Freeze #10 (feelings)




Hari pertama di sekolah baru tidak berjalan semulus yang Hana harapkan. Tidak, dia tidak terlambat. Gadis itu bahkan sudah siap dari jam 6 pagi dan tiba di sekolah 15 menit sebelum bel berbunyi. Ini soal kelengkapan atribut, dan itu pun bukan salahnya.



“Mana dasimu?” Baru saja Hana melangkah melewati gerbang, seorang guru bertampang seram tiba-tiba menghadangnya.



“Dasi? Aku tidak dapat dasi,” jawab Hana jujur. Dia sudah mengecek seragamnya semalam, cuma ada blazer dan rok cokelat, kemeja putih, seragam musim dingin (yang sedang ia pakai sekarang) serta baju olahraga yang noraknya bukan main.
  


“Kalau begitu kau berdiri di samping tiang!”
“Berdiri?” ulang Hana terkejut. “Maaf, Pak, tapi saya anak baru.”
“Lalu? Apa anak baru diizinkan tidak pakai dasi?”
“Bukan begitu. Tapi saya tidak punya…”
“Berdiri!”
“Pasti ada kesalahan. Boleh saya bicara denga Kepa…”
“Hei, kau paham bahasa manusia, kan? Kubilang berdiri! Kalau memang tidak salah pasti aku perbolehkan masuk! Dan kalian!” Ia menoleh pada siswa lain yang secara naluriah berhenti untuk menonton, “Apa yang kalian lihat! Cepat masuk!” raungnya. Suaranya yang seperti singa itu sontak membuat para murid di sekitar mereka berjengit dan mempercepat jalannya menuju kelas.



Hana mendumel dan berdiri di sebelah tiang. Ia mendecak dan terus mendecak sampai lidahnya sakit. Lima menit kemudian, bel berbunyi. Guru bertampang seram yang belakangan Hana ketahui bernama Hong Sonsengnim itu menghampirinya dan mencatat namanya di kertas, lalu menyuruhnya menunggu di sana sementara ia pergi ke ruang kepala sekolah. Hana bertanya dengan penuh sopan santun apa lebih baik ia ikut ke ruang kepala sekolah saja, tapi guru yang seperti singa itu malah langsung mengomel lagi. Jadi terpaksalah ia menurut.



Rasanya memalukan sekali berdiri di bawah tiang bendera sendirian. Siswa-siswi yang lewat secara otomatis memutar kepala mereka ke arah Hana, entah cuma lirikan singkat atau terang-terangan memerhatikan. Walau bukan tatapan sinis apalagi merendahkan, tetap saja semua perhatian itu membuat Hana tak nyaman. Jadi selagi menunggu guru barunya yang keras kepala itu kembali, Hana terus menunduk memandangi sepatunya. Berharap setidaknya ada orang lain yang turut dihukum bersamanya, supaya dia tak terlihat terlalu menyedihkan. Saat sedang berpikir begitu, tiba-tiba saja sepatu kets hitam berhenti tepat di hadapannya. Hana mendongak. Lalu mendongak lebih tinggi untuk melihat wajahnya.



“Hei.” Cowok yang kemarin.
“Hei,” balas Hana pelan.
“Jadi,” katanya, memerhatikan Hana dari ujung kaki sampai ujung kepala, “dasi, eh?”
“Pergilah!” suruh Hana risih. Oh, siapa yang tidak risih discanning lawan jenis begitu?
“Aku tidak bisa pergi. Lihat!” Dia menunjuk kerahnya yang tak berdasi.
“Tidak ada guru yang lihat. Kau bisa langsung kabur ke kelasmu.”



Cowok itu mengambil posisi di sebelah Hana dan tersenyum semringah seolah itu adalah tempat favoritnya. “Peraturan itu ada untuk dipatuhi,” katanya sok bijak. “Lagian pria sejati tidak pernah kabur dari masalah.”



Hana mendecakkan lidah. Kata mutiara semacam itu jadi tak ada artinya kalau keluar dari mulut cowok semacam dia. “Kau hobi, ya?”



“Apa?”
“Dihukum.”



Ia mengangkat bahu, kemudian mencebikkan bibir. “Mungkin.”



Hana meliriknya sinis. Lantas kembali menoleh ke depan, nampak terganggu sekali. Berdirinya semakin gelisah. Ia terus memainkan tumitnya, berjinjit maju dan mundur, tak bisa diam. Ralat pikirannya yang tadi, dia tak butuh orang-yang-turut-dihukum-bersamanya, apalagi kalau orangnya seberisik dan setinggi ini. Bukannya memperbaiki keadaan, Hana justru terlihat semakin memalukan—pendek dan memalukan—karena sekalipun ia berjinjit sempurna bak balerina, tingginya tetap tak sampai sebahu cowok anonim di sebelahnya ini.



Hana tahu cowok ini memang keterlaluan tingginya, tapi kemarin mereka mengobrol dalam jarak aman—satu setengah meter—dan dia tak harus mendongak sebanyak ini. Sekarang situasinya berbeda. Berdiri bersebelahan dengannya, berdua saja, rasanya benar-benar tidak nyaman.



“Jadi kau sudah diterima?”



Hana tak menjawab pertanyaannya karena pertanyaan itu terlalu bodoh. Dia jelas-jelas sudah pakai seragam.



“Kau ingat janjimu kemarin? Kalau kau diterima kau akan sebutkan namamu.”



