau kusukai.



Seolah mendapat kekuatan spiritual tiba-tiba, aku segera mengaktifkan ponsel dan membuka aplikasi word. Bus yang kutumpangi masih berjalan selambat siput dan keadaan di dalam bus lumayan sepi karena hampir semua penumpang mulai jatuh tertidur.


Aku tersenyum, merasa yakin untuk kali ini.


Aku menelan ludah yang terasa kental dengan perlahan, kemudian mulai mengetik dengan dada berdebar.



Aku tidak menyukai kopi dan bahkan tidak bisa meminumnya karena lambungku tidak tahan kafein. Namun karena gadis berambut panjang dengan wajah jutek menggemaskan itu bekerja di sebuah kedai kopi, aku pun sok-sokan nongkrong di kedai kopi dan bahkan memesan espresso.


Aku ingat sekali bagaimana pertama kali aku ke kedai kopi dan memesan segelas espresso panas. Begitu ia meletakkan pesananku, aku segera menyeruput minuman itu dengan penuh gaya. Aku baru tahu bahwa rasa espresso sangat amat pahit dan aku nyaris muntah saking tidak tahan dengan rasanya.


“Aku juga tidak suka espresso,” katanya sambil membawakan segelas teh manis dingin.


Dan sejak saat itu  aku mulai sering berkunjung ke kedai kopi itu. Mulai belajar minum cafe latte, mochacchino, atau cappuccino. Hingga akhirnya aku terbiasa dengan minuman-minuman itu, walau sampai detik ini aku tidak pernah menyeruput espresso lagi.



Dan hingga akhirnya minuman-minuman itu membuatku mengenalnya lebih jauh, dan terjerembab semakin dalam pesonanya.



Saat aku tersadar kekagumanku pada sosoknya yang cemerlang sekaligus misterius di kelas  Dosen Kang, berkembang menjadi suatu hasrat untuk memiliki hubungan lebih dari sekadar teman kuliah biasa.



Aku bilang padanya, “Dengar, aku datang ke sini bukan karena suka kopi. Tapi aku menyukai orang yang membuatnya.” Aku nyaris berteriak saat mengatakan hal itu saking gugupnya.


Alisnya berkerut, matanya menatapku tidak percaya. “Maksudmu kau menyukai Moobin?” Kengerian jelas terlihat di wajahnya.


Aku sama ngerinya saat ia mengatakan hal tersebut, aku buru-buru menggeleng sambil mengulang kata ‘tidak’ beberapa kali.  


“Jadi maksudmu kau menyukai aku? Tapi sebelumnya aku ingin menegaskan kalau yang bertugas meracik kopi bukan aku tapi Moobin. Aku masih perlu latihan untuk melakukannya.”


Satu hal yang baru kutahu saat mulai mengenalnya, gadis itu bisa jadi sangat menyebalkan dan suka menguji kesabaran orang lain.


“Oke-oke aku mengerti.” Aku menghentikannya, menatapnya dengan serius dan aku bersumpah rasanya sulit sekali untuk menatapnya tanpa tertawa. Aku bukan Lee Minho yang  bisa tampak mempesona dan digilai para gadis.


“Aku menyukaimu. Aku menyarankan agar kita bisa lebih dari teman. Bagaimana?”


Aku sudah siap dengan penolakan karena sebelumnya pun aku sempat mengalami penolakan di masa-masa SMA. 


“Oke, kita coba,” jawabnya sambil mengangguk dan kemudian bergegas menuju meja bar begitu pelanggan baru saja datang.



Setelah kepergiaannya aku dilanda kebingungan. Jadi apa maksudnya? Ia menerimaku atau bagaimana? Namun pada malamnya kami pulang bersama dan aku mengantarnya hingga di depan rumahnya. Dan kesimpulannya memang persis sesuai dengan jawabannya ‘oke, kita coba’.



Berbekal jawaban darinya hingga detik ini kami masih mencoba dan aku tidak tahu kapan masa percobaan ini akan berakhir. Yang kutahu kami terus mencoba, mencoba untuk tidak membunuh satu sama lain dan terus mencoba untuk menghadapi banyak hal bersama.



Kalian tahu, katanya setiap cangkir kopi memiliki kisahnya sendiri. Ini kisah secangkir espresso pertamaku. Bagaimana dengan kalian?


Regards,
Johnny Seo



Aku menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan-lahan. Dadaku bergemuruh karena jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Aku tak bisa berhenti tersenyum melihat hasil tulisan pertamaku setelah sekian lama. Ini memang tidak seberapa, namun yang penting adalah aku bisa menulis sesuatu lagi. Itu berita yang sangat baik. 


Jennie..



Kurasa aku harus segera menemuinya walau itu artinya harga diriku akan berdarah sedikit. Lagipula aku tidak keberatan harga diriku sedikit terluka asal setelah menunjukkan tulisanku ini, Jennie akan tersenyum dan secara tidak sadar memeluk lenganku.


Lagipula ini juga karena dirinya. Kalau saja ia tidak menyuruhku untuk menulis hal-hal yang kusukai, mungkin saat ini aku masih berkutat dengan naskah tentang cowok patah hati yang berusaha memenangkan kembali hati mantan pacarnya.



