Freeze #10 (feelings)
Hari pertama di sekolah baru
tidak berjalan semulus yang Hana harapkan. Tidak, dia tidak terlambat. Gadis
itu bahkan sudah siap dari jam 6 pagi dan tiba di sekolah 15 menit sebelum bel
berbunyi. Ini soal kelengkapan atribut, dan itu pun bukan salahnya.
āMana dasimu?ā Baru saja Hana
melangkah melewati gerbang, seorang guru bertampang seram tiba-tiba
menghadangnya.
āDasi? Aku tidak dapat dasi,ā
jawab Hana jujur. Dia sudah mengecek seragamnya semalam, cuma ada blazer dan
rok cokelat, kemeja putih, seragam musim dingin (yang sedang ia pakai sekarang)
serta baju olahraga yang noraknya bukan main.
āKalau begitu kau berdiri di
samping tiang!ā
āBerdiri?ā ulang Hana terkejut. āMaaf,
Pak, tapi saya anak baru.ā
āLalu? Apa anak baru diizinkan
tidak pakai dasi?ā
āBukan begitu. Tapi saya tidak
punyaā¦ā
āBerdiri!ā
āPasti ada kesalahan. Boleh saya
bicara denga Kepaā¦ā
āHei, kau paham bahasa manusia,
kan? Kubilang berdiri! Kalau memang tidak salah pasti aku perbolehkan masuk!
Dan kalian!ā Ia menoleh pada siswa lain yang secara naluriah berhenti untuk
menonton, āApa yang kalian lihat! Cepat masuk!ā raungnya. Suaranya yang seperti
singa itu sontak membuat para murid di sekitar mereka berjengit dan mempercepat
jalannya menuju kelas.
Hana mendumel dan berdiri di
sebelah tiang. Ia mendecak dan terus mendecak sampai lidahnya sakit. Lima menit
kemudian, bel berbunyi. Guru bertampang seram yang belakangan Hana ketahui
bernama Hong Sonsengnim itu menghampirinya dan mencatat namanya di kertas, lalu
menyuruhnya menunggu di sana sementara ia pergi ke ruang kepala sekolah. Hana
bertanya dengan penuh sopan santun apa lebih baik ia ikut ke ruang kepala
sekolah saja, tapi guru yang seperti singa itu malah langsung mengomel lagi.
Jadi terpaksalah ia menurut.
Rasanya memalukan sekali berdiri
di bawah tiang bendera sendirian. Siswa-siswi yang lewat secara otomatis
memutar kepala mereka ke arah Hana, entah cuma lirikan singkat atau
terang-terangan memerhatikan. Walau bukan tatapan sinis apalagi merendahkan,
tetap saja semua perhatian itu membuat Hana tak nyaman. Jadi selagi menunggu
guru barunya yang keras kepala itu kembali, Hana terus menunduk memandangi
sepatunya. Berharap setidaknya ada orang lain yang turut dihukum bersamanya,
supaya dia tak terlihat terlalu menyedihkan. Saat sedang berpikir begitu,
tiba-tiba saja sepatu kets hitam berhenti tepat di hadapannya. Hana mendongak.
Lalu mendongak lebih tinggi untuk melihat wajahnya.
āHei.ā Cowok yang kemarin.
āHei,ā balas Hana pelan.
āJadi,ā katanya, memerhatikan
Hana dari ujung kaki sampai ujung kepala, ādasi, eh?ā
āPergilah!ā suruh Hana risih. Oh,
siapa yang tidak risih discanning lawan jenis begitu?
āAku tidak bisa pergi. Lihat!ā
Dia menunjuk kerahnya yang tak berdasi.
āTidak ada guru yang lihat. Kau
bisa langsung kabur ke kelasmu.ā
Cowok itu mengambil posisi di
sebelah Hana dan tersenyum semringah seolah itu adalah tempat favoritnya.
āPeraturan itu ada untuk dipatuhi,ā katanya sok bijak. āLagian pria sejati
tidak pernah kabur dari masalah.ā
Hana mendecakkan lidah. Kata mutiara
semacam itu jadi tak ada artinya kalau keluar dari mulut cowok semacam dia.
āKau hobi, ya?ā
āApa?ā
āDihukum.ā
Ia mengangkat bahu, kemudian
mencebikkan bibir. āMungkin.ā
Hana meliriknya sinis. Lantas kembali
menoleh ke depan, nampak terganggu sekali. Berdirinya semakin gelisah. Ia terus
memainkan tumitnya, berjinjit maju dan mundur, tak bisa diam. Ralat pikirannya
yang tadi, dia tak butuh orang-yang-turut-dihukum-bersamanya, apalagi kalau
orangnya seberisik dan setinggi ini. Bukannya memperbaiki keadaan, Hana justru
terlihat semakin memalukanāpendek dan memalukanākarena sekalipun ia berjinjit
sempurna bak balerina, tingginya tetap tak sampai sebahu cowok anonim di
sebelahnya ini.
Hana tahu cowok ini memang keterlaluan tingginya, tapi kemarin mereka mengobrol dalam jarak amanāsatu setengah meterādan dia tak harus mendongak sebanyak ini. Sekarang situasinya berbeda. Berdiri bersebelahan dengannya, berdua saja, rasanya benar-benar tidak nyaman.
Hana tahu cowok ini memang keterlaluan tingginya, tapi kemarin mereka mengobrol dalam jarak amanāsatu setengah meterādan dia tak harus mendongak sebanyak ini. Sekarang situasinya berbeda. Berdiri bersebelahan dengannya, berdua saja, rasanya benar-benar tidak nyaman.
āJadi kau sudah diterima?ā
Hana tak menjawab pertanyaannya
karena pertanyaan itu terlalu bodoh. Dia jelas-jelas sudah pakai seragam.
