Vampire Bride - Part 2
“Apa?” tanya Yanan tercengang.
“Kubilang dia melempari mukaku
dengan telepon,” ulang Yuta geram. Dahinya benjol dan ia sudah menekankan
kompresan berisi es batu ke benjolannya itu sejak 20 menit terakhir. “Padahal
aku sudah bicara semanis mungkin, tapi cewek itu tetap saja bereaksi
berlebihan! Dia bahkan teriak-teriak di jalanan dan menelepon polisi! Untung
aku bisa teleportasi tepat waktu, kalau tidak habislah aku! Oh, sialan, ini
sakit banget, rasanya seperti baru tumbuh tanduk. Kubunuh dia!”
Yuta memutar matanya. “Aku tahu,
Yanan. Aku cuma kesal. Aku tak benar-benar berniat membunuhnya, bisakah kau
diam? Kau mau tahu sesakit apa kepalaku sekarang?”
“Oh, syukurlah, kukira kau
serius.”
Yuta menggelengkan kepala, lantas
menoleh ke arah gerbang kampus, tempat ia pertama kali bertemu dengan gadis
itu, kemudian mendengus sendiri. Ia lantas menoleh lebih jauh ke area parkir
dan gedung-gedung fakultas yang berjejer.
“Dia kuliah di sini,” gumam Yuta.
“Bagaimana bisa aku tak pernah mencium baunya? Kita duduk di sini nyaris setiap
hari.”
“Kampus ini luas,” komentar Yanan.
“Aku tahu, tapi seingatku penciumanku
lebih kuat dari ini. Dulu aku bisa mencium bau pengantinku setiap hari hanya
karena kita satu kota. Tapi sekarang, bahkan saat kami ada di area kampus yang
sama… aku tak merasakan apa-apa.”
“Entahlah, mungkin karena kau
sedang di ambang kematian.”
“Kau diam-diam senang ya aku mau
mati?”
“Tidak, tentu saja,” sergah Yanan
cepat. “Tapi ini semua salahmu, kan? Andai kau turun ke bumi lebih cepat,
semuanya tak akan begini. Kau terlalu percaya diri.”
“Aku tak tahu kalau yang ini akan
sulit dicari.”
“Yeah,” gumam Yanan, “tetap
salahmu.”
Yuta mendecakkan lidahnya. Melihat
Yanan menyalahkannya begini, tiba-tiba ia jadi merindukan temannya yang satu
lagi. “Ke mana Edawn?”
Yanan mengangkat bahu. Yuta
memandang berkeliling untuk memastikan Edawn tidak sedang menggoda mahasiswi di
sekitar mereka.
Dan saat itulah Edawn tiba-tiba
berteleportasi. Yuta memandangnya muncul dari bilik kantin dan menggelengkan
kepala. Itu adalah tempat paling bodoh untuk berteleportasi. Sekarang
penjaganya—seorang pria usia 40 tahunan berbadan pendek—kelihatan bingung
setengah mati melihat ada pria berwajah mabuk baru saja keluar dari dapurnya.
Dia mengecek biliknya sekali lagi sebelum memandang Edawn yang nampak tak
peduli.
Pria itu menghampiri tempat duduk
mereka dan langsung tertawa heboh begitu menyadari ada kompresan di kepala
Yuta.
“Oke oke sekarang ceritakan
padaku apa lagi yang si bodoh ini lakukan,” kata Edawn sambil berusaha
menghentikan tawa. Ia mengenyakkan diri di kursi plastik di samping Yanan dan
memandang Yuta penuh minat.
“Kau belum tahu apa yang terjadi
dan sudah tertawa sekeras itu?” tanya Yanan.
“Aku tahu ini pasti lucu.”
“Tak ada yang lucu dari ini.
Waktuku tinggal 4 hari,” tukas Yuta geram. “Ini mustahil, kau tahu. Asosiasi
benar-benar menginginkanku berubah jadi debu.”
“Heh, tolol, asosiasi memberimu
waktu setahun untuk mencarinya tapi kau dengan congkaknya baru turun ke bumi di
bulan terakhir. Jadi siapa yang salah?” seru Edawn. Setelah menghardik Yuta,
pria itu menyikut Yanan menuntut penjelasan. “Jadi apa yang terjadi pada
dahinya, eh?”
“Dia dilempari telepon,” jawab
Yanan kalem, seolah itu adalah hal ternormal yang mungkin didapat seorang Yuta.
“Wahh!! Ceritakan detailnya!”
