Freeze #11 (I love you)
Baik Hana maupun Taeyong
sama-sama tak menyebut soal kejadian semalam saat mereka sarapan keesokan
paginya. Keduanya bersikap seolah tidak saling kenal. Jika saja ibu Hana tidak
menyuruh mereka makan bersama, sudah pasti keduanya akan sarapan di kamar masing-masing.
“Aku mengundang temanku ke sini.”
Hana berkata tiba-tiba, tepat setelah keluhan ibunya soal mesin cuci yang mulai
rusak berhenti. “Yah, tadinya aku berencana jalan-jalan dengan seseorang, tapi
kelihatannya dia sibuk sekali.” Hana melirik Taeyong dengan jengkel. “Lagi pula
pelajaran sainsku ketinggalan satu bab. Dan setelah dipikir-pikir, kurasa
belajar dengan teman sekolahku jauh lebih bermanfaat daripada jalan-jalan dengan
orang yang tak tahu terima kasih.”
Ibu Hana mencium gelagat
permusuhan antara dua anak di depannya tapi ia tak berkomentar. Di lain sisi, Taeyong
mendengus. Itu alasan yang konyol,
pikirnya. Kenapa tidak belajar dari
Wooseok Hyung saja? Dia jelas-jelas ilmuwan. Hana yang mendengar dengusan
mencibir itu praktis berpaling pada Taeyong dan menatapnya tak suka.
Taeyong balas menatapnya, lebih
tak suka. Walaupun semalam ia sudah bertekad untuk minta maaf, tapi entah
mengapa begitu melihat Hana pagi ini (yang bicara dengan nada sok soal teman
sekolah dan menyebutnya tak tahu terima kasih), rasa kesalnya malah muncul
lagi.
Saat tatapan benci mereka semakin
intens, suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar. Hana langsung berdiri dan
bergegas membukakan pintunya. ‘Teman’ yang dimaksudnya sudah datang. Taeyong
tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Dia sudah bisa menebak dari aura
menyebalkan di belakang punggungnya.
“Ibu, ini temanku, Lucas.” Ibu
Hana menoleh dan langsung berdiri, memberikan sambutan hangat seperti biasa.
“Teman sekelas, ya?” tanyanya
antusias.
“Bukan, sih, tapi kelasnya persis
di depan kelasku.”
“Begitu? Memang pelajarannya
sama?”
“Tentu saja sama. Kita kan
sama-sama kelas 10. Lagi pula rumahnya dekat sini.”
“Oh ya? Di mana?” Ibu Hana
menoleh pada Lucas, yang berdiri menjulang di samping Hana. Namun pria itu tak
memerhatikan. Matanya yang besar tak lepas dari Taeyong, terkagum-kagum seperti
anak kecil.
Hana menyikut perutnya hingga
pria itu tersadar. “Ibuku tanya rumahmu di blok apa?” katanya, mengulangi
pertanyaan sang ibu.
“Rumahku?” Lucas terkejut dan
langsung menoleh pada Ibu Hana, “Blok F Nomor 9. Ada di sana,” ia menunjuk ke Utara,
“Dekat danau. Cat putih.”
“Ohh.. rumah itu sudah lama
sekali kosong. Kau pasti baru pindah, ya?”
“Benar. Keluargaku baru pindah dari
Hongkong tahun lalu.”
“Pantas saja.”
Tahun lalu, kehidupan Hana sedang
sangat berantakan. Ibunya koma dan dia menghabiskan beberapa bulan di rumah
keluarga Lee dan sisanya di rumah singgah di Mungyeong. Jadi, saat Lucas pindah
ke sini, rumahnya sedang kosong dan tak terawat seperti rumah hantu. Walaupun
tinggal berdekatan, wajar saja mereka tak saling kenal lebih awal.
“Dan ini…” Hana mengenalkan
Taeyong dengan enggan, “saudara jauhku.”
Taeyong mendelik pada Hana. Saudara jauh? Ia memutar mata. Oh terserah! Lalu kembali fokus pada
makanannya. Mengabaikan kehadiran Lucas sama sekali.
“Dia memang orangnya lucu, suka
bercanda, jadi sori sudah membuatmu bingung kemarin,” tambah Hana.
Taeyong mendelik lagi. Sementara
Lucas langsung mengangguk-angguk dengan muka berbinar seolah dibohongi Taeyong
adalah sebuah kehormatan.
“Tak masalah,” kata Lucas. Dia
berdiri di samping Taeyong, kelihatan gugup dan bergairah seolah sedang fanmeeting dengan artis favoritnya. Dia
tersenyum lebar sekali dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. “Senang
bertemu denganmu,” katanya. Taeyong menatap tangan itu, lalu tanpa ragu-ragu
mengangkat tangannya juga. Hana sontak terbeliak. Ia segera menyambar tangan
Lucas dan menariknya ke tempat duduk.
“Duduklah! Sarapan bersama kami.”
Hana menyambar piring dan gelas dengan gaduh, membuat Lucas terkejut.
“Tapi aku belum salaman..”
“Tidak usah!!” Hana menjerit.
Semua orang di meja makan
terkejut. Apalagi Lucas.
Sudut bibir Taeyong tertarik
membentuk seringaian. Hana melotot padanya seolah berkata ‘apa yang kau
lakukan’. Tapi Taeyong mengabaikannya. Aku
tak salah, kan? Toh cowok tengil itu duluan yang mau menyentuhku. Biar saja dia
rasakan sendiri sensasinya!
Hana lantas duduk di sebelah
Lucas, kemudian mereka mulai mengobrol tentang sekolahnya. Taeyong yang tak
mengerti dengan topik itu secara otomatis terasingkan. Pembicaraan itu
lama-lama memudar di telinganya dan ia merasa meja ini makin lama makin panjang,
dan jaraknya dengan semua orang makin lama makin jauh. Sekalipun sudah berusaha
untuk memahami pembicaraan, pada akhirnya Taeyong tetap saja menyerah dan menarik
diri. Pikirannya mengembara ke mana-mana dan baru kembali ke meja makan begitu
Hana menyinggung soal ‘Lucas akan membantuku belajar’. Benar-benar omong kosong, pikirnya. Bagaimana bisa cowok petantang petenteng begitu mengerti sains?
“Kurasa sekolah lamaku melongkap
materi tentang daur biogeokimia,” kata Hana. “Aku benar-benar bengong saat
lihat soalnya. Tapi untung saja Lucas bilang dia paham materi itu dan bersedia
mengajariku.” Lucas mengangguk-angguk, tapi ekspresinya benar-benar meragukan.
