Freeze #6 (hurtful birthday party)
Tak banyak yang berubah. Seminggu
setelah kejadian yang Taeyong kira mustahil itu—mengumumkan keberadaannya
kepada umat manusia (sebenarnya, cuma seluruh
penghuni rumah singgah)—ia tetap saja dikurung. Bahkan Hana pun masih belum
bisa mengunjunginya dengan leluasa.
Tiga hari sekali, pukul 10 sampai 12 siang.
Tidak boleh berkunjung malam-malam karena tidak etis.
Tidak boleh banyak-banyak bawa es krim.
Tidak boleh pegang kunci duplikat.
Itu benar-benar bencana.
Pelanggaran hak asasi pertemanan yang kejam. Karena tidak mau cari masalah,
mereka mengangguk setuju di depan Bunda Sejeong, tapi di belakangnya beda lagi.
Hana yang cerdik ternyata
menduplikat kunci kamar Taeyong lebih dari satu, dan gadis itu mengunjunginya secara
ilegal kapan pun ia mau. Sepulang sekolah, paling sering. Dan beberapa kali
sesudah makan malam.
Pagi itu, pukul 10 lewat 40, Hana
duduk di sofa yang bagian depannya menempel di tembok dan menghadap jendela—walau
tidak ada tempat untuk kaki, sofa itu tetap saja menjadi tempat favorit mereka
sejak Taeyong punya jendela. Ini adalah pertemuan legal, jadi dada Hana tak
bertalu-talu. Di sebelahnya, Taeyong sedang mengeja komiknya dengan suara keras
dan kening berkerut.
“K-KAU TA-TA-TA-TAHU? KE-DUA OR-ORRR-ANGTUAAA-MU BERR-TEMU- DI SMA.
YA. AAAAK-AKUU TAH-TAHU. T-T—TAA—TAM—TAMAT.”
Hana sudah mendengar cara membaca
super aneh itu seratus kali sehingga walaupun luar biasa lucu, ia tidak tertawa
lagi.
“Anak-anak menanyakanmu
terus-menerus,” kata Hana begitu Taeyong menutup komiknya. Setelah
berminggu-minggu, ia akhirnya berhasil menyelesaikan komik seri 13 itu. Dan
bukannya senang, pria itu malah menghela napas berat.
“Aku butuh seri selanjutnya.”
“Ada di kamarku.”
“Ambilah dan bacakan untukku!”
“Kau sudah bisa baca.”
“Terlalu banyak huruf, Hana,”
keluhnya. “Kalau kau yang baca, buku itu akan selesai dalam 30 menit. Kalau aku
yang baca, 3 minggu baru selesai. Aku harus tahu apa yang selanjutnya terjadi
pada Peter. Aku harus tahu secepatnya. Dia memberi tahu Mary kalau dia Spider
Man, mereka jelas-jelas suka satu sama lain dan nyaris ciu… ”
“Harusnya itu memotivasimu untuk
membaca lebih cepat,” sela Hana. Dalam hati bersyukur tidak harus membacakan
seri itu pada Taeyong. Itu akan canggung sekali.
“Kau pikir membaca itu gampang,
ya?” kata Taeyong jengkel, kemudian ia melihat Hana mengangguk dan semakin
jengkel. Membaca memang gampang bagi Hana, dan bagi semua orang seusianya.
“Kalau aku pergi sekolah dan
tidak dikurung di sini separo hidupku, mungkin aku bisa membaca lebih cepat
darimu.”
“Yeah,” Hana mencibir, “mungkin.”
“Jangan meledekku.”
“Aku tidak meledekmu,” kata Hana,
nadanya meledek.
Taeyong mendecakkan lidah dan
menggeleng pada Hana. Hana balik menggeleng padanya (sebagai bentuk ledekan yang lain).
Taeyong mendengus dan Hana terkekeh. “Oh, ya ampun. Kalau aku punya waktu, akan
kubacakan, oke?”
“Memang seharusnya begitu.”
“Kenapa seharusnya begitu? Tapi lupakan! Kau tak menjawab pertanyaanku soal anak-anak.”
“Sejak kapan kita punya anak?”
“Taeyong.”
“Hana.”
Mereka saling berpandangan dan tertawa geli. Hana bisa merasakan selera humornya menurun drastis setelah mengenal Taeyong. Mereka sungguh menertawakan apa saja.
“Serius, mereka mau menemuimu.
Somin, Jeha, Eun Ki, bahkan Melvin juga.”
“Melvin? Kukira dia membenciku.
Bagaimana kabarnya?”
“Uhh… aku tak tahu apa yang Somin
katakan padanya, tapi yang pasti itu berhasil. Dia sudah kembali seperti semula.”
“Aku benar-benar tidak enak
padanya.”
“Itu bukan salahmu.”
