Vampire Bride - Part 2




“Apa?” tanya Yanan tercengang.
“Kubilang dia melempari mukaku dengan telepon,” ulang Yuta geram. Dahinya benjol dan ia sudah menekankan kompresan berisi es batu ke benjolannya itu sejak 20 menit terakhir. “Padahal aku sudah bicara semanis mungkin, tapi cewek itu tetap saja bereaksi berlebihan! Dia bahkan teriak-teriak di jalanan dan menelepon polisi! Untung aku bisa teleportasi tepat waktu, kalau tidak habislah aku! Oh, sialan, ini sakit banget, rasanya seperti baru tumbuh tanduk. Kubunuh dia!”

“Yuta, kau tak boleh membunuhnya. Kalau dia mati sebelum menikah denganmu kau juga akan bernasib sama dengannya.”


Yuta memutar matanya. “Aku tahu, Yanan. Aku cuma kesal. Aku tak benar-benar berniat membunuhnya, bisakah kau diam? Kau mau tahu sesakit apa kepalaku sekarang?”


“Oh, syukurlah, kukira kau serius.”


Yuta menggelengkan kepala, lantas menoleh ke arah gerbang kampus, tempat ia pertama kali bertemu dengan gadis itu, kemudian mendengus sendiri. Ia lantas menoleh lebih jauh ke area parkir dan gedung-gedung fakultas yang berjejer.


“Dia kuliah di sini,” gumam Yuta. “Bagaimana bisa aku tak pernah mencium baunya? Kita duduk di sini nyaris setiap hari.”


“Kampus ini luas,” komentar Yanan.
“Aku tahu, tapi seingatku penciumanku lebih kuat dari ini. Dulu aku bisa mencium bau pengantinku setiap hari hanya karena kita satu kota. Tapi sekarang, bahkan saat kami ada di area kampus yang sama… aku tak merasakan apa-apa.”


“Entahlah, mungkin karena kau sedang di ambang kematian.”
“Kau diam-diam senang ya aku mau mati?”
“Tidak, tentu saja,” sergah Yanan cepat. “Tapi ini semua salahmu, kan? Andai kau turun ke bumi lebih cepat, semuanya tak akan begini. Kau terlalu percaya diri.”


“Aku tak tahu kalau yang ini akan sulit dicari.”
“Yeah,” gumam Yanan, “tetap salahmu.”


Yuta mendecakkan lidahnya. Melihat Yanan menyalahkannya begini, tiba-tiba ia jadi merindukan temannya yang satu lagi. “Ke mana Edawn?”


Yanan mengangkat bahu. Yuta memandang berkeliling untuk memastikan Edawn tidak sedang menggoda mahasiswi di sekitar mereka.


Dan saat itulah Edawn tiba-tiba berteleportasi. Yuta memandangnya muncul dari bilik kantin dan menggelengkan kepala. Itu adalah tempat paling bodoh untuk berteleportasi. Sekarang penjaganya—seorang pria usia 40 tahunan berbadan pendek—kelihatan bingung setengah mati melihat ada pria berwajah mabuk baru saja keluar dari dapurnya. Dia mengecek biliknya sekali lagi sebelum memandang Edawn yang nampak tak peduli.


Pria itu menghampiri tempat duduk mereka dan langsung tertawa heboh begitu menyadari ada kompresan di kepala Yuta.


“Oke oke sekarang ceritakan padaku apa lagi yang si bodoh ini lakukan,” kata Edawn sambil berusaha menghentikan tawa. Ia mengenyakkan diri di kursi plastik di samping Yanan dan memandang Yuta penuh minat.


“Kau belum tahu apa yang terjadi dan sudah tertawa sekeras itu?” tanya Yanan.
“Aku tahu ini pasti lucu.”
“Tak ada yang lucu dari ini. Waktuku tinggal 4 hari,” tukas Yuta geram. “Ini mustahil, kau tahu. Asosiasi benar-benar menginginkanku berubah jadi debu.”


“Heh, tolol, asosiasi memberimu waktu setahun untuk mencarinya tapi kau dengan congkaknya baru turun ke bumi di bulan terakhir. Jadi siapa yang salah?” seru Edawn. Setelah menghardik Yuta, pria itu menyikut Yanan menuntut penjelasan. “Jadi apa yang terjadi pada dahinya, eh?”


“Dia dilempari telepon,” jawab Yanan kalem, seolah itu adalah hal ternormal yang mungkin didapat seorang Yuta.


