Freeze #8 (chaos)





Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, namun kegetiran luar biasa masih saja tebal menyelimuti rumah singgah. Taeyong dibawa ke ruangannya yang dingin dan terisolir, tubuhnya dimasukkan ke peti es tempatnya biasa tidur, sementara Bunda Sejeong duduk di sebelahnya sambil menangis dan berbisik ā€˜bangunlahā€¦bangunlahā€¦ā€™ dengan suara memohon yang ringkih. Tenggorokannya serasa terbakar tapi kalimat itu tetap dirapalkannya sejak tengah malam tadi seperti mantra. Tak mau berhenti. Seolah jika mulutnya terkatup sedetik saja maka Taeyong tak akan mungkin terselamatkan.



Di ruangan lain, Hana juga nampak sama tak berdayanya. Dengan seizin Bunda Sejeong, Melvin dan Somin menggunakan telepon di ruang kerjanya untuk menghubungi rumah sakit, meminta seorang dokter untuk datang dan mengecek keadaan Hana. Ibu Hana yang mendengar kabar tersebut dari sang Dokter (yang kebetulan juga merupakan Dokter yang menanganinya) kontan panik dan memaksa ikut ke rumah singgah. Jadi di sinilah mereka sekarang, di kamar Hana. Hyun Mi dan Somin berdiri gelisah di dekat lemari, sementara beberapa anak lain berjinjit di luar, mengintip penasaran lewat jendela.


  
Setelah melakukan pemeriksaan singkat, sang Dokter berbalik menghadap ibu Hanaā€”yang mukanya sudah pucat pasi.



ā€œDia akan segera siuman.ā€
ā€œA-apa yang terjadi padanya?ā€ tanyanya cemas.
ā€œSaya tak tahu apa yang habis dia lakukan, tapi sudah pasti kegiatan itu sangat menguras tenaganya. Intinya dia kelelahan, juga iniā€¦ apa pun yang dia lakukan, itu menyebabkan memar di pundaknya,ā€ kata sang Dokter sambil menunjukkan kulit pundak Hana yang kebiruan, ā€œSaya menduga ini karena salju. Mungkin kulitnya agak sensitif. Tapi saya percaya itu akan hilang.ā€



Ibu Hana mengangguk namun tak sedikit pun raut panik di wajahnya berkurang.



ā€œTenangkan dirimu, Nyonya Kim. Anda juga belum sembuh benar, kan? Anda tahu, seseorang juga bisa pingsan karena emosi yang berlebihan, seperti rasa sedih, panik, takut, atau perasaan lain yang melampaui batas. Kalau tak bisa menenangkan diri begini, Anda bisa ikut pingsan seperti Hana. Jadi saya mohon, tariklah napas panjang dan tenangkan diri. Anakmu akan baik-baik saja. Sungguh, dia akan baik-baik saja. Jika sampai nanti malam dia belum siuman, Anda bisa hubungi saya lagi.ā€



ā€œBaiklah.ā€
ā€œDan tolong kabarkan tentang kondisimu juga. Ingat, seharusnya Nyonya baru boleh pulang minggu depan.ā€



ā€œYa, Dokter.ā€



Sang Dokter memasukkan alat-alatnya ke dalam tas, memberikan kalimat-kalimat penenang sekali lagi sebelum akhirnya pamit dan meninggalkan ruangan.



ā€œSebenarnya apa yang terjadi?ā€ tanya Ibu Hana segera setelah Dokter itu pergi. Somin dan Hyun Mi dengan kompak menggeleng.



ā€œKami tak tahu. Yang pasti, semalam terdengar suara kencang dari gerbang dan saat kami keluar, Hana Eonnie dan Taeyong Oppa sudah tergeletak di lapangan,ā€ kata Hyun Mi.



ā€œJangan lupakan sepedanya,ā€ Somin mengingatkan.
ā€œBenar. Mereka tergeletak bersama sepeda.ā€
ā€œSepeda?ā€ ulang Ibu Hana tak mengerti.
ā€œYa,ā€ Kedua anak perempuan itu mengangguk bersamaan seperti anak kembar.
ā€œMereka bersepeda malam-malam?ā€
ā€œBenar. Dan anehnya ada nama sekolah Hana Eonnie di badan sepedanya,ā€ Somin berkata dengan kening berkerut.



ā€œMaksudmu, mereka berdua ke sekolah Hana semalam? Tapi untuk apa?ā€
ā€œHmm.. sebenarnya aku punya dugaan,ā€ kata Hyun Mi ragu-ragu. Ibu Hana dan Somin sontak menoleh padanya, menyuruhnya cepat bicara. ā€œJadi, beberapa hari yang lalu aku lihat berita di televisi..ā€ Hyun Mi menyikut rusuk Somin, ā€œkita menontonnya berdua.. tentang meteor..ā€



ā€œAh!!ā€ Somin teringat dan langsung mengangguk-angguk setuju.
ā€œMeteor apa?ā€ tanya ibu Hana mendesak.



ā€œJadi katanya,ā€ lanjut Hyun Mi, ā€œhujan meteor akan melintasi Mungyeong dan salah satu lokasi terbaik untuk melihatnya adalah lapangan sekolah Hana Eonnie. Kurasa mungkin mereka ke sana.ā€



ā€œAPA BENAR YANG KAU BILANG ITU!ā€ Tiba-tiba suara menggelegar Bunda Sejeong terdengar dari pintu masuk. Semua orang di kamar tersebut berjengit kaget dan menoleh. Bahkan Hana yang sedang pingsan pun menjadi siuman gara-gara suara itu.