āKau ingat janjimu kemarin? Kalau
kau diterima kau akan sebutkan namamu.ā
Hana lagi-lagi mengabaikannya.
Toh bukan dia yang janji. Untuk sekian menit selanjutnya, cowok itu kekeh mengajaknya bicara, sementara Hana terus berpaling ke gerbang, atau ke mana pun kecuali pada cowok berisik di sebelahnya ini.
āJadi apa kau punya nama atau mau
kupanggil Sayang?ā katanya tiba-tiba.
āApa?ā
āPilihlah.ā
āDengar, kau tak bisaā¦ā
āApa yang kau lakukan di sini?ā
Tiba-tiba saja Hong Sonsengnim sudah berdiri di hadapan mereka. Ia memicing tak
suka pada cowok jangkung di sebelah Hana, kelihatan dendam sekali.
āAku tidak pakai dasi.ā
Hong Sonsengnim mendenguskan
senyum mencela padanya, lalu menoleh pada Hana sambil mengulurkan dasi, āKepala
Sekolah lupa memberimu ini.ā
Hana menanti ucapan āmaafā tapi
tentu saja ia tidak mendapatkannya. Guru selalu benar, bukan begitu? Hana
mengambil dasi itu sesopan yang ia bisa, menahan kuat-kuat hasratnya untuk berteriak
ākubilang apa!ā atau āterima kasih sudah membuang waktu sayaā.
āKau masuklah ke kelas!ā suruhnya
ketus.
āNah, kau..ā Sang guru menoleh kepada muridnya yang satu lagi, sudut bibirnya tertarik puas seolah ia
sudah menanti hari ini seumur hidupnya. Tapi belum sempat ia bicara banyak,
siswanya itu tiba-tiba tertawa sambil menepuk kepalanya sendiri, kemudian
merogoh saku celananya dan mengeluarkan dasi dari sana.
āTernyata ada di sini. Dasiku.
Bagaimana bisa, ya? Hahaha,ā katanya, dengan akting yang mengenaskan. āKurasa
tak ada lagi alasan untuk berdiri di sini. Saya ke kelas ya, Pak.ā Ia menyampirkan
dasinya di bahu, lalu menangkap tangan Hana yang hendak kabur duluan. āSampai
ketemu lagi, Sonsengnim.ā Ia mengerling dan menjentikkan jari kepada Hong
Sonsengnim yang nampak berang, lalu menarik Hana pergi.
āLepas! Apa-apaan sih!ā Hana
menarik tangannya begitu mereka tiba di lorong.
āDi mana kelasmu?ā
āBukan urusanmu,ā balas Hana
ketus, langsung mengalungkan dasinya di leher dan menyimpulnya sambil berlari.
Lorong itu sudah sepi, walaupun guru-guru belum datang, namun sebagian besar murid sudah memasuki kelas masing-masing. Hana berhenti tepat di depan kelas pria itu (kelas 10-2), lalu berbalik badan memerhatikan reaksinya. Dia tersenyum dari telinga ke telinga. Hana balas tersenyum. Lantas masuk ke kelas di seberangnya. Kelas 10-1.
Lorong itu sudah sepi, walaupun guru-guru belum datang, namun sebagian besar murid sudah memasuki kelas masing-masing. Hana berhenti tepat di depan kelas pria itu (kelas 10-2), lalu berbalik badan memerhatikan reaksinya. Dia tersenyum dari telinga ke telinga. Hana balas tersenyum. Lantas masuk ke kelas di seberangnya. Kelas 10-1.
**********
Satu jam setelah Hana berangkat
sekolah, Wooseok datang ke rumahnya untuk menjemput Taeyong. Mereka tiba di
Stein Lab pukul 9 pagi dan Taeyong menghabiskan 10 menit pertama untuk
terkagum-kagum sambil menggumamkan kata ākerenā pada semua benda-benda ganjil
di dalam stoples. Seolah itu pertama kalinya ia datang ke sana.
Hingga akhirnya Ghana datang
sambil membawa Kiwi Smoothie, āOke, manusia es, lihat-lihatnya sudah cukup.
Duduk di sana!ā Ia menunjuk meja besi sepanjang dua meter, nampak persis
seperti alas yang digunakan untuk mayat.
Taeyong yang sedang menunduk
memerhatikan ubur-ubur listrik langsung menegakkan badannya. Ia menoleh pada perempuan
pirang tersebut, pada Wooseok, pada meja besi yang dimaksud, lalu baru berjalan
waspada menghampirinya.
āOke, buka bajumu!ā suruh Ghana
datar, dia duduk di depan komputernya, di antara Maria dan Howon yang sedang serius
mengetik.
Taeyong melirik Wooseok. Pria itu
mengangguk.
Taeyong menarik napas panjang.
Kemudian dengan gerakan yang sangat pelan, ia menarik sweternya melewati kepala.
Lantas duduk di meja itu dengan muka merah, hanya berbalut singlet putih tipis
dan jins abu-abu pudar yang sudah 5 hari tidak diganti.
Saat Ghana mengangkat kepalanya
dari komputer, sebelah alisnya langsung berjingkat, āApa yang kau lakukan?ā
āK-kau suruh aku buka baju.ā
āYeah?ā
āYeah.ā
āDan kenapa tidak kau buka?ā Saat
itu Howon dan Maria ikut mendongak dari komputer masing-masing. Jia yang sedang
sibuk dengan larutan kimia pun turut membalik kursi putarnya. Mereka semua
memerhatikan Taeyong, sementara Wooseok menunduk dalam-dalam sambil menggaruk
rambutnya salah tingkah.