Hana lagi-lagi mengabaikannya. Toh bukan dia yang janji. Untuk sekian menit selanjutnya, cowok itu kekeh mengajaknya bicara, sementara Hana terus berpaling ke gerbang, atau ke mana pun kecuali pada cowok berisik di sebelahnya ini.



“Jadi apa kau punya nama atau mau kupanggil Sayang?” katanya tiba-tiba.
“Apa?”
“Pilihlah.”
“Dengar, kau tak bisa…”
“Apa yang kau lakukan di sini?” Tiba-tiba saja Hong Sonsengnim sudah berdiri di hadapan mereka. Ia memicing tak suka pada cowok jangkung di sebelah Hana, kelihatan dendam sekali.



“Aku tidak pakai dasi.”



Hong Sonsengnim mendenguskan senyum mencela padanya, lalu menoleh pada Hana sambil mengulurkan dasi, “Kepala Sekolah lupa memberimu ini.”



Hana menanti ucapan ‘maaf’ tapi tentu saja ia tidak mendapatkannya. Guru selalu benar, bukan begitu? Hana mengambil dasi itu sesopan yang ia bisa, menahan kuat-kuat hasratnya untuk berteriak ‘kubilang apa!’ atau ‘terima kasih sudah membuang waktu saya’.



“Kau masuklah ke kelas!” suruhnya ketus. 
“Nah, kau..” Sang guru menoleh kepada muridnya yang satu lagi, sudut bibirnya tertarik puas seolah ia sudah menanti hari ini seumur hidupnya. Tapi belum sempat ia bicara banyak, siswanya itu tiba-tiba tertawa sambil menepuk kepalanya sendiri, kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan dasi dari sana.



“Ternyata ada di sini. Dasiku. Bagaimana bisa, ya? Hahaha,” katanya, dengan akting yang mengenaskan. “Kurasa tak ada lagi alasan untuk berdiri di sini. Saya ke kelas ya, Pak.” Ia menyampirkan dasinya di bahu, lalu menangkap tangan Hana yang hendak kabur duluan. “Sampai ketemu lagi, Sonsengnim.” Ia mengerling dan menjentikkan jari kepada Hong Sonsengnim yang nampak berang, lalu menarik Hana pergi.



“Lepas! Apa-apaan sih!” Hana menarik tangannya begitu mereka tiba di lorong.
“Di mana kelasmu?”
“Bukan urusanmu,” balas Hana ketus, langsung mengalungkan dasinya di leher dan menyimpulnya sambil berlari.



Lorong itu sudah sepi, walaupun guru-guru belum datang, namun sebagian besar murid sudah memasuki kelas masing-masing. Hana berhenti tepat di depan kelas pria itu (kelas 10-2), lalu berbalik badan memerhatikan reaksinya. Dia tersenyum dari telinga ke telinga. Hana balas tersenyum. Lantas masuk ke kelas di seberangnya. Kelas 10-1.




**********




Satu jam setelah Hana berangkat sekolah, Wooseok datang ke rumahnya untuk menjemput Taeyong. Mereka tiba di Stein Lab pukul 9 pagi dan Taeyong menghabiskan 10 menit pertama untuk terkagum-kagum sambil menggumamkan kata ‘keren’ pada semua benda-benda ganjil di dalam stoples. Seolah itu pertama kalinya ia datang ke sana.



Hingga akhirnya Ghana datang sambil membawa Kiwi Smoothie, “Oke, manusia es, lihat-lihatnya sudah cukup. Duduk di sana!” Ia menunjuk meja besi sepanjang dua meter, nampak persis seperti alas yang digunakan untuk mayat.



Taeyong yang sedang menunduk memerhatikan ubur-ubur listrik langsung menegakkan badannya. Ia menoleh pada perempuan pirang tersebut, pada Wooseok, pada meja besi yang dimaksud, lalu baru berjalan waspada menghampirinya.



“Oke, buka bajumu!” suruh Ghana datar, dia duduk di depan komputernya, di antara Maria dan Howon yang sedang serius mengetik.



Taeyong melirik Wooseok. Pria itu mengangguk.



Taeyong menarik napas panjang. Kemudian dengan gerakan yang sangat pelan, ia menarik sweternya melewati kepala. Lantas duduk di meja itu dengan muka merah, hanya berbalut singlet putih tipis dan jins abu-abu pudar yang sudah 5 hari tidak diganti.



Saat Ghana mengangkat kepalanya dari komputer, sebelah alisnya langsung berjingkat, “Apa yang kau lakukan?”



“K-kau suruh aku buka baju.”
“Yeah?”
“Yeah.”
“Dan kenapa tidak kau buka?” Saat itu Howon dan Maria ikut mendongak dari komputer masing-masing. Jia yang sedang sibuk dengan larutan kimia pun turut membalik kursi putarnya. Mereka semua memerhatikan Taeyong, sementara Wooseok menunduk dalam-dalam sambil menggaruk rambutnya salah tingkah.



Taeyong benar-benar tidak mengerti. Ia duduk di sana, mendapat tatapan aneh dari 4 orang, kebingungan dan tidak pakai baju. Dan satu-satunya orang yang ia kenal di ruangan ini malah menghindari tatapannya.



“A-aku sudah membukanya.” Taeyong mengacungkan sweternya. “Kau mau aku membuka kaos ini juga?”