“Wahh!! Ceritakan detailnya!”


Yuta mendecak. “Yanan akan menceritakanmu detailnya dan kau boleh tertawa sepuasmu. Tapi tidak sekarang,” katanya tegas. “Aku akan mati dalam 4 hari. Apa yang harus kulakukan!”


“Kita harus cari tahu kelemahannya,” kata Yanan serius. “Maksudku, kita bisa mengancamnya dengan itu.”


“Yanan, tidak, dia harus jatuh cinta padaku.”
“Kau sudah hidup 400 tahun tapi masih tidak mengerti aturan asosiasi?” Yanan menaikkan nada bicaranya. Yuta dan Edawn saling melempar pandang dan mengernyit.


Yanan menghela napas lelah dan menjelaskan, “Mungkin selama ini kalian selalu beruntung karena berhasil membuat pengantin kalian jatuh cinta sebelum menikah, tapi sebenarnya aturan asosiasi tidak mengharuskannya seperti itu.”


“Aturan asosiasi jelas-jelas menyebutkan bahwa ritual hanya bisa terjadi jika sang pengantin memiliki jantung yang berdegup untukmu. Dan kukira semua orang yang tidak idiot pasti mengerti maksud dari ‘jantung yang berdegup untukmu’ adalah jatuh cinta,” kata Edawn tak mau kalah. Sementara Yuta yang jarang membaca apa-apa (apalagi aturan asosiasi) cuma menatap mereka berdua sambil mengompres benjolnya.


“Itu benar dan kau baru saja menyebut poinnya,” kata Yanan tenang. “’Jantung yang berdegup untukmu’ adalah syarat dari ritual. Sedangkan pernikahan hanyalah permulaan dari ritual. Kau masih punya waktu 3 kali purnama setelah pernikahan untuk menjalankan ritual.”


“Jadi maksudmu angka di tangan kita ini hanya batas untuk menikah, bukan ritual?” tanya Edawn terkejut. Ia memerhatikan angka 489 di pergelangan tangannya dengan tatapan seolah deretan angka itu sudah membohonginya seumur hidupnya.


“Benar sekali.”


Edawn bergeming. Otaknya berusaha mencerna semua informasi itu dan begitu semuanya jelas, ia langsung bertepuk tangan pelan dengan tampang takjub. “Aku sudah hidup 400 tahun dan baru mengerti aturan ini sekarang?” katanya, kemudian menoleh pada Yanan. “Wah, ternyata kau tidak seidiot yang kukira.”


Yanan memutar mata. Sementara Yuta menatap mereka tak paham.


“Kau masih tak mengerti?” tanya Yanan. Yuta terlalu gengsi untuk menggeleng, tapi ekspresi bingung di wajahnya membuat semua orang tahu apa isi otaknya.


“Sepertinya benjol itu membuat si bodoh ini makin bodoh,” gumam Edawn. Yuta yang tak terima terus-terusan dipanggil bodoh langsung melempar kompresannya pada Edawn. Namun pria itu berhasil mengelak dan membuat kompresan itu jatuh di antara segerombolan mahasiswi di meja sebelah.


Baik Yuta, Edawn maupun Yanan dengan kompak pura-pura tak bersalah. Sementara para gadis di meja sebelah menoleh ke sana kemari sambil mengomel.


“Intinya,” Yanan kembali menjelaskan dengan suara rendah, “pengantinmu tak harus mencintaimu dulu untuk menikah. Kau masih punya waktu untuk membuatnya jatuh cinta padamu sebelum tenggang waktu ritual.”


“Tunggu, apa?!” Yuta setengah berteriak.
“Kau mendengarku,” kata Yanan.
“Kau serius?”


Yanan mengangguk malas-malasan.


“Pantas saja! Selama ini aku bingung sekali apa gunanya tenggang waktu 3 kali purnama.”
“Yeah, aku selalu menjalankan ritual di malam pernikahan,” sambut Edawn. “Maksudku, apa gunanya menunggu 3 kali purnama?”


Yuta mengangguk setuju. Hatinya terasa lebih enteng karena ternyata ia masih punya harapan hidup.


“Untuk sekarang, fokus kita adalah mencari tahu kelemahan pengantinmu.” Yanan kembali merendahkan suaranya. “Lalu gunakan itu untuk mengancamnya.”


“Caranya?” tanya Edawn.
“Apa kau tahu siapa keluarganya, atau temannya, atau siapa pun yang dekat dengannya? Itu adalah sumber informasi terbaik.”


