Freeze #11 (I love you)




Baik Hana maupun Taeyong sama-sama tak menyebut soal kejadian semalam saat mereka sarapan keesokan paginya. Keduanya bersikap seolah tidak saling kenal. Jika saja ibu Hana tidak menyuruh mereka makan bersama, sudah pasti keduanya akan sarapan di kamar masing-masing.


“Aku mengundang temanku ke sini.” Hana berkata tiba-tiba, tepat setelah keluhan ibunya soal mesin cuci yang mulai rusak berhenti. “Yah, tadinya aku berencana jalan-jalan dengan seseorang, tapi kelihatannya dia sibuk sekali.” Hana melirik Taeyong dengan jengkel. “Lagi pula pelajaran sainsku ketinggalan satu bab. Dan setelah dipikir-pikir, kurasa belajar dengan teman sekolahku jauh lebih bermanfaat daripada jalan-jalan dengan orang yang tak tahu terima kasih.”


Ibu Hana mencium gelagat permusuhan antara dua anak di depannya tapi ia tak berkomentar. Di lain sisi, Taeyong mendengus. Itu alasan yang konyol, pikirnya. Kenapa tidak belajar dari Wooseok Hyung saja? Dia jelas-jelas ilmuwan. Hana yang mendengar dengusan mencibir itu praktis berpaling pada Taeyong dan menatapnya tak suka.


Taeyong balas menatapnya, lebih tak suka. Walaupun semalam ia sudah bertekad untuk minta maaf, tapi entah mengapa begitu melihat Hana pagi ini (yang bicara dengan nada sok soal teman sekolah dan menyebutnya tak tahu terima kasih), rasa kesalnya malah muncul lagi.


Saat tatapan benci mereka semakin intens, suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar. Hana langsung berdiri dan bergegas membukakan pintunya. ‘Teman’ yang dimaksudnya sudah datang. Taeyong tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Dia sudah bisa menebak dari aura menyebalkan di belakang punggungnya.


“Ibu, ini temanku, Lucas.” Ibu Hana menoleh dan langsung berdiri, memberikan sambutan hangat seperti biasa.


“Teman sekelas, ya?” tanyanya antusias.
“Bukan, sih, tapi kelasnya persis di depan kelasku.”
“Begitu? Memang pelajarannya sama?”
“Tentu saja sama. Kita kan sama-sama kelas 10. Lagi pula rumahnya dekat sini.”
“Oh ya? Di mana?” Ibu Hana menoleh pada Lucas, yang berdiri menjulang di samping Hana. Namun pria itu tak memerhatikan. Matanya yang besar tak lepas dari Taeyong, terkagum-kagum seperti anak kecil.


Hana menyikut perutnya hingga pria itu tersadar. “Ibuku tanya rumahmu di blok apa?” katanya, mengulangi pertanyaan sang ibu.


“Rumahku?” Lucas terkejut dan langsung menoleh pada Ibu Hana, “Blok F Nomor 9. Ada di sana,” ia menunjuk ke Utara, “Dekat danau. Cat putih.”


“Ohh.. rumah itu sudah lama sekali kosong. Kau pasti baru pindah, ya?”
“Benar. Keluargaku baru pindah dari Hongkong tahun lalu.”
“Pantas saja.”


Tahun lalu, kehidupan Hana sedang sangat berantakan. Ibunya koma dan dia menghabiskan beberapa bulan di rumah keluarga Lee dan sisanya di rumah singgah di Mungyeong. Jadi, saat Lucas pindah ke sini, rumahnya sedang kosong dan tak terawat seperti rumah hantu. Walaupun tinggal berdekatan, wajar saja mereka tak saling kenal lebih awal.


“Dan ini…” Hana mengenalkan Taeyong dengan enggan, “saudara jauhku.”


Taeyong mendelik pada Hana. Saudara jauh? Ia memutar mata. Oh terserah! Lalu kembali fokus pada makanannya. Mengabaikan kehadiran Lucas sama sekali.


“Dia memang orangnya lucu, suka bercanda, jadi sori sudah membuatmu bingung kemarin,” tambah Hana.


Taeyong mendelik lagi. Sementara Lucas langsung mengangguk-angguk dengan muka berbinar seolah dibohongi Taeyong adalah sebuah kehormatan.


“Tak masalah,” kata Lucas. Dia berdiri di samping Taeyong, kelihatan gugup dan bergairah seolah sedang fanmeeting dengan artis favoritnya. Dia tersenyum lebar sekali dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. “Senang bertemu denganmu,” katanya. Taeyong menatap tangan itu, lalu tanpa ragu-ragu mengangkat tangannya juga. Hana sontak terbeliak. Ia segera menyambar tangan Lucas dan menariknya ke tempat duduk.


“Duduklah! Sarapan bersama kami.” Hana menyambar piring dan gelas dengan gaduh, membuat Lucas terkejut.


“Tapi aku belum salaman..”
“Tidak usah!!” Hana menjerit.


Semua orang di meja makan terkejut. Apalagi Lucas.


Sudut bibir Taeyong tertarik membentuk seringaian. Hana melotot padanya seolah berkata ‘apa yang kau lakukan’. Tapi Taeyong mengabaikannya. Aku tak salah, kan? Toh cowok tengil itu duluan yang mau menyentuhku. Biar saja dia rasakan sendiri sensasinya!


Hana lantas duduk di sebelah Lucas, kemudian mereka mulai mengobrol tentang sekolahnya. Taeyong yang tak mengerti dengan topik itu secara otomatis terasingkan. Pembicaraan itu lama-lama memudar di telinganya dan ia merasa meja ini makin lama makin panjang, dan jaraknya dengan semua orang makin lama makin jauh. Sekalipun sudah berusaha untuk memahami pembicaraan, pada akhirnya Taeyong tetap saja menyerah dan menarik diri. Pikirannya mengembara ke mana-mana dan baru kembali ke meja makan begitu Hana menyinggung soal ‘Lucas akan membantuku belajar’. Benar-benar omong kosong, pikirnya. Bagaimana bisa cowok petantang petenteng begitu mengerti sains?


“Kurasa sekolah lamaku melongkap materi tentang daur biogeokimia,” kata Hana. “Aku benar-benar bengong saat lihat soalnya. Tapi untung saja Lucas bilang dia paham materi itu dan bersedia mengajariku.” Lucas mengangguk-angguk, tapi ekspresinya benar-benar meragukan.


