Vampire Bride - Part 3



Sesuai kesepakatan, Ji Won menginap di apartemen Ye Eun malam itu. Mereka terjaga sampai tengah malam hanya karena membicarakan seorang pria.


“Uh, besok aku harus bilang apa?” Ye Eun bergumam setelah menceritakan semua yang ia alami bersama Yuta.


Ji Won menatapnya tak habis pikir. “Kau serius? Aku tahu kau butuh uang tapi kukira kau tak seputus asa ini sampai-sampai mempertimbangkan untuk menikahi penguntitmu sendiri.”


Ye Eun mengernyit, “Bukankah kemarin kau yang bilang padaku kalau satu-satunya jalan keluar dari masalah finansialku adalah cari cowok kaya dan menikahinya?”


“Yeah, aku memang bilang begitu tapi kau seharusnya tidak menanggapinya dengan serius. Itu cuma omong kosong, jangan dengarkan aku.”


“Oke, sekarang pun ucapanmu cuma omong kosong, jadi aku tak akan mendengarkanmu,” balasnya, “aku akan menerima tawarannya.”


“Ye Eun, jangan bodoh!”
“Justru kaulah yang jangan bodoh! Mana mungkin aku melepaskan kesempatan ini dari genggamanku. Tidak setiap hari ada cowok kaya yang mengajakmu menikah.”


Ya. Ye Eun tahu ucapannya saat ini memang sangat bertolak belakang dengan sikapnya tadi sore. Tetapi setelah merenung panjang, gadis itu akhirnya berubah pikiran. Dia berpikir, mungkin semua ini adalah kesempatan sekali seumur hidup untuk mengubah takdirnya yang pahit.


“Kau benar-benar menyedihkan,” cemooh Ji Won. “Selain kebutuhanmu akan uang, apa kau tak mempertimbangkan hal lain?”


“Hal lain apa?”
“Jati dirinya?”
“Jati dirinya?”
“Ya. Kau harus ingat dia cowok yang sama dengan yang menyelinap ke kamarmu kemarin, dialah cowok yang tidak kelihatan CCTV, dia cowok yang muncul begitu saja di kelasmu dan mengikutimu sampai restoran. Apa itu semua tak membuatmu takut?”


Ye Eun terdiam. Dia mengakui memang ada sesuatu yang ganjil dari Yuta, tapi sejujurnya saat ini ia benar-benar gelap mata. Terserah dia makhluk apa, yang penting dia kaya raya.


“Sebenarnya,” tambah Ji Won, “tadi pagi ada yang menemuiku di restoran. Dia mengaku-ngaku sebagai anak buah cowok yang mengikutimu, dia bilang cowok itu rentenir dan mereka akan mengambil semua asetmu.”


“Eh? Aset apa?”
“Aku tahu. Aset yang mana?”
“Itu pasti cuma orang iseng. Aku tak pernah bertemu Yuta sebelumnya, apalagi berutang padanya. Dia bukan rentenir.”


“Oke, mungkin dia memang bukan rentenir tapi…” Tiba-tiba lampu tak kasatmata di kepala Ji Won menyala terang. Gadis itu menatap Ye Eun dengan mata membeliak, “Aku mengerti sekarang!”


“Mengerti apa?”
“Mereka pasti kerja sama. Kau bilang Yuta tahu kau akan diusir dari apartemenmu akhir bulan ini, kan? Dia juga tahu soal adikmu yang nyaris putus sekolah.”


“Yeah?”


Ji Won berdeham dan merendahkan suaranya, “Tolong jangan salah paham. Sebenarnya aku yang memberitahunya.”


“Apa?”
“Dengar, aku minta maaf.”
“Kenapa kau bicara begitu? Sekalipun itu benar, kau tak berhak berkata begitu tentangku. Kenapa kau menyebarkan aibku pada orang asing?”


“Ye Eun, bukan begitu. Aku berusaha membuatmu tampak menyedihkan supaya orang itu kasihan. Dia bilang dia mau menangih utang. Aku bermaksud baik.”


“Tetap saja kau menyebar aibku,” serang Ye Eun geram. “Kau bahkan percaya begitu saja kalau aku berutang pada sembarang orang? Wah!”


