Freeze #7 (meteor shower)



“Kalau kau tanya pendapat Ibu, lebih baik kita kembali ke Seoul saja. Ke rumah lama,” kata Ibu Hana sementara seorang suster mencatat perkembangan respon gerak refleksnya yang nampak sudah normal.



“Begitu?” Balas Hana murung. “Lalu bagaimana sekolahku?”
“Kau yakin itu yang kau khawatirkan? Bukan anak es itu?”
“Ibuuuu!” Hana mengirimkan tatapan ‘jangan bicarakan itu!’ sambil melirik suster di depan mereka.



Ibu Hana tertawa. “Bagaimana, ya? Ibu sangat berterima kasih pada Bunda Sejeong karena sudah merawatmu selama ini. Tapi jika harus tinggal di sana…, entahlah. Kita kan masih punya rumah.”



“Rumahnya sudah sangat kotor. Banyak tikus dan listriknya mati.”
“Itu bisa diurus.”
“Tapi….”
“Kau tinggallah di rumah singgah sampai sekolahmu selesai. Biar Ibu tinggal sendiri di Seoul.”
“Ibuuuu…. Kau pikir anak macam apa aku ini? Aku tak mungkin membiarkan Ibu tinggal sendiri.”
“Loh, memangnya kenapa? Ibu kan sudah sembuh. Iya, kan, Suster?” Ibu Hana menoleh kepada seorang perempuan berseragam putih steril meminta persetujuan. Sang suster mendongak dari papan jalannya dan tersenyum ramah seraya mengangguk. Lantas kembali tekun menuliskan sesuatu.



“Kau lihat, kan? Ibu sudah sembuh. Tinggal sendiri di Seoul sama sekali bukan masalah. Lagi pula Ibu mau lihat di mana abu ayahmu disimpan.”



“Kalau soal itu, tanpa harus tinggal di Seoul pun bisa kita lakukan, kan? Aku janji akan mengajak ibu ke tempat pemakaman ayah begitu ibu diperbolehkan pulang.”



Ibu Hana tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan membelai rambut sang anak. “Ibu paham kau suka sekali berada di sini. Tapi Ibu benar-benar merindukan rumah. Ibu yakin kau pasti mengerti. Ibu sungguh-sungguh ingin pulang.”



Hana menatap sang ibu. Mata ibunya terlihat sendu sekali seolah sedang memohon. Tak tahan melihat tatapan itu, ia pun menghela napas kemudian mengangguk dengan berat hati.




**********




Menenteng kantong plastik berisi bahan makanan, Hana berjalan pelan memasuki area rumah singgah. Dari kejauhan, ia bisa melihat betapa antusiasnya anak-anak sore itu. Mereka mondar-mandir memasuki aula makan sambil membawa botol cola dan serbet yang baru dicuci. Semuanya berpakaian rapi seolah ingin menyambut tamu dari kerajaan Inggris. Anak-anak terlihat amat bersemangat, senyum dan energi positif terpatri di wajah bergairah masing-masing.



Saat Hana masuk, anak-anak sedang ribut menentukan posisi duduk, semuanya ingin bersebelahan dengan Taeyong. Bahkan sebagian dari mereka sudah duduk sambil memegang sendok garpu, padahal acara makan malamnya masih tiga jam lagi. Hana bahkan belum memasak sama sekali. Hana cepat-cepat berjalan lurus menuju dapur dan mengeluarkan semua belanjaannya. Ia merebus air untuk memasak spageti, lalu mengumpulkan sayuran dalam baskom untuk dicuci di washtafel.



“Eonni, butuh bantuan?”



Hana menoleh dan melihat Somin yang kelihatan imut sekali dengan gaun merah selutut berhias pita hitam. Rambut ikal yang biasanya selalu digerai kini dikuncir sebagian.



“Kau kelihatan manis sekali.”
“Terima kasih,” kata Somin, berdiri di sebelah Hana dan tanpa diminta membantunya mencuci. “Aku tak sabar ingin bertemu Taeyong Oppa. Bagaimana denganmu, Eonnie? Kalau sudah sering bertemu pasti sudah tidak senorak kami, ya?”



“Eh? Norak apanya?”



Somin tersenyum, “yah, aku tahu penyambutan kami berlebihan. Bahkan Eun Ki sampai mengganti bohlam lampunya supaya lebih terang. Dan baju-baju yang kami pakai. Dan peralatan makan yang dicuci ulang. Dan semuanya. Tapi mau bagaimana lagi? Kami memang benar-benar sebahagia itu. Mustahil rasanya untuk pura-pura biasa saja saat tahu seseorang sekeren Taeyong Oppa akan datang berkunjung. Dia sudah seperti idola kami semua.”



Hana cuma tersenyum tipis sebagai tanggapan. Sejujurnya ia tak benar-benar mendengarkan celotehan Somin barusan. Sebab alih-alih antusias, hatinya malah terasa tak tenang dan gelisah. Dia berharap semoga Taeyong sudah melupakan hujan meteor yang diprediksi akan terjadi malam ini. Hana benar-benar sudah kapok dimarahi Bunda Sejeong, dan kalau sampai dia tahu anaknya meninggalkan rumah singgah untuk melihat meteor, Hana sudah pasti akan digiling.



Selain itu, perkataan ibunya tadi juga masih bergaung di kepala Hana. Apa ia tega meninggalkan ibunya yang baru siuman dari koma sekian bulan untuk tinggal sendirian di rumah lama yang kotor dan penuh kenangan? Walaupun mengangguk, nyatanya Hana tak sepenuhnya setuju. Setelah meninggalkan rumah sakit, tepatnya selama membeli bahan makanan sampai sekarang, ia masih mempertimbangkan untuk pindah ke Seoul saja. Lagi pula apa yang ia pertahankan di sini? Sekolahnya payah, guru-gurunya mengajar tanpa tanggung jawab dan ia bahkan tak punya teman sungguhan. Sepertinya ibunya benar. Mungkin alasan dirinya tak mau pergi hanyalah Taeyong seorang. Karena sudah ketergantungan, meninggalkannya menjadi berat sekali.



Hana menoleh pada Somin, lalu pada anak-anak yang sedang cekikikan di meja makan.



Aku tak mau meninggalkan mereka juga. Aku suka di sini. Tapi durhaka sekali rasanya kalau sampai memilih Taeyong dan anak-anak dibanding ibuku sendiri.



Hana menghela napas. Dan saat itu pendengarannya baru berfungsi lagi.



“Eonnie, haaaalooo? Kau dengar aku?”
“Eh? Apa?” Hana menoleh pada Somin.
“Kentangnya mau dikupas berapa?”
“Ah? Ya.”
“Berapa?”
“Eh? Semuanya saja.”
“Kau yakin?”
“Ya.”
“Oke.” Somin mengambil talenan dan pisau, lalu melirik Hana. “Eonnie, kenapa dari tadi melamun? Kau juga gugup bertemu Taeyong Oppa, ya?”



“Eh? Mana mungkin aku gugup?” tanya Hana, suaranya serak tiba-tiba.



Bunyi ‘Tak Tak’ dari pisau Somin terdengar berkala, menjadi latar belakang perbincangan mereka di dapur sore itu. Sang gadis bergaun merah terkekeh, “Jadi benar tidak gugup?” godanya sambil memandang Hana jahil.



“Tidak. Memangnya untuk apa aku gugup?”
“Taeyong Oppa kan cakep sekali, mungkin saja kau….” Somin terkekeh lagi.
“Aku apa?”
“Yah,.. begitulah.”
“Apa?”
“Aku setuju, kok.”
“Setuju apa?”



