Freeze #4 (touch touch)



Perlu beberapa hari bagi Hana untuk meyakinkan Taeyong tentang sarung tangan kedap suhu buatan Wooseok. Dia tak percaya. Dan tak mau ambil risiko.


“Kalau ternyata aku bisa merasakan dingin, aku janji akan langsung menarik tanganku.”
“Bagaimana aku tahu kalau kau berkata jujur? Bisa saja sebenarnya tanganmu sudah kebas saking dinginnya tapi kau tetap tak mau melepasku karena takut melukai perasaanku.”


“Ya ampun. Aku tak mungkin begitu.”
“Hana, apa kau menyayangiku?” tanya Taeyong sungguh-sungguh.


Hana tercekat. Mendengar kalimat semacam itu dari pria bermata sendu benar-benar membuat kepalanya kacau. Tubuhnya tegang dan hatinya mulai berdebar dalam tempo yang aneh.


“K-kenapa kau bertanya begitu?”
“Karena Eomma juga menyayangiku dan dia senantiasa berbohong demi aku.”


Debaran aneh di hati Hana mulai mereda. Ternyata maksudnya sayang yang seperti itu. Apa yang sudah kupikirkan?


“Eomma-ku…,” kata Taeyong gusar, “dia selalu menahan dingin saat menyentuhku, selalu bilang ‘Eomma tidak merasakan apa-apa’, tapi saat kulihat tangannya, semuanya biru. Bahkan ada yang menghitam.”


“Aku jadi refleks mengelak tiap kali tangannya terulur. Aku takut menyakitinya, Hana. Sangat takut. Menyentuhmu pun begitu. Dengan alat apa pun, aku tidak berani.”


“Tapi alat ini buatan Wooseok Oppa! Dia itu ilmuwan paling…”
“Aku tak mungkin bisa percaya lagi,” sela Taeyong. “Kau pasti akan bilang tidak dingin, padahal….”
“Kalau memang dingin ya kubilang dingin, kalau tidak ya tidak,” Hana balik menyela tak sabaran. “Ayolah. Aku bukan Eomma-mu. Kau harus percaya padaku. Aku bersumpah.”


“Tidak,” tolaknya.
“Taeyong…”
“Hana, jangan paksa aku!”
“Tapi..”
“TIDAK.”


Hana akhirnya menyerah. Tak ada gunanya meyakinkan seseorang yang hatinya sudah tertutup. Ia mengempaskan tubuhnya ke sofa dan menatap Taeyong sebal. Padahal sarung tangan tersebut sudah lulus uji di Stein Lab, sudah berhasil mengantar Wooseok diterima di sana.


Andai saja ada sesuatu yang bisa membuka hati yang tertutup itu….andai ada sesuatu yang bisa membuatnya yakin….


Saat sedang berpikir begitu, Hana mendadak teringat dengan es krim di tasnya. Wajahnya langsung berseri-seri.


“Hei, ayo uji coba apa alat ini benar-benar berfungsi!” kata Hana. Taeyong sudah siap protes, sudah siap untuk bilang ‘aku tak mau menyentuhmu’, namun Hana mengeluarkan sebungkus es krim cair dari tasnya dan Taeyong mendadak lupa apa yang ingin ia katakan.


“Kenapa sih dari tadi tak bilang kalau punya es?” Taeyong berseru. Dengan sigap ia berjalan menghampiri Hana dan hendak merebut es krimnya, namun gadis itu malah menyembunyikannya di belakang punggung.


“Pakai sarung tangan itu lalu sentuh esnya, kalau tidak beku berarti alatnya berfungsi.”
“Konyol sekali.”
“Kau yang konyol kalau tidak mau coba. Aku sudah susah-susah minta alat ini pada Wooseok Oppa, tapi malah tidak mau kau pakai. Aku sampai berbohong macam-macam padanya, tahu tidak.”


Taeyong menatapnya dengan pandangan mencela. “Bukannya kau memang hobi berbohong, ya?”


Hana hendak protes, namun Taeyong menyambar sarung tangan di tangannya dan langsung dipakai. Ujaran protes Hana menghilang di tenggorokan dan berganti menjadi senyum lebar.


“Nah, begitu dong! Aku merasa bodoh sekali sudah membujukmu macam-macam, harusnya dari tadi saja kukeluarkan es krimnya. Kau langsung gelap mata.”


Taeyong cuma mendengus. Ia tak mengerti maksud Hana. Matanya tidak gelap. Tapi apa pun itu, biarlah, pikirnya. Toh ia tetap yakin bisa membekukan es krim pujaannya itu dengan atau tanpa sarung tangan.


Setelah sarung tangannya terpasang, ia merebut es krim di tangan Hana dan memeganginya selama beberapa detik. Namun karena tak kunjung ada perubahan, ia menggenggamnya lebih erat sembari memandanginya penuh konsentrasi. Melihat itu, sudut bibir Hana tertarik tipis.


“Kau percaya padaku sekarang, huh? Sudah kubilang Wooseok Oppa itu genius.”


Taeyong mengabaikan Hana dan terus mencoba. Menggenggamnya dengan dua tangan. Tambah konsentrasi. Lebih banyak konsentrasi. Pegang lebih erat. Lebih erat lagi. Semakin erat. Remas.