Yuta mendecak. “Yanan akan
menceritakanmu detailnya dan kau boleh tertawa sepuasmu. Tapi tidak sekarang,” katanya
tegas. “Aku akan mati dalam 4 hari. Apa yang harus kulakukan!”
“Kita harus cari tahu
kelemahannya,” kata Yanan serius. “Maksudku, kita bisa mengancamnya dengan
itu.”
“Yanan, tidak, dia harus jatuh
cinta padaku.”
“Kau sudah hidup 400 tahun tapi masih
tidak mengerti aturan asosiasi?” Yanan menaikkan nada bicaranya. Yuta dan Edawn
saling melempar pandang dan mengernyit.
Yanan menghela napas lelah dan
menjelaskan, “Mungkin selama ini kalian selalu beruntung karena berhasil
membuat pengantin kalian jatuh cinta sebelum menikah, tapi sebenarnya aturan
asosiasi tidak mengharuskannya seperti itu.”
“Aturan asosiasi jelas-jelas
menyebutkan bahwa ritual hanya bisa terjadi jika sang pengantin memiliki
jantung yang berdegup untukmu. Dan kukira semua orang yang tidak idiot pasti
mengerti maksud dari ‘jantung yang berdegup untukmu’ adalah jatuh cinta,” kata
Edawn tak mau kalah. Sementara Yuta yang jarang membaca apa-apa (apalagi aturan
asosiasi) cuma menatap mereka berdua sambil mengompres benjolnya.
“Itu benar dan kau baru saja
menyebut poinnya,” kata Yanan tenang. “’Jantung yang berdegup untukmu’ adalah
syarat dari ritual. Sedangkan pernikahan hanyalah permulaan dari ritual. Kau
masih punya waktu 3 kali purnama setelah pernikahan untuk menjalankan ritual.”
“Jadi maksudmu angka di tangan
kita ini hanya batas untuk menikah, bukan ritual?” tanya Edawn terkejut. Ia
memerhatikan angka 489 di pergelangan tangannya dengan tatapan seolah deretan
angka itu sudah membohonginya seumur hidupnya.
“Benar sekali.”
Edawn bergeming. Otaknya berusaha
mencerna semua informasi itu dan begitu semuanya jelas, ia langsung bertepuk
tangan pelan dengan tampang takjub. “Aku sudah hidup 400 tahun dan baru
mengerti aturan ini sekarang?” katanya, kemudian menoleh pada Yanan. “Wah,
ternyata kau tidak seidiot yang kukira.”
Yanan memutar mata. Sementara
Yuta menatap mereka tak paham.
“Kau masih tak mengerti?” tanya
Yanan. Yuta terlalu gengsi untuk menggeleng, tapi ekspresi bingung di wajahnya
membuat semua orang tahu apa isi otaknya.
“Sepertinya benjol itu membuat si
bodoh ini makin bodoh,” gumam Edawn. Yuta yang tak terima terus-terusan
dipanggil bodoh langsung melempar kompresannya pada Edawn. Namun pria itu
berhasil mengelak dan membuat kompresan itu jatuh di antara segerombolan
mahasiswi di meja sebelah.
Baik Yuta, Edawn maupun Yanan
dengan kompak pura-pura tak bersalah. Sementara para gadis di meja sebelah
menoleh ke sana kemari sambil mengomel.
“Intinya,” Yanan kembali menjelaskan
dengan suara rendah, “pengantinmu tak harus mencintaimu dulu untuk menikah. Kau
masih punya waktu untuk membuatnya jatuh cinta padamu sebelum tenggang waktu
ritual.”
“Tunggu, apa?!” Yuta setengah
berteriak.
“Kau mendengarku,” kata Yanan.
“Kau serius?”
Yanan mengangguk malas-malasan.
“Pantas saja! Selama ini aku
bingung sekali apa gunanya tenggang waktu 3 kali purnama.”
“Yeah, aku selalu menjalankan
ritual di malam pernikahan,” sambut Edawn. “Maksudku, apa gunanya menunggu 3
kali purnama?”
Yuta mengangguk setuju. Hatinya terasa lebih enteng karena ternyata ia masih punya harapan hidup.
“Untuk sekarang, fokus kita adalah mencari tahu kelemahan pengantinmu.” Yanan kembali merendahkan suaranya. “Lalu gunakan itu untuk mengancamnya.”
“Caranya?” tanya Edawn.
“Apa kau tahu siapa keluarganya,
atau temannya, atau siapa pun yang dekat dengannya? Itu adalah sumber informasi
terbaik.”