“Tentu saja,” seru Ghana.
“Apa?”
“Kau mendengarku.”



Dengan enggan, Taeyong membuka singletnya juga. Lantas membungkukkan badan dalam-dalam seolah dengan begitu tubuhnya mendadak transparan.                                    



“Sekarang celanamu.”
“APA?”



Mendengar teriakan itu, Ghana langsung menghela napas bosan. “Yang kumaksud dengan ‘buka bajumu’ adalah buka semuanya. Tidak ada sehelai benang pun. Lalu berbaring di sana. Kau mengerti?”



“Kau mau aku… telan… jang?”



Ghana menghela napas lagi. Kemudian ia dan Maria saling mengernyit seolah sedang meratapi kebodohan Taeyong.



“Kalau obyeknya menyusahkan begini, menurutku kita bius saja dia sampai pingsan!” Jia mengusulkan.



“Ya ampun! Apa kalian gila! Aku tak mau!” Taeyong tak pernah merasa semalu ini seumur hidupnya. Rasanya seperti pembuluh darah di pipinya pecah. Ia begitu merona sampai-sampai wajahnya terasa terbakar.



“Hei, tenanglah! Hampir semua orang di tim ini lulusan kedokteran, kami sudah terbiasa melihat bokong atau kelamin atau apa pun yang mau kau sembunyikan,” kata Ghana, kemudian menyedot smoothie-nya sambil mengecek arloji. Ia merasa semua ini amat membuang waktu.



“Yeah, aku melihat 10 penis tiap hari di rumah sakitku,” sahut Maria, bersedekap sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Jangan bodoh, deh! Kami lebih tertarik melihat DNA-mu ketimbang badanmu.”



Jia menggoyangkan larutan hijau di tabung reaksinya, kemudian bicara dengan nada bosan. “Kami semua profesional.”



Informasi itu sama sekali tak membuat Taeyong lebih tenang, ia malah semakin malu, terlebih semua perkataan itu diucapkan oleh anggota tim yang perempuan, yang semuanya kelihatan masih sangat muda untuk disebut profesional.



“Sekarang apa lagi yang kau tunggu?” tanya Ghana, mulai habis kesabaran.
“Tidak!” Taeyong menggeleng tegas, menolak gagasan untuk mempermalukan dirinya sendiri lebih jauh lagi. Dia bicara menggebu-gebu sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam sweter, “Aku tidak mau. Aku tidak akan buka apa pun lagi. Aku akan pakai baju… aku akan pakai bajuku… lalu aku akan keluar dari sini.”



“Hei, kau sudah setuju!” Ghana berdiri. Howon ikut berdiri, tapi tak mengatakan apa-apa. Ia mengerti perasaan Taeyong tapi tak berani membantah Ghana.



“Wooseok Hyung tak bilang padaku kalau aku harus buka baju!” balas Taeyong. Berhasil memakai sweternya kembali. Ia menyambar kaos singletnya dan melompat dari meja.



“Kenapa harus mempersulit pekerjaan kami, sih! Kami semua ilmuwan, kau tak perlu malu! Kau lupa ya dulu kau lahir bagaimana!”



“Yeah, aku lupa,” jawab Taeyong sengit.
“Heh! Berhenti di situ! Pilihlah! Kau mau buka baju sendiri atau mau aku ke sana dan merobek…”
“Ghana, cukup! Dia masih 17 tahun.” Wooseok yang dari tadi diam akhirnya bicara. Taeyong berhenti setengah meter sebelum pintu keluar, kemudian meliriknya seolah berkata ‘ke mana saja kau!’. Wooseok balik menatapnya dengan raut menyesal, kemudian berkata kepada Ghana, “Biar aku dan Howon yang menangani pemeriksaan ini. Aku akan memberikan hasilnya padamu.” Howon mengangguk-angguk.



Ghana tak menjawab. Ia memicing pada Wooseok selama beberapa saat, sebelum akhirnya kembali mengenyakkan diri ke kursi dan memaki pria itu dalam gumaman pelan.



“Aku akan cari ruangan kosong untuk kita. Kau tunggu di sini.” Wooseok berkata pada Taeyong, lantas memutar pegangan pintu dan keluar dengan terburu-buru.




**********




Pemeriksaan itu berlangsung selama lima jam, diselingi istirahat beberapa kali. Wooseok baru mengantar Taeyong pulang ke rumah Hana pukul setengah enam sore. Selama perjalanan, Taeyong terus menatap ke luar jendela. Tak ada yang bicara, yang terdengar hanyalah mesin yang berdengung dan lantunan musik akustik berbahasa Inggris dari tape mobil. Seirama dengan kondisi di dalam mobil, kondisi di luar pun tak jauh berbeda. Seoul nampak begitu gelap dan sunyi. Karena sedang musim dingin, walaupun hari masih petang tapi langit sudah kelihatan amat kelabu. Seolah ada selimut abu-abu raksasa yang dibentangkan menutupi kota. Di kanan kiri jalan terlihat gundukan putih setinggi 40 centi, hasil pekerjaan truk pengeruk yang patroli 5 jam sekali.



Taeyong menghela napas, memandang pemandangan suram itu dengan jengkel. Sementara Wooseok mengemudi di sebelahnya. Kelihatan tak nyaman dan serba salah.



“Aku tak mau melakukan ini lagi,” kata Taeyong, tanpa mengalihkan pandangan dari rumah-rumah di luar yang seolah berjalan ke belakang.