“Cukup. Kau menghancurkan es krimnya.”


Taeyong berhenti dan memandangi makanan super enak itu dengan heran. Satu-satunya hal yang terjadi pada es krim tersebut hanyalah teksturnya yang menjadi semakin lembek, berantakan tak keruan. Biasanya, sekalipun terhalang kain atau selimut, rasa dinginnya tetap akan merambat menembus benda-benda itu. Sarung tangan ini jelas berbeda. Taeyong menolehkan kepalanya pelan-pelan ke arah Hana dengan tampang bodoh. “B-bagaimana bisa?”


“Jangan tanyakan padaku! Bukan aku yang buat,” kata sang gadis, kemudian mengulurkan tangan. “Sekarang lupakan es krim itu dan jabat tanganku.”


“J-jabat tangan?”
“Iya. Ayo!”
“Entahlah, bagaimana kalau sarung tangan ini hanya berfungsi pada es krim?”


Hana bosan sekali mendengar Taeyong mencari-cari alasan. “Oh, ayolah, tidak akan terjadi apa-apa padaku. Sarung tangannya berfungsi. Kau butuh bukti apa lagi, sih?”


Taeyong tak menjawab.


“Ingat tidak? Tujuh bulan yang lalu, kubilang setelah berjabat tangan, kita akan resmi berteman. Kau tak mau berteman denganku?”


“Kukira kita sudah berteman?”
“Memang sudah, tapi belum resmi.”


Taeyong nampak ragu-ragu. Ia memandangi sarung tangannya dengan bimbang, kemudian menoleh pada Hana dengan sebelah alis naik, “Entahlah.. aku…”


Hana yang sudah kepalang lelah dengan sikap skeptis Taeyoong langsung menyambar tangan si pria—yang terkejut sekali sampai matanya nyaris copot—dan menjabatnya erat-erat.


“Hana, lepaskan!”
“Kita resmi berteman sekarang.”
“K-kau tidak dingin?”


Hana menggeleng. Muka Taeyong perlahan-lahan berubah dari tegang menjadi penuh harap.


“Serius?” tanyanya, masih takut untuk gembira.
“Aku bersumpah.”


Bibir Taeyong berangsur-angsur melengkung ke atas. Ia memindahkan tangannya yang berbalut sarung tangan ke pipi Hana. Dengan gerakan yang pelan sekali. Kemudian tersenyum semakin lebar. Wajahnya berseri-seri dan cerah bak matahari. Hana ikut gembira melihatnya. Taeyong semakin berani. Sedikit demi sedikit, gerakan pelan dan hati-hatinya menjadi lebih liar. Gadis itu pasrah saja saat mukanya ditepuk-tepuk, saat rambutnya diacak-acak, atau hidungnya dijepit sementara Taeyong tak henti-henti terkikik.


“Ini hebat.”
“Cukup.” Hana menarik tangan Taeyong dari hidungnya.
“Ada apa? Apa kau kesakitan?” Taeyong seketika panik lagi.
“Oh, kau mau tahu rasanya mukamu diaduk-aduk? Kau pikir aku ini adonan, ya? Sini berikan padaku! Biar kau rasakan sendiri.” Sebelum Taeyong sempat menjawab, Hana sudah merebut sarung tangan di tangan kirinya dan memakai benda tersebut di tangannya sendiri. Sekarang, masing-masing dari mereka memakai sebuah sarung tangan.


Begitu terpakai, Hana langsung menjulurkan tangannya, balas menjepit hidung Taeyong. Taeyong menjerit tertahan, berusaha menghindar dari tangan sang gadis yang amat gesit. Mereka saling mendorong dan menangkis tangan satu sama lain sambil tertawa terbahak-bahak. Taeyong gembira bukan kepalang. Ia merasa normal.


“Andai aku bisa menggunakan ini di depan Eomma,” kata Taeyong begitu keduanya berhenti. Taeyong menunduk menatap sarung tangannya, masih sumringah.


Di hadapannya, senyuman Hana berangsur-angsur menghilang. “Kalau kau mau….”


“Aku cuma bilang andai,” sela Taeyong. “Aku cukup tahu diri, kok. Begini saja sudah anugerah besar. Aku tak akan minta lebih.”


“Tapi…”
“Lagian aku tak mungkin mengarang cerita padanya kalau sarung tangan ini jatuh dari langit…” Taeyong mendenguskan tawa. “Aku bahkan tak bisa melihat langit.”


“Aku akan cari cara.”
“Satu-satunya cara adalah jujur pada Eomma kalau kita berteman, tapi itu tidak mungkin.”
“Kenapa sih selalu bilang tidak mungkin? Kalau Wooseok Oppa saja bisa membuat alat secanggih ini, kenapa jujur pada Eomma-mu saja kita tak bisa? Demi Tuhan, Taeyong, kita cuma perlu bicara. Aku yakin Bunda Sejeong tak akan sekeras itu.”