“Memang di kelasmu muridnya bodoh semua ya sampai harus minta tolong anak kelas lain? Cowok seperti dia memangnya ngerti apa, sih? Dia bahkan tak bawa buku. Apa yang mau kalian pelajari?” gumam Taeyong, matanya menatap tajam pada Lucas—yang malah balik menatapnya dengan senyum lebar, tidak nampak keberatan sama sekali.


Hana menggelengkan kepala dan memandang ibunya, seolah sedang berkata ‘lihat betapa tidak sopannya dia’. Ibu Hana mengerti tatapan itu dan menarik napas, hendak menegur Taeyong, tapi begitu ia melirik Lucas, ia langsung berubah pikiran. Wanita itu mengernyit, bertanya-tanya dalam hati kenapa dia tak bawa buku, dan mendadak berada di pihak Taeyong.


“Dia benar, Han. Kenapa temanmu tak bawa buku?”


Saat Hana membuka mulutnya, suara klakson panjang khas mobil Wooseok terdengar—Wooseok tak akan turun dari mobilnya barang sedetik pun jika tidak ada alasan penting. Taeyong pun berdiri tanpa mengacuhkan Hana. Ia hanya menoleh pada Nyonya Kim seolah wanita itu adalah satu-satunya orang di ruangan ini, “Aku akan tanya Wooseok Hyung bagaimana caranya betulkan mesin cuci.”


Ibu Hana langsung tersenyum sambil memegangi dadanya. Nampak terharu sekali.


“Terima kasih,” katanya manis. Rasanya, sekalipun Taeyong pada akhirnya tak bisa membetulkan mesin cucinya, Ibu Hana tetap akan berterima kasih dan mengagumi pria itu sepenuh hati. Sebab menurutnya, seorang Taeyong (yang tak tahu-menahu soal mesin cuci) memiliki inisiatif untuk menawarkan bantuan saja sudah manis sekali.


Taeyong melirik Hana sekilas, kemudian berkata dengan sinis, “Entah apa yang akan kalian pelajari tapi yah… selamat belajar,” lalu berjalan keluar.


“Woah, dia keren sekali,” gumam Lucas.
“Keren?” Hana menoleh padanya tak habis pikir. “Kau sadar tidak sih dia menghinamu?”
“Tapi kan dia tak salah, Han. Aku memang tak bawa buku.”
“Kenapa kau tak bawa buku?”
“Aku sudah cari tapi tak ada,” kata Lucas enteng. Ia menyumpit sepotong ayam goreng ke piringnya lalu mengusulkan dengan tampang cerah, “Apa sebaiknya belajarnya besok saja? Ayo jalan-jalan!”


“Lucas ya ampun! Aku mau belajar!”
“Ini hari Minggu.”
“Dua bulan lagi sudah kenaikan kelas!!”
“Benar. 60 hari itu waktu yang lama.”
“Bagaimana jika aku tidak naik kelas!!”
“Aku akan tidak naik kelas bersamamu.”
“Jangan bercanda! Kau sudah janji semalam!” seru Hana. “Kau sudah janji mau mengajariku.”
“Iya, sih. Tapi kan…”
“Kita akan belajar,” tandas Hana final. Sang ibu yang duduk persis di depan Hana memandang mereka berdua dengan heran, kemudian menggelengkan kepala dan berdiri sambil membawa piring kotor. Lucas tampak sangat meragukan di matanya. Mustahil rasanya membayangkan pria itu mengajari anaknya soal apa pun. Apalagi sains.



**********



Taeyong merasa lebih tenang begitu tiba di lab. Dia duduk di kursi putar dengan lima buah plester di kepalanya, semuanya tersambung dengan kabel putih panjang yang menjuntai hingga ke komputer Ghana. Pada semua orang di lab, Taeyong berkeluh kesal tentang kehidupannya sepanjang hari kemarin sampai pagi tadi, soal Lucas yang menyebalkan, soal Hana yang jauh lebih menyebalkan.


“Uh, Lucas? Bukankah itu nama lain dari Lucifer?” cetus Howon.
“Apa itu Lucifer?”
“Dalam tradisi Yudeo-Kristen, Lucifer merupakan sosok malaikat agung yang jatuh dari surga karena memberontak melawan Tuhan,” jelas Howon seraya membenarkan letak kacamatanya.


“Intinya dia iblis.” Ghana menyahut dari balik komputernya.


Taeyong terbeliak. “Jadi maksud kalian Hana berteman dengan iblis?”


“Bisa jadi.” Ghana tertawa. Howon ikut cekikikan. Semua orang nampak terhibur sekali melihat wajah cemas Taeyong dan terus mempermainkannya.


Wooseok memutar mata dengan bosan. “Kau tak boleh percaya dengan semua yang mereka katakan. Dalam bahasa Afrika-Amerika, Lucas artinya cahaya.” Wooseok menatap Ghana dan Howon dengan pandangan mencela, “bukan iblis.”


“Yeah, oke… terserah. Yang pasti aku benar-benar benci.” Taeyong mendengus. “Harusnya aku yang mengajarkan sains padanya. Harusnya aku yang mengajarkan daur begokimia itu.”


“Kalau begitu ajarkanlah padanya! Aku akan mengajarimu lalu kau bisa mengajarinya.”
“Sungguh?”
“Ya, tentu!” sahut Wooseok. “Tapi masalahnya aku tak ingat ada materi seperti itu di SMA.” Ia menoleh pada keempat rekannya—yang dengan kompak menggeleng tak tahu menahu.


“Kau yakin namanya Begokimia?” tanya Wooseok skeptis.
“Aku juga tak tahu.” Taeyong putus asa. “Ya ampun! Lihat betapa payahnya aku! Sebut nama materinya saja tidak bisa apalagi mengajari Hana.”


“Oh, maksudnya daur biogeokimia,” kata Howon tiba-tiba, baru saja mengecek di internet. Ia menggulirkan jemarinya di atas layar, menelaah semua informasi dalam website tersebut, kemudian mengangguk seolah sudah menghapal semuanya. “Ini mudah. Aku bisa ajari.”


“Yang benar?”
“Iya.”
“Hebat!” Taeyong nampak bergairah. Nyaris melompat berdiri dari kursinya jika saja Maria tidak menahan pundaknya dari belakang.