“Memang di kelasmu muridnya bodoh
semua ya sampai harus minta tolong anak kelas lain? Cowok seperti dia memangnya
ngerti apa, sih? Dia bahkan tak bawa buku. Apa yang mau kalian pelajari?” gumam
Taeyong, matanya menatap tajam pada Lucas—yang malah balik menatapnya dengan
senyum lebar, tidak nampak keberatan sama sekali.
Hana menggelengkan kepala dan memandang
ibunya, seolah sedang berkata ‘lihat betapa tidak sopannya dia’. Ibu Hana
mengerti tatapan itu dan menarik napas, hendak menegur Taeyong, tapi begitu ia
melirik Lucas, ia langsung berubah pikiran. Wanita itu mengernyit,
bertanya-tanya dalam hati kenapa dia tak bawa buku, dan mendadak berada di
pihak Taeyong.
“Dia benar, Han. Kenapa temanmu
tak bawa buku?”
Saat Hana membuka mulutnya, suara
klakson panjang khas mobil Wooseok terdengar—Wooseok tak akan turun dari mobilnya barang sedetik pun jika tidak ada
alasan penting. Taeyong pun berdiri tanpa mengacuhkan Hana. Ia hanya
menoleh pada Nyonya Kim seolah wanita itu adalah satu-satunya orang di ruangan
ini, “Aku akan tanya Wooseok Hyung bagaimana caranya betulkan mesin cuci.”
Ibu Hana
langsung tersenyum sambil memegangi dadanya. Nampak terharu sekali.
“Terima
kasih,” katanya manis. Rasanya, sekalipun Taeyong pada akhirnya tak bisa membetulkan
mesin cucinya, Ibu Hana tetap akan berterima kasih dan mengagumi pria itu
sepenuh hati. Sebab menurutnya, seorang Taeyong (yang tak tahu-menahu soal
mesin cuci) memiliki inisiatif untuk menawarkan bantuan saja sudah manis sekali.
Taeyong
melirik Hana sekilas, kemudian berkata dengan sinis, “Entah apa yang akan
kalian pelajari tapi yah… selamat belajar,” lalu berjalan keluar.
“Woah, dia
keren sekali,” gumam Lucas.
“Keren?” Hana
menoleh padanya tak habis pikir. “Kau sadar tidak sih dia menghinamu?”
“Tapi kan dia
tak salah, Han. Aku memang tak bawa buku.”
“Kenapa kau tak
bawa buku?”
“Aku sudah
cari tapi tak ada,” kata Lucas enteng. Ia menyumpit sepotong ayam goreng ke
piringnya lalu mengusulkan dengan tampang cerah, “Apa sebaiknya belajarnya
besok saja? Ayo jalan-jalan!”
“Lucas ya
ampun! Aku mau belajar!”
“Ini hari
Minggu.”
“Dua bulan
lagi sudah kenaikan kelas!!”
“Benar. 60
hari itu waktu yang lama.”
“Bagaimana
jika aku tidak naik kelas!!”
“Aku akan
tidak naik kelas bersamamu.”
“Jangan
bercanda! Kau sudah janji semalam!” seru Hana. “Kau sudah janji mau
mengajariku.”
“Iya, sih.
Tapi kan…”
“Kita akan
belajar,” tandas Hana final. Sang ibu yang duduk persis di depan Hana memandang
mereka berdua dengan heran, kemudian menggelengkan kepala dan berdiri sambil
membawa piring kotor. Lucas tampak sangat meragukan di matanya. Mustahil
rasanya membayangkan pria itu mengajari anaknya soal apa pun. Apalagi sains.
**********
Taeyong merasa
lebih tenang begitu tiba di lab. Dia duduk di kursi putar dengan lima buah
plester di kepalanya, semuanya tersambung dengan kabel putih panjang yang
menjuntai hingga ke komputer Ghana. Pada semua orang di lab, Taeyong berkeluh
kesal tentang kehidupannya sepanjang hari kemarin sampai pagi tadi, soal Lucas
yang menyebalkan, soal Hana yang jauh lebih menyebalkan.
“Uh, Lucas?
Bukankah itu nama lain dari Lucifer?” cetus Howon.
“Apa itu
Lucifer?”
“Dalam tradisi
Yudeo-Kristen, Lucifer merupakan sosok malaikat agung yang jatuh dari surga
karena memberontak melawan Tuhan,” jelas Howon seraya membenarkan letak
kacamatanya.
“Intinya dia
iblis.” Ghana menyahut dari balik komputernya.
Taeyong
terbeliak. “Jadi maksud kalian Hana berteman dengan iblis?”
“Bisa jadi.”
Ghana tertawa. Howon ikut cekikikan. Semua orang nampak terhibur sekali melihat
wajah cemas Taeyong dan terus mempermainkannya.
Wooseok
memutar mata dengan bosan. “Kau tak boleh percaya dengan semua yang mereka
katakan. Dalam bahasa Afrika-Amerika, Lucas artinya cahaya.” Wooseok menatap
Ghana dan Howon dengan pandangan mencela, “bukan iblis.”
“Yeah, oke…
terserah. Yang pasti aku benar-benar benci.” Taeyong mendengus. “Harusnya aku
yang mengajarkan sains padanya. Harusnya aku yang mengajarkan daur begokimia
itu.”
“Kalau begitu
ajarkanlah padanya! Aku akan mengajarimu lalu kau bisa mengajarinya.”
“Sungguh?”
“Ya, tentu!”
sahut Wooseok. “Tapi masalahnya aku tak ingat ada materi seperti itu di SMA.”
Ia menoleh pada keempat rekannya—yang dengan kompak menggeleng tak tahu menahu.
“Kau yakin
namanya Begokimia?” tanya Wooseok skeptis.
“Aku juga tak
tahu.” Taeyong putus asa. “Ya ampun! Lihat betapa payahnya aku! Sebut
nama materinya saja tidak bisa apalagi mengajari Hana.”
“Oh, maksudnya
daur biogeokimia,” kata Howon tiba-tiba, baru saja mengecek di internet. Ia
menggulirkan jemarinya di atas layar, menelaah semua informasi dalam website
tersebut, kemudian mengangguk seolah sudah menghapal semuanya. “Ini mudah. Aku
bisa ajari.”
“Yang benar?”
“Iya.”
“Hebat!”
Taeyong nampak bergairah. Nyaris melompat berdiri dari kursinya jika saja Maria
tidak menahan pundaknya dari belakang.