“Hana… kau tidak kenal Eomma-ku.”
“Aku tahu Bunda Sejeong adalah manusia berhati malaikat.”
“Percayalah, hati malaikatnya akan hilang begitu tahu ada yang macam-macam denganku. Siapa pun itu. Termasuk kau.”


“Aku tidak macam-macam.”
“Kau mencuri kunci.”


Hana tertegun, “Benar juga.”


“Aku adalah rahasia besar, Hana. Kau tak mengerti. Tak ada yang boleh melihatku, tapi kau malah masuk ke sini. Kita malah berdiri berhadapan dan saling menyentuh dengan alat keren ini. Aku tak tahu apa yang akan Eomma lakukan padamu. Kau bisa jadi satai.”


“Bagaimana kita tahu kalau belum mencoba? Tak mungkin dia menjadikanku satai.”
“Okay, mungkin bukan satai, tapi daging cincang.”
“Taeyong, aku serius!”
“Hana, aku juga! Kalau sudah dicoba dan ternyata gagal, memangnya kau mau meninggalkan aku?” kata Taeyong tajam. Ia selalu mengagumi sikap optimis Hana dalam memandang segala sesuatu, tapi tidak semua hal bisa teratasi dengan keyakinan hati. Mereka harus memikirkan peluang kegagalannya juga. Mereka harus memikirkan risikonya. Taeyong melanjutkan dengan suara memelan, “Aku sudah sangat terbiasa dengan kehadiranmu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya sendirian lagi.”


“Aku tahu. Tapi apa gunanya punya sarung tangan sehebat ini kalau tidak bisa membantumu sama sekali? Eomma-mu jauh lebih membutuhkannya ketimbang aku. Sudah berapa lama kau tak mengizinkan Bunda Sejeong menyentuhmu? Mungkin jika kita bilang baik-baik, dan jika kita tunjukkan alat ini, dia akan paham.”


“Tidak, dia tidak akan paham.”
“Kau tahu apa masalahmu?” tukas Hana. “Kau tak pernah setuju dengan ucapanku.”
“Tidak, aku tidak begitu.”


Hana mendecakkan lidah. Pria itu baru saja tidak menyetujui ucapannya lagi.


“Oke, baiklah. Terserah apa katamu.” Hana angkat tangan. Tak ada gunanya membantu seseorang yang tidak mau dibantu. “Sekarang apa yang mau kau lakukan? Aku bawa komik terbitan ke-13 jika kau mau dibacakan. Aku juga bawa laptop dan film Spider Man. Atau jika kau mau lanjut belajar hari ini… aku akan dengan senang hati mengajarkan. Jadi, apa yang mau kau lakukan?”


“Aku mau nonton saja. Kau bisa tinggalkan komiknya di sini. Aku….kurasa aku sudah bisa baca sendiri.” Hana mengangkat alisnya, terlihat keberatan dengan kalimat terakhir sang pria. Melihat reaksi Hana, Taeyong buru-buru menambahkan, “Tidak selancar kau tentu saja. Tapi aku sudah bisa mengeja.”


“Kau yakin tidak mau kubacakan?”
“Tentu. Jangan remehkan kemampuan mengejaku, ya!”


Hana terkekeh. Ia kemudian membuka ranselnya, mengeluarkan laptop beserta dvd. Tak lupa memberikan komiknya pada Taeyong. Taeyong meletakkan komik itu di atas peti tidur, lantas bergabung dengan Hana—duduk di sebelahnya di atas sofa.


Film pun dimulai.


Selama nyaris dua jam, Taeyong tak henti berkomentar. Tentang apa saja. Apa saja yang menurutnya menarik.



Jadi, Peter juga sekolah sepertimu, Hana?


Kenapa mereka tidak pakai seragam?


Apa kau dijemput dengan bus sekolah juga?


Apa teman-temanmu ada yang jahat seperti itu?



Sampai akhirnya.....


“Menakjubkan! Sudah kubilang, dari awal firasatku jelek pada Mr. Osborn. Dan lihat jadi apa dia!” seru Taeyong begitu filmnya habis. Hana memandanginya sambil berpikir ‘bukan firasat jelek namanya kalau kau sudah baca komiknya’, tapi ia tak mengucapkan itu karena tak mau merusak suasana hati Taeyong.


“Walaupun aku sudah yakin Spider Man bisa mengalahkan Goblin, tapi tetap saja melihatnya langsung membuatku terpukau! Dia melompat dari gedung ke gedung, bergantungan dan mengeluarkan jaring dari tangannya seperti ini.” Taeyong berdiri dan melompat sambil menjentikkan jarinya pada lemari—tak ada yang terjadi, tentu saja, tapi pria itu tetap kelihatan girang sekali.


Taeyong berkomentar dan memuji Peter Parker tak habis-habis. Kemudian setelah beberapa menit, ia akhirnya mengakhiri rentetan pujian itu dengan gumam terpana. “Dia keren sekali.”


Hana tersenyum geli. “Kau tak akan mencari laba-laba setelah ini, kan?” guraunya sambil memasukkan laptop dan dvd-nya kembali ke tas.


“Oh, Hana, mentang-mentang aku tak sekolah kau pikir aku ini bodoh, ya?”