Yuta langsung teringat kejadian
di restoran kemarin sore, “Sepertinya aku tahu,” katanya. “Setelah aku
membuntutinya kemarin, dia masuk lewat pintu belakang restoran dan tak lama
kemudian keluar cewek galak berbaju hitam putih—aku yakin dia temannya, dia
memanggilku penguntit dan teriak-teriak akan menghajarku.”
“Dia melihatmu?” tanya Yanan.
“Tidak, kurasa. Aku sembunyi.”
“Oke, tapi untuk jaga-jaga, lebih
baik aku saja yang ke sana.”
Yuta langsung mengangguk. Dia
benar-benar tak mau ketemu cewek itu lagi.
“Waktu kita cuma 4 hari, jadi ayo
bagi tugas.”
“Bagi tugas?”
“Ya.”
“Tugas apa?”
Yanan tersenyum. “Percaya padaku,
ini rencana brilian.”
**********
Kaki Ye Eun mengentak-entak di
lantai selagi ia bicara. “Aku tak tahu dia keluar dari mana. Maksudku, semua
jendela terkunci dan aku berdiri tepat menghadap ke pintu. Aku merasa
benar-benar bodoh saat semua tetangga datang dan melihat kamarku kosong,”
keluhnya. “Para polisi juga mengira aku membuat laporan palsu.”
“Bukankah gedung apartemenmu ada
CCTV-nya?”
“Nah, itu dia!” Ye Eun menepukkan tangannya heboh. “Dia tak terekam CCTV! Coba kau bayangkan makhluk apa yang tiba-tiba
lenyap begitu!”
Ji Won melongok ke balik sekat
dapur dan meringis. “Bisakah bicaranya pelan sedikit? Ada banyak pelanggan di
luar.”
“Iya, maaf.”
“Sekarang ceritakan pelan-pelan
bagaimana ciri-cirinya. Apa dia cowok yang sama dengan yang mengikutimu
kemarin?”
“Sepertinya sih begitu.” Ye Eun
menarik napas dan berusaha mengingat-ingat rupa sang penyelinap. “Dia punya
mata yang besar, pupilnya cokelat dan hampir menutupi seluruh bagian putihnya.
Rambutnya hitam, agak panjang. Tubuhnya kurus, pokoknya sangat kurus sampai
tulang pipinya menonjol. Dia punya jari-jari yang panjang. Dan saat aku buka
mata, dia sudah berdiri di ujung ranjangku sambil menyeringai, kemudian mengajakku menikah.”
Ji Won tak bereaksi. Ia cukup
yakin kalau Ye Eun hanya berhalusinasi. Bukankah kemarin juga begini? Dia
bilang ada yang mengikutinya di luar tapi ternyata tak ada siapa pun. Dan
sekarang makhluk itu (jika benar ada) bahkan tidak terlihat CCTV. Ye Eun memang
sahabatnya, tapi bukan berarti Ji Won akan memercayai apa saja yang keluar dari
mulutnya. Apalagi jika kata-kata itu setidak masuk akal ini.
“Sekarang bertambah lagi satu
alasan bagi bibi pemilik apartemen untuk mengusirku akhir bulan ini,” gumam Ye Eun
frustasi.
“Tentu saja,” timpal Ji Won. “Kau
sudah membuat keributan tengah malam.”
“Ya ampun, membuat keributan
katamu? Memangnya aku bisa diam saja dalam situasi genting begitu?”
“Oke, oke, maaf.” Ji Won berucap setengah hati.
“Jadi apa kau mau aku menginap di apartemenmu malam ini? Jaga-jaga kalau orang
aneh itu datang lagi.”
Mata Ye Eun seketika berbinar dan ia langsung mengangguk setuju.
“Oke.”
“Ya ampun, sungguh? Kau adalah
teman terbaik di dunia.”
“Ya, aku tahu. Sekarang sudah
cukup curhatnya, kau kembali bekerja,” suruh teman sekaligus atasannya itu
ketus. Ia menyorongkan apron dengan keras ke dada Ye Eun kemudian pergi sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
“Hei, aku cuma bisa kerja sampai
jam 3, ya!” seru Ye Eun. “Kau ingat kan hari ini aku ada kelas?”
Ji Won menoleh padanya dengan
geram. “Dasar! Kau itu memang tidak niat kerja ya!”
“Ji Won, please.”
“Ah, terserah.”
“Aku benar-benar menyayangimu.”
“Cih.”
Ji Won memutar matanya lalu masuk
ke ruangannya (ruangan kecil milik supervisor) sambil mengumpat.