“Oke, masalah
Hana sudah selesai. Aku hanya perlu berdoa semoga Lucas tidak mengajarkan
apa-apa padanya. Tapi ada masalah lain.” Semua penghuni lab menoleh, memerhatikan
Taeyong penuh simpati, berpikir kenapa anak ini banyak sekali masalahnya. “Apa
ada dari kalian yang mengerti mesin cuci?”
“Mesin cuci?”
ulang Wooseok heran.
“Ya. Mesin
cuci di rumah Hana airnya tidak lancar.”
“Wow. Apa
Nyonya Kim menyuruhmu melakukan ini?” Wooseok nampak tak terima. Ada nada
menuduh dalam suaranya.
“Tidak. Tidak,
aku cuma… mau bantu.” Suara Taeyong terus mengecil. Semua orang di lab
memandangnya dengan aneh, kenapa kau
harus peduli dengan mesin cuci orang lain? “Kalau kalian tidak tahu tidak
masalah, kok. Tak usah menatapku begitu.”
“Ya ampun, dia
polos sekali. Kalau aku punya anak perempuan, aku akan nikahkan anak ini
dengannya.”
“Lebih baik
kau cari calon buatmu dulu,” sahut Jia. Ghana melotot padanya sementara yang
lain tertawa.
Taeyong
mendecak. “Aku serius, apa yang salah dari membantu…”
“Calon
mertuamu?” sela Wooseok, memandangnya usil. “Kau pasti sangat menyukai Hana,
ya?”
Taeyong tak
langsung menjawab. Ia memikirkan perasaannya selama beberapa saat sebelum memutuskan
untuk menggeleng, “Dibanding suka, aku justru kesal sekali padanya akhir-akhir
ini.”
“Ya ampun,
kenapa sih dia terus terang sekali?” Maria menggeram gemas.
“Kesal
kenapa?” tanya Wooseok serius. “Karena dia dekat dengan Lucas?”
Taeyong
mengangkat bahu, menolak mengakui hal itu. “Aku cuma kangen kami yang dulu,
saat yang ada hanya aku dan dia, dan kamar kecilku di gedung terlarang.
Sekarang semuanya sudah beda. Dia punya kehidupan baru dengan orang-orang baru,
dan aku tak suka. Aku tak suka melihatnya… tak bersamaku.” Taeyong bisa
merasakan dadanya bergemuruh.
“Aku percaya
Lucas dan Hana cuma berteman.” Wooseok berusaha menghibur.
“Sebelum ada
Lucas, aku sudah jadi temannya duluan.”
“Aku mengerti.
Tapi masa hanya karena Hana berteman denganmu duluan dia jadi tak boleh punya
teman lain?”
“Aku tak
bilang dia tak boleh punya teman lain,” kata Taeyong. “Aku cuma berharap dia lebih sayang padaku.”
Ghana, Maria
dan Jia tanpa aba-aba ber-ooh panjang, sementara Wooseok dan Howon saling
berpandangan dengan jijik.
**********
Mobil Wooseok
baru memasuki komplek perumahan Hana pukul 7 malam. Tak seperti biasanya, hari
ini justru Taeyong lah yang sengaja berlama-lama di lab. Ia takut jika ia
pulang lebih awal, Lucas masih ada di dalam rumah dan ia terpaksa harus
melihatnya lagi. Sangat tidak nyaman melihatnya, sungguh. Apalagi saat Taeyong
tahu pria itu lebih unggul darinya dalam berbagai hal.
“Trims,” kata Taeyong singkat sambil membuka kunci pintu mobil. Namun Wooseok segera
menekan tombol otomatis di sebelahnya hingga pintunya terkunci lagi.
Taeyong
mengerutkan kening, “Apa?”
“Aku punya
sesuatu untukmu.”
Kerutan di
kening Taeyong makin dalam. Terlebih saat Wooseok mengulurkan badannya ke jok
belakang dan mengambil sebuah kotak. Ia mengulurkan kotak itu pada Taeyong.
“Bukalah,”
suruhnya.
Perlahan,
Taeyong membuka kotaknya dan melihat sebuah gelang yang
tampak didatangkan langsung dari masa depan. Warnanya perak seperti besi, tapi
saat Taeyong mengangkatnya, gelang itu ternyata ringan sekali. Ada segaris kaca
plastik yang melingkar di tengahnya. Taeyong memerhatikan benda itu selama
beberapa saat sebelum menoleh pada Wooseok tak mengerti.
“Gelang? Kau
kasih aku gelang?”
“Pakailah dan
kau akan mengerti.”
Meski keheranan,
Taeyong tetap menuruti perintah Wooseok dan memakainya. Ia menunggu, memandang
ke depan dan ke samping, lalu memandang gelangnya lagi. Tak ada yang terjadi.
Tak ada sesuatu yang muncul tiba-tiba. Tak ada hal spesial yang ia
rasakan. Tak ada perubahan. Tak ada apa-apa.
Melihat
Taeyong kebingungan, Wooseok mendenguskan tawa, lalu mengulurkan tangannya.
“Mau jabat tangan denganku?”
“Yeah?”
Taeyong menjabatnya dengan wajah penuh tanda tanya. “Okay, kurasa ini terlalu
lama,” katanya setelah lewat 5 detik.
“Tidak.”
“Begitu?
Memangnya ini gelang penahan dingin atau apa?” gurau Taeyong.
“Entahlah, belum
kuberi nama,” balas Wooseok. “Tapi kuharap kau menamainya dengan sesuatu yang
lebih futuristik. Cold holder, atau bracecold?”
“Wow, tunggu!
Itu artinya…”
“Aku masih
menggenggammu. Coba pikir sendiri apa artinya.”
“Kau tidak
kedinginan?”
“Tidak.”
“Serius?”
“Ya.”
Mata Taeyong
perlahan-lahan membelalak. “A-apa ini artinya aku sembuhhhh???”
“Aku tak yakin
kau bisa menyebutnya begitu. Maksudku, kau tetap dingin. Namun gelang ini
menahannya di dalam tubuhmu. Jadi…”
“Ya ampun!!
Aku sembuhhhh!!!” teriak Taeyong. Jelas tak mendengarkan.
Wooseok
menghela napas penuh rasa sabar, “Okay, aku mohon padamu dengarkan aku! Aku
senang melihatmu begini. Tapi kau harus tahu, aku membuat gelang ini hanya
dalam waktu semalam. Aku belum tahu apa kekurangan dari alat ini jadi...”
Taeyong
nampaknya tak begitu peduli dengan semua perkataan Wooseok dan langsung
melompat untuk memeluknya.