Bukan bodoh tapi polos, batin Hana. Ia mempercepat adegan-adegan ciuman di film karena takut Taeyong bertanya macam-macam. Mungkin inilah alasan mengapa para orangtua tak mau menonton berdua dengan anaknya. Hal-hal seperti itu lebih baik mereka cari tahu sendiri. Tunggu, kenapa aku berpikir begini? Taeyong bukan anakku! Dan mungkin anak itu tidak sepolos yang ku…


“Supaya bisa jadi Spider Man, aku harus digigit oleh laba-laba yang ada di laboratorium sains.” Taeyong melanjutkan dengan serius. Hana menghela napas. Okay, dia memang sepolos itu.


“Bukankah kakak angkatmu kerja di lab?”
“Wooseok Oppa? Ya, sudah kubilang dia ilmuwan muda yang hebat,” jawab Hana bangga. Ia berdiri seraya mengayun tasnya ke punggung, lalu kembali menatap Taeyong. “Stein Lab, nama tempat kerjanya.”


“Peringatkan dia untuk tidak melakukan percobaan aneh dengan formulanya. Kau lihat bagaimana Mr. Osborn berubah jadi Goblin, kan?”


Hana memutar mata. “Okay.”


“Dan tanyakan padanya jika dia melihat laba-laba di sana.”
“Jangan bilang kau mau jadi Spider Man!”
“Siapa yang tidak mau?”


Hana mendecakkan lidah. “Kau tahu itu cuma film, kan? Mustahil punya kekuatan seperti itu di dunia nyata.”


“Kenapa mustahil?” sangkal Taeyong. “Kau tak pernah berpikir apa yang membuatku jadi begini?”


Hana terdiam. Dia sudah lama sekali tidak memikirkan itu. Mungkin dari awal pun tak pernah. Tiba-tiba saja ia menerima keadaan Taeyong seolah keganjilan di tubuh anak laki-laki tersebut sudah sepatutnya ada.


“Aku tak beda jauh dari Spider Man, kan? Maksudku, kami sama-sama tak normal. Bedanya, Spider Man menggunakan keabnormalannya untuk menjadi pahlawan.” Taeyong menjeda, mendengus pendek dan mengulum senyumnya. “Sementara aku pecundang.”


“Taeyong….”
“Tidak. Tidak masalah.” Taeyong menyela lagi. “Kau tahu, aku bisa saja berkeliaran di luar sana dan membekukan orang-orang, tapi aku tidak melakukannya. Aku bukan penjahat seperti Goblin. Aku sudah cukup bersyukur dengan pilihanku itu. Jadi….,” Taeyong mengangkat bahu. “Entahlah, aku bukan pahlawan dan bukan juga penjahat. Jadi yah…kau bisa sebut aku pecundang.”


“Aku tidak akan menyebutmu begitu.” Hana menolak tegas. Namun kemudian ia terdiam, bahunya turun, wajahnya nampak sedih dan tak berdaya. Gadis itu biasanya selalu punya sesuatu untuk dikatakan, tapi kali ini ia tak mampu memikirkan apa-apa. Mungkin seharusnya ia tak usah memperkenalkan Spider Man pada Taeyong. Semua pemikiran Taeyong tadi adalah tanggung jawabnya.


Di sisi lain, melihat respon Hana yang seolah setuju, Taeyong merasa remuk. Dalam hati ia berharap untuk didebat. Dengan alasan apa saja. Walaupun dirinya yang memulai, tapi ia tak menampik jika dadanya terasa sakit saat membicarakan semua ini. Jadi ia memutuskan untuk mencari topik lain.


“Saat kau datang ke sini lagi, kupastikan aku sudah selesai baca komiknya,” kata Taeyong, berusaha terdengar antusias.


“Kau yakin?”
“Ya. Kau lihat sendiri aku sudah bisa baca terjemahan di filmnya.”


Hana tak memprotes, walau sebenarnya ia-lah yang membacakan nyaris semua terjemahan panjang di filmnya.


“Oke… besok atau lusa, akan kubawa film lanjutannya.”
“Ada lanjutannya?”
“Ya.”
“Keren.”
“Sebenarnya ada banyak versi film Spider Man. Aku akan bawakan semuanya jika kau mau.”
“Aku mau,” sambar Taeyong.
“Baiklah. Sampai jumpa.”


Taeyong mengangguk. Ia mengawasi Hana keluar dari pintu dan lenyap dari pandangan. Selama beberapa menit pria itu hanya diam meratapi pintu. Setelah melihat film tadi, Taeyong semakin penasaran akan dunia luar. Bagaimana rasanya hidup di sana? Bagaimana rasanya mendongak langsung pada langit? Bagaimana rasanya naik bus ke sekolah dan punya teman lebih dari satu? Bagaimana rasanya berkelahi di depan loker seperti Peter Parker? Bagaimana… bagaimana rasanya jadi normal?



**********



Gara-gara Taeyong, Hana jadi hobi sekali membeli es krim. Dia beli lima bungkus nyaris setiap hari dan memasukkannya ke kulkas di aula makan. Terkadang ia lupa meletakkannya di sana dan malah membeli lagi. Alhasil es krimnya pun menumpuk.