Yuta langsung teringat kejadian di restoran kemarin sore, “Sepertinya aku tahu,” katanya. “Setelah aku membuntutinya kemarin, dia masuk lewat pintu belakang restoran dan tak lama kemudian keluar cewek galak berbaju hitam putih—aku yakin dia temannya, dia memanggilku penguntit dan teriak-teriak akan menghajarku.”


“Dia melihatmu?” tanya Yanan.
“Tidak, kurasa. Aku sembunyi.”
“Oke, tapi untuk jaga-jaga, lebih baik aku saja yang ke sana.”


Yuta langsung mengangguk. Dia benar-benar tak mau ketemu cewek itu lagi.


“Waktu kita cuma 4 hari, jadi ayo bagi tugas.”
“Bagi tugas?”
“Ya.”
“Tugas apa?”


Yanan tersenyum. “Percaya padaku, ini rencana brilian.”



**********



Kaki Ye Eun mengentak-entak di lantai selagi ia bicara. “Aku tak tahu dia keluar dari mana. Maksudku, semua jendela terkunci dan aku berdiri tepat menghadap ke pintu. Aku merasa benar-benar bodoh saat semua tetangga datang dan melihat kamarku kosong,” keluhnya. “Para polisi juga mengira aku membuat laporan palsu.”


“Bukankah gedung apartemenmu ada CCTV-nya?”
“Nah, itu dia!” Ye Eun menepukkan tangannya heboh. “Dia tak terekam CCTV! Coba kau bayangkan makhluk apa yang tiba-tiba lenyap begitu!”


Ji Won melongok ke balik sekat dapur dan meringis. “Bisakah bicaranya pelan sedikit? Ada banyak pelanggan di luar.”


“Iya, maaf.”
“Sekarang ceritakan pelan-pelan bagaimana ciri-cirinya. Apa dia cowok yang sama dengan yang mengikutimu kemarin?”


“Sepertinya sih begitu.” Ye Eun menarik napas dan berusaha mengingat-ingat rupa sang penyelinap. “Dia punya mata yang besar, pupilnya cokelat dan hampir menutupi seluruh bagian putihnya. Rambutnya hitam, agak panjang. Tubuhnya kurus, pokoknya sangat kurus sampai tulang pipinya menonjol. Dia punya jari-jari yang panjang. Dan saat aku buka mata, dia sudah berdiri di ujung ranjangku sambil menyeringai, kemudian mengajakku menikah.”


Ji Won tak bereaksi. Ia cukup yakin kalau Ye Eun hanya berhalusinasi. Bukankah kemarin juga begini? Dia bilang ada yang mengikutinya di luar tapi ternyata tak ada siapa pun. Dan sekarang makhluk itu (jika benar ada) bahkan tidak terlihat CCTV. Ye Eun memang sahabatnya, tapi bukan berarti Ji Won akan memercayai apa saja yang keluar dari mulutnya. Apalagi jika kata-kata itu setidak masuk akal ini.


“Sekarang bertambah lagi satu alasan bagi bibi pemilik apartemen untuk mengusirku akhir bulan ini,” gumam Ye Eun frustasi.


“Tentu saja,” timpal Ji Won. “Kau sudah membuat keributan tengah malam.”
“Ya ampun, membuat keributan katamu? Memangnya aku bisa diam saja dalam situasi genting begitu?”
“Oke, oke, maaf.” Ji Won berucap setengah hati. “Jadi apa kau mau aku menginap di apartemenmu malam ini? Jaga-jaga kalau orang aneh itu datang lagi.”


Mata Ye Eun seketika berbinar dan ia langsung mengangguk setuju.


“Oke.”
“Ya ampun, sungguh? Kau adalah teman terbaik di dunia.”
“Ya, aku tahu. Sekarang sudah cukup curhatnya, kau kembali bekerja,” suruh teman sekaligus atasannya itu ketus. Ia menyorongkan apron dengan keras ke dada Ye Eun kemudian pergi sambil menggeleng-gelengkan kepala.


“Hei, aku cuma bisa kerja sampai jam 3, ya!” seru Ye Eun. “Kau ingat kan hari ini aku ada kelas?”


Ji Won menoleh padanya dengan geram. “Dasar! Kau itu memang tidak niat kerja ya!”


“Ji Won, please.”
“Ah, terserah.”
“Aku benar-benar menyayangimu.”
“Cih.”


