Freeze #1 (mysterious room)
Main Cast = Lee Taeyong, Hana (oc)
Genre = Romance, sci-fi (?)
Length = Series
Author = Salsa
Ketika Hana terbangun dari tidur
panjangnya, ia seratus persen yakin sudah berada di surga. Ruangan di
sekelilingnya bercat putih, seprai yang ditidurinya berwarna putih, bahkan baju
yang dipakainya pun putih. Sinar berkilauan masuk lewat celah kaca dan menyinari partikel-partikel debu di dekat kakinya.
Saat Hana hendak menyibak
selimut, pintu di hadapannya terbuka dan seorang anak kecil berteriak delapan
oktaf di depan mukanya dengan mata membelalak. Anak itu berlari mundur sampai
tersandung kakinya sendiri sebelum akhirnya membanting pintu dan menjerit pergi.
Hana sejenak menyangsikan apa ia
benar berada di surga. Kalau benar, maka tergolong apa bocah laki-laki tadi?
Tidak mungkin ada malaikat berisik begitu, kan? Atau mungkin ada?
Gadis itu duduk di pinggir
ranjang dan menoleh ke sana kemari untuk mendapatkan petunjuk. Di mana dia? Sudah
mati belum? Di mana orangtuanya? Siapa bocah tadi? Sudah berapa lama dia di
sini? Rasanya lama sekali. Kalaupun dirinya ternyata masih hidup, Hana yakin ia
bisa menemukan mobil terbang di luar sana, atau tak sengaja menginjak pamflet
liburan ke Pluto saat sedang berjalan.
Saat itu, pintu masuk terbuka
lagiākali ini dengan gerakan pelan nan manusiawi. Hana menanti dengan sabar
sebelum akhirnya seorang wanita berperawakan tinggi masuk sambil tersenyum
penuh syukur. Di belakangnya, bocah yang tadi berteriak bak Whitney Houston itu mengintip-intip
sambil memegangi baju sang wanita. Wanita itu memakai baju terusan berwarna
jingga dengan rambut digelung tinggi.
Di atas ranjang, Hana sibuk
berpikir apa wanita berbaju jingga itu merupakan bidadari surga atau bukan. Oh,
Hana tahu betapa konyol dirinya sekarang. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tak bisa
memerintah otaknya untuk berhenti mengasosiasikan segalanya dengan surga. Sebab
satu-satunya hal yang mampu diingatnya saat ini hanyalah ledakan besar, dan
kematian.
Apa jangan-jangan ini semacam dunia roh?
Mustahil aku masih hidup, kan?
āSyukurlah akhirnya kau siuman.ā
āM-maaf, siapa Anda?ā
āOh, perkenalkan. Saya yang
mengurus rumah singgah ini. Panggil saja Bunda Sejeong.ā Wanita itu tersenyum
ramah.
āN-nama saya Hana.ā
āNama dan wajahmu, keduanya cantik
sekali,ā pujinya. āKebetulan semua anak sedang berkumpul untuk sarapan. Sebelum
kita bicara, mari sarapan dulu.ā
Hana mengangguk (dan sungguh ia
memang kelaparan), lantas tak sengaja bertemu pandang dengan anak kecil di
belakang Bunda Sejeong. Bocah itu menyembunyikan sebagian besar wajahnya di
punggung sang wanita, seraya bolak-balik mengintip ngeri.
āHei, ayo perkenalkan siapa
namamu!ā suruh Bunda Sejeong kepadanya. Namun anak itu malah menggeleng-geleng
di punggungnya.
āAyo, kenapa malah malu-malu
begini di depan kakak cantik?ā
āAku tidak mau memperkenalkan
diri kepada hantu.ā Bocah itu berteriak sebelum mengenyakkan kembali seluruh
wajahnya ke punggung sang wanita. Mencengkeram bajunya erat-erat. Bunda Sejeong
meringis menahan sakit.
āA-aku hantu?ā desis Hana.
Matanya terbeliak. Di saat seperti ini, ia bisa percaya apa saja.
āAduh. Jangan didorong! Punggung
Bunda sakit.ā Bunda Sejeong berusaha menarik bocah laki-laki itu, namun pelukannya
malah semakin erat.