Suatu hari setelah makan malam, Hana mengeluarkan lusinan bungkus es dari kulkas dan membagikannya pada anak-anak.


“Es krim lagi, Hana?” Bunda Sejeong tiba-tiba muncul di belakang mereka dan menghela napas.
“I-iya, aku beli terlalu banyak.”
“Ini yang terakhir, oke?”
“Oke.”
“Kenapa, Bunda?” protes Jeha. “Es krim kan enak.”
“Apa yang enak belum tentu baik,” tukas Somin, sementara mulutnya belepotan es krim.
“Setahuku makan es krim bisa membuat kita gemuk,” tambah Hyun Mi, yang tidak mengambil sebungkus pun sejak kemarin.


“Berarti es krim bagus untukku. Bunda selalu bilang aku terlalu kurus.” Jeha melirik bungkus-bungkus es yang tersisa. “Sepertinya aku harus makan lebih banyak supaya tambah gemuk.”


Hana langsung menyambar bungkus-bungkus es tersebut. “Bunda Sejeong dan Somin benar. Terlalu banyak es krim tidak baik. Hari ini cukup es krimnya, ya..”


“Maksudmu minggu ini?” Bunda Sejeong mengoreksi ucapannya dengan penuh penekanan, namun wajahnya masih terlihat ramah.


“Y-ya, minggu ini.” Hana mau tak mau setuju.
“Termasuk kau, Hana. Bunda yakin kau sudah makan cukup banyak es krim sejak kemarin. Bagaimana jika kusimpan es krim-mu?” Bunda Sejeong mengulurkan tangannya. Dan Hana langsung terpaku. Bukan. Bukan perkataan Bunda Sejeong yang membuat Hana terpaku, melainkan tangannya. Penuh lebam. Biru dan hitam, persis seperti yang Taeyong katakan. Ia pasti berusaha melawan dinginnya tubuh Taeyong. Hana membayangkan Bunda Sejeong mengusap kepala Taeyong dengan senyum ramah, pura-pura tidak merasakan apa-apa. Saat itu, akhirnya kekhawatiran Taeyong tempo hari dapat Hana pahami. Kau bisa melakukan hal apa pun—entah seberapa gila atau menyakitkannya itu—demi orang yang kau sayang.


Hana menyodorkan bungkus-bungkus es-nya, dan Bunda Sejeong mengambilnya dengan ujung-ujung jarinya yang keunguan. Lebam itu terlihat serius. Hana merinding dibuatnya.


“Ya ampun! Apa jadinya kita semua tanpa es krim?” racau Jeha melebih-lebihkan.
“Kau akan baik-baik saja. Sebelum ada Hana Eonnie, kau hampir tak pernah makan es krim dan tubuhmu sehat-sehat saja,” kata Somin. Ia mengambil kantong plastik dan memasukkan sampah-sampah di meja ke dalamnya, lantas berdiri hendak membuangnya. Namun sebelum pergi, ia mengerling pada Hana. “Bagaimana pun terima kasih banyak, Eonnie. Kami semua suka sekali.”


Hana masih memandangi jemari Bunda Sejeong.


“Hana Eonnie?” panggil Somin.


Hana tersadar. “Ah? Ya?”


“Terima kasih.”
“Oh, ya, ya, maksudku, tentu, sama-sama.”


Saat itu, pandangan Bunda Sejeong beralih ke dua buah piring makan di pojok meja. “Apa ada yang belum makan?”


Eun Ki menunjuk Melvin dan Won Tak di meja seberang. Mereka berdua duduk bersebelahan sambil membaca sesuatu, cekikikan tak henti-henti. Di depan mereka, ada setumpuk komik.


“Melvin? Won Tak?” panggil Bunda Sejeong.


Mereka dengan kompak mendongak dari komiknya.


“Makan dulu.”
“Iya, Bunda,” kata mereka, tapi tak ada yang beranjak. Won Tak lanjut membaca sementara Melvin malah menoleh pada Hana dan menanyakan tentang salah satu seri yang hilang. Noona, kenapa seri yang ke-13 tidak ada?


“Makan sekarang!” seru Bunda Sejeong, masih lembut.
“Sebentar lagi,” jawab Won Tak tanpa menoleh.
“Ya, kami janji akan cuci semua piring kotornya,” tambah Melvin dengan nada terganggu.
“Tidak! Biar Bunda yang cuci! Kalian berdua berhenti baca itu dan lekas makan!” Bunda Sejeong meninggikan suaranya. Nadanya terdengar marah sekaligus memohon. Dan nada itu berhasil membuat Melvin dan Won Tak, bahkan semua anak di aula makan merasa bersalah. Itu pertama kalinya Bunda Sejeong kelihatan kecewa sekali.


Kedua anak laki-laki itu saling pandang dan langsung berdiri, lantas berjalan mengambil piringnya.


“Apa kalian sudah kerjakan PR?”


Melvin dan Won Tak hanya menunduk. Bunda Sejeong menghela napas, terlihat amat sedih dan sakit hati. Wanita itu kemudian berkata dengan suara pelan. “Kembalikan komiknya pada Hana. Kalian cuma boleh membaca komik saat akhir pekan.”