ā€œHanaā€¦ā€
ā€œEonnieeeā€¦ā€



Sang ibu beserta Somin dan Hyun Mi sontak menoleh ke ranjang dengan raut penuh kelegaan. Hana mengerjap-ngerjap. Kepalanya berat sekali dan tulang punggungnya pegal luar biasa. Setelah berhasil menemukan kesadaran, ia mendengar suara marah-marah Bunda Sejeong dan memaksa diri untuk memahami situasi ini dan bangkit ke posisi duduk. Hal pertama yang dilihatnya adalah sang ibu.



ā€œI-ibu? Bagaimana Ibu bisa di sini?ā€
ā€œHana, sayang, syukurlah. Ibu langsung ke sini begitu tahu kau pingsan. Bagaimana keadaanmu? Apa yang terjadi?ā€



Saat itu, rekaman kejadian semalam melintas cepat di benak Hana. Ia terbelalak dan segera mengalihkan pandang kepada wanita di belakang ibunya, ā€œBunda Sejeong, bagaimana keadaan Taeyong?ā€



ā€œBeraninya kau bertanya tentang Taeyong!ā€ seru wanita itu murka.
ā€œMaafkan aku, Bunda. Semalamā€¦ā€
ā€œMaaf katamu? Jadi itu benar, huh? Kau membawanya keluar?ā€ Suara Bunda Sejeong terdengar amat galak sampai Somin dan Hyun Mi bergidik ketakutan dan memutuskan untuk keluar diam-diam. Sejujurnya Hana juga sama takutnya, tapi sayangnya dia tak bisa ikut keluar bersama kedua anak itu. Mata penuh kebencian Bunda Sejeong tertuju lurus-lurus padanya dan saking tajamnya, rasanya tatapan itu sudah menembus kepalanya. Hana yang tak tahu harus berkata apa cuma bisa merundukkan wajah dalam-dalam. Oh, sungguh dia menyesali keputusan bodohnya. Sangat-sangat menyesal sampai ia ingin diubah jadi debu saja. Apa yang merasuki otakku semalam? Bagaimana mungkin aku bisa setuju membawa Taeyong keluar? Bodoh benar, sih.



ā€œTaeyong belum sadar sampai sekarang dan aku tak bisa panggil Dokter. Kau puas?!ā€



Otot di rahang ibu Hana menegang melihat anaknya dibentak-bentak begitu. ā€œMaaf, saya mengerti perasaan Anda tapiā€¦ā€



ā€œTutup mulut! Anakmu normal, kau tak mengerti perasaanku!ā€ potongnya. Kemudian mata membelalaknya kembali lagi pada Hana. ā€œSekarang kutanya padamu. Apa yang kau lakukan pada Taeyong?!ā€



ā€œA-aku tidak melakukan apa-apa. Kami pergi melihat hujan meteor dan tiba-tiba saja tubuhnya jadi lemas. Aku langsung mengambil sepeda sekolah dan membawanya pulang. Sungguh aku tidak melakukan apa-apā€”PLAAAK!!ā€



Tangan Bunda Sejeong tanpa diduga-duga melayang menampar pipi Hana. Wajahnya geram dan pelupuknya penuh air mata. ā€œBeraninya bilang ā€˜tidak lakukan apa-apaā€™! Kau sudah membawa Taeyong keluar! Itu yang kau lakukan! Tak tahukah kau betapa fatalnya itu!ā€



Selama Bunda Sejeong berteriak-teriak kasar, Ibu Hana yang terkejut langsung mendekap anaknya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya mengulur mendorong Bunda Sejeong agar menjauh. ā€œKau benar-benar tidak waras. Menjauhlah dari anakku!ā€



ā€œKaulah yang harusnya suruh anakmu menjauh dari anakku!ā€
ā€œDasar bodoh! Sudah tua masih main tangan. Aku pasti akan melaporkanmu ke polisi!ā€ ancam ibu Hana.
ā€œIbu, sudahlah. Ini memang salahku,ā€ sergah Hana, tak mau masalah ini semakin runyam. Karena wajahnya masih amat pucat, bekas tamparan Bunda Sejeong jadi terlihat jelas. Rasanya memang agak perih tapi Hana masih bisa menahannya.



Bunda Sejeong menyeka matanya dengan kasar lalu berbalik pergi meninggalkan kamar Hana.



ā€œBenar-benar wanita sinting! Ibu tak percaya kau dirawat oleh nenek sihir temperamen itu selama berbulan-bulan!ā€ maki Ibu Hana, ia berdiri dan memandang pintu penuh emosi. ā€œApa-apaan! Kau bilang dia sebaik malaikat? Malaikat di mana, huh? Barusan dia menamparmu di depanku!!! Di depan ibumu sendiri!! Sinting benar!ā€



ā€œMengertilah, Bu. Aku sudah membahayakan nyawa anaknya. Bunda Sejeong memang sangat protektif terhadap Taeyong, aku pantas mendapatkan ini.ā€



ā€œAku tidak terima, Hana. Ibu tidak terima anak ibu satu-satunya dipukul dan dibentak-bentak begitu. Ibu ada di sini saja dia berani melakukan itu, apalagi kalau Ibu tidak ada,ā€ kata ibu Hana keras. Ia menggelengkan kepalanya tak habis pikir, kemudian kembali menatap sang anak penuh selidik. ā€œLebih baik kau ceritakan pada Ibu apa yang terjadi semalam.ā€