FIN


Hallooo...it’s been a while, right?
Masih adakah yang buka GIGSent? Yah semoga masih ada. Bagi yang lagi buka dan baru kelar baca cerita di atas, apa kabar?

Rasanya senang dan lega bisa nulis sesuatu setelah sekian lama gak nulis. Yah, walau aku baru publish bitter sugar dua bulan yang lalu tapi sebenarnya aku udah lama gak nulis fiksi. Bisa publish bitter sugar itu pun karena aku nulis ff itu udh lama dan punya stok cadangan. 

Mau curhat dikit, jadi cerita ini berangkat dari kegelisahan yang aku rasakan selama beberapa waktu belakangan. Ya, aku gelisah karena gak bisa nulis fiksi. Rasanya tuh sulit banget untuk sekadar nulis satu paragraf. Dan aku gak bisa ngerasain sesuatu lagi saat nulis. Ditambah lagi, setiap kali berusaha untuk menulis sesuatu aku pasti merasa ada yang kurang, ada yang hilang (eeaaa.. lebay). 

Walaupun udah punya ide tapi susah banget untuk mulai nulis, susah banget untuk menjabarkan suatu suasana, keadaan, atau perasaan. 

Aku benar-benar ngerasa kayak disorientasi, semacam tersesat di suatu tempat tapi aku sendiri bahkan gak ingat aku siapa, darimana, gimana bisa sampai ke tempat itu dan bahkan gak tahu tempat apa itu (huuu...berat nih). 

Hmm, aku punya cita-cita menjadi penulis, tapi sampai detik ini aja aku gak punya karya yang uahh boombayah gitu. Dan parahnya sekarang aku kesulitan untuk menulis, kayaknya aku udah gak bisa berimajinasi ataupun berpikir kreatif. Seolah semua persediaan berpikir kreatif-ku udah habis. 

Aku ingat banget waktu SMA aku bisa nulis FF walaupun besoknya tuh ada ulangan. Aku juga bisa ingat gimana aku selalu terbawa suasana setiap kali nulis FF dan bahkan gak sabar buat publish setiap selesai nulis. 

Dulu menulis menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untukku. Tempat aku merealisasikan diri, menumpahkan khayalan yang aku tahu gak bakalan terjadi di kehidupan nyata, dan bisa menjadi sutradara di dalam ff-ku. Dulu aku nulis gak pake rasa takut, khawatir, ataupun ragu. 

Mau tulisannya amburadul, idenya kurang greget, ataupun eksekusinya gak asyik, tapi aku tetap nulis dan publish tanpa tahu malu. 


Tapi sekarang semuanya berubah. Aku tahu segala hal pasti akan berubah, tapi masalahnya aku belum tahu gimana cara menghadapi perubahan-perubahan itu. Jujur ya, semakin bertambah umur (apalagi tahun ini aku mau 21 tahun) rasanya tuh kekhawatiran dan kegelisahan semakin banyak. 


Apa aku bakal lulus tepat 4 tahun? Apa judul skripsiku nanti? Setelah lulus nanti aku bakal kerja apa? These thoughts keep bugging me day by day. LOL. 


Karena ngerasa nulis semakin mustahil untuk dilanjutin, aku sempat berpikir untuk berhenti menulis fiksi. Mungkin aku memang gak berbakat di bidang ini. Tapi kemudian aku mikir lagi, aku suka nulis dan aku punya cita-cita untuk jadi penulis. Kenapa aku mudah banget menyerah dan berhenti gitu aja? 

Kenapa aku gak nyoba dulu? Kalo memang aku gak bisa nulis kayak dulu lagi, kenapa aku gak mulai menerima kenyataan kalau diriku yang sekarang pun mengalami banyak perubahan? Kenapa aku gak mulai kenalan sama dunia menulis lagi dengan diriku yang udah banyak berubah ini? 

Aku pun  berpikir kalau aku memang gak bisa kayak dulu lagi, aku bisa mulai nulis lagi dengan diriku yang sekarang. Ide ini sih kelihatannya keren, tapi sama kayak Johnny, gak gampang loh untuk beranjak dari kenangan indah di masa lalu (gagal move on ceritanya). Jujur aja karena nulis ff aku ngerasa masa SMA-ku berlalu cepat banget. 

Makanya nggak mudah buat aku move on dari aku versi SMA yang nulis ff romance unyu-menye. 


Nggak mudah, nggak siap, dan aku pun nggak tahu gimana caranya. Tapi sama kayak tokoh Johnny, aku bakal bersabar untuk melatih diri, mencoba pelan-pelan, dan mulai dari awal lagi.


Ya..aku cuma berharap supaya diriku lebih sabar dan percaya sama diriku sendiri.


Ya ampun kerasa aku udah nulis cuap-cuap sebanyak ini. Berasa kayak lagi disuruh nulis sama terapis. Baiklah, sepertinya udah cukup yang mau aku sampaikan. Eh, tapi aku punya satu hal lagi yang ingin aku bagikan sama kalian.


Menjadi tua itu mutlak dan pasti, namun bisa menjadi dewasa dan menerima perubahan dalam diri itu perlu diusahakan. 

Oke, serius itu yang terakhir. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya.


Best regard,

GSB  

Comments

Popular Posts