“Tapi…” Won Tak langsung menyikut rusuk Melvin yang hendak protes.
“Tapi apa, Melvin?”
“Bukan apa-apa.”


Bunda Sejeong menghela napas lebih keras. Ia berjalan mengambil semua komik di atas meja dan memberikannya pada Hana. “Tolong, Hana. Jangan berikan komikmu pada siapa pun kecuali hari libur.”


“B-baik.”
“Bunda benar-benar minta tolong padamu,” katanya. “Aku bisa percaya padamu, kan?”
“Y-ya.”
“Terima kasih.”


Hana merasakan hatinya mencelos. Tidak, kau tak bisa percaya padaku. Aku adalah orang yang paling tidak bisa dipercaya di rumah singgah ini.



**********



Saat itu sudah pukul sebelas malam dan Hana masih mencoba menghubungi Wooseok. Ia benar-benar penasaran hingga tak bisa tidur. Rasanya, jika ia tak mendapat penjelasan ilmiah (mengenai lebam mengerikan di lengan Bunda Sejeong) malam ini juga, ia akan mati.


[Halo.] Suara Wooseok terdengar jauh sekali.
“Halo. Ini aku Hana. Apa kau sudah tidur?”
[Hmm, ya..,] gumamnya serak. [Ada apa?]
“Ada yang ingin kutanyakan.”
[Tanyakan saja!]
“Apa yang akan terjadi jika kau memegang sesuatu yang sangat dingin?”
[Sedingin apa?]
“Pokoknya sangat dingin sampai bisa membuat kulit lebam.”
[Kau baru saja menjawab pertanyaanmu sendiri.]
“Jadi cuma lebam?”
[Tergantung sedwingin apa benda itu dan berapa lama kau...hoam... memegangnya.] Wooseok bicara tidak jelas karena sedang menguap. [Kalau tak terlalu lama, mungkin kulitmu hanya berubah keunguan atau bengkak. Tapi kalau kelamaan, lebam itu bisa jadi permanen. Yang lebih buruk, kau bisa kena radang dingin.]


“Apa itu radang dingin?”
[Eung, kau tahu hipotermia?] Wooseok tak menunggu Hana menjawab. Hana sendiri tengah mengernyit di ranjangnya. Oh, ia pernah dengar hipotermia, tapi tak pernah tahu apa artinya. [Itu adalah kondisi di mana mekanisme tubuh kita kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin. Yah.. seperti yang kubilang, penyebabnya adalah suhu di sekitar kita yang terlalu dingin. Nah, radang dingin ini jauh lebih parah dari hipotermia. Selain detak jantung melemah, jaringan di dalam tubuh juga bisa rusak.]


“Terdengar berbahaya.” Hana menyahut ngeri.
[Memang bahaya. Kalau kerusakannya sudah parah, bagian tubuh itu bisa busuk dan harus diamputasi.]
“B-busuk? Amputasi? Ya ampun, jadi itu kemungkinan terburuknya?”
[Tergantung,] kata Wooseok, bicara tipis-tipis di balik napasnya, kemudian menguap lagi. [Jika menurutmu cacat fisik lebih buruk dari kematian….]


“K-kematian?”
[Yeah, tentu saja. Bayangkan tekanan darahmu terus menurun, kau bisa mati dalam keadaan membeku seperti mayat.] Hana pucat pasi. Ia terlalu takut untuk bertanya lebih jauh lagi dan langsung berterima kasih dan menutup teleponnya.


Selama ini, Hana hanya sok tahu saja mendekati Taeyong. Ia berkata ‘tidak apa-apa’ atau ‘kau tak akan menyakitiku’ dengan enteng, seolah ia mengerti konsekuensinya. Nyatanya, ia bersikap begitu hanya dengan modal nekat saja, tanpa pengetahuan sama sekali. Ia kira, menyentuh Taeyong hanya akan membuatnya merasa sakit dan tersetrum seperti dulu. Cuma meninggalkan memar dan perih biasa, kemudian besoknya memar itu akan hilang bersama rasa sakitnya. Tak pernah terpikir di benaknya bahwa sentuhan Taeyong ternyata seberbahaya ini.


Jadi itu alasan Bunda Sejeong mengurung Taeyong? Dia benar-benar bisa menyakiti orang-orang… Benar-benar bisa menyakiti mereka sampai ke tahap kematian.


Hana memikirkan itu semalaman dengan perasaan terganjal, hatinya memberat dan memberat. Ia berpikir apa sebaiknya berkata jujur saja… perihal semua ini… perihal pertemuan rahasia mereka sebulan belakangan. Lebih dari itu. Bahwa sebenarnya ia sudah melihat Taeyong sejak tujuh bulan yang lalu. Dan sekarang mereka berteman. Mereka bahkan punya alat canggih yang bisa membantunya.


Kemudian tanpa sadar, di antara semua pemikiran itu, Hana tertidur.



**********



“Hana! Hana!! Hana…..Ya ampun, Hana!” Sang pemilik nama sontak terbangun. Bunda Sejeong berseru sambil berlari ke ranjangnya. Wajahnya berbinar cerah seperti baru saja melihat keajaiban.