āOh, baiklah.ā Bunda Sejeong
menyerah. Matanya kembali menatap Hana dengan ramah. āBagaimana kalau kita ke
aula makan sekarang?ā
āY-ya.ā
**********
Aula makan di rumah singgah itu
amat luas, sangat bertolak belakang dengan jumlah penghuninya yang sedikit.
Saat Hana masuk, semua orang berhenti beraktivitas dan menoleh padanya dengan
tatapan tak percaya yang beraneka ragam. Ada yang terlihat ketakutan, namun ada
pula yang tersenyum sumringah. Sulit untuk menebak apa yang sebenarnya mereka
pikirkan.
āAnak-anak, harap perhatiannya.
Bunda ingin memperkenalkan kalian dengan Kakak Hana. Dia akan ikut sarapan
dengan kita pagi ini.ā Bunda Sejeong berusaha memecah kesunyianādan gagal.
Semua anak masih menampilkan ekspresi yang sama. Terkejut dengan caranya
masing-masing.
āBaiklah, selamat makan,ā kata Bunda
Sejeong lagi. Lantas menggiring Hana ke salah satu meja.
Selama makan, Hana masih bisa
merasakan tatapan anak-anak di belakangnyaādi sekelilingnya. Tatapan itu
membuat Hana merasa seolah hidungnya menempel di tempat yang salah. Apa yang
membuat mereka memandanginya begitu aneh?
Mayoritas dari anak-anak di rumah
singgah ini berusia sembilan sampai dua belas tahun, sementara sisanya masih
sangat kecil. Seperti bocah Whitney
Houston di sebelahnya iniāyang ternyata bernama Cho Jeha. Ya, dia sudah
berani memperkenalkan diri, lengkap dengan umur, hobi dan cita-cita. Dia sudah
berani menatap Hana dan bahkan sekarang sudah menusuk-nusuk tangannya dengan
garpu bekas spageti. Sekadar meyakinkan diri bahwa kulit Hana tidak tembus alias dia-benar-benar-bukan-hantu.
āJadi, apa yang kau ingat?ā tanya
Bunda Sejeong selepas sarapan. Mereka berjalan beriringan di koridor rumah
singgah entah menuju ke mana.
āSaya ingat kecelakaan itu. Saya
ingat mobil kami menabrak pembatas jalan, berguling dahsyat sebelum akhirnya
meledak danā¦.,ā Hana tertohok. Ingatannya menusuk tajam sekali. āā¦dan
orangtuaku masih di dalam.ā
Langkah Hana terhenti. Matanya
bergetar dan ia memandang Bunda Sejeong seolah sedang memohon, āA-aku ingat aku
berlari untuk meminta pertolongan. A-apa ada yang menolong mereka?ā
Bunda Sejeong langsung
mengangguk, berulang kali, namun sinar matanya redup dan Hana tak mau mendengar
wanita itu bicara. Ekspresi semacam itu tak mungkin dikeluarkan sebagai
pengantar berita baik.
āMereka tak mungkin selamat,
kan?ā kata Hana.
āKau tidak kehilangan keduanya.
Dokter sedang berusaha menyelamatkan ibumu. Kondisinya sedang kritis.ā
Air mata Hana bergulir turun,
tetes demi tetes, sebelum akhirnya semakin banyak dan tak terbendung. Hana
menjatuhkan dirinya ke lantai dan menangis menjerit-jerit.
āHana, sayang, dengarkan Bunda.ā
Bunda Sejeong berlutut di depannya.
āBagaimana jika ibuku juga tidak
selamat? Aku akan sendirian. Mereka satu-satunya yang kupunya. H-harusnya kami
sedang liburan. Kenapa malah begini? Kenapaā¦. kenapa Tuhanā¦ ā Hana meraung.
āā¦jahat sekali?ā
āHush, tidak boleh bicara begitu.
Segalanya terjadi bukan tanpa alasan.ā
āAlasan apa? Untuk membuat
hidupku menderita?ā
āHanaā¦ā
āBagaimana kalau ibuku tidak
bangun juga? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau tinggal sendiri.ā
āKau punya aku.ā
āAku tidak mau bersama siapa pun
kecuali orangtuaku.ā
āHana..ā
āAku tidak mau. Aku tidak mau
tinggal denganmu. Aku tidak akan membiarkan orangtuaku meninggal. Ayah dan ibu,
tidak ada yang boleh meninggal.ā
**********
Hujan turun amat lebat di tengah
malam. Hana bergonta-ganti posisi tidur sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Ia
sudah menghabiskan dua hari penuh untuk menangis dan mendiamkan semua orang di
rumah singgah.