*********
Edawn dan Yanan masuk ke restoran
tempat pengantin Yuta bekerja pukul setengah lima sore. Berlagak bak pelanggan
normal, keduanya duduk di salah satu meja dan melihat-lihat menu.
“Serius, Yanan? Ini rencana
brilianmu? Kita bahkan tak tahu pengantinnya Yuta yang mana, sekarang kita
harus mencari temannya?”
“Diamlah.”
“Harusnya kita mengajak Yuta.”
“Yuta punya tugas lain.”
“Tugas lain apa? Kau cuma
menyuruhnya mengawasi pengantinnya.”
“Dia harus belajar mendekati
pengantinnya dengan normal. Dan yang kumaksud dengan normal di sini adalah
normal dalam arti manusia. Hei, lihat arah jam 3, dia pakai baju hitam-putih.”
Edawn memalingkan kepala dan
mendapati seorang wanita berambut hitam di sana, sedang bersandar di meja kasir
sambil serius memandangi clipboard.
“Itu pasti temannya pengantin.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Yuta bilang dia pakai baju
hitam-putih kemarin.”
“Dan kau pikir dia akan pakai
baju yang sama keesokan harinya? Genius.”
“Mungkin bukan baju yang sama,”
gumam Yanan sambil berdiri. Matanya memicing pada nametag warna emas di kemeja
sang wanita, “Tapi kurasa jabatannya membuatnya harus memakai warna itu tiap
hari.”
“Apa sih maksudm—hei, kau mau ke
mana?” Edawn menarik belakang kemeja Yanan.
“Aku mau tanya soal pengantin
Yuta padanya.”
“Apa-apaan! Kenapa sih kau yakin
sekali dia yang kita cari?”
“Instingku kuat.”
“Dia bukan pengantinmu. Kau tidak
bisa mengandalkan insting untuk ini. Lagi pula kita bahkan tak tahu siapa nama
pengantinnya.”
“Justru kita ke sini supaya tahu,
kan?” balas Yanan tenang. Ia menyentak kemejanya dari tangan Edawn, lantas
berlalu.
Edawn mendecak, kemudian merendahkan posisinya sambil mencemooh betapa 'brilian'-nya rencana ini. Dia bahkan tak tahu apa tepatnya rencana yang Yanan maksud.
“Permisi.” Yanan berhenti persis di depan sang wanita.
Wanita berbaju hitam-putih itu
mendongak, serta merta menegakkan badan dan tersenyum sopan. “Ada yang bisa
saya bantu?”
“Yeah, sebenarnya ada masalah.”
“Masalah? Masalah apa? Apa ada
sesuatu di makanan Anda? Apa pelayanan kami buruk? Rasanya tak enak?”
Yanan mendenguskan tawa basa-basi sambil mengibaskan tangan. “Bukan itu. Aku bahkan belum
pesan.”
“Lalu?”
“Begini, aku mencari seseorang.
Kemarin aku melihatnya masuk ke sini lewat pintu belakang, jadi kupikir dia
kerja di sini.”
“Siapa namanya? Kami punya 4
pelayan laki-laki dan 3 perempuan.”
“Dia perempuan, tinggal di
kawasan In-Sa, apartemen lantai 1. Dan aku yakin dia kuliah di Universitas
Myora. Aku melihatnya pulang dari kampus itu sebelum ke sini.”
Mata sang wanita langsung memicing
curiga, cuma ada satu nama di kepalanya. Dua pelayan wanita yang lain bukan
anak kuliahan dan mereka tinggal di belakang restoran dan bukannya di In-Sa.
Hanya Ye Eun yang tinggal di In-Sa.
“Ada perlu apa dengannya?” sahut
wanita itu protektif. Ia menyedekapkan tangan dan wajah ramahnya lenyap begitu
saja.
“Bosku rentenir,” balas Yanan
asal, baru membuat skenarionya detik itu juga. “Apa kau tahu dia dibuntuti
seseorang akhir-akhir ini? Itulah bosku.”
“Apa?”
“Aku ke sini untuk…” Yanan
memutar matanya dengan liar mencari inspirasi, lalu melihat tumpukan kertas
tagihan di meja kasir dan melanjutkan, “…menagih pembayaran utang-utangnya.”
“Jangan bercanda! Mana surat
utangnya?”
“Maaf, tapi surat seperti itu
tidak bisa kuperlihatkan ke sembarang orang.”
“Sembarang orang apa? Aku
sahabatnya.”
“Dari mana aku tahu kau
benar-benar sahabatnya?”
“Aku tahu semua tentang dia.”