“Aku ditelepon dokter…. Ibumu… Hana…Ibumu siuman.” Bunda Sejeong bicara dengan napas tersengal dan raut penuh syukur. Hana berusaha mencerna kata-kata itu sebelum akhirnya berhasil dan terbelalak.


“I-ibuku siuman?” ulang Hana gelagapan.


Bunda Sejeong mengangguk-angguk.


Hana melompat dari tempat tidurnya. “Aku mau ke rumah sakit sekarang,” ucapnya, kalang kabut menyambar jaket dan memakai sepatu.


“Ini masih jam lima pagi, Sayang. Bagaimana kalau…”
“Tidak apa-apa, Bunda. Aku…bagaimana bisa aku diam di sini? Saat tahu ibuku sadar… Ya Tuhan….Ibuku... siuman.” Hana syok sekali sampai-sampai bicara seperti orang linglung. Ia membuka pintu kamar dengan napas tersendat. Air matanya mulai turun. Jantungnya berdebar-debar seperti sedang ditabuh dan lututnya lemas. Ia berlari tergopoh-gopoh di koridor rumah singgah dengan pandangan buram karena air mata.


Saat itu, tangannya ditangkap dari belakang. Hana menoleh dan melihat Bunda sejeong.


“Biar Bunda mengantarmu.”



*********



Selagi Hana di rumah sakit, Taeyong memanjat lemari dan duduk bersandar di tembok. Matanya tak lepas memandangi koridor lewat ventilasi. Oh, ia tak tahu apa yang terjadi. Yang ia tahu, kemarin Hana berjanji akan menemuinya sebelum berangkat sekolah. Tapi sekarang matahari sudah tinggi sekali dan tak ada siapa pun yang datang. Bahkan ibunya pun tak datang. Ia belum sarapan dan sekarang sudah hampir tiba waktu makan siang.


Karena terlalu lama menunggu, Taeyong ketiduran di atas lemari. Saat itu, sang ibu datang membawa nampan dan panik karena tak bisa menemukan Taeyong.


“Astaga!!” serunya begitu menoleh dan melihat Taeyong di atas lemari.


Taeyong mengerjap-ngerjap sebelum tersadar.


“Eomma…,” katanya terkejut. “A-apa yang Eomma lakukan?”
“Harusnya Eomma yang tanya begitu! Apa yang kau lakukan di sana?”
“A-aku… “ Taeyong mengusap tengkuknya mencari alasan. “Aku menunggumu membawakanku makanan. Dari sini, aku bisa lihat ke luar.”


Bunda Sejeong seketika merasa bersalah. “Maafkan Eomma, tadi ada urusan mendadak. Tolong turunlah dari sana. Seseorang bisa melihatmu.”


“Ventilasinya cuma selebar tujuh centi.”
“Turunlah!”


Taeyong pun melompat turun. “Apa ada sesuatu yang terjadi dengan anak asuhmu?” tanyanya penasaran.


“Ya, tapi bukan masalah. Justru sebaliknya, itu adalah sesuatu yang sangat baik.”
“Apa yang terjadi?”
“Salah satu dari anak asuhku, ibunya koma selama tujuh bulan…dan hari ini, pagi-pagi sekali… dia siuman dan memanggil-manggil nama anaknya.”


Muka Taeyong langsung berbinar bak matahari. Ia tentu sudah tahu siapa gerangan anak asuh itu. Hana sudah bercerita tentang ibunya yang koma nyaris sepuluh kali. “Ya ampun! Sungguh?”


“Ya.” Bunda Sejeong mengernyit. “Kau terlihat bahagia sekali.”


Taeyong terpaku, lalu mengubah mimik mukanya menjadi datar kembali. “Tidak… aku hanya … itu kabar baik. Siapa yang tak senang mendengar kabar baik?”


“Apa kau bahkan mengerti apa artinya koma?” Bunda Sejeong tertawa pendek, lalu meletakkan nampannya di meja. “Ngomong-ngomong soal kabar baik, lebih baik kau habiskan makananmu sekarang karena aku punya kabar yang super baik.”


Taeyong sangsi apa ada kabar yang lebih baik dari berita yang ia dengar barusan. Ibu Hana siuman. Kabar macam apa yang bisa menandingi itu? Taeyong tak bisa menghilangkan wajah gembira Hana dari kepalanya. Ia ikut gembira sampai-sampai sekujur tubuhnya menghangat. Dan makanannya menjadi dua kali lipat lebih enak.


Ia menghabiskan makanannya dengan cepat, kemudian berbalik menghadap sang ibu yang menunggunya di sofa.


“Sudah selesai?”
“Ya.”
“Bisa bantu Eomma menutup peti tidurmu dengan kain ini?” Ia mengeluarkan kain putih selebar seprai dari kantong plastik.


“Yeah, tentu,” ucap Taeyong, heran. Ia menyelubungi peti tidurnya sementara sang ibu mematikan pendingin ruangan.


“Ayo kita pindah ke ruangan lain. Para pekerjanya akan datang.”
“Pekerja?”
“Ya. Kau masih ingin jendela, kan?”


Taeyong  terperangah. “E-eomma serius?”