ā€œSudah kukatakan, Bu. Dia tiba-tiba lemas.ā€
ā€œKalau dia yang lemas, kenapa kau ikutan pingsan? Dan lagi, kenapa kau membawanya keluar? Itu bukan keinginanmu, kan? Pasti anak si Sejeong sialan itu yang duluan mengajakmu. Iya, kan?ā€



ā€œIbu, jangan bicara buruk tentang Bunda Sejeong. Dia orang baik.ā€
ā€œOh, Hana. Cukup. Kau masih membelanya? Setelah semua yang dilakukan padamu? Cukup, ya ampun, cukup, dengar ibu! Ibu tak sudi kau tinggal di sini. Persetan dengan sekolahmu. Banyak sekolah bagus di Seoul. Tak akan kuizinkan kau tinggal di sini bersama wanita liar itu, kita kembali ke Seoul sesegera mungkin.ā€



ā€œYeah, aku memang ingin ikut ke Seoul.ā€



Ibu Hana yang tak menduga perkataannya akan dituruti begitu saja langsung terkesiap, ā€œB-benarkah? Kau sudah berubah pikiran sekarang?ā€



ā€œAku sudah berubah pikiran sejak kemarin. Aku akan kembali ke Seoul, tapiā€¦ā€
ā€œTapi apa?ā€
ā€œTapi aku harus pastikan Taeyong sembuh dulu.ā€




**********




Hari Selasa pun tiba, sama suram dan sama dinginnya dengan kemarin. Taeyong masih terbaring lemah di peti tidurnya dan Bunda Sejeong masih menolak untuk melakukan interaksi sekecil apa pun dengan semua orang di rumah singgah. Meskipun Hana memiliki ideā€”yang layak dicobaā€”untuk menyembuhkan Taeyong, tapi ia masih takut untuk menghampiri Bunda Sejeong dan mengutarakan idenya itu. 



Namun hari Selasa ini, tepatnya pukul 11 siang, saat hampir semua anak berada di sekolah masing-masing, saat ibunya tengah terlelap karena pengaruh obat, Hana justru melangkahkan kakinya menuju gedung terlarang. Ia benar-benar penasaran seserius apa kondisi Taeyong saat ini. Separah apa dia sampai bisa membuat Bunda Sejeong berjalan ke sana kemari dengan wajah kuyu seperti mayat hidup? Kulit Taeyong saat keadaan normal saja sudah sangat pucat, lalu sekarang sepucat apa lagi? Hana sama sekali tak mampu membayangkannya.



Saat itu, belum sempat kaki Hana menjejaki lapangan, ia melihat Bunda Sejeong tengah berjalan di koridor dan tumitnya secara refleks berputar. Tidak, dia tidak menghindar. Kakinya justru berjalan sendiri menghampiri wanita itu sementara akal dan hatinya dengan kompak memberikan kalimat-kalimat penyemangat.



Kau bisa, Hana. Kau bisa. Dia cuma Bunda Sejeong. Bukan monster. Dia tak akan memakanmu. Tak mungkin dimakan, paling ditampar lagi.



Hana tiba di hadapan Bunda Sejeong dan seketika itu juga ia merasa ditampar lagi. Terima kasih kepada otaknya yang bicara sembarangan. Bunda Sejeong turut berhenti, matanya yang lelah balik menatap Hana dengan tatapan tak suka yang sama sekali tak berusaha ia tutupi.



ā€œB-bunda, bagaimana kabar Taeyong?ā€
ā€œā€¦.ā€
ā€œK-kurasa kita harus membawanya menemui seseorang.ā€
ā€œHana!ā€ Bunda Sejeong membentak. ā€œBisakah kau berhenti menyulut emosiku? Sudah kubilang aku tak akan membawanya ke dokter!ā€



ā€œBukan dokter,ā€ kata Hana, ā€œtapi ilmuwan.ā€



Seketika itu juga, seolah mendengar kata terlarang, raut wajah Bunda Sejeong berubah menjadi ketakutan. Dadanya mencelos. Tatapannya penuh kengerian. Bola matanya bergetar, dan kendati mata itu tertuju pada Hana, tapi sebenarnya pikirannya sama sekali tidak di sana. Melayang ke suatu masa yang selalu berusaha ia enyahkan. Masa lalunya yang kelam.



ā€œBunda tahu keluarga angkatku, kan? Keluarga Lee? Anak tunggal mereka adalah seorang ilmuwan hebat. Dia pasti mengerti soal hal-hal semacam ini. Jika aku boleh menceritakan masalah ini padanya, mungkin dia bisaā€¦ā€



ā€œTidak,ā€ jawab Bunda Sejeong tegas. Kembali pada kesadarannya.
ā€œTapi Bunda, di saat seperti ini kita tak bisa diam saja dan menunggu keajaiban. Kita harusā€¦ā€
ā€œTidak. Kubilang tidak.ā€ Bunda Sejeong menaikkan nada bicaranya. ā€œTidakkah kau paham apa artinya ā€˜tidakā€™? Aku tak mungkin memberi tahu kondisi Taeyong pada lebih banyak orang. Itu namanya bunuh diri.ā€



ā€œAku bersumpah kakak angkatku akan tutup mulut,ā€ kata Hana. ā€œSelamanya.ā€



Bunda Sejeong tak langsung menjawab, membuat Hana nyaris-nyaris berharap. Namun sedetik setelah harapan itu munculā€¦.. ā€œTidak,ā€ Bunda Sejeong meluluhlantakkan harapan tersebut dan pergi begitu saja.



Hana yang tak bisa berbuat apa-apa cuma menatap Bunda Sejeong yang menjauh itu sambil menghela napas. Berharap ada cara untuk mengubah pikirannya.