“Oke, masalah Hana sudah selesai. Aku hanya perlu berdoa semoga Lucas tidak mengajarkan apa-apa padanya. Tapi ada masalah lain.” Semua penghuni lab menoleh, memerhatikan Taeyong penuh simpati, berpikir kenapa anak ini banyak sekali masalahnya. “Apa ada dari kalian yang mengerti mesin cuci?” 


“Mesin cuci?” ulang Wooseok heran.
“Ya. Mesin cuci di rumah Hana airnya tidak lancar.”
“Wow. Apa Nyonya Kim menyuruhmu melakukan ini?” Wooseok nampak tak terima. Ada nada menuduh dalam suaranya.


“Tidak. Tidak, aku cuma… mau bantu.” Suara Taeyong terus mengecil. Semua orang di lab memandangnya dengan aneh, kenapa kau harus peduli dengan mesin cuci orang lain? “Kalau kalian tidak tahu tidak masalah, kok. Tak usah menatapku begitu.”


“Ya ampun, dia polos sekali. Kalau aku punya anak perempuan, aku akan nikahkan anak ini dengannya.”
“Lebih baik kau cari calon buatmu dulu,” sahut Jia. Ghana melotot padanya sementara yang lain tertawa.


Taeyong mendecak. “Aku serius, apa yang salah dari membantu…”


“Calon mertuamu?” sela Wooseok, memandangnya usil. “Kau pasti sangat menyukai Hana, ya?”


Taeyong tak langsung menjawab. Ia memikirkan perasaannya selama beberapa saat sebelum memutuskan untuk menggeleng, “Dibanding suka, aku justru kesal sekali padanya akhir-akhir ini.”


“Ya ampun, kenapa sih dia terus terang sekali?” Maria menggeram gemas.
“Kesal kenapa?” tanya Wooseok serius. “Karena dia dekat dengan Lucas?”


Taeyong mengangkat bahu, menolak mengakui hal itu. “Aku cuma kangen kami yang dulu, saat yang ada hanya aku dan dia, dan kamar kecilku di gedung terlarang. Sekarang semuanya sudah beda. Dia punya kehidupan baru dengan orang-orang baru, dan aku tak suka. Aku tak suka melihatnya… tak bersamaku.” Taeyong bisa merasakan dadanya bergemuruh.


“Aku percaya Lucas dan Hana cuma berteman.” Wooseok berusaha menghibur.
“Sebelum ada Lucas, aku sudah jadi temannya duluan.”
“Aku mengerti. Tapi masa hanya karena Hana berteman denganmu duluan dia jadi tak boleh punya teman lain?”


“Aku tak bilang dia tak boleh punya teman lain,” kata Taeyong. “Aku cuma berharap dia lebih sayang padaku.”


Ghana, Maria dan Jia tanpa aba-aba ber-ooh panjang, sementara Wooseok dan Howon saling berpandangan dengan jijik.



**********



Mobil Wooseok baru memasuki komplek perumahan Hana pukul 7 malam. Tak seperti biasanya, hari ini justru Taeyong lah yang sengaja berlama-lama di lab. Ia takut jika ia pulang lebih awal, Lucas masih ada di dalam rumah dan ia terpaksa harus melihatnya lagi. Sangat tidak nyaman melihatnya, sungguh. Apalagi saat Taeyong tahu pria itu lebih unggul darinya dalam berbagai hal.


“Trims,” kata Taeyong singkat sambil membuka kunci pintu mobil. Namun Wooseok segera menekan tombol otomatis di sebelahnya hingga pintunya terkunci lagi.


Taeyong mengerutkan kening, “Apa?”


“Aku punya sesuatu untukmu.”


Kerutan di kening Taeyong makin dalam. Terlebih saat Wooseok mengulurkan badannya ke jok belakang dan mengambil sebuah kotak. Ia mengulurkan kotak itu pada Taeyong.


“Bukalah,” suruhnya.


Perlahan, Taeyong membuka kotaknya dan melihat sebuah gelang yang tampak didatangkan langsung dari masa depan. Warnanya perak seperti besi, tapi saat Taeyong mengangkatnya, gelang itu ternyata ringan sekali. Ada segaris kaca plastik yang melingkar di tengahnya. Taeyong memerhatikan benda itu selama beberapa saat sebelum menoleh pada Wooseok tak mengerti.


“Gelang? Kau kasih aku gelang?”
“Pakailah dan kau akan mengerti.”


Meski keheranan, Taeyong tetap menuruti perintah Wooseok dan memakainya. Ia menunggu, memandang ke depan dan ke samping, lalu memandang gelangnya lagi. Tak ada yang terjadi. Tak ada sesuatu yang muncul tiba-tiba. Tak ada hal spesial yang ia rasakan. Tak ada perubahan. Tak ada apa-apa.


Melihat Taeyong kebingungan, Wooseok mendenguskan tawa, lalu mengulurkan tangannya. “Mau jabat tangan denganku?”


“Yeah?” Taeyong menjabatnya dengan wajah penuh tanda tanya. “Okay, kurasa ini terlalu lama,” katanya setelah lewat 5 detik.


“Tidak.”
“Begitu? Memangnya ini gelang penahan dingin atau apa?” gurau Taeyong.
“Entahlah, belum kuberi nama,” balas Wooseok. “Tapi kuharap kau menamainya dengan sesuatu yang lebih futuristik. Cold holder, atau bracecold?”


“Wow, tunggu! Itu artinya…”
“Aku masih menggenggammu. Coba pikir sendiri apa artinya.”
“Kau tidak kedinginan?”
“Tidak.”
“Serius?”
“Ya.”


Mata Taeyong perlahan-lahan membelalak. “A-apa ini artinya aku sembuhhhh???”


“Aku tak yakin kau bisa menyebutnya begitu. Maksudku, kau tetap dingin. Namun gelang ini menahannya di dalam tubuhmu. Jadi…”


“Ya ampun!! Aku sembuhhhh!!!” teriak Taeyong. Jelas tak mendengarkan.


Wooseok menghela napas penuh rasa sabar, “Okay, aku mohon padamu dengarkan aku! Aku senang melihatmu begini. Tapi kau harus tahu, aku membuat gelang ini hanya dalam waktu semalam. Aku belum tahu apa kekurangan dari alat ini jadi...”


Taeyong nampaknya tak begitu peduli dengan semua perkataan Wooseok dan langsung melompat untuk memeluknya.