“Sungguh?”
“Ya.”
“Nama lengkap?”
“Nama lengkapku atau nama
lengkapnya?”
“Kalian berdua.”
“Namaku Moon Ji Won dan dia Shin
Ye Eun,” jawab Ji Won galak. Kemudian terdiam sendiri menyadari kebodohannya.
“Tunggu, kenapa aku malah menyebutkannya padamu? Bisa saja kau yang bohong,
kan?”
Yanan tersenyum tebar pesona,
“apa aku terlihat seperti pembohong?”
“Ya,” balas Ji Won tanpa berpikir,
“kau terlalu imut untuk jadi anak buah rentenir.”
Yanan tak menduga akan mendengar
jawaban semacam itu. Ia tak bisa menghentikan senyumnya yang terus melebar.
Pria itu pun melanjutkan skenarionya sambil cengengesan, “Terima kasih, tapi
maaf, aku ke sini bukan untuk mendengar rayuanmu. Aku diperintahkan untuk
mengambil semua aset Shin Ye Eun.”
“Aset apa?” teriak Ji Won. “Dia
orang paling miskin dan paling bodoh yang pernah kukenal seumur hidupku.
Harusnya dia dapat santunan dari pemerintah.”
Yanan mengernyit, “kukira kau
sahabatnya.”
“Aku memang sahabatnya, tapi itu
tak mengubah fakta apa pun soal betapa miskin dan bodohnya Shin Ye Eun.”
“Wah, jadi Shin
Ye Eun ini kasihan sekali, ya?” tanya Yanan dengan nada iba yang dibuat-buat.
Ji Won sudah kelihatan begitu emosional dan sepertinya, tanpa perlu dipancing
lagi, dia akan membocorkan semua informasi yang Yanan butuhkan.
“Benar. Shin Ye Eun itu tak punya
apa-apa,” mulainya, “Dia bahkan mengemis padaku supaya bisa kerja di sini. Dia
baru kerja 1 minggu tapi sudah ambil gajinya untuk 2 bulan. Biar kuberi tahu
padamu, anak itu sinting. Kuliahnya juga kacau. Kau tega membuat orang
semelarat itu makin melarat?”
“Bukankah dia punya apartemen?”
“Tidak, dia cuma sewa. Dan dia
sudah menunggak bayar dari Februari. Intinya, dia tak punya tempat tinggal.
Anak itu akan ditendang keluar akhir bulan ini—yang berarti tiga hari lagi.”
“Memang ke mana orangtuanya?”
“Di Jeonnam. Mereka tak tahu
apa-apa soal kehidupan Ye Eun, mereka kira anak sulungnya itu sudah jadi
pekerja kantoran sukses. Aduh, pokoknya kalau diceritakan selengkapnya kau bisa
menangis. Adiknya bahkan terancam putus sekolah karena tak ada biaya. Dia bisa
hidup sampai sekarang cuma karena kemurahan hatiku saja—bukan berarti kau bisa minta pelunasan utangnya padaku. Pokoknya
dia miskin, dan bodoh, dan tak punya apa-apa. Jadi kumohon padamu tinggalkan dia
sendiri!”
Yanan tersenyum menang. Ternyata
ini lebih mudah dari yang ia kira. Gadis itu cuma butuh uang. Dan asosiasi bisa
memberi mereka trilyunan uang manusia jika mau. Uang itu tak lebih dari
lembaran kertas bagi vampir, tak ada artinya.
“Heh, kenapa kau malah
senyam-senyum? Dengar ya, kalau kau masih punya hati, seharusnya kau suruh bosmu
untuk tidak membuntutinya lagi. Anggap saja utangnya itu sebagai donasi untuk
kesejahteraan orang miskin.”
“Oke,” sambut Yanan riang.
“Oke apa?”
“Aku akan bilang pada bosku untuk
mengikhlaskannya.”
“Serius?”
Yanan mengangguk, masih dengan
senyum kelewat lebarnya. “Terima kasih banyak ya, Moon Ji Woon. Aku pergi
dulu.”
“Eh? Begitu saja?”
Yanan berbalik badan dan berjalan
menghampiri Edawn dengan suka cita. Mengabaikan Ji Won yang keheranan setengah
mati.
“Coba tebak! Yuta tidak jadi
mati!” serunya. “Ayo kita beri tahu anak itu sekarang!” Ia menarik Edawn sampai
berdiri lalu mengalungkan tangan di lehernya.
“Serius?”
“Iya!!”
“Apa katanya?”
“Pokoknya anak itu miskin, dia
cuma butuh uang dan masalah selesai.”
