Freeze #8 (chaos)





Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, namun kegetiran luar biasa masih saja tebal menyelimuti rumah singgah. Taeyong dibawa ke ruangannya yang dingin dan terisolir, tubuhnya dimasukkan ke peti es tempatnya biasa tidur, sementara Bunda Sejeong duduk di sebelahnya sambil menangis dan berbisik ‘bangunlah…bangunlah…’ dengan suara memohon yang ringkih. Tenggorokannya serasa terbakar tapi kalimat itu tetap dirapalkannya sejak tengah malam tadi seperti mantra. Tak mau berhenti. Seolah jika mulutnya terkatup sedetik saja maka Taeyong tak akan mungkin terselamatkan.



Di ruangan lain, Hana juga nampak sama tak berdayanya. Dengan seizin Bunda Sejeong, Melvin dan Somin menggunakan telepon di ruang kerjanya untuk menghubungi rumah sakit, meminta seorang dokter untuk datang dan mengecek keadaan Hana. Ibu Hana yang mendengar kabar tersebut dari sang Dokter (yang kebetulan juga merupakan Dokter yang menanganinya) kontan panik dan memaksa ikut ke rumah singgah. Jadi di sinilah mereka sekarang, di kamar Hana. Hyun Mi dan Somin berdiri gelisah di dekat lemari, sementara beberapa anak lain berjinjit di luar, mengintip penasaran lewat jendela.


  
Setelah melakukan pemeriksaan singkat, sang Dokter berbalik menghadap ibu Hana—yang mukanya sudah pucat pasi.



“Dia akan segera siuman.”
“A-apa yang terjadi padanya?” tanyanya cemas.
“Saya tak tahu apa yang habis dia lakukan, tapi sudah pasti kegiatan itu sangat menguras tenaganya. Intinya dia kelelahan, juga ini… apa pun yang dia lakukan, itu menyebabkan memar di pundaknya,” kata sang Dokter sambil menunjukkan kulit pundak Hana yang kebiruan, “Saya menduga ini karena salju. Mungkin kulitnya agak sensitif. Tapi saya percaya itu akan hilang.”



Ibu Hana mengangguk namun tak sedikit pun raut panik di wajahnya berkurang.



“Tenangkan dirimu, Nyonya Kim. Anda juga belum sembuh benar, kan? Anda tahu, seseorang juga bisa pingsan karena emosi yang berlebihan, seperti rasa sedih, panik, takut, atau perasaan lain yang melampaui batas. Kalau tak bisa menenangkan diri begini, Anda bisa ikut pingsan seperti Hana. Jadi saya mohon, tariklah napas panjang dan tenangkan diri. Anakmu akan baik-baik saja. Sungguh, dia akan baik-baik saja. Jika sampai nanti malam dia belum siuman, Anda bisa hubungi saya lagi.”



“Baiklah.”
“Dan tolong kabarkan tentang kondisimu juga. Ingat, seharusnya Nyonya baru boleh pulang minggu depan.”



“Ya, Dokter.”



Sang Dokter memasukkan alat-alatnya ke dalam tas, memberikan kalimat-kalimat penenang sekali lagi sebelum akhirnya pamit dan meninggalkan ruangan.



“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Ibu Hana segera setelah Dokter itu pergi. Somin dan Hyun Mi dengan kompak menggeleng.



“Kami tak tahu. Yang pasti, semalam terdengar suara kencang dari gerbang dan saat kami keluar, Hana Eonnie dan Taeyong Oppa sudah tergeletak di lapangan,” kata Hyun Mi.



“Jangan lupakan sepedanya,” Somin mengingatkan.
“Benar. Mereka tergeletak bersama sepeda.”
“Sepeda?” ulang Ibu Hana tak mengerti.
“Ya,” Kedua anak perempuan itu mengangguk bersamaan seperti anak kembar.
“Mereka bersepeda malam-malam?”
“Benar. Dan anehnya ada nama sekolah Hana Eonnie di badan sepedanya,” Somin berkata dengan kening berkerut.



“Maksudmu, mereka berdua ke sekolah Hana semalam? Tapi untuk apa?”
“Hmm.. sebenarnya aku punya dugaan,” kata Hyun Mi ragu-ragu. Ibu Hana dan Somin sontak menoleh padanya, menyuruhnya cepat bicara. “Jadi, beberapa hari yang lalu aku lihat berita di televisi..” Hyun Mi menyikut rusuk Somin, “kita menontonnya berdua.. tentang meteor..”



“Ah!!” Somin teringat dan langsung mengangguk-angguk setuju.
“Meteor apa?” tanya ibu Hana mendesak.



“Jadi katanya,” lanjut Hyun Mi, “hujan meteor akan melintasi Mungyeong dan salah satu lokasi terbaik untuk melihatnya adalah lapangan sekolah Hana Eonnie. Kurasa mungkin mereka ke sana.”



“APA BENAR YANG KAU BILANG ITU!” Tiba-tiba suara menggelegar Bunda Sejeong terdengar dari pintu masuk. Semua orang di kamar tersebut berjengit kaget dan menoleh. Bahkan Hana yang sedang pingsan pun menjadi siuman gara-gara suara itu.