**********




Kendati ini merupakan makan malam pertamanya dengan sang Ibu setelah berbulan-bulan, namun makan malamnya hari itu bukan pengalaman yang menyenangkan bagi Hana. Anak-anak berpencar di meja lain, entah mengapa memutuskan untuk menjauhinya. Hanya Somin dan Hyun Mi saja yang bersedia satu meja dengan Hana.



ā€œBagaimana keadaan Taeyong Oppa dan Bunda Sejeong?ā€ tanya Somin hati-hati. Hana mengangkat bahunya putus asa.



Somin menunduk menatap supnya yang terlalu encer, lalu menatap Hana lagi. ā€œKau tahu ini bukan salahmu, Eonnie.ā€



ā€œLalu salah siapa?ā€ sergah Hana. ā€œBerhenti menghiburku, Somin.ā€
ā€œAku tidak sedang menghibur. Ini memang bukan salah siapa-siapa. Ini semua kehendak Tuhan.ā€
ā€œLihat betapa bijaknya seorang anak umur 12 tahun,ā€ kata Ibu Hana, matanya melirik anaknya sendiri dengan tatapan ā€˜belajarlah dari anak perempuan manis iniā€™. Namun yang disindir sama sekali tak menggubris.



ā€œMau diizinkan atau tidak, setelah makan malam aku akan tetap menelepon Wooseok Oppa.ā€ Hana mengumumkan seisi meja dengan suara penuh tekad, lalu menyendok sup encernya dan memakannya dengan penuh tekad juga.



ā€œEonnie, bukankah seharusnya kau belajar dari apa yang sudah terjadi?ā€ Hyun Mi mendesah. ā€œKau tak boleh melakukan sesuatu yang jelas-jelas ditentang Bunda Sejeong. Aku yakin satu tamparan saja sudah cukup menyakitkan.ā€



ā€œItu benar. Kau tahu, Eonnie? Dibanding anak-anak lain yang sudah menghabiskan separuh hidup mereka di sini, kau yang baru beberapa bulan saja sudah mengalahkan kami semua dalam hal kena murka Bunda Sejeong,ā€ timpal Somin. Hyun Mi mengangguk-angguk dengan kencang, mengisyaratkan kesetujuan yang luar biasa. ā€œBahkan dulu kukira Bunda Sejeong tak bisa marah,ā€ katanya. Kini gantian Somin yang mengangguk.



ā€œBunda Sejeong yang kami tahu sangat lembut dan tenang, tapi semua itu berubah ketikaā€¦..ā€
ā€œAku datang,ā€ sela Hana. ā€œYa, aku tahu.ā€



Somin mengernyitkan hidungnya, ā€œTadinya aku mau bilang ketika keberadaan Taeyong Oppa diketahui, tapi kurasa kau benar.ā€



ā€œYeah, Taeyong pun ditemukan karena aku, kan?ā€
ā€œIya, sih. Padahal sudah kubilang jangan jalan-jalan di gedung terlarang,ā€ kata Somin. Tak mengerti sebenarnya ia sedang menghibur Hana atau malah menyalahkannya.



ā€œDia menyembunyikan anaknya di gudang terpencil selama bertahun-tahun. Lalu membuat cerita mistis untuk menakut-nakuti anak-anak. Luar biasa wanita sinting itu,ā€ ibu Hana berkomentar. Komentar itu membuat Somin, Hyun Mi dan Hana dengan kompak menoleh padanya dengan tatapan tidak senang.



ā€œMemang luar biasa, Tante. Tapi Bunda Sejeong bukan orang sinting,ā€ bela Somin dengan nada tenang yang dipaksakan. ā€œDia membesarkan dan menyekolahkan belasan anak terlantar seperti kami dengan uangnya sendiri.ā€



ā€œDan di saat yang sama dia juga mengurung anak kandungnya sendiri seperti sapi.ā€ Ibu Hana mendengus mencemooh. ā€œDengar, Nak. Mau sebaik apa pun dia pada kalian, kalau sikapnya pada anaknya sendiri seperti itu, maka jelas dia bukan ibu yang baik.ā€



ā€œTapi Tante, Taeyong Oppa punya tubuh yang aneh, dia amat dingin. Kudengar berbahaya jika disentuh terlalu lama. Mungkin Bunda mengurungnya begitu untuk melindungi kami,ā€ tanggap Hyun Mi ketus. Gerah sekali rasanya mendengar ibu asuh yang sudah merawatnya dengan penuh kasih itu dibilang bukan ibu yang baik oleh orang asing.



ā€œDari semua cerita Hana, aku bisa simpulkan kalau Taeyong itu bukan anak bodoh. Seharusnya sejak kecil dia diajarkan bagaimana cara mengendalikan diri supaya tidak membahayakan orang lain. Lagi pula, bukankah seharusnya dia membawa anak itu berobat supaya sembuh? Kalau Tante sih, tak akan mungkin sampai hati untuk mengurung anā€¦ā€



ā€œIbu, maafkan aku, tapi cukup,ā€ Hana yang tak tahan akhirnya menoleh menyuruh sang ibu berhenti. Di seberang meja, Somin dan Hyun Mi sudah mendengus-denguskan napas seperti banteng. ā€œIbu, aku mohon, kau tak boleh bicara buruk tentang Bunda Sejeong,ā€ lanjut Hana sambil menggenggam tangan ibunya. ā€œIbu tidak mengenal Bunda sebagaimana aku dan anak-anak asuh di sini mengenalnya. Aku yakin Ibu bicara begini hanya karena tak terima melihatku ditampar, iya, kan? Tapi sungguh, Bu, Bunda Sejeong itu orang baik. Soal kemarin, wajar saja jika dia marah, aku sudah membuat anak yang sudah dijaganya selama bertahun-tahun menjadi begini. Dia pasti khawatir dan kalut, sikapnya sekarang sangat bisa ditoleransi. Lagi pula pipiku tidak sakit, kok. Aku yakin hati Bunda Sejeong sekarang jauh lebih sakit.ā€