Wooseok segera mematikan tape-nya, kemudian melirik Taeyong rikuh, “Aku minta maaf soal rekan labku,” katanya, “terutama Ghana. Dia memang begitu, keras kepala. Dan yeah, tak punya perasaan. Mungkin punya, hanya, uh.. jarang dipakai.” Wooseok mendesah. “Mengertilah… Kami semua sedang stres berat. Diancam dipecat bahkan sebelum jadi pekerja tetap. Tapi kurasa Ghana memang yang paling stres. Jika kita benar-benar dipecat, Jia dan Maria masih punya pekerjaan lain—dokter jaga di klinik atau apalah.. Aku dan Howon juga masih kuliah. Tapi dia.. dia belum tahu akan apa, apalagi tahun depan umurnya sudah 30.. dan belum ada pasangan, jadi kau tahu, hormonnya sedang bergejolak. Pokoknya atas nama Ghana, aku minta maaf.”



“Bukan hanya dia yang harus minta maaf.” Taeyong menyindir.
“Benar. Maksudmu aku, kan? Ya, tentu saja. Aku.. atas namaku sendiri, juga minta maaf.”



Taeyong tak menjawab.



“Kumohon bertahanlah beberapa hari lagi. Kami benar-benar membutuhkanmu.”
“Tidak. Aku tidak mau. Kalian tidak memperlakukanku selayaknya manusia. Kau membuatku tampak sangat konyol di sana. Seperti kelinci percobaan. Ini lebih buruk daripada dikurung di gedung kosong seumur hidupku.”



“Hei, ayolah, aku tulus minta maaf,” sambar Wooseok. “Please, pemeriksaan pertama memang begitu. Tapi aku janji besok semuanya akan lebih baik. Aku akan cari cara untuk sembuhkanmu.”



“Sudahlah! Jangan bohong lagi! Howon Hyung bilang itu mustahil.”
“Tidak ada yang mustahil dalam sains,” bantah Wooseok. “Teorinya, kami tinggal memisahkan DNA normalmu dengan DNA yang super. Sangat sederhana.” Suaranya mendadak memelan penuh keraguan, “tapi… uh, dalam praktek, mereka ternyata sudah tercampur sempurna. Butuh waktu untuk mengidentifikasinya.”



“Berapa lama?”
“Sampai salah satu dari kami mengetahui caranya.” Itu jawaban paling tidak konkret sedunia. Taeyong mendengus, mengubah posisi duduknya. Bersandar di jok. Bersedekap. Semakin jengkel.



“Jadi besok—jika aku berubah pikiran,” Taeyong berdeham, “apa yang akan kalian lakukan padaku?”
“Entahlah. Yang pasti kau tidak harus telanjang lagi.”
“Kau janji?”
“Ya,” jawab Wooseok mantap.



Taeyong mengangkat bahunya seolah ia tak punya pilihan lain. “Baiklah,” katanya, “lalu bagaimana dengan Eomma-ku?”



“Kubilang kau belum siuman.”
“Kau tak bisa menggunakan alasan itu terus-menerus. Eomma pasti curiga.”
“Kalau kubilang aku sedang berusaha menyembuhkanmu, apa dia akan marah?”



Taeyong mengangkat bahu lagi.



“Ibumu tak mau kau sembuh?”
“Aku yakin…“ kata Taeyong penuh penekanan, “setiap ibu menginginkan yang terbaik untuk anaknya.”



“Tapi kadang aku juga tak mengerti dengan cara ibuku,” lanjut Taeyong, menghela napas.
“Baiklah, mungkin lebih baik semua yang terjadi di laboratorium tetap tinggal di laboratorium. Kau mengerti maksudku?”



“Kau pikir aku akan mengadu pada ibuku? Tentu saja tidak.”
“Bukan cuma ibumu, tapi semua orang. Hana dan Nyonya Kim, atau teman-temanmu.”
“Aku tak punya teman. Tenang saja,” balas Taeyong. “Dan aku tak mungkin menceritakan kejadian memalukan seperti tadi kepada Hana, apalagi ibunya.”



“Kau janji?”
“Ya.”
“Sungguh?”
“Ya.”
“Terima kasih.”




************




Ibu Hana sudah mengantisipasi kedatangan Wooseok sejak tadi siang. Wanita itu benar-benar sedang sangat membutuhkan bantuan. Dan karena Wooseok merupakan tipe pengemudi yang enggan turun dari mobilnya sehabis mengantar orang, maka begitu ia melihat sedan putih terparkir di depan pagarnya, ia langsung menyongsong pintu dan berlari keluar. Kemudian merunduk di samping pintu kemudi yang jendelanya terbuka, tersenyum ramah sembari memohon dengan nada sopan sekaligus memaksa agar Wooseok berkenan mampir sebentar.



Walaupun sudah menolak berkali-kali, Wooseok yang tidak enak akan kegigihan Ibu Hana pun akhirnya turun juga. Wanita itu membuatkan teh hangat dan mengajaknya ngobrol panjang lebar, tak lupa menyinggung soal atap alumuniumnya yang roboh, berharap Wooseok menawarkan bantuan. Tanpa perlu waktu lama, Wooseok yang peka pun berhasil memahami situasi ini. Ia paham alasan sebenarnya diminta mampir. Mampirlah sebentar dan minum teh hanyalah sebuah kalimat halus dari mampirlah sebentar dan betulkan atapku.