“Dia tahu di mana letak apartemen dan kampusmu. Dia juga tahu kau sedang diikuti orang asing akhir-akhir ini jadi kupikir semuanya masuk akal.”


Ye Eun mendecak. Ia masuk ke dalam selimutnya dan berguling membelakangi Ji Won.


“Kau marah padaku? Ya ampun, jangan begini dong!”
“…”
“Heh, bangun!” Ji Won menyodok pinggang sahabatnya itu dengan kaki. “Ini bukan saatnya kita bertengkar. Jangan pura-pura tidur! Kita harus membicarakan jawabanmu pada cowok aneh itu besok.”


“Tak ada yang harus dibicarakan lagi. Aku akan menerimanya,” jawab Ye Eun dari balik selimut.


Ji Won menghela napas. “Pikirkan sekali lagi! Menikah itu menyeramkan.”


“Tidak dengan pernikahan ini.” Ye Eun menyibak selimutnya lagi dan berbalik menghadap Ji Won. “Percaya atau tidak, dia berjanji tak akan menyentuhku. Bukankah itu hebat?”


“Lalu apa intensinya menikah denganmu? Apa keuntungan yang ia dapat?”
“Aku tak tahu. Yang pasti dia bilang dia sekarat dan jawabanku besok menentukan hidup matinya.”
“Itu makin aneh lagi. Kau pikir di dunia ini ada penyakit yang bisa disembuhkan dengan menikah?”
“Memang tidak ada. Mungkin cowok itu hanya terlalu naif—yeah, siapa peduli, lihat sisi baiknya! Dia sebentar lagi mati dan aku akan mewarisi kekayaannya.”


“Wah, otakmu benar-benar. Tapi pikirkan ini, apa kau yakin dia sungguh kaya?”
“Tentu saja.”
“Dari mana kau tahu? Apa penampilannya berkelas? Apa dia selalu naik mobil mewah?”


Ye Eun terdiam.


Ji Won memang benar. Semua informasi soal kekayaan Yuta cuma ia dapat dari mulut pria itu saja. Kalau dipikir-pikir, cowok itu selalu jalan kaki dan pakai jaket yang sama.


“Aku tak akan melarangmu lagi jika keputusanmu sudah bulat, tapi ketimbang langsung setuju begitu saja, sebaiknya kita minta bukti nyatanya dulu. Kita harus pastikan kalau anak itu kaya sungguhan dan hartanya didapat dengan cara yang wajar.”


“Begitu?”
“Ya,” sahut Ji Won mantap. “Kalau kau takut bicara dengannya, aku akan menemanimu.”



**********



Seakan menggarisbawahi betapa pentingnya jawaban Ye Eun pagi ini, Yuta, Edawn dan Yanan sudah datang dan menunggu di depan pagar kampus yang masih digembok pukul 6 pagi. Yuta berjongkok dengan kepala bersandar di gerbang—mukanya pucat pasi seolah hendak disidang. Sementara itu, di tembok pembatas yang melandai di sebelahnya, Edawn tidur telentang dengan sebelah tangan di belakang kepala. Sedangkan pria yang lebih tinggi, Yanan, berdiri dua meter di depan mereka, menyorong ke jalanan dengan mata tertuju lurus pada jalur pedestrian di seberang.


“Jam berapa sekarang?” tanya Yuta tak sabar.
“6.25,” jawab Yanan. “35 menit lagi, tidak lama,” katanya berusaha menghibur.


Edawn mendecak bosan. Yuta mengusap mukanya kuat-kuat seolah ingin meratakan wajahnya. “Kau sudah bilang ‘tidak lama’ dari bermenit-menit yang lalu.”


“Sabarlah.”


Beberapa saat kemudian, kesabaran Yuta habis lagi. “Ya ampun! Dia tak akan datang!” Pria itu berdiri dan mulai mengamuk, “Dasar manusia! Tak ada yang bisa tepati janji! Pantas saja hidupnya pendek!”


“Ini masih 6.27,” jawab Yanan kalem.


Yuta terperanjat. “6.27? Rasanya aku sudah menunggu lama sekali dan ternyata baru lewat 2 menit?”