Tadi pagi, Bunda Sejeong
memberitahunya bahwa besok jenazah ayahnya akan dikremasi. Salah satu kolega
ayahnya bersedia membiayai semua prosesi pemakaman tersebut. Dan jika sesuatu
yang lebih buruk terjadi, ia bahkan sudah menawarkan diri untuk mengadopsi Hana
juga.
Hana tak menjawab. Selama mereka
bicara, sosok Bunda Sejeong dalam pandangannya buram terhalang air mata. Wanita
itu berusaha memeluknya namun Hana langsung melengos ke posisi tidur, lantas
bergumam memintanya pergi.
Bukannya tidak berterima kasih,
tapi ia tak mau ayahnya dikremasi, tidak mau ibunya kritis, tidak mau diadopsi,
tidak mau jadi yatim piatu. Hana masih sangat kesulitan untuk menerima ini
semua. Minggu lalu, ia masih bersiul-siul di dalam kamarnya sambil mengemas baju-bajunya
ke koper. Antusias luar biasa karena esok akan menjadi liburan pertamanya tahun
ini.
Mereka berangkat pagi-pagi sekali
dari Seoul menuju perkampungan tradisional di daerah Gyeongju. Namun di tengah
jalan, tak disangka-sangka sebuah insiden mengerikan terjadi. Hana yang
ketiduran di jok belakang refleks terbeliak begitu mendengar bunyi klakson
panjang diiringi suara ibunya yang menjerit. Mobil mereka berputar ke kiri
dengan sangat kencang dan dirinya yang tidak memakai sabuk pengaman terlempar ke
luar dari pintu mobil yang menjeblak terbuka. Hana terhempas ke trotoar
sementara mobilnya menabrak pembatas jalan dan berguling-guling di perbukitan.
Dengan rasa terkejut dan takut yang luar biasa, Hana bangkit.
Tanpa menghiraukan rasa sakit di sekujur
tubuhnya, ia berlari mencari bantuan, dan hal selanjutnya yang ia tahuā¦ ia
terbangun di suatu pagi dan mengira dirinya sudah berada di surga.
Malam itu, di antara bising
hujan, Hana menyadari bahwa sikapnya sekarang tak akan membuat kehidupannya normal kembali. Pada akhirnya, ia harus belajar ikhlas dan menerima kenyataan. Lagian,
tidak adil jika ia melampiaskan kekecewaannya pada Bunda Sejeong.
Selama berjam-jam, Hana hanya
terus memikirkan orangtuanya sambil menyeka air mata. Hatinya terasa berat
sekali, seakan ada ribuan batu di dalamnya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua
pagi saat Hana meliriknya. Ia berusaha menahan kesedihannya dan memejamkan
mata. Tapi semakin kuat ia memejam, semakin tak bisa tidurlah ia. Otaknya
melolong menyuruhnya memikirkan ini dan itu, tak lupa membisikkan kata-kata
jahat. Kau sudah menjadi anak yatim,
sebentar lagi akan jadi yatim piatu.
Saat sedang gelisah memikirkan
itu, tiba-tiba saja seluruh lampu padam. Hana refleks terlonjak bangun. Ia tak
bisa melihat apa-apa, dan suara hujan di luar mendadak terdengar mengerikan.
āB-bunda Sejeong?ā Hana berseru. Detik
selanjutnya, suara petir terdengar, menggelegar seolah sedang menjawabnya.
Gadis berusia lima belas tahun itu sontak ikut berteriak, ia menyembunyikan
diri di balik selimut dan berguling ketakutan sebelum akhirnyaāBRAKKāterjatuh
dari tempat tidurnya yang kecil. Sambil menahan sakit, Hana pelan-pelan
berdiri, ia terus memanggil Bunda Sejeong dan Jeha dengan suara bergetar.
Ketakutan Hana akan gelap dan
hujan membawanya keluar kamar, ia mengalungkan selimutāmenjadikannya jubahādan
berjalan pelan melewati koridor rumah singgah yang gelap nan licin. Pohon-pohon
melambai seram, dan kamar-kamar di sepanjang lorong terlihat berhantu. Hana memejamkan
matanya kuat-kuat, napasnya tersengal dan kakinya serasa melayang.