“Kau manusia terkeren di dunia. Kalau aku punya anak perempuan aku pasti sudah menikahkannya denganmu!”


Wooseok menepuk-nepuk punggung Taeyong sambil tertawa. “Kau belajar terlalu banyak dari anak-anak di lab.”



**********



Taeyong memasuki rumah dengan wajah semringah. Ia mendengar suara di dapur dan langsung menghampirinya tanpa peduli apa suara itu berasal dari Hana atau ibunya. Yang pria itu butuhkan sekarang hanyalah seseorang untuk berbagi kebahagiaan.


Begitu Taeyong mendekat, ia mengetahui bahwa seseorang tersebut adalah Hana. Sedang berdiri membelakanginya sambil mengaduk cokelat panas di konter dapur.


“Hei,” kata Taeyong.


Hana berbalik. “Hei,” katanya.


Taeyong benar-benar lupa akan pertengkaran kemarin—atau pagi ini—ia langsung bicara dengan penuh semangat. “Ada sesuatu yang mau kutunjukkan padamu.”


Namun nampaknya Hana belum lupa. Ia memandang Taeyong tanpa minat, kemudian menggeleng sambil mengangkat gelas cokelatnya. “Aku agak sibuk. Harus belajar.”


“Bukankah kau sudah belajar dari pagi?”
“Tidak. Dia tiba-tiba ditelepon atau apalah… harus latihan baseball.” Hana mendengus membayangkan betapa buruknya acting Lucas. Kalau memang pria itu tidak mau mengajarinya, kenapa kemarin malam ia setuju untuk datang ke rumahnya? Tadi, setelah sarapan, persisnya ketika Hana membuka bukunya, tiba-tiba Lucas mengangkat ponselnya yang tidak berdering sama sekali, lalu mulai bicara sendiri… ‘ohhh, oke, oke... aku segera ke sana’.  Ia lantas bicara panjang lebar, memberikan alasan yang tak masuk akal kepada Hana. Hana tentu saja tak percaya, tapi apa gunanya menahan pria itu di sini. Jadi dia hanya mengangguk dan Lucas pun buru-buru pergi.


“Bagus,” cetus Taeyong refleks. Senyumnya melebar.
“Bagus?” Hana memicing padanya. “Aku bisa tak naik kelas dan kau bilang itu bagus?”


Taeyong tersadar dan langsung menggelengkan kepala, kemudian berusaha meralat ucapannya. “Tidak, tidak… Maksudku, bagus aku pulang tidak terlalu malam, jadi aku bisa mengajarimu.”


Hana tersenyum pahit, “Yeah, tentu,” katanya, lantas berjalan begitu saja melewati Taeyong menuju kamarnya. Namun Taeyong tak tinggal diam. Ia menangkap tangan Hana dengan cekatan, “Han, aku bisa. Seorang Hyung di lab sudah mengajariku. Sekarang aku sudah paham soal daur biogeokimia.” Taeyong bangga sekali begitu berhasil menyebutkan ‘biogeokimia’. Ia butuh 20 menit sendiri hanya untuk mengejanya.


Hana nampak terkejut, bukan karena ucapan Taeyong, melainkan hal lain. “Kenapa aku tidak merasakannya?” tanya Hana penuh antisipasi. “Kenapa aku tidak merasa dingin?”


“Ah, benar!” Taeyong tersenyum semringah lagi. “Itu yang mau kukatakan, Han.” Ia menunjukkan gelangnya. “Wooseok Hyung membuatkan ini untukku.”


“Oh, astaga!” Hana membekap mulutnya. Ia menatap Taeyong dengan takjub dan jelas sekali pupil matanya melebar. “Ini luar biasa. Ya ampun, aku bahagia sekali untukmu. Selamat.”


“Terima kasih.” Melihat reaksi Hana yang seperti itu, Taeyong jadi sepuluh kali lipat lebih bahagia. “Jadi bagaimana? Mau kuajari sekarang? Tentang daur biogeokimia?”


“Kau sungguh mengerti?”
“Ya. Aku sudah menghapal daur fosfor, daur sulfur, daur air dan fungsinya untuk bumi. Aku menghapal semuanya saat orang-orang makan siang.”


Hana merasa benar-benar tidak enak. Ia bergeming, memandangi Taeyong, berpikir kenapa cowok ini mau menghapal semua itu hanya untuknya? Hana merasa Taeyong memperlakukannya terlalu spesial, dan perasaan itu membuatnya tersipu sendiri.


“Han?”
“Oh.” Hana tersadar. “Yeah, aku.. akan ambil bukunya dulu. Kau tunggu di meja depan saja. Kita belajar di sana.”


“Sebenarnya aku punya tempat belajar yang lebih bagus.”
“Oh, ya? Di mana?”
“Di atap?” kata Taeyong ragu.
“Atap?” ulang Hana kaget. “Memangnya kita bisa duduk di atap?”
“Ya. Ada bagian datar di sebelah kiri.” Taeyong menunjuk ke atas, ke area di atas kulkas. “Kalau kau mau, aku akan mengeceknya dulu. Akan kubersihkan kalau ternyata tertutup salju.”


Hana merasa aneh sekali karena Taeyong yang baru menetap 3 hari lebih mengetahui seluk beluk rumah ini daripada pemiliknya sendiri.


Karena Hana tak kunjung menjawab, Taeyong pun bertanya dengan hati-hati. “Apa kau takut ketinggian?”


“Tidak.”
“Kalau begitu kita sepakat?”
“Ya, ya tentu.”
“Hebat. Aku akan lihat ke atas.”
“Dan aku akan ambil bukunya.”
“Bagus.”
“Ya.”



**********



“Terkait daur nitrogen, sebelumnya kau harus tahu dulu dalam nitrogen terdapat senyawa organik seperti protein dan urea, juga senyawa anorganik seperti nitrat, nitrit dan amonia. Tahapan terjadinya daur nitrogen persis seperti yang tertulis di bukumu ini,” kata Taeyong, menunjuk gambar di buku Hana. “Pertama nitrogen ditransfer dari atmosfer ke dalam tanah, kemudian selanjutnya yang akan berperan adalah makhluk hidup. Misalnya kalau ada hewan atau tanaman yang mati, maka…”


Taeyong dengan serius menjelaskan, menunjuk gambar di bukunya dan bicara tanpa putus. Hana diam-diam menoleh memandangnya, terpesona luar biasa. Taeyong sudah mengajarinya banyak sekali. Buku catatannya sudah penuh dengan tulisan-tulisan dan buku paketnya warna-warni dengan stabilo. Taeyong menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami ketimbang bahasa di buku. Juga menambahkan informasi tambahan yang tak tertulis di sana.