Saat itu, tiba-tiba saja wanita yang sejak tadi dibicarakan tersebut muncul di pintu aula dengan mata merah membelalak dan wajah yang berkeringat. ā€œHana!! Hana!! Bawa ilmuwan itu ke sini, sekarang!! Taeyong!ā€



ā€œK-kenapa Taeyong?ā€ kata Hana, sontak berdiri. Di meja-meja yang lain, semua anak membeku dan menoleh pada Bunda Sejeong dengan kaget. Beberapa anak ikut berdiri juga.



ā€œNapasnya semakin tidak teratur. Cepat!ā€ Bunda Sejeong menjerit. ā€œKumohon! CEPAT! CEPAT! Suruh ilmuwan itu datang sekarang!ā€



Hana mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mencari kontak Wooseok dengan tangan gemetar.



Bunda Sejeong merosot ke lantai dan menangis meraung-raung menyuruh Hana untuk cepat dan mengatakan berulang-ulang bahwa ia tak mau Taeyong mati.



Hana semakin gemetaran menatap layar ponselnya. Wooseok. Wooseok. Wooseok. Mana dia kontaknya? Jarinya terus bergulir hinggaā€¦.. Ketemu! Tanpa buang waktu, ia segera menghubungi pria itu.



[Halo?] Wooseok menjawab dengan santai.
ā€œOPPA!ā€ pekik Hana. ā€œSedang sibuk tidak? Bisa ke rumah singgah sekarang?ā€
[A-aku sedang makan malam di rumah.] Pria itu melirik kedua orangtuanya yang tampak penasaran. [Kau baik-baik saja, Han? Ada apa?]



ā€œMaaf mengganggu makan malammu, tapi kau harus ke sini sekarang. Aku akan cerita saat kau sudah di mobil. Ini gawat sekali. Bisa, kan?ā€



[Y-yeah, tentu. Aku akan siap-siap.] Wooseok mengelap mulutnya dengan serbet dan segera berdiri.
ā€œB-bagaimana kalau langsung jalan saja? Tidak usah siap-siap.ā€



Bunda Sejeong yang mendengar ucapan Hana secara sepihak langsung menggerutu kencang, ā€œSuruh dia cepat ya ampun siap-siap apa lagi! KATAKAN PADANYA INI SOAL NYAWA SESEORANG!ā€



[Sebentar saja, kok. Di luar sedang turun salju dan aku cuma pakai celana penā€¦]
ā€œINI SOAL NYAWA SESEORANG.ā€ Akhirnya Hana ikut memekik. Lalu sadar sendiri bahwa ia tidak seharusnya memekik dan segera melembutkan nada suaranya lagi. ā€œAmbil kunci mobilmu dan melesat ke sini secepat mungkin. Aku memohon padamu, ya. Kau bisa kuandalkan, kan? Bisa, kan?ā€




**********




Bagaimana pun, jarak dari Seoul ke Mungyeong lumayan jauh dan Wooseok baru sampai ke rumah singgah jam setengah 11 malam. Hana, ibunya dan Bunda Sejeong sudah menunggu di gerbang. Walaupun diteriaki untuk tidak usah siap-siap, Hana tahu Wooseok tetap bersiap-siap.



ā€œApa? Aku ganti celana di mobil.ā€ Wooseok langsung membela diri begitu melihat arah tatapan Hana.



Saat itu, ia melihat seorang wanita dengan cardigan abu-abu di sebelah Bunda Sejeong dan langsung terbelalak. ā€œYa ampun, Nyonya Kim? Ibunya Hana? Bagaimana Anda bisa di sini? Saya senang sekali Anda sudahā€¦ā€



ā€œAyo cepat, lewat sini,ā€ kata Bunda Sejeong mendesak, sama sekali tak peduli akan perjumpaan mengharukan yang nyaris terjadi di depannya. Ibu Hana mengangguk singkat pada Wooseok sambil membelai bahunya, lalu tanpa suara menyuruh pria itu menuruti perkataan Bunda Sejeong sajaā€”yang sudah berjalan tergesa-gesa menuju kamar Taeyong di gedung terlarang.



Wooseok lekas mengambil beberapa peralatan dan tabung oksigen dari bagasinya lalu berjalan mengekor Bunda Sejeong dan Nyonya Kim dengan bantuan Hana. ā€œApa alat-alat ini selalu ada di mobilmu?ā€ tanya Hana heran.



ā€œSebenarnya tadi aku ke lab dulu.ā€ Wooseok nyengir. Hana langsung melotot marah. ā€œYa ampun! Kau tahu tidak sih dari tadi kamiā€¦ā€



ā€œHeh, kau kira aku dukun, ya? Bisa menyembuhkan orang dengan tangan kosong! Tentu saja aku butuh ini. Lagi pula aku kan cuma ilmuwan biasa. Kau harusnya panggil dokter juga.ā€



ā€œBunda Sejeong tak mau melibatkan banyak orang. Sudah kubilang anaknya iniā€¦ā€
ā€œManusia es,ā€ sambung Wooseok, nyengir semakin lebar. ā€œKeren sekali.ā€
ā€œBisakah kalian percepat jalan kalian!ā€ Bunda Sejeong berteriak tak sabaran dari koridor. Hana dan Wooseok terkejut dan buru-buru berlari.