“Aku tahu. Tapi tetap saja.”
Taeyong menarik kakinya yang semula menjulur ke bingkai jendela menjadi
bersila. Menghadap Hana. “Coba pikir, eomma tak akan membuat semua cerita
konyol itu jika aku senormal semua orang. Secara tidak langsung itu salahku.”
Hana ikut mengubah posisinya
sehingga mereka berhadap-hadapan. “Okay.. tapi mengurungmu di sini agak
berlebihan. Dan mengarang semua cerita itu, ya Tuhan.”
Taeyong mendesah, “Yeah.”
“Kau juga berpikir begitu?”
“Tentu saja. Apalagi setelah hari
itu. Setelah aku tahu bahwa aku baik-baik saja saat berada di luar.” Taeyong
mendorong rambutnya yang nampak seperti dandelion raksasa, lantas menggeleng
tak habis pikir. “Eomma selalu bicara seolah-olah aku bisa mati jika berada di
luar. Tapi lihat aku, Han! Aku sehat-sehat saja.”
“Aku tahu. Padahal mungkin di
luar sana ada orang yang bisa membantu menghilangkan dinginmu itu.”
“Benarkah?”
“Mungkin saja.”
“Siapa tepatnya?”
“Uhh.. para ilmuwan?”
“Seperti kakak angkatmu?”
“Yeah, aku sudah bilang seribu
kali, kakakku itu genius. Masih 20 tahun tapi sudah diterima kerja di Stein lab. Dia pintar luar biasa. Mungkin jika kita ceritakan masalahmu, dia
bisa membantu.”
Taeyong kembali menoleh ke
jendela. Merenung.
“Omong-omong, akan ada pesta
ulang tahun di rumah singgah, aku akan membantu dekorasinya, jadi mungkin tidak akan ke sini dulu sampai Minggu. Tapi supaya kau tidak bosan, aku akan bawakan
komik-komikku untukmu…”
“Sudah kubilang aku maunya
dibacakan! Lagian kau sudah janji.”
“Jangan manja! Kubilang kan kalau
ada waktu, dan sekarang aku tak punya waktu! Tahu tidak, dengan banyak berlatih,
kemampuan membacamu bisa semakin cepat.”
“Kalau begitu aku mau nonton film saja.”
“Tidak. Aku cuma punya satu
laptop, aku tak mau laptopku rusak karena kau sentuh.”
“Aku akan pakai sarung tangan.
Ayolah...”
“Kau tak bisa baca
terjemahannya.”
“Aku bisa.”
“Tidak.”
“Hana.”
Hana menarik napas, siap
mendebat, tapi Taeyong menggunakan kekuatan mata indahnya untuk menatap Hana
seperti kucing malang. Gadis itu serta-merta terpaku. Oh, siapa yang bisa
berkata tidak jika diberikan tatapan seperti itu? Mata abu-abu yang
berkilau-kilau itu pada akhirnya membuat Hana menyerah. “Oke,” katanya,
menghela napas. “Besok akan kubawakan semuanya.”
Taeyong menyeringai menang.
Setelah mendapatkan prioritasnya,
pria itu baru mengulang kalimat Hana di kepalanya dan mengerutkan kening, “Siapa
katamu yang ulang tahun?”
“Anak orang kaya, aku juga tak
kenal.”
“Maksudmu bukan anak asuh?”
“Bukan.”
“Lalu kenapa dia merayakan ulang
tahunnya di sini?”
“Berbagi kebahagiaan,” jawab
Hana.
“Serius? Berbagi kebahagiaan?
Dengan menggosokkan kebahagiaan yang takkan bisa dimiliki para anak asuh di
depan mata mereka? Genius sekali.”
“Ampun. Kau baru keluar dari sini
selama beberapa menit dan langsung fasih bicara sarkastik?”
Taeyong mengerutkan kening. “Apa
itu sarkastik?”
Hana mendengus. “Lupakan saja!”
Taeyong meliriknya dan ikut
mendengus. “Jadi apa anak orang kaya itu mengundangku?”
“Dia mengundang kita semua,”
jawab Hana. Air muka Taeyong seketika berubah, hampir-hampir gembira, namun
Hana buru-buru menambahkan, “tapi kau harus tanya Bunda Sejeong dulu.”
“Kau saja yang tanya.”
“Kau anaknya. Kau bisa merajuk
jika tidak diizinkan.”
“Kau bisa tanyakan di depan
anak-anak asuh. Di hadapan mereka semua, mungkin hati eomma bisa melunak
sedikit.”
Hana berpikir itu ada benarnya.
Anak-anak pasti akan ribut jika Taeyong tak diizinkan datang. Berdasarkan pertimbangan itu, ia pun
mengangguk setuju.
