Vampire Bride - Part 1
Ye Eun keluar dari bilik ATM
sambil menghela napas gusar. Ia baru saja mentransfer seluruh uang di
rekeningnya untuk orangtuanya di Jeonnam. Sambil berjalan kembali ke tempat
kerja, Ye Eun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi ibunya.
[Halo, Ye Eun?]
“Ibu, aku sudah kirim uangnya.”
[Ya ampun, tidak usah.]
“Sudah kukirim, Bu.”
[Aduh, anak ini! Ibu beri kabar
soal Yeon Ju bukan untuk membebanimu. Memangnya kau sudah dapat kerjaan baru?]
“Sudah, kok.”
[Ah, syukurlah. Kerja kantoran
juga, kan?]
“Tentu saja,” kata Ye Eun. Ia
baru saja sampai di tempat kerjanya dan masuk lewat pintu belakang. Dan saat
itu, Moon Ji Won (temannya yang berengsek) merasa perlu untuk berteriak. “Heh,
sialan! Dari mana saja kau! Piringnya sudah menumpuk!”
Ye Eun terkejut dan langsung
berkilah kalau-kalau ibunya mendengar, “Ibu kututup teleponnya, ya. Aku sedang
makan di restoran. Pelayannya berisik sekali! Akan kutelepon lagi nanti.
Dadah.” Ye Eun segera memutus sambungan teleponnya dan bertolak pinggang
menatap Ji Won.
“Apa menatapku begitu!” bentak Ji
Won galak. “Harusnya aku yang bertolak pinggang sekarang, dasar!”
“Kan sudah kubilang aku harus
transfer uang,” kata Ye Eun, mengalah. Ia melepas mantelnya dan menggantinya
dengan apron kerja.
“Transfer uang siapa? Gajian juga
belum!”
“Aku minta gajiku bulan ini
dibayar duluan.” Ia menghampiri Ji Won di wastafel dan langsung mencuci
piring-piring kotor yang tersisa.
Ji Won yang tadi menggantikan
kerjaan Ye Eun itu minggir ke konter sambil membuka gulungan lengan kemejanya.
“Benar-benar sudah sinting.” Ia mendengus, menggelengkan kepala. “Moto
hidupmu itu benar-benar ‘apa yang
kuperoleh hari ini, habis untuk hari ini, kebutuhan untuk besok dipikirkan
besok saja’, begitu ya? Dasar tidak ada otaknya.
Mau sampai kapan sih kau hidup begini?”
“Terus harus bagaimana lagi?” Ye
Eun menoleh, mengayunkan piring yang sedang ia cuci sampai busanya terciprat ke
mana-mana. “Yeon Ju belum bayar uang sekolah. Aku tak mau adikku satu-satunya
putus sekolah!”
“Kau harus terus terang pada
orangtuamu.”
“Tidak mungkin,” katanya, kembali
menghadap ke bak cucian. Menggosokkan sponsnya sekuat tenaga.
“Kenapa tidak mungkin?”
“Aku sudah bohong banyak sekali.”
“Kalau begitu mulailah dari
kebohongan yang pertama,” kata Ji Won. “Bilang pada mereka kalau sebenarnya kau
belum lulus kuliah. Katakan kepada mereka kalau kau dengan tololnya cuti
setahun gara-gara tergiur untuk training
di agensi kecil yang tak jelas asal-usulnya, lalu seperti yang sudah teman
baikmu duga, agensi itu bangkrut sebelum kau sempat debut dan akhirnya hidupmu luntang
lantung seperti gelandangan.”
“Moon Ji Won, berhenti membahas
itu!”
“Oh, yang benar saja! Aku tidak
akan berhenti membahasnya sampai akhir hayatku. Aku sudah mengingatkanmu
ratusan kali tapi kau tak mau mendengar. Sudah kubilang kau terlalu tua untuk jadi idol. Jaman sekarang, agensi mencari anak umur 12 tahun bukannya 22. Sekarang lihat akibatnya! Kau
mungkin satu-satunya angkatan kita yang tersisa di kampus.”