“Kau manusia
terkeren di dunia. Kalau aku punya anak perempuan aku pasti sudah menikahkannya
denganmu!”
Wooseok
menepuk-nepuk punggung Taeyong sambil tertawa. “Kau belajar terlalu banyak dari
anak-anak di lab.”
**********
Taeyong
memasuki rumah dengan wajah semringah. Ia mendengar suara di dapur dan langsung
menghampirinya tanpa peduli apa suara itu berasal dari Hana atau ibunya. Yang
pria itu butuhkan sekarang hanyalah seseorang untuk berbagi kebahagiaan.
Begitu Taeyong
mendekat, ia mengetahui bahwa seseorang tersebut adalah Hana. Sedang berdiri
membelakanginya sambil mengaduk cokelat panas di konter dapur.
“Hei,” kata
Taeyong.
Hana berbalik.
“Hei,” katanya.
Taeyong
benar-benar lupa akan pertengkaran kemarin—atau pagi ini—ia langsung bicara
dengan penuh semangat. “Ada sesuatu yang mau kutunjukkan padamu.”
Namun
nampaknya Hana belum lupa. Ia memandang Taeyong tanpa minat, kemudian
menggeleng sambil mengangkat gelas cokelatnya. “Aku agak sibuk. Harus belajar.”
“Bukankah kau
sudah belajar dari pagi?”
“Tidak. Dia tiba-tiba
ditelepon atau apalah… harus latihan baseball.”
Hana mendengus membayangkan betapa buruknya acting Lucas. Kalau memang pria itu
tidak mau mengajarinya, kenapa kemarin malam ia setuju untuk datang ke rumahnya?
Tadi, setelah sarapan, persisnya ketika Hana membuka bukunya, tiba-tiba Lucas
mengangkat ponselnya yang tidak berdering sama sekali, lalu mulai bicara
sendiri… ‘ohhh, oke, oke... aku segera ke sana’. Ia lantas bicara panjang lebar, memberikan
alasan yang tak masuk akal kepada Hana. Hana tentu saja tak percaya, tapi apa
gunanya menahan pria itu di sini. Jadi dia hanya mengangguk dan Lucas pun
buru-buru pergi.
“Bagus,” cetus
Taeyong refleks. Senyumnya melebar.
“Bagus?” Hana memicing
padanya. “Aku bisa tak naik kelas dan kau bilang itu bagus?”
Taeyong
tersadar dan langsung menggelengkan kepala, kemudian berusaha meralat ucapannya.
“Tidak, tidak… Maksudku, bagus aku pulang tidak terlalu malam, jadi aku bisa
mengajarimu.”
Hana tersenyum
pahit, “Yeah, tentu,” katanya, lantas berjalan begitu saja melewati Taeyong
menuju kamarnya. Namun Taeyong tak tinggal diam. Ia menangkap tangan Hana
dengan cekatan, “Han, aku bisa. Seorang Hyung di lab sudah mengajariku. Sekarang
aku sudah paham soal daur biogeokimia.” Taeyong bangga sekali begitu berhasil
menyebutkan ‘biogeokimia’. Ia butuh 20 menit sendiri hanya untuk mengejanya.
Hana nampak
terkejut, bukan karena ucapan Taeyong, melainkan hal lain. “Kenapa aku
tidak merasakannya?” tanya Hana penuh antisipasi. “Kenapa aku tidak merasa
dingin?”
“Ah, benar!”
Taeyong tersenyum semringah lagi. “Itu yang mau kukatakan, Han.” Ia menunjukkan
gelangnya. “Wooseok Hyung membuatkan ini untukku.”
“Oh, astaga!”
Hana membekap mulutnya. Ia menatap Taeyong dengan takjub dan jelas sekali pupil
matanya melebar. “Ini luar biasa. Ya ampun, aku bahagia sekali untukmu.
Selamat.”
“Terima
kasih.” Melihat reaksi Hana yang seperti itu, Taeyong jadi sepuluh kali lipat
lebih bahagia. “Jadi bagaimana? Mau kuajari sekarang? Tentang
daur biogeokimia?”
“Kau sungguh
mengerti?”
“Ya. Aku sudah
menghapal daur fosfor, daur sulfur, daur air dan fungsinya untuk bumi. Aku
menghapal semuanya saat orang-orang makan siang.”
Hana merasa
benar-benar tidak enak. Ia bergeming, memandangi Taeyong, berpikir kenapa cowok
ini mau menghapal semua itu hanya untuknya? Hana merasa Taeyong memperlakukannya
terlalu spesial, dan perasaan itu membuatnya tersipu sendiri.
“Han?”
“Oh.” Hana
tersadar. “Yeah, aku.. akan ambil bukunya dulu. Kau tunggu di meja depan saja.
Kita belajar di sana.”
“Sebenarnya
aku punya tempat belajar yang lebih bagus.”
“Oh, ya? Di
mana?”
“Di atap?”
kata Taeyong ragu.
“Atap?” ulang
Hana kaget. “Memangnya kita bisa duduk di atap?”
“Ya. Ada
bagian datar di sebelah kiri.” Taeyong menunjuk ke atas, ke area di atas
kulkas. “Kalau kau mau, aku akan mengeceknya dulu. Akan kubersihkan kalau
ternyata tertutup salju.”
Hana merasa
aneh sekali karena Taeyong yang baru menetap 3 hari lebih mengetahui seluk
beluk rumah ini daripada pemiliknya sendiri.
Karena Hana
tak kunjung menjawab, Taeyong pun bertanya dengan hati-hati. “Apa kau takut
ketinggian?”
“Tidak.”
“Kalau begitu
kita sepakat?”
“Ya, ya
tentu.”
“Hebat. Aku
akan lihat ke atas.”
“Dan aku akan
ambil bukunya.”
“Bagus.”
“Ya.”
**********
“Terkait daur
nitrogen, sebelumnya kau harus tahu dulu dalam nitrogen terdapat senyawa
organik seperti protein dan urea, juga senyawa anorganik seperti nitrat, nitrit
dan amonia. Tahapan terjadinya daur nitrogen persis seperti yang tertulis di
bukumu ini,” kata Taeyong, menunjuk gambar di buku Hana. “Pertama nitrogen
ditransfer dari atmosfer ke dalam tanah, kemudian selanjutnya yang akan
berperan adalah makhluk hidup. Misalnya kalau ada hewan atau tanaman yang mati,
maka…”
Taeyong dengan
serius menjelaskan, menunjuk gambar di bukunya dan bicara tanpa putus. Hana
diam-diam menoleh memandangnya, terpesona luar biasa. Taeyong sudah
mengajarinya banyak sekali. Buku catatannya sudah penuh dengan tulisan-tulisan
dan buku paketnya warna-warni dengan stabilo. Taeyong menggunakan bahasa yang lebih
mudah dipahami ketimbang bahasa di buku. Juga menambahkan informasi tambahan yang tak tertulis di sana.
