Bitter Sugar - Part 6






Minhyuk melepas kacamatanya, memijat pelan tulang hidungnya yang terasa nyeri. Mungkin kalau ia berkaca, ia akan menemukan jejak kemerahan di antara kedua matanya.


Sudah seharian ini ia bekerja di depan layar komputer, mengerjakan seri terbaru yang rencananya akan ia terbitkan minggu depan. Biasanya saat ia kedatangan banyak ide dan suasana hatinya sangat baik, ia bisa tidak keluar dari kamarnya kecuali untuk mengambil makanan atau pergi ke toilet.  


Ia mungkin tidak akan berhenti, namun karena punggungnya mulai terasa sekaku papan dan matanya sudah berair hingga rasanya sangat perih saat berkedip, ia pun dengan terpaksa menyudahi kegiatannya.



Layar komputernya sudah mati total, kemudian keheningan malam langsung terasa. Diliriknya jam kecil di sudut meja, sudah pukul 1 pagi. Ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Bekerja sampai lupa waktu, kemudian saat selesai ia baru menyadari waktu berjalan begitu cepat.


Biasanya saat ia beranjak dari kursi, ia akan menemukan Hyungwon yang tengah terlentang dengan pose tidak elegan di atas kasur. Namun kali ini tidak ada Hyungwon dengan pose tak bermoral serta suara dengkur khas yang membuat Minhyuk sulit untuk tidur.



Sudah satu minggu ini Hyungwon memilih untuk tidur di rumah orang tuanya. Ya, tidak seperti dirinya, Hyungwon tidak memiliki masalah dengan keluarganya hingga enggan pulang ke rumah.

Ia berbaring sambil melepas lenguhan panjang. Gara-gara Hyungwon, ia jadi teringat rumah itu. Rumah yang sudah ia tinggalkan hampir delapan tahun lamanya. Minhyuk termenung sembari mengamati bercak-bercak kecokelatan bekas tempias air hujan di langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang jauh menuju rumah besar di kawasan Gangnam.



Bagaimana kondisi rumah itu sekarang. Apakah masih sama-sama menguarkan aura dingin menusuk yang membuatnya tak betah berlama-lama di sana? Apa saja yang sudah berubah di rumah itu semenjak kepergiannya? Hmm..atau mungkin tidak ada yang berubah sama sekali?


Sebenarnya ia paling tidak suka mengingat-ingat bagaimana rumah itu dan semua penghuninya membuat ia tertekan dan sulit bernapas. Namun terkadang ingatan itu datang sendiri, menyusup ke dasar ingatan di saat dirinya tengah terdiam dalam kesendirian. Itulah salah satu alasan mengapa ia senang bermusik. Karena dengan bermusik ia tidak merasa sendirian dan ingatan itu tidak akan datang mengusiknya.



Kemudian sekelebat wajah ibunya melintas di depannya. Terakhir kali ia melihat sang ibu adalah empat tahun yang lalu saat pemakaman neneknya di Daegu. Waktu itu ia hanya melirik sebentar sang ibu yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya dengan wajah sedih. Ia tahu ibunya begitu merindukan dirinya, karena sebenarnya ia pun begitu.

Sebenarnya ia mulai mempertimbangkan untuk menghampiri sang ibu. Namun saat ia menemukan sosok ayahnya sedang menyalami orang-orang yang mengucap bela sungkawa, ia  pun mengurungkan niatnya. Ia segera pergi dari rumah duka. Tak menghiraukan sang ibu sudah merentangkan tangan untuk memeluknya.

Malamnya ia langsung kembali ke Seoul. Ia sengaja langsung pulang karena tak ingin bertemu dengan kedua orangtuanya. Walau begitu sepanjang perjalanan ke Seoul ia dipenuhi rasa ragu dan bersalah. Biar bagaimanapun ia tidak mati rasa. Ia melihat wajah ibunya yang memelas, berharap ia mau menghampirinya.

Dan wajah itu terus menghantuinya hingga detik ini. Yah, ekspresi sedih, lelah, dan penuh duka itu yang barusan melintas di depannya.


Kira-kira bagaimana keadaan ibunya saat ini? Apa orang-orang di rumah itu masih mengabaikan keberadaannya? Apa sosok ibunya masih dianggap seperti bercak-bercak kecokelatan di langit-langit kamarnya? Bercak itu selalu ada di sana namun tak seorang pun menghiraukan keberadaannya. Persis dengan ibunya.