Ji Won memutar matanya lalu masuk ke ruangannya (ruangan kecil milik supervisor) sambil mengumpat.



*********



Edawn dan Yanan masuk ke restoran tempat pengantin Yuta bekerja pukul setengah lima sore. Berlagak bak pelanggan normal, keduanya duduk di salah satu meja dan melihat-lihat menu.


“Serius, Yanan? Ini rencana brilianmu? Kita bahkan tak tahu pengantinnya Yuta yang mana, sekarang kita harus mencari temannya?”


“Diamlah.”
“Harusnya kita mengajak Yuta.”
“Yuta punya tugas lain.”
“Tugas lain apa? Kau cuma menyuruhnya mengawasi pengantinnya.”
“Dia harus belajar mendekati pengantinnya dengan normal. Dan yang kumaksud dengan normal di sini adalah normal dalam arti manusia. Hei, lihat arah jam 3, dia pakai baju hitam-putih.”


Edawn memalingkan kepala dan mendapati seorang wanita berambut hitam di sana, sedang bersandar di meja kasir sambil serius memandangi clipboard.


“Itu pasti temannya pengantin.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Yuta bilang dia pakai baju hitam-putih kemarin.”
“Dan kau pikir dia akan pakai baju yang sama keesokan harinya? Genius.”
“Mungkin bukan baju yang sama,” gumam Yanan sambil berdiri. Matanya memicing pada nametag warna emas di kemeja sang wanita, “Tapi kurasa jabatannya membuatnya harus memakai warna itu tiap hari.”


“Apa sih maksudm—hei, kau mau ke mana?” Edawn menarik belakang kemeja Yanan.
“Aku mau tanya soal pengantin Yuta padanya.”
“Apa-apaan! Kenapa sih kau yakin sekali dia yang kita cari?”
“Instingku kuat.”
“Dia bukan pengantinmu. Kau tidak bisa mengandalkan insting untuk ini. Lagi pula kita bahkan tak tahu siapa nama pengantinnya.”


“Justru kita ke sini supaya tahu, kan?” balas Yanan tenang. Ia menyentak kemejanya dari tangan Edawn, lantas berlalu.


Edawn mendecak, kemudian merendahkan posisinya sambil mencemooh betapa 'brilian'-nya rencana ini. Dia bahkan tak tahu apa tepatnya rencana yang Yanan maksud. 


“Permisi.” Yanan berhenti persis di depan sang wanita.


Wanita berbaju hitam-putih itu mendongak, serta merta menegakkan badan dan tersenyum sopan. “Ada yang bisa saya bantu?”


“Yeah, sebenarnya ada masalah.”
“Masalah? Masalah apa? Apa ada sesuatu di makanan Anda? Apa pelayanan kami buruk? Rasanya tak enak?”


Yanan mendenguskan tawa basa-basi sambil mengibaskan tangan. “Bukan itu. Aku bahkan belum pesan.”


“Lalu?”
“Begini, aku mencari seseorang. Kemarin aku melihatnya masuk ke sini lewat pintu belakang, jadi kupikir dia kerja di sini.”


“Siapa namanya? Kami punya 4 pelayan laki-laki dan 3 perempuan.”
“Dia perempuan, tinggal di kawasan In-Sa, apartemen lantai 1. Dan aku yakin dia kuliah di Universitas Myora. Aku melihatnya pulang dari kampus itu sebelum ke sini.”


Mata sang wanita langsung memicing curiga, cuma ada satu nama di kepalanya. Dua pelayan wanita yang lain bukan anak kuliahan dan mereka tinggal di belakang restoran dan bukannya di In-Sa. Hanya Ye Eun yang tinggal di In-Sa.


“Ada perlu apa dengannya?” sahut wanita itu protektif. Ia menyedekapkan tangan dan wajah ramahnya lenyap begitu saja.


“Bosku rentenir,” balas Yanan asal, baru membuat skenarionya detik itu juga. “Apa kau tahu dia dibuntuti seseorang akhir-akhir ini? Itulah bosku.”


“Apa?”
“Aku ke sini untuk…” Yanan memutar matanya dengan liar mencari inspirasi, lalu melihat tumpukan kertas tagihan di meja kasir dan melanjutkan, “…menagih pembayaran utang-utangnya.”