“Acaranya hari Sabtu ini dan aku
akan mendekor mulai besok. Jadi, mungkin aku baru bisa ke sini sekitar jam 4?
Aku akan bawakan laptop dan komiknya.”
“Serta jawaban apakah aku
diizinkan datang.” Taeyong menambahkan.
“Yeah, itu juga,” kata Hana
seraya berdiri.
“Kau mau pulang?”
“Ya. Aku harus kerjakan PR dan
makan siang. Nanti sore aku mau ke rumah sakit menjenguk ibu. Perkembangannya
pesat dan mungkin minggu depan aku bisa mengajaknya tinggal di sini.”
“Benarkah? Itu bagus!”
“Aku tahu.” Hana nampak
berseri-seri. “Baiklah, bye.”
“Bye. Sampaikan salamku pada
ibumu.”
Hana berjalan menghampiri pintu
dan tersenyum pada Taeyong. “Oke.”
**********
Keesokan harinya, bersama
anak-anak lain, Hana mendekorasi aula makan yang luas menjadi serba merah
jambu. Tulisan ‘Happy Birthday Jae Ri’ dan angka 12 yang besar sudah terpasang
di depan, tepatnya di sebuah papan yang pinggirannya sedang dicat oleh Melvin.
Balon-balon merah muda dipasang
di sekeliling dinding dan di ujung-ujung meja. Semua anak punya tugasnya
masing-masing. Somin dan Hyun Mi menata gelas-gelas polkadot untuk jus, Hana
memasang taplak-taplak lebar di setiap meja, anak-anak cowok naik tangga untuk
mengikatkan balon dan pita di tempat yang lebih tinggi, sementara Jeha
bertugas untuk tidak mengacau.
Begitu Hana selesai dengan
taplaknya yang terakhir, ia memandang Bunda Sejeong dengan gugup.
“Bunda,” katanya dengan suara
yang dikeraskan.
Bunda Sejeong dan hampir semua
anak menoleh, bahkan Eun Ki yang sedang mengetuk-ngetuk paku dari atas tangga
juga ikut berhenti sejenak untuk menoleh.
Di antara keheningan itu, Hana
membuka mulutnya dengan lebih optimis. “Taeyong bertanya padaku apa dia boleh
ikut acara ulang tahunnya.”
Semua anak kini memandang Bunda
Sejeong yang membeku. Wajahnya mengeras bak tanah liat, jelas sekali ia mau
marah tapi ditahan sekuat tenaga.
“Ayolah, Bunda,” kata Somin,
“akan ada kue dan games! Taeyong oppa
harus ikut.”
Bunda Sejeong butuh beberapa
detik untuk mengontrol ekspresinya dan menoleh pada Somin. “Tidak bisa,
Sayang,” katanya dengan raut menyesal.
“Kenapa?” tanya Hana mendesak.
“Kenapa?” ulang Bunda Sejeong, segera
menoleh kembali pada Hana. “Di antara yang lain, bukankah seharusnya kau paling
mengerti?”
Nyatanya, Hana tidak mengerti.
Bunda Sejeong pun melanjutkan, “Keluarga Jae Ri adalah orang asing. Kalau dia
sampai tahu tentang keistimewaan Taeyong, maka akan jadi masalah besar.”
“Masalah besar apa?”
“Hana.”
“Taeyong akan pakai sarung tangan
dan dia akan duduk di paling belakang. Tak ikut games. Tak sentuh siapa pun.”
“Hana.”
“Kumohon biarkan dia ikut. Kali
ini saja. Dia cuma mau bertemu yang lain dan makan kue. Tak lebih.”
Bunda Sejeong menggeram, “Hana,
tolong dengar….”
“Dia tak akan lukai siapa pun,
aku bersumpah!”
“HANA!”
“Aku sendiri yang akan
mengawasinya. Jika orang lain sampai terluka karenanya….”
“HANA CUKUP!” Bunda Sejeong
akhirnya habis kesabaran. “AKU TAK PEDULI ORANG LAIN TERLUKA KARENANYA, AKU
TAKUT TAEYONG YANG TERLUKA!”
Aula makan seketika hening, tak ada suara apa pun kecuali suara napas Bunda Sejeong yang bergema pendek-pendek. Hana mencelos. Bunda
Sejeong berbisik getir, “sebegitu sulitnya kah kau mengerti?” Emosinya
meledak dan setelah itu, yang bisa ia lakukan hanyalah memandangi Hana dengan
ekspresi tak habis pikir, kemudian meninggalkan aula begitu saja.
Semua anak memandang Hana dengan
tatapan serba-salah. Mereka kasihan melihat Hana yang begitu syok tapi juga tak
senang dengan sikapnya barusan. Melvin menjadi orang pertama yang meruntuhkan
keheningan mencekam itu, “Kau harus minta maaf,” katanya datar, lantas kembali
mengecat papan.