**********




Setelah melakukan segala yang ia bisa, Wooseok melepas maskernya dan menggeleng lemah bak dokter yang gagal melakukan operasi. ā€œMaafkan aku,ā€ katanya pada ketiga perempuan di belakangnya. ā€œAku tak tahu apa yang terjadi di dalam tubuhnya. Aku harus membawanya ke lab-ku.ā€



ā€œTidak! Kau tak akan membawa anakku ke mana-mana,ā€ sergah Bunda Sejeong, protektif seperti biasa.
ā€œBegitu juga alat-alat di lab-ku, Nyonya. Itu fasilitas perusahaan. Mereka tak bisa dibawa ke mana-mana,ā€ Wooseok membalas seraya melepas sarung tangan kedap suhunya dengan tenang.



ā€œOppa, kumohon cobalah sekali lagi. Apa dia juga pingsan karena kelelahan sepertiku? Kira-kira kapan dia siuman? Taeyong belum makan apa-apa semenjak dia pingsan. Apa kau tak bisa buat serum penyembuh atau apa? Kumohon buatlah sesuatu!ā€



ā€œHan, tak ada yang bisa kulakukan di sini. Sebelum buat serum macam-macam, tubuhnya harus dipelajari dulu di lab.ā€



ā€œDipelajari???ā€ ulang Bunda Sejeong emosi. ā€œKau kira anakku kelinci percobaan, ya? Aku tak akan izinkan Taeyong dibawa ke laboratorium dan dibedah-bedah oleh kalian manusia tak berhati.ā€



ā€œAku tak akan membedahnya. Aku tak punya izin untuk itu. Tapi di lab-ku ada banyak alat canggih, aku bisa melihat bagaimana cara kerja tubuh anakmu dengan alat itu lalu mengobatinya sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Nyonya pasti mengerti kan betapa berbedanya tubuh anak Nyonya ini? Aku tak bisa asal suntik serum jika tak mengerti bagaimana cara kerja tubuhnya,ā€ kata Wooseok, berusaha terdengar sopan. ā€œOmong-omong, aku berhati, loh. Aku sudah pernah melihatnya. Ada di sini, di bawah diafragma.ā€ Wooseok memegang perut kanannya.



ā€œAku tetap tidak akanā€¦.ā€
ā€œTunggu dulu. Pikirkan baik-baik sebelum membuat keputusan, ini kan mengenai keselamatan putramu.ā€ Wooseok menyelipkan senyum. ā€œSelagi Nyonya berpikir, boleh aku pinjam toiletnya? Aku sudah tahan buang air kecil sejak masih di tol.ā€



Bunda Sejeong menunjuk pintu kamar mandi milik Taeyong dengan muka masam. Lalu mengenyakkan dirinya di sofa dan benar-benar menggunakan waktunya yang singkat itu untuk berpikir.



ā€œKurasa sebaiknya kita ikut pulang dengan Wooseok,ā€ kata ibu Hana pada putrinya. Hana langsung menoleh, tapi tak tahu harus merespon seperti apa. Sebagian hatinya masih menolak untuk pulang.



ā€œIbu mohon. Ibu benar-benar tak nyaman tinggal di sini,ā€ tambah sang wanita memelas.
ā€œTapi, apa Ibu yakin kondisi ibu sudah stabil?ā€
ā€œYa, sangat stabil. Lagi pula di Seoul kan juga ada rumah sakit. Ayolah, Han. Lebih cepat lebih baik. Ibu tak sabar ingin pulang. Kita pulang, ya..ā€



Hana menoleh pada Taeyong yang terbaring tak berdaya, pada Bunda Sejeong, pada keseluruhan isi kamar tersebut, lalu menghela napas. Banyak sekali kenangan di ruangan ini. Mulai dari mereka pertama bertemu, cerita-cerita Spider-Man, belajar membaca, jendela baru, menyentuh dengan sarung tangan kedap suhu, ketahuan Bunda Sejeong dan semuanya. Hana bisa merasakan hatinya bergejolak, memberat dan membuat sesak. ā€œBaiklah,ā€ gumamnya pada diri sendiri, lalu tersenyum menatap ibunya dan bicara lebih jelas. ā€œBaiklah, ayo pulang.ā€



Lagi pula, pikir Hana, aku sudah tak pantas lagi tinggal di sini. Aku merasa seperti racun. Sifat Taeyong yang semula penurut berubah menjadi penentang karenaku. Bunda Sejeong yang lembut menjadi pemarah karenaku. Kalau terlalu lama di sini, aku bisa menjadi pengaruh buruk bagi lebih banyak orang, bagi anak-anak asuh, terutama.



Saat itu, Wooseok keluar dari kamar mandi dengan wajah lega.



ā€œOppa, aku dan Ibu akan ikut denganmu ke Seoul. Bolehkah?ā€
ā€œOh, itu bagus. Akan lebih seru jika ada teman di mobil. Kau tahu, sangat membosankan rasanya berkendara sendiri.ā€



ā€œTerima kasih banyak, Nak Wooseok. Ibu juga ingin sekali kembali ke Seoul dan bertemu orangtuamu, mereka sangat baik sudah mengurus jenazah suamiku. Bahkan membiayai keperluan Hana juga.ā€



ā€œTak masalah.ā€
ā€œKalau begitu aku dan Hana akan mengemasi barang-barang kami sekarang.ā€
ā€œA-apa, Bu? Sekarang?ā€ tanya Hana kaget.
ā€œIbumu benar, Han. Lebih baik kemasi pakaianmu sekarang. Karena begitu Nyonya Sejeong selesai berpikir, kita akan langsung jalan.ā€ Wooseok sengaja mengeraskan suaranya sambil melirik Bunda Sejeongā€”yang langsung balas meliriknya dengan pandangan mencela bercampur gelisah.