“Hana…”
“Eonnieee…”



Sang ibu beserta Somin dan Hyun Mi sontak menoleh ke ranjang dengan raut penuh kelegaan. Hana mengerjap-ngerjap. Kepalanya berat sekali dan tulang punggungnya pegal luar biasa. Setelah berhasil menemukan kesadaran, ia mendengar suara marah-marah Bunda Sejeong dan memaksa diri untuk memahami situasi ini dan bangkit ke posisi duduk. Hal pertama yang dilihatnya adalah sang ibu.



“I-ibu? Bagaimana Ibu bisa di sini?”
“Hana, sayang, syukurlah. Ibu langsung ke sini begitu tahu kau pingsan. Bagaimana keadaanmu? Apa yang terjadi?”



Saat itu, rekaman kejadian semalam melintas cepat di benak Hana. Ia terbelalak dan segera mengalihkan pandang kepada wanita di belakang ibunya, “Bunda Sejeong, bagaimana keadaan Taeyong?”



“Beraninya kau bertanya tentang Taeyong!” seru wanita itu murka.
“Maafkan aku, Bunda. Semalam…”
“Maaf katamu? Jadi itu benar, huh? Kau membawanya keluar?” Suara Bunda Sejeong terdengar amat galak sampai Somin dan Hyun Mi bergidik ketakutan dan memutuskan untuk keluar diam-diam. Sejujurnya Hana juga sama takutnya, tapi sayangnya dia tak bisa ikut keluar bersama kedua anak itu. Mata penuh kebencian Bunda Sejeong tertuju lurus-lurus padanya dan saking tajamnya, rasanya tatapan itu sudah menembus kepalanya. Hana yang tak tahu harus berkata apa cuma bisa merundukkan wajah dalam-dalam. Oh, sungguh dia menyesali keputusan bodohnya. Sangat-sangat menyesal sampai ia ingin diubah jadi debu saja. Apa yang merasuki otakku semalam? Bagaimana mungkin aku bisa setuju membawa Taeyong keluar? Bodoh benar, sih.



“Taeyong belum sadar sampai sekarang dan aku tak bisa panggil Dokter. Kau puas?!”



Otot di rahang ibu Hana menegang melihat anaknya dibentak-bentak begitu. “Maaf, saya mengerti perasaan Anda tapi…”



“Tutup mulut! Anakmu normal, kau tak mengerti perasaanku!” potongnya. Kemudian mata membelalaknya kembali lagi pada Hana. “Sekarang kutanya padamu. Apa yang kau lakukan pada Taeyong?!”



“A-aku tidak melakukan apa-apa. Kami pergi melihat hujan meteor dan tiba-tiba saja tubuhnya jadi lemas. Aku langsung mengambil sepeda sekolah dan membawanya pulang. Sungguh aku tidak melakukan apa-ap—PLAAAK!!



Tangan Bunda Sejeong tanpa diduga-duga melayang menampar pipi Hana. Wajahnya geram dan pelupuknya penuh air mata. “Beraninya bilang ‘tidak lakukan apa-apa’! Kau sudah membawa Taeyong keluar! Itu yang kau lakukan! Tak tahukah kau betapa fatalnya itu!”



Selama Bunda Sejeong berteriak-teriak kasar, Ibu Hana yang terkejut langsung mendekap anaknya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya mengulur mendorong Bunda Sejeong agar menjauh. “Kau benar-benar tidak waras. Menjauhlah dari anakku!”



“Kaulah yang harusnya suruh anakmu menjauh dari anakku!”
“Dasar bodoh! Sudah tua masih main tangan. Aku pasti akan melaporkanmu ke polisi!” ancam ibu Hana.
“Ibu, sudahlah. Ini memang salahku,” sergah Hana, tak mau masalah ini semakin runyam. Karena wajahnya masih amat pucat, bekas tamparan Bunda Sejeong jadi terlihat jelas. Rasanya memang agak perih tapi Hana masih bisa menahannya.



Bunda Sejeong menyeka matanya dengan kasar lalu berbalik pergi meninggalkan kamar Hana.



“Benar-benar wanita sinting! Ibu tak percaya kau dirawat oleh nenek sihir temperamen itu selama berbulan-bulan!” maki Ibu Hana, ia berdiri dan memandang pintu penuh emosi. “Apa-apaan! Kau bilang dia sebaik malaikat? Malaikat di mana, huh? Barusan dia menamparmu di depanku!!! Di depan ibumu sendiri!! Sinting benar!”



“Mengertilah, Bu. Aku sudah membahayakan nyawa anaknya. Bunda Sejeong memang sangat protektif terhadap Taeyong, aku pantas mendapatkan ini.”



“Aku tidak terima, Hana. Ibu tidak terima anak ibu satu-satunya dipukul dan dibentak-bentak begitu. Ibu ada di sini saja dia berani melakukan itu, apalagi kalau Ibu tidak ada,” kata ibu Hana keras. Ia menggelengkan kepalanya tak habis pikir, kemudian kembali menatap sang anak penuh selidik. “Lebih baik kau ceritakan pada Ibu apa yang terjadi semalam.”