“Aku yakin ada orang lain. Lagian
semester depan juga lulus.”
“Kalau kerjaanmu cuma begini,
memangnya mampu bayar kuliah semester depan?”
“Itu urusan nanti.”
“Kau harus memikirkannya dari
sekarang, dasar bodoh!”
“Aku harus pikirkan hidupku untuk
bulan depan dulu!”
“Apa maksudmu?”
“Aku belum bayar sewa apartemen.”
“Ya Tuhan!” gumam Ji Won datar, rasanya ia sudah tidak terkejut lagi.
“Moon Ji Won, berjanjilah padaku!
Kalau nanti aku diusir, izinkan aku tinggal di rumahmu,” kata Ye Eun memelas.
Tangannya berlumuran busa.
“Heh, mana bisa! Kau tahu sendiri
rumahku sekecil apa! Aku punya 5 adik, Shin Ye Eun! Aku tak punya tempat lagi
untukmu.”
“Badanku kan kecil. Aku bisa
tidur di dapurmu.”
“Dasar sinting!” bentak Ji Won.
Ia lantas menggelengkan kepalanya dan mendesah. “Wah, kalau hidupmu
seberantakan ini, satu-satunya jalan keluar hanyalah cari cowok kaya dan ajak
dia menikah.”
“Sekarang siapa yang sinting,
hah?”
“Aku tidak sinting. Sekarang kutanya
padamu, memangnya kau mau hidup untuk apa lagi? Kalau ada cowok yang melamarku
sekarang sih aku pasti akan dengan senang hati meninggalkan pekerjaan ini.”
“Jangan gila, kau Junior Supervisor!”
“Aku tahu tapi aku tak
menikmatinya. Aku tidak tercipta untuk bekerja. Aku tercipta untuk jadi ibu
rumah tangga yang cantik.”
Ye Eun memutar matanya dengan
geli. Kemudian, tak lama setelah itu, alarm di ponselnya berbunyi tepat setelah
ia selesai mencuci piring terakhir di bak cucian. Ye Eun meletakkan piring
itu di rak. “Nah, aku harus pergi lagi,” katanya sambil mengeringkan tangan.
Ji Won menatap sahabatnya itu sambil
menghela napas. “Kau tak boleh keluar tiap 30 menit sekali. Aku harus bilang
apa kalau Manager Yoon tanya! Siapa yang akan masak nasi? Siapa yang akan buang
sampah?”
Ye Eun memakai mantelnya.
“Tolong, ya! Kelasku mulai jam 3.”
Ji Won menggeram, “Kau itu
benar-benar, deh! Sudah kubantu supaya bisa kerja di sini, sekarang kau malah
mencoba membuatku dipecat, ya?”
“Aku akan balik lagi jam 5,”
katanya. “Dadah.” Ye Eun melambaikan tangan, kemudian mendorong pintu dan
keluar begitu saja.
“Dadah apanya! Heh Shin Ye Eun!
Aku menyesal sekali jadi temanmu tahu tidak!”
**********
“Ini gila! 5 hari lagi aku sudah
ulang tahun ke-423 dan aku masih belum menemukan pengantinku,” teriak Yuta
cemas. Ia terus menatap pergelangan tangannya, seolah kalau dipelototi terus
deretan angka yang tertulis di sana akan berganti tiba-tiba.
“Apa menurutmu asosiasi tidak
salah tulis?” tanya Yanan. “Biasanya kau baru bertemu pengantinmu di usia 50
tahunan.”
“Aku sudah ke asosiasi dan
jawaban mereka selalu sama. Katanya, tidak mungkin asosiasi salah. Abad ini,
aku akan menikahi pengantinku di umur 422. Dan jika aku melewati batas itu,
maka kalian siap-siaplah melihatku jadi debu.”