Somin cekikikan tak henti-henti.




**********




“Kau sudah siap? Ayo!”
“Err, sebentar.”



Taeyong berpaling dari ibunya dan mulai mengamati dirinya sendiri. Ia mengenakan sweter putih dan jins abu-abu pudar. Rambutnya disisir ke belakang dan wajahnya pucat seperti biasa. Pupil matanya yang abu-abu nampak berkilauan seperti serpihan es.



“Eomma yakin aku kelihatan oke?”



Bunda Sejeong melangkah ke belakang Taeyong sampai bayangannya ikut terpantul di cermin, lantas memandangi anaknya itu dengan ekspresi menilai yang dibuat-buat.



“Yah.. lumayan.”
“Seperti apa kelihatannya?”
“Seperti anakku.”
“Eomma!”



Bunda Sejeong tertawa lalu menepukkan tangannya ke bahu sang anak. “Kau terlihat baik-baik saja, Sayang. Apa yang mengganggumu?”



“Aku cuma… gugup.”
“Eomma paham.” Senyum keibuan tersungging di bibir Bunda Sejeong. “Dengar, Eomma janji acaranya tak akan lebih dari 1 jam. Tapi jika ternyata tubuhmu sudah tidak enak bahkan sebelum makan malamnya selesai, jangan ragu untuk bilang padaku. Kau mengerti?”



Taeyong mendecak dan berbalik menghadap sang ibu. Raut wajahnya berubah muram. Bukan itu masalahnya. Rasa gugupnya terjadi karena sebentar lagi ia akan bersosialisasi dengan begitu banyak anak dan Taeyong merasa belum terlatih melakukan itu. Dia bukan gugup karena akan meninggalkan ruangan ini.



“Aku tidak akan kenapa-napa walau ada di luar semalaman.”
“Tak ada yang tahu.”
“Benar. Tak ada yang tahu, termasuk Eomma,” katanya sengit.
“Eomma bilang sendiri aku spesial. Katamu aku lebih kuat dari manusia normal. Lalu kenapa anak yang lebih kuat dari manusia normal malah dikurung di sini? Aku tak butuh ruangan sedingin es untuk hidup. Aku tak butuh peti ini untuk tidur.” Taeyong menendang petinya. “Aku bukan vampir yang kulitnya bisa terbakar jika terkena sinar matahari, bukan juga boneka salju yang bisa meleleh. Lagi pula ini musim dingin, bahkan boneka salju pun tak akan meleleh saat musim dingin. Aku tak mengerti kenapa bisa-bisanya Eomma berpikir kalau dunia di balik pintu itu bisa membunuhku!” Taeyong menunjuk pintunya, lalu menendang kaki peti tidurnya sekali lagi dengan emosi.



Di hadapannya, sang ibu cuma memandanginya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Lantas menghela napas lelah. Pembicaraan ini merupakan topik abadi yang selalu membuat mereka bertengkar tak habis-habis.



“Eomma sudah bilang padamu, kan? Bagiku, mencegah itu lebih baik dari mengobati. Kita tak tahu apa tubuhmu bisa menoleransi udara di luar.”



“Aku sudah pernah keluar dan aku baik-baik saja.”
“Tapi kita tak tahu seberapa lama.”
“Kalau begitu, daripada mengurungku di sini tanpa kepastian, kita harus cari tahu.”



Bunda Sejeong menggeleng tegas dan rahangnya mengeras menahan emosi. “Kau tak mengerti. Seandainya terjadi apa-apa, aku tak bisa membawamu ke rumah sakit seperti orang normal. Aku tak bisa membawamu ke mana-mana. Jika terjadi apa-apa, aku cuma bisa menangis di sebelahmu sambil berdoa. Eomma tak mau itu terjadi. Eomma hanya berusaha melindungimu. Mengertilah!”



“Sudah kubilang ini namanya bukan melindungi!”
“Taeyong, cukup! Jika kau terus bersikap tidak menyenangkan begini, kita batalkan saja acara makan malamnya!”



Ekspresi wajah Taeyong langsung melunak. “J-jangan! Jangan dibatalkan, anak-anak akan kecewa.”



“Kalau begitu tolonglah mengerti posisiku,” kata Bunda Sejeong memohon. “Eomma tak akan ambil risiko kehilanganmu. Bisakah kau ubah cara pikirmu dari ‘ibuku sangat mengekangku’ menjadi ‘ibuku sangat menyayangiku’ karena begitulah adanya. Kau sungguh tak akan paham akan apa yang kutakutkan di luar sana.”



Mata Bunda Sejeong sudah berkaca-kaca dan ia bicara dengan napas tertahan yang menyedihkan. Taeyong praktis merasa bersalah. Ia mengambil sarung tangan kedap suhunya, kemudian menyeka air mata sang ibu dengan itu. Dadanya mencelos. “Ayolah, jangan menangis. Baik, oke, aku mengerti kau menyayangiku. Maafkan aku.”



Bunda Sejeong terisak sedikit sebelum menarik Taeyong ke pelukannya. “Jangan. Jangan peluk aku. Kau tak boleh peluk aku. Nanti badanmu lebam lagi.”



“Sebentar saja.”



Taeyong menepuk punggung ibunya beberapa kali sebelum mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menahannya di udara. Sebab kalau disentuh terlalu lama, sang ibu sudah pasti akan merasa sakit.



“Eomma… menjauhlah.”



“Sebentar lagi. Sebentar.” Ibunya menangis tersedu-sedu di dadanya. Taeyong tak bisa berbuat apa-apa. Namun ia bisa merasakan hatinya tersayat-sayat dan memberat.



“Eomma sangat menyayangimu.” Dan semakin berat lagi. Seolah hujan meteor yang seharusnya terjadi di langit pindah ke hatinya.



“Aku juga.”



Taeyong menghela napas, berpikir mungkin ia harus mengurungkan niatnya untuk pergi malam ini. Ia tak cukup tega untuk mengkhianati kepercayaan ibunya setelah membicarakan semua ini.




**********




“Katamu Bunda Sejeong dan Hana Eonnie yang akan duduk mengapit Taeyong Oppa,” kata Somin jengkel. “Ini tidak adil. Kenapa malah kalian berdua?”



Bukannya minta maaf atau menjelaskan, Melvin dan Eun Ki malah ber-high five dan cengengesan, praktis membuat Somin semakin geram.



Hana yang duduk di sebelah Somin mencoba menenangkan anak perempuan itu. “Kau mau tukar denganku? Kalau duduk di sini kau akan berhadapan langsung dengan Taeyong.” Hana menawarkan. Somin ragu-ragu untuk menolak, “Ngg, memangnya tidak apa-apa?”



“Tentu saja tidak apa-apa. Mau duduk di mana pun sama saja bagiku.”



Saat Somin sedang menimbang-nimbang, pintu aula makan tiba-tiba berayun terbuka. Sorakan heboh bak melihat artis bergaung di sana. Di antara euforia itu, Hana mencolek lengan Somin dan menyuruhnya berganti tempat. Tapi Somin langsung menggeleng dengan wajah merah.



“Tidak jadi. Dia keren sekali aku jadi malu.”
“Malu kenapa?”
“Aku tak mungkin bisa makan dengan tenang kalau di depanku ada Oppa secakep itu.” Wajahnya makin merah.



“Kau yakin? Ayo tukar sekarang sebelum menyesal!”



Saat Hana menoleh pada Somin lagi, gadis itu sudah menunduk dalam-dalam sambil menepuk-nepuk mukanya yang sudah semerah kepiting rebus. Hana terkejut dan kontan tertawa geli. “Ya ampun, Somin!”