“Sudah kukatakan, Bu. Dia tiba-tiba lemas.”
“Kalau dia yang lemas, kenapa kau ikutan pingsan? Dan lagi, kenapa kau membawanya keluar? Itu bukan keinginanmu, kan? Pasti anak si Sejeong sialan itu yang duluan mengajakmu. Iya, kan?”



“Ibu, jangan bicara buruk tentang Bunda Sejeong. Dia orang baik.”
“Oh, Hana. Cukup. Kau masih membelanya? Setelah semua yang dilakukan padamu? Cukup, ya ampun, cukup, dengar ibu! Ibu tak sudi kau tinggal di sini. Persetan dengan sekolahmu. Banyak sekolah bagus di Seoul. Tak akan kuizinkan kau tinggal di sini bersama wanita liar itu, kita kembali ke Seoul sesegera mungkin.”



“Yeah, aku memang ingin ikut ke Seoul.”



Ibu Hana yang tak menduga perkataannya akan dituruti begitu saja langsung terkesiap, “B-benarkah? Kau sudah berubah pikiran sekarang?”



“Aku sudah berubah pikiran sejak kemarin. Aku akan kembali ke Seoul, tapi…”
“Tapi apa?”
“Tapi aku harus pastikan Taeyong sembuh dulu.”




**********




Hari Selasa pun tiba, sama suram dan sama dinginnya dengan kemarin. Taeyong masih terbaring lemah di peti tidurnya dan Bunda Sejeong masih menolak untuk melakukan interaksi sekecil apa pun dengan semua orang di rumah singgah. Meskipun Hana memiliki ide—yang layak dicoba—untuk menyembuhkan Taeyong, tapi ia masih takut untuk menghampiri Bunda Sejeong dan mengutarakan idenya itu. 



Namun hari Selasa ini, tepatnya pukul 11 siang, saat hampir semua anak berada di sekolah masing-masing, saat ibunya tengah terlelap karena pengaruh obat, Hana justru melangkahkan kakinya menuju gedung terlarang. Ia benar-benar penasaran seserius apa kondisi Taeyong saat ini. Separah apa dia sampai bisa membuat Bunda Sejeong berjalan ke sana kemari dengan wajah kuyu seperti mayat hidup? Kulit Taeyong saat keadaan normal saja sudah sangat pucat, lalu sekarang sepucat apa lagi? Hana sama sekali tak mampu membayangkannya.



Saat itu, belum sempat kaki Hana menjejaki lapangan, ia melihat Bunda Sejeong tengah berjalan di koridor dan tumitnya secara refleks berputar. Tidak, dia tidak menghindar. Kakinya justru berjalan sendiri menghampiri wanita itu sementara akal dan hatinya dengan kompak memberikan kalimat-kalimat penyemangat.



Kau bisa, Hana. Kau bisa. Dia cuma Bunda Sejeong. Bukan monster. Dia tak akan memakanmu. Tak mungkin dimakan, paling ditampar lagi.



Hana tiba di hadapan Bunda Sejeong dan seketika itu juga ia merasa ditampar lagi. Terima kasih kepada otaknya yang bicara sembarangan. Bunda Sejeong turut berhenti, matanya yang lelah balik menatap Hana dengan tatapan tak suka yang sama sekali tak berusaha ia tutupi.



“B-bunda, bagaimana kabar Taeyong?”
“….”
“K-kurasa kita harus membawanya menemui seseorang.”
“Hana!” Bunda Sejeong membentak. “Bisakah kau berhenti menyulut emosiku? Sudah kubilang aku tak akan membawanya ke dokter!”



“Bukan dokter,” kata Hana, “tapi ilmuwan.”



Seketika itu juga, seolah mendengar kata terlarang, raut wajah Bunda Sejeong berubah menjadi ketakutan. Dadanya mencelos. Tatapannya penuh kengerian. Bola matanya bergetar, dan kendati mata itu tertuju pada Hana, tapi sebenarnya pikirannya sama sekali tidak di sana. Melayang ke suatu masa yang selalu berusaha ia enyahkan. Masa lalunya yang kelam.



“Bunda tahu keluarga angkatku, kan? Keluarga Lee? Anak tunggal mereka adalah seorang ilmuwan hebat. Dia pasti mengerti soal hal-hal semacam ini. Jika aku boleh menceritakan masalah ini padanya, mungkin dia bisa…”



“Tidak,” jawab Bunda Sejeong tegas. Kembali pada kesadarannya.
“Tapi Bunda, di saat seperti ini kita tak bisa diam saja dan menunggu keajaiban. Kita harus…”
“Tidak. Kubilang tidak.” Bunda Sejeong menaikkan nada bicaranya. “Tidakkah kau paham apa artinya ‘tidak’? Aku tak mungkin memberi tahu kondisi Taeyong pada lebih banyak orang. Itu namanya bunuh diri.”



“Aku bersumpah kakak angkatku akan tutup mulut,” kata Hana. “Selamanya.”



Bunda Sejeong tak langsung menjawab, membuat Hana nyaris-nyaris berharap. Namun sedetik setelah harapan itu muncul….. “Tidak,” Bunda Sejeong meluluhlantakkan harapan tersebut dan pergi begitu saja.



Hana yang tak bisa berbuat apa-apa cuma menatap Bunda Sejeong yang menjauh itu sambil menghela napas. Berharap ada cara untuk mengubah pikirannya.