Somin mengangguk, saling
berpandangan dengan Hyun Mi, kemudian kembali pada gelas polkadotnya.
Tak ada yang bicara, namun mereka
semua nampak setuju dengan ucapan Melvin.
Satu per satu, anak-anak itu kembali menyibukkan diri dengan
pekerjaannya.
**********
Baru beberapa jam setelah itu,
Bunda Sejeong kembali ke aula—yang kini sudah berubah total menjadi tempat
pesta. Suasana hati wanita itu nampaknya sudah kembali seperti semula. Dia
menghampiri para anak satu per satu dan memberikan pujian, “Kerja bagus,” atau
“Dekorasinya indah sekali” dengan senyum keibuannya yang khas. Tapi saat
giliran Hana, wanita itu cuma tersenyum tipis dan langsung melewatinya.
Hana merasa jantungnya dihempas
ke lantai. Rasa malu dan bersalah menguasai sekujur tubuhnya sampai rasanya ia
ingin dihilangkan saja dari muka bumi.
“B-bunda, aku benar-benar minta
maaf,” kata Hana, merangsek ke depannya. Gadis itu memohon maaf berkali-kali
dengan telapak tangan disatukan di depan dada. Tubuhnya sedikit gemetar,
sementara matanya amat merah dan berkaca-kaca. “Aku sama sekali tidak bermaksud
begitu. Aku hanya… aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Yang pasti aku
bersalah dan aku mohon maaf, aku tak kenal Taeyong sepertimu. Ya, dia bisa
terluka dan aku sama sekali tak memikirkan kemungkinan itu. Aku bodoh sekali.
Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk memperbaiki kesalahanku ini? Bunda,
maafkan aku, pokoknya ma….”
“Hana, sudahlah, tak masalah,” potong
Bunda Sejeong tenang.
Hana mengerjapkan mata, membuat
air matanya berjatuhan dari pelupuk, kemudian mendongak menatap Bunda Sejeong.
“S-sungguh?”
“Ya, tapi kuminta kau tak usah ke
sana. Biar aku yang beri tahu Taeyong kalau dia tak bisa datang. Aku yang akan
jelaskan langsung padanya.”
Hana langsung mengangguk.
“Bunda, kalau Taeyong hyung tak
boleh ke sini, bolehkah kita yang ke sana?” tanya Eun Ki. Bunda Sejeong
terdiam.
“Ya, bolehkah? Aku yakin pasti Taeyong oppa
kesepian. Temannya cuma Hana eonnie saja,” tambah Somin. Mereka semua
entah sejak kapan sudah berkumpul di sekeliling Bunda Sejeong dan Hana.
“Kami mau ketemu Taeyong hyung,
Bunda!”
“Benar!!”
“Izinkan kami bertemu dengan
Taeyong oppa!!”
“Iya, Bunda. Sebentar saja!”
Sahut mereka bak sedang berdemo.
“Aku mau sentuh hyung lagi dan
kali ini aku bersumpah tak akan menangis.”
“Apa? Kau menangis?” tanya Melvin
meledek. Muka Jeha seketika merah padam.
“C-cuma sedikit, kok.”
“Hahahaha.” Tawa Melvin
meledak-ledak.
“Diamlah, Melvin! Kau tak tahu
sedingin apa Taeyong hyung!” seru Won Tak. Jeha mengangguk kuat-kuat, terlihat
lega sekali ada yang membelanya.
“Aku jadi penasaran,” kata Somin,
yang saat acara sentuh-menyentuh itu juga absen.
“Ohh! Dia dingin luar biasa!
Sedetik menyentuhnya, kau akan mati rasa sepuluh hari,” kata Eun Ki
melebih-lebihkan.
“Benarkah?” Mata Melvin dan Somin
membeliak, percaya sungguhan.
“Bunda, ayo kita ke sana sekarang
saja!”
“Ayo Bunda, ayo!!”
“Dia pasti senang bertemu kami.”
“Benar, Bunda! Aku belum sempat
sentuh!”
“Anak-anak, cukup!” Bunda Sejeong
berseru, membuat rajukan di kanan kirinya seketika berhenti. Mereka semua
memandang Bunda Sejeong sambil menahan napas, takut wanita itu marah lagi.
“Oke, Bunda janji kalian akan bertemu dengannya.”
“Yeayyyy!” Anak-anak bersorak
gembira.
“Tapi tidak sekarang,” tambah
Bunda Sejeong tiba-tiba, membuat sorakan gembira anak-anak berganti menjadi
riuh kecewa dan lontaran protes.
“Bisakah kalian diam sebentar? Ya
Tuhan. Bunda punya rencana yang lebih baik.”
Suara-suara protes anak-anak pun seketika lenyap. Mereka menantikan ‘rencana lebih baik’ macam apa yang hendak dikatakan
Bunda Sejeong.