Edawn nampak tertarik. “Keren.
Sudah 200 tahun aku tidak melihat vampir jadi debu.”
Yuta mendengus padanya.
“Apa jangan-jangan dia tidak
tinggal di Seoul?” tanya Yanan lagi.
“Asosiasi menyiapkan rumahku di
sini. Itu artinya aku akan bertemu pengantinku di kota ini.”
“Andai saja kami bisa bantu
mencari, tapi hanya kau yang bisa mengenali pengantinmu,” kata Yanan penuh
simpati, sementara Edawn terus tebar pesona kepada gadis-gadis mahasiswi.
“Yeah, cuma aku yang bisa cium
bau darahnya,” kata Yuta pelan, nampak berpikir, “Apa jangan-jangan ada masalah
dengan penciumanku?”
“Mungkin saja.”
“Gawat! Aku harus kembali lagi ke
dunia vampir dan memeriksa…”
“Ya ampun! Hidungmu tidak
apa-apa! Berhentilah bolak-balik ke dunia vampir! Waktumu tinggal 5 hari!”
Edawn yang barusan sedang senyam-senyum dengan gadis berambut ikal tiba-tiba
membentak Yuta. “Aku memang tak sabar ingin lihat vampir berubah jadi debu, tapi
aku tak mau menjalani hidupku yang membosankan ini berdua saja dengan vampir
sepayah Yanan. Aku baru akan ketemu pengantinku umur 489!” Edawn menunjukkan
pergelangan tangannya penuh emosi. Yuta menghela napas, kemudian melemparkan
punggungnya ke sandaran kursi. Sementara Yanan nampak tak terima dipanggil
payah, namun tetap dengan payahnya tidak berbuat apa-apa.
“Sudahlah,” kata Yuta ketus. “Aku
mau pulang. Ngantuk.”
“Silahkan saja, tapi kau harus
jalan kaki,” cetus Edawn.
“Untuk apa aku jalan kaki kalau
bisa teleportasi?”
“Heh, Genius! Bagaimana bisa kau ketemu pengantinmu kalau ke mana-mana teleportasi? Aku berani bertaruh ke kamar mandi pun kau pasti
teleportasi.” Yuta tak merespon perkataan Edawn karena hal itu memang benar. Ia
nyaris tak pernah menggunakan kakinya.
“Iya, iya oke, aku jalan kaki!”
seru Yuta sewot.
“Bagus. Kalau begitu aku dan
Yanan akan kembali.”
“Ke dunia vampir?”
“Ke mana lagi? Kami tak ada
urusan di sini. Belum waktunya mencari pengantin.”
Yuta menghela napas. Selama 3
abad terakhir, ia dan kedua sahabatnya selalu turun bersama ke bumi karena
waktu mencari pengantin mereka yang berdekatan. Tapi sekarang, entah mengapa,
ia terpental ke umur 20 tahunan sementara Yanan dan Edawn tetap bersama pada
usia 80 tahunan. Benar-benar tidak adil. Asosiasi pasti sangat membencinya.
Yuta menggeram. “Ya, pergilah.”
Edawn dan Yanan pun berdiri.
“Kami akan mengecekmu lagi besok,” kata Yanan, lantas keduanya menghilang begitu
saja. Yuta menghela napas berat, kemudian ikut berdiri. Mumpung tak ada yang
melihat, ia benar-benar berpikir untuk langsung berteleportasi saja ke
rumahnya, tapi tiba-tiba kata-kata Edawn menghantuinya. Pria itu mendecih dan
terpaksa berjalan kaki.
Yuta berjalan pelan melewati
jejeran kios makanan di seberang kampus, menyelip di antara pejalan kaki yang
sebagian besarnya merupakan mahasiswa/i. Satu atau dua bulan yang lalu, sifatnya
masih sama persis seperti Edawn, tebar pesona dan flirting kanan kiri. Tapi sekarang semuanya sudah beda. Dia tidak
bisa main-main lagi. Yuta harus mencari pengantinnya dengan serius atau dia
akan menemui ajalnya dalam 5 hari.