**********




Kendati ini merupakan makan malam pertamanya dengan sang Ibu setelah berbulan-bulan, namun makan malamnya hari itu bukan pengalaman yang menyenangkan bagi Hana. Anak-anak berpencar di meja lain, entah mengapa memutuskan untuk menjauhinya. Hanya Somin dan Hyun Mi saja yang bersedia satu meja dengan Hana.



“Bagaimana keadaan Taeyong Oppa dan Bunda Sejeong?” tanya Somin hati-hati. Hana mengangkat bahunya putus asa.



Somin menunduk menatap supnya yang terlalu encer, lalu menatap Hana lagi. “Kau tahu ini bukan salahmu, Eonnie.”



“Lalu salah siapa?” sergah Hana. “Berhenti menghiburku, Somin.”
“Aku tidak sedang menghibur. Ini memang bukan salah siapa-siapa. Ini semua kehendak Tuhan.”
“Lihat betapa bijaknya seorang anak umur 12 tahun,” kata Ibu Hana, matanya melirik anaknya sendiri dengan tatapan ‘belajarlah dari anak perempuan manis ini’. Namun yang disindir sama sekali tak menggubris.



“Mau diizinkan atau tidak, setelah makan malam aku akan tetap menelepon Wooseok Oppa.” Hana mengumumkan seisi meja dengan suara penuh tekad, lalu menyendok sup encernya dan memakannya dengan penuh tekad juga.



“Eonnie, bukankah seharusnya kau belajar dari apa yang sudah terjadi?” Hyun Mi mendesah. “Kau tak boleh melakukan sesuatu yang jelas-jelas ditentang Bunda Sejeong. Aku yakin satu tamparan saja sudah cukup menyakitkan.”



“Itu benar. Kau tahu, Eonnie? Dibanding anak-anak lain yang sudah menghabiskan separuh hidup mereka di sini, kau yang baru beberapa bulan saja sudah mengalahkan kami semua dalam hal kena murka Bunda Sejeong,” timpal Somin. Hyun Mi mengangguk-angguk dengan kencang, mengisyaratkan kesetujuan yang luar biasa. “Bahkan dulu kukira Bunda Sejeong tak bisa marah,” katanya. Kini gantian Somin yang mengangguk.



“Bunda Sejeong yang kami tahu sangat lembut dan tenang, tapi semua itu berubah ketika…..”
“Aku datang,” sela Hana. “Ya, aku tahu.”



Somin mengernyitkan hidungnya, “Tadinya aku mau bilang ketika keberadaan Taeyong Oppa diketahui, tapi kurasa kau benar.”



“Yeah, Taeyong pun ditemukan karena aku, kan?”
“Iya, sih. Padahal sudah kubilang jangan jalan-jalan di gedung terlarang,” kata Somin. Tak mengerti sebenarnya ia sedang menghibur Hana atau malah menyalahkannya.



“Dia menyembunyikan anaknya di gudang terpencil selama bertahun-tahun. Lalu membuat cerita mistis untuk menakut-nakuti anak-anak. Luar biasa wanita sinting itu,” ibu Hana berkomentar. Komentar itu membuat Somin, Hyun Mi dan Hana dengan kompak menoleh padanya dengan tatapan tidak senang.



“Memang luar biasa, Tante. Tapi Bunda Sejeong bukan orang sinting,” bela Somin dengan nada tenang yang dipaksakan. “Dia membesarkan dan menyekolahkan belasan anak terlantar seperti kami dengan uangnya sendiri.”



“Dan di saat yang sama dia juga mengurung anak kandungnya sendiri seperti sapi.” Ibu Hana mendengus mencemooh. “Dengar, Nak. Mau sebaik apa pun dia pada kalian, kalau sikapnya pada anaknya sendiri seperti itu, maka jelas dia bukan ibu yang baik.”



“Tapi Tante, Taeyong Oppa punya tubuh yang aneh, dia amat dingin. Kudengar berbahaya jika disentuh terlalu lama. Mungkin Bunda mengurungnya begitu untuk melindungi kami,” tanggap Hyun Mi ketus. Gerah sekali rasanya mendengar ibu asuh yang sudah merawatnya dengan penuh kasih itu dibilang bukan ibu yang baik oleh orang asing.



“Dari semua cerita Hana, aku bisa simpulkan kalau Taeyong itu bukan anak bodoh. Seharusnya sejak kecil dia diajarkan bagaimana cara mengendalikan diri supaya tidak membahayakan orang lain. Lagi pula, bukankah seharusnya dia membawa anak itu berobat supaya sembuh? Kalau Tante sih, tak akan mungkin sampai hati untuk mengurung an…”



“Ibu, maafkan aku, tapi cukup,” Hana yang tak tahan akhirnya menoleh menyuruh sang ibu berhenti. Di seberang meja, Somin dan Hyun Mi sudah mendengus-denguskan napas seperti banteng. “Ibu, aku mohon, kau tak boleh bicara buruk tentang Bunda Sejeong,” lanjut Hana sambil menggenggam tangan ibunya. “Ibu tidak mengenal Bunda sebagaimana aku dan anak-anak asuh di sini mengenalnya. Aku yakin Ibu bicara begini hanya karena tak terima melihatku ditampar, iya, kan? Tapi sungguh, Bu, Bunda Sejeong itu orang baik. Soal kemarin, wajar saja jika dia marah, aku sudah membuat anak yang sudah dijaganya selama bertahun-tahun menjadi begini. Dia pasti khawatir dan kalut, sikapnya sekarang sangat bisa ditoleransi. Lagi pula pipiku tidak sakit, kok. Aku yakin hati Bunda Sejeong sekarang jauh lebih sakit.”