Mereka (fosfor) sebenarnya dikelompokkan jadi dua, yang ini dan ini (ia menunjuk
air dan tanah) disebut senyawa fosfat
anorganik, dan ini (hewan dan tumbuhan)
disebut senyawa fosfat organik.
Sebenarnya kelangsungan bumi itu tergantung
sekali pada daur biogeokimia. Kalau siklus ini hancur, maka tamatlah kita.
Setelah
selesai menjelaskan, Taeyong menoleh pada Hana dan tanpa sengaja hidung mereka
beradu. Hana terkejut dan menarik kepalanya, begitu pun Taeyong. Wajah mereka
merona sekali dan keduanya tertawa malu. Tak sadar kalau ternyata jarak mereka
sedekat itu.
“Terima
kasih,” kata Hana pelan, bergeser menjauh. “Kau hebat sekali.”
“Itu bukan
apa-apa.” Taeyong mengusap tengkuknya.
“Tidak,
sungguh, kau mengagumkan. Maksudku, ini tidak mudah dan kalau seandainya Lucas
benar-benar memahami materi ini dan mengajariku tadi pagi, semua yang kau
pelajari tak akan ada gunanya.”
“Tidak, Han,
sungguh, aku suka belajar. Lagi pula Hyung-ku di lab bilang kalau di dunia ini tak
ada ilmu yang sia-sia. Aku senang sekali bisa mengetahui semua siklus dan
senyawa yang ada di alam.” Taeyong menoleh pada Hana sambil tersenyum lembut, “Semua
ini berkatmu. Makasih, ya.”
Hana langsung
berpaling, tubuhnya bergetar dan mukanya makin merah lagi. “Untuk apa terima kasih padaku!”
Taeyong
tertawa pelan, tak mengalihkan pandangannya dari Hana. Dia manis sekali kalau
sedang malu-malu. Taeyong merasa pengorbanannya mempelajari fosfor dan nitrogen
dan keseluruhan daur biogeokimia ini terbayar lunas.
“Okay,
berhubung situasinya bagus, aku akan minta maaf dengan benar,” kata Hana
tiba-tiba. Ia memutar tubuhnya dan menatap Taeyong dengan serius. “Maafkan aku
karena tak bisa tepati janji. Harusnya aku menolak ajakan Lucas untuk makan
Sushi tapi aku agak… kau tahu, terbuai? Rasanya lama sekali sejak terakhir aku
punya teman sekolah, dan harus kuakui dia memang menyenangkan, dan sangat lucu,
dan…” Taeyong mulai jengah, “Tidak, tidak, dengarkan aku. Aku berpikir pada
akhirnya kau akan kembali ke Mungyeong dan aku akan sendirian lagi. Dan aku tak
mau kehilangan Lucas. Aku tak mau kehilangan teman sekolahku. Jadi aku berpikir,
oh aku akan makan sushi dengannya lalu pulang secepat mungkin dan makan malam
lagi denganmu. Tapi ternyata kami lupa waktu.”
Taeyong
memutar mata. Fakta bahwa Lucas membuat Hana lupa waktu membuatnya makin kesal
lagi. “Oke intinya?”
“Intinya aku
menyesal,” sahut Hana. “Maaf sudah membuatmu kecewa dan maaf karena tidak
mendahulukan janjiku padamu sebelum jalan dengannya.”
“Kau
dimaafkan,” balas Taeyong tanpa berpikir. “Reaksiku kemarin juga berlebihan. Seharusnya aku tidak menyuruhmu enyah. Itu kasar sekali. Lagian ini rumahmu.”
“Okay, jadi
kita sudah baikan?”
“Yeah.”
“Bagus.
Sekarang, walau agak telat, sesuai janjiku, aku akan bacakan komik untukmu.”
Mata abu-abu
Taeyong yang selalu nampak dingin itu langsung membelalak dan berbinar seperti
kristal. “Sungguh?”
“Ya. Tentu.
Atau kau mau baca sendiri? Sepertinya kau sudah sangat fasih sekarang,” goda
Hana.
“Tadi aku cuma
menghapal gambar senyawanya, Han,” kata Taeyong merana. “Kemampuan membacaku masih
payah. Please, bacakan untukku!”
Hana terkikik,
lalu mengeluarkan gulungan komik Spider Man
seri 14 dari saku celananya. Ia sudah menyiapkannya di meja belajar sejak
kemarin lusa dan barusan, sembari mengambil buku sainsnya, tanpa memikirkan
apa-apa ia langsung menyambar komik itu dan memasukkannya ke kantong. Insting
yang bagus sekali, karena ternyata komiknya terpakai.
“Kau yakin
tidak apa-apa? Bukankah besok kau sekolah?”
“Ya, besok aku
sekolah, tapi tidak masalah. Ini cuma 1 seri, tidak akan lama. Aku akan
langsung tidur setelah ini.”
Taeyong
mengangguk. "Baiklah."
Hana pun mulai
membaca dan Taeyong mencondongkan kepalanya untuk melihat gambarnya. “Dalam satu minggu, kalian akan datang ke
sini dan menjadi pahlawan super. Ini adalah presentasi lisan. Laporan lisan.
Masing-masing dari kalian akan maju ke depan kelas sebagai karakter. Kalian
akan menggambarkan siapa karakter kalian dan apa yang kalian lakukan. Kalian
bisa mengarang karakternya sendiri atau menggunakan salah satu yang nyata, yang
suka muncul di sekitar Madison Avenue, misalnya. Kalian bisa tentukan sendiri
mau jadi karakter baik atau jahat. Tapi kalian harus menceritakan kenapa
karakter kalian seperti itu dan apa arti kekuatan kalian bagi kalian. Kalian
bahkan bisa jadi mutan kalau mau. Terakhir, jika butuh bantuan, datanglah padaku. Ada pertanyaan?”
“Yeah, Han.
Aku ada.” Taeyong mengangkat tangannya. Hana terkekeh pelan. Pertanyaan tadi
diajukan oleh guru di kelas Peter Parker kepada muridnya. Namun Taeyong
nampaknya terlalu terbawa suasana.
“Dan
pertanyaanmu adalah?” tanya Hana.