āB-bunda Sejeong? J-Jeha? Kalian
di mana? A-aku tidak bisa tidur,ā serunya takut-takut.
Lorong-lorong di depan Hana
seolah memanjang dan tak berujung. Dalam hati, Hana menyesali keputusannya
untuk keluar kamar, ia kira ia bisa menemukan Bunda Sejeong atau anak-anak lain
pada kamar-kamar di sebelahnya, namun setelah Hana melongok, ternyata semua
kamar itu kosong. Sekarang ia sudah terlanjur jauh dari kamarnya sendiri. Hana
tak punya nyali baik untuk kembali maupun lanjut berjalan, jadi ia cuma berdiri
di sana, menggigil ketakutan, berharap Bunda Sejeong bisa menemukannya
hidup-hidup.
Saat itu, terdengar suara debuman
keras di belakangnya. Hana berjengit. Ia terus memanggil Bunda Sejeong dengan
sengau. Detik berikutnya, pintu aula terbuka dan bunyi kelontangan terdengar
mendekat dari dalam sana. Hana yang sudah gemetar hebat refleks berlari. Gadis
itu berlari tanpa arah, benar-benar pasrah pada kakinya, ia bahkan berbelok
menyeberangi lapangan, menerobos hujan seraya berteriak-teriak minta tolong
sampai urat lehernya keluar. Hana beberapa kali menginjak selimutnya dan nyaris
terjungkal. Tapi syukurlah ia tidak jatuh di tengah-tengah pelariannya itu.
Begitu Hana melihat sebuah pintu, ia merasa terselamatkan dan tanpa berpikir langsung mendobrak masuk.
Ditutupnya pintu itu dan bersandarlah ia di belakangnya. Hana menghirup napas
banyak-banyak, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup tidak
keruan.
Saat napasnya mulai tenang, Hana
baru sadar dia tidak sedang berada di kamar biasa. Ukurannya lebih luas dan
suhu di dalamnya dingin bukan main, rasanya seperti dimasukkan ke dalam kulkas,
mungkin lebih dingin lagi. Dan alih-alih tempat tidur, Hana justru menemukan
sebuah peti kaca besar yang berembun. Ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang putih
keperakan.
Detik itu, entah bagaimana, pikiran
Hana otomatis melayang ke satwa langka. Ia menerka-nerka binatang apa yang
mempunyai bulu putih keperakan dan berhabitat di tempat yang dingināberuang kutub jenis baru?
Jika bukan binatang, pastilah
sesuatu yang amat mahal dan berharga hingga mendapat perlakuan seistimewa ini.
Seraya mengeratkan selimut (yang
ujungnya sudah basah dan kotor), Hana berjalan pelan mendekati peti kaca itu. Suara gelegar guruh terdengar terus-menerus dari kejauhan.
Dan alangkah terkejutnya ia
begitu melihat apa yang berbaring di dalam sana. Hana terkesiap amat dalam sampai
dadanya terasa nyeri. Ini melenceng jauh dari dugaannya. Bukan barang, alih-alih binatang. Itu adalah manusia, seorang pria tepatnya. Pria itu aneh sekali,
kulitnya pucat dan rambutnya berwarna putih menyala. Ia sedang tertidur, atauā¦
tunggu, jika wajahnya sepucat itu,ā¦ bisa jadi dia...
Tiba-tiba saja matanya terbuka
dan Hana sontak menjerit. Sang makhluk misterius segera mendorong kaca penutup
petinya dan menarik tangan kiri Hana yang berbalut selimut.
āShhh,ā bisiknya, ātolong diam.ā
āYa Tuhan, ya Tuhan, kau bicara.ā
Hana bicara seperti orang asma. āYa Tuhan, ya Tuhan, ini pasti mimpi.ā Sang
gadis menampar pipinya keras sekali sampai pria di depannya meringis.
Hana terkesiap begitu merasakan
pipinya berdenyut sakit. āI-ini bukan mimpi. Ya ampun, ya ampun,ā ucapnya
semakin histeris.
āBenar, kau benar, ini bukan
mimpi. Aku tahu aku aneh, tolong pelankan suaramu,ā desak sang pria. Ia menatap
Hana dengan mata abu-abunya yang dingin, yang berkelip-kelip seperti bintang.