Saat itu, tiba-tiba saja wanita yang sejak tadi dibicarakan tersebut muncul di pintu aula dengan mata merah membelalak dan wajah yang berkeringat. “Hana!! Hana!! Bawa ilmuwan itu ke sini, sekarang!! Taeyong!”



“K-kenapa Taeyong?” kata Hana, sontak berdiri. Di meja-meja yang lain, semua anak membeku dan menoleh pada Bunda Sejeong dengan kaget. Beberapa anak ikut berdiri juga.



“Napasnya semakin tidak teratur. Cepat!” Bunda Sejeong menjerit. “Kumohon! CEPAT! CEPAT! Suruh ilmuwan itu datang sekarang!”



Hana mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mencari kontak Wooseok dengan tangan gemetar.



Bunda Sejeong merosot ke lantai dan menangis meraung-raung menyuruh Hana untuk cepat dan mengatakan berulang-ulang bahwa ia tak mau Taeyong mati.



Hana semakin gemetaran menatap layar ponselnya. Wooseok. Wooseok. Wooseok. Mana dia kontaknya? Jarinya terus bergulir hingga….. Ketemu! Tanpa buang waktu, ia segera menghubungi pria itu.



[Halo?] Wooseok menjawab dengan santai.
“OPPA!” pekik Hana. “Sedang sibuk tidak? Bisa ke rumah singgah sekarang?”
[A-aku sedang makan malam di rumah.] Pria itu melirik kedua orangtuanya yang tampak penasaran. [Kau baik-baik saja, Han? Ada apa?]



“Maaf mengganggu makan malammu, tapi kau harus ke sini sekarang. Aku akan cerita saat kau sudah di mobil. Ini gawat sekali. Bisa, kan?”



[Y-yeah, tentu. Aku akan siap-siap.] Wooseok mengelap mulutnya dengan serbet dan segera berdiri.
“B-bagaimana kalau langsung jalan saja? Tidak usah siap-siap.”



Bunda Sejeong yang mendengar ucapan Hana secara sepihak langsung menggerutu kencang, “Suruh dia cepat ya ampun siap-siap apa lagi! KATAKAN PADANYA INI SOAL NYAWA SESEORANG!”



[Sebentar saja, kok. Di luar sedang turun salju dan aku cuma pakai celana pen…]
“INI SOAL NYAWA SESEORANG.” Akhirnya Hana ikut memekik. Lalu sadar sendiri bahwa ia tidak seharusnya memekik dan segera melembutkan nada suaranya lagi. “Ambil kunci mobilmu dan melesat ke sini secepat mungkin. Aku memohon padamu, ya. Kau bisa kuandalkan, kan? Bisa, kan?”




**********




Bagaimana pun, jarak dari Seoul ke Mungyeong lumayan jauh dan Wooseok baru sampai ke rumah singgah jam setengah 11 malam. Hana, ibunya dan Bunda Sejeong sudah menunggu di gerbang. Walaupun diteriaki untuk tidak usah siap-siap, Hana tahu Wooseok tetap bersiap-siap.



“Apa? Aku ganti celana di mobil.” Wooseok langsung membela diri begitu melihat arah tatapan Hana.



Saat itu, ia melihat seorang wanita dengan cardigan abu-abu di sebelah Bunda Sejeong dan langsung terbelalak. “Ya ampun, Nyonya Kim? Ibunya Hana? Bagaimana Anda bisa di sini? Saya senang sekali Anda sudah…”



“Ayo cepat, lewat sini,” kata Bunda Sejeong mendesak, sama sekali tak peduli akan perjumpaan mengharukan yang nyaris terjadi di depannya. Ibu Hana mengangguk singkat pada Wooseok sambil membelai bahunya, lalu tanpa suara menyuruh pria itu menuruti perkataan Bunda Sejeong saja—yang sudah berjalan tergesa-gesa menuju kamar Taeyong di gedung terlarang.



Wooseok lekas mengambil beberapa peralatan dan tabung oksigen dari bagasinya lalu berjalan mengekor Bunda Sejeong dan Nyonya Kim dengan bantuan Hana. “Apa alat-alat ini selalu ada di mobilmu?” tanya Hana heran.



“Sebenarnya tadi aku ke lab dulu.” Wooseok nyengir. Hana langsung melotot marah. “Ya ampun! Kau tahu tidak sih dari tadi kami…”



“Heh, kau kira aku dukun, ya? Bisa menyembuhkan orang dengan tangan kosong! Tentu saja aku butuh ini. Lagi pula aku kan cuma ilmuwan biasa. Kau harusnya panggil dokter juga.”