“Bagus sekali.”
“Aku tahu.”
“Yuta tidak jadi mati.”
“Yeahhh.”
Keduanya meninggalkan restoran sambil bernyanyi dan
berjingkat-jingkat kegirangan.
**********
Sementara itu, di tempat lain,
persisnya di sebuah ruang kelas, Yuta berteleportasi persis di belakang Ye Eun.
Ia tiba-tiba muncul di pojok kelas maha besar tersebut—yang untungnya diisi
oleh orang-orang super tekun, mereka fokus sekali memerhatikan dosen di depan
kelas hingga tak ada satu pun yang menyadari kemunculan tak biasa Yuta.
Yuta duduk bersandar di kursinya.
Menumpangkan lututnya di bingkai meja dengan posisi tubuh condong ke belakang,
kaki kursi bagian depannya terangkat. Dalam posisi ternyamannya itu, ia
memerhatikan belakang kepala Ye Eun dengan penuh dendam. Seumur hidupnya (yang
sama sekali tak sebentar), ini pertama kalinya ia dibuat benjol oleh anak
manusia. Harga dirinya rasanya terjerembab ke inti bumi.
Saat itu, tiba-tiba saja Ye Eun
memegang tengkuknya dan bergidik. Gadis itu refleks menoleh ke belakang dan
langsung membeliak melihat Yuta. Yuta yang tak siap dengan tatapan tiba-tiba
itu sontak terkejut dan membuat keseimbangan posisinya hilang. Kaki kursi
bagian depannya berdebum ke lantai dan membuat seisi kelas tersentak. Bahkan
dosen mereka yang sedang menulis di papan pun ikut terkejut sampai tulisannya menukik
ke bawah.
Dengan gerakan pelan, sang dosen
menoleh pada asal suara. Ia bertanya dengan nada marah yang ditahan-tahan, “Ada
yang bisa kubantu?”
Yuta menoleh ke belakang, lalu
sadar bahwa si dosen sedang bertanya padanya.
“Aku?”
“Ya. Ada yang bisa kubantu?”
“T-tidak.”
“Kalau begitu diamlah.”
“Oke.”
Dan dia pun menulis lagi.
Ye Eun pura-pura fokus selama 4
detik sebelum ia menoleh lagi pada Yuta. Yuta juga tengah menatapnya. Ye Eun
berjengit kaget dan segera berpaling lagi ke depan. Dia yakin sekali wajah
itulah yang ia lihat semalam. Dan ia juga yakin sekali tempat duduk di
belakangnya kosong 10 menit yang lalu, dan satu-satunya pintu masuk ada di
sebelah barat. Apa dia menembus tembok?
Selama 15 menit berikutnya, Ye
Eun hanya bisa menahan diri untuk tidak menoleh lagi pada Yuta. Menahan diri
untuk memegangi tengkuknya yang meremang. Menahan diri untuk melirik apa pun
kecuali dosen dan papan tulisnya. Walau tak ada satu hal pun yang masuk ke
kepalanya selain rasa takut, tapi Ye Eun berhasil melalui kelas sore itu. Ia
berdiri dari kursinya, setengah berharap semua ini akan berakhir. Tapi makhluk
beraura seram di belakangnya malah berjalan mengikutinya.
“Apa maumu?” Ye Eun bertanya
ketika ia masih saja diikuti sampai ke lorong.
“Kau,” jawab Yuta apa adanya.
“Aku membutuhkanmu untuk bertahan hidup.”
Ye Eun memandangnya seolah pria
itu sudah sinting.
“Oh, begitu? Kau membutuhkanku?”
“Ya.”
“Aku juga membutuhkanmu,”
katanya.
Yuta membelalak tak percaya. Ia
nyaris saja tersenyum sebelum Ye Eun kembali berkata, “aku membutuhkanmu untuk
dibawa ke kantor polisi.”
“Kantor polisi?”
“Ya, jangan pura-pura tak
besalah. Itu kau, kan?” tuduhnya. “Yang ada di kamarku semalam! Yang mengikutiku
ke restoran!”
Yuta terdiam. Keningnya tiba-tiba
terasa sakit lagi. Gadis di depannya kelihatan marah sekali sampai rasanya ia akan melempari muka Yuta dengan sesuatu lagi. Mungkin
tasnya. Mungkin bak sampah di sebelah pintu. Mungkin pot-pot bunga. Apa pun.
“Namaku Yuta.” Yuta
memperkenalkan diri, memilih untuk mengganti topik ketimbang menjawab
pertanyaan yang berpotensi membuat kepalanya semakin babak belur.