Bagi vampir, hidup panjang sama
sekali bukan anugerah. Tapi walaupun begitu, Yuta merasa ia masih terlalu muda
untuk mati. Kaum vampir diberi batas 1000 tahun untuk hidup, dengan syarat
setiap abadnya mereka harus bisa menemukan pengantin untuk melakukan ritual.
Dan abad ini, entah mengapa, pengantinnya lahir terlalu awal dan sulit sekali
ditemukan.
Yuta berjalan dengan kepala
menunduk dan kedua tangan dimasukkan di saku celana. Ia bisa mencium bau busuk
makanan manusia dan mengernyit tak senang, berusaha menutupi hidungnya. Kenapa
manusia suka sekali makan sampah?, gerutunya dalam hati. Ia menaikkan retsletingnya
sampai ke dagu dan merendahkan kepalanya agar hidungnya bisa ikut tertutup.
Namun saat itu, di antara bau
makanan yang membuat mual, ada bau menyengat yang langsung membuatnya
terbelalak. Yuta berhenti melangkah dan segera menurunkan retsletingnya dengan
gerakan kasar. Ia mengenduskan hidungnya ke udara, lalu mengedarkan pandangan.
Ada terlalu banyak orang di sini. Yuta berdiri persis di ujung trotoar,
mengendus semua gadis yang berjalan melewatinya. Tak memedulikan delikan aneh
dan makian geram dari mereka semua. Di situasi seperti ini, tak ada yang lebih
penting dari menemukan pengantinnya. Ia tak boleh kehilangan perempuan itu,
siapapun dia, mau cantik atau jelek, mau tua atau muda, mau sudah nikah atau
lajang, ini perihal hidup matinya.
Baunya makin lama makin memudar,
dan Yuta benar-benar panik. Ia berlari menyeberang jalan, hampir menimbulkan
kecelakaan serius antara mobil mini van dan pengendara motor yang dengan kompak
membanting setir. Tanpa repot-repot menoleh pada kekacauan yang ditimbulkannya,
Yuta terus berlari sambil mengendus-endus seperti anjing pelacak. Dan setelah
hampir 10 menit berlari, Yuta akhirnya berhenti. Ia tak tahu harus ke mana
lagi. Baunya sudah menghilang.
**********
Kelas Ye Eun selesai pukul 5
kurang 20 menit. Ia harus kembali ke restoran. Ji Won sudah menghubunginya
berkali-kali saat profesornya sedang mengajar. Ye Eun terlalu takut untuk
menelepon balik karena tak mau mendengar kabar buruk, jadi alih-alih
mengecek ponselnya dulu, gadis itu langsung berlari keluar.
Ia melewati gerbang kampusnya
dengan tergesa-gesa. Dan begitu sampai di perempatan, ia melihat cowok kurus tinggi
di seberang jalan, berdiri dengan kedua tangan di saku dan memerhatikannya
dengan intens. Penampilannya terlihat normal (jaket hitam, sepatu kets, jins) tapi sesuatu darinya tampak amat menyeramkan sampai membuat Ye Eun
bergidik.
Ye Eun yang ketakutan segera
berpaling. Niatnya untuk menyeberang jalan jadi urung gara-gara keberadaan
cowok itu. Ia memutar kakinya dan memilih lewat jalan lain. Ye Eun berjalan di
bagian kiri trotoar dengan langkah tergesa-gesa. Dari ekor matanya, gadis itu
bisa melihat si cowok aneh di seberang jalan turut melangkah ke arah yang sama.
Mereka hanya dipisahkan oleh jalanan dua jalur yang sepi. Tak ada satu mobil
pun yang lewat, rasanya seperti semua orang mendadak lenyap dari muka bumi.