Bunda Sejeong mengamati anak-anak dengan senyum tipis, kemudian menarik napas dan
berkata, “Minggu ini, setelah acara ulang tahunnya beres, bagaimana kalau kita
undang Taeyong untuk makan malam?”
“S-sungguh? Dia akan makan di sini?
Di aula makan kita?” Eun Ki tergagap-gagap.
Bunda Sejeong mengangguk.
“Itu ide baguuus,” lengking
Somin.
“Yeah.”
“Benar-benar bagus.”
“Ya ampun. Aku jadi lebih tak
sabar menunggu hari Minggu daripada acara ulang tahun Jae Ri.”
“Haha aku juga.”
Anak-anak bicara dengan antusias,
bersahut-sahutan.
Sementara itu, tanpa disadari
siapa pun, Hana menarik diri dan keluar dari aula. Bunda Sejeong baru menyadari
kepergian Hana beberapa menit kemudian dan langsung menyambangi gadis itu di
kamarnya.
Tok tok tok
“Boleh Bunda masuk?”
Hana terlonjak dari ranjangnya
dan segera berseru, “Ya, tentu.”
Bunda Sejeong pun membuka pintu
dan tersenyum pada Hana. “Kau tak apa-apa?”
“Yeah, aku.. yeah, hanya, maafkan aku.”
Hana memerhatikan Bunda Sejeong duduk di ujung ranjang dan melipat selimut wol
putihnya dengan rapih.
“Bunda juga minta maaf, ya..
Sekarang tolong jangan pikirkan itu lagi. Bunda jadi semakin tidak enak,” katanya
sambil tersenyum tulus. “Apa pun yang berhubungan dengan Taeyong selalu
membuatku waswas dan di luar kendali. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk
berteriak seperti tadi.”
“Tidak apa-apa. Aku pantas mendapatkan itu. Aku sudah kelewatan tadi… seolah sudah mengenal Taeyong seumur hidupku.
Benar-benar sok tahu. Maaf.”
Bunda Sejeong cuma mengulum
senyum, kemudian berdiri seraya meletakkan selimut wol Hana yang sudah
terlipat. “Baiklah, jadi kita sudah tidak salah paham lagi, kan?”
Hana tersenyum dan mengangguk.
“Kalau begitu Bunda keluar
sekarang.”
“Bunda mau menemui Taeyong?”
“Ya, aku akan memberitahunya
soal makan malam itu.”
“Err, bolehkah kutitip komik dan
laptopku untuknya? Dia bilang mau nonton film. Aku tidak bisa menemuinya karena
masih harus mendekor.”
“Komik dan laptop, ya? Aku selalu
lupa ingin menanyakan ini padamu, tapi.. apa kau sungguh mengajarinya membaca?”
Hana mengeluarkan komik seri 14-nya dari
lemari, lalu mengambil laptop dan dvd Spider Man dari meja, kemudian
menumpuknya dan memberikannya pada Bunda Sejeong. “Begitulah. Dia belajar
dengan cepat.”
“Begitu? Pantas saja gaya
bicaranya jadi agak berbeda.”
“Aku tahu. Dia jadi lebih
sarkastik.”
Bunda Sejeong terkekeh. “Kau
benar,” katanya, “dan jadi lebih dewasa.”
“Ah? Begitu?”
“Kau tak menyadarinya?”
Hana menggeleng.
“Dengar, Hana. Terima kasih
banyak sudah mengajarinya banyak hal. Tapi tolong jaga dia! Jangan sampai Taeyong mengetahui hal yang tidak baik atau kata-kata kasar. Aku percaya padamu, oke?”
Menurut Hana, Taeyong sudah
sepatutnya mengetahui kata-kata kasar supaya dia bisa menghindarinya. Tapi
tentu saja Hana tak menyuarakan pendapatnya itu dan hanya mengangguk patuh.
Hana sejujurnya sudah muak pada dirinya sendiri karena terlalu sok tahu.
Apa-apaan yang tadi! Benar-benar memalukan! Bicara bodoh begitu di depan semua
anak. Aku akan mengawasi Taeyong?
Memangnya siapa kau? Dasar bodoh!
“Jika kau tidak keberatan,
bisakah kau kembali ke aula dan jaga anak-anak? Aku akan kembali ke sana
setelah menemui Taeyong.”
“Baik.”
**********
Keesokan harinya, pesta ulang
tahun Jae Ri pun berlangsung. Lumayan lancar, tapi jauh dari menyenangkan. Anak-anak
yang lebih kecil masih bisa dibuat bahagia hanya karena badut kikuk yang cuma
bisa buat satu lelucon dan satu trik sapu tangan yang diulang-ulang. Sementara anak-anak
yang lebih besar jelas tidak menikmati pesta itu sama sekali. Mereka duduk
bosan di kursi masing-masing, menatap Jae Ri dengan pandangan tak senang yang
sama.