āOh!ā Hana berkata dengan suara tercekat. Hatinya
mencelos. āAku tak pernah melihat sesuatu yang seindah itu.ā
āApa?ā
āMatamu.ā
Pria itu menyeringai dan
menatapnya sambil tersenyum.
āOh!ā Hana kembali tercekat. āItu bahkan lebih indah lagi.ā
Masih tersenyum, sang pria
mengangkat alisnya tak paham.
āSenyummu.ā
Mereka sama-sama terdiam. Keduanya berpandangan canggung
selama beberapa saat sebelum akhirnya dengan kompak mendenguskan tawa dan terkikik.
āOh!ā
āOkay, sekarang apa lagi yang
indah?ā
āT-tidak, aku hanyaā¦ tanganku
tiba-tiba terasaā¦.ā Hana menurunkan pandangannya pada tangan kirinya, begitu
pun sang pria. Dan seolah baru menyadari sesuatu, pria bermata indah itu
langsung melepas pegangannya dari selimut Hana. Wajahnya terlihat panik sekali.
Hana mengernyit melihat reaksinya itu. āK-kau baik-baik saja?ā
āYeah.ā
āOkay, maaf sudah menjerit. Aku
hanya benar-benar terkejut. Kau terlihatā¦ berbeda. Aku sempat berpikir kau
bukan manusia.ā
Pria itu cuma tersenyum.
āJadiā¦,ā kata Hana antusias. āKau
salah satu anak asuh di sini juga?ā
Sang pria tak langsung menjawab. Ia
menimbang-nimbang selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk dengan wajah
skeptis.
āBagus. Aku juga,ā sambut Hana
berseri-seri. Namun ekspresi itu tak bertahan lama, ia menggeleng dengan muram
dan menarik ucapannya, āTidak. Sebenarnya, aku bukan anak asuh. Aku tidak
tinggal di sini. Aku hanya menetap sementara.ā
Mungkin, karena dibilang
senyumnya indah, pria itu memutuskan untuk merespon semua ucapan Hana dengan
senyuman.
Hana melanjutkan, āBeberapa hari
yang lalu, aku dan orangtuaku mengalami kecelakaan tak jauh dari rumah singgah,
aku pingsan dan dirawat di sini sementara orangtuaku.ā¦ kau tahu,ā Hana tersedak
napasnya sendiri, ia bisa merasakan matanya memanas dan air matanya bergulir
turun di pipi. āā¦..ayahku tidak selamat dan ibuku kritis, itu artinya aku tidak
punya siapa-siapa sekarang.ā
Saat Hana mendongak, tangan sang
pria sudah nyaris menyentuh pipinya. Hana terpaku. Tangan yang kurus nan pucat
itu terus mendekat dan mendekat. Dan saat pipi Hana dan jemarinya sudah nyaris
tak berjarak, tiba-tiba saja lampu-lampu kembali menyala. Pria itu terperanjat dan langsung menarik tangannya.
āK-kau harus pergi.ā
āSekarang? Kita bahkan belum
kenalan.ā Hana menyeka air matanya dan memaksakan senyum.
āTidak perlu.ā
āKenapa?ā
āKarena kita tak akan bertemu
lagi.ā
Hana tertegun. āKenapa?ā
āDengar, aku yakin kau bisa masuk
ke sini hanya karena tidak sengaja. Jadi percayalah padaku, kau baru saja
melakukan kesalahan besar. Aku senang bertemu denganmu, tapi kumohon jangan
pernah ke sini lagi.ā
Hana mengernyit bingung. Ia ingin
bertanya ākenapaā lagi, tapi ia sudah mengatakan itu dua kali dan jawabannya
selalu tidak enak didengar. Tapi, bagaimana mungkin pria itu āsenang bertemu
dengannyaā tapi ātidak mau bertemu lagiā?