Setelah berjalan cukup lama dalam
kondisi yang begitu ganjil, Ye Eun akhirnya tiba di restoran dan langsung
membanting pintunya sampai menutup. Semua perasaan yang ditahan-tahan seketika
meledak. Badannya gemetaran dan wajahnya pucat pasi.
“Ye Eun! Ya ampun, kau tahu tidak
sih, ta—tunggu, tunggu, kau kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa kau menggigil
begini?” Ji Won terkejut dan langsung berlari mendekapnya. “Ada apa, Ye Eun?
Ada apa?”
“A-ada orang yang mengikutiku.”
“Apa?” seru Ji Won tak terima.
Dengan emosi, gadis itu langsung
membuka pintu dan melangkah keluar. Kemudian berteriak-teriak menantang, ‘di
mana kau!’, ‘jangan usil pada temanku, ya!’, ‘Tidak mau keluar juga, ha! Dasar
pengecut!’, kemudian setelah dirasa tak ada siapa-siapa di luar, Ji Won kembali
masuk. Ia melihat Ye Eun yang masih gemetaran tengah berusaha mengikat tali
apronnya. Ji Won segera membantunya.
“Tidak ada orang di luar.”
“Sungguh?”
“Ya.”
Ye Eun merenung sejenak,
kemudian berkata dengan suara lirih, “Dia mengerikan sekali.”
“Kau lihat wajahnya?”
“Aku tak yakin. Aku cuma lihat
matanya. Kami bertemu di perempatan depan kampus dan dia mengikutiku.” Ye Eun
tak bisa menghentikan tubuhnya yang gemetar. Suaranya tercekat. “Perjalananku dari kampus ke sini mungkin cuma butuh 10 menit, tapi
barusan, rasanya seperti selamanya. Suasananya aneh sekali. Tak ada satu orang
pun yang kutemui di luar. Tak ada kendaraan. Tak ada hewan-hewan. Aku tak bisa
mendengar bunyi apa pun kecuali langkah kakiku dan langkah kakinya. Dunia
terasa sunyi sekali. Bahkan angin pun tidak berembus. Bisa kau bayangkan betapa
mengerikannya itu?”
Ji Won menepuk-nepuk punggung Ye
Eun, setengah berpikir kalau mungkin saja sahabatnya ini sedang stres berat
sampai berhalusinasi.
“Okay, sepertinya kau tak bisa
kerja sekarang. Kau butuh istirahat, aku akan...”
“Tidak, tidak perlu, aku
baik-baik saja.” Ye Eun memerhatikan tangannya yang masih sedikit gemetar. “Ini
akan hilang.”
“Kau yakin?”
“Ya,” jawabnya mantap. “Tadi
kenapa kau meneleponku?”
“Oh, bukan apa-apa. Tadi Manager
Yoon mengomeliku karena membiarkanmu pergi. Lalu aku jadi kesal dan ingin melampiaskan semuanya padamu.”
“Syukurlah aku tak menjawab.”
“Yeah, yeah, selamat untukmu.
Sekarang bisakah kau gantikan Donghyuk di kasir? Dia bilang dia tak enak
badan.”
“Tentu.”
*********
“Aku menemukannya!” jerit Yuta.
“Edawn, Yanan! Kalian dengar aku? Kubilang aku menemukannya!”
Sepasang remaja berjalan melewati
Yuta dan memandangnya sambil terkikik.
Yuta mendelik pada mereka,
kemudian mendecak. Pasti dia terlihat seperti orang gila, duduk di bangku taman
sambil teriak-teriak sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Kaum vampir tak punya
teknologi seperti handphone untuk berkomunikasi. Mereka hanya menggunakan
pikiran. Kedengaran lebih canggih memang. Tapi masalahnya, baik Yanan maupun
Edawn sama-sama jarang berpikir. Dan Yuta sebal sekali berteman dengan mereka,
terlebih di saat seperti ini.
[Bagus!