Mereka (fosfor) sebenarnya dikelompokkan jadi dua, yang ini dan ini (ia menunjuk air dan tanah) disebut senyawa fosfat anorganik, dan ini (hewan dan tumbuhan) disebut senyawa fosfat organik.


Sebenarnya kelangsungan bumi itu tergantung sekali pada daur biogeokimia. Kalau siklus ini hancur, maka tamatlah kita.


Setelah selesai menjelaskan, Taeyong menoleh pada Hana dan tanpa sengaja hidung mereka beradu. Hana terkejut dan menarik kepalanya, begitu pun Taeyong. Wajah mereka merona sekali dan keduanya tertawa malu. Tak sadar kalau ternyata jarak mereka sedekat itu.


“Terima kasih,” kata Hana pelan, bergeser menjauh. “Kau hebat sekali.”
“Itu bukan apa-apa.” Taeyong mengusap tengkuknya.
“Tidak, sungguh, kau mengagumkan. Maksudku, ini tidak mudah dan kalau seandainya Lucas benar-benar memahami materi ini dan mengajariku tadi pagi, semua yang kau pelajari tak akan ada gunanya.”


“Tidak, Han, sungguh, aku suka belajar. Lagi pula Hyung-ku di lab bilang kalau di dunia ini tak ada ilmu yang sia-sia. Aku senang sekali bisa mengetahui semua siklus dan senyawa yang ada di alam.” Taeyong menoleh pada Hana sambil tersenyum lembut, “Semua ini berkatmu. Makasih, ya.”


Hana langsung berpaling, tubuhnya bergetar dan mukanya makin merah lagi. “Untuk apa terima kasih padaku!”


Taeyong tertawa pelan, tak mengalihkan pandangannya dari Hana. Dia manis sekali kalau sedang malu-malu. Taeyong merasa pengorbanannya mempelajari fosfor dan nitrogen dan keseluruhan daur biogeokimia ini terbayar lunas.


“Okay, berhubung situasinya bagus, aku akan minta maaf dengan benar,” kata Hana tiba-tiba. Ia memutar tubuhnya dan menatap Taeyong dengan serius. “Maafkan aku karena tak bisa tepati janji. Harusnya aku menolak ajakan Lucas untuk makan Sushi tapi aku agak… kau tahu, terbuai? Rasanya lama sekali sejak terakhir aku punya teman sekolah, dan harus kuakui dia memang menyenangkan, dan sangat lucu, dan…” Taeyong mulai jengah, “Tidak, tidak, dengarkan aku. Aku berpikir pada akhirnya kau akan kembali ke Mungyeong dan aku akan sendirian lagi. Dan aku tak mau kehilangan Lucas. Aku tak mau kehilangan teman sekolahku. Jadi aku berpikir, oh aku akan makan sushi dengannya lalu pulang secepat mungkin dan makan malam lagi denganmu. Tapi ternyata kami lupa waktu.”


Taeyong memutar mata. Fakta bahwa Lucas membuat Hana lupa waktu membuatnya makin kesal lagi. “Oke intinya?”


“Intinya aku menyesal,” sahut Hana. “Maaf sudah membuatmu kecewa dan maaf karena tidak mendahulukan janjiku padamu sebelum jalan dengannya.”


“Kau dimaafkan,” balas Taeyong tanpa berpikir. “Reaksiku kemarin juga berlebihan. Seharusnya aku tidak menyuruhmu enyah. Itu kasar sekali. Lagian ini rumahmu.”


“Okay, jadi kita sudah baikan?”
“Yeah.”
“Bagus. Sekarang, walau agak telat, sesuai janjiku, aku akan bacakan komik untukmu.”


Mata abu-abu Taeyong yang selalu nampak dingin itu langsung membelalak dan berbinar seperti kristal. “Sungguh?”


“Ya. Tentu. Atau kau mau baca sendiri? Sepertinya kau sudah sangat fasih sekarang,” goda Hana.
“Tadi aku cuma menghapal gambar senyawanya, Han,” kata Taeyong merana. “Kemampuan membacaku masih payah. Please, bacakan untukku!”


Hana terkikik, lalu mengeluarkan gulungan komik Spider Man seri 14 dari saku celananya. Ia sudah menyiapkannya di meja belajar sejak kemarin lusa dan barusan, sembari mengambil buku sainsnya, tanpa memikirkan apa-apa ia langsung menyambar komik itu dan memasukkannya ke kantong. Insting yang bagus sekali, karena ternyata komiknya terpakai.


“Kau yakin tidak apa-apa? Bukankah besok kau sekolah?”
“Ya, besok aku sekolah, tapi tidak masalah. Ini cuma 1 seri, tidak akan lama. Aku akan langsung tidur setelah ini.”


Taeyong mengangguk. "Baiklah."


Hana pun mulai membaca dan Taeyong mencondongkan kepalanya untuk melihat gambarnya. “Dalam satu minggu, kalian akan datang ke sini dan menjadi pahlawan super. Ini adalah presentasi lisan. Laporan lisan. Masing-masing dari kalian akan maju ke depan kelas sebagai karakter. Kalian akan menggambarkan siapa karakter kalian dan apa yang kalian lakukan. Kalian bisa mengarang karakternya sendiri atau menggunakan salah satu yang nyata, yang suka muncul di sekitar Madison Avenue, misalnya. Kalian bisa tentukan sendiri mau jadi karakter baik atau jahat. Tapi kalian harus menceritakan kenapa karakter kalian seperti itu dan apa arti kekuatan kalian bagi kalian. Kalian bahkan bisa jadi mutan kalau mau. Terakhir, jika butuh bantuan, datanglah padaku. Ada pertanyaan?”


“Yeah, Han. Aku ada.” Taeyong mengangkat tangannya. Hana terkekeh pelan. Pertanyaan tadi diajukan oleh guru di kelas Peter Parker kepada muridnya. Namun Taeyong nampaknya terlalu terbawa suasana.


“Dan pertanyaanmu adalah?” tanya Hana.
“Apa kau kedinginan?”