“Jangan bercanda! Mana surat utangnya?”
“Maaf, tapi surat seperti itu tidak bisa kuperlihatkan ke sembarang orang.”
“Sembarang orang apa? Aku sahabatnya.”
“Dari mana aku tahu kau benar-benar sahabatnya?”
“Aku tahu semua tentang dia.”
“Sungguh?”
“Ya.”
“Nama lengkap?”
“Nama lengkapku atau nama lengkapnya?”
“Kalian berdua.”
“Namaku Moon Ji Won dan dia Shin Ye Eun,” jawab Ji Won galak. Kemudian terdiam sendiri menyadari kebodohannya. “Tunggu, kenapa aku malah menyebutkannya padamu? Bisa saja kau yang bohong, kan?”


Yanan tersenyum tebar pesona, “apa aku terlihat seperti pembohong?”


“Ya,” balas Ji Won tanpa berpikir, “kau terlalu imut untuk jadi anak buah rentenir.”


Yanan tak menduga akan mendengar jawaban semacam itu. Ia tak bisa menghentikan senyumnya yang terus melebar. Pria itu pun melanjutkan skenarionya sambil cengengesan, “Terima kasih, tapi maaf, aku ke sini bukan untuk mendengar rayuanmu. Aku diperintahkan untuk mengambil semua aset Shin Ye Eun.”


“Aset apa?” teriak Ji Won. “Dia orang paling miskin dan paling bodoh yang pernah kukenal seumur hidupku. Harusnya dia dapat santunan dari pemerintah.”


Yanan mengernyit, “kukira kau sahabatnya.”


“Aku memang sahabatnya, tapi itu tak mengubah fakta apa pun soal betapa miskin dan bodohnya Shin Ye Eun.”


“Wah, jadi Shin Ye Eun ini kasihan sekali, ya?” tanya Yanan dengan nada iba yang dibuat-buat. Ji Won sudah kelihatan begitu emosional dan sepertinya, tanpa perlu dipancing lagi, dia akan membocorkan semua informasi yang Yanan butuhkan.


“Benar. Shin Ye Eun itu tak punya apa-apa,” mulainya, “Dia bahkan mengemis padaku supaya bisa kerja di sini. Dia baru kerja 1 minggu tapi sudah ambil gajinya untuk 2 bulan. Biar kuberi tahu padamu, anak itu sinting. Kuliahnya juga kacau. Kau tega membuat orang semelarat itu makin melarat?”


“Bukankah dia punya apartemen?”
“Tidak, dia cuma sewa. Dan dia sudah menunggak bayar dari Februari. Intinya, dia tak punya tempat tinggal. Anak itu akan ditendang keluar akhir bulan ini—yang berarti tiga hari lagi.”


“Memang ke mana orangtuanya?”
“Di Jeonnam. Mereka tak tahu apa-apa soal kehidupan Ye Eun, mereka kira anak sulungnya itu sudah jadi pekerja kantoran sukses. Aduh, pokoknya kalau diceritakan selengkapnya kau bisa menangis. Adiknya bahkan terancam putus sekolah karena tak ada biaya. Dia bisa hidup sampai sekarang cuma karena kemurahan hatiku saja—bukan berarti kau bisa minta pelunasan utangnya padaku. Pokoknya dia miskin, dan bodoh, dan tak punya apa-apa. Jadi kumohon padamu tinggalkan dia sendiri!”


Yanan tersenyum menang. Ternyata ini lebih mudah dari yang ia kira. Gadis itu cuma butuh uang. Dan asosiasi bisa memberi mereka trilyunan uang manusia jika mau. Uang itu tak lebih dari lembaran kertas bagi vampir, tak ada artinya.


“Heh, kenapa kau malah senyam-senyum? Dengar ya, kalau kau masih punya hati, seharusnya kau suruh bosmu untuk tidak membuntutinya lagi. Anggap saja utangnya itu sebagai donasi untuk kesejahteraan orang miskin.”


“Oke,” sambut Yanan riang.
“Oke apa?”
“Aku akan bilang pada bosku untuk mengikhlaskannya.”
“Serius?”


Yanan mengangguk, masih dengan senyum kelewat lebarnya. “Terima kasih banyak ya, Moon Ji Woon. Aku pergi dulu.”


“Eh? Begitu saja?”


Yanan berbalik badan dan berjalan menghampiri Edawn dengan suka cita. Mengabaikan Ji Won yang keheranan setengah mati.


“Coba tebak! Yuta tidak jadi mati!” serunya. “Ayo kita beri tahu anak itu sekarang!” Ia menarik Edawn sampai berdiri lalu mengalungkan tangan di lehernya.