Ia meraih ponselnya dari atas meja kecil di samping ranjang. Beberapa hari yang lalu ia membaca kembali lipatan-lipatan kertas yang diberikan Andrea waktu itu. Salah satu dari kertas tersebut berisi  kombinasi nomor ponsel, di bawahnya dibubuhi sebuah pesan singkat berbunyi, Itu nomor telepon ibu yang baru. Ibu harap kau mau menghubungiku sesekali.


Tadinya ia enggan menyalin nomor itu ke dalam buku teleponnya, tapi kemudian ia mengingat ucapan Andrea hari itu.  Setidaknya ibumu sudah berusaha untuk menemuimu kembali. Tidak semua orang beruntung punya kesempatan seperti itu. Akhirnya ia pun menyimpan nomor tersebut dan sekarang ia bersyukur sudah melakukannya.


Kini ia merasa jantungnya berdegup tak karuan, bahkan jemarinya gemetaran dan berulang kali menghapus kata yang sudah diketiknya dalam pesan singkat yang akan ia kirimkan pada ibunya. Ia mendesah, kebingungan mencari kalimat yang tepat untuk ditulis. Maklum saja, sejak hari itu ia belum pernah menghubungi ibunya lagi. 


Ia menggigit bibir dengan gelisah, berpikir keras untuk menuliskan pesan yang singkat dan tidak  cengeng. Namun apa daya, jemarinya terus mengetikkan kalimat seperti, ‘Bu, ini aku Minhyuk. Rasanya sudah lama sekali tidak menyapamu dan itu membuatku bingung mau menulis apa. Tapi Bu, aku rindu ibu. Maafkan sikapku selama ini’.



Tentu saja merangkai pesan ini lebih membuatnya frustasi dibanding terakhir kali ia mengirim ajakan berkencan untuk seorang gadis seksi yang ia temui di bar.


Keheningan malam rupanya mendorong sisi cengeng dalam dirinya keluar. Tapi ia tidak akan membiarkan dirinya lepas kendali. Pesan pertama ini harus terkesan tegas. Ia tidak boleh terkesan cengeng pada pesan pertamanya. Biar bagaimanapun ia tidak ingin ibunya berpikir kalau ia masih Lee Minhyuk yang dulu, yang cengeng maksudnya.


Setelah berpikir cukup lama, ia pun memutuskan untuk mengetikkan sepotong kalimat yang dirasanya tepat. Ia membaca kembali kalimat tersebut, kemudian tanpa merasa ragu ia langsung menekan tulisan ‘kirim’ pada layarnya.



Jujur saja ia merasa cukup lega setelah itu. Setelah sekian lama akhirnya ia mau berusaha membuka hatinya untuk menerima kembali sang ibu. Namun ia tahu ini semua tidak mudah untuknya, maka itu ia akan melakukan dengan caranya sendiri. Ia akan membuka dirinya perlahan-lahan.



Ia meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. Ia pun memejamkan mata. Entah sudah berapa lama ia tidak merasa tidurnya senyaman ini. Saat memeluk gulingnya, ia merasa diselemuti kehangatan yang sudah lama tak didapatkannya.



Tak lama kesadarannya tergelincir masuk ke alam bawah sadar dan dirinya jatuh ke alam mimpi yang penuh kehangatan dan kasih sayang. Samar-samar ia bisa melihat sosok ibunya sedang menyanyikan lagu pengantar tidur untuk Minhyuk kecil.



Bu, ini aku Minhyuk. Maaf baru menghubungimu sekarang.
 Sent


****  




Berhubung sudah dua hari ini ia mengurung diri di dalam kamar karena sedang dikerjar deadline  menyelesaikan kelanjutan seri terbarunya, hari ini Minhyuk memutuskan untuk pergi keluar mencari udara segar. Walaupun ujung-ujungnya udara yang ia hirup saat ini tidak segar sama sekali. Pengap, bau asap rokok dari sana sini, aroma tubuh yang beragam dan bercampur bau alkohol.



Combos memang bukan tempat yang tepat untuk mencari udara segar, tapi di sini ia bisa melihat beragam pemandangan wanita seksi yang membuat pikirannya kembali segar. Lagipula hanya di Combos ia bisa minum sepuasnya dengan membayar setengah harga. Ya, itulah bonus yang diiming-imingi Junhong supaya BitterSugar terus tampil di tempatnya.