Hana mengerutkan kening, “Yah, lumayan, ini kan musim dingin. Memangnya kenapa? Apa kau kedinginan juga? Apa kita sebaiknya turun saja?”


“Tidak, tidak, maksudku, mungkin sebaiknya kau duduk lebih… dekat… padaku. Kau tidak lupa, kan? Aku sudah… kau tahu, normal. Dan kurasa, dengan begitu aku bisa… lihat gambarnya… lebih jelas,” kata Taeyong kaku.


“Okay.” Hana menggeser posisinya. “Sekarang bagaimana?”


Taeyong beringsut semakin dekat lagi. “Yeah, sempurna.”


Hana tak tahu apa ia bisa membaca dalam kondisi seperti ini. Jantungnya berdebar kencang sekali dan mukanya terasa panas. Taeyong duduk terlalu dekat dengannya. Jika ia menggerakkan punggungnya sedikit saja, ia akan mengenai dada pria itu.


Sambil menahan debaran jantungnya, Hana lanjut membaca. Walau awalnya canggung, namun tak butuh waktu lama, mereka mulai tenggelam kembali dalam cerita.


“Clifford, Sayang, aku pergi dulu, teriak ibunya dari bawah… Terserah, gumam Clifford dari tempat tidur. Ia menatap langit-langit, membayangkan betapa miripnya karakteristik Spider Man dengan teman sekelasnya, Peter, dan perlahan-lahan semuanya mulai jelas. Peter yang pecundang dan kutu buku tiba-tiba menjadi jagoan. Dia handal bermain basket dan jago berkelahi, cowok kurus itu bahkan mampu mengalahkan Clifford yang bertubuh jauh lebih besar darinya dengan begitu mudah, semuanya setelah ia digigit laba-laba saat kunjungan ke lab. Whoa, gumamnya tak percaya, pada akhirnya semua renungan panjangnya berakhir dalam satu kesimpulan.”


Hana menutup komiknya dan baru sadar dengan posisi mereka sekarang. Ia benar-benar tengah bersandar nyaman di dada Taeyong dan dagu pria itu persis ditumpangkan di puncak kepalanya.


Hana perlahan-lahan mendongakkan kepala dan ternyata Taeyong pun tengah menunduk menatapnya.


“Clifford sudah tahu jati diri Peter,” kata Taeyong, lebih seperti gumaman. Matanya sayu sekali dan dia terlihat seperti malaikat di bawah cahaya bulan.


“Yeah.”
“Seri selanjutnya akan seru sekali.”
“Benar.”


Mereka saling bertatapan selama beberapa saat sebelum akhirnya Taeyong merendahkan wajahnya dan mencium bibir Hana.



**********



Wooseok terhuyung menuju nakas. Ia sudah mengabaikan kira-kira 10 panggilan, namun dering ponselnya tak kunjung berhenti. Siapapun peneleponnya itu sungguh keras kepala.


“Halo?” kata Wooseok serak, tanpa mampu melihat nama peneleponnya terlebih dahulu. Ini masih jam setengah 2 pagi dan matanya serasa direkatkan dengan lem super.


[LEE WOOSEOK!!! Aku tahu Taeyong sudah siuman! Cepat bawa dia pulang sekarang juga!!!] Itu suara Bunda Sejeong. Wooseok serta merta terbelalak.


“D-dari mana kau tahu?”
[Jadi itu benar? Taeyongku sudah siuman? Oh, syukurlah! Aku tak bisa tidur berhari-hari karena memikirkannya. Aku nyaris gila malam ini karena merindukan anakku!]


Wooseok mengusap mukanya sambil mengumpat pelan. Dia baru saja dijebak.


[Kenapa kau membohongiku! Beraninya kau membohongiku! Di mana dia? Aku mau bicara dengannya.] Suara Bunda Sejeong semakin lama semakin tinggi. Telinga Wooseok berdengung pengang.


“Taeyong tak di sini. Dia di rumah Hana,” katanya sambil mengusap telinga.
[Bawa dia pulang sekarang juga!]
“Tidak bisa. Mobilku sedang di bengkel.” Wooseok berbohong. “Aku akan memulangkannya lusa.”
[Kau kira setelah semua ini aku akan percaya padamu, hah? Dasar! Kuberi kau waktu sampai besok siang, jika kau tak memulangkan Taeyong, aku bersumpah akan menjemputnya sendiri.]


Wooseok menggaruk pelipisnya. Timnya masih membutuhkan Taeyong di lab. Dia tak bisa memulangkannya dulu. Tapi di sisi lain suara Bunda Sejeong sangat menyeramkan hingga membuatnya bergidik.


“Kubilang mobilku di bengkel. Kalau Anda mau Taeyong dibawa pulang dengan bus sih tak masalah, tapi orang-orang pasti akan menatapnya dengan curiga. Coba pikirkan risiko dan keselamatannya! Tapi terserah. Itu kan anak Anda.”


[Oh, ilmuwan pandai! Mengaranglah sesukamu! Aku tak akan percaya! Biar kuulangi sekali lagi! Kau kuberi waktu sampai besok, jika sampai tak datang, maka aku bersumpah akan ke sana. Dan demi Tuhan, aku tak akan memaafkanmu.]


Wooseok benar-benar ketakutan, “K-kau tak tahu aku tinggal di mana.”


[Tentu saja aku tahu. Keluargamu sudah jadi penyumbang rutin untuk rumah singgah selama berbulan-bulan, mana mungkin aku tak tahu!]


Wooseok mengusap mukanya lagi. Ia mengerang tanpa suara. Tak punya pilihan lain. “Baiklah. Iya, iya, akan kubawa dia pulang.”



**********



Hana berpakaian secepat kilat keesokan harinya dan meninggalkan rumah tanpa sarapan. Dia ketiduran di atap, dan bangun saat langit sudah cerah. Taeyong turut bangun bersamanya, tapi mereka tak bicara sepatah kata pun. Hana bahkan tak melirik Taeyong lagi saat turun karena wajahnya terus tersipu.


Sama seperti Hana, Taeyong pun sama tersipunya. Ia terbangun dengan Hana di pelukannya. Dan setiap melihat wajah gadis itu rasanya seperti menciumnya lagi. Akhirnya, karena tahu mereka sedang sama-sama malu, Taeyong menunggu Hana berangkat sekolah dulu sebelum turun ke dalam rumah. Ia bertemu ibu Hana di dapur dan memberitahunya soal gelang dari Wooseok. Wanita itu langsung memeluknya erat sekali sampai ia tak bisa bernapas.