Sekarang pikirkan bagaimana caranya meyakinkan dia untuk menikahimu dalam 5
hari.] Akhirnya suara Edawn terdengar di telinga kirinya.
[Syukurlah.
Pertama-tama, jangan buat dia takut.] Suara Yanan terdengar setelahnya,
di telinga kanan. [Dekati dia baik-baik. Kau pasti
bisa.]
[Apa dia
cantik?] Suara Edawn lagi.
“Tidak penting.”
[Hahaha
benar. Sejak kapan Nakamoto Yuta dapat pengantin yang cantik? Aku bersumpah tak
ada yang lebih membencimu selain asosiasi. Hahaha.] Edawn tertawa keras
sekali dan Yuta refleks memukul telinga kirinya dan langsung mengaduh. Edawn
tertawa semakin keras.
[Asal
kau tidak menakutinya, dia pasti mau dinikahi.] Yanan bicara.
[Yeah,
sepayah-payahnya Yanan, manusia tetap lebih payah lagi. Mereka gampang sekali
jatuh cinta,] timpal Edawn.
[Bisakah
kau berhenti menyebutku payah?]
[Entahlah,
bisakah kau berhenti payah?]
[Kau
sudah menyebutku payah 15 kali hari ini.]
[Ayo buat
jadi 16, Payah!]
“Hei!! Kalau kalian mau ngobrol
berdua, aku akan keluar dari group chat
ini!”
[Group Chat!! Hahaha. Bodoh sekali! Kau
terdengar seperti manusia.] Edawn tertawa lagi. Itu sama sekali tidak
lucu tapi Edawn tertawa sampai terbahak-bahak. Yuta akhirnya paham kalau
temannya yang berengsek itu hanya pura-pura tertawa supaya punya alasan untuk
berteriak di telinganya. Dan demi Tuhan itu mengganggu sekali.
“Kalian bicaralah berdua. Aku
pusing.”
[Ingat,
jangan takuti dia! Kalau manusia sudah takut dengan kita, maka hancur sudah.
Kau tak mungkin bisa menikahinya.]
“Yanan, kau sudah sebut itu tiga
kali! Aku tahu. Aku akan mendekatinya senormal mungkin.”
[Serius,
Kawan. Normalmu dan normal manusia itu berbeda sekali.]
[Yeah, 70
tahun yang lalu kau membuat pengantinmu pingsan sebelum berhasil menikahinya,]
sahut Edawn girang. [Kadang kalau aku sedang bosan aku
cuma perlu mengingat-ingat caramu mendekati pengantinmu dan itu berhasil
membuatku tertawa sampai 4 hari.]
Yuta mengerang. “Aku sudah jauh
lebih normal sekarang, aku bersumpah. Percaya atau tidak, tadi aku cuma membuat
dunia di sekitar kami jadi hening sedikit supaya dia bisa merasakan
kehadiranku.”
[Oke,
kurasa itu tak masalah.]
“Ya, dia kelihatan tersentuh. Itu
romantis sekali,” sahut Yuta.
[Yah,
lumayan. Tapi kau tetap harus tahan diri.] Yanan mengingatkan. [Berjanjilah kau tidak akan menerbangkannya ke pohon.]
“Hei, aku harus apa? Cewek itu
tak mau mendengarkanku.” Yuta membela diri.
[Berjanjilah!]
“Iya, iya, aku janji,” kata Yuta
jengkel, tetap merasa kalau kejadian 200 tahun yang lalu itu bukan salahnya.
[Tidak
akan membawanya teleportasi ke bulan.]
[Ya
ampun, itu ketololan Yuta favoritku. Dia hampir membunuh pengantinnya.]
Edawn lagi-lagi tertawa. Edawn selalu lebih bahagia jika sedang berada di dunia
vampir. Nyatanya semua vampir pasti akan lebih bahagia di dunianya sendiri.
Bumi berbau busuk, dan menyerap energi terlalu banyak.