Seungcheol, si bartender yang terkenal playboy mengisi lagi gelasnya sampai penuh. “Wanita di pojok sana terus melihat ke arahmu,” bisik pemuda itu sambil melirik wanita yang duduk di ujung bar.



Minhyuk melirik wanita yang dimaksud sementara tangannya mendekatkan tepi gelas ke bibirnya. Wanita yang dimaksud Seungcheol, melambaikan tangan sambil mengulas senyum menggoda. Tentu saja ia tidak tinggal diam, ia mengangkat gelasnya, memberi gesture ‘nikmati minumanmu’ yang membuat wanita itu melakukan hal yang sama.



“Begitu saja? Aku yakin kalau kau memberi kode agar ia mendekat, wanita itu pasti tidak akan menolak.” Seungcheol berkomentar saat ia beralih dari wanita itu.

Ia mengangkat bahu sementara menyesap minumannya perlahan, ia melirik wanita tadi sekilas. “Sedang tidak mau diganggu,” katanya tak acuh.

“Aku hanya mau minum malam ini.” Minhyuk mencomot kue kering yang baru disuguhkan, sementara Seungcheol cuma menggeleng takjub. Pasalnya seorang Lee Minhyuk yang dikenal sering mempermainkan wanita kini mengabaikan seorang wanita seksi dengan lekuk tubuh aduhai yang tengah mendengus kecewa.



“Baiklah, asal jangan menyesal kalau aku yang meladeni wanita itu,” kata Seungcheol.

Minhyuk mengangguk tak keberatan, “Silahkan saja,” katanya tidak keberatan.

Lagipula ia tidak memiliki rencana untuk berhubungan dengan gadis manapun sekarang ini.  Bukan berarti ia berubah menjadi pria suci dalam sehari semalam, ia hanya sedang tidak mau konsentrasinya untuk menulis komik terganggu dengan ajakan kencan atau rengekan gadis yang menuntut perhatiannya. 



Ponselnya bergetar, notifikasi pesan masuk terpampang di layar. Ia meraih ponselnya, membuka pesan yang dikirim oleh ibunya. Ngomong-ngomong setelah pesannya dua hari yang lalu, sang ibu terus mengiriminya pesan.


Ia masih ingat bagaimana pertama kalinya ia menemukan balasan dari sang ibu. Dengan perasaan gugup dan jantung yang anehnya berdegup tak keruan, ia membaca pesan yang dikirim ibunya pada pukul 7 pagi.



Ibu senang sekali kau mau menghubungiku, nak. Minhyuk sayang... bagaimana kabar anak ibu? Apa kau baik-baik saja? Coba ceritakan pada ibu semuanya.. ah, ibu senang sekali mendapat pesan darimu. Minhyuk, ibu sangat merindukanmu. Semua orang di rumah pun merindukanmu, nak. 

Sesekali pulanglah ke rumah, ibu ingin sekali bertemu denganmu.
Atau kalau kau mau, kita bisa bertemu di kafe yang waktu itu. Apa namanya? Summer Camp? 

Bagaimana?
Walau begitu ibu tidak akan memaksa, mendapat pesan darimu saja sudah membuatku bahagia. Tapi ibu pun berharap suatu hari Minhyuk-ie mau menemuiku. 

Minhyuk-aa, jaga dirimu baik-baik, jangan sampai sakit. Ibu menyayangimu.



Setelah membacanya Minhyuk merasa ada aliran hangat yang membuat hatinya begitu tenang. Sungguh pesan itu memberikan efek yang menakjubkan untuknya. Selama seharian ia merasa senang dan tanpa beban. Seolah kerisauan yang dipendamnya sejak lama mulai menguap.



Sejak hari itu ia menyadari bahwa yang perlu dilakukannya adalah membuka hati. Ia tak perlu lagi menghindari ibunya karena itulah yang selama ini membuatnya merasa kesepian. Ia tak perlu mengabaikan sang ibu hanya karena wanita itu memilih untuk tetap bertahan bersama ayahnya.



Kalau dipikirkan lagi ibunya pasti sangat menderita selama ini. Tinggal di rumah besar bersama orang-orang berhati dingin, tidak dihiraukan keberadaannya, bahkan ditinggal oleh anak semata wayangnya. Dan rasanya egois sekali kalau ia terus mengabaikan wanita ibu.