Setelah itu, Taeyong mengecek mesin cuci yang rusak dan mencoba membenarkannya—hanya berbekal kata-kata Howon soal saluran filter dan beberapa video yang diperlihatkannya di youtube.


“Kau yakin bisa?” kata ibu Hana, nampak ragu sekali melihat Taeyong menggunakan tang lancip untuk melepaskan filter.


Walau cara Taeyong memegang tang kelihatan kikuk, dan pembawaannya sangat tidak meyakinkan, pada akhirnya filternya berhasil terlepas. Taeyong menoleh pada ibu Hana dan tersenyum, “Ya, aku bisa. Lihat! Masalahnya di sini.” Taeyong mengacungkan filternya yang kotor, kemudian menjelaskan, “karena tersumbat kotoran, airnya jadi tidak lancar.”


Ibu Hana menepukkan tangannya dengan kagum, “Ya ampun, ternyata begitu.”


“Biar kubersihkan dulu.”


Setelah filternya dipasang kembali, ibu Hana langsung mencoba menyalakan mesin cucinya, lantas bersorak senang begitu melihat airnya mengalir deras seperti sedia kala. Ia langsung memeluk Taeyong lagi.


Setelah itu, dengan rasa bangga tiada tara, Taeyong berjalan ke kamarnya untuk mandi. Dia terus membayangkan betapa sempurnanya 10 jam terakhir ini, betapa bergunanya dia bagi Hana dan ibunya, serta betapa menyenangkannya bisa leluasa bersentuhan dengan orang-orang. Ibu Hana tak berhenti mengacak rambutnya dengan gemas setiap kali ia melakukan apa pun. Walaupun itu agak aneh, tapi Taeyong amat menikmatinya. Dia amat menikmati cara kerja tubuhnya yang sekarang. Dia amat menikmati menjadi normal. Taeyong berpikir akan sesempurna apa jadinya andai ia bisa memberi tahu ibu kandungnya juga soal ini. Taeyong benar-benar tak sabar untuk kembali ke Mungyeong dan memeluk ibunya dengan layak.


Setelah menyisir rambut, Taeyong keluar kamar dan terkejut begitu melihat Wooseok di meja makan. Pria itu tengah bicara serius dengan ibu Hana dan saat mendengar suara pintu, keduanya serentak menoleh pada Taeyong, menatapnya dengan pandangan tak biasa.


“Ada apa?” tanya Taeyong. Perasaannya tidak enak.


Ibu Hana berdiri dan memeluknya untuk yang ketiga kali dalam sejam terakhir. “Aku akan sangat merindukanmu.”


Taeyong mengerutkan kening, kemudian menoleh pada Wooseok menuntut penjelasan. “Kita akan ke Mungyeong hari ini. Ibumu sudah tahu semuanya.”


Taeyong terperangah. Mungkin ia memang ingin memberi tahu ibunya soal ini tapi maksudnya tidak sekarang. Doanya dikabulkan terlalu cepat.


Wooseok berdiri. “Kalau kau sudah siap, kita akan pergi sekarang.”


“Sebaiknya aku ganti baju dulu dengan bajuku.” Taeyong menunduk pada kaus birunya. “Ini punya ayah Hana.”


“Tidak apa-apa kalau…”
“Tidak, Tante. Aku akan ganti baju,” sela Taeyong, lantas masuk lagi ke dalam kamarnya.


Taeyong keluar 5 menit kemudian dengan sweter putih dan jins abu-abu pudarnya, lalu sekali lagi berpamitan pada Ibu Hana.


“Bisakah kita ke sekolah Hana dulu?” tanya Taeyong begitu mobilnya keluar dari komplek perumahan. “Aku mau pamit dengannya.”


Wooseok melirik arlojinya, kemudian mengangguk.



**********



Mereka tiba di sekolah Hana dan menunggu di mobil sampai jam istirahat. Begitu bel berbunyi, Taeyong langsung keluar dan berjalan di koridor sementara nyaris semua orang menoleh padanya dengan tatapan terpana. Taeyong sudah belasan kali membalas sapaan ‘hei’ malu-malu dari semua gadis yang berpapasan dengannya, lalu mendengar mereka semua terkikik kegirangan di belakangnya. Taeyong melihat nyaris semua orang tersenyum padanya dan terheran-heran. Ia heran melihat betapa ramahnya orang-orang di sekolah Hana, dan gadis itu malah memilih berteman dengan cowok seperti Lucas.


“Ada yang bisa kubantu?”
“Atau aku?”
“Aku juga bisa bantu.”
“Aku juga mau bantu.”
“Aku saja yang bantu.”


Sekitar 6 orang gadis tiba-tiba saja berkerumun di sekeliling taeyong dan bersahut-sahutan menawarkan bantuan.


“Oh, ya, bisa panggilkan Hana?” kata Taeyong.
“Hana siapa?” Salah satu dari mereka menyahut.
“Dia kelas 10.”
“Kelas 10-1 atau 10-2?”


Taeyong tak tahu Hana kelas 10 berapa. “Uh, kelas yang tak ada Lucas-nya?”


“Lucas di 10-1, kan?” Mereka berbisik-bisik selama beberapa saat sebelum akhirnya menoleh lagi pada Taeyong.


“Kau tunggu di sini saja. Akan kupanggilkan.”
“Tidak, biar aku yang panggilkan.”
“Tidak usah, aku saja.”
“Kelasku paling dekat dengannya.”
“Aku saja.”


Tiba-tiba gadis-gadis itu bertengkar dan saling kejar menuju kelas Hana.



**********



Hana mendongak dari buku catatannya saat suara berisik dari setengah lusin murid perempuan terdengar dari ambang pintu.


“Mana yang namanya Hana?” Hana melotot mendengar namanya disebut. Itu adalah anak-anak kelas 12. Mereka kelihatan bergairah sekali seolah akan mencabik-cabiknya.


“Mana yang namanya Hana!!” Dia berteriak lebih kencang dan beberapa gadis lain mulai menyebar untuk memeriksa para siswi di kelas satu per satu.