“Eonnie, diamlah!” desis Somin malu. Sama sekali tak bisa mengendalikan rona merah di wajahnya.



Di sisi lain, Taeyong terlihat amat terhibur dengan sambutan yang diterimanya. Ia sengaja berjalan dengan langkah pelan untuk menikmati popularitasnya itu dan mendengarkan desisan kagum anak-anak. Baru setelah puas dielu-elukan, ia pun duduk di kursi yang disediakan. Melvin dan Eun Ki memundurkan badan ke kepala kursi dan saling pandang dengan wajah bergairah yang ditahan-tahan. Keduanya seolah sedang saling memekik tanpa suara. Hana benar-benar tak percaya Taeyong ternyata sepopuler ini.



Sementara itu, Bunda Sejeong duduk jauh di ujung meja seperti kepala keluarga. Ia memimpin doa yang cukup panjang. Namun semua anak tak bisa khusyuk karena sibuk mencuri pandang pada Taeyong. Sadar sedang diperhatikan, Taeyong mengangkat kepalanya dan seketika itu juga semua anak yang tertangkap basah sedang memandanginya terkejut dan langsung berpaling. Melihat itu, Hana tersenyum geli dan terkikik tanpa suara, Taeyong melirik Hana dan ikut terkikik.



Doa selesai.



Makan malam pun dimulai. Awalnya anak-anak tampak malu-malu untuk bertanya ini-itu. Tapi setelah Eun Ki mulai buka mulut, urat malu seluruh anak nampaknya putus serentak dan malah tak ada yang bisa tutup mulut.



“Berapa umurmu, hyung? Kau kelihatan sudah besar sekali.”
“Err 16?” Taeyong menjawab dengan nada bertanya. Matanya melirik Bunda Sejeong minta konfirmasi.



Bunda Sejeong menggeleng, “Bukan. Kau sekarang sudah 17.”



“17?” teriak Jeha. “Umurmu banyak sekali.”
“Heh, reaksi macam apa itu! Kau tahu tidak umur Bunda Sejeong lebih banyak dari itu!” Eun Ki mengomel. Hana refleks menepukkan telapak tangannya ke muka. Ingin sekali rasanya gadis itu menarik telinga Eun Ki dan mengatakan kepadanya bahwa komentarnya barusan terdengar jauh lebih memalukan daripada komentar Jeha.



“Bunda, apa rambutku juga akan memutih begitu kalau umur 17?” Jeha bertanya lagi. Mengabaikan Eun Ki yang masih mendumel sok bijak ke arahnya.



Bunda Sejeong yang tak tahu harus menanggapi apa cuma tersenyum.



Melihat reaksi sang ibu asuh, kali ini gantian Melvin yang mengomel. “Walaupun masih kecil, bodohnya jangan kelewatan, dong!” desis Melvin pada Jeha—yang langsung mengernyit tak terima. Walau wajah Melvin saat mengatakannya terlihat amat terganggu, namun ia tak berani bicara kencang-kencang karena Bunda Sejeong sudah pasti akan mengomelinya.



Namun Eun Ki tak memperhitungkan kemungkinan itu dan malah mencemooh terang-terangan, “Kau kira itu uban, ya? Bodoh sekali.”



Bunda Sejeong langsung menatapnya tajam. Eun Ki meringis sambil memukul bibirnya pelan. Ada peraturan tak tertulis yang wajib dipatuhi oleh seluruh anak asuh di sini. Tidak ada yang boleh berkata kasar di rumah singgah jika masih mau hidup.



“Aku yakin Taeyong Oppa sengaja mewarnainya supaya keren,” kata Hyun Mi. “Iya kan, Oppa?”
“Aku tak mewarnainya,” jawab Taeyong datar, tangannya sibuk menggulung spageti di garpu dan menggiringnya masuk ke dalam mulut.



“Jadi kau terlahir dengan rambut begitu?”
“Yeah, sepertinya.” Taeyong sendiri terlihat ragu menanggapi pertanyaan Hyun Mi. Ia melirik Bunda Sejeong lagi, namun kali ini sang ibu nampak enggan untuk menanggapi.



Hana mengambil kesimpulan bahwa Taeyong tidak terlahir dengan rambut perak begitu. Bicara soal rambut, hari ini Taeyong menyisir rambutnya ke belakang. Karena tatanan rambut itu, meski cuma mengenakan sweter katun dan jins, ia jadi kelihatan rapi sekali. Bahkan bibirnya nampak lebih merah dari biasanya. Taeyong jelas berusaha untuk tampak menawan malam ini—dan berhasil.



Sejujurnya hal itu membuat Hana merasa agak malu. Ia cuma pakai kaos cokelat tua dengan rambut dicepol asal-asalan, sementara semua anak di sekelilingnya memakai baju terbaik mereka. Seolah anak-anak itu sedang menghadiri acara award sedangkan Hana cuma seorang staf yang bertugas menggotong kursi. Intinya, gadis itu amat menyesal tidak pakai baju terusan atau rok atau sesuatu yang lebih rapi.



Setelah menghabiskan spagetinya, Hana memenuhi piring kosongnya dengan kentang goreng dan menatap Taeyong penuh konsentrasi, seolah sedang mengirimkan telepati. Dia mau bilang lebih baik mereka tak usah pergi malam ini. Taeyong tak mengerti maksud tatapan Hana, namun di dalam kepalanya, ia juga tengah memikirkan hal yang sama. Mungkin sebaiknya mereka tak usah pergi saja.



Satu jam pun berlalu.



Anak-anak di meja makan sedang mengobrol seru sambil memakan puding saat Bunda Sejeong berdiri dengan mengagetkan. Semua anak praktis memandangnya, bingung. Tapi Taeyong yang sudah mengerti tabiat sang ibu langsung mendesah sambil meletakkan alat makannya. Waktu berkunjungnya sudah habis.



“Kapan-kapan undanglah aku makan di sini lagi,” kata Taeyong ramah sembari berdiri.
“Tidaak,” lolong Jeha. Membuat wajah merengut yang persis sama seperti saat kartun kesayangannya habis.



“Ini bahkan belum jam delapan. Kenapa cepat sekali?” protes Eun Ki.
“Ya. Kenapa cepat sekali?” Somin menimpali. Wajahnya yang sedari tadi bersemu merah kini mulai menggelap karena tidak terima. Walaupun tak banyak bicara (dia berbisik pada Hana bahwa lidahnya seakan tertekuk ke dalam tiap kali melihat Taeyong senyum), Somin tetap menikmati kehadiran Taeyong sepenuh hati. “Kami akan mengundangmu tiap malam jika boleh.”



“Pagi, siang, sore, malam, jika boleh,” tambah Melvin. Matanya dan mata Somin dengan kompak melirik Bunda Sejeong seolah sedang menyindir.



“Pasti akan ada makan malam yang lain,” Bunda Sejeong menjawab kalem. “Ayo, Taeyong.”
“Eomma, bisakah aku kembali dengan Hana saja? Ada yang mau kubicarakan dengannya.”
“Bicara apa?” tanya Bunda Sejeong penuh selidik.



Secara serentak, hampir semua anak menoleh pada Bunda Sejeong dengan tatapan menghakimi. Mereka semua nampaknya sudah lelah dengan sikap posesif Bunda Sejeong yang semakin berlebihan. Wanita itu menyadari tatapan anak-anak dan dengan berat hati duduk kembali, “Baiklah,” katanya muram.



Taeyong menoleh pada Hana dan mengedikan kepalanya ke luar. Hana pun berdiri ragu-ragu.