Taeyong benar-benar tidak
mengerti. Ia duduk di sana, mendapat tatapan aneh dari 4 orang, kebingungan dan
tidak pakai baju. Dan satu-satunya orang yang ia kenal di ruangan ini malah
menghindari tatapannya.
āA-aku sudah membukanya.ā Taeyong
mengacungkan sweternya. āKau mau aku membuka kaos ini juga?ā
āTentu saja,ā seru Ghana.
āApa?ā
āKau mendengarku.ā
Dengan
enggan, Taeyong membuka singletnya juga. Lantas membungkukkan badan dalam-dalam
seolah dengan begitu tubuhnya mendadak transparan.
āSekarang celanamu.ā
āAPA?ā
Mendengar teriakan itu, Ghana
langsung menghela napas bosan. āYang kumaksud dengan ābuka bajumuā adalah buka
semuanya. Tidak ada sehelai benang pun. Lalu berbaring di sana. Kau mengerti?ā
āKau mau akuā¦ telanā¦ jang?ā
Ghana menghela napas lagi.
Kemudian ia dan Maria saling mengernyit seolah sedang meratapi kebodohan Taeyong.
āKalau obyeknya menyusahkan begini, menurutku kita bius saja dia
sampai pingsan!ā Jia mengusulkan.
āYa ampun! Apa kalian gila! Aku
tak mau!ā Taeyong tak pernah merasa semalu ini seumur hidupnya. Rasanya seperti
pembuluh darah di pipinya pecah. Ia begitu merona sampai-sampai wajahnya terasa terbakar.
āHei, tenanglah! Hampir semua
orang di tim ini lulusan kedokteran, kami sudah terbiasa melihat bokong atau
kelamin atau apa pun yang mau kau sembunyikan,ā kata Ghana, kemudian menyedot
smoothie-nya sambil mengecek arloji. Ia merasa semua ini amat
membuang waktu.
āYeah, aku melihat 10 penis tiap
hari di rumah sakitku,ā sahut Maria, bersedekap sambil menyandarkan punggungnya
di sandaran kursi. āJangan bodoh, deh! Kami lebih tertarik melihat DNA-mu
ketimbang badanmu.ā
Jia menggoyangkan larutan hijau
di tabung reaksinya, kemudian bicara dengan nada bosan. āKami semua
profesional.ā
Informasi itu sama sekali tak
membuat Taeyong lebih tenang, ia malah semakin malu, terlebih semua perkataan
itu diucapkan oleh anggota tim yang perempuan, yang semuanya kelihatan masih
sangat muda untuk disebut profesional.
āSekarang apa lagi yang kau
tunggu?ā tanya Ghana, mulai habis kesabaran.
āTidak!ā Taeyong menggeleng tegas,
menolak gagasan untuk mempermalukan dirinya sendiri lebih jauh lagi. Dia bicara
menggebu-gebu sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam sweter, āAku tidak
mau. Aku tidak akan buka apa pun lagi. Aku akan pakai bajuā¦ aku akan pakai bajukuā¦ lalu aku akan keluar dari sini.ā
āHei, kau sudah setuju!ā Ghana
berdiri. Howon ikut berdiri, tapi tak mengatakan apa-apa. Ia mengerti perasaan
Taeyong tapi tak berani membantah Ghana.
āWooseok Hyung tak bilang padaku
kalau aku harus buka baju!ā balas Taeyong. Berhasil memakai sweternya kembali.
Ia menyambar kaos singletnya dan melompat dari meja.
āKenapa harus mempersulit
pekerjaan kami, sih! Kami semua ilmuwan, kau tak perlu malu! Kau lupa ya dulu
kau lahir bagaimana!ā
āYeah, aku lupa,ā jawab Taeyong
sengit.
āHeh! Berhenti di situ! Pilihlah!
Kau mau buka baju sendiri atau mau aku ke sana dan merobekā¦ā
āGhana, cukup! Dia masih 17
tahun.ā Wooseok yang dari tadi diam akhirnya bicara. Taeyong berhenti setengah meter
sebelum pintu keluar, kemudian meliriknya seolah berkata āke mana saja kau!ā. Wooseok
balik menatapnya dengan raut menyesal, kemudian berkata kepada Ghana, āBiar
aku dan Howon yang menangani pemeriksaan ini. Aku akan memberikan hasilnya
padamu.ā Howon mengangguk-angguk.
Ghana tak menjawab. Ia memicing
pada Wooseok selama beberapa saat, sebelum akhirnya kembali mengenyakkan diri
ke kursi dan memaki pria itu dalam gumaman pelan.
āAku akan cari ruangan kosong
untuk kita. Kau tunggu di sini.ā Wooseok berkata pada Taeyong, lantas memutar pegangan
pintu dan keluar dengan terburu-buru.
**********
Pemeriksaan itu berlangsung
selama lima jam, diselingi istirahat beberapa kali. Wooseok baru mengantar
Taeyong pulang ke rumah Hana pukul setengah enam sore. Selama perjalanan,
Taeyong terus menatap ke luar jendela. Tak ada yang bicara, yang terdengar
hanyalah mesin yang berdengung dan lantunan musik akustik berbahasa Inggris
dari tape mobil. Seirama dengan
kondisi di dalam mobil, kondisi di luar pun tak jauh berbeda. Seoul nampak
begitu gelap dan sunyi. Karena sedang musim dingin, walaupun hari masih petang
tapi langit sudah kelihatan amat kelabu. Seolah ada selimut abu-abu raksasa yang
dibentangkan menutupi kota. Di kanan kiri jalan terlihat gundukan putih
setinggi 40 centi, hasil pekerjaan truk pengeruk yang patroli 5 jam sekali.