Ibu Hana mengangguk semangat pada Wooseok lalu menarik tangan putrinya dan keluar dengan terburu-buru. Jelas sekali wanita itu amat bahagia dan tak sabar untuk kembali pulang.



Selagi menunggu, Wooseok memasukkan peralatannya (yang tak terlalu berguna) ke dalam kotaknya dan begitu ia menutup kotak tersebut, Bunda Sejeong tiba-tiba berdiri. ā€œKau boleh membawanya,ā€ katanya, lemah dan terpaksa.



Wooseok yang sudah menduga jawaban tersebut kontan tersenyum.



ā€œTapi aku punya syarat,ā€ tambah sang wanita.



Wooseok berbalik padanya dan mengangguk penuh percaya diri, ā€œtentu,ā€ katanya, ā€œtentu kau boleh ikut.ā€



ā€œBukan itu syaratnya. Aku tak akan ikut. Aku tak bisa meninggalkan kota ini.ā€
ā€œTak bisa meningā€”ā€œ
ā€œMaksudku,ā€ sambar Bunda Sejeong dengan suara kelewat kencang. ā€œA-aku tak bisa meninggalkan anak-anak asuhku di sini.ā€ Ia memelankan suaranya lagi ke volume normal. ā€œKau dengar sendiri, kan? Hana dan ibunya akan ikut denganmu ke Seoul. Kalau begitu tidak ada yang mengurus anak-anak di sini.ā€



ā€œLalu apa syaratnya?ā€
ā€œJangan biarkan seorang pun tahu tentang Taeyong.ā€
ā€œKecuali aku dan timku? Well, sebenarnya itu agak sulit tapiā€¦ā€
ā€œKecuali kau,ā€ sela Bunda Sejeong.
ā€œApa? H-hanya aku? Maksudmu hanya aku? Wow, oke, begini, maaf Nyonya, tapi itu tidak mungkin. Aku tak punya lab pribadi. Yang ada hanya lab untuk tim. Dan kira-kira ada 5 orang di tim-ku. Tapi aku bisa jamin mereka tidak akanā€¦.ā€



ā€œTidak. Tidak ada yang boleh tahu.ā€
ā€œItu tidak mungkin, Nyonya. Kau mau aku kerja tengah malam?ā€
ā€œAku cuma minta agar kau merahasiakan Taeyong dari semua orang. Aku tak peduli jam berapa kau kerja.ā€



Wooseok mengusap mukanya, memimikkan kata dan mengisyaratkan dengan seluruh tubuhnya bahwa ITU TIDAK MUNGKIN. Tapi ia melihat tatapan tajam Bunda Sejeong dan akhirnya mendesah dan berkata dengan putus asa, ā€œOke, baiklah. Tapi tak ada syarat lain, kan? Itu saja sudah agak mustaā€¦ā€



ā€œJangan perlakukan dia seperti objek penelitianmu.ā€ Bunda Sejeong lagi-lagi menyela. Ia berjalan mendekati Wooseok dan bicara dengan dingin seolah sedang mengancam. ā€œTeliti cara kerja tubuhnya hanya sebatas untuk menyembuhkannya. Tidak lebih. Jika dia siuman, segera kembalikan padaku. Lalu tutup mulutlah tentang Taeyong seumur hidupmu. Kau mengerti?ā€



Wooseok terperangah. Bunda Sejeong terus berjalan mendekat padanya dan tanpa sadar kakinya terus melangkah mundur sampai membentur peti tidur.



ā€œSebenarnya aku paling benci dengan ilmuwan bajingan sepertimu. Pekerjaan bodoh. Kalian itu manusia-manusia dengan otak brilian tapi berhati batu, seenaknya melakukan percobaan aneh pada makhluk hidup lain tanpa peduli konsekuensinya bagi mereka. Dan sekarang rasanya Tuhan sedang menghukumku. Aku memang benci pada ilmuwan tapi jika satu-satunya cara untuk menyembuhkan anakku adalah dengan membiarkannya pergi denganmu maka akan kurelakan. Tapi awas jika kau berani menyentuhnya di luar pengobatan ini. Sekarang berjanjilah padaku!ā€



ā€œY-ya, aku janji.ā€
ā€œAku tak mendengarmu, katakan lebih keras!ā€
ā€œA-aku janji.ā€
ā€œLEBIH KERAS!.ā€
ā€œAKU JANJI!ā€



Bunda Sejeong tersenyum, namun bukan tipikal senyum yang menenangkan hati. ā€œTerima kasih, umm.. siapa namamu? Ah, Lee Wooseok, benar, kan?ā€ Matanya berkilat penuh ancaman. ā€œDengar, Wooseok-ssi, sekalipun hubunganku dengan Hana sedang tidak baik, dan sekalipun dia adik angkatmu, aku tahu Hana ada di pihakku. Jadi kuharap kau tidak coba-coba memanfaatkan Taeyong untuk kepentingan apa pun. Sembuhkan anakku secepat yang kau bisa dan segera bawa dia kemari. Kau mengerti? Aku bisa pegang janjimu?ā€



Wooseok mengangguk patah-patah. Ini amat memalukan untuk diakui tapi nada suara, tatapan tajam dan semua yang dilakukan wanita empat puluh tahunan itu terdengar amat sengit dan berbahaya hingga mustahil rasanya untuk tidak terintimidasi. Di ruangan yang sedingin freezer tersebut, Wooseok bisa merasakan keringatnya mengalir di balik punggung.