“Yuta, tenanglah! Kau sendiri yang bilang janjian jam 7.”
“Kenapa kita tidak langsung ke apartemennya saja, sih?” Edawn bangkit ke posisi bersila sembari memetik sebatang tangkai daun untuk dipatah-patahkan saking bosannya.


“Tidak, kita harus sabar. Jangan buat dia merasa didesak.”
“Manusia macam itu memang harus didesak! Benar-benar tidak menghargai waktu!”
“Yuta, ini bahkan belum jam 7.”
“Kenapa waktu di dunia ini lama sekali?” teriak Yuta tak tahan. Dia menendang gerbang di belakangnya sampai gerbang itu bergetar dan menggaungkan bunyi nyaring, kemudian mencaci maki umat manusia dengan semua kalimat buruk yang terlintas di kepalanya. Edawn kembali ke posisi telentangnya sambil melemparkan tangkai daun yang sudah ia belah dua, kemudian memandangi Yuta yang sedang menggila sebagai hiburan.


Saat itu, Ye Eun muncul di persimpangan. Namun karena Yanan belum mengenali paras Ye Eun, ia hanya memandangi gadis itu dengan bosan. Baru setelah melihat Ji Won muncul di belakangnya, pria itu terperanjat dan langsung heboh mengumumkan kedatangannya.


“Mereka datang! Perhatian! Kalian berdua! Astaga bisakah kalian dengarkan aku! Kubilang mereka datang! Semua siap di posisi! Edawn tolol berdiri!”


“Mereka datang betulan?”
“IYA! Makanya cepat Berdiri! Yuta berhenti menendang pagar mereka sudah datang!”
“Apa?”
“MEREKA DATANG!!!!”


Edawn mau tak mau memaksa tubuhnya untuk bangkit lagi. Yuta yang penampilannya sudah kacau karena habis melompat dan berguling-guling segera meratakan rambutnya. Ia melesak ke sisi Yanan untuk melihat gadis itu lebih jelas.


“Ya ampun, kubilang kan jam 7! Kenapa sudah datang!” racau Yuta panik. Ia mengguncang bahu Yanan lalu berputar untuk meninju lengan Edawn. “Dia sengaja datang sepagi ini untuk menolakku! Aku sudah tahu!”


“Yuta, diamlah! Mereka bisa melihatmu dari sana.”
“Bagaimana bisa aku diam? Sebentar lagi aku akan ditolak dan selesai sudah, tamat riwayatku.” Yuta menjambak rambutnya kemudian meratakannya lagi. Dia terus berputar-putar di tempatnya sambil meracau tak jelas. Pria itu kelihatan benar-benar tegang dan stres sampai rasanya ia akan cocok di rumah sakit jiwa. Yanan berusaha menghentikannya sementara Edawn malah cekikikan semakin geli.


“Heh sialan, kau berani tertawa di saat seperti ini?” hardik Yuta panas.
“Tentu saja aku tertawa. Kau konyol.”
“Konyol?”
“Ya, sangat konyol. Taruhan denganku, dia pasti setuju,” kata Edawn. “Kau ini bodoh sekali. Untuk apa khawatir tanpa alasan?”


“Kau bisa bilang begitu karena bukan kau yang akan mati dalam 3 hari.”


Perkataan itu membuat Edawn tertohok. Ia mendengus tak percaya, menggelengkan kepala lalu mendekat pada Yuta dan berkata dengan tajam tepat di depan mukanya. “Benar. Memang bukan aku yang akan mati. Tapi lihat di mana aku sekarang, di dunia menjijikan ini alih-alih di duniaku sendiri. Demi siapa? Demi kau, bodoh! Jadi jangan bersikap seolah semua masalah ini hanya ditanggung olehmu saja.”


“Yeah, masalahmu masalah kami juga,” kata Yanan cepat. “Omong-omong, bisakah kalian tidak bertengkar dulu? Mereka hampir sampai.”