“Aku mau sekali betulkan atapnya. Tapi aku tak bisa memanjat,” ucapnya menyesal.
“Aku bisa,” sahut Taeyong, menyembulkan kepalanya yang basah sehabis mandi ke ruang tamu. “Biar aku yang naik, kau instruksikan aku dari bawah.”



“OH! Itu ide bagus,” lengking Ibu Hana seraya menoleh, dan seketika itu juga napasnya tercekat, “ya ampun, itu baju suamiku.”



“Y-ya, ini baju suamimu. Maaf, apa aku tidak boleh pakai ini? A-aku tidak bermaksud lancang. Maaf, akan kubuka…“ Taeyong menyampirkan handuknya di bahu, kemudian berancang-ancang untuk menarik kaosnya ke atas.



“Tidak, tidak!” Ibu Hana langsung mencegah. Ia berdiri menghampiri Taeyong. Sikap ketusnya pada pemuda itu sudah luruh sepenuhnya. Taeyong benar-benar sopan dan senantiasa menawarkan bantuan. Dia bahkan bersedia mengupas telur puyuh untuk makan malam. Siapa yang tidak jatuh hati?



“Aku malah senang sekali bajunya muat denganmu,” kata ibu Hana dengan tatapan terharu, tangannya mengulur ke pipi Taeyong—dan langsung menariknya lagi begitu benar-benar tersentuh. Wanita itu nampak syok sebentar sebelum akhirnya terkekeh, “Aku tahu tubuhmu dingin. Tapi aku tak sangka sampai sedingin ini.”



“Kau bisa menyentuhku dengan sarung tangan kedap suhu.” Taeyong menoleh pada Wooseok. “Itu buatan Hyung.”



“Sungguh?” Ibu Hana menoleh padanya.
“Ya, tapi itu bukan apa-apa, justru agak merepotkan jika harus pakai sarung tangan,” kata Wooseok merendah, “Aku akan pikirkan cara lain.”



“Dan err, bisakah kita mulai sekarang? Maksudku atapnya, sebelum terlalu gelap,” tambah Wooseok, agak lesu karena pekerjaan fisik begini sama sekali bukan bidangnya. Namun ia ingin menyelesaikannya cepat-cepat supaya bisa pulang. Kerja rodi di lab benar-benar membuatnya capek berat dan haus istirahat.



“Biar Tante ambilkan tangganya.”



Wooseok mengangguk, kemudian melewati Taeyong menuju dapur—tempat atap yang disebut-sebut itu berada. Taeyong  hendak berjalan mengekornya, namun tiba-tiba saja ia terpikir sesuatu.



“Tante,” panggil Taeyong. Membuat wanita yang sudah setengah jalan menuju gudang itu refleks menoleh. “Aku tak lihat Hana.”



“Dia belum pulang.”
“Masih sekolah?”
“Ya. Ada apa?”



Taeyong ingin bertanya apa saja yang dipelajari Hana di sekolahnya sampai selama ini, tapi ia menelan kembali pertanyaan itu dan cuma menggerakkan kepalanya dalam gelengan singkat. Taeyong berbalik dan menghampiri Wooseok dengan resah. Dia sama sekali belum melihat Hana pagi ini. Saat ia bangun, gadis itu sudah jalan, dan sekarang, setelah ia melewati hari super panjang di laboratorium, Hana masih belum pulang juga.




**********




Wooseok dan Taeyong melewatkan satu jam berikutnya dengan penuh teriakan.



“Heh idiot! Jangan berdiri di situ kau bisa jatuh!”


“Aku tak akan jatuh! Katakan saja alumuniumnya mau ditaruh di mana!”


“Sudah kubilang dipaku dulu!”


“Aku kehabisan paku!”


“Bagaimana bisa habis! Kau selapar apa sih sampai makan paku!”


“Aku tidak makan paku!”



Walaupun begitu, mereka tetap berhasil menyelesaikan pekerjaan itu dengan sempurna. Wooseok menghabiskan teh dan biskuitnya kemudian pamit pulang, sementara Taeyong bertahan di atap, rebahan dengan sebelah tangan di belakang kepala, memandangi langit yang gelap gulita.



Ia benar-benar suka di atas sana. Dunia terasa begitu sunyi dan damai. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hitam legam langit malam. Luas tanpa batas. Andai diizinkan, ia ingin sekali memindahkan kasurnya ke situ dan menjadikan tempat ini sebagai kamarnya. Langit nampak luar biasa cantik di pagi hari dan amat memesona pada waktu malam. Ya ampun, dia benar-benar sedang kasmaran. Taeyong sungguh jatuh hati pada angkasa dan segala yang di atas. Seandainya ada sesuatu yang bisa dia panjat sampai ke angkasa, tak peduli seberapa jauhnya, pasti akan ia lakukan.



Saat sedang berpikir begitu, tiba-tiba saja terdengar suara Hana. Taeyong segera bangkit dari posisinya, kemudian melongok ke bawah. Dan benar saja. Ia melihat Hana. Sedang tertawa kegelian. Bibir Taeyong serta merta tertarik membentuk senyum, rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat Hana segembira itu.