Hana berpikir sejenak sebelum
akhirnya bisa memahami ini semuaāsetidaknya, itulah yang ia pikir. Hana menatap
mata abu-abu sang pria dengan senyum ramah, āTidak apa-apa. Aku paham kau malu.ā
āMalu?ā
āYeah, maksudku, aku juga pasti
akan malu jika punya kebiasaan aneh sepertimu; tidur di akuarium, rambut dicat
putih, menaburi gliter ke mata sendiri. Itu konyol dan mungkin orang-orang akan
sulit menerimanya.ā Pria itu mengerutkan kening. Hana melanjutkan dengan wajah pengertian,
āTapi tidak denganku. Aku bersumpah aku melihat semua keanehanmu ini sebagai
keunikan. Kau tidak perlu malu padaku. Kau tahu, punya kebiasaan abnormal tidak
serta merta menjadikanmuā¦.ā
āCukup. Aku hargai usahamu untuk
menafsirkan situasi ini, tapi serius, kau tak mengerti.ā
āKalau begitu jelaskan.ā
āKau tak akan mengerti.ā
āAku tak sebodoh itu. Aku masuk
lima besar di kelas,ā tukas Hana tak terima.
āAku tidak bilang kau
bodoh. Hanya sajaā¦ ini tidak masuk akal. Kau tak mengerti betapa berbahayanya
aku. Aku bisa menyakitimu. Aku hampir menyakitimu. Aku tidak mau menyakiti siapa-siapa.ā
Hana mengabaikan ucapan menggebu
sang pria dan mengulurkan tangannya. āNamaku Hana. Dan saat kau menjabat
tanganku, kita resmi berteman.ā
āKeluar dari sini.ā
āAyolah, jangan takut!ā
āAku tidak takut.ā
āKalau begitu ayo jabat
tanganku.ā
āAku tidak bisa.ā
āKenapa tidak bisa? Anak-anak di
rumah singgah semuanya lebih kecil dariku, aku tidak punya teman untuk diajak
bicara. Kau satu-satunya harapanku.ā
Hana terlalu keras kepala dan
sepertinya tak ada cara lain untuk membuat gadis itu mengerti selain dengan
menunjukkannya. Ia menghela napas berat sebelum akhirnya menyambut tangan Hana
dan menjabatnya. Untuk beberapa saat, Hana tersenyum senang karena ia kira
ajakan pertemanannya diterima.
Tangannya dingin dan lembut seperti salju. Hana berpikir mungkin itu adalah pengaruh dari ruangan bersuhu tak
normal ini. Namun lima detik setelahnya, rasa dingin itu semakin menjadi-jadi.
āTanganmu dingin sekali, apa kau
yakin kau tidakā¦ā¦.AWW!ā Hana merasa seperti diestrum dan refleks menarik
tangannya.
Ia terbelalak sembari memandangi
telapak tangannya yang mati rasa. Ada ruam kemerahan super besar di sana dan
mendadak sekujur tubuhnya merinding ngeri.
āSekarang kau paham?ā kata sang
pria. āKeluar dari kamarku!ā
Ia memalingkan wajahnya dari Hana. āDan jangan pernah kembali lagi!ā
**********
Keesokan paginya, Hana muncul di
aula makan untuk sarapan. Semua yang ada di sana menoleh padanya, tapi yang
benar-benar bereaksi hanyalah Bunda Sejeong. Wajah wanita itu terlihat lega
sekali. Ia mengulurkan tangannya untuk memeluk Hana.
āMaafkan aku. Aku benar-benar
tidak sopan karena sudah berkata kasar dan mengacuhkanmu berhari-hari. Padahal
kecelakaan itu sama sekali bukan salahmu.ā
āTidak apa-apa, sayang. Bunda
tahu betapa beratnya semua ini bagimu.ā Bunda Sejeong mengelus kepalanya dengan
lembut sebelum menggiringnya ke salah satu meja.
Mereka pun duduk bersebelahan di
sana. āMakanlah yang banyak.ā
Hana tersenyum dan mengangguk.
āHari ini, rencananya tuan dan
nyonya Lee akan mengirimkan sopirnya untuk menjemputmu ke pemakaman. Tapi
jangan memaksakan diri, maksudku, jika menurutmu kau belum siapā¦.ā
āAku sudah siap,ā potong Hana,
berusaha terdengar tabah, tak lupa menyelipkan senyum simpulnya. āAku sudah
siap, Bunda tenang saja.ā
Bunda Sejeong tersenyum sedih,
kemudian mengusap punggung Hana seolah sedang menguatkan.
Sebagaimana tradisi di rumah
singgah, dua orang terakhir yang selesai makan bertugas mencuci piring-piring
kotor. Dan berhubung Jeha selesai terakhir, Hana dengan sukarela menawarkan
diri untuk menggantikannya. Ia mencuci dengan perempuan berumur sebelas tahun
bernama Somin. Wajah anak itu kecil sekali sampai-sampai Hana terus
memandanginya.