Baik Yuta maupun Edawn segera memutus tatapan intens penuh amarah mereka dan berpaling ke depan. Ye Eun dan Ji Won sedang menyeberang. Dari jarak sepuluh meter, Ji Won sudah menatap Yanan dengan kebencian yang membara, tatapannya seolah mengatakan bahwa ia akan mencabik-cabik pria itu begitu mereka berhadapan—yang artinya kurang dari 30 detik lagi.


Melihat tatapan mengerikan Ji Won, Yanan yang semula berdiri paling depan refleks melangkah mundur dan menarik Yuta menggantikan posisinya. Mereka saling tarik-menarik tak mau jadi yang paling depan sampai Ye Eun tiba di hadapan mereka dan semua laki-laki itu dengan kompak berhenti, menyudahi aksi dorong-dorongan anarkis itu dan berdiri sok keren di posisi masing-masing—dengan Yuta (yang terpaksa) berdiri paling depan.


“Oke.” Yuta berdeham sambil memasukkan kedua tangannya ke saku, berusaha kelihatan angkuh alih-alih gugup. “Jadi apa jawabanmu?”


Ye Eun menghela napas, kemudian menoleh pada Ji Won yang sedang memandangi Yuta dari atas ke bawah sambil mengernyit.


“Apa memandangku! Katakan saja!” bisik Ji Won.
“Kau saja yang bilang.”
“Kenapa aku yang bilang?”
“Itu kan idemu.”
“Tapi ini kan urusanmu. Masa keputusannya keluar dari mulutku?”
“Heh, aku tak peduli dari mulut siapa. Katakan saja!” Tiba-tiba saja Edawn sudah berdiri dekat sekali dengan mereka. Baik Ye Eun maupun Ji Won terkejut dan refleks melangkah mundur. “Atau dari mulutku saja sini! Ayo kau mau bilang apa,” tambahnya. Laki-laki berwajah putih susu itu kembali memangkas jarak di antara mereka dan mencondongkan telinganya ke arah Ji Won.


“Ayo cepat! Katakan!” suruhnya.


Ye Eun menganggukkan kepalanya kepada Ji Won seolah berkata ‘katakan saja’. Ji Won merasa konyol sekali. Sambil meringis, ia meletakkan sebelah tangannya di samping mulut lalu berbisik pada Edawn.


“Apa? Ya ampun, ide siapa ini? Kenapa suka sekali buang-buang waktu? Tinggal bilang iya saja repot benar! Heh dengar ya, di sini, semua orang dari kaumku bisa jadi kaya raya tanpa harus banting tulang. Ini benar-benar merendahkan martabat kaumku tahu tidak. Apa yang membuatmu tak percaya kalau Yuta itu kaya? Mukanya? Apa muka seperti dia tak boleh kaya?” Edawn langsung menyerocos marah bahkan saat Ji Won belum selesai berbisik. Ji Won menarik diri, terperanjat dan kesal. Sementara Yuta memegang mukanya, bertanya ‘memangnya apa yang salah dengan mukaku?’ pada Yanan yang langsung dibalas dengan helaan napas penuh simpati oleh pria tinggi itu.


“Heh orang aneh!” teriak Ji Won. “Tadi kau yang minta kuberi tahu, kan? Sekarang bilang saja apa jawabannya ke teman-temanmu daripada mencemooh ideku begini!”


“Ah! Sudah kuduga itu idemu! Kenapa sih manusia merepotkan sekali?”
“Kau bicara seolah kau bukan manusia!”
“Memang bukan.”


Yanan langsung mengambil alih situasi. “Jangan dengarkan temanku. Dia kebanyakan minum. Jadi,” katanya, tersenyum ramah, “apa jawabannya?”


“Aku mau pastikan dulu,” jawab Ye Eun. Meski Yuta berdiri persis di depannya, gadis itu hanya memandang Yanan.


“Memastikan?”
“Ya. Aku harus tahu dulu apa temanmu ini benar kaya. Maksudku, aku tak bisa asal terima lamaran seseorang yang tidak jelas asal-usulnya, kan?” Ye Eun melirik Yuta singkat. Yuta menatapnya dengan mata berkilat marah, tak terima dibilang ‘tidak jelas asal-usulnya’ walau kenyataannya memang begitu.