Taeyong menghela napas, memandang
pemandangan suram itu dengan jengkel. Sementara Wooseok mengemudi di
sebelahnya. Kelihatan tak nyaman dan serba salah.
āAku tak mau melakukan ini lagi,ā
kata Taeyong, tanpa mengalihkan pandangan dari rumah-rumah di luar yang seolah
berjalan ke belakang.
Wooseok segera mematikan tape-nya, kemudian melirik Taeyong rikuh,
āAku minta maaf soal rekan labku,ā katanya, āterutama Ghana. Dia memang begitu,
keras kepala. Dan yeah, tak punya perasaan. Mungkin punya, hanya, uh.. jarang
dipakai.ā Wooseok mendesah. āMengertilahā¦ Kami semua sedang stres berat.
Diancam dipecat bahkan sebelum jadi pekerja tetap. Tapi kurasa Ghana memang
yang paling stres. Jika kita benar-benar dipecat, Jia dan Maria masih punya
pekerjaan lainādokter jaga di klinik atau apalah.. Aku dan Howon juga masih
kuliah. Tapi dia.. dia belum tahu akan apa, apalagi tahun depan umurnya sudah
30.. dan belum ada pasangan, jadi kau tahu, hormonnya sedang bergejolak.
Pokoknya atas nama Ghana, aku minta maaf.ā
āBukan hanya dia yang harus minta
maaf.ā Taeyong menyindir.
āBenar. Maksudmu aku, kan? Ya,
tentu saja. Aku.. atas namaku sendiri, juga minta maaf.ā
Taeyong tak menjawab.
āKumohon bertahanlah beberapa
hari lagi. Kami benar-benar membutuhkanmu.ā
āTidak. Aku tidak mau. Kalian
tidak memperlakukanku selayaknya manusia. Kau membuatku tampak sangat konyol di
sana. Seperti kelinci percobaan. Ini lebih buruk daripada dikurung di gedung
kosong seumur hidupku.ā
āHei, ayolah, aku tulus minta
maaf,ā sambar Wooseok. āPlease,
pemeriksaan pertama memang begitu. Tapi aku janji besok semuanya akan lebih
baik. Aku akan cari cara untuk sembuhkanmu.ā
āSudahlah! Jangan bohong lagi!
Howon Hyung bilang itu mustahil.ā
āTidak ada yang mustahil dalam
sains,ā bantah Wooseok. āTeorinya, kami tinggal memisahkan DNA normalmu dengan
DNA yang super. Sangat sederhana.ā Suaranya mendadak memelan penuh keraguan,
ātapiā¦ uh, dalam praktek, mereka ternyata sudah tercampur sempurna. Butuh waktu
untuk mengidentifikasinya.ā
āBerapa lama?ā
āSampai salah satu dari kami
mengetahui caranya.ā Itu jawaban paling tidak konkret sedunia. Taeyong
mendengus, mengubah posisi duduknya. Bersandar di jok. Bersedekap. Semakin
jengkel.
āJadi besokājika aku berubah pikiran,ā Taeyong berdeham, āapa yang akan kalian lakukan
padaku?ā
āEntahlah. Yang pasti kau tidak
harus telanjang lagi.ā
āKau janji?ā
āYa,ā jawab Wooseok mantap.
Taeyong mengangkat bahunya seolah
ia tak punya pilihan lain. āBaiklah,ā katanya, ālalu bagaimana dengan Eomma-ku?ā
āKubilang kau belum siuman.ā
āKau tak bisa menggunakan alasan
itu terus-menerus. Eomma pasti curiga.ā
āKalau kubilang aku sedang
berusaha menyembuhkanmu, apa dia akan marah?ā
Taeyong mengangkat bahu lagi.
āIbumu tak mau kau sembuh?ā
āAku yakinā¦ā kata Taeyong penuh
penekanan, āsetiap ibu menginginkan yang terbaik untuk anaknya.ā
āTapi kadang aku juga tak
mengerti dengan cara ibuku,ā lanjut Taeyong, menghela napas.
āBaiklah, mungkin lebih baik
semua yang terjadi di laboratorium tetap tinggal di laboratorium. Kau mengerti
maksudku?ā
āKau pikir aku akan mengadu pada ibuku? Tentu saja tidak.ā
āBukan cuma ibumu, tapi semua
orang. Hana dan Nyonya Kim, atau teman-temanmu.ā
āAku tak punya teman. Tenang
saja,ā balas Taeyong. āDan aku tak mungkin menceritakan kejadian memalukan
seperti tadi kepada Hana, apalagi ibunya.ā
āKau janji?ā
āYa.ā
āSungguh?ā
āYa.ā
āTerima kasih.ā
************
Ibu Hana sudah mengantisipasi
kedatangan Wooseok sejak tadi siang. Wanita itu benar-benar sedang sangat
membutuhkan bantuan. Dan karena Wooseok merupakan tipe pengemudi yang enggan
turun dari mobilnya sehabis mengantar orang, maka begitu ia melihat sedan
putih terparkir di depan pagarnya, ia langsung menyongsong pintu dan berlari
keluar. Kemudian merunduk di samping pintu kemudi yang jendelanya terbuka,
tersenyum ramah sembari memohon dengan nada sopan sekaligus memaksa agar
Wooseok berkenan mampir sebentar.
Walaupun sudah menolak
berkali-kali, Wooseok yang tidak enak akan kegigihan Ibu Hana pun akhirnya
turun juga. Wanita itu membuatkan teh hangat dan mengajaknya ngobrol panjang
lebar, tak lupa menyinggung soal atap alumuniumnya yang roboh, berharap Wooseok
menawarkan bantuan. Tanpa perlu waktu lama, Wooseok yang peka pun berhasil
memahami situasi ini. Ia paham alasan sebenarnya diminta mampir. Mampirlah sebentar dan minum teh
hanyalah sebuah kalimat halus dari mampirlah
sebentar dan betulkan atapku.