“Apa kau
kedinginan?”
Hana
mengerutkan kening, “Yah, lumayan, ini kan musim dingin. Memangnya
kenapa? Apa kau kedinginan juga? Apa kita sebaiknya turun saja?”
“Tidak, tidak,
maksudku, mungkin sebaiknya kau duduk lebih… dekat… padaku. Kau tidak lupa,
kan? Aku sudah… kau tahu, normal. Dan kurasa, dengan begitu aku bisa… lihat
gambarnya… lebih jelas,” kata Taeyong kaku.
“Okay.” Hana menggeser
posisinya. “Sekarang bagaimana?”
Taeyong
beringsut semakin dekat lagi. “Yeah, sempurna.”
Hana tak tahu
apa ia bisa membaca dalam kondisi seperti ini. Jantungnya berdebar kencang
sekali dan mukanya terasa panas. Taeyong duduk terlalu dekat dengannya. Jika ia
menggerakkan punggungnya sedikit saja, ia akan mengenai dada pria itu.
Sambil menahan
debaran jantungnya, Hana lanjut membaca. Walau awalnya canggung, namun
tak butuh waktu lama, mereka mulai tenggelam kembali dalam cerita.
“Clifford, Sayang, aku pergi dulu, teriak
ibunya dari bawah… Terserah, gumam Clifford dari tempat tidur. Ia menatap
langit-langit, membayangkan betapa miripnya karakteristik Spider Man dengan
teman sekelasnya, Peter, dan perlahan-lahan semuanya mulai jelas. Peter yang pecundang dan kutu buku tiba-tiba menjadi jagoan. Dia handal bermain basket dan jago berkelahi, cowok kurus itu bahkan mampu mengalahkan Clifford yang bertubuh jauh lebih besar darinya dengan begitu mudah, semuanya setelah ia digigit laba-laba saat kunjungan ke lab. Whoa,
gumamnya tak percaya, pada akhirnya semua renungan panjangnya berakhir dalam
satu kesimpulan.”
Hana menutup
komiknya dan baru sadar dengan posisi mereka sekarang. Ia benar-benar tengah
bersandar nyaman di dada Taeyong dan dagu pria itu persis ditumpangkan di
puncak kepalanya.
Hana
perlahan-lahan mendongakkan kepala dan ternyata Taeyong pun tengah menunduk
menatapnya.
“Clifford
sudah tahu jati diri Peter,” kata Taeyong, lebih seperti gumaman. Matanya sayu
sekali dan dia terlihat seperti malaikat di bawah cahaya bulan.
“Yeah.”
“Seri
selanjutnya akan seru sekali.”
“Benar.”
Mereka saling
bertatapan selama beberapa saat sebelum akhirnya Taeyong merendahkan wajahnya
dan mencium bibir Hana.
**********
Wooseok
terhuyung menuju nakas. Ia sudah mengabaikan kira-kira 10 panggilan, namun
dering ponselnya tak kunjung berhenti. Siapapun peneleponnya itu sungguh keras
kepala.
“Halo?” kata
Wooseok serak, tanpa mampu melihat nama peneleponnya terlebih dahulu. Ini masih
jam setengah 2 pagi dan matanya serasa direkatkan dengan lem super.
[LEE
WOOSEOK!!! Aku tahu Taeyong sudah siuman! Cepat bawa dia pulang sekarang juga!!!]
Itu suara Bunda Sejeong. Wooseok serta merta terbelalak.
“D-dari mana
kau tahu?”
[Jadi itu
benar? Taeyongku sudah siuman? Oh, syukurlah! Aku tak bisa tidur berhari-hari
karena memikirkannya. Aku nyaris gila malam ini karena merindukan anakku!]
Wooseok mengusap
mukanya sambil mengumpat pelan. Dia baru saja dijebak.
[Kenapa kau
membohongiku! Beraninya kau membohongiku! Di mana dia? Aku mau bicara
dengannya.] Suara Bunda Sejeong semakin lama semakin tinggi. Telinga Wooseok
berdengung pengang.
“Taeyong tak
di sini. Dia di rumah Hana,” katanya sambil mengusap telinga.
[Bawa dia
pulang sekarang juga!]
“Tidak bisa.
Mobilku sedang di bengkel.” Wooseok berbohong. “Aku akan memulangkannya lusa.”
[Kau kira
setelah semua ini aku akan percaya padamu, hah? Dasar! Kuberi kau waktu sampai
besok siang, jika kau tak memulangkan Taeyong, aku bersumpah akan menjemputnya
sendiri.]
Wooseok
menggaruk pelipisnya. Timnya masih membutuhkan Taeyong di lab. Dia tak bisa
memulangkannya dulu. Tapi di sisi lain suara Bunda Sejeong sangat menyeramkan
hingga membuatnya bergidik.
“Kubilang
mobilku di bengkel. Kalau Anda mau Taeyong dibawa pulang dengan bus sih tak
masalah, tapi orang-orang pasti akan menatapnya dengan curiga. Coba pikirkan
risiko dan keselamatannya! Tapi terserah. Itu kan anak Anda.”
[Oh, ilmuwan
pandai! Mengaranglah sesukamu! Aku tak akan percaya! Biar kuulangi sekali lagi!
Kau kuberi waktu sampai besok, jika sampai tak datang, maka aku bersumpah akan
ke sana. Dan demi Tuhan, aku tak akan memaafkanmu.]
Wooseok
benar-benar ketakutan, “K-kau tak tahu aku tinggal di mana.”
[Tentu saja
aku tahu. Keluargamu sudah jadi penyumbang rutin untuk rumah singgah selama
berbulan-bulan, mana mungkin aku tak tahu!]
Wooseok
mengusap mukanya lagi. Ia mengerang tanpa suara. Tak punya pilihan lain. “Baiklah.
Iya, iya, akan kubawa dia pulang.”
**********
Hana
berpakaian secepat kilat keesokan harinya dan meninggalkan rumah tanpa sarapan.
Dia ketiduran di atap, dan bangun saat langit sudah cerah. Taeyong turut bangun
bersamanya, tapi mereka tak bicara sepatah kata pun. Hana bahkan tak melirik
Taeyong lagi saat turun karena wajahnya terus tersipu.
Sama seperti
Hana, Taeyong pun sama tersipunya. Ia terbangun dengan Hana di pelukannya. Dan
setiap melihat wajah gadis itu rasanya seperti menciumnya lagi. Akhirnya,
karena tahu mereka sedang sama-sama malu, Taeyong menunggu Hana berangkat
sekolah dulu sebelum turun ke dalam rumah. Ia bertemu ibu Hana di dapur dan
memberitahunya soal gelang dari Wooseok. Wanita itu langsung memeluknya erat
sekali sampai ia tak bisa bernapas.