Kemudian, saat matanya bergeser sedikit ke belakang, senyumnya mendadak lenyap. Tentu saja Hana tak akan tertawa sendiri, kan? Tak jauh di belakangnya, seorang laki-laki tinggi berambut cokelat keemasan berjalan sambil menenteng tasnya di pundak. Taeyong tak tahu persisnya apa yang pria itu katakan, tapi saat ia membuka mulut, Hana menoleh padanya dan langsung tergelak lagi. Walau Taeyong menyukai senyum Hana, namun alih-alih ikut tersenyum, keningnya justru berlipat-lipat. Dia baru sekolah sehari dan langsung dapat teman, huh?



Taeyong tak tahu mengapa, tapi di malam yang dingin itu, dia malah merasa gerah. Dari atas, ia memerhatikan Hana masuk ke dalam rumah dan sama sekali tak berniat untuk turun dan menyambutnya. Dia bertahan di atas, memandangi laki-laki berambut cokelat itu dengan tajam. Apa yang membuatnya bahagia sekali, eh? Dan kenapa kebahagiaannya membuatku terganggu?




**********




Hana lega sekali ibunya tidak bertanya macam-macam. Saat ia pulang, rumahnya sudah gelap dan sunyi. Hana membuka pintu kamar ibunya, dan sang ibu yang sudah memakai gaun tidur mencium pipinya kemudian bertanya sambil menguap. “Bagaimana hari pertamamu?”



“Uh, kepala sekolah lupa memberiku dasi, jadi ada kesalahpahaman kecil tadi pagi… selebihnya hari pertamaku luar biasa.”



“Baguslah. Apa kau sudah makan malam?” Itu bukan pertanyaan sulit, tapi Hana merasa kerongkongannya mendadak kering sampai harus menelan ludah. “Sudah,” jawabnya singkat.



“Kau sudah makan?”
“Ya. Aku beli burger saat pulang.”
“Sendiri?”
“Uh..tidak juga.”


Dan ibunya tidak bertanya lagi. Benar-benar ibu terbaik. “Oke, tidurlah,” katanya.



Hana mengangguk lega, kemudian tanpa mengulur waktu ia langsung keluar dan melesat menuju kamarnya sendiri.



Hana menanggalkan seragamnya dengan terburu-buru, memakai piama, mengambil ponselnya dari tas lalu melompat ke tempat tidur dengan posisi telungkup.



Sudah ada 1 pesan masuk. Senyumnya langsung merekah tak terkendali.



[Aku sudah di rumah]


[Serius? Rumah kita sedekat itu?]
[Omong-omong, makasih sekali lagi sudah mengajakku tur keliling sekolah.]
[Makasih juga cappuccino blend-nya.]


[Ya. Sangat dekat. Besok mau berangkat bareng?]
[Cukup makasihnya. Kau sudah membalasnya 2 kali lipat dengan burger tadi.]
[Tapi jika kau pikir balas budinya masih kurang, sekadar info, aku suka Sushi.]


[Dicatat.]


[Sayang, kau belum jawab pertanyaanku.]
[Besok mau berangkat bareng?]


[Berhenti bilang SAYANG!!!!]
[Kau kan sudah tahu namaku!]


[Tapi aku sudah terbiasa memanggilmu Sayang.]


[Terbiasa, eh? Kita baru kenal sehari dan kau merasa sudah ‘terbiasa’? Wah!]


[Aku cepat terbiasa.]


[ -_- ]


[Jadi, apa kita akan terus bicarakan ini sampai pagi atau kau mau jawab pertanyaanku?]


[Aku lebih suka yang pertama^^]


[Apa kau sedang menggodaku???? Tidakkk! Harusnya aku yang melakukan itu!]
[Bukannya menolak, ya.. Aku juga mau ngobrol denganmu sampai pagi. Tapi aku lebih menginginkan jawaban sekarang.]
[Biar kutanya sekali lagi!]
[Halo, Sayangku, besok mau berangkat bareng?]


[Tidak kalau kau masih memanggilku begitu.]


[Oke, oke, Kim Hana.. besok mau berangkat bareng?]
[Please, jawab yang benar!]
[Aku sudah tanya 4 kali!!]


[Bagaimana, ya? Aku biasa berangkat sangat pagi.]


[Aku bisa berangkat lebih pagi.]


[Jangan memaksakan diri kalau tidak terbiasa.]


[Sudah kubilang aku cepat terbiasa.]


[Entahlah.]


[Mau kujemput setengah 7?]


[Umm…]


[Jam 6? O_o]


[…..]


[OKE, JAM 4?? BAGAIMANA???]


[Hahaha.]
[6:45?]


[Deal.]


[Telat semenit saja langsung kutinggal.]


[Aku tak akan telat.]


[Kita lihat besok?]


[Siapa takut!]


[Oke. Aku akan matikan ponselku.]
[Aku mau tidur.]


[Oke.]
[Selamat tidur…,]
[…Sayang.]
[XOXO]


[LUCAS! HENNTUKAN!]


[Henntukan!!]
[Mau kuajari mengeja dulu sebelum tidur?]


[AKAN KUCEKIK KAU BESOK PAGI!!!]


[Memangnya sampai?]


[Sialan.]



Hana melempar ponselnya ke sisi tempat tidur lalu menyurukkan wajah meronanya ke bantal. Hana 14 jam yang lalu pasti tak akan menyangka penilaiannya pada cowok tengil yang pura-pura tidak bawa dasi itu bisa berubah secepat ini. Tadi pagi dia kesal setengah mati dan malam ini dia malah kasmaran luar biasa gara-gara cowok yang sama. Mengagumkan sekali betapa cepatnya hati manusia terbolak-balik.