Apa sesekali ibu boleh mampir? Bagaimana kalau kita bertemu di kafe Summer Camp yang waktu itu?



Dahinya berkerut melihat pesan dalam layar ponselnya. Mampir ke apartemen? Sepertinya untuk yang itu ia belum bisa menjanjikannya. Pasalnya keadaan apartemennya begitu kacau dan berantakan. Handuk basah yang tersampir di kepala sofa, remahan biskuit bertebaran di meja dan sofa, sepatu dan sandal yang diletakkan asal terhampar di pintu masuk, tumpukan piring dan gelas kotor yang tak pernah ada habisnya, serta empat pemuda asing yang suka bertelanjang dada saat mundar-mandir di dalam apartemen. Membayangkan semua itu membuatnya bergidik ngeri.



Kalaupun ia mau mengajak ibunya berkunjung ke rumahnya, ia perlu menyuruh semua makhluk itu untuk membereskan semua kekacauan di sana.


Namun kalau untuk bertemu di SummerHunt, ia tidak masalah. Ckk, sudah tiga kali ia mengoreksi ibunya, tapi wanita itu masih saja salah menulis nama kafe milik Andrea.



Boleh Bu, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Aku perlu memberitahu teman-temanku dulu. Yang benar itu Kafe SummerHunt, Bu. Oke, aku bisa bertemu di sana. Kapan Ibu bisa meluangkan waktu?



Ia meletakkan ponselnya kembali setelah selesai mengirim pesan kepada ibunya. Kemudian menyesap minumannya yang tinggal setengah.


Ia nyaris tersedak ketika sebuah tepukan mendarat di bahunya. Ia buru-buru menyeka mulutnya, lantas berpaling pada seseorang di belakangnya. Ternyata bukan hanya satu orang, namun ada tiga orang gadis di sana. Mereka melambaikan tangan sambil mengulas senyum tertahan.



Ia memerhatikan satu persatu gadis tersebut, merasa pernah melihat ketiganya di suatu tempat. Namun berhubung kesadarannya mulai menguap, ia kesulitan mengenali ketiganya.


“Minhyuk oppa?” Gadis yang berdiri di tengah menatapnya tidak percaya. “Kau hanya sendirian di sini?” tanya gadis itu lagi.



Ia menganggukkan kepala pelan sementara otaknya terus mencari informasi yang ia inginkan. Tunggu, ia sepertinya mengenal gadis yang berdiri di sebelah kanan gadis yang baru saja menyapanya. Perlahan kilasan wajah kesal Hyungwon melintas di kepalanya. Ia langsung menjentikkan jari.



“Kau Minyoung, kan?” Ia menunjuk gadis yang dimaksud dengan girang.

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum malu. Gadis itu menatapnya lama, seperti ingin menanyakan sesuatu namun langsung mengurungkan niatnya.

“Aku tidak bersama member yang lain. Mereka semua sedang sibuk sendiri.” Ia menatap ketiga gadis di hadapannya kemudian berhenti pada Minyoung.


“Dan Hyungwon sedang sibuk dengan UAS dan ujian praktik,” katanya. Ia mengulas senyum simpul yang membuat gadis itu tersipu.



Kemudian kedua gadis yang namanya belum ia ketahui, mengenalkan diri mereka masing-masing. Ia pun menyambut uluran tangan keduanya bergantian tanpa ada niatan untuk menggoda salah satunya.


“Pantas saja kami tak melihat BitterSugar selama dua minggu ini,” ujar Narin menanggapi penjelasannya mengenai seluruh anggota BitterSugar. 



Selagi mereka berbincang, Minhyuk tak bisa berhenti memikirkan Andrea yang tak terlihat dimanapun. Ya, bukannya mereka selalu berempat?

“Baiklah, kalau begitu kami duluan–“


Minhyuk menyela perkataan Minyoung, “Kalau aku tidak salah bukannya kalian selalu berempat? Maksudku, aku benar, kan? Tapi malam ini kalian hanya bertiga,” katanya.


“Iya, biasanya memang begitu. Namun hari ini Andrea tidak bisa ikut karena harus mengantar adiknya ke rumah sakit.” Narin menjelaskan kemudian tersenyum, “Hei, kenapa tiba-tiba menanyakan Andrea?” Gadis itu menyipitkan mata, bibirnya mengulas senyum jahil.