Satu-satunya yang membuat mereka
tertarik adalah kue ulang tahunnya. Kue ulang tahun tak pernah tampak begitu
menggiurkan seperti hari ini. Warnanya merupakan perpaduan merah muda dan
putih, lengkap dengan mutiara-mutiara serta mahkota yang terbuat dari adonan.
Intinya, kue itu terlihat terlalu megah untuk pesta ulang tahun anak 12 tahun.
Jelas sekali si Jae Ri ini dimanja habis-habisan.
Selama acara ulang tahunnya
berlangsung, alih-alih gembira, Jae Ri malah mengernyit pada anak-anak asuh dan
terus memutar kepala, memerhatikan dekorasi dengan pandangan mencela.
Benar-benar tidak tahu sopan santun. Padahal anak-anak sudah menghabiskan
hampir tiga hari untuk menyulap aula makan menjadi secantik ini, tapi reaksinya
malah mengecewakan begitu.
Jarum jam dinding sudah
menunjukkan pukul delapan malam, tepatnya tiga jam semenjak pesta Jae Ri
berakhir. Anak-anak yang masih kecil sudah pergi ke kamar masing-masing karena
kelelahan bermain. Sementara mereka yang di atas 10 tahun bertahan di sana
untuk beres-beres, walau nyatanya sejak tadi tak ada yang berberes. Mereka
(Hana-Somin-Melvin-Eun Ki-Won Tak dan Hyun Mi) cuma mengobrol dan terkikik
pelan sambil menghabiskan sisa-sisa makanan.
“Mestinya kita tak usah
repot-repot mendekor,” kata Eun Ki, masih menggosok mukanya yang belepotan
tepung bekas bermain games. Setelah
kalah secara tidak hormat dalam permainan itu, suasana hatinya langsung
terperosok ke lantai. Jae Ri curang dan semua anak melihatnya, namun sang MC
tetap kekeh berkata sebaliknya. Ya, acaranya memang sudah tiga jam yang lalu,
tapi tepung itu masih belepotan di pipi dan dagunya, dan rasa tidak terima
masih menguasai hatinya.
“Gamesnya payah. Dan hampir semua
dia yang menangkan. Padahal tanpa harus menang games pun dia bisa dapatkan semua hadiah itu, kan? Kenapa tidak
beri kita kesempatan untuk bersenang-senang sedikit saja? Egois sekali,”
komentar Hyun Mi.
“Kalian harus lihat bagaimana
ekspresi Bunda Sejeong saat si Jae Ri bilang dekorasinya kampungan.” Won
Tak mendengus dan menggeleng-geleng, tangannya terlipat di dada. “Kalau aku
jadi dia, sekalipun aku tak suka, aku akan bilang terima kasih dan memalsukan
senyum. Beres. Dongkol sendiri sih tak masalah, tapi dia malah bilang begitu pakai
mikrofon dengan tampang jijik. Muka Bunda Sejeong sampai kaku seperti ini.”
Anak laki-laki berusia 11 tahun itu meniru ekspresi terkejut Bunda Sejeong
hampir akurat.
“Yeah, itu persis sekali. Bunda
kelihatan kaget luar biasa,” sambar Hana.
“Mungkin Bunda Sejeong kira semua
anak semanis kita,” Eun Ki menyahut. Mereka semua terbahak.
“Satu-satunya yang bisa disyukuri
dari acara ini adalah kuenya,” kata Melvin, yang baru saja menghabiskan
potongan ketiganya. Semua anak terlihat setuju. Kuenya memang enak bukan main. Krim
dan brownisnya sangat lembut dan coklatnya langsung meleleh di mulut. Rasanya
mau menangis saking enaknya. Inilah salah satu bukti nyata bahwa harga tak
pernah bohong.
“Kurasa bukan,” kata Somin
menggeleng. “Kuenya memang enak tapi apa kau lihat betapa disayangnya Jae Ri
oleh orangtuanya? Itulah yang membuatku paling iri.”
“Hei, kubilang kan yang paling
bisa disyukuri, bukan yang membuat paling iri,” kata Melvin protes. “Kalau itu
sih aku juga lihat. Sepertinya dia tipe anak yang bisa mendapat segalanya.
Siapa yang tidak iri?”
“Mungkin kalau dia minta
dibelikan planet oleh ayahnya, akan langsung dibelikan.” Eun Ki seperti biasa
melebih-lebihkan.
“Yeah,” Hyun Mi tersenyum masam. “Tapi sekalipun Jae Ri ternyata tak selalu mendapat segalanya, aku sudah iri
sekali melihat dia bisa merayakan ulang tahun bersama orangtuanya.”