Setelah itu,
Taeyong mengecek mesin cuci yang rusak dan mencoba membenarkannya—hanya
berbekal kata-kata Howon soal saluran filter dan beberapa video yang
diperlihatkannya di youtube.
“Kau yakin
bisa?” kata ibu Hana, nampak ragu sekali melihat Taeyong menggunakan tang
lancip untuk melepaskan filter.
Walau cara
Taeyong memegang tang kelihatan kikuk, dan pembawaannya sangat tidak meyakinkan,
pada akhirnya filternya berhasil terlepas. Taeyong menoleh pada ibu Hana dan
tersenyum, “Ya, aku bisa. Lihat! Masalahnya di sini.” Taeyong mengacungkan
filternya yang kotor, kemudian menjelaskan, “karena tersumbat kotoran, airnya
jadi tidak lancar.”
Ibu Hana
menepukkan tangannya dengan kagum, “Ya ampun, ternyata begitu.”
“Biar
kubersihkan dulu.”
Setelah
filternya dipasang kembali, ibu Hana langsung mencoba menyalakan mesin cucinya,
lantas bersorak senang begitu melihat airnya mengalir deras seperti sedia kala. Ia
langsung memeluk Taeyong lagi.
Setelah itu,
dengan rasa bangga tiada tara, Taeyong berjalan ke kamarnya untuk mandi. Dia
terus membayangkan betapa sempurnanya 10 jam terakhir ini, betapa bergunanya
dia bagi Hana dan ibunya, serta betapa menyenangkannya bisa leluasa bersentuhan
dengan orang-orang. Ibu Hana tak berhenti mengacak rambutnya dengan gemas
setiap kali ia melakukan apa pun. Walaupun itu agak aneh, tapi Taeyong amat
menikmatinya. Dia amat menikmati cara kerja tubuhnya yang sekarang. Dia amat
menikmati menjadi normal. Taeyong berpikir akan sesempurna apa jadinya andai ia
bisa memberi tahu ibu kandungnya juga soal ini. Taeyong benar-benar tak sabar
untuk kembali ke Mungyeong dan memeluk ibunya dengan layak.
Setelah
menyisir rambut, Taeyong keluar kamar dan terkejut begitu melihat Wooseok di
meja makan. Pria itu tengah bicara serius dengan ibu Hana dan saat mendengar
suara pintu, keduanya serentak menoleh pada Taeyong, menatapnya dengan
pandangan tak biasa.
“Ada apa?”
tanya Taeyong. Perasaannya tidak enak.
Ibu Hana
berdiri dan memeluknya untuk yang ketiga kali dalam sejam terakhir. “Aku akan
sangat merindukanmu.”
Taeyong
mengerutkan kening, kemudian menoleh pada Wooseok menuntut penjelasan. “Kita
akan ke Mungyeong hari ini. Ibumu sudah tahu semuanya.”
Taeyong
terperangah. Mungkin ia memang ingin memberi tahu ibunya soal ini tapi
maksudnya tidak sekarang. Doanya dikabulkan terlalu cepat.
Wooseok
berdiri. “Kalau kau sudah siap, kita akan pergi sekarang.”
“Sebaiknya aku
ganti baju dulu dengan bajuku.” Taeyong menunduk pada kaus birunya. “Ini punya
ayah Hana.”
“Tidak apa-apa
kalau…”
“Tidak, Tante.
Aku akan ganti baju,” sela Taeyong, lantas masuk lagi ke dalam kamarnya.
Taeyong keluar
5 menit kemudian dengan sweter putih dan jins abu-abu pudarnya, lalu sekali
lagi berpamitan pada Ibu Hana.
“Bisakah kita
ke sekolah Hana dulu?” tanya Taeyong begitu mobilnya keluar dari komplek
perumahan. “Aku mau pamit dengannya.”
Wooseok melirik
arlojinya, kemudian mengangguk.
**********
Mereka tiba di
sekolah Hana dan menunggu di mobil sampai jam istirahat. Begitu bel berbunyi,
Taeyong langsung keluar dan berjalan di koridor sementara nyaris semua orang
menoleh padanya dengan tatapan terpana. Taeyong sudah belasan kali membalas
sapaan ‘hei’ malu-malu dari semua gadis yang berpapasan dengannya, lalu
mendengar mereka semua terkikik kegirangan di belakangnya. Taeyong melihat
nyaris semua orang tersenyum padanya dan terheran-heran. Ia heran melihat
betapa ramahnya orang-orang di sekolah Hana, dan gadis itu malah memilih
berteman dengan cowok seperti Lucas.
“Ada yang bisa
kubantu?”
“Atau aku?”
“Aku juga bisa
bantu.”
“Aku juga mau
bantu.”
“Aku saja yang
bantu.”
Sekitar 6
orang gadis tiba-tiba saja berkerumun di sekeliling taeyong dan
bersahut-sahutan menawarkan bantuan.
“Oh, ya, bisa
panggilkan Hana?” kata Taeyong.
“Hana siapa?”
Salah satu dari mereka menyahut.
“Dia kelas
10.”
“Kelas 10-1
atau 10-2?”
Taeyong tak
tahu Hana kelas 10 berapa. “Uh, kelas yang tak ada Lucas-nya?”
“Lucas di
10-1, kan?” Mereka berbisik-bisik selama beberapa saat sebelum akhirnya menoleh
lagi pada Taeyong.
“Kau tunggu di sini saja.
Akan kupanggilkan.”
“Tidak, biar
aku yang panggilkan.”
“Tidak usah,
aku saja.”
“Kelasku
paling dekat dengannya.”
“Aku saja.”
Tiba-tiba
gadis-gadis itu bertengkar dan saling kejar menuju kelas Hana.
**********
Hana mendongak
dari buku catatannya saat suara berisik dari setengah lusin murid perempuan terdengar
dari ambang pintu.
“Mana yang
namanya Hana?” Hana melotot mendengar namanya disebut. Itu adalah anak-anak
kelas 12. Mereka kelihatan bergairah sekali seolah akan mencabik-cabiknya.
“Mana yang
namanya Hana!!” Dia berteriak lebih kencang dan beberapa gadis lain mulai
menyebar untuk memeriksa para siswi di kelas satu per satu.