Tadi, saat jam pelajaran pertamanya dimulai, Hana disuruh maju ke depan kelas dan memperkenalkan diri, dan tepat setelah ia menyebutkan namanya, Lucas bersorak dari jendela dan membuat satu kelas terlonjak. Guru bahasa Inggrisnya, seorang wanita muda beralis tebal yang kerap dipanggil Miss Chaerin menghela napas melihat kelakukan pemuda itu. “Aku sedang tidak mengajar di kelasnya, tapi dia masih membuatku stres,” keluh wanita itu pelan. Ia kemudian mencondongkan badannya pada Hana dan berbisik menyuruhnya untuk tidak dekat-dekat dengan cowok itu. Biang onar, katanya.



Namun alih-alih menurut, Hana malah merasa tertantang. Ia menerima tawaran ‘school tour’ gratis dari Lucas pada jam istirahat.



“Pertama-tama, sebelum tur ini dimulai, izinkan pemandumu yang menawan ini memperkenalkan diri,” katanya, menjabat tangan Hana. “Namaku Lucas. Lucas Wong. Besar di Hongkong. Zodiak Aquarius. Shio kelinci. Tinggi 183 cm. Hobi memancing. Selalu jadi favorit guru. Handal mencuri hati, tapi tak tahu cara mengembalikannya. Dan yeah, senang jadi pemandumu.” Dia bicara dalam satu tarikan napas, kemudian mengerling.



“Hobi memancing?”



Lelaki itu nyengir, “Yeah, mancing keributan.”



Hana cekikikan.



Saat istirahat kedua, mereka bertemu lagi. Lucas mentraktirnya cappuccino blend dan menanyakan alamat rumahnya. Begitu tahu mereka tinggal di komplek yang sama, keduanya pun sepakat untuk pulang bersama—ditambah makan malam bersama juga. Cowok itu mengesankan. Hiperaktif, lucu, dan tidak dingin.




**********




Taeyong ketiduran di atap dan baru bangun saat matahari sudah mengintip. Langitnya warna jingga menyala dan Taeyong hampir menangis melihat keindahan alam itu terhampar luas menyambut paginya. Betapa beruntungnya orang-orang yang bisa melihat ini setiap pagi, batinnya.



Saat sedang asyik-asyiknya terpesona, tiba-tiba saja dia mendengar suara ketukan. Taeyong melongok ke bawah dan rasa terpesonanya langsung musnah tak tersisa. Pria itu buru-buru merangkak ke belakang dan turun ke dalam rumah lewat halaman. Ia berjalan cepat menuju pintu dan membukanya dengan kasar.



“Apa maumu!” tanya Taeyong galak. Sukses membuat pria bermata besar di seberang pintu itu terkejut.
“Aku… mencari Hana,” katanya tak jelas, setengah kaget, setengah terpukau. Rambut Taeyong berwarna perak menyala, bola matanya abu-abu berkilau, kulitnya sepucat tembok dan rahangnya tegas bukan main. Dia benar-benar kelihatan tak nyata di mata Lucas. Seperti karakter dalam games.



“Tak ada yang namanya Hana di sini.”
“Tak ada?”
“Ya. Pulanglah!”
“Tapi semalam…” Taeyong langsung membanting pintunya. Kemudian saat ia berbalik, Hana sudah berdiri di hadapannya dengan tampang syok. Taeyong dua kali lipat lebih syok.



“Hei, Han.. sejak kapan kau… di situ?”
“Kenapa kau bilang begitu?” tanya Hana tak mengerti.
“Uhh…” Taeyong kehilangan kata.
“Aku sudah janjian dengannya. Kami mau berangkat bareng.” Hana mengeratkan mantel sekolahnya dan mencoba menjangkau pintu, tapi Taeyong langsung menghalanginya.



“Kenapa harus berangkat bareng?”
“Kenapa tidak? Kita satu sekolah.”
“Aku tidak suka dia.”
“Dia temanku.”
“Aku temanmu.”                                                                                                                                      



Hana mendesah, “Apa aku tak boleh punya teman lain?”


Taeyong tak menjawab.


“Kau temanku, Taeyong. Tapi Lucas juga temanku,” kata Hana sambil berusaha melepaskan diri dari sang pria, yang memandangnya dengan penuh kekecewaan—lagi (nampaknya akhir-akhir ini apa pun yang Hana lakukan selalu mengecewakan baginya).



“Aku pergi dulu. Kita bicara lagi saat aku pulang.” Hana meraih pegangan pintu, lalu kembali menatap Taeyong yang masih belum bergerak. “Hari ini Wooseok Oppa akan menjemputmu lagi, kan? Semoga harimu menyenangkan.”



“Kau bahkan tak tanya apa yang terjadi padaku kemarin,” kata Taeyong pahit. Dia bahkan tak sadar aku pakai kaos ayahnya? Dia cuma memandangku tapi sama sekali tak melihatku.



“Uh, benar. Maafkan aku. Kau bisa cerita saat aku pulang.”
“Kenapa tidak sekarang?”
“Taeyong, aku harus sekolah.”
“Kau bisa sekolah lagi besok. Tapi aku…“ Pria itu mengangkat tangannya putus asa, “Cepat atau lambat Eomma-ku akan curiga. Aku akan kembali ke Mungyeong sebelum ada yang sempat menyadarinya.”