āHana eonni?ā
āYa?ā
āBagaimana keadaanmu? Kau merasa
lebih baik?ā
āYa, tentu saja,ā sahut Hana
heran. āKenapa kau bertanya begitu?ā
āKau dibawa ke sini dalam keadaan
pingsan. Dan Jeha memberi tahu kami semua, dari kamar ke kamar, bahwa Bunda
Sejeong memasukkan orang mati ke dalam kamarnya. Awalnya kami tak percaya, tapi
kami mengintip dan kau terlihat sepucat mayat. Kau juga tidak bangun seharian.ā
āAstaga, pantas saja kalian semua
menatapku begitu.ā
āMaafkan kami. Tapi sungguh,
eonni, aku senang kau sadar,ā kata Somin tulus.
āTerima kasih banyak.ā
āSama-sama.ā
āJadi,ā kata Hana sambil meremas
sponsnya. āSudah berapa lama kau tinggal di sini?ā
āIni tahun ketigaku. Bunda
Sejeong membawaku ke sini. Tadinya aku tinggal di jalanan bersama ibu-ibu
galak.ā
āIbu-ibu galak?ā
āYa. Jelek dan galak. Dia bukan
ibu kandungku. Aku tak tahu di mana ibu kandungku.ā Somin terus bercerita.
āYang pasti, tempat tinggalku sebelumnya sangat mengerikan; kumuh dan penuh
sesak. Kurang lebih dua puluh anak harus tidur di kamar kecil yang lantainya
terbuat dari semen. Hampir setiap hari selalu ada anak baru. Entah dari mana
asalnya. Kami disuruh bekerja siang malam.ā
Sembari mendengarkan, Hana menyodorkan piring yang sudah ia bersihkan, yang masih dipenuhi busa. Somin membilas piring-piring itu sambil tersenyum lebar pada Hana. āLalu aku kabur dan bertemu Bunda
Sejeong. Betapa beruntungnya.ā
Semua cerita Somin membuat Hana
tersentuh, dan lebih tersentuh lagi begitu melihat senyum penuh syukur gadis
itu. Hana juga ingin merasa sebersyukur Somin dalam hidupnya.
āDi sini aku punya banyak teman,
bisa makan enak dan disekolahkan. Bunda Sejeong adalah malaikat.ā
Hana termenung.
āJadiā¦.,ā kata Somin lagi. āApa
eonni akan tinggal di sini?ā
āAku masih belum tahu.ā
āTinggalah di sini! Semua orang
di sini sangat baik.ā
āTapi aku masih punya rumah di
Seoul. Dan aku masih punya harapan. Ibuku bisa saja bangun.ā
āBiarkan saja rumah itu! Dan ajak
ibu eonnie ke sini. Tinggalah bersama kami. Aku sangat ingin berteman dengan
eonnie, dan aku yakin anak-anak yang lain pun begitu.ā
Kalimat terakhir Somin
mengingatkan Hana akan kejadian super aneh yang dialaminya semalam. Ia
mengucapkan kalimat yang nyaris serupa kepada sesosok makhluk astral berambut
putih. Dan jawaban yang ia terima benar-benar... tidak menyenangkan. Oh, walaupun ruam merah di tangannya sudah
menghilang, rasa sakitnya masih terbayang jelas sekali.
āSomin,ā Hana mematikan keran air
yang sedang dipakai Somin. Anak itu pun praktis menoleh. āApa kau mengenal cowok
seumuranku di sini?ā
āMelvin?ā
āJadi, cowok rambut putih itu
namanya Melvin?ā
āRambut putih?ā
āYa. Aku bertemu dengannya
semalam. Aku sangat menyukai mata abu-abunya. Tapi dia agak aneh.ā
Somin mengernyit. āAku tak tahu
siapa yang kau bicarakan, eonnie.ā
Ia lantas melongok keluar
jendela. āItu! Yang baju merah namanya Melvin.ā
Hana mendongak untuk melihatnya. Anak yang dipanggil Melvin sangat tinggi, hampir sama tinggi dengannya. Dari jendela, mereka
dapat melihat anak laki-laki itu sedang mengejar Jeha yang tertawa
terbahak-bahak sambil membawa-bawa sebuah majalah.