āAku mau sekali betulkan atapnya.
Tapi aku tak bisa memanjat,ā ucapnya menyesal.
āAku bisa,ā sahut Taeyong,
menyembulkan kepalanya yang basah sehabis mandi ke ruang tamu. āBiar aku yang
naik, kau instruksikan aku dari bawah.ā
āOH! Itu ide bagus,ā lengking Ibu
Hana seraya menoleh, dan seketika itu juga napasnya
tercekat, āya ampun, itu baju suamiku.ā
āY-ya, ini baju suamimu. Maaf, apa
aku tidak boleh pakai ini? A-aku tidak bermaksud lancang. Maaf, akan kubukaā¦ā Taeyong menyampirkan handuknya di bahu, kemudian berancang-ancang untuk
menarik kaosnya ke atas.
āTidak, tidak!ā Ibu Hana langsung
mencegah. Ia berdiri menghampiri Taeyong. Sikap ketusnya pada pemuda itu sudah
luruh sepenuhnya. Taeyong benar-benar sopan dan senantiasa menawarkan bantuan. Dia bahkan bersedia mengupas telur puyuh untuk makan malam. Siapa yang tidak jatuh hati?
āAku malah senang sekali bajunya
muat denganmu,ā kata ibu Hana dengan tatapan terharu, tangannya
mengulur ke pipi Taeyongādan langsung menariknya lagi begitu benar-benar tersentuh.
Wanita itu nampak syok sebentar sebelum akhirnya
terkekeh, āAku tahu tubuhmu dingin. Tapi aku tak sangka sampai sedingin ini.ā
āKau bisa menyentuhku dengan
sarung tangan kedap suhu.ā Taeyong menoleh pada Wooseok. āItu buatan Hyung.ā
āSungguh?ā Ibu Hana menoleh padanya.
āYa, tapi itu bukan apa-apa, justru agak merepotkan jika
harus pakai sarung tangan,ā kata Wooseok merendah, āAku akan pikirkan
cara lain.ā
āDan err, bisakah kita mulai
sekarang? Maksudku atapnya, sebelum terlalu gelap,ā tambah Wooseok, agak lesu
karena pekerjaan fisik begini sama sekali bukan bidangnya. Namun ia ingin menyelesaikannya cepat-cepat supaya bisa pulang. Kerja rodi di lab benar-benar membuatnya capek berat dan haus istirahat.
āBiar Tante ambilkan tangganya.ā
Wooseok mengangguk, kemudian
melewati Taeyong menuju dapurātempat atap yang disebut-sebut itu berada.
Taeyong hendak berjalan mengekornya,
namun tiba-tiba saja ia terpikir sesuatu.
āTante,ā panggil Taeyong. Membuat
wanita yang sudah setengah jalan menuju gudang itu refleks menoleh. āAku tak
lihat Hana.ā
āDia belum pulang.ā
āMasih sekolah?ā
āYa. Ada apa?ā
Taeyong ingin bertanya apa saja
yang dipelajari Hana di sekolahnya sampai selama ini, tapi ia menelan kembali
pertanyaan itu dan cuma menggerakkan kepalanya dalam gelengan singkat. Taeyong
berbalik dan menghampiri Wooseok dengan resah. Dia sama sekali belum melihat
Hana pagi ini. Saat ia bangun, gadis itu sudah jalan, dan sekarang, setelah ia
melewati hari super panjang di laboratorium, Hana masih belum pulang juga.
**********
Wooseok dan Taeyong melewatkan
satu jam berikutnya dengan penuh teriakan.
āHeh idiot! Jangan berdiri di situ kau bisa jatuh!ā
āAku tak akan jatuh! Katakan saja alumuniumnya mau ditaruh di mana!ā
āSudah kubilang dipaku dulu!ā
āAku kehabisan paku!ā
āBagaimana bisa habis! Kau selapar apa sih sampai makan paku!ā
āAku tidak makan paku!ā
Walaupun begitu, mereka tetap
berhasil menyelesaikan pekerjaan itu dengan sempurna. Wooseok menghabiskan teh
dan biskuitnya kemudian pamit pulang, sementara Taeyong bertahan di atap,
rebahan dengan sebelah tangan di belakang kepala, memandangi langit yang gelap
gulita.
Ia benar-benar suka di atas sana.
Dunia terasa begitu sunyi dan damai. Sejauh mata memandang, yang terlihat
hanyalah hitam legam langit malam. Luas tanpa batas. Andai diizinkan, ia ingin sekali memindahkan kasurnya ke situ
dan menjadikan tempat ini sebagai kamarnya. Langit nampak luar biasa cantik di pagi hari
dan amat memesona pada waktu malam. Ya ampun, dia benar-benar sedang kasmaran. Taeyong sungguh jatuh hati pada angkasa dan segala yang di atas. Seandainya ada sesuatu yang bisa dia panjat sampai ke angkasa, tak peduli seberapa jauhnya, pasti akan ia lakukan.
Saat sedang berpikir begitu,
tiba-tiba saja terdengar suara Hana. Taeyong segera bangkit dari posisinya,
kemudian melongok ke bawah. Dan benar saja. Ia melihat Hana. Sedang tertawa
kegelian. Bibir Taeyong serta merta tertarik membentuk senyum, rasanya sudah
lama sekali ia tidak melihat Hana segembira itu.