Ye Eun mendengus. “Aku tak peduli
siapa namamu. Dengar, kuperingatkan ya, kalau kau mengikutiku lagi, aku akan…”
Saat gadis di depannya ini sedang
memberi ‘peringatan’ dengan menggebu-gebu, telinga Yuta berdengung dan
tiba-tiba saja suara Yanan yang penuh gairah terdengar.
[Yuta,
apa kau sedang bersamanya?]
“Ya,” gumam Yuta pelan.
[Bagus.
Sekarang ikuti kata-kataku.]
“Tidak bisa.”
[Heh,
Kalau Yanan bilang ikuti ya ikuti!] Tiba-tiba itu suara Edawn.
“Tidak bisa. Dia sedang bicara
padaku.”
[Potong
saja! Ini soal hidup dan matimu!] tukas Edawn tak sabar.
“…dan aku tak habis pikir makhluk
macam apa kau ini? Kenapa kehadiranmu selalu membuatku merinding? Dan lagi,
bagaimana bisa kau masuk ke kamarku dan menghilang begitu saja? Aku bahkan baru
tahu kalau kita satu kampus. Dengar ya, kalau sampai kau mengangguku lagi…”
“Aku tahu kau juga
membutuhkanku,” sela Yuta, mengikuti ucapan Yanan di telinganya.
“Apa?”
“Ya, Shin Ye Eun, kau
membutuhkanku sama banyaknya dengan aku membutuhkanmu. Aku tahu kau sedang
butuh uang, dan aku bisa mengantarkan 6 truk uang ke rumahm—eh tunggu,
memangnya kau punya rumah? Bukankah kau akan diusir dari apartemenmu tiga hari lagi?” Yanan tertawa mencemooh di telinga Yuta dan Yuta mengikutinya juga,
hanya saja tawanya terdengar hambar alih-alih mencemooh, “Hahaha, menyedihkan,”
lanjutnya monoton. “Tapi kalau kau menerima penawaranku, kau bisa tinggal di rumahku dan
menggunakan semua fasilitas di sana sepuasmu. Sekadar informasi, rumahku 4 kali
lipat lebih besar dari keseluruhan gedung apartemenmu.”
“Ya Tuhan.”
“Yeah, aku tahu. Aku memang sekaya
itu.”
“Bukan, bodoh. Kau pikir aku ini cewek
murahan, ya?” teriak Ye Eun terhina.
Yuta sudah membuka mulut untuk
membalas ucapan Ye Eun, tapi Yanan malah lanjut berceloteh dan Yuta tak punya
pilihan lain selain mengikutinya, “Aku juga tahu adikmu nyaris putus sekolah.”
Ye Eun membatu. Ia memandang
Yuta, berpikir dari mana manusia jadi-jadian ini mengetahui semua itu.
“Jika kau menikah denganku, kau
tak akan perlu memikirkan itu lagi. Aku akan menanggung semua biaya pendidikan
adikmu sampai dia jadi profesor. Aku juga akan menanggung kehidupan keluargamu
berapa pun yang mereka butuhkan. Apa mereka mau liburan di Hawaii? Mau nonton
piala dunia di Rusia? Mau keliling Eropa? Aku bisa wujudkan semuanya.”
Ye Eun jelas-jelas tercengang,
tapi dengan sisa kesadarannya, ia memaksa dirinya untuk tidak terlena dengan
semua rayuan itu. Lagi pula dari mana makhluk astral ini punya uang sebanyak
itu? Dia pasti bohong, kan? Jika tidak bohong, dia pasti membuat perjanjian
dengan jin atau terlibat geng mafia internasional. Ye Eun lebih memilih jadi
gelandangan daripada hidup dalam lingkaran kelam seperti itu.
“Aku tidak mau. Carilah wanita
lain.”
“Dia bilang dia tidak mau,” gumam
Yuta putus asa.
“Kau bicara pada siapa, sih? Apa
kau memasang alat penyadap suara di telingamu? Apa pembicaraan kita direkam?”
“Tidak,” balas Yuta cepat, “aku
bicara pada diriku sendiri.”
“Dasar sinting!” seru Ye Eun
galak, lantas berlalu.
[Katakan
padanya untuk memikirkannya dulu. Bilang kau akan tunggu sampai besok pagi dan…]
Yanan terus bicara, sementara Yuta bersandar di dinding, memerhatikan punggung
Ye Eun yang semakin menjauh, meratap kenapa asosiasi memberikannya pengantin
sebarbar ini.