āBukankah umurnya masihā¦ 12?ā
āAku tahu.ā Somin kembali
menyalakan kerannya. āTapi dialah anak laki-laki paling tua di rumah singgah.ā
āKau yakin?ā
āAku sudah tiga tahun di sini.ā
Hana mengangguk pelan. Namun dalam hati kebingungan setengah mati. Lalu siapa cowok semalam?
**********
Mobil yang akan mengantar Hana ke
makam ayahnya sudah datang. Bunda Sejeong sedang berbincang dengan sang sopir
sembari menunggu Hana bersiap-siap.
Namun sebenarnya, Hana sudah siap
dari tadi. Ia hanya terus mondar-mandir di depan pintu sambil berpikir keras.
Setelah sekian lama menimbang, ia akhirnya menetapkan pilihannya. Gadis itu
menarik napas panjang seraya mengangguk pada dirinya sendiri, seolah sedang
meyakinkan. Ia melirik ujung selimutnyaāyang kotor dan lembapāuntuk terakhir
kali sebelum membuka pintu kamar dengan pelan dan mengendap-endap melewati
bunda Sejeong dan sang sopir.
Ini memang terdengar bodoh, tapi
ia sudah memutuskan untuk menemui cowok misterius itu lagi sebelum berangkat.
Hana tak tahu di mana letak makam ayahnya dan jika ternyata makam itu terletak
di Seoul, maka kemungkinan besar ia akan langsung dibawa pulang ke rumahnya.
Lagian, liburan semesternya hanya tersisa tiga hari lagi. Hana tak punya alasan
untuk tetap tinggal di sini. Ia hanya ingin membuktikan bahwa apa yang
dialaminya semalam adalah nyata. Makhluk itu nyata.
Hana berlari secepat mungkin.
Lebih cepat. Sembari berusaha mengingat-ingat jalan yang ia lalui semalam. Ia
berhenti di setiap persimpangan dan selalu ragu saat berbelok. Jantungnya
berdegup cepat. Hana sudah cukup yakin bahwa dirinya tersesat, tapi masih saja
berlari. Rasanya ia tak punya pilihan lain.
Setelah bicara dengan Somin, Hana
merasa semakin penasaran. Ia yakin seratus persen apa yang ia lihat semalam
bukanlah mimpi. Ia bahkan tak bisa tidur karena telapak tangannya
berdenyut-denyut. Apa mungkin otaknya berhalusinasi karena terlalu sedih? Tapi
kalau benar itu hanya imajinasi, kenapa selimutnya kotor?
Saat sedang berpikir begitu, ia
mendengar Bunda Sejeong memanggil-manggil namanya dari kejauhan. Hana seketika
berhenti berlari. Ia memandang sekeliling dengan putus asa sebelum akhirnya memutuskan
untuk menyerah dan kembali.
**********
Tanpa Hana ketahui, sosok yang ia
cari-cari tengah mengawasinya dari lubang kecil ventilasi. Ia memanjat lemari
dan memandangi Hana berlarian ke arah yang salah. Dan saat sang gadis tak lagi
terlihat, ia menjauhkan wajahnya dari lubang tersebut dan mendesah sedih.
Pria itu melompat dari atas
lemari, kemudian menyandarkan bahunya di sisi tembok. Menghela napas. Ia
seharusnya merasa lega. Namun nyatanya sedikit pun ia tak merasa demikian. Yang
ada justru rasa kecewa dan hampa. Sejujurnya, sebagian dari hatinya berharap
Hana bisa menemukannya (lagi).
Dan untuk makhluk sepertinya,
keinginan tersebut amatlah egois.
TBC
G tau kenapa nulis pas lagi liburan itu lebih susah daripada nulis pas lagi
kuliah. Aku nulis dear my rival pas lagi UAS (sambil belajar, sebelum
berangkat, bahkan di belakang kertas soalnya!! wkwk) dan itu lancar bgt. Tapi ini
libur 7 minggu malah g produktif sama sekali, kerjaannya streaming film doang :ā(
sia-sia banget duh
Mari mengheningkan cipta dan berdoa supaya ff ini g terbengkalai. /sigh
Selamat akhir pekan semuanya (/^ā½^)/
Comments
Post a Comment