Kemudian, saat matanya bergeser sedikit ke belakang, senyumnya mendadak lenyap. Tentu saja Hana tak akan tertawa sendiri, kan? Tak jauh di belakangnya, seorang laki-laki tinggi berambut cokelat keemasan berjalan sambil menenteng tasnya di pundak. Taeyong tak tahu persisnya apa yang pria itu katakan, tapi saat ia membuka mulut, Hana menoleh padanya dan langsung tergelak lagi. Walau Taeyong menyukai senyum Hana, namun alih-alih ikut tersenyum, keningnya justru berlipat-lipat. Dia baru sekolah sehari dan langsung dapat teman, huh?
Kemudian, saat matanya bergeser sedikit ke belakang, senyumnya mendadak lenyap. Tentu saja Hana tak akan tertawa sendiri, kan? Tak jauh di belakangnya, seorang laki-laki tinggi berambut cokelat keemasan berjalan sambil menenteng tasnya di pundak. Taeyong tak tahu persisnya apa yang pria itu katakan, tapi saat ia membuka mulut, Hana menoleh padanya dan langsung tergelak lagi. Walau Taeyong menyukai senyum Hana, namun alih-alih ikut tersenyum, keningnya justru berlipat-lipat. Dia baru sekolah sehari dan langsung dapat teman, huh?
Taeyong tak tahu mengapa, tapi di
malam yang dingin itu, dia malah merasa gerah. Dari atas, ia memerhatikan Hana
masuk ke dalam rumah dan sama sekali tak berniat untuk turun dan menyambutnya.
Dia bertahan di atas, memandangi laki-laki berambut cokelat itu dengan tajam. Apa yang membuatnya bahagia sekali, eh? Dan
kenapa kebahagiaannya membuatku terganggu?
**********
Hana lega sekali ibunya tidak
bertanya macam-macam. Saat ia pulang, rumahnya sudah gelap dan sunyi. Hana
membuka pintu kamar ibunya, dan sang ibu yang sudah memakai gaun tidur mencium
pipinya kemudian bertanya sambil menguap. āBagaimana hari pertamamu?ā
āUh, kepala sekolah lupa
memberiku dasi, jadi ada kesalahpahaman kecil tadi pagiā¦ selebihnya hari
pertamaku luar biasa.ā
āBaguslah. Apa kau sudah makan
malam?ā Itu bukan pertanyaan sulit, tapi Hana merasa kerongkongannya mendadak
kering sampai harus menelan ludah. āSudah,ā jawabnya singkat.
āKau sudah makan?ā
āYa. Aku beli burger saat pulang.ā
āSendiri?ā
āUh..tidak juga.ā
Dan ibunya tidak bertanya lagi.
Benar-benar ibu terbaik. āOke, tidurlah,ā katanya.
Hana mengangguk lega, kemudian
tanpa mengulur waktu ia langsung keluar dan melesat menuju kamarnya sendiri.
Hana menanggalkan seragamnya
dengan terburu-buru, memakai piama, mengambil ponselnya dari tas lalu melompat
ke tempat tidur dengan posisi telungkup.
Sudah ada 1 pesan masuk.
Senyumnya langsung merekah tak terkendali.
[Aku sudah di rumah]
[Serius? Rumah kita sedekat itu?]
[Omong-omong, makasih sekali lagi
sudah mengajakku tur keliling sekolah.]
[Makasih juga cappuccino blend-nya.]
[Ya. Sangat dekat. Besok mau berangkat bareng?]
[Cukup makasihnya. Kau sudah membalasnya 2 kali lipat dengan burger tadi.]
[Tapi jika kau pikir balas budinya masih kurang, sekadar info, aku suka Sushi.]
[Dicatat.]
[Sayang, kau belum jawab pertanyaanku.]
[Besok mau berangkat bareng?]
[Besok mau berangkat bareng?]
[Berhenti bilang SAYANG!!!!]
[Kau kan sudah tahu namaku!]
[Tapi aku sudah terbiasa memanggilmu Sayang.]
[Terbiasa, eh? Kita baru kenal
sehari dan kau merasa sudah āterbiasaā? Wah!]
[Aku cepat terbiasa.]
[ -_- ]
[Jadi, apa kita akan terus bicarakan ini sampai pagi atau kau mau jawab
pertanyaanku?]
[Aku lebih suka yang pertama^^]
[Apa kau sedang menggodaku???? Tidakkk! Harusnya aku yang melakukan
itu!]
[Bukannya menolak, ya.. Aku juga mau ngobrol denganmu sampai pagi. Tapi
aku lebih menginginkan jawaban sekarang.]
[Biar kutanya sekali lagi!]
[Halo, Sayangku, besok mau berangkat bareng?]
[Tidak kalau kau masih
memanggilku begitu.]
[Oke, oke, Kim Hana.. besok mau berangkat bareng?]
[Please, jawab yang benar!]
[Aku sudah tanya 4 kali!!]
[Bagaimana, ya? Aku biasa
berangkat sangat pagi.]
[Aku bisa berangkat lebih pagi.]
[Jangan memaksakan diri kalau
tidak terbiasa.]
[Sudah kubilang aku cepat terbiasa.]
[Entahlah.]
[Mau kujemput setengah 7?]
[Ummā¦]
[Jam 6? O_o]
[ā¦..]
[OKE, JAM 4?? BAGAIMANA???]
[Hahaha.]
[6:45?]
[Deal.]
[Telat semenit saja langsung
kutinggal.]
[Aku tak akan telat.]
[Kita lihat besok?]
[Siapa takut!]
[Oke. Aku akan matikan
ponselku.]
[Aku mau tidur.]
[Oke.]
[Selamat tidurā¦,]
[ā¦Sayang.]
[XOXO]
[LUCAS! HENNTUKAN!]
[Henntukan!!]
[Mau kuajari mengeja dulu sebelum tidur?]
[AKAN KUCEKIK KAU BESOK PAGI!!!]
[Memangnya sampai?]
[Sialan.]