“Serius?”
“Iya!!”
“Apa katanya?”
“Pokoknya anak itu miskin, dia cuma butuh uang dan masalah selesai.”
“Bagus sekali.”
“Aku tahu.”
“Yuta tidak jadi mati.”
“Yeahhh.”


Keduanya  meninggalkan restoran sambil bernyanyi dan berjingkat-jingkat kegirangan.



**********



Sementara itu, di tempat lain, persisnya di sebuah ruang kelas, Yuta berteleportasi persis di belakang Ye Eun. Ia tiba-tiba muncul di pojok kelas maha besar tersebut—yang untungnya diisi oleh orang-orang super tekun, mereka fokus sekali memerhatikan dosen di depan kelas hingga tak ada satu pun yang menyadari kemunculan tak biasa Yuta.


Yuta duduk bersandar di kursinya. Menumpangkan lututnya di bingkai meja dengan posisi tubuh condong ke belakang, kaki kursi bagian depannya terangkat. Dalam posisi ternyamannya itu, ia memerhatikan belakang kepala Ye Eun dengan penuh dendam. Seumur hidupnya (yang sama sekali tak sebentar), ini pertama kalinya ia dibuat benjol oleh anak manusia. Harga dirinya rasanya terjerembab ke inti bumi.


Saat itu, tiba-tiba saja Ye Eun memegang tengkuknya dan bergidik. Gadis itu refleks menoleh ke belakang dan langsung membeliak melihat Yuta. Yuta yang tak siap dengan tatapan tiba-tiba itu sontak terkejut dan membuat keseimbangan posisinya hilang. Kaki kursi bagian depannya berdebum ke lantai dan membuat seisi kelas tersentak. Bahkan dosen mereka yang sedang menulis di papan pun ikut terkejut sampai tulisannya menukik ke bawah.


Dengan gerakan pelan, sang dosen menoleh pada asal suara. Ia bertanya dengan nada marah yang ditahan-tahan, “Ada yang bisa kubantu?”


Yuta menoleh ke belakang, lalu sadar bahwa si dosen sedang bertanya padanya.


“Aku?”
“Ya. Ada yang bisa kubantu?”
“T-tidak.”
“Kalau begitu diamlah.”
“Oke.”


Dan dia pun menulis lagi.


Ye Eun pura-pura fokus selama 4 detik sebelum ia menoleh lagi pada Yuta. Yuta juga tengah menatapnya. Ye Eun berjengit kaget dan segera berpaling lagi ke depan. Dia yakin sekali wajah itulah yang ia lihat semalam. Dan ia juga yakin sekali tempat duduk di belakangnya kosong 10 menit yang lalu, dan satu-satunya pintu masuk ada di sebelah barat. Apa dia menembus tembok?


Selama 15 menit berikutnya, Ye Eun hanya bisa menahan diri untuk tidak menoleh lagi pada Yuta. Menahan diri untuk memegangi tengkuknya yang meremang. Menahan diri untuk melirik apa pun kecuali dosen dan papan tulisnya. Walau tak ada satu hal pun yang masuk ke kepalanya selain rasa takut, tapi Ye Eun berhasil melalui kelas sore itu. Ia berdiri dari kursinya, setengah berharap semua ini akan berakhir. Tapi makhluk beraura seram di belakangnya malah berjalan mengikutinya.


“Apa maumu?” Ye Eun bertanya ketika ia masih saja diikuti sampai ke lorong.
“Kau,” jawab Yuta apa adanya. “Aku membutuhkanmu untuk bertahan hidup.”


Ye Eun memandangnya seolah pria itu sudah sinting.


“Oh, begitu? Kau membutuhkanku?”
“Ya.”
“Aku juga membutuhkanmu,” katanya.


Yuta membelalak tak percaya. Ia nyaris saja tersenyum sebelum Ye Eun kembali berkata, “aku membutuhkanmu untuk dibawa ke kantor polisi.”


“Kantor polisi?”
“Ya, jangan pura-pura tak besalah. Itu kau, kan?” tuduhnya. “Yang ada di kamarku semalam! Yang mengikutiku ke restoran!”


Yuta terdiam. Keningnya tiba-tiba terasa sakit lagi. Gadis di depannya kelihatan marah sekali sampai rasanya ia akan melempari muka Yuta dengan sesuatu lagi. Mungkin tasnya. Mungkin bak sampah di sebelah pintu. Mungkin pot-pot bunga. Apa pun.