“Benar. Hari ini menyenangkan,
maksudku, gamesnya memang agak payah tapi lumayan menghibur, kuenya juga enak
dan masing-masing dari kita dapat snack macam-macam, tapi sejak tadi hatiku
rasanya sakit. Dan karena kalian menyinggung soal orangtua, sepertinya aku
mulai tahu alasannya. Mungkin inilah efek samping dari terlalu iri.” Somin
berkata sambil tersenyum geli seolah sedang mengatakan lelucon. Tapi dari
matanya, rasa sakitnya seperti tembus pandang.
“Setelah dipikir-pikir, aku juga
merasa sakit.” Won Tak menyahut, turut tersenyum geli.
“Hahaha, ya ampun,” Eun Ki
berkata dengan suara keras. “Pesta ulang tahun seharusnya tidak berdampak
negatif begini, kan? Dasar si Jae Ri.”
Mereka semua tertawa. Hana yang
menyaksikan bagaimana topik pembicaraan mereka mengalir ke arah yang
menyedihkan tak bisa ikut tertawa. Sejujurnya hatinya pun sakit sekali, melihat
Jae Ri yang dirangkul oleh kedua orangtuanya entah bagaimana membuat dadanya
sesak. Rasanya seperti diingatkan lagi bahwa dia sekarang sudah tak punya ayah
dan saat ulang tahunnya nanti, ayahnya tak akan bisa merangkulnya lagi.
Hana jadi teringat perkataan
Taeyong tempo hari. Ya, dia benar. Ini namanya bukan berbagi kebahagiaan.
Bagaimana bisa disebut berbagi kebahagiaan kalau alih-alih bahagia, mereka
semua malah merasa sesak?
“Omong-omong, ayo kita bereskan
aulanya sekarang. Aku agak muak melihat nama anak itu di sini.” Eun Ki yang
dagunya masih belepotan tepung berdiri.
“Yeah, dekorasinya kampungan,”
gurau Won Tak, ikut berdiri.
Setelah itu hampir semua anak
yang masih tinggal di aula makan bangkit dari duduknya sambil tertawa dan
melontarkan gurauan sarkastik.
“Heh, ide siapa menggunakan pita
pink? Bikin sakit mata.”
“Gelas polkadotnya apalagi! Ih
kampungan.”
Mereka tertawa terpingkal-pingkal
sambil berpencar merobek hiasan di dinding.
“Apa masih ada yang mau kuenya?”
tanya Somin saat sedang membereskan meja.
“Aku mau, sih. Tapi kalau aku
makan lagi perutku bisa meledak,” sahut Melvin seraya menarik pita-pita di
dinding.
“Kalau begitu berikan pada
Taeyong oppa saja,” Somin mengulurkannya pada Hana yang kala itu tengah
membungkuk memungut sampah.
“Eh? Taeyong?”
“Ya. Dia harus coba.”
“O-okay, akan kuberikan padanya
kalau kita sudah selesai beres-beres.”
“Berikan sekarang saja.” Eun Ki
yang baru mengambil gabus huruf J dari nama Jae Ri berbalik menghadap Hana
sambil mematahkan gabus itu sepenuh hati. “Mumpung belum terlalu malam. Lagian,
kami akan sisakan bagian menyapunya untukmu.” Eun Ki mengerling jahil. “Tambah
mengepel kalau kau mau.”
Hana tersenyum, mengambil kue
dari tangan Somin. “Baiklah. Aku segera kembali. Aku tak mau mengepel ruangan
sebesar ini sendirian.”
“Kita lihat saja nanti,” seru Eun
Ki.
“Dasar.”
“Sampaikan salam kami padanya,
dan katakan sampai ketemu besok malam,” ujar Somin.
“Yeah, katakan kami tak sabar,”
teriak Won Tak.
**********
Udara malam itu terasa lebih
dingin saat Hana berjalan ke kamar Taeyong. Mengingat ini sudah pertengahan
November, apa jangan-jangan musim dingin dimulai lebih awal? Hana setengah
tersenyum, ia berpikir jika udara cukup dingin, mungkin Bunda Sejeong akan
mengizinkan Taeyong bermain di lapangan dan perang bola salju dengan mereka.
“Kukira kau tak akan datang,”
sambut Taeyong, cuma melirik Hana sedikit dari balik laptopnya. Pria itu duduk
di depan meja kecil tempatnya biasa makan. Hana menutup pintu dan menghampiri.
“Tadinya sih tak mau datang. Tapi
anak-anak menyuruhku membawakan ini untukmu,” katanya sambil meletakkan kue ulang tahun Jae Ri di sebelah laptop, lantas menjulurkan kepalanya untuk melihat layar laptopnya.
“YAH!! Kenapa kau lihat foto-fotoku!”