“Jangan kira Eomma tak akan ke sana setelah membereskan meja. Kau sebaiknya sudah ada di kamarmu saat aku ke sana, Taeyong.”



“Ya, aku tahu,” kata Taeyong bosan. Kemudian segera menangkap pergelangan tangan Hana yang posisinya sudah dekat. Lantas keduanya pun berlalu meninggalkan aula makan.



“Kita tak usah pergi,” kata Hana, segera setelah kaki mereka menyentuh lapangan.



Taeyong memandangnya selama beberapa saat sebelum mengangguk lesu. “Oke,” katanya tanpa tenaga.



Hana terkejut akan reaksi itu. Benar-benar di luar dugaan. Padahal ia sudah berlatih skenario panjang di kepalanya. Ia mengira akan ada perdebatan sengit yang membuatnya harus tarik urat. Jika perdebatan itu terjadi, Hana sudah menyiapkan beberapa alasan, antara lain 1) Bunda Sejeong akan sangat marah kalau ketahuan, 2) Akan ada ratusan orang yang berdesakan di lapangan dan tak terbayang betapa mustahilnya untuk tidak menyentuh salah satu dari mereka, baik sengaja maupun tidak, dan 3) berdasarkan data Badan Meteorologi, karena sedang turun salju, persentase kemungkinan hujan meteor itu akan terlihat dengan mata telanjang jadi menurun ke angka 35%.



“Oke, baguslah kalau kau paham.”
“Yeah.”
“Kau bilang ada yang mau dibicarakan denganku?”
“Err, aku masih memikirkannya.”



Hana mengernyit bingung, tapi tak berkomentar.



Hingga akhirnya tibalah mereka di gedung terlarang. Tinggal sepuluh meter lagi dari kamar Taeyong dan pria itu masih saja berpikir. Hana sudah membuka mulut untuk bertanya, tapi sebelum suaranya keluar Taeyong berhasil menyelanya.



“Kau bawa kunci?” kata pria itu tiba-tiba.
“Bukannya ruanganmu tidak dikunci?”
“Sekarang memang tidak. Tapi nanti setelah Eomma mengecekku, dia pasti akan menguncinya.”
“Itu sudah pasti.”
“Kalau begitu kau bawa kunci?” Taeyong mengulangi, lebih mendesak.



Hana mengangguk dengan wajah curiga. “Apa yang…”



“Berikan padaku.”
“Eh? Buat a—“
“Berikan padaku!”
“Dengar, aku tak punya kunci duplikat yang lain. Kalau kau sampai kehilangan kuncinya, aku tak akan bisa diam-diam mengunjungimu lagi, tidak akan ada pertemuan ilegal lagi dan..”



“Aku mengerti, sekarang berikan kuncinya!” ujar Taeyong tak sabaran, sebelah tangannya menengadah.



Sangat enggan, Hana menyerahkan kunci itu. Taeyong menyambarnya kemudian berkata dengan yakin, “Sudah kupikirkan.”



“Apa sih yang kau pikirkan?”
“Hujan meteor tidak terjadi tiap hari, Han. Apalagi Hujan meteor di musim salju. Rasanya seperti semesta tengah mempermudah jalan bagiku untuk keluar. Jika aku diberi kesempatan sebesar ini, mana mungkin aku tidak mengambilnya?”



“Taeyong, tidak.”
“Hana, ya,” balas sang pria penuh tekad. Hana bisa melihat matanya berkilat. “Sekarang atau tidak sama sekali.”



“Jangan gila! Kau tidak…”
“Jam berapa hujan meteornya?” potongnya dengan suara mendesak.



Hana mendesah tak habis pikir, namun tetap melihat layar ponselnya dan menjawab setengah hati, “Pukul 10 lewat 20. Hujan meteornya akan terjadi sekitar 7 menit. Tapi itu baru perkiraan. Bisa lebih cepat atau lebih lama. Bahkan bisa tak terlihat sama sekali.”



“Kenapa sih pesimis sekali?”
“Aku cuma membaca apa yang ada di artikel.”



Taeyong mendecih sesaat, kemudian kembali bertanya dengan serius. “Kira-kira perjalanan dari sini ke lapangan sekolahmu berapa lama?”



“Uhh 10 menit?”
“Kalau begitu tunggu aku di luar gerbang, jam 10 tepat,” katanya. “Boleh pinjam jam tanganmu?”



Hana melepas jam tangan yang ia kenakan dan mengulurkannya pada Taeyong. “Aku tak bilang aku setuju.”



Taeyong menyambar jam tangan itu, kemudian terdiam memandangi Hana seolah sedang berpikir. Setelah beberapa saat, ia pun mengangguk. “Oke, itu hakmu. Tapi aku akan tetap pergi.” Taeyong langsung menunduk untuk memakai jam tangan di atas sweter di pergelangan tangannya. Ia harus memakainya begitu jika tak mau jam tangan itu rusak karena suhu tubuhnya yang kelewat dingin.



“Taeyong, kumohon, pikirkan lagi.”
“Aku sudah berpikir.” Taeyong berkeras. “Sekali ini saja, aku mau ambil risiko. Aku mau tahu apa yang akan terjadi pada tubuhku kalau lama-lama di luar. Aku mau tahu reaksi orang-orang dengan penampilanku. Sejauh ini bagus sekali, kan? Anak-anak di rumah singgah menganggapku keren alih-alih aneh. Mungkin orang-orang di luar juga berpikiran begitu? Siapa tahu, kan? Lagi pula, aku mau lihat hujan meteor yang langka itu. Mumpung meteornya melewati Mungyeong.”



Taeyong melanjutkan dengan raut penuh harap, “Malam ini saja, Han. Kumohon, temani aku pura-pura normal.”



“Taeyong…” Hana menggeleng, “aku tidak akan pergi.”



Sang pria tak langsung menjawab, namun dari wajahnya ia jelas-jelas sedang menahan kecewa. “Oke,” katanya setenang mungkin, sembari menunduk melirik jam tangan Hana yang kini sudah melingkar di tangannya. “Kau masih punya 1 jam 55 menit untuk berubah pikiran.”



“Aku tidak akan berubah pikiran.”



Taeyong mendesah tak sabar. “Dengar, Han. Pikirkan ini, misalkan aku ketahuan, sekalipun kau tidak ikut, kau tetap akan kena imbasnya. Aku akan dikurung selamanya dan tak boleh ketemu siapa-siapa lagi, termasuk kau, APALAGI KAU. Kalau tahu hasilnya akan sama, kenapa tidak sekalian kita pertaruhkan segalanya saja? Kau paham maksudku?” Taeyong meletakkan tangannya di pundak Hana dan menarik gadis itu mendekat. Kepalanya setengah merunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah Hana dan bicara dengan suara yang seperti bisikan. “Kalau ketahuan, tak akan meninggalkan penyesalan. Kalau tidak ketahuan, ini akan jadi malam terhebat sepanjang masa. Itu yang kumaksud dengan sekarang atau tidak sama sekali.”



Dalam jarak sedekat itu, mata dingin Taeyong menyapu wajah Hana dengan intens, membuat gadis itu tak bisa berpikir jernih. Akal sehatnya berkata tidak, tapi sel-sel yang lain dengan kompak menyuruhnya mengangguk saja.



Saat kesadaran Hana kembali, sensasi membekukan dari telapak tangan Taeyong mulai terasa di pundaknya dan praktis membuat gadis itu bergidik. Taeyong menyadari hal itu dan langsung menurunkan tangannya dari pundak Hana ke lengannya, kemudian menarik gadis itu lebih dekat lagi dan menatapnya semakin dalam. Dia jelas tahu bahwa matanya yang super indah itu bisa membuat orang-orang terhipnotis dan mengangguk begitu saja seperti orang bodoh. Ia jelas-jelas tahu akan kelebihannya itu dan memanfaatkannya dengan baik.