“Namaku Yuta.” Yuta memperkenalkan diri, memilih untuk mengganti topik ketimbang menjawab pertanyaan yang berpotensi membuat kepalanya semakin babak belur.


Ye Eun mendengus. “Aku tak peduli siapa namamu. Dengar, kuperingatkan ya, kalau kau mengikutiku lagi, aku akan…”


Saat gadis di depannya ini sedang memberi ‘peringatan’ dengan menggebu-gebu, telinga Yuta berdengung dan tiba-tiba saja suara Yanan yang penuh gairah terdengar.


[Yuta, apa kau sedang bersamanya?]
“Ya,” gumam Yuta pelan.
[Bagus. Sekarang ikuti kata-kataku.]
“Tidak bisa.”
[Heh, Kalau Yanan bilang ikuti ya ikuti!] Tiba-tiba itu suara Edawn.
“Tidak bisa. Dia sedang bicara padaku.”
[Potong saja! Ini soal hidup dan matimu!] tukas Edawn tak sabar.
“…dan aku tak habis pikir makhluk macam apa kau ini? Kenapa kehadiranmu selalu membuatku merinding? Dan lagi, bagaimana bisa kau masuk ke kamarku dan menghilang begitu saja? Aku bahkan baru tahu kalau kita satu kampus. Dengar ya, kalau sampai kau mengangguku lagi…”


“Aku tahu kau juga membutuhkanku,” sela Yuta, mengikuti ucapan Yanan di telinganya.
“Apa?”
“Ya, Shin Ye Eun, kau membutuhkanku sama banyaknya dengan aku membutuhkanmu. Aku tahu kau sedang butuh uang, dan aku bisa mengantarkan 6 truk uang ke rumahm—eh tunggu, memangnya kau punya rumah? Bukankah kau akan diusir dari apartemenmu tiga hari lagi?” Yanan tertawa mencemooh di telinga Yuta dan Yuta mengikutinya juga, hanya saja tawanya terdengar hambar alih-alih mencemooh, “Hahaha, menyedihkan,” lanjutnya monoton. “Tapi kalau kau menerima penawaranku, kau bisa tinggal di rumahku dan menggunakan semua fasilitas di sana sepuasmu. Sekadar informasi, rumahku 4 kali lipat lebih besar dari keseluruhan gedung apartemenmu.”


“Ya Tuhan.”
“Yeah, aku tahu. Aku memang sekaya itu.”
“Bukan, bodoh. Kau pikir aku ini cewek murahan, ya?” teriak Ye Eun terhina.


Yuta sudah membuka mulut untuk membalas ucapan Ye Eun, tapi Yanan malah lanjut berceloteh dan Yuta tak punya pilihan lain selain mengikutinya, “Aku juga tahu adikmu nyaris putus sekolah.”


Ye Eun membatu. Ia memandang Yuta, berpikir dari mana manusia jadi-jadian ini mengetahui semua itu.


“Jika kau menikah denganku, kau tak akan perlu memikirkan itu lagi. Aku akan menanggung semua biaya pendidikan adikmu sampai dia jadi profesor. Aku juga akan menanggung kehidupan keluargamu berapa pun yang mereka butuhkan. Apa mereka mau liburan di Hawaii? Mau nonton piala dunia di Rusia? Mau keliling Eropa? Aku bisa wujudkan semuanya.”


Ye Eun jelas-jelas tercengang, tapi dengan sisa kesadarannya, ia memaksa dirinya untuk tidak terlena dengan semua rayuan itu. Lagi pula dari mana makhluk astral ini punya uang sebanyak itu? Dia pasti bohong, kan? Jika tidak bohong, dia pasti membuat perjanjian dengan jin atau terlibat geng mafia internasional. Ye Eun lebih memilih jadi gelandangan daripada hidup dalam lingkaran kelam seperti itu.


“Aku tidak mau. Carilah wanita lain.”
“Dia bilang dia tidak mau,” gumam Yuta putus asa.
“Kau bicara pada siapa, sih? Apa kau memasang alat penyadap suara di telingamu? Apa pembicaraan kita direkam?”


“Tidak,” balas Yuta cepat, “aku bicara pada diriku sendiri.”
“Dasar sinting!” seru Ye Eun galak, lantas berlalu.
[Katakan padanya untuk memikirkannya dulu. Bilang kau akan tunggu sampai besok pagi dan…] Yanan terus bicara, sementara Yuta bersandar di dinding, memerhatikan punggung Ye Eun yang semakin menjauh, meratap kenapa asosiasi memberikannya pengantin sebarbar ini.