Hana melempar ponselnya ke sisi
tempat tidur lalu menyurukkan wajah meronanya ke bantal. Hana 14 jam yang lalu
pasti tak akan menyangka penilaiannya pada cowok tengil yang pura-pura tidak
bawa dasi itu bisa berubah secepat ini. Tadi pagi dia kesal setengah mati dan
malam ini dia malah kasmaran luar biasa gara-gara cowok yang sama. Mengagumkan
sekali betapa cepatnya hati manusia terbolak-balik.
Tadi, saat jam pelajaran
pertamanya dimulai, Hana disuruh maju ke depan kelas dan memperkenalkan diri,
dan tepat setelah ia menyebutkan namanya, Lucas bersorak dari jendela dan
membuat satu kelas terlonjak. Guru bahasa Inggrisnya, seorang wanita muda
beralis tebal yang kerap dipanggil Miss Chaerin menghela napas melihat
kelakukan pemuda itu. āAku sedang tidak mengajar di kelasnya, tapi dia masih
membuatku stres,ā keluh wanita itu pelan. Ia kemudian mencondongkan badannya
pada Hana dan berbisik menyuruhnya untuk tidak dekat-dekat dengan cowok itu. Biang onar, katanya.
Namun alih-alih menurut, Hana
malah merasa tertantang. Ia menerima tawaran āschool tourā gratis dari Lucas
pada jam istirahat.
āPertama-tama, sebelum tur ini
dimulai, izinkan pemandumu yang menawan ini memperkenalkan diri,ā katanya,
menjabat tangan Hana. āNamaku Lucas. Lucas Wong. Besar di Hongkong. Zodiak
Aquarius. Shio kelinci. Tinggi 183 cm. Hobi memancing. Selalu jadi favorit guru. Handal
mencuri hati, tapi tak tahu cara mengembalikannya. Dan yeah, senang jadi pemandumu.ā
Dia bicara dalam satu tarikan napas, kemudian mengerling.
āHobi memancing?ā
Lelaki itu nyengir, āYeah,
mancing keributan.ā
Hana cekikikan.
Saat istirahat kedua, mereka
bertemu lagi. Lucas mentraktirnya cappuccino
blend dan menanyakan alamat rumahnya. Begitu tahu mereka tinggal di komplek
yang sama, keduanya pun sepakat untuk pulang bersamaāditambah makan malam bersama
juga. Cowok itu mengesankan. Hiperaktif, lucu, dan tidak dingin.
**********
Taeyong ketiduran di atap dan
baru bangun saat matahari sudah mengintip. Langitnya warna jingga menyala dan
Taeyong hampir menangis melihat keindahan alam itu terhampar luas menyambut
paginya. Betapa beruntungnya orang-orang
yang bisa melihat ini setiap pagi, batinnya.
Saat sedang asyik-asyiknya
terpesona, tiba-tiba saja dia mendengar suara ketukan. Taeyong melongok ke
bawah dan rasa terpesonanya langsung musnah tak tersisa. Pria itu buru-buru
merangkak ke belakang dan turun ke dalam rumah lewat halaman. Ia berjalan cepat
menuju pintu dan membukanya dengan kasar.
āApa maumu!ā tanya Taeyong galak.
Sukses membuat pria bermata besar di seberang pintu itu terkejut.
āAkuā¦ mencari Hana,ā katanya tak
jelas, setengah kaget, setengah terpukau. Rambut Taeyong berwarna perak menyala,
bola matanya abu-abu berkilau, kulitnya sepucat tembok dan rahangnya tegas
bukan main. Dia benar-benar kelihatan tak nyata di mata Lucas. Seperti karakter
dalam games.
āTak ada yang namanya Hana di
sini.ā
āTak ada?ā
āYa. Pulanglah!ā
āTapi semalamā¦ā Taeyong langsung
membanting pintunya. Kemudian saat ia berbalik, Hana sudah berdiri di
hadapannya dengan tampang syok. Taeyong dua kali lipat lebih
syok.
āHei, Han.. sejak kapan kauā¦ di
situ?ā
āKenapa kau bilang begitu?ā tanya
Hana tak mengerti.
āUhhā¦ā Taeyong kehilangan kata.
āAku sudah janjian dengannya.
Kami mau berangkat bareng.ā Hana mengeratkan mantel sekolahnya dan mencoba
menjangkau pintu, tapi Taeyong langsung menghalanginya.
āKenapa harus berangkat bareng?ā
āKenapa tidak? Kita satu
sekolah.ā
āAku tidak suka dia.ā
āDia temanku.ā
āAku temanmu.ā
āAku temanmu.ā
Hana mendesah, āApa aku tak boleh
punya teman lain?ā
Taeyong tak menjawab.
āKau temanku, Taeyong. Tapi Lucas
juga temanku,ā kata Hana sambil berusaha melepaskan diri dari sang pria, yang
memandangnya dengan penuh kekecewaanālagi (nampaknya
akhir-akhir ini apa pun yang Hana lakukan selalu mengecewakan baginya).
āAku pergi dulu. Kita bicara lagi
saat aku pulang.ā Hana meraih pegangan pintu, lalu kembali menatap Taeyong yang
masih belum bergerak. āHari ini Wooseok Oppa akan menjemputmu lagi, kan? Semoga
harimu menyenangkan.ā
āKau bahkan tak tanya apa yang
terjadi padaku kemarin,ā kata Taeyong pahit. Dia bahkan tak sadar aku pakai kaos ayahnya? Dia cuma memandangku tapi
sama sekali tak melihatku.
āUh, benar. Maafkan aku. Kau bisa
cerita saat aku pulang.ā
āKenapa tidak sekarang?ā
āTaeyong, aku harus sekolah.ā
āKau bisa sekolah lagi besok.