“Hei, itu bukan salahku. Dia
bilang mataku seindah bulan. Aku tak terima, bulan itu jelek sekali.”
[Yuta,
ini bukan saatnya kau bela diri. Kumohon berjanjilah.]
Yuta memutar mata, “Aku janji.
Aku akan mendekatinya senormal mungkin.”
[Normal
versi manusia.]
“Normal versi manusia.”
**********
Pulang ke apartemennya malam itu
menjadi pengalaman terburuk yang pernah Ye Eun alami seumur hidupnya. Cowok
misterius itu mengikutinya lagi. Ia berjalan selisih 10 meter di belakang Ye
Eun dan mendadak aura di sekelilng jalan jadi amat membekukan. Lampu-lampu jalan
mati satu per satu tiap dia lewat dan Ye Eun bisa mendengar suara udara yang
berkeretakan mengerikan persis di belakang telinganya.
Begitu sampai di apartemen, Ye
Eun langsung mengunci semua pintu dan menyalakan lampu. Dadanya berdebar
kencang sekali dan tangannya gemetaran tak terkendali. Setelah berusaha
menenangkan diri, ia mencuci mukanya di wastafel dan naik ke tempat tidur.
Giginya terus bergemelatuk dan Ye Eun tak bisa menghentikannya. Gadis itu sangat
ketakutan. Ini jauh lebih parah dari sensasi yang ditimbulkan sehabis menonton film horor. Ye
Eun menarik selimutnya menutupi kepala dan memejamkan matanya kuat-kuat,
memaksa dirinya sendiri untuk tidur.
Ye Eun berusaha seperti itu
sebelum akhirnya benar-benar terlelap 3 jam kemudian. Namun belum lama ia
tertidur, sesuatu harus membuatnya terjaga lagi. Suara keretakan napas
terdengar di telinganya, makin lama makin jelas. Berpindah dari telinga kiri ke
telinga kanan. Walau sudah terjaga, Ye Eun tak berani membuka mata. Rasanya
seperti ada sesuatu di atasnya, tidak, seseorang. Ye Eun ketakutan setengah mati dan semakin
kuat memejamkan matanya. Hingga akhirnya suara keretakan itu menghilang.
Ye Eun perlahan-lahan membuka
mata.
Kosong.
Cuma ada langit-langit yang
gelap.
Ye Eun lega sekali karena itu
cuma halusinasinya saja. Dengan perasaan yang lebih tenang, ia bangkit ke
posisi duduk. Dan seketika itu juga jantungnya serasa melompat keluar. Ternyata memang benar ada seseorang, tengah berdiri menjulang di ujung ranjangnya. Ye Eun tak bisa
melihat wajahnya dengan jelas, tapi ia bersumpah itu adalah cowok yang
mengikutinya barusan. Cuma dia yang memiliki aura seperti ini. Cowok itu
membawa aura kematian dan Ye Eun berpikir mungkin ajalnya telah tiba.
Saat Ye Eun sedang syok-syoknya,
cowok itu tiba-tiba membungkuk sampai cahaya dari jendela menimpa wajahnya. Ia
menyeringai menyeramkan, kemudian berkata, “Maukah kau menikah denganku?” dengan suara manis.
Ye Eun refleks menarik telepon
rumah di sebelahnya dan melemparnya ke kepala sang pria. Cowok itu terpelanting
ke belakang. Ye Eun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dan langsung berlari keluar, berteriak minta tolong dan menelepon polisi.
TBC
Jadi, karena Freeze udah mau End, kupersembahkan kepada kalian ff
penggantinya Freeze…
Part 2-nya bakal aku publish kl part terakhir Freeze udah keluar, so..
sabarlah kalian wahai kaum manusia~
babay
Seru banget storynya. Apalagi pas mereka (Edawn, Yuta dan Yanan) saling komunikasi. Ngakak abis......
ReplyDeleteHuhu makasih ya <3
Delete