Walaupun sudah berusaha keras, Hana tak bisa mengalihkan pandangannya, mata Taeyong amat indah dan tajam hingga rasanya tatapan itu sudah menembus kepalanya.



“Pergilah denganku,” bisiknya. “Apa pun yang terjadi besok, sekarang belum waktunya untuk dipikirkan.
“Jadi,“ Mata abu-abunya dipenuhi ambisi dan sebelah bibirnya tertarik membentuk senyum miring yang menawan. “Ayo lewati malam ini semaksimal mungkin… bersamaku.”





**********




Pukul 9 lewat 53, Bunda Sejeong akhirnya datang ke kamarnya untuk mengecek. Taeyong yang sudah mondar-mandir gelisah karena ibunya tidak datang-datang segera melompat ke sofa dan pura-pura baca komik. Aksi yang bodoh sekali mengingat lampu kamarnya sudah dimatikan. Tapi tak ada gunanya menyesal sekarang. Mau tak mau, ia pun memandangi isi komiknya di antara keremangan sambil berpikir alangkah bagusnya jika ia pura-pura tidur saja.



“Kau belum ganti baju,” kata Bunda Sejeong setelah menekan saklar lampu.
“Ya, sebentar lagi,” jawab Taeyong datar.
“Ganti baju dan tidurlah. Jangan baca buku saat gelap.”
“Ya.”
“Selamat malam.”
“Selamat malam.”



Bunda Sejeong sudah menjejakkan kaki ke luar namun tiba-tiba berbalik lagi. Taeyong yang sudah menurunkan komiknya terkejut dan segera mengangkat komiknya lagi. Pura-pura membaca.



“Omong-omong, kau hebat sekali bisa berbaur dengan anak-anak seperti tadi. Eomma bangga padamu.”
“Itu bukan apa-apa.”
“Terima kasih banyak untuk malam ini.”
“Aku yang harusnya bilang terima kasih.”
“Eomma menyayangimu.”
“Err, aku juga.” Aku juga amat menyayangimu, tapi bukan artinya aku akan selalu jadi anak penurut tiap waktu, lanjut Taeyong dalam hati.



Dan pintu pun dikunci. Taeyong bangkit dari sofa, menyambar sarung tangan kedap suhu lalu melompat ke atas lemari untuk mengawasi sang ibu. Dari sana, ia juga bisa melihat ke luar gerbang dan agak kecewa karena tak menemukan siapa-siapa. Taeyong menampik kekecewaan itu dan buru-buru menoleh ke arah ibunya lagi.



Setelah melihat sang ibu menghilang di balik lorong, Taeyong melompat turun dari lemari dan segera menancapkan kunci duplikat milik Hana ke lubang kunci. Ia memutarnya pelan-pelan, kemudian keluar dari kamarnya seperti ninja.



Taeyong berjalan bungkuk dengan langkah besar-besar dan mata yang awas memerhatikan sekeliling. Hingga tibalah ia di depan gerbang. Selama hidupnya, Taeyong lebih sering memanjat lemari daripada membuka pintu. Jadi, saat melihat gerbang tinggi di depannya, tanpa berpikir sama sekali ia langsung memanjat. Taeyong melompat turun di sisi yang lain dan perlahan-lahan mendongakkan kepala mengharap kehadiran seseorang.




**********




Hana mestinya tak perlu berpikir sekeras ini dan langsung tidur saja. Tapi ia malah melewatkan 1 jam 55 menitnya untuk membujuk dirinya sendiri supaya berubah pikiran.



Benar, pikirnya. Sekalipun aku ketahuan, sekalipun Bunda Sejeong mengusirku, aku toh memang mau pindah kembali ke Seoul. Walaupun aku tidak pergi melihat hujan meteor malam ini, aku tetap akan pindah ke Seoul dan tak melihat Taeyong lagi. Jadi kenapa tidak sekalian saja kuhabiskan waktu terakhirku bersamanya semaksimal mungkin? Kenapa tidak sekalian saja kubuat kenangan yang tak terlupakan?



Dengan segala pertimbangan itu, maka di sinilah ia sekarang. Di depan gerbang, menyaksikan Taeyong melompati pagar (yang padahal tidak dikunci) dan mendarat anggun dengan kedua kakinya. Taeyong mengangkat kepala dan langsung tersenyum lebar sekali saat melihat Hana.



“Aku tahu kau akan datang.”
“Dasar idiot. Kau bahkan tak tahu jalan ke lapangan sekolahku.”



Taeyong baru menyadari hal itu, tapi ia menyembunyikan ekspresi bodohnya dan tersenyum miring. “Sudah kubilang aku tahu kau akan datang.”



Hana mendecih.



“Ayo jalan sekarang! Lewat sini. Perhatikan langkahmu supaya tidak jatuh,” cerocos Hana sambil jalan. “Jangan jauh-jauh dariku. Kalau kau sampai hilang, entah apa yang akan terjadi padaku nantinya.”



Gadis itu tak mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Jadi ia menoleh, kemudian menggerung sedikit begitu menemukan Taeyong masih berdiri di tempatnya semula.



“Kau serius mau lihat meteor atau tidak, sih?”
“Serius, kok.”
“Kalau begitu kenapa masih di sana?”
“Err… aku bawa sarung tangan.” Taeyong mengeluarkannya dari saku dan nyengir sambil mengusap tengkuknya malu-malu. “Supaya kau yakin kalau aku tidak akan jatuh atau hilang, mau genggam tanganku?”



Hana terperangah melihat sikap Taeyong yang tak biasa. Apa-apaan tiba-tiba malu begitu! Aku kan jadi ikutan malu! Ia berusaha menghilangkan rona merah di wajahnya dan berekspresi ketus, memutar mata. “Jangan sok imut di depanku! Cepat jalan!”



Taeyong melangkah menghampiri Hana sambil memakai sarung tangannya. “Yakin tak mau genggam tanganku?”



“Yakin! Kau kan bukan anak ke—TAEYONG!!” Hana berteriak karena Taeyong tiba-tiba menekuk kakinya (pura-pura jatuh). Pria itu menegakkan kakinya lagi, tertawa usil sambil melirik Hana dengan tampang meledek. “Begitu saja sudah panik. Tak usah malu-malu kalau mau genggam tanganku.”



“Aku tak bilang mau genggam tanganmu! Lagian siapa yang malu-malu!”
“Siapa lagi?”



KAU, bocah es! Kau! Kau yang malu-malu duluan! Aku jadi ikutan malu!




*********




Walaupun begitu, pada akhirnya dua orang yang malu-malu itu bergenggaman juga.



Hana baru melepas tangan Taeyong begitu mereka tiba di hamparan tanah bersalju yang disesaki oleh kira-kira dua ratusan manusia. Di sana-sini nampak pasangan yang berdiri merapat satu sama lain (karena cuaca yang benar-benar dingin) serta sekeluarga bermantel tebal yang menatap ke langit dengan pandangan penuh harap. Beberapa dari mereka membawa teropong, dan beberapa yang lain menggelar tikar seolah sedang berpiknik. Di dekat tiang bendera, ada segerombol bapak-bapak dengan wajah memerah yang duduk sambil menenggak soju untuk menghangatkan diri. Walaupun Badan Meteorologi sudah mengumumkan hujan meteor bisa jadi tak terlihat karena tertutup awan, semua orang tetap saja nampak bergairah dan penuh antisipasi.