ā€œKalau begitu, a-aku akan bawa Taeyong ke mobilkuā€¦ā€
ā€œAku punya selimut es, selama di jalan kau harus selimuti dia dengan itu.ā€ Bunda Sejeong membuka lemari reyot milik Taeyong dan mengambil selimut putih bertekstur janggal. Wooseok menerimanya terheran-heran.



ā€œI-ini buatanmu?ā€
ā€œYa.ā€
ā€œDan peti es ini juga?ā€
ā€œYa.ā€
"Dan yang memodifikasi pendingin ruangan di sini juga....?" Wooseok menunjuk lawan bicaranya.
"Tentu saja."
ā€œTuhan! Sebenarnya siapa wanita ini,ā€ gumam Wooseok.
ā€œApa yang kau katakan?ā€
ā€œT-tidak, aku hanyaā€¦ kau sepertinya ilmuwan yang lebih hebat dariku.ā€
ā€œKau memanggilku ilmuwan?ā€ Suaranya meninggi lagi. Wooseok langsung menggeleng, rasa takut yang sempat redam selama beberapa saat seketika meningkat lagi sampai ke ubun-ubun. ā€œT-tidak.. tidak.. kau salah dengar.ā€



ā€œAku bukan ilmuwan,ā€ Bunda Sejeong menegaskan.
ā€œY-yea.ā€ Wooseok mengelap keringat di pelipisnya. Lalu buru-buru memakai sarung tangan kedap suhunya lagi. Dia harus segera keluar dari situ. Harus-segera-keluar.




**********




Pada akhirnya, karena tak mau membangunkan anak-anak, Hana pun cuma bisa mengucapkan salam perpisahan lewat sepucuk surat yang ia selipkan di bawah pintu kamar Somin. Ia meminta maaf karena tak bisa menunggu sampai besokā€”keadaan Taeyong amat-amat tak terprediksi jadi mereka harus cepat sampai di Seoul untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Ia juga berterima kasih kepada para anak asuh yang sudah berkenan menghibur dan menjadi temannya selama ia tinggal di rumah singgah ini. Tak lupa ia juga berjanji untuk menemui mereka lagi secepatnya.



Karena baru tiba di Seoul dini hari, Hana dan ibunya dibawa ke rumah keluarga Lee untuk bermalam (sebab kondisi rumah mereka benar-benar tak terawat dan harus diadakan pembersihan besar-besaran dulu sebelum siap dihuni lagi). Sementara Wooseok, setelah mengantar Hana dan sang ibu ke rumahnya, tanpa menyempatkan diri untuk turun ia langsung menyetir lagi ke lab-nya. Dengan perasaan tidak enak terhadap Wooseok, Hana pun bermalam di rumah yang sempat menjadi tempat tinggal sementaranya itu.



Baru keesokan harinya, setelah berterima kasih, mengobrol dan berbasa-basi panjang dengan Tuan dan Nyonya Lee, Hana dan ibunya akhirnya pamit dan menyambangi rumah mereka yang mengenaskan.



ā€œWah, luar biasa, aku nyaris tidak mengenali rumah ini,ā€ kata Hana begitu melangkah masuk. Sarang laba-laba dan kotoran tikus terlihat di mana-mana. Sofanya tertutup debu tebal dan atap alumunium di dekat dapur sudah ambruk hingga memporak-porandakan lemari di bawahnya.



ā€œKenapa atapnya bisa jatuh begitu, ya? Padahal waktu aku ambil komik, keadaannya tidak sehancurā€¦.ā€
ā€œTuhanku,ā€ Ibu Hana tiba-tiba jatuh berlutut dan menangis tersedu-sedu menutupi wajahnya. Hal itu membuat Hana terkejut. Ia segera meletakkan tasnya dan turut berlutut menenangkan sang Ibu.



ā€œSudahlah, Bu. Jangan sedih begitu. Ini bukan masalah besar. Semuanya kan masih bisa dibereskan. Aku akan minta bantuan Wooseok Oppa untuk membenarkan atap dan lema.ā€¦ā€



ā€œBukan, Hana. Ibu cuma tak percaya bisa kembali ke rumah ini lagi. Rasanya sudah lama sekali. Ibu benar-benar bahagia, Han. Sangat bahagia,ā€ katanya sembari tersenyum sedih. Tangannya terulur mengambil figura di meja, terlihat foto Hana kecil, ia dan almarhum suaminya yang sedang tertawa gembira di perayaan gerhana matahari, lantas didekapnya erat-erat foto itu dan lebih keraslah isakannya.



Melihat pemandangan itu, Hana menyeka air matanya. Demi kesembuhan sang Ibu, ia sudah berpura-pura kuat selama ini, berpura-pura menjadi anak perempuan yang tangguh, yang sudah mengikhlaskan kepergian ayahnya yang tak terduga. Namun saat ini, saat ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumahnya yang hancur lebur, saat melihat ibunya menangis pilu sambil mendekap figura usang, luapan kesedihan yang ditahan-tahan itu membuncah di dadanya seperti tsunami, dan Hana tak sanggup berpura-pura lagi.




TBC


Comments

Popular Posts