[Hei,
sobat, kau dengar aku?]
“Ya, aku dengar.”
[Lalu
kenapa tidak kau ikuti?]
“Dia sudah pergi.”
[Ya
ampun, sejak kapan? Kenapa tidak kau kejar?]
“Dia sama sekali tidak tertarik.
Dia bilang cari perempuan lain saja.”
[Oh,
Tuhan, itu harapan kita semua. Tapi kau tahu sendiri itu tidak mungkin, kan?
Dia lah yang terpilih. Sekarang lebih baik kau kejar dia dan katakan apa yang
kubilang.]
“Baiklah. Aku akan langsung
teleportasi ke…”
[Tidak.
Jangan teleportasi! Gunakan kakimu! Kejar dia! Bersikaplah seperti manusia,
jangan membuatnya semakin takut!]
“Cih…”
[Cih apa?
Cepat kejar dia, bodoh.] Edawn lagi.
“Iya, iya, sekarang kau enyahlah
dari telingaku! Suaramu mengganggu sekali.”
[Apa
kau sedang mengejarnya?]
“Aku akan mengejarnya kalau
kalian berhenti bicara!”
Dan suara mereka pun menghilang.
Yuta mengejar Ye Eun setengah
hati sampai akhirnya ia menemukan gadis itu persis di depan gerbang.
“Ye Eun!” panggilnya. “Shin Ye
Eun!”
Yuta menarik tangannya, membuat
gadis itu mau tak mau berhenti. Ia berbalik badan dan menatapnya penuh
kebencian.
“Apa lagi? Sudah kubilang aku tak
mau.”
“Kau bahkan tak tahu detail
penawarannya, kan? Ini bukan pernikahan biasa. Aku tak akan menyentuhmu.”
“Huh? Begitu?”
“Ya, kecuali jika kau
mengizinkan.”
“Jangan gila!” hardik Ye Eun. Ia
mengerutkan kening menatap wajah kusut Yuta. Pria itu kelihatan putus asa
sekali sampai rasanya Ye Eun percaya dia akan mati jika tidak menikah
dengannya. “Sebenarnya apa sih yang terjadi padamu? Pernikahan macam apa yang
kau mau? Dan kenapa aku?”
“Aku akan jelaskan semuanya
setelah kau setuju.”
“Dan kau pikir aku cukup bodoh
untuk menyetujui sesuatu yang abu-abu?”
“Aku tak bisa menceritakan
rahasiaku pada sembarang orang, oke? Yang pasti kau akan dapat semua yang
kujanjikan, aku bersumpah.”
“…..”
“Aku butuh jawabannya besok pagi.
Di sini.”
“Ini bukan sesuatu yang bisa
kupikirkan dalam beberapa jam. Aku butuh lebih banyak waktu.”
“Aku tak punya waktu lagi, aku
sekarat,” sambar Yuta mendesak. “Please,
besok, jam 7 pagi.”
Ye Eun terperangah, tak tahu apa
ucapan itu bisa dipercaya atau tidak. Tapi Yuta bicara dengan begitu serius. Ia
tak terlihat sedang bercanda. Fisiknya pun nampak abnormal. Lingkaran matanya
benar-benar hitam dan tulang pipinya menonjol seperti vampir. Dia bisa jadi
benar-benar sedang sekarat.
“Tidak, aku tidak punya penyakit
menular,” kata Yuta tiba-tiba.
“Aku tidak bilang begitu.”
“Kau menatapku seperti itu,
seolah aku sangat menjijikan.”
“Maaf.”
“Lupakan saja! Dengar, ini akan
jadi winwin solution untuk kita
berdua. Jadi pikirkanlah dengan bijak,” katanya memohon. Ia melontarkan semua
ucapan Yanan yang sanggup ia ingat tapi rasanya semua ini belum cukup. Ye Eun memicing
tak suka kepadanya, kemudian berbalik badan dan berlalu.
Yuta mendesah. Kelihatannya ini
tak akan berhasil. Perlahan-lahan tubuhnya mulai melemah. Dia bahkan sudah
nyaris tak bisa membaui pengantinnya, bahkan di saat mereka tengah bertatapan
seperti tadi.
Yuta menatap deretan angka di
pergelangan tangannya dan mendesah putus asa. Berpikir apa sebaiknya ia kembali
ke dunia vampir dan menikmati 4 hari sisa hidupnya semaksimal mungkin saja di sana.
TBC
Sumpah ngakak banget sama Ji Won. Masa temen sendiri dikatain 😒
ReplyDelete