Ini tidak bagus, pikir Hana. Bagaimana caranya ia dan Taeyong bisa menyelinap di antara orang-orang itu tanpa menyentuh siapa pun? Sekalipun bisa, penampilan Taeyong yang tak biasa (warna mata dan rambutnya mencolok sekali) pasti akan mengundang perhatian.



Hana memutar mata mencari-cari tempat yang lengang dan tersembunyi. Namun ia malah menemukan sesuatu yang sama bagusnya, penjual syal dan baju hangat. Hana segera menarik Taeyong—yang saat itu tengah terpesona melihat begitu banyak orang—dan menghampiri penjual itu. Ia membeli beanie hitam dan langsung berjinjit memakaikannya pada Taeyong. Dengan begitu, rambut peraknya cuma terlihat sedikit dan tatapan aneh orang-orang jadi berkurang drastis.



“Kenapa kau beli ini? Aku tak kedinginan, Han.”
“Aku tahu.”
“Lalu?”
“Kau imut dengan topi itu.” Hana mengerling. Taeyong merasa ada kembang api yang meledak di wajahnya dan langsung menunduk malu.



“Tadi kau bilang padaku jangan sok imut, sekarang malah mengaku sendiri kalau aku imut,” kata Taeyong. “Lagian ketimbang imut, aku ini lebih pas disebut keren.” Ia membela diri dengan suara pelan dan wajah tersipu. Hana cuma terkekeh (ia tak mungkin bilang beanie itu dibeli untuk menutupi warna rambutnya, pria itu pasti akan sakit hati. Taeyong meninggalkan rumah singgah ke sini bukan untuk dibeda-bedakan dengan manusia lain).



“Sekarang, ayo beli makanan dan minuman hangat!” ajak Hana.
“Oke, tapi di mana kita akan duduk?” kata Taeyong selagi berjalan. “Semua tempat sudah penuh, Han.”
“Sedang kupikirkan.”
“Menurutku jika kita duduk di situ, pemandangannya akan bagus.” Taeyong menunjuk celah kosong untuk dua orang tepat di tengah lapangan. Hana bergidik memikirkan berapa banyak orang yang akan terkejut—karena tak sengaja menyentuh Taeyong—saat mereka tengah berjalan menuju ke sana.



Selama mereka berjalan, Taeyong terus menuturkan pendapatnya mengenai betapa strategisnya posisi itu.



“Begitu, ya?” kata Hana tak fokus, kepalanya sedang sibuk mencari akal.



Mereka sudah tiba di depan penjual makanan, Hana membeli tteokpoki dan odeng, serta cokelat panas untuk dua orang. Selagi menunggu bubuk cokelatnya diseduh, Hana mengedarkan pandangannya ke segala penjuru lapangan sekolahnya yang luas. Hingga akhirnya, ide bagus mampir juga di kepalanya.



“Uhh, kalau tidak cepat, tempat itu bisa ditempati orang. Apa sebaiknya aku ke sana duluan dan menempatinya untuk kita?”



“Tidak usah,” jawab Hana, tersenyum. “Aku tahu tempat yang jauh lebih baik.”



Syukurlah tak ada satu pun orang yang berpikiran sama seperti Hana. Mereka sampai di lantai dua melewati jalan rahasia yang hanya diketahui anak-anak sekolah (sebab jalan utamanya sudah digembok oleh penjaga sekolah). Itu adalah sebuah jalan kecil nan rumit yang mengharuskan mereka melewati parkiran sepeda di area belakang dan tangga semen yang tak terawat.



Setibanya di lantai dua, mereka berjalan menuju ke bagian depan gedung. Di tempat itu, persisnya di depan ruang kepala sekolah, ada tembok datar berbentuk setengah lingkaran yang menjorok ke arah lapangan. Bagian itu sebenarnya merupakan tempat meletakkan pot-pot bunga, namun karena musim dingin datang lebih awal, maka untuk sementara pot-pot itu dipindahkan dulu.



Hana dan Taeyong nampak puas luar biasa begitu melihat betapa sempurnanya tempat itu. Mereka melompati tembok pembatas setinggi pinggang, menyingkirkan tumpukan salju dengan sepatu, lalu duduk di bagian terujung setengah lingkaran tersebut dengan kaki menggantung. Hingga akhirnya, kerumunan orang yang tadi berada di depan mata kini nampak kerdil di bawah kaki mereka.



“Ini hebat,” kata Taeyong terpana.



Bibir Hana tertarik sedikit. Turut bangga akan pemikirannya yang luar biasa. “Aku tahu.”



“Padahal sebetulnya di bawah juga tidak apa-apa.”
“Tapi lebih baik di sini.”



Sunyi sejenak. “Kau tidak sengaja duduk di sini untuk menghindari orang-orang, kan?”



“T-tidak. Kenapa kau bisa berpikir begitu? Sama sekali tidak, kok.”
“Baguslah.”



Hana merasa benar-benar tidak enak karena sudah berbohong, karena memang begitulah tujuannya membawa Taeyong ke lantai dua ini. Terlalu banyak orang di lapangan. Jika ada satu saja dari mereka yang menyadari keunikan Taeyong, beritanya akan menyebar cepat bak virus dan semua orang akan ikut tahu. Apalagi saat ini sedang ada lusinan kamera dari berbagai stasiun TV, yang fokusnya bisa berpindah dari langit pada Taeyong dalam hitungan detik jika sampai terjadi sesuatu. Walau Taeyong sudah bilang ia akan pertaruhkan segalanya, Hana tetap tak bisa begitu. Hana tak dapat mempertaruhkan keselamatan Taeyong untuk alasan apa pun.



Hana menghela napas, kemudian menusuk tteokpoki-nya dan memasukkannya ke dalam mulut. Taeyong memerhatikan sejenak sebelum mengikutinya mengambil tusuk tteokpoki. Seperti yang lain, baik Hana maupun Taeyong menatap langit, menunggu. Jika prediksi Badan Meteorologi benar, maka hujan meteor akan terjadi kurang dari empat menit lagi.



“Kau tahu, Han. Mungkin karena terlalu sering menghabiskan waktu bersama, kita jadi tertular sifat satu sama lain.”



“Tertular bagaimana?”
“Waktu kau pertama datang, kau adalah orang paling keras kepala yang pernah kukenal. Kau tak takut ambil risiko. Saat kubilang jangan datang lagi ke ruanganku, besoknya kau malah kembali lagi ke gedung terlarang dan kekeh mencariku. Kau juga mencuri kunci di ruang kerja ibuku, dan masih banyak lagi.”



“Masih banyak lagi?” Ulang Hana tak terima. “Apa maksudmu! Kau membuatku terdengar sangat buruk.”



“Kau meninggalkan keluarga Lee, melewatkan banyak sekolah bagus demi pindah ke Mungyeong. Lalu berbohong pada kakak angkatmu supaya bisa memberiku sarung tangan ini. Lalu berkeras untuk menyentuhku walau sudah kuperingatkan kau bisa mati. Dan jangan lupa kau menyuruh Somin pura-pura sakit gigi supaya bisa menduplikat kunci. Kau juga…”



“Oke, oke cukup. Aku mengerti.” Hana tak tahan mendengarnya. Semua perkataan Taeyong memang benar dan Hana praktis membayangkan dirinya sendiri sebagai bocah nekat super bodoh yang berpikir nyawanya ada sembilan.



“Dulu aku memang begitu, tapi kan sekarang sudah tidak lagi,” Hana berdeham dan membela diri. “Menurutku, semakin kita beranjak dewasa, kita akan jadi lebih hati-hati dan penuh pertimbangan. Aku sudah SMA, jadi sudah pasti pemikiranku mulai berubah. Lagi pula, aku lelah kena masalah terus.”