“Jangan-jangan kau tertarik padanya, ya?” ledek gadis itu.



Sontak ketiganya menatap satu sama lain  kemudian tertawa kegirangan. Kalau dilihat dari reaksi ketiga gadis itu, Minhyuk bisa menebak kalau gadis-gadis itu tidak tahu kalau sebenarnya Andrea dan dirinya pernah bertemu.


“Tapi sepertinya kau harus hati-hati, oppa. Masalahnya Andrea itu sangat membencimu karena tragedi muntah malam itu.” Minhyuk meringis menanggapi ucapan Sinbi yang terdengar begitu riang.

Sekarang ia semakin heran kenapa gadis menyeramkan dan dingin seperti Andrea bisa berteman dengan gadis-gadis yang mirip dengan satu geng anak perempuan tukang gosip di suatu SMA.



Sementara ketiga gadis di depannya masih terkekeh, seorang pria dengan atribut serba bermerek mahal menghampiri mereka. Minhyuk mengamati pria itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Memaki gaya pamer yang ditunjukkan pemuda itu.



Cih, bahkan Hyungwon yang merupakan anak direktur salah satu perusahaan otomotif terbesar di Korea Selatan saja tidak melekatkan semua barang branded ke sekujur tubuhnya. Memang beda ya, orang yang memang benar-benar kaya atau yang hanya ingin mendapat pengakuan sosial.

Saking sibuknya menilai pemuda tadi, ia sampai tak mendengarkan ucapan mereka. Ia baru tersadar saat Sinbi melambaikan tangan di depan wajahnya.


“Kami harus pergi, teman-teman yang lain sudah menunggu. Sampai jumpa, oppa.” Sinbi dan Narin mengangguk, kemudian mengikuti pemuda sok gaya yang sudah pergi duluan.

Tinggal Minyoung yang masih berdiri di depannya, “Hmmm.. oppa. Ini alamat dan nomor Andrea. Yah, barangkali kau mau bertemu dengannya.” Minyoung menyodorkan sobekan kertas kecil padanya.



Minhyuk mengamati alamat yang tertulis di kartu tersebut, dahinya berkerut.



“Maaf agak berantakan, tadi aku menulisnya terburu-buru.” Minhyuk mendongak, menatap Minyoung dengan bingung. “Aku tidak bermaksud apa-apa, tapi entah kenapa aku punya firasat kau tertarik pada Andrea. Mungkin itu bisa sedikit membantu,” jelas gadis itu.

“Baiklah, aku juga harus pergi. Senang bertemu denganmu. Selamat malam,” pamit Minyoung.



Minhyuk menatap kertas itu lagi. Kini satu persatu pertanyaan mulai memenuhi kepalanya, mendesak untuk mendapat jawaban. Ia menggigit bibir tak mengerti.

Di kertas ini tertulis alamat rumah yang terletak di daerah Pyeongchang-dong. Seingatnya Andrea tinggal di sebuah ruko di daerah Haeundae. Apa mungkin Andrea memiliki dua rumah?


Jangankan pergi ke luar negeri, untuk pergi ke Daegu saja Irish masih pikir-pikir


Kemudian ia mengingat ucapan Ethan waktu itu. Dari ucapan Ethan itu ia bisa menarik kesimpulan bahwa ketiga bersaudara itu tidak mungkin memiliki dua tempat tinggal. Lagipula untuk apa mereka menyewa sebuah ruko kalau memiliki rumah mewah di kawasan elit Pyeonchang-dong.


Irish akan pergi ke Kanada minggu depan, ia akan pergi selama satu bulan



Lalu sekelebat ucapan Andrea di Kafe Busker ikut muncul. Seperti tak membiarkannya lupa, ucapan Narin tadi ikut-ikutan memenuhi pikirannya yang mulai kusut.



Namun hari ini Andrea tidak bisa ikut karena harus mengantar adiknya ke rumah sakit


Kini semua itu terhampar di kepalanya bagai kepingan puzzle yang berantakan. Ia mencoba untuk merangkainya satu persatu dan perlahan-lahan. Namun sayangnya kepingan-kepingan itu tak relevan satu sama lain. Ia mendesah sementara matanya masih tertuju pada kertas.


Siapa sebenarnya Andrea itu? Apa yang sebenarnya gadis itu sembunyikan?