Bunda Sejeong tersenyum. “Selamat ulang tahun, Sayang. Eomma yakin satu jendela tidak akan menyakiti siapa pun.”


“A-aku ulang tahun? Maksudmu… ini hadiah ulang tahunku? Astaga!” Taeyong berseru. Bibirnya melengkung di luar kendali. “Ulang tahunku… aku tak pernah tahu kapan aku ulang tahun...” Taeyong menyapu rambutnya ke belakang. Berpaling dan mendesahkan napas tak percaya. Ia bahagia sekali sampai-sampai jantungnya serasa mau copot. Bahagia sekali sampai tak tahu harus berkata apa. Ia cuma bernapas panjang-pendek, cuma memandangi ibunya sambil melengoskan senyum lega. “Aku berjanji tak akan sakiti siapa pun. Aku bersumpah padamu. Terima kasih banyak. Sungguh, aku menyayangimu. Terima kasih.”


“Kalau begitu, ayo kita pergi sekarang! Eomma sudah siapkan semuanya. Semoga suhu di sana tak jauh beda dengan ruangan ini.”


Taeyong mengangguk tak sabar dan mengekor di belakang sang ibu.


Untuk pertama kalinya sejak beberapa tahun ini, Taeyong melangkah keluar kamar. Ia merasa seperti mengunjungi dunia yang berbeda. Langit terlihat sangat biru (jauh lebih biru dari apa yang ia lihat lewat ventilasi) dan gumpalan awan di sekitarnya kelihatan lezat. Ia mendongakkan kepalanya lebih jauh, membuat iris abu-abunya berkilau diterpa sinar mentari. Taeyong menurunkan pandangannya pada lapangan, yang luas dan sepi, dalam hati berharap diizinkan untuk berlarian di sana setidaknya sekali sebelum mati. Ia berjalan di samping sang ibu melalui koridor yang panjang. Luar biasa panjang. Ia bisa salto dua puluh kali di sepanjang koridor ini dan tak akan ada habisnya. Saat Taeyong sibuk menoleh ke sana kemari bak sedang darmawisata, mereka tiba di ruangan yang dituju.


Ruangan itu kecil dan dingin. Taeyong masuk perlahan-lahan dan merasa nyaman sekali. Pendingin ruangannya berfungsi optimal, belum lagi ada sekitar tiga kulkas kecil yang sengaja dibuka persis di depan kasur.


“Nyaman?” tanya sang ibu.
“Yeah, sempurna.”
“Bagus. Eomma usahakan mereka bekerja dengan cepat. Kalau bisa malam ini juga kau bisa kembali ke kamarmu.”


“Tidak masalah.” Taeyong melompat ke kasurnya dan merebahkan diri. “Sungguh, aku baik-baik saja. Di sini sejuk.”


“Ada batu es di dalam kulkasnya jika kau merasa gerah.”
“Oke.”
“Eomma akan tunggu di kamarmu sampai mereka datang.”


Taeyong mengangguk. Bunda Sejeong pun melangkah keluar dan mengunci pintu. Taeyong meletakkan kedua tangannya di belakang kepala dan menatap langit-langit. Di ruangan ini, walaupun ventilasinya sedikit lebih besar, tak ada lemari yang bisa dipanjat untuk menjangkaunya. Ia berharap Hana tak datang dulu sampai semuanya beres.



**********



Selagi menunggu para pekerja, Bunda Sejeong mendorong peti tidur Taeyong ke sudut dan menutupi semua perabot—termasuk sofa dan pendingin super besar yang jelas-jelas mencurigakan—dengan kain putih yang sama. Ia menyapu lantai dan merapikan baju-baju Taeyong yang acak-acakan di lemari.


Saat menarik salah satu pakaian di tumpukan terbawah, sebuah benda terjatuh di depan kakinya. Bunda Sejeong memungut benda itu dengan kening berkerut. Bungkus es krim. Bungkus es krim yang ia lihat semalam. Yang dimakan oleh semua anak di rumah singgah. Ia terpaku sebentar, memandangi bungkus es krim itu dengan mata terbelalak. Bunda Sejeong lantas menggeledah lemarinya lebih dalam lagi. Dan semakin terkejut begitu melihat benda-benda ganjil yang lain. Sarung tangan super aneh—yang ia bersumpah tak pernah membelinya. Dan komik terbitan ke-13. Komik yang dibilang hilang oleh Melvin semalam..


Bunda Sejeong menggenggam benda-benda itu dengan tubuh gemetar. Rasanya seperti disambar petir. 


“H-hana…,” gumamnya dengan suara bergetar. “Dia mengetahuinya.”



TBC



Nah lo, hana bakal diapain sama bunda sejeong??




Anyway, happy belated anniversary buat GIGSENT tercinta… dan makasih teruntuk Kim Dhira dan GSB yang udah publish pas hari H. Maaf banget aku bener2 g bisa publish…karena ya emang g punya apa2 buat dipublish…..pikiran sama hati lg g tenang jadi mau bikin ficlet pun g bisaaa :’( Tapi sekarang udah tenang kok.. makanya publish.. huhu..




Sampai ketemu di part selanjutnya. Wasalam^^

Comments

Popular Posts