“Bunda Sejeong tak mau melibatkan banyak orang. Sudah kubilang anaknya ini…”
“Manusia es,” sambung Wooseok, nyengir semakin lebar. “Keren sekali.”
“Bisakah kalian percepat jalan kalian!” Bunda Sejeong berteriak tak sabaran dari koridor. Hana dan Wooseok terkejut dan buru-buru berlari.




**********




Setelah melakukan segala yang ia bisa, Wooseok melepas maskernya dan menggeleng lemah bak dokter yang gagal melakukan operasi. “Maafkan aku,” katanya pada ketiga perempuan di belakangnya. “Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam tubuhnya. Aku harus membawanya ke lab-ku.”



“Tidak! Kau tak akan membawa anakku ke mana-mana,” sergah Bunda Sejeong, protektif seperti biasa.
“Begitu juga alat-alat di lab-ku, Nyonya. Itu fasilitas perusahaan. Mereka tak bisa dibawa ke mana-mana,” Wooseok membalas seraya melepas sarung tangan kedap suhunya dengan tenang.



“Oppa, kumohon cobalah sekali lagi. Apa dia juga pingsan karena kelelahan sepertiku? Kira-kira kapan dia siuman? Taeyong belum makan apa-apa semenjak dia pingsan. Apa kau tak bisa buat serum penyembuh atau apa? Kumohon buatlah sesuatu!”



“Han, tak ada yang bisa kulakukan di sini. Sebelum buat serum macam-macam, tubuhnya harus dipelajari dulu di lab.”



“Dipelajari???” ulang Bunda Sejeong emosi. “Kau kira anakku kelinci percobaan, ya? Aku tak akan izinkan Taeyong dibawa ke laboratorium dan dibedah-bedah oleh kalian manusia tak berhati.”



“Aku tak akan membedahnya. Aku tak punya izin untuk itu. Tapi di lab-ku ada banyak alat canggih, aku bisa melihat bagaimana cara kerja tubuh anakmu dengan alat itu lalu mengobatinya sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Nyonya pasti mengerti kan betapa berbedanya tubuh anak Nyonya ini? Aku tak bisa asal suntik serum jika tak mengerti bagaimana cara kerja tubuhnya,” kata Wooseok, berusaha terdengar sopan. “Omong-omong, aku berhati, loh. Aku sudah pernah melihatnya. Ada di sini, di bawah diafragma.” Wooseok memegang perut kanannya.



“Aku tetap tidak akan….”
“Tunggu dulu. Pikirkan baik-baik sebelum membuat keputusan, ini kan mengenai keselamatan putramu.” Wooseok menyelipkan senyum. “Selagi Nyonya berpikir, boleh aku pinjam toiletnya? Aku sudah tahan buang air kecil sejak masih di tol.”



Bunda Sejeong menunjuk pintu kamar mandi milik Taeyong dengan muka masam. Lalu mengenyakkan dirinya di sofa dan benar-benar menggunakan waktunya yang singkat itu untuk berpikir.



“Kurasa sebaiknya kita ikut pulang dengan Wooseok,” kata ibu Hana pada putrinya. Hana langsung menoleh, tapi tak tahu harus merespon seperti apa. Sebagian hatinya masih menolak untuk pulang.



“Ibu mohon. Ibu benar-benar tak nyaman tinggal di sini,” tambah sang wanita memelas.
“Tapi, apa Ibu yakin kondisi ibu sudah stabil?”
“Ya, sangat stabil. Lagi pula di Seoul kan juga ada rumah sakit. Ayolah, Han. Lebih cepat lebih baik. Ibu tak sabar ingin pulang. Kita pulang, ya..”



Hana menoleh pada Taeyong yang terbaring tak berdaya, pada Bunda Sejeong, pada keseluruhan isi kamar tersebut, lalu menghela napas. Banyak sekali kenangan di ruangan ini. Mulai dari mereka pertama bertemu, cerita-cerita Spider-Man, belajar membaca, jendela baru, menyentuh dengan sarung tangan kedap suhu, ketahuan Bunda Sejeong dan semuanya. Hana bisa merasakan hatinya bergejolak, memberat dan membuat sesak. “Baiklah,” gumamnya pada diri sendiri, lalu tersenyum menatap ibunya dan bicara lebih jelas. “Baiklah, ayo pulang.”



Lagi pula, pikir Hana, aku sudah tak pantas lagi tinggal di sini. Aku merasa seperti racun. Sifat Taeyong yang semula penurut berubah menjadi penentang karenaku. Bunda Sejeong yang lembut menjadi pemarah karenaku. Kalau terlalu lama di sini, aku bisa menjadi pengaruh buruk bagi lebih banyak orang, bagi anak-anak asuh, terutama.



Saat itu, Wooseok keluar dari kamar mandi dengan wajah lega.



“Oppa, aku dan Ibu akan ikut denganmu ke Seoul. Bolehkah?”
“Oh, itu bagus. Akan lebih seru jika ada teman di mobil. Kau tahu, sangat membosankan rasanya berkendara sendiri.”



“Terima kasih banyak, Nak Wooseok. Ibu juga ingin sekali kembali ke Seoul dan bertemu orangtuamu, mereka sangat baik sudah mengurus jenazah suamiku. Bahkan membiayai keperluan Hana juga.”