Tapi akuā¦ā Pria itu mengangkat tangannya putus asa, āCepat atau lambat
Eomma-ku akan curiga. Aku akan kembali ke Mungyeong sebelum ada yang sempat
menyadarinya.ā
Hana menatap Taeyong,
kemudian berkata, āAku janji kita akan ngobrol panjang nanti malam. Sampai pagi
jika kau mau. Aku akan bacakan komik untukmu.ā
Wajah Taeyong mendadak lebih
cerah. Ia menaikkan alisnya,āJanji?ā
āJanji.ā
Taeyong tersenyum puas. Gagasan
itu terdengar sangat menyenangkan di telinganya. Ia berpikir untuk membawa Hana
ke atap. Semoga dia tak takut ketinggian
seperti Wooseok.
āKalau begitu, sampai jumpa
nanti,ā kata Hana. Ia membuka pintunya, kemudian melongok keluar dan merasa
agak kecewa karena tak menemukan Lucas di mana-mana. Anak itu pasti bingung
sekali. Dia jelas-jelas melihat Hana masuk ke rumah ini semalam. Dan keesokan
harinya, ātidak ada yang namanya Hana di
sini.ā
āHei,ā Taeyong memanggil saat
Hana baru keluar pintu.
āAda apa?ā
Taeyong mengulurkan tangan, ā4
detik?ā
Hana menatap tangan pucat itu,
kemudian menyelipkan jemarinya di antara jemari Taeyong sambil tersenyum pada
sang pria. āAku akan makan malam di rumah. Aku janji.ā
Taeyong mengangguk.
***********
Hana tak makan malam di rumah.
Gadis itu bahkan pulang lebih larut dari kemarin.
Saat mendengar suara pintu
berayun terbuka, Taeyong langsung mematikan lampu kamarnya dan tidur meringkuk
menghadap jendela. Dia tahu Hana pasti akan ke kamarnya dulu sebelum ke
kamarnya sendiri.
Dan
benar saja. Hana masuk. Taeyong bisa mendengar langkah kaki gadis itu berjalan
mendekat.
āHei,ā sapanya, terdengar cukup
yakin kalau Taeyong hanya pura-pura tidur.
āAku bawa Sushi.ā
āSushi?ā ulang Taeyong, sama
sekali tak merubah posisinya.
āYa, masakan Jepang.ā
āAku orang Korea.ā
āAku tahu.ā
āAku tak suka masakan Jepang,ā
balas Taeyong dingin, kemudian sebelum Hana sempat menjawab, ia melanjutkan
lagi dengan nada yang lebih dingin, āAku juga tak suka orang yang ingkar
janji.ā
āTaeyong, aku minta maaf.ā
Taeyong menyibak selimutnya dan
bangkit ke posisi duduk, memandang Hana getir, āYeah, tak apa, kadang orang
memang tak selalu memahami janji yang mereka ucapkan sendiri.ā
āApa sih maksudmu? Aku kan sudah
minta maafā¦ā
āKau bersama Lucas lagi, kan?ā
Hana tak menjawab. Dan itu sama
jelasnya dengan jawaban āyaā. Taeyong tersenyum mencibir.
āDengar, aku berjanji akan
menebus kesalahanku. Begini sajaā¦ besok kan hari Minggu, bagaimana kalau kita
jalan-jalan? Aku janji padamu. Kita bisa nonton bioskop dan pergi makan es
krim, kau sudah lama kan tidak makan es krim?ā
āBesok aku ke lab.ā
āLagi?ā
āYa,ā jawab Taeyong singkat,
menarik selimutnya kembali. āDan kurasa kau harus berhenti menggunakan kata
itu.ā
āKata apa?ā
āJanji.ā Taeyong menatapnya
tajam, āKau tak cocok menggunakannya.ā
Mata Hana terbeliak tak terima.
āKenapa kau jadi begitu menyebalkan? Apa saja yang kau tonton selama aku tak ada?
Apa saja yang Wooseok Oppa katakan padamu! Apa sajaā¦ā
āHan, enyahlah!ā potong Taeyong
keras. Hana bicara padanya seolah ia adalah anjing peliharaan. Dan jujur itu agak
menyakitkan.
āEnyah?? Wow okay, kau menyuruhku
enyah? Di rumahku sendiri?ā Hana menggelengkan kepalanya tak habis pikir, lalu
menyambar bungkusan Sushi yang ia letakkan di nakas dengan tangan gemetar
menahan kesal, āKau tahu, persetan denganmu! Kau dan mulut bodohmu! Dan sifat
pemarahmu! Dan keabnormalanmu! Dan semuanya! Aku tak peduli lagi! Demi Tuhan, aku benar-benar membencimu. Kau mau aku
enyah? Oke, aku enyah!ā
BRAAKK!
Hana membanting pintu.
Taeyong tak bereaksi selama
beberapa saat, sebelum akhirnya tangannya yang gemetar bergerak perlahan
mengusap wajahnya. Ia juga tak kalah emosi. Pria itu menggertakkan gigi,
kemudian menendang selimutnya sambil mengerang. Ia bisa mendengar bagaimana
suara Hana pecah di akhir kalimatnya, gadis itu sudah pasti sedang menangis sekarang.
Hana menangis karenaku.
Pikiran itu bergaung di
kepalanya. Keras dan berulang-ulang. āTidak, tidak, tidak. Apa yang kulakukan,ā Taeyong bergumam.
Mengusap wajahnya lagi. Dia menyesal. Sangat-sangat menyesal. Dibenci Hana adalah hal terakhir yang ia inginkan di muka bumi.
āHan, ya ampun, aku minta maaf.ā
TBC
Comments
Post a Comment