Hana semakin
ketakutan. Dia menunduk dalam-dalam di balik buku catatannya sambil berpikir
kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Saat itu, salah satu anak kelas 12
tersebut sudah tiba di samping mejanya. Ia merebut buku catatan yang sedang
Hana pakai lalu membalik sampulnya.
“Aku menemukan
Hana,” teriaknya sambil menarik tangan Hana. Semua senior di depan kelas
langsung berhamburan ke mejanya.
“A-apa
salahku?” tanya Hana gelagapan.
“Kau tidak
salah. Kenapa kau berpikir kau salah? Apa kami semenyeramkan itu?”
“Lalu kenapa
kalian mencariku?”
“Ada cowok
cakep yang mencarimu di luar.”
“Rambutnya
putih.”
“Matanya
abu-abu.”
“Dan
berkelip-kelip.”
“Dia bersinar
sekali. Rasanya seperti melihat bintang.”
“Dia lebih
cakep dari cowok di komik! Kau pacarnya, ya? Apa dia punya saudara?”
Mereka terus
bersahut-sahutan tiada henti. Sementara Hana terbelalak dan langsung berdiri.
Ia menyelak mereka semua, kemudian berlari keluar. Gadis itu menemukan Taeyong
sedang berjongkok di koridor di samping lapangan dan langsung menghampirinya.
“Taeyong!”
Taeyong
menoleh dan berdiri.
“Ya ampun apa
yang kau…”
“Han, aku
harus kembali ke Mungyeong!”
“Apa? Kapan?”
“Sekarang.”
Taeyong berpaling pada mobil Wooseok. Hana mengikuti arah pandangnya dan merasakan
hatinya mencelos.
“Apa Bunda
Sejeong sudah tahu?”
“Ya. Wooseok
Hyung ditelepon semalam.”
“Oh.” Hana
benar-benar kehilangan kata. Dia menunduk, berusaha mengendalikan matanya yang
memanas.
Taeyong
mengangkat dagunya. “Han, kita akan bertemu lagi, kan?” katanya, pelan dan
lembut.
“Ya, ya,
tentu.”
“Kau akan ke
Mungyeong atau aku akan ke Seoul lagi, iya kan?”
“Ya.”
“Secepatnya?”
“Ya.”
“Han, aku
sudah merindukanmu.”
“A-aku juga.”
Taeyong
menggenggam kedua tangan Hana erat, kemudian bicara dengan nada memohon. “Han,
bisakah kau cari teman lain? Maksudku, yeah, Lucas mungkin lucu dan
menyenangkan bagimu, tapi… aku tak suka dia,” katanya. “Dan lebih tak suka lagi
melihatmu bersamanya."
”Aku tahu aku tidak punya hak untuk melarangmu. Tapi, Han, kurasa aku menyukaimu,” kata Taeyong lagi. Hana merasa jantungnya menggila. “Sungguh-sungguh
suka. Seperti Peter Parker menyukai Mary
Jane.”
Hana tertegun. Ia merasa lidahnya tertekuk ke belakang sehingga tak bisa berkata-kata. Saat itu Wooseok
membunyikan klaksonnya dan turun dari mobil. Ia mengacungkan ponselnya ke udara
dan melambaikannya seperti sedang mengisyaratkan sesuatu.
“Sepertinya
Wooseok Oppa ingin kau pergi sekarang. Bunda Sejeong mungkin meneleponnya
lagi.”
Taeyong
menggeleng, “Ya, aku tahu. Tapi bisa kau jawab aku dulu?”
“Jawab apa?”
“Aku mau jadi
pacarmu. Kau mau jadi pacarku?”
Taeyong bicara
dengan suara lembut dan wajah tersipu. Hana terkejut sekali sampai kehilangan kata.
Jantungnya bekerja sangat gaduh sampai Hana merasa mau pingsan. Sekujur tubuhnya bergetar. Dan saat Hana hendak menjawab, Wooseok berteriak dari kejauhan. Menyuruh Taeyong segera kembali atau mengancam
akan menghajarnya.
“Oke, baiklah,
tak usah dijawab. Aku mengerti. Itu konyol. Hanya karena apa yang terjadi semalam
tiba-tiba aku jadi sangat percaya diri untuk mengatakan ini. Aku cuma takut tak
punya kesempatan untuk mengutarakan perasasaanku padamu. Karena kata
‘secepatnya’ terdengar sangat tidak meyakinkan di telingaku. Karena tak ada
yang tahu apa yang akan terjadi padaku atau padamu setelah ini. Karena konsep
waktu adalah hal paling abstrak sedunia. Tapi yah, setidaknya kau sudah tahu
perasaanku, kan? Kukira itu saja sudah cukup.”
Taeyong
melepas tangan Hana. Dan mereka bisa mendengar suara Wooseok yang
mengomel-ngomel dari jauh. “Terima kasih sudah mengenalkan semua ini padaku.
Kalau tak ada kau, aku mungkin masih dikurung di kamarku yang dingin di
gedung terlarang. Tak tahu dunia luar. Tak tahu rasanya jatuh cinta.”
Taeyong
tersenyum sedih kepada Hana lalu perlahan-lahan mulai menarik diri. “Sampai
jumpa,” katanya, berjalan mundur beberapa langkah sebelum akhirnya berbalik
badan dan melangkah pergi.
Melihat
pemandangan itu, Hana merasa jantungnya dihujam. Tangannya gemetar dan semua
kata yang sempat hilang dari bibirnya mendadak muncul kembali. “Taeyong!” teriak Hana, lantas
berlari menyusulnya.
Yang dipanggil
menoleh.
“Ya,” jawab
Hana lantang. “Ya, ya, aku mau. Aku mau jadi pacarmu.”
“Sungguh?”
Wajah Taeyong langsung berbinar.
“Ya.”
Wajahnya
semakin berbinar dan berbinar lagi. Taeyong merasa tubuhnya mau meledak. Ia tak
bisa menahan diri. Pria itu langsung merangsek memeluk Hana dan mengangkatnya
dalam satu putaran singkat. Mereka terkekeh dengan muka berseri yang tak bisa
ditutupi.
“Aku akan
pinjam ponsel Eomma.”
“Ide bagus.”
“Kita akan
teleponan.”
“Oke.”
Saat itu
Wooseok benar-benar mengamuk sampai jadi pusat perhatian. Hana dan Taeyong pun
terpaksa berpisah.
“Aku akan
meneleponmu secepatnya, aku bersumpah.”
“Oke.”
“Kau bisa
bacakan komik untukku lewat telepon.”
“Taeyong
pergilah!”
“Aku sayang
padamu.”
“Aku juga.”
TBC
Comments
Post a Comment