“Jadi, hati-hati dan penuh pertimbangan adalah sifat yang akan kau dapat saat beranjak dewasa,” Taeyong menyimpulkan sambil memandangi segerombolan anak melempari muka satu sama lain dengan bola salju.



“Begitulah. Kau akan mulai memahami apa itu tanggung jawab dan berhenti bermain-main.” Hana memandang langit. Berusaha meresapi kata-katanya sendiri dan merefleksi diri.



“Apa seseorang yang sudah dewasa bisa kembali lagi jadi kekanakan?”
“Apa?” Hana menoleh.
“Aku membicarakan diriku sendiri.”
“Kau?”
“Ya. Beberapa hari ini, aku semakin ingin bebas, semakin ingin ambil segala risiko, semakin ingin melakukan sesuatu tanpa berpikir. Apa.. apa aku berubah kekanakan, Han?”



Hana menghela napas dan tersenyum. “Tidak.”



“Kenapa tidak? Pergi ke sini adalah ideku. Di kepalaku, aku seperti mendengar seseorang berteriak ‘ayo lakukan saja!’, karena itu aku jadi ingin melakukan apa pun selagi ada kesempatan. ”



“Aku mengerti. Perasaan berapi-api begitu juga pernah kurasakan.”
“Apa itu perasaan yang buruk?”
“Tidak. Tapi kau harus menahannya.”



Taeyong menyesap cokelatnya. “Intinya,” kata pria itu sambil meletakkan gelas kartonnya lagi, “kita saling tertular sifat satu sama lain.”



“Aku tak yakin apa kepribadian seseorang bisa menular, tapi yah.. bisa jadi.”



Saat itu, orang-orang di bawah tiba-tiba berhitung mundur dengan kompak. “10…9…8..”



“Kenapa mereka?” tanya Taeyong heran.
“Sepertinya sudah saatnya.”
“Hujan meteor?”
“Ya.”



Taeyong mengusap tangannya dengan antusias seraya menatap langit. Hana yang terbawa suasana turut menatap langit, antisipatif. Mereka berteriak, menghitung mundur bersama-sama dengan kerumunan di bawah. “3… 2… 1…”



Sunyi sejenak. Sebelum akhirnya suara bisik-bisik protes terdengar riuh lagi dari bawah. Langitnya benar-benar gelap. Kosong dan bersih. Tak ada yang terjadi.



Taeyong dan Hana saling pandang. Sebelum akhirnya Hana mendesah, “Aku tak mengerti kenapa mereka hitung mundur. Memang sih Badan Meteorologi mengumumkan jam dan menitnya dengan rinci, tapi menurutku tetap saja fenomena alam datangnya tidak akan sepasti itu. Mereka pikir ini seperti acara tahun baru yang bisa dihitung mundur bersama-sama, ya?” Hana berusaha menutupi kegelisahannya dan mendumel sendiri. “Iya, kan?”



“Entahlah, aku tak pernah hitung mundur. Hitung maju saja sudah susah.”



Saat itu, seseorang kembali berhitung dengan keras, diikuti dengan orang-orang yang lain. Hana tak mau ikut-ikut hitung mundur lagi karena takut kecewa, namun hatinya tetap berharap akan ada meteor yang meluncur tiap kali hitungan orang-orang di bawah mencapai angka 1. Namun sekeras apa pun ia berharap, tetap tak ada yang terjadi. Hal itu berlanjut selama kurang lebih dua puluh menit. Jika ia tak salah menghitung, ada tujuh kali hitung mundur yang sia-sia. Beberapa orang terlihat putus asa dan memutuskan pulang, sementara sebagiannya bertahan, menanti keajaiban.



“Maafkan aku,” kata Hana. Entah kenapa hatinya terasa sakit sekali. Ia benar-benar kecewa. Padahal Taeyong yang kekeh mau lihat meteor, tapi justru Hana yang patah hati. Matanya berkaca-kaca.



Taeyong tersenyum simpul padanya. “Memangnya kau yang buat meteor itu tak kelihatan? Ayolah, apa-apaan minta maaf begitu!”



“Yeah, t-tapi kau sangat ingin melihatnya...” Hana tak dapat menahan diri. Melihat semakin banyak orang yang pulang, ia tiba-tiba menjadi sangat emosional. Air matanya berjatuhan. Ia menyekanya dengan lengan baju lalu bicara tertahan, “kalau saja aku tak bilang soal hujan meteor sialan itu. Kalau saja aku tak membuatmu berharap….”



“Hei, ampun!” Taeyong lekas memakai sarung tangannya. “Kenapa tiba-tiba menangis begitu, aku kan jadi bingung!”



Walaupun sudah memakai sarung tangan, Taeyong tetap tak berani menyentuh Hana. Ia cuma menepuk-nepuk pundak gadis itu tiga kali, itu pun sangat kikuk. “Ini bukan salahmu,” katanya berusaha menenangkan. “Kau sudah memperingatkanku kalau meteor itu bisa jadi tidak kelihatan.”



Namun alih-alih tenang, justru kesedihan Hana makin menjadi-jadi. “Bertahun-tahun dikurung sekalinya keluar malah begini.” Hana menangis tersedu-sedu. “Gara-gara aku. Ya Tuhan, kenapa nasibmu malang sekali. Maafkan aku.”



Taeyong meringis serba salah. “Kau kasihan padaku? Ayolah, lihat dirimu! Kaulah yang patut dikasihani. Mau tahu sejelek apa kau sekarang? Kujamin bayanganmu akan kabur lihat mukamu sendiri. Bersyukurlah di sini gelap.”



Hana menyikutnya kesal.



Taeyong terkikik. “Aku bercanda.”



“Tak usah bercanda. Aku tahu jauh di lubuk hatimu, kau juga sedang sedih.”
“Aku memang sedih tapi tidak sesedih itu sampai harus ditangisi. Apa sih cuma meteor.”
“Memangnya pernah lihat meteor? Lihat matahari saja jarang!”



Taeyong mengusap pelipisnya. “Dengar ya, Han.. daripada duduk di sini dan mengejekku, kurasa sebaiknya kita pulang.” Taeyong ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya, tapi ia merasa harus bicara daripada menyusahkan Hana kalau terjadi apa-apa. “Sejujurnya dadaku dari tadi agak—“



“ITU DIAAAA.” Tiba-tiba saja seseorang berteriak. Semua orang refleks menatap langit dan kontan saja suara kesiap terpana terdengar dari mana-mana.



Orang-orang yang hendak pulang berhenti di gerbang sekolah dan mendongak ke langit. Mereka semua terperangah.



Hana juga terkesima luar biasa sampai tak bisa mengatupkan mulutnya. Itu indah sekali. Rentetan bola api dengan buntut keunguan yang panjang melintasi langit, berkejar-kejaran dengan rentetan bola api yang lain.



“Ya Tuhan. Indah sekali,” Hana bergumam. Tangannya refleks meraih lengan Taeyong. “Menakjubkan, ya?”



Pria itu diam saja. Hana yakin dia pasti terpana sampai tak bisa berkata-kata. Namun tiba-tiba saja, dari ekor matanya, ia melihat tubuh pria itu merunduk semakin rendah dan semakin rendah lagi, hingga akhirnya badannya benar-benar kehilangan kontrol dan nyaris terjatuh dari tempat mereka sekarang ke kerumunan. Hana dengan cekatan menahan dadanya.



“Taeyong! Apa-apaan! Kalau kau jatuh dari tempat setinggi ini, kepalamu bisa pecah!” Hana membentak. Dadanya bertalu-talu karena terkejut.