“Kau imut,” respon sang pria tenang.
“Aku benar-benar kelihatan dekil
di semua foto ini, apanya yang imut!” pekik Hana, segera merebut laptopnya
dengan muka merah merona. Taeyong yang sudah melihat isi laptop itu sampai
bosan tak mencoba menghalangi. Ia malah dengan santai menarik piring kuenya dan
memakannya. Detik kemudian matanya langsung terbelalak, ia menggumamkan “ini
enak sekali” tak henti-henti.
“Aku tahu. Itu satu-satunya hal
yang bagus dari acara tadi.”
Taeyong mengabaikan Hana dan
bergumam lagi. “Ya ampun, ini enak sekali.” Wajahnya berubah merah jambu dan ia
terus mengeluarkan erangan aneh.
“Tahu tidak, kau benar. Anak-anak
bilang mereka tidak senang dengan acara tadi.”
Taeyong memakan kuenya
pelan-pelan supaya tidak habis, namun setelah beberapa saat kuenya tetap saja
habis. Setelah itu, Taeyong baru mengalihkan pandangannya pada Hana. “Tadi kau
bilang apa?” tanyanya tanpa dosa.
“Kubilang, kau benar soal berbagi
kebahagiaan. Maksudku, anak-anak tidak bahagia.”
“Tentu saja. Mereka pasti iri,
kan?”
Hana mengangguk.
“Kalau benar-benar mau berbagi
kebahagiaan, seharusnya mereka rayakan ulang tahun salah satu anak di sini.”
“Benar.” Hana setuju sepenuh
hati. Dia membayangkan Jeha yang berdiri di belakang kue dan mendapat perhatian
dari semua orang, itu akan jauh lebih membahagiakan. Bukan hanya untuk Jeha,
tapi untuk semua anak di sini. Para penghuni rumah singgah memiliki nasib yang sama. Melihat
salah satu dari mereka senang, otomatis akan membuat yang lain senang.
Setelah membicarakan itu, Hana
langsung menutup laptopnya dan bersiap pamit. Namun Taeyong tiba-tiba berkata,
“Aku melihat videomu.”
“V-video apa?”
“Judulnya gerhana matahari.”
“Ohh, itu sudah beberapa tahun
yang lalu. Kebetulan terlihat di Korea, jadi kami semua berkumpul di tanah
lapang untuk melihatnya. Aku masih sangat kecil waktu itu, tapi masih terbayang
jelas,” kata Hana menerawang. “Menakjubkan sekali.”
“Aku juga mau lihat yang seperti
itu.”
“Gerhana matahari tak selalu bisa
dilihat di Korea. Sekalipun bisa, masih ratusan tahun lagi.”
“Apa?”
“Tapi kalau tidak salah, hujan
meteor bisa dilihat dengan mata telanjang dalam waktu dekat ini. Dan kudengar
itu akan melewati Mungyeong.”
“Benarkah? Kapan?”
“Uhh 3 hari lagi? Beritanya heboh
sekali. Sebentar,” Hana meletakkan laptopnya kembali ke meja, kemudian merogoh
saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Jarinya bergerak lincah di mesin
pencari selama beberapa saat sebelum akhirnya terkesiap. “B-besok malam,”
katanya lirih.
“Bagus.”
“Apanya yang bagus? Kita tidak
akan ke mana-mana.”
“Kita akan makan malam di aula
dan pergi melihat hujan meteor.”
“Yeah, di televisi. Aku yakin ada
banyak siaran langsung untuk fenomena alam sespektakuler ini.”
“Aku mau lihat dengan mata
kepalaku sendiri, Han.” Taeyong mengeluh.
“Tapi lokasinya terlalu ja..,”
Hana membaca sebaris kalimat di artikelnya dan terkesiap lagi. “HEH? Di
lapangan sekolahku?”
“BAGUS!!” Taeyong memekik
kegirangan.
“Berhenti bilang bagus! Kita tak
akan ke mana-mana. Udara di luar tak cukup dingin untukmu!”
Mendadak terdengar bunyi
berkeresak di jendela. Baik Hana maupun Taeyong refleks menoleh. Ternyata itu
hanya sebuah ranting pohon yang tertiup angin dan menabrak kaca. Tapi keduanya
nampak terkejut sekali. Bukan karena ranting itu, melainkan sesuatu yang lain.
Musim dingin benar-benar datang lebih awal. Hana melongo melihat serpihan salju
berbondong-bondong turun dari langit.
Taeyong tersenyum miring padanya.
“Kau lihat semua kebetulan ini? Sepertinya alam semesta amat menyayangiku, eh?”
TBC
Pengumuman!!! Freeze bakal hiatus sampai taun depan karena urusan
kuliah author.
Have a nice day, ya^^
See you next year.. babay
Comments
Post a Comment