[Hei, sobat, kau dengar aku?]
“Ya, aku dengar.”
[Lalu kenapa tidak kau ikuti?]
“Dia sudah pergi.”
[Ya ampun, sejak kapan? Kenapa tidak kau kejar?]
“Dia sama sekali tidak tertarik. Dia bilang cari perempuan lain saja.”
[Oh, Tuhan, itu harapan kita semua. Tapi kau tahu sendiri itu tidak mungkin, kan? Dia lah yang terpilih. Sekarang lebih baik kau kejar dia dan katakan apa yang kubilang.]


“Baiklah. Aku akan langsung teleportasi ke…”
[Tidak. Jangan teleportasi! Gunakan kakimu! Kejar dia! Bersikaplah seperti manusia, jangan membuatnya semakin takut!]


“Cih…”
[Cih apa? Cepat kejar dia, bodoh.] Edawn lagi.
“Iya, iya, sekarang kau enyahlah dari telingaku! Suaramu mengganggu sekali.”
[Apa kau sedang mengejarnya?]
“Aku akan mengejarnya kalau kalian berhenti bicara!”


Dan suara mereka pun menghilang.


Yuta mengejar Ye Eun setengah hati sampai akhirnya ia menemukan gadis itu persis di depan gerbang.


“Ye Eun!” panggilnya. “Shin Ye Eun!”


Yuta menarik tangannya, membuat gadis itu mau tak mau berhenti. Ia berbalik badan dan menatapnya penuh kebencian.


“Apa lagi? Sudah kubilang aku tak mau.”
“Kau bahkan tak tahu detail penawarannya, kan? Ini bukan pernikahan biasa. Aku tak akan menyentuhmu.”


“Huh? Begitu?”
“Ya, kecuali jika kau mengizinkan.”
“Jangan gila!” hardik Ye Eun. Ia mengerutkan kening menatap wajah kusut Yuta. Pria itu kelihatan putus asa sekali sampai rasanya Ye Eun percaya dia akan mati jika tidak menikah dengannya. “Sebenarnya apa sih yang terjadi padamu? Pernikahan macam apa yang kau mau? Dan kenapa aku?”


“Aku akan jelaskan semuanya setelah kau setuju.”
“Dan kau pikir aku cukup bodoh untuk menyetujui sesuatu yang abu-abu?”
“Aku tak bisa menceritakan rahasiaku pada sembarang orang, oke? Yang pasti kau akan dapat semua yang kujanjikan, aku bersumpah.”


“…..”
“Aku butuh jawabannya besok pagi. Di sini.”
“Ini bukan sesuatu yang bisa kupikirkan dalam beberapa jam. Aku butuh lebih banyak waktu.”
“Aku tak punya waktu lagi, aku sekarat,” sambar Yuta mendesak. “Please, besok, jam 7 pagi.”


Ye Eun terperangah, tak tahu apa ucapan itu bisa dipercaya atau tidak. Tapi Yuta bicara dengan begitu serius. Ia tak terlihat sedang bercanda. Fisiknya pun nampak abnormal. Lingkaran matanya benar-benar hitam dan tulang pipinya menonjol seperti vampir. Dia bisa jadi benar-benar sedang sekarat.


“Tidak, aku tidak punya penyakit menular,” kata Yuta tiba-tiba.
“Aku tidak bilang begitu.”
“Kau menatapku seperti itu, seolah aku sangat menjijikan.”
“Maaf.”
“Lupakan saja! Dengar, ini akan jadi winwin solution untuk kita berdua. Jadi pikirkanlah dengan bijak,” katanya memohon. Ia melontarkan semua ucapan Yanan yang sanggup ia ingat tapi rasanya semua ini belum cukup. Ye Eun memicing tak suka kepadanya, kemudian berbalik badan dan berlalu.


Yuta mendesah. Kelihatannya ini tak akan berhasil. Perlahan-lahan tubuhnya mulai melemah. Dia bahkan sudah nyaris tak bisa membaui pengantinnya, bahkan di saat mereka tengah bertatapan seperti tadi.


Yuta menatap deretan angka di pergelangan tangannya dan mendesah putus asa. Berpikir apa sebaiknya ia kembali ke dunia vampir dan menikmati 4 hari sisa hidupnya semaksimal mungkin saja di sana.



TBC




Comments

  1. Sumpah ngakak banget sama Ji Won. Masa temen sendiri dikatain 😒

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts