Freeze #9 (Seoul life)


Hana dan sang Ibu melewatkan sepanjang hari berikutnya dengan bersih-bersih rumah. Sedikit demi sedikit, lantai, perabot dan keseluruhan ruangan mulai tertata rapi seperti sedia kala.



“Ini sudah hampir sore, tapi kenapa ya belum ada kabar dari Wooseok Oppa?” Hana yang baru selesai mengepel lantai duduk bersandar di dinding sambil menatap layar ponselnya.



“Daripada memikirkan itu, lebih baik kau pikirkan mau lanjut sekolah di mana.”
“Sekolah? Apa tidak terlalu cepat? Lagi pula kepindahanku dari sekolah lama kan belum diurus.”
“Ah.. jaman sekarang kan semuanya bisa online.”
“Memangnya pindah sekolah juga bisa online?”
“Coba kau cari tahu.” Ibu Hana yang sedang mengelap cermin dengan kertas koran berbalik padanya. “Ingat, kau harus segera daftar ke sekolah baru. Jangan sampai terlambat ikut ujian akhir. Kau tak mau kan mengulang kelas 1 dari awal lagi?”


Selama ibunya bicara, Hana berdiri seraya menyelipkan ponselnya ke dalam saku. Ia berjalan ke ruang tengah, menarik tas yang belum dibongkar sejak kemarin dan mengeluarkan laptopnya dari sana. Setelah menyalakan laptop, ia langsung melompat ke sofa yang masih agak berdebu.



“Ini nomor telepon sekolah lamaku. Ibu saja yang bicara.” Hana menyalin nomor yang didapatnya dari internet pada sebuah memo kecil di nakas, lalu merobek halaman memo tersebut dan menyerahkannya pada sang Ibu. “Bagian tata usahanya agak menyebalkan. Tapi aku percaya Ibu bisa mengatasinya.”



“Itu mudah. Lalu bagaimana denganmu? Sudah tahu mau daftar di mana?” Ibu Hana menerima kertasnya. “SMA Harang tarafnya sudah internasional. Coba kau lihat persyaratan di sana.”



“Aduh, Ibu. Jangan mimpi aku bisa masuk Harang, deh! Ada sekolah yang mau menerima anak pindahan tanggung sepertiku saja sudah bagus. Dua bulan lagi kan sudah kenaikan kelas. Pasti sangat merepotkan kalau ada anak baru.”



Hana mengutak-atik laptopnya dengan enggan. “Kalau menurutku sih, lebih baik aku selesaikan dulu kelas satu di Mungyeong, baru nanti….”



“Tidak!” sergah sang Ibu. “Tidak boleh. Aku tak akan izinkan kau kembali tinggal bersama wanita itu.”
“Kan cuma 2 bulan, Bu.”
“Dalam 2 bulan, nenek sihir itu bisa menamparmu 100 kali lagi tanpa sepengetahuanku.”



Hana menghela napas. Ibunya terdengar sama persis seperti Bunda Sejeong. Sama menyebalkan dan sama protektifnya. Ingin rasanya Hana memberi tahu itu.



Selama satu jam berikutnya, yang Hana lakukan hanyalah mengemil keripik kentang sambil membuka website demi website. Membaca profil sekolah di Seoul dan menuliskan beberapa kandidat yang sekiranya cocok pada kertas memo. Kemudian, saat sedang membaca persyaratan murid pindahan di SMA Gwaha, ponsel di sakunya tiba-tiba berbunyi nyaring hingga membuat sang pemilik terlonjak. Hana sudah geram sekali, namun begitu melihat nama Wooseok di layar, matanya langsung berbinar cerah.



“Halo?” seru Hana penuh semangat. “Aku sudah menunggu teleponmu dari tadi. Bagaimana….”
[Dia sudah siuman,] sela Wooseok. [Bisa kau ke sini sekarang? Aku butuh bantuan.]




**********




Wooseok bicara panjang lebar; bahwa dia sangat lelah dan tak sengaja tertidur kira-kira jam sembilan pagi tadi, bahwa saat dia bangun, seluruh timnya sudah memerhatikan Taeyong dengan mata berkilat bak singa kelaparan melihat mangsa, bahwa ia langsung dicecar dengan banyak pertanyaan dan saat sedang asyik-asyiknya berbohong, Taeyong malah siuman dan dalam sekejap mereka semua langsung berebut untuk membantunya meneliti Taeyong. Jadi tanpa pikir panjang, ia langsung membawa Taeyong bersembunyi di sini, di kantin khusus janitor yang ia kunci dari dalam. “…aku nyaris gila, Han. Aku harus bilang apa sekarang pada mereka? Lalu bagaimana kalau Nyonya Sejeong tahu? Aku sudah cerita kan dia mengancamku seperti apa? Kau harus membantuku,” kata Wooseok panik.



Hana menatap Taeyong yang masih kelihatan linglung dan lemas. Pria itu duduk di seberangnya, bersender di tembok di sebelah Wooseok, sedang memakan burger dengan pandangan kosong. Sama sekali belum bicara semenjak Hana datang.



“Aku tak mengerti. Apa yang membuatmu begitu cemas? Apa masalahnya? Taeyong kan sudah siuman. Kita hanya harus membawanya kembali ke rumah singgah,” kata Hana. “Bukankah Bunda Sejeong menyuruhmu begitu?”



“K-kau benar.”
“Bilanglah pada rekan setim-mu kalau Taeyong tak bersedia diteliti. Masalah selesai.”
“Ya, ya, itu benar, akan kulakukan.”
“Bagus.”
“Tapi aku tak bisa memulangkan Taeyong sekarang.”
“Kenapa?”
“Ada pertemuan penting dengan kepala lab. Besok. Jam delapan pagi. Dan aku belum menyiapkan presentasiku. Aku bahkan tak tahu apa yang harus kupresentasikan,” kata Wooseok frustasi. Pria itu terlihat benar-benar stres. Kemejanya salah kancing, rambutnya mencuat ke mana-mana, jubah putihnya ketumpahan kopi dan kantung matanya punya kantung mata. Persis seperti profesor gila di film-film. Bedanya, Wooseok masih muda. Dan dia tidak gila—belum, setidaknya.



“Baiklah, kau tidak harus memulangkannya hari ini.”
“Kalau Bunda Sejeong menelepon, bilang saja Taeyong belum siuman. Aku juga akan bilang begitu jika dia meneleponku.”



“Okay.”
“Jadi, dengan apa kau ke sini?”
“Taksi.”
“Oke, sekarang kalian pulanglah.” Wooseok mengeluarkan dompetnya.
“Kalian?” ulang Hana, mengernyit seolah-olah salah dengar.
“Tentu saja, Han. Ada ratusan ilmuwan psiko di tempat ini, percaya padaku, mereka rela melakukan apa pun demi mendapatkan manusia seunik Taeyong. Aku tak bisa membiarkan dia lama-lama di sini,” katanya, melirik Taeyong (yang sekarang sedang menyeimbangkan sedotan milkshake di antara hidung dan mulutnya seperti anak idiot).



“Kau yakin dia baik-baik saja?” tanya Hana, mengernyit ngeri melihat Taeyong.
“Yaa,” jawab Wooseok, lebih terdengar seperti harapan. Beberapa detik kemudian menghela napas dan mengaku, “Oke, sebenarnya, entahlah. Aku belum melakukan apa-apa. Sudah kubilang dia tiba-tiba bangun sendiri.”



“Apa?”
“Aku yakin otaknya cuma agak konslet gara-gara terlalu lama pingsan, tapi pasti akan normal sendiri. Ini uang taksinya.” Wooseok menarik tangan Hana dan menyerahkan beberapa lembar uang—yang jelas-jelas terlalu banyak untuk satu kali naik taksi.



“Bagaimana bisa aku membawa Taeyong ke rumahku? Aku tak punya ruangan yang cukup dingin untuknya. Aku tak mungkin memaksanya masuk ke kulkasku, kan? Dia…”



“Dia tak butuh itu,” sela Wooseok. “Perlakukan dia selayaknya manusia normal.”
“Begitu?” Hana mendecak. “Haruskah kuingatkan bahwa terakhir kali Taeyong diperlakukan seperti manusia normal, dia pingsan sampai tiga hari?”



“Itu kesalahannya.”
“Apa maksudmu?”
“Taeyong diperlakukan seperti ikan mentah selama hidupnya. Sistem imunitasnya jadi tak berkembang. Kalau sistem imunnya lemah, mustahil dia bisa beradaptasi dengan udara luar dan hasilnya…” Wooseok menjatuhkan punggung tangannya dengan dramatis, “dia pingsan. Kau mengerti maksudku? Masalahnya hanya ada di daya tahan tubuh. Dengan kata lain, dia baik-baik saja.”



Hana mengerutkan kening, “Jadi aku tak perlu memasukkannya ke freezer?”



“Sudah kubilang dia manusia bukan ikan mentah,” kata Wooseok. Itu adalah perumpamaan terkonyol yang pernah Hana dengar. “Oke, kita harus memberi tahu Bunda Sejeong soal ini.”



“Tidak perlu,” cegahnya. “Aku yakin dia sudah tahu.”
“Tidak, Bunda Sejeong belum tahu. Kalau dia tahu, mana mungkin dia mengurung Taeyong bertahun-tahun begitu.”



“Entahlah, Han. Pasti ada alasan.”
“Alasan apa?”



Saat itu, tiba-tiba saja kenop pintu kantin berputar, seseorang tengah mencoba membukanya. Hana dan Wooseok refleks berdiri, “Kau harus membawanya pergi sekarang,” perintah Wooseok. “Lewat sini, cepat!”



Hana segera menarik Taeyong—yang masih memainkan sedotan. Karena ditarik berdiri tiba-tiba, sebagian milkshake-nya tumpah dan gelasnya menggelinding sampai ujung meja. Hana menyeretnya berlari mengikuti Wooseok dan keluar lewat pintu belakang.



“Ahh,” Hana melepas Taeyong. Tangannya kebas sekali.
“4 detik.”
“Apa?”
“Lepas dia setelah 4 detik. Lalu gunakan tangan yang lain. Begitu cara tubuhmu menoleransi dinginnya. 4 detik dan ganti tangan. Kau mengerti?”



Hana mengangguk.



“Oke, gunakan gerbang paling kiri. Biasanya di sana mudah dapat taksi. Sekarang pergilah!”




**********




“Aku pulang,” seru Hana sesampainya di rumah.



“Han, ibu sudah menelepon sekolahmu di Mungyeong dan mereka bilang mereka bersedia memban…,” Ibu Hana terdiam begitu melihat Taeyong tengah duduk manis di ruang tamunya. Ia menoleh pada anak perempuannya—yang langsung merangsek maju memberikan penjelasan.



“Wooseok Oppa belum bisa membawa Taeyong pulang ke rumah singgah. Katanya ada kerjaan. Jadi untuk sementara Taeyong akan tinggal bersama kita.”



“Kenapa harus tinggal bersama kita?”
“Kenapa tidak? Ayolah, jangan lampiaskan kemarahan Ibu padanya. Dia tak tahu apa-apa.”



Ibu Hana mendesah, “bukan melampiaskan kemarahan. Ibu cuma tak mau anak ini buat repot. Walaupun sedang turun salju, udaranya tetap tidak cukup dingin untuknya, kan? Bagaimana kalau anak ini pingsan lagi? Ibunya bakal marah luar biasa. Ya ampun, memikirkan ibunya saja sudah membuat darahku mendidih. Lagi pula mau tidur di mana dia? kita harus menekuk badannya di freezer, begitu?”



“Bu, ya ampun, Taeyong itu manusia bukan ikan mentah,” kata Hana, tak percaya dia baru saja menggunakan perumpamaan konyol Wooseok pada orang lain.



Ibunya tertegun sedikit, “aku tahu, tapi….”



“Dia akan tidur di kamar. Aku akan bawa dia ke kamar tamu.” Hana mengulurkan tangannya pada Taeyong.



“Kamar tamunya belum ibu buka sama sekali. Tak terbayang sekotor apa. Mungkin ada keluarga musang yang hidup di situ. Tapi yah, silahkan saja kalau kau bersedia membereskannya,” kata ibunya sinis.



“Ya, akan kubereskan,” balas Hana, menatap ibunya dengan tatapan berhentilah-menggunakan-nada-itu. “Ayo Taeyong.”



Taeyong berdiri sambil menggenggam tangan Hana. Masih kelihatan bingung sekali. Ia memerhatikan segalanya dengan heran, seolah-olah bukan berasal dari dunia ini. Mereka berjalan melewati ibu Hana yang tengah bersedekap sambil mengernyit tak suka pada Taeyong. Taeyong—yang otaknya masih konslet—balas mengernyit padanya. Ibu Hana praktis terkejut mendapat balasan tidak sopan seperti itu, “ehhh kenapa menatapku begitu? Dasar anak aneh.”



“Ibu, dia tak sengaja,” gumam Hana, tanpa menghentikan langkah sama sekali.
“Heh, dia mengernyit pada ibumu dan kau malah membelanya!” Ibu Hana bertolak pinggang, kemudian saat mau berbalik ke dapur, ia mendadak teringat akan ucapannya yang terpotong tadi. “Oh iya, Hana,” panggilnya, segera mengejar ke kamar tamu, “Sekolah lamamu bersedia membantumu pindah ke sekolah baru. Katanya kau berkelakuan baik dan nilai-nilaimu lumayan tinggi, jadi mereka akan dengan senang hati mengurus.”



“Berkelakuan baik?” Hana mendengus, kemudian bergumam seraya tersenyum kecil melirik Taeyong, “sepertinya mereka masih belum tahu aku menyelinap ke lantai dua dan mencuri sepeda.”



“Apa katamu?” seru sang ibu.
“Bukan apa-apa.”
“Jadi,” kata ibunya, bersandar di ambang pintu sambil mengibaskan tangannya menghalau debu. “Mau pindah ke mana?”



“Masih belum tahu.”
“Kau harus tentukan sekarang.”
“Semua sekolah sama saja bagiku, jadi yang paling dekat saja.” Hana menarik seprai lusuh di ranjang (yang sudah hampir 1 tahun belum diganti) kemudian melemparnya ke pojok ruangan. “SMA Gwaha. Aku bisa jalan kaki ke sana.”



“Kau yakin tidak mau coba masuk Harang?”
“Ibu,” Hana memandang ibunya dengan ekspresi ‘jangan bercanda’.
“Oke, oke, Gwaha. Besok pagi kita ke sana.”
“Apa?” seru Hana syok. “Besok?”
“Ya, besok jam delapan pagi. Pakai baju formal, mungkin saja langsung dites.”
“Kenapa cepat sekali?”
“Harusnya kau bersyukur. Makin cepat makin baik, kan?”
“Iya, tapi kan aku belum belajar apa-apa.”
“Kalau begitu belajarlah sekarang,” balas sang ibu enteng, tak lupa menyelipkan senyum. Wanita itu lantas mengernyitkan hidung sambil mengibaskan tangannya lagi, berkomentar bahwa kamar ini butuh waktu setidaknya 9 bulan untuk dirapikan, lalu berbalik dan berlalu meninggalkan mereka.



Hana menghela napas sambil memandang Taeyong, “Aku tahu kau masih bingung, tapi bantu aku, ya. Masukkan benda-benda di sebelahmu ke kardus. Cepat. Aku harus belajar.”



Taeyong cuma memandangnya. Kemudian memandang kardus yang Hana tunjuk. Kemudian memandangnya lagi.



“Masukkan,” suruh Hana. Mencontohkan.



Taeyong bergeming, masih memandangnya.



“Oh, ya Tuhan. Sampai kapan sih kau akan begini?!” seru Hana frustasi. “Ya sudah aku saja yang lakukan! Minggir kau!”




**********




Keesokan paginya, Hana yang sudah berpakaian rapi membuka pintu kamar tamu dan terkejut karena tak mendapati Taeyong di sana.



“Astaga,” desisnya, terbelalak dan langsung menjerit memanggil ibunya.



Saat sedang berlari ke arah dapur, sekelebat matanya menangkap sesosok pria berambut putih yang amat familier di pintu masuk. Hana sontak berhenti. Dadanya bertalu-talu. Ia berbalik, berjalan pelan-pelan ke terasnya, dan seketika dadanya yang bertalu-talu itu menjadi lega kembali. Dia tidak salah lihat. Itu memang Taeyong, sedang berdiri membelakanginya. Ia mendongak memandang langit, tangannya terulur tinggi dan jari-jarinya direnggangkan. Hana menduga Taeyong sedang berusaha memosisikan matahari di antara jarinya itu.



“Taeyong,” panggilnya.



Sang pria menoleh. Tersenyum sumringah melihat Hana. “Hei, Han! Kau lihat itu,” katanya, menunjuk matahari. “Ini luar biasa. Aku belum mati. Aku bahkan bisa melihat matahari seperti ini. Di mana pun kita sekarang, aku sangat menyukainya. Sebenarnya kita di mana?”



Hana rasanya mau menangis karena terlalu senang. Taeyong akhirnya normal lagi. Tidak linglung dan mengernyit pada semua benda seperti orang bodoh lagi.



“Kau di rumahku,” jawab Hana. Matanya yang berkaca-kaca terus memandangi wajah Taeyong seolah pria itu tidak nyata.



“Di Seoul?”



Hana mengangguk.



“Sungguh? Aku di Seoul?”



Mengangguk lagi.



“Hebat,” katanya, setengah tertawa. Taeyong mengedarkan pandangan ke rumah-rumah lain di sepanjang jalan, kemudian menarik napas panjang sampai rongga dadanya penuh. Kelihatan bahagia sekali.



“Jadi, bisa beri tahu aku apa yang terjadi?” pintanya. “Hal terakhir yang kuingat adalah duduk di boncenganmu dengan dada sesak. Dan perlahan-lahan semuanya mengabur... pandanganku, suaramu, semuanya… tiba-tiba menghilang.” Taeyong bicara dengan tatapan menerawang, agak bergidik seolah ia masih bisa merasakan sakitnya. “Apa kita ketahuan? Oh, kita pasti ketahuan, kan?”



“Yeah, kita ketahuan. Kau pingsan berhari-hari dan dibawa ke laboratorium kakakku untuk diperiksa… Ceritanya panjang,” kata Hana, menahan diri untuk tidak memeluk Taeyong. Dia benar-benar merindukan pria itu. Merindukan perbincangan super normal ini. Merindukan suaranya. Merindukan semua gerakan khasnya saat bicara; bagaimana sudut matanya berkedut saat tersenyum, bagaimana bahunya ikut bergoyang saat tertawa, bagaimana ia memainkan alis atau caranya berdiri atau menggerakkan tangan, atau… semuanya.



“Dan Eomma mengizinkan? Maksudku….., keluar kamar saja tidak boleh, sekarang aku malah keluar kota?” Taeyong mendenguskan tawa tak percaya, dan saat itu Hana kehilangan pengendalian dirinya. Ia menerjang Taeyong. Memeluknya erat-erat sampai tubuh pria itu tersentak ke belakang.



“Hei,” Taeyong terkejut. “Kau tak boleh…”
“Boleh,” sela Hana. “4 detik. Wooseok Oppa sudah mengukur suhu tubuhmu. Katanya kau masih bisa ditoleransi sampai 4 detik.”


“Apa?”
“Intinya, aku boleh menyentuhmu.”



Taeyong tak langsung menjawab. Ia berpikir sebentar, menimbang apakah ia harus memercayai ucapan Hana atau tidak. Kemudian menimbang lagi apakah ucapan Wooseok bisa dipercaya atau tidak. Dan setelah itu baru perlahan-lahan melingkarkan tangannya ke sekeliling pundak Hana.



“Okay.” Hana menjauhkan diri dengan canggung, “sepertinya sudah 4 detik.”
“Yeah.” Taeyong berdeham. “Kau baik-baik saja?”
“Sangat baik. Rasanya aku bisa mengerjakan soal apa pun untuk ujian masuk nanti.”
“Ujian… masuk?” Taeyong mengerutkan kening. “Masuk ke mana?”
“Hana! Ya ampun! Ibu cari-cari. Ternyata sudah di sini!” seru ibu Hana tiba-tiba. “Ayo kita jalan sekarang.”



“Ah, Anda pasti ibunya Hana, ya? Selamat pagi.” Taeyong membungkuk dalam dan tersenyum ramah sampai ibu Hana terheran-heran.



“Kenapa dia tiba-tiba begini?” bisiknya pada Hana.
“Dia memang begini,” jawab gadis itu, kemudian berkata pada Taeyong. “Hari ini aku ada tes masuk di sekolah baru. Kau tunggu di sini, ya.. Aku janji tak akan lama. Ada banyak makanan di kulkas dan kalau mau mandi, kau bisa pakai baju ayahku, ambil saja di kamar sebelah dapur. Mengerti, kan?”



“K-kau pindah sekolah? K-kau tidak tinggal di rumah singgah lagi?” tanya Taeyong nyaris berbisik, kelihatan kecewa sekali.



“Yeah, aku akan tinggal di sini.”



Taeyong nampaknya amat terpukul hingga tak bisa berkata-kata. Suasana mendadak dingin. Saat itu, ibu Hana langsung mengambil alih situasi, ia memperingatkan Taeyong untuk mengunci pintu dan tidak membukanya sampai mereka datang, lalu segera menarik Hana keluar.




**********




Segera setelah pintu ruangan rapat guru (yang dialihfungsikan sementara menjadi tempat ujian Hana) terbuka, ibu Hana langsung berdiri. “Bagaimana tesnya?”



“Tidak sesusah yang kubayangkan,” jawab sang anak. Raut wajahnya kelihatan jauh lebih hidup dibanding ketika ia masuk ke sana 40 menit yang lalu—dia benar-benar hampir sepucat Taeyong.



“Tesmu akan dikoreksi dulu oleh Park Sonsengnim. Bersabarlah sebentar, kita akan segera tahu hasilnya,” kata sang kepala sekolah, seorang perempuan tinggi dengan kacamata kotak dan hidung besar, baru saja keluar dari ruangan yang sama dengan Hana. “Maaf, Nyonya Kim, bisa ikut saya sebentar? Ada formulir yang harus diisi.”



“Eh? Saya yang isi?”
“Ya, Nyonya,” jawab sang kepala sekolah ramah. “Ini cuma formulir data diri biasa. Saya juga mau menjelaskan soal biaya dan beberapa keperluan lain. Lagi pula, saya rasa kita harus membiarkan Hana istirahat dulu setelah menjawab tes yang sulit.”



“Tesnya sulit?” Ibu Hana refleks melirik sang anak dengan waspada. Hana mengangkat bahu. Ia benar-benar merasa soal itu sama sekali tidak sulit.



“Tentu saja sulit. Penyeleksian untuk masuk Gwaha sangat ketat, Nyonya. Kuharap Hana menjawabnya dengan sungguh-sungguh, tapi yah…kita lihat saja. Padahal waktu ujiannya 90 menit tapi bahkan tak sampai 40 menit dia sudah selesai. Entah Hana ini memang sangat pintar atau malah ceroboh,” kata sang kepala sekolah, diakhiri dengan tawa basa-basi yang menyebalkan.



Ibu Hana ikut tertawa (yang lebih terdengar seperti meringis), kemudian melirik anaknya lagi. Hana yang tak tahu harus merespon seperti apa mengangkat bahunya lagi.



“Jadi, Nyonya Kim, mari ikut saya,” ajak kepala sekolah.



Ibu Hana mengangguk.



Sebelum ibunya pergi, Hana menahannya dan berbisik, “Aku ke toilet dulu.”



“Kau tahu toiletnya di mana?”
“Akan kucari.”
“Baiklah,” katanya, “Eh, tunggu, kau tak berniat kabur karena tak bisa jawab soal, kan?”



Hana memutar mata. “Tidak?”



“Oke, hati-hati.”
“Ibu…” Hana berhenti di ambang pintu.
“Apa?”
“Aku bisa jawab soal.”



Ibunya menghela napas, “Sebaiknya begitu.”




**********




Hana berjalan di koridor sekolah dengan gelisah. Dia tak benar-benar mau ke toilet. Cuma sedang gundah memikirkan beberapa hal, dan ruangan kepala sekolah sama sekali tidak membantu untuk menghilangkan kegundahannya itu. Hana masih memikirkan betapa terlukanya ekspresi Taeyong tadi saat mereka pergi. Dia benar-benar kelihatan seperti habis dikhianati. Tapi Hana tak mungkin pindah ke rumah singgah lagi hanya demi Taeyong. Ibunya sudah sangat membenci Bunda Sejeong, dan Bunda Sejeong sendiri sepertinya juga sangat membenci dirinya. Jadi… menurutnya, kepindahannya ini adalah keputusan terbaik untuk semua orang. Termasuk Taeyong.



Selain itu, perkataan kepala sekolah tadi mengenai tesnya juga semakin memperburuk suasana hatinya. Setelah keluar ruang ujian dengan senyum sumringah dan langkah penuh percaya diri, Hana malah dibuat resah sampai-sampai mempertanyakan kewarasannya. Apa soal itu benar-benar gampang atau cuma halusinasiku saja? Apa semuanya sudah kujawab atau jangan-jangan ada selembar penuh yang terlewat?



Kalau sampai ia tak diterima di sekolah seperti ini—yang akreditasinya cuma B, yang fasilitasnya tidak mengesankan, yang kuota siswanya kebanyakan—maka apa mungkin ia bisa diterima di sekolah lain? Padahal Hana sudah sangat yakin telah menjawab sebagian besar soalnya dengan mudah. Tapi kenapa kepala sekolahnya bilang begitu? Hana benar-benar menyesal tidak meluangkan waktu setidaknya 10 menit untuk mengoreksi ulang jawabannya. Tadi, begitu kertas jawabannya terisi semua, ia malah langsung berdiri, kemudian menggeleng sok yakin begitu kepala sekolah yang merangkap sebagai pengawasnya itu menyuruhnya mengoreksi jawabannya lagi. Benar-benar bodoh.



Karena beban pikiran yang banyak itu, tanpa sadar Hana sudah berjalan memasuki lorong. Saat ini, di kanan kirinya berjejer kelas-kelas di mana KBM sedang berlangsung. Ia memperlambat jalannya, mengulurkan kepala dan mengintip lewat jendela, mengamati anak-anak kelas 1—yang bisa jadi akan menjadi teman sekelasnya, jika ia cukup beruntung untuk diterima, tentu saja. Mereka semua sedang tekun mengerjakan sesuatu—ulangan harian, barangkali—sementara gurunya mondar-mandir sambil membawa penggaris kayu.



“Shhh.” Hana refleks menoleh. Ada anak laki-laki setinggi kulkas—mungkin lebih tinggi—yang sedang bersedekap sok keren sambil bersandar di tembok. Memerhatikannya.



“Kau bicara padaku?”
“Entahlah. Menurutmu?”



Hana menoleh ke sekitarnya. “Hanya ada aku di sini.”



Pria itu menghela napas. “Yah, apa boleh buat, sepertinya aku memang harus bicara padamu.”



Hana memandangnya dengan aneh. Pria itu bicara seolah-olah Hana lah yang ingin diajak bicara.



“Mau ketemu seseorang?” Ia bertanya.
“Tidak, aku habis tes masuk.”
“Oh, kalau begitu selamat datang.”
“Aku belum tentu diterima.”
“Konyol sekali. Sebodoh apa kau sampai berpikir begitu?”
“Tadi kepala sekolah bilang….”
“Omong kosong,” potongnya, terlalu kencang. Rasanya seperti suara berat pria itu menggema di seluruh lorong. Hana menengok kelas di kanan kirinya dengan cemas. Namun sepertinya hanya gadis itu saja yang merasa demikian, sebab alih-alih diam, sang pria malah terus bicara dengan volume suara yang sama, “Sekolah ini butuh uang, kau tahu. Sekalipun lembar jawabannya kau remas dan kau lemparkan ke muka si kepsek itu, kau tetap akan diterima. Tenang saja, dia cuma menakut-nakuti.”



“Benarkah?”
“Sejuta persen benar,” katanya, mendenguskan napas dari hidung sambil menjentikkan jari, ekspresif sekali. “Aku tak percaya ada yang tertipu dengan aktingnya. Hah.”



Saat itu, tiba-tiba saja penghapus papan tulis melayang dari lubang jendela ke kepalanya.



“Aww.”
“Heh! Tutup mulut besarmu itu!” Gurunya berteriak dari dalam kelas. “Sudah dihukum masih saja berisik! Berani bicara lagi kugantung kau di tiang bendera!”



Selama diteriaki, pria itu hanya meringis sambil mengusap-usap belakang kepalanya. Baru setelah omelan gurunya selesai, ia mengulurkan ibu jarinya lewat celah jendela, “Oke, oke,” katanya, mengangguk-angguk berlebihan. “Sori, Pak.”



Pria itu menoleh kembali pada Hana—yang masih memandangnya, kelihatan syok berat.



“Kenapa mukamu begitu? Kaget?” katanya, masih bisa-bisanya tersenyum.