Hana semakin ketakutan. Dia menunduk dalam-dalam di balik buku catatannya sambil berpikir kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Saat itu, salah satu anak kelas 12 tersebut sudah tiba di samping mejanya. Ia merebut buku catatan yang sedang Hana pakai lalu membalik sampulnya.


“Aku menemukan Hana,” teriaknya sambil menarik tangan Hana. Semua senior di depan kelas langsung berhamburan ke mejanya.


“A-apa salahku?” tanya Hana gelagapan.
“Kau tidak salah. Kenapa kau berpikir kau salah? Apa kami semenyeramkan itu?”
“Lalu kenapa kalian mencariku?”
“Ada cowok cakep yang mencarimu di luar.”
“Rambutnya putih.”
“Matanya abu-abu.”
“Dan berkelip-kelip.”
“Dia bersinar sekali. Rasanya seperti melihat bintang.”
“Dia lebih cakep dari cowok di komik! Kau pacarnya, ya? Apa dia punya saudara?”


Mereka terus bersahut-sahutan tiada henti. Sementara Hana terbelalak dan langsung berdiri. Ia menyelak mereka semua, kemudian berlari keluar. Gadis itu menemukan Taeyong sedang berjongkok di koridor di samping lapangan dan langsung menghampirinya.


“Taeyong!”


Taeyong menoleh dan berdiri.


“Ya ampun apa yang kau…”
“Han, aku harus kembali ke Mungyeong!”
“Apa? Kapan?”
“Sekarang.” Taeyong berpaling pada mobil Wooseok. Hana mengikuti arah pandangnya dan merasakan hatinya mencelos.


“Apa Bunda Sejeong sudah tahu?”
“Ya. Wooseok Hyung ditelepon semalam.”
“Oh.” Hana benar-benar kehilangan kata. Dia menunduk, berusaha mengendalikan matanya yang memanas.


Taeyong mengangkat dagunya. “Han, kita akan bertemu lagi, kan?” katanya, pelan dan lembut.


“Ya, ya, tentu.”
“Kau akan ke Mungyeong atau aku akan ke Seoul lagi, iya kan?”
“Ya.”
“Secepatnya?”
“Ya.”
“Han, aku sudah merindukanmu.”
“A-aku juga.”


Taeyong menggenggam kedua tangan Hana erat, kemudian bicara dengan nada memohon. “Han, bisakah kau cari teman lain? Maksudku, yeah, Lucas mungkin lucu dan menyenangkan bagimu, tapi… aku tak suka dia,” katanya. “Dan lebih tak suka lagi melihatmu bersamanya."


”Aku tahu aku tidak punya hak untuk melarangmu. Tapi, Han, kurasa aku menyukaimu,” kata Taeyong lagi. Hana merasa jantungnya menggila. “Sungguh-sungguh suka. Seperti Peter Parker menyukai Mary Jane.”


Hana tertegun. Ia merasa lidahnya tertekuk ke belakang sehingga tak bisa berkata-kata. Saat itu Wooseok membunyikan klaksonnya dan turun dari mobil. Ia mengacungkan ponselnya ke udara dan melambaikannya seperti sedang mengisyaratkan sesuatu.


“Sepertinya Wooseok Oppa ingin kau pergi sekarang. Bunda Sejeong mungkin meneleponnya lagi.”


Taeyong menggeleng, “Ya, aku tahu. Tapi bisa kau jawab aku dulu?”


“Jawab apa?”
“Aku mau jadi pacarmu. Kau mau jadi pacarku?”



Taeyong bicara dengan suara lembut dan wajah tersipu. Hana terkejut sekali sampai kehilangan kata. Jantungnya bekerja sangat gaduh sampai Hana merasa mau pingsan. Sekujur tubuhnya bergetar. Dan saat Hana hendak menjawab, Wooseok berteriak dari kejauhan. Menyuruh Taeyong segera kembali atau mengancam akan menghajarnya.


“Oke, baiklah, tak usah dijawab. Aku mengerti. Itu konyol. Hanya karena apa yang terjadi semalam tiba-tiba aku jadi sangat percaya diri untuk mengatakan ini. Aku cuma takut tak punya kesempatan untuk mengutarakan perasasaanku padamu. Karena kata ‘secepatnya’ terdengar sangat tidak meyakinkan di telingaku. Karena tak ada yang tahu apa yang akan terjadi padaku atau padamu setelah ini. Karena konsep waktu adalah hal paling abstrak sedunia. Tapi yah, setidaknya kau sudah tahu perasaanku, kan? Kukira itu saja sudah cukup.”


Taeyong melepas tangan Hana. Dan mereka bisa mendengar suara Wooseok yang mengomel-ngomel dari jauh. “Terima kasih sudah mengenalkan semua ini padaku. Kalau tak ada kau, aku mungkin masih dikurung di kamarku yang dingin di gedung terlarang. Tak tahu dunia luar. Tak tahu rasanya jatuh cinta.”


Taeyong tersenyum sedih kepada Hana lalu perlahan-lahan mulai menarik diri. “Sampai jumpa,” katanya, berjalan mundur beberapa langkah sebelum akhirnya berbalik badan dan melangkah pergi.


Melihat pemandangan itu, Hana merasa jantungnya dihujam. Tangannya gemetar dan semua kata yang sempat hilang dari bibirnya mendadak muncul kembali. “Taeyong!” teriak Hana, lantas berlari menyusulnya.


Yang dipanggil menoleh.


“Ya,” jawab Hana lantang. “Ya, ya, aku mau. Aku mau jadi pacarmu.”
“Sungguh?” Wajah Taeyong langsung berbinar.
“Ya.”


Wajahnya semakin berbinar dan berbinar lagi. Taeyong merasa tubuhnya mau meledak. Ia tak bisa menahan diri. Pria itu langsung merangsek memeluk Hana dan mengangkatnya dalam satu putaran singkat. Mereka terkekeh dengan muka berseri yang tak bisa ditutupi.


“Aku akan pinjam ponsel Eomma.”
“Ide bagus.”
“Kita akan teleponan.”
“Oke.”


Saat itu Wooseok benar-benar mengamuk sampai jadi pusat perhatian. Hana dan Taeyong pun terpaksa berpisah.


“Aku akan meneleponmu secepatnya, aku bersumpah.”
“Oke.”
“Kau bisa bacakan komik untukku lewat telepon.”
“Taeyong pergilah!”
“Aku sayang padamu.”
“Aku juga.”



TBC

Comments

Popular Posts