Hana menatap Taeyong, kemudian berkata, “Aku janji kita akan ngobrol panjang nanti malam. Sampai pagi jika kau mau. Aku akan bacakan komik untukmu.”



Wajah Taeyong mendadak lebih cerah. Ia menaikkan alisnya,“Janji?”



“Janji.”



Taeyong tersenyum puas. Gagasan itu terdengar sangat menyenangkan di telinganya. Ia berpikir untuk membawa Hana ke atap. Semoga dia tak takut ketinggian seperti Wooseok.



“Kalau begitu, sampai jumpa nanti,” kata Hana. Ia membuka pintunya, kemudian melongok keluar dan merasa agak kecewa karena tak menemukan Lucas di mana-mana. Anak itu pasti bingung sekali. Dia jelas-jelas melihat Hana masuk ke rumah ini semalam. Dan keesokan harinya, ‘tidak ada yang namanya Hana di sini.’



“Hei,” Taeyong memanggil saat Hana baru keluar pintu.
“Ada apa?”



Taeyong mengulurkan tangan, “4 detik?”



Hana menatap tangan pucat itu, kemudian menyelipkan jemarinya di antara jemari Taeyong sambil tersenyum pada sang pria. “Aku akan makan malam di rumah. Aku janji.”



Taeyong mengangguk.




***********




Hana tak makan malam di rumah. Gadis itu bahkan pulang lebih larut dari kemarin.



Saat mendengar suara pintu berayun terbuka, Taeyong langsung mematikan lampu kamarnya dan tidur meringkuk menghadap jendela. Dia tahu Hana pasti akan ke kamarnya dulu sebelum ke kamarnya sendiri.



Dan benar saja. Hana masuk. Taeyong bisa mendengar langkah kaki gadis itu berjalan mendekat.



“Hei,” sapanya, terdengar cukup yakin kalau Taeyong hanya pura-pura tidur.
“Aku bawa Sushi.”
“Sushi?” ulang Taeyong, sama sekali tak merubah posisinya.
“Ya, masakan Jepang.”
“Aku orang Korea.”
“Aku tahu.”
“Aku tak suka masakan Jepang,” balas Taeyong dingin, kemudian sebelum Hana sempat menjawab, ia melanjutkan lagi dengan nada yang lebih dingin, “Aku juga tak suka orang yang ingkar janji.”



“Taeyong, aku minta maaf.”



Taeyong menyibak selimutnya dan bangkit ke posisi duduk, memandang Hana getir, “Yeah, tak apa, kadang orang memang tak selalu memahami janji yang mereka ucapkan sendiri.”



“Apa sih maksudmu? Aku kan sudah minta maaf…”
“Kau bersama Lucas lagi, kan?”



Hana tak menjawab. Dan itu sama jelasnya dengan jawaban ‘ya’. Taeyong tersenyum mencibir.



“Dengar, aku berjanji akan menebus kesalahanku. Begini saja… besok kan hari Minggu, bagaimana kalau kita jalan-jalan? Aku janji padamu. Kita bisa nonton bioskop dan pergi makan es krim, kau sudah lama kan tidak makan es krim?”



“Besok aku ke lab.”
“Lagi?”
“Ya,” jawab Taeyong singkat, menarik selimutnya kembali. “Dan kurasa kau harus berhenti menggunakan kata itu.”



“Kata apa?”
“Janji.” Taeyong menatapnya tajam, “Kau tak cocok menggunakannya.”



Mata Hana terbeliak tak terima. “Kenapa kau jadi begitu menyebalkan? Apa saja yang kau tonton selama aku tak ada? Apa saja yang Wooseok Oppa katakan padamu! Apa saja…”



“Han, enyahlah!” potong Taeyong keras. Hana bicara padanya seolah ia adalah anjing peliharaan. Dan jujur itu agak menyakitkan.



“Enyah?? Wow okay, kau menyuruhku enyah? Di rumahku sendiri?” Hana menggelengkan kepalanya tak habis pikir, lalu menyambar bungkusan Sushi yang ia letakkan di nakas dengan tangan gemetar menahan kesal, “Kau tahu, persetan denganmu! Kau dan mulut bodohmu! Dan sifat pemarahmu! Dan keabnormalanmu! Dan semuanya! Aku tak peduli lagi! Demi Tuhan, aku benar-benar membencimu. Kau mau aku enyah? Oke, aku enyah!”



BRAAKK!



Hana membanting pintu.



Taeyong tak bereaksi selama beberapa saat, sebelum akhirnya tangannya yang gemetar bergerak perlahan mengusap wajahnya. Ia juga tak kalah emosi. Pria itu menggertakkan gigi, kemudian menendang selimutnya sambil mengerang. Ia bisa mendengar bagaimana suara Hana pecah di akhir kalimatnya, gadis itu sudah pasti sedang menangis sekarang.



Hana menangis karenaku.



Pikiran itu bergaung di kepalanya. Keras dan berulang-ulang. “Tidak, tidak, tidak. Apa yang kulakukan,” Taeyong bergumam. Mengusap wajahnya lagi. Dia menyesal. Sangat-sangat menyesal. Dibenci Hana adalah hal terakhir yang ia inginkan di muka bumi.



“Han, ya ampun, aku minta maaf.”





TBC

Comments

Popular Posts