Hana segera meletakkan telunjuknya di depan mulut, menyuruh pria itu diam. Namun sang pria malah tersenyum geli, “Khawatir padaku?”



Hana melotot melihat betapa tidak tahu dirinya pria jangkung ini. Dan entah apa yang lucu, dia malah tersenyum semakin lebar. “Tadi kau bilang siapa namamu?” tanyanya tiba-tiba.



“Aku belum bilang siapa namaku,” jawab Hana, hanya lewat mimik mulut saja.
“Oh, pantas aku tidak ingat.”
“Demi Tuhan, bisakah kau pelankan suaramu?” Hana mendesis. 
“Baiklah,” katanya, kali ini tanpa suara. “Siapa namamu?”
“Kenapa aku harus memberi tahu namaku?”
“Karena kau akan dapat keuntungan besar.”



Hana mengernyit, “Oh, ya?”, mengangkat tangannya, “Apa?”



Pria itu menyunggingkan senyum tengil sambil mendorong poninya ke belakang, “Namaku.”



Kalau saja mereka tidak sedang berada di antara setengah lusin ruang kelas, terlebih pada saat kegiatan belajar-mengajar sedang berlangsung, Hana pasti sudah tergelak geli. Namun karena tak bisa melakukan itu, Hana menelan tawanya dan hanya bisa mengeluarkan dengusan kecil dan menggeleng, menolak tawaran itu mentah-mentah, “Aku tidak tertarik.”



“Belum,” ralat si pria. Menggoyangkan telunjuk dengan ekspresi ‘jangan menyimpulkan terlalu cepat’.



Hana memutar mata. Dia tak pernah punya teman seajaib ini di sekolah lamanya, dan sejujurnya bicara dengan manusia semacam ini saat kau sedang banyak pikiran sungguh merupakan ide yang bagus. Hana sesaat lupa akan kegelisahannya.



“Baiklah,” kata Hana, “Senang ngobrol denganmu. Tapi aku harus pergi.”
“Sayang sekali.”
“Ya.” Hana mengangguk. “Dengar, aku tak tahu apa yang membuatmu dihukum tapi…” ia mengangkat kepalan tangannya, “semangat.”



“Tenang saja, aku cuma harus berdiri sampai istirahat.”



Dari caranya bicara, dan betapa santainya ia menanggapi omelan sang guru, Hana dapat menyimpulkan bahwa pria ini pasti sudah biasa dihukum. Dengan kata lain, dia pasti agak bermasalah. Tipikal siswa yang harus kau hindari jika mau selamat. Dan Hana sedang benar-benar ingin selamat, sudah terlalu banyak drama di hidupnya.



“Baiklah, aku pergi sekarang.”
“Sampai ketemu besok,” balasnya, mengerlingkan mata. “Tak sabar melihatmu dengan seragam.”
“Aku belum tentu akan diterima.”
“Oh ya? Kalau ternyata diterima mau beri tahu namamu?”



Pria bersuara berat ini jelas bukan orang yang mudah menyerah. Hana bersedekap sambil menelengkan kepala, agak terpukau dengan kegigihannya. Ia memandang sang pria, kemudian mengangkat bahu, “entahlah,” katanya. Setelah saling tersenyum canggung satu sama lain, Hana menganggukkan kepalanya dan berlalu.



Hana sudah berjalan melewati dua kelas saat tanpa diduga-duga pria itu berteriak, “Hei, mau kuajak berkeliling dulu?” Lorong itu amat sepi hingga suaranya terdengar lebih nyaring dari yang seharusnya. Mata Hana terbeliak dan jantungnya serasa terhenti. 



Perlahan-lahan gadis itu berbalik. Memandang pria sinting tersebut dengan alis berjingkat. Tak mengerti ke mana perginya kewarasannya itu. ‘Tutup mulutmu!’ batin Hana. Namun karena mereka tak memiliki ikatan batin, maka alih-alih tutup mulut, si pria malah kembali berteriak, “Kita bisa minum cappuccino blend di kantin. Aku punya banyak waktu.”



Belum sempat Hana mencerna ajakan itu, keranjang spidol sudah melayang duluan dari lubang jendela. Diikuti oleh kemunculan gurunya dari balik pintu, yang tanpa basa-basi langsung menarik telinga sang pria, marah-marah sambil menyeretnya masuk kembali ke dalam kelas. Hana bisa melihat kepala-kepala guru lain menyembul dari pintu kelas di sepanjang lorong, bahkan dari jendela pun para siswa ikut mengulurkan kepala mereka dan mengintip penasaran. Hana merasa malu sekali.



Dan di situasi sekacau itu, pria jangkung tersebut (dia bahkan lebih tinggi dari gurunya) masih saja melambai dan tersenyum pada Hana. Hana bergeming di tempatnya, memandangnya takjub tak percaya. Lalu saat menyadari tatapan siswa dan guru-guru lain kini tertuju padanya, ia segera membungkuk menyembunyikan wajahnya dan berbalik pergi.



Selama berjalan ke ruang kepala sekolah, Hana tak bisa berhenti menggelengkan kepalanya. Entah semua murid Gwaha sesinting itu atau memang Hana saja yang sangat beruntung bisa bertemu dengan yang seperti itu. Pria itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Tapi setidaknya sakit kepala lebih baik daripada gelisah.




**********




Hana diterima. Begitu ia memasuki ruang kepala sekolah, ibunya langsung menyodorkan setumpuk pakaian yang diplastik rapi, nampak sumringah sekali.



“Apa ini?” tanya Hana bingung.
“Seragammu,” jawab sang Ibu.
“Sera—tunggu, maksudnya aku diterima?” Hana menoleh kepada kepala sekolah yang berdiri di seberang ruangan. “Maaf, boleh kutahu berapa nilaiku?”