“Tak masalah.”
“Kalau begitu aku dan Hana akan mengemasi barang-barang kami sekarang.”
“A-apa, Bu? Sekarang?” tanya Hana kaget.
“Ibumu benar, Han. Lebih baik kemasi pakaianmu sekarang. Karena begitu Nyonya Sejeong selesai berpikir, kita akan langsung jalan.” Wooseok sengaja mengeraskan suaranya sambil melirik Bunda Sejeong—yang langsung balas meliriknya dengan pandangan mencela bercampur gelisah.



Ibu Hana mengangguk semangat pada Wooseok lalu menarik tangan putrinya dan keluar dengan terburu-buru. Jelas sekali wanita itu amat bahagia dan tak sabar untuk kembali pulang.



Selagi menunggu, Wooseok memasukkan peralatannya (yang tak terlalu berguna) ke dalam kotaknya dan begitu ia menutup kotak tersebut, Bunda Sejeong tiba-tiba berdiri. “Kau boleh membawanya,” katanya, lemah dan terpaksa.



Wooseok yang sudah menduga jawaban tersebut kontan tersenyum.



“Tapi aku punya syarat,” tambah sang wanita.



Wooseok berbalik padanya dan mengangguk penuh percaya diri, “tentu,” katanya, “tentu kau boleh ikut.”



“Bukan itu syaratnya. Aku tak akan ikut. Aku tak bisa meninggalkan kota ini.”
“Tak bisa mening—“
“Maksudku,” sambar Bunda Sejeong dengan suara kelewat kencang. “A-aku tak bisa meninggalkan anak-anak asuhku di sini.” Ia memelankan suaranya lagi ke volume normal. “Kau dengar sendiri, kan? Hana dan ibunya akan ikut denganmu ke Seoul. Kalau begitu tidak ada yang mengurus anak-anak di sini.”



“Lalu apa syaratnya?”
“Jangan biarkan seorang pun tahu tentang Taeyong.”
“Kecuali aku dan timku? Well, sebenarnya itu agak sulit tapi…”
“Kecuali kau,” sela Bunda Sejeong.
“Apa? H-hanya aku? Maksudmu hanya aku? Wow, oke, begini, maaf Nyonya, tapi itu tidak mungkin. Aku tak punya lab pribadi. Yang ada hanya lab untuk tim. Dan kira-kira ada 5 orang di tim-ku. Tapi aku bisa jamin mereka tidak akan….”



“Tidak. Tidak ada yang boleh tahu.”
“Itu tidak mungkin, Nyonya. Kau mau aku kerja tengah malam?”
“Aku cuma minta agar kau merahasiakan Taeyong dari semua orang. Aku tak peduli jam berapa kau kerja.”



Wooseok mengusap mukanya, memimikkan kata dan mengisyaratkan dengan seluruh tubuhnya bahwa ITU TIDAK MUNGKIN. Tapi ia melihat tatapan tajam Bunda Sejeong dan akhirnya mendesah dan berkata dengan putus asa, “Oke, baiklah. Tapi tak ada syarat lain, kan? Itu saja sudah agak musta…”



“Jangan perlakukan dia seperti objek penelitianmu.” Bunda Sejeong lagi-lagi menyela. Ia berjalan mendekati Wooseok dan bicara dengan dingin seolah sedang mengancam. “Teliti cara kerja tubuhnya hanya sebatas untuk menyembuhkannya. Tidak lebih. Jika dia siuman, segera kembalikan padaku. Lalu tutup mulutlah tentang Taeyong seumur hidupmu. Kau mengerti?”



Wooseok terperangah. Bunda Sejeong terus berjalan mendekat padanya dan tanpa sadar kakinya terus melangkah mundur sampai membentur peti tidur.



“Sebenarnya aku paling benci dengan ilmuwan bajingan sepertimu. Pekerjaan bodoh. Kalian itu manusia-manusia dengan otak brilian tapi berhati batu, seenaknya melakukan percobaan aneh pada makhluk hidup lain tanpa peduli konsekuensinya bagi mereka. Dan sekarang rasanya Tuhan sedang menghukumku. Aku memang benci pada ilmuwan tapi jika satu-satunya cara untuk menyembuhkan anakku adalah dengan membiarkannya pergi denganmu maka akan kurelakan. Tapi awas jika kau berani menyentuhnya di luar pengobatan ini. Sekarang berjanjilah padaku!”



“Y-ya, aku janji.”
“Aku tak mendengarmu, katakan lebih keras!”
“A-aku janji.”
“LEBIH KERAS!.”
“AKU JANJI!”



Bunda Sejeong tersenyum, namun bukan tipikal senyum yang menenangkan hati. “Terima kasih, umm.. siapa namamu? Ah, Lee Wooseok, benar, kan?” Matanya berkilat penuh ancaman. “Dengar, Wooseok-ssi, sekalipun hubunganku dengan Hana sedang tidak baik, dan sekalipun dia adik angkatmu, aku tahu Hana ada di pihakku. Jadi kuharap kau tidak coba-coba memanfaatkan Taeyong untuk kepentingan apa pun. Sembuhkan anakku secepat yang kau bisa dan segera bawa dia kemari. Kau mengerti? Aku bisa pegang janjimu?”