“Aku….,” kata Taeyong lemah. Bibirnya bergetar, “…. dadaku agak…tak nyaman.”
“A-apa? Kau bicara apa, sih? Jangan bercanda!”



Namun Taeyong sama sekali tak terlihat bercanda. Ia menyangga sebelah tangannya di alas tembok dan menekan dadanya sambil menggigit bibir supaya tidak mengerang. Kelihatan tersiksa sekali.



“Apa yang kau rasakan?”
“Dadaku sesak. Dan rasanya lemas sekali, aku mau berbaring saja.”
“Jangan berbaring di sini. Ayo kita pulang.”
“A-aku tak…kuat lagi.”



Hana segera berdiri dan menarik Taeyong, memaksanya berdiri. Lantas dengan penuh perjuangan memapahnya menuruni tangga. Kaki sang pria sudah lemas layaknya jelly dan mereka berkali-kali nyaris terjerembab. Mustahil rasanya kembali ke rumah singgah hidup-hidup dengan kondisi begini.



“Apa yang harus kulakukan?” gumam Hana panik, sementara tubuhnya merinding kedinginan karena Taeyong yang sudah tak berdaya menempel di sisinya.



“Apa… apa… apa yang harus kulakukan. Aku tak mungkin minta bantuan. Mereka akan curiga. Kalau ada yang tahu tentang tubuh esmu, mereka akan membawamu ke dokter dan habislah kita. Bagaimana ya..” Hana menggigil nyeri sembari bergumam sendiri. Saat mereka keluar dari jalan pintas, Hana melihat sepeda pinjaman yang berjejer di parkiran. Tanpa berpikir dua kali, ia menyandarkan Taeyong di tembok dan bergegas menghampiri parkiran sepeda.



Sekolah Hana amatlah luas dan peminjaman sepeda merupakan salah satu fasilitas pendukung terbaru untuk siswa-siswi di sana. Semua sepeda itu dirantai satu sama lain dan digembok. Dengan panik, Hana menoleh ke sana kemari. Ia melihat tong sampah dan langsung mengambil tutupnya. Untuk kali ini, Hana bersyukur punya otak yang agak kriminal. Ia berhasil menghancurkan kaitan gembok itu dalam tiga kali pukul dan langsung mengambil sepeda yang paling depan.



Ia pun kembali menghampiri Taeyong. “Bisakah kau naik?” Hana bertanya pada Taeyong yang sudah nampak sekarat, jelas-jelas tahu jawabannya. Tapi bagaimana caranya ia bisa membuat pria itu naik ke kursi belakangnya dan menahan sepeda itu berdiri di saat yang sama? Dia cuma gadis 16 tahun biasa, bukan Wonder Woman.



“Taeyong, kumohon. Angkat badanmu.”



Taeyong berusaha bangkit, tapi ia sungguh tak berdaya sampai-sampai mengangkat kepala saja tak mampu. Keningnya berkeringat, dan matanya kelihatan mengerikan alih-alih berkelip indah seperti biasa.



“Oke, baiklah.” Hana mendesah, kemudian bergumam menyemangati diri. “Aku pasti bisa.”



Ia turun dari sepedanya, memasang standar dan mengerahkan seluruh tenaga hingga berhasil memapah Taeyong ke boncengan.



Hana pun duduk di depan pria itu dengan napas tersengal-sengal. Dia bahkan belum mulai mengayuh dan rasanya sudah mau pingsan saking lelahnya.



“Pegangan yang erat. Aku akan ngebut.”



Hana pun mengayuh secepat yang ia bisa, membunyikan bel dan berteriak ‘minggir’ pada kerumunan orang yang masih menikmati hujan meteor, baik yang bergerombol maupun berdiri sendiri-sendiri, yang tersebar acak di sepanjang lapangan sampai ke gerbang.



“Heh, sinting!”
“Aduh kakiku!”



“Maaf!” Hana berteriak. Ia yakin baru saja melindas sesuatu—kaki seseorang, barangkali—dan tak punya waktu sama sekali untuk menengok.



Kurang lebih, sepanjang 10 meter dari gerbang sekolah, Taeyong masih menjaga jarak tubuhnya yang cuma berbalut sweter tipis dari punggung Hana. Namun setelah itu, ia tak kuasa menahan lagi dan akhirnya bersandar pada sang gadis. Keningnya yang berkeringat dingin menempel di pundak Hana.



“Bertahanlah,” bisik Hana, gemetar. Kayuhannya memelan. Ia benar-benar takut dan lelah dan super panik sampai-sampai air matanya meleleh.



“K-kau yang harusnya bertahan, Han,” balas Taeyong pelan, sembari mati-matian berusaha menjauhkan badannya dari Hana, namun pada akhirnya menyerah juga. “Aku tak sanggup mengangkat badanku sama sekali.”



“Biar saja.”
“Sekujur tubuhmu bisa lebam. Bukan cuma itu… a-aku bisa membunu—“
“Persetan soal aku! Kenapa tubuhmu bisa tiba-tiba lemas begini, sih? Semenit sebelumnya kau masih bisa bercanda denganku lalu tiba-tiba saat meteornya datang kau malah lemas sampai nyaris terjatuh dari lantai dua. Kenapa begitu? Apa yang terjadi?” Hana bertanya dengan suara kencang di antara terobosan angin malam dan napas tersengalnya.



“Maaf,” gumam Taeyong tak jelas. “A-aku sudah merasa tidak enak sejak kita hitung mundur pertama. Tapi jika aku bilang, kau pasti akan membawaku pulang.”



“Dasar bodoh.”
“K-kalau aku mati…”
“Diam kau! Tidak ada yang akan mati!”
“Kau tak tahu rasa sakitnya seperti apa, Han. Lagi pula Eomma bilang jika terjadi apa-apa padaku, dia cuma bisa berdoa sambil menangis,” Taeyong bernapas pendek-pendek, dan suaranya terdengar amat pelan dan tak berdaya. “Aku pasti akan mati.”



“Kau tidak akan mati. Kita akan berbelok sekali lagi dan pagar rumah singgah akan terlihat. Ibumu hanya bicara omong kosong, dia pasti tahu apa yang harus dilakukan.”



“Kumohon bertahanlah,” kata Hana. Namun sepertinya Taeyong sudah tak sadarkan diri. Pundak Hana terasa amat berat dan sekujur tubuhnya—yang semula berdenyut-denyut nyeri—kini mulai mati rasa. Matanya berkunang-kunang, dan Hana yakin kesadarannya juga akan hilang total sebentar lagi. Namun begitu melewati persimpangan, ia bisa melihat pagar rumah singgah kurang lebih 20 meter lagi dan meski kepayahan, ia tetap mengerahkan sisa tenaganya untuk mengayuh.



Peluh dan air mata menjadi satu. Ia meremas kemudi dan menginjak kayuhannya sambil mengerang. “Sedikit lagi sedikit lagi se….di…..kit la…” BRAAAAAANGG



Hana menabrakkan sepedanya ke gerbang sampai terbuka. Dan keduanya ambruk dua meter di pelataran lapangan. Hana berbaring di lapangan yang tertutup salju, matanya mengerjap tak berdaya. Ia berusaha menoleh untuk melihat keadaan Taeyong, tapi kepalanya serasa ditindih batu besar.



Selama beberapa saat, Hana bisa mendengar seorang anak memekik memanggil Bunda Sejeong, disusul oleh kerumunan langkah yang mendekat. Sebelum akhirnya pandangannya gelap. Dan segalanya kosong.



TBC



See ya next part^^

Comments

Popular Posts