Wanita itu berdeham, “Ehm, yah, bagus,” katanya, nampak tak begitu yakin, seolah Park Sonsengnim tak benar-benar mengoreksi kertas jawabannya. Hana bahkan tak tahu siapa sebenarnya Park Sonsengnim itu. Dengan matanya, Hana menggeledah seisi ruangan, namun satu-satunya orang lain di ruangan ini hanyalah bapak-bapak tua berkepala plontos di samping dispenser yang sedang tekun memelototi korannya.



“Besok kau sudah bisa masuk,” tambah sang kepala sekolah. “Kelas 10-1, ada di lorong sebelah kanan. Bel berbunyi pukul 7 pagi.” Wanita itu menjabat tangannya. “Selamat datang di Gwaha. Sebaiknya jangan sampai telat di hari pertamamu.”



Hana mengangguk, dalam hati berharap ia tak salah pilih sekolah.




**********




Wooseok masuk ke dalam ruangan dan langsung membanting pintu, lantas berteriak pada Ghana sampai urat lehernya keluar, “Tolol! Kenapa kau bilang begitu!”



“Lalu harus bilang apa! Kalian harusnya berterima kasih padaku! Akulah yang membuat para pimpinan berubah pikiran! Tahu tidak sih ucapan kalian tadi lebih tolol dariku! Kau menjanjikan mesin waktu, Howon bilang dia bisa memindahkan gudang penyimpanan senjata nuklir kita ke dimensi lain.”



“Hei, ideku bagus. Lokasi kita tak akan terdeteksi.” Howon membela diri. “Lagi pula itu tidak mustahil.”



“Memang tidak mustahil. Tapi dikasih waktu 10 tahun pun belum tentu kita bisa buat! Kalau manusia es itu kan sudah jelas ada. Kita tinggal teliti DNA-nya dan presentasikan di depan pimpinan.”



“Dan menurutmu aku akan memberi izin untuk itu?” bentak Wooseok sengit. “Sudah kubilang dia temannya adik angkatku! Aku tak mungkin menyerahkannya pada pimpinan.”



“Kita tak akan menyerahkannya pada pimpinan! Kita cuma butuh DNA dan detail serum yang disuntikkan kepadanya,” seru Ghana. Wooseok terlihat berkeringat. Ghana tersenyum getir padanya, “Kau tahu kan tubuhnya bisa begitu karena disuntikkan sesuatu? Dari hasil check-up yang kulihat di komputermu, jelas-jelas ada warna biru kristal dalam DNA-nya. Dia tidak terlahir begitu. Ada manusia sejenius Newton di luar sana, hidup di generasi yang sama dengan kita, yang sudah menyuntikkan formula entah-apa ke dalam tubuh anak itu.”



“Jadi tugas kita hanyalah menemukan formula entah-apa itu yang dibuat oleh seseorang secerdas Newton, mempresentasikannya di depan para profesor dan berbohong mengatakan bahwa kitalah penciptanya,” kata Howon, bermaksud sarkastik. Tapi diam-diam mengakui bahwa itu adalah ide yang sangat bagus.



“Benar. Itu akan jadi pekerjaan yang sangat mudah dibanding mencari tahu bagaimana caranya membuka portal menuju dimensi lain.” Ghana menyindir. Howon mendengus padanya.



“Tidak,” tolak Wooseok. “Aku sudah janji pada ibu anak ini. Aku tidak akan meneliti anaknya di luar kepentingan. Dan ini benar-benar sudah jauh di luar kepentingan! Aku harus membawanya pulang hari ini.” Wooseok menyambar kunci mobilnya dan berjalan tergesa-gesa menuju pintu. “Dia tinggal di luar kota. Kalian tak akan menemukannya. Tak akan kubiarkan kalian membahayakan keselamatannya.”



“Kita tidak akan membahayakan keselamatannya!” Ghana mengejar. “Kita cuma ingin tahu formula apa yang disuntikkan ke dalam tubuhnya. Cuma itu! Wooseok, please. Tanpa dia, apa yang harus kita lakukan?”



“Kalian semua ilmuwan! Buatlah sesuatu!”
“Kita sudah berusaha.”
“Usaha lebih keras lagi!”



Wooseok membuka pintu. “Wooseok! Kau benar-benar ketua yang tidak bertanggung jawab! Selama ini ide yang keluar dari otakmu semuanya sampah, tapi karena kau ketua tim, kami terpaksa menuruti semua kemauan bodohmu itu begitu saja! Tapi sekarang, kalau kau berani keluar dari ruangan ini maka jangan pikir kami tak bisa menendangmu keluar dari tim. Ambillah waktu dan pikirkan ini, bawa manusia es itu ke sini dan…” Wooseok membanting pintu. “Dasar bajingan.”




**********




Wooseok berjalan tergesa-gesa menyusuri lobi dengan jubah putihnya yang berkibar-kibar. Karena presentasi pagi ini diadakan terbuka, banyak ilmuwan senior yang menonton dan alhasil semakin banyaklah bahan cemoohan mereka. Di sepanjang jalan, dari lantai laboratoriumnya sampai di lobi ini, ada saja yang tertawa atau menghinanya secara terang-terangan. Sudah kubilang menerima anak bau kencur di sini adalah kesalahan besar. Lihat dia. Hahaha. Wooseok juga mendengar seseorang meledek menyuruhnya bersimpuh di kakinya—sebagaimana ia bersimpuh meminta kesempatan terakhir pada pimpinannya tadi. Untuk apa meminta kesempatan lagi kalau sudah tahu akan gagal? Dia mau mempermalukan diri sebanyak apa lagi, sih? Benar-benar.



Anak muda memang tak punya otak.



Aku akan menyembunyikan mukaku kalau jadi dia.



Heh, pecundang. Besok buatlah  masker yang tak bisa dilepas!



Menyedihkan.



Olok-olokkan itu baru berhenti begitu ia sampai di basement. Wooseok melesakkan diri ke dalam mobil, memeluk kemudi dan menyandarkan kepalanya di sana. Tubuhnya gemetar. Dunianya seakan runtuh. Walaupun cemoohan sudah tak terdengar di telinganya, tapi semua yang terjadi di ruangan presentasi tadi masih memenuhi kepalanya seperti uap. Dia (beserta seluruh timnya) baru saja dimaki habis-habisan oleh pimpinan lab.