****  



Kali ini ia sudah tidak waras sepertinya. Sepulangnya dari Combos, ia tidak langsung ke apartemen tapi malah pergi ke SummerHunt. Ia meneguk air putih di botolnya hingga tandas, berharap cairan itu bisa meringankan rasa pening di kepalanya. Ia memicingkan mata mengamati papan bertuliskan ‘SummerHunt’ yang terpajang di bagian depan ruko.


Ia tak bergerak sesentipun, masih betah mengamati kesibukan di dalam kafe dari kejauhan. Ia bingung dengan dirinya sendiri yang sudah menempuh perjalanan dengan keadaan setengah mabuk hanya untuk mencari kebenaran tentang seorang gadis asing.


Dari kaca jendela transparan, ia bisa melihat Andrea yang sedang membuatkan minuman pesanan pelanggan dengan cekatan. Kemudian sosok pemuda yang dikenalnya menghampiri meja kasir, siap mengambil nampan berisi pesanan.

Minhyuk tertawa hambar. Ethan ada di sana dan keadaannya baik-baik saja. Gadis itu berbohong lagi pada teman-temannya. Tapi kenapa? Minhyuk mengusap wajahnya dengan resah. Pertanyaan itu harusnya ia tanyakan pada dirinya sendiri. Memangnya kenapa kalau Andrea berbohong?


“Sial.” Minhyuk mengumpat sambil menghentakkan kaki.


Ia tak punya alasan yang masuk akal untuk tindakan serta rasa ingin tahunya yang berlebihan ini. Ia mengakui Andrea memang sosok gadis cantik dengan aura paling unik yang pernah ditemuinya, tapi kalau dipikir lagi masih banyak gadis yang berkali lipat lebih cantik dan lebih waras dari Andrea. Terus kenapa? Kenapa ia tidak bisa berhenti memikirkan semua kepingan acak tentang gadis itu?


Ia menoleh ke belakang, mempertimbangkan untuk pulang saja. Namun batinnya mengeluh. Ia sudah pergi sejauh ini dengan mengabaikan rasa pusing yang melahap setengah kesadarannya. Kalau ia pulang apa gunanya menahan rasa sakit selama perjalanan.

Ia hanya akan naik turun bus untuk pulang ke apartemen dengan membawa kepingan misteri tentang Andrea. Tidak, ia tidak ingin pulang tanpa hasil. Lagipula ia paling tidak suka terjebak dalam rasa penasaran. Ia selalu mencari tahu semua yang tersembunyi. Baginya selalu ada alasan untuk sebuah rahasia.


Akhirnya ia mengabaikan logikanya. Ia terus melangkah maju hingga sampai di depan pintu kayu bergaya vintage. Saat ia mendorong pintu, suara lonceng bergemerincing dari atas kepalanya. Ia langsung berjalan menuju kasir tepat dimana Andrea menyapanya dengan ramah.


Namun sedetik kemudian sikap Andrea berubah drastis, senyumnya menghilang dan keramahan di wajahnya memudar saat menyadari pelanggan yag baru saja datang adalah dirinya. Gadis itu berdeham, menatapnya malas.


“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?”


Minhyuk beralih menatap daftar menu yang berdiri di sampir meja kasir. Namun tulisan serta gambar di dalam daftar menu terlihat melayang ke sana kemari. Ia menggelengkan kepala, berusaha untuk mempertahankan kesadarannya.


“Mau pesan apa?” Suara dingin Andrea kembali terdengar, ia segera berpaling dari daftar menu.


Lantai tempatnya berpijak seakan bergoyang, seolah bumi memang baru saja bergoncang. Ia menatap Andrea, namun pandangannya mulai menggelap. Rasa pusing semakin gencar melahap kesadarannya, membuat ia kesulitan untuk mengendalikan diri. Wajah Andrea terlihat kabur, suara mengomel gadis itu pun timbul tenggelam, dan ia mulai kesulitan untuk bernapas.


Selanjutnya ia merasa sudah tak kuat mempertahankan diri, kakinya lemas sampai akhirnya ia ambruk. Orang-orang di sana nampak terkejut, buru-buru mengerubungi Minhyuk yang jatuh pingsan. Sementara itu Andrea bergeming di tempatnya, kejadian barusan rupanya membuat gadis itu sangat terkejut.


TBC 

Comments

Popular Posts