Wooseok mengangguk patah-patah. Ini amat memalukan untuk diakui tapi nada suara, tatapan tajam dan semua yang dilakukan wanita empat puluh tahunan itu terdengar amat sengit dan berbahaya hingga mustahil rasanya untuk tidak terintimidasi. Di ruangan yang sedingin freezer tersebut, Wooseok bisa merasakan keringatnya mengalir di balik punggung.



“Kalau begitu, a-aku akan bawa Taeyong ke mobilku…”
“Aku punya selimut es, selama di jalan kau harus selimuti dia dengan itu.” Bunda Sejeong membuka lemari reyot milik Taeyong dan mengambil selimut putih bertekstur janggal. Wooseok menerimanya terheran-heran.



“I-ini buatanmu?”
“Ya.”
“Dan peti es ini juga?”
“Ya.”
"Dan yang memodifikasi pendingin ruangan di sini juga....?" Wooseok menunjuk lawan bicaranya.
"Tentu saja."
“Tuhan! Sebenarnya siapa wanita ini,” gumam Wooseok.
“Apa yang kau katakan?”
“T-tidak, aku hanya… kau sepertinya ilmuwan yang lebih hebat dariku.”
“Kau memanggilku ilmuwan?” Suaranya meninggi lagi. Wooseok langsung menggeleng, rasa takut yang sempat redam selama beberapa saat seketika meningkat lagi sampai ke ubun-ubun. “T-tidak.. tidak.. kau salah dengar.”



“Aku bukan ilmuwan,” Bunda Sejeong menegaskan.
“Y-yea.” Wooseok mengelap keringat di pelipisnya. Lalu buru-buru memakai sarung tangan kedap suhunya lagi. Dia harus segera keluar dari situ. Harus-segera-keluar.




**********




Pada akhirnya, karena tak mau membangunkan anak-anak, Hana pun cuma bisa mengucapkan salam perpisahan lewat sepucuk surat yang ia selipkan di bawah pintu kamar Somin. Ia meminta maaf karena tak bisa menunggu sampai besok—keadaan Taeyong amat-amat tak terprediksi jadi mereka harus cepat sampai di Seoul untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Ia juga berterima kasih kepada para anak asuh yang sudah berkenan menghibur dan menjadi temannya selama ia tinggal di rumah singgah ini. Tak lupa ia juga berjanji untuk menemui mereka lagi secepatnya.



Karena baru tiba di Seoul dini hari, Hana dan ibunya dibawa ke rumah keluarga Lee untuk bermalam (sebab kondisi rumah mereka benar-benar tak terawat dan harus diadakan pembersihan besar-besaran dulu sebelum siap dihuni lagi). Sementara Wooseok, setelah mengantar Hana dan sang ibu ke rumahnya, tanpa menyempatkan diri untuk turun ia langsung menyetir lagi ke lab-nya. Dengan perasaan tidak enak terhadap Wooseok, Hana pun bermalam di rumah yang sempat menjadi tempat tinggal sementaranya itu.



Baru keesokan harinya, setelah berterima kasih, mengobrol dan berbasa-basi panjang dengan Tuan dan Nyonya Lee, Hana dan ibunya akhirnya pamit dan menyambangi rumah mereka yang mengenaskan.



“Wah, luar biasa, aku nyaris tidak mengenali rumah ini,” kata Hana begitu melangkah masuk. Sarang laba-laba dan kotoran tikus terlihat di mana-mana. Sofanya tertutup debu tebal dan atap alumunium di dekat dapur sudah ambruk hingga memporak-porandakan lemari di bawahnya.



“Kenapa atapnya bisa jatuh begitu, ya? Padahal waktu aku ambil komik, keadaannya tidak sehancur….”
“Tuhanku,” Ibu Hana tiba-tiba jatuh berlutut dan menangis tersedu-sedu menutupi wajahnya. Hal itu membuat Hana terkejut. Ia segera meletakkan tasnya dan turut berlutut menenangkan sang Ibu.



“Sudahlah, Bu. Jangan sedih begitu. Ini bukan masalah besar. Semuanya kan masih bisa dibereskan. Aku akan minta bantuan Wooseok Oppa untuk membenarkan atap dan lema.…”



“Bukan, Hana. Ibu cuma tak percaya bisa kembali ke rumah ini lagi. Rasanya sudah lama sekali. Ibu benar-benar bahagia, Han. Sangat bahagia,” katanya sembari tersenyum sedih. Tangannya terulur mengambil figura di meja, terlihat foto Hana kecil, ia dan almarhum suaminya yang sedang tertawa gembira di perayaan gerhana matahari, lantas didekapnya erat-erat foto itu dan lebih keraslah isakannya.



Melihat pemandangan itu, Hana menyeka air matanya. Demi kesembuhan sang Ibu, ia sudah berpura-pura kuat selama ini, berpura-pura menjadi anak perempuan yang tangguh, yang sudah mengikhlaskan kepergian ayahnya yang tak terduga. Namun saat ini, saat ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumahnya yang hancur lebur, saat melihat ibunya menangis pilu sambil mendekap figura usang, luapan kesedihan yang ditahan-tahan itu membuncah di dadanya seperti tsunami, dan Hana tak sanggup berpura-pura lagi.




TBC


Comments

Popular Posts