“Kau pikir siapa yang butuh alat tak berguna semacam itu!” hardik salah satu pimpinan. Wooseok tak berani mendongak jadi ia tak tahu siapa yang sedang bicara. “Berhentilah membuat rongsokan!"



“Bukankah bulan lalu kau juga mengacaukan presentasimu, Lee Wooseok-ssi? Serummu gagal. Gorilanya mati. Kau tahu kerugian lab karena percobaanmu? Kau kira kita bisa dapat gorila sebesar Groye dengan mudah?” timpal pimpinan yang lain. Ada sekitar enam orang profesor yang mengevaluasi penemuan bulanan setiap tim. Lima orang laki-laki dan seorang perempuan, semuanya sudah di atas 50 tahun dan hampir semuanya memiliki mulut yang pedas. Tapi tak ada yang sepedas Profesor Jung.



“Dari semua tim yang ada, sejauh ini kalian yang paling mengecewakan,” kata Profesor Jung. “Padahal aku sengaja memasukkan anggota-anggota termuda di Stein Lab ke dalam satu tim. Aku punya ekspektasi yang besar dari kalian. Anak muda itu biasanya lebih kreatif dan ambisius, tapi sepertinya aku salah memandang kedua sifat itu sebagai kelebihan. Dari kalian, aku belajar bahwa tidak semua yang kreatif dan ambisius itu selalu bagus. Kalian adalah contoh sempurna dari kegagalan. Jangan salah, kalian memang sangat kreatif, saking kreatifnya sampai-sampai penemuan kalian tak ada yang berguna, juga sangat ambisius, selama 3 bulan terakhir kalian memperoleh peringkat pertama sebagai penyumbang pengeluaran terbesar di Stein Lab. Luar biasa.”



“Jadi,” tambah Profesor Jung, jarinya berjalan menelusuri nama anggota tim dalam dokumennya, lalu tersenyum menyeringai, “Berhubung kalian semua belum menjadi pekerja tetap di sini, maka kurasa tak butuh surat pemecatan. Kalian bisa langsung mengosongkan lab kalian saja.”



Wooseok langsung lemas dan pucat seperti kehabisan darah. Ia bisa mendengar kesiap dan isakan rekan setimnya. Salah seorang dari timnya, Howon, langsung bersimpuh di depan para pimpinan dan memohon diberi kesempatan terakhir. Profesor Jung mendengus padanya, lalu menyuruh mereka semua keluar. Namun Wooseok, Ghana dan dua rekan wanitanya yang lain malah ikut bersimpuh di sebelah Howon. Mereka mengumbar janji-janji hebat nyaris tak masuk akal sampai akhirnya Ghana mencetuskan gagasan tentang ‘manusia es’ begitu saja. Profesor Jung dan pimpinan lainnya tertawa terbahak-bahak, jelas meremehkan hal tersebut, hingga tiba-tiba saja Profesor Baek yang duduk di ujung dan tak banyak bicara berdiri. Dengan suara rendah, ia bertanya apakah ucapan Ghana bisa dipertanggungjawabkan atau cuma omong kosong saja. Ghana menjawab bahwa ia bersungguh-sungguh dan tim mereka pun diberi 1 bulan tambahan lagi.



Wooseok merogoh ponsel di sakunya dan melihat ada 16 pesan masuk dari Bunda Sejeong. Semuanya menanyakan hal yang sama—kondisi anaknya, Taeyong. Hanya dengan membaca pesan itu saja, Wooseok bisa mendengar betapa khawatirnya Bunda Sejeong sekarang.



Wooseok mengetikkan balasan, “Sudah sembuh. Akan kubawa pulang hari ini.” Namun belum sempat ia menekan tombol kirim, Hana meneleponnya.



“Halo,” sapa Wooseok, berusaha terdengar baik-baik saja.
[Oppa, kau tak akan percaya! Aku sudah diterima di sekolah baru]” kata Hana antusias. [SMA Gwaha. Bukan sekolah bagus, sih. Tapi kelihatannya ibuku bahagia sekali jadi aku ikut bahagia.]



“Wah, selamat, Han.” Wooseok mencengkeram kemudinya. Karena terlalu sedih, reaksi tubuhnya jadi kurang baik. Dahinya terus berkeringat, matanya berair dan ia merasa mau muntah.



[Omong-omong, bagaimana presentasimu?]
“Um, yah, lancar.”
[Syukurlah,] kata Hana tulus. [Jadi, apa kau bisa membawa Taeyong pulang hari ini? Ingatannya sudah normal lagi, tapi dia jelas sedang agak marah padaku.]



Wooseok tak langsung menjawab. Kalimat ‘iya, aku akan membawanya pulang sekarang’ sudah ada di ujung mulutnya, tapi yang keluar malah kalimat yang lain, “Maaf, Han. Tapi aku…. harus membawanya ke lab lagi.”



[Loh? Ada apa?]
“Sepertinya kondisinya belum stabil. Kita harus menahannya di sini beberapa hari lagi.”
[Bukankah kau bilang banyak ilmuwan psiko di lab-mu? Kau yakin Taeyong akan baik-baik saja?]
“Tentu,” kata Wooseok, suaranya bergetar. “Ada aku.”
[Baiklah,] jawab Hana, sepenuhnya percaya. [Oppa, kututup teleponnya, ya. Jangan lupa makan. Kalau mau jemput Taeyong, kabari saja aku.]



“Oke.”



Sambungan pun terputus. Wooseok kembali menatap layar ponselnya, menghapus pesan yang nyaris ia kirimkan kepada Bunda Sejeong dengan jemari gemetar dan mengetikkan kalimat baru.



Dia masih belum siuman. Aku akan berusaha semampuku.



Kirim.





TBC

Comments

Popular Posts