“Bukankah itu berlebihan?” tuntut Edawn. “Pada akhirnya kau akan mendapat semua kekayaannya, kan? Kenapa harus buru-buru? Kau benar-benar haus uang, ya? Dasar materialistis.”


“Heh sialan, bukankah kau juga berlebihan? Harusnya kalian berterima kasih karena temanku masih mau mempertimbangkan tawaran konyol temanmu! Mana ada orang normal yang mengajak menikah seperti itu? Bukan cuma menolak, Ye Eun seharusnya melaporkan penguntit ini ke kantor polisi.” Ji Won menudingkan jarinya pada Yuta, kemudian mendelik pada Yanan, “dan kau juga harusnya kulaporkan, dasar penipu!”


Edawn sudah siap untuk balas berteriak lagi, tapi Yuta mengangkat tangannya. “Bagaimana caraku membuktikan aku sungguh kaya? Aku tak bawa apa-apa sekarang. Apa kau mau lihat rumahku?” usulnya.


Ye Eun dan Ji Won tak menjawab.


“Baiklah, karena tak ada jawaban, aku anggap kalian setuju. Jadi ayo ke rumahku,” lanjutnya, “tapi berjanjilah kau akan menjawab setelah itu, Shin Ye Eun-ssi. Aku benar-benar tak punya banyak waktu.”


Ye Eun tertegun. Yuta selalu mengucapkan ‘tak punya banyak waktu’ seolah ia sudah divonis mati, dan Ye Eun tak tahu apa ia harus senang atau iba.


“Shin Ye Eun?”
“Ya. Aku janji akan memberimu jawaban setelah itu.”
“Oke, permisi sebentar.” Yuta berbalik ke belakang dan merangkul kedua temannya, kemudian bicara dengan suara sangat pelan. “Bisakah kalian teleportasi ke rumahku dan bersih-bersih?”


“Ada banyak sekali daun kering di halaman. Di lantai dua ada kucing liar, aku tak tahu dari mana mereka masuk tapi tolong usir dia. Lalu aku juga tak sengaja memecahkan TV saat melempar beker.”


“Kenapa kau melempar beker?”
“Kenapa rumahmu kedengarannya kacau sekali?”


Yuta mengabaikan pertanyaan mereka dan kembali memerintah, “Jangan lupa isi kulkasku dengan makanan manusia supaya mereka tidak curiga.”


“Menyusahkan sekali,” keluh Edawn. “Harusnya kau tak mengajak mereka ke rumahmu.”
“Apa lagi yang bisa dijadikan bukti selain rumahku?”
“Kau bisa minta uang pada asosiasi.”
“Tidak ada waktu,” kata Yanan. “Asosiasi butuh waktu seminggu sebelum bisa mencairkan uang manusia.”


“Apa kau kerja di asosiasi?”
“Tidak, aku cuma membaca peraturannya.”
“Ehem.” Tiba-tiba saja terdengar suara dehaman di belakang mereka. Ketiganya menoleh dan melihat Ji Won sedang bersedekap dengan tampang tak sabar. “Aku dan Ye Eun harus kembali ke restoran sebelum jam 10. Entah apa yang kalian lakukan sekarang, tapi bisakah kalian melakukannya lebih cepat?”


“Yeah.” Yuta mengangguk. “Kami sudah selesai.”


Yanan menarik Edawn ke sisinya. “Kami akan beli makanan dulu untuk kalian. Sampai ketemu di rumah Yuta,” katanya, lalu pergi begitu saja, mencari tempat kosong untuk teleportasi.


Kini tinggalah Yuta dengan kedua gadis itu.


“Oke, kita jalan sekarang?”
“Tidak, besok saja.”
“…”
“Tentu saja sekarang. Dasar! Sudah kubilang aku harus segera ke restoran!” omel Ji Won. Yuta menatapnya sambil menahan emosi. Siapa sih yang mengajaknya ke sini?


“Oke, lewat sini!”



**********



Yuta tak mau mereka datang saat Yanan dan Edawn belum selesai bersih-bersih, jadi pria itu sengaja berjalan lambat sekali sampai ia bisa mendengar Ji Won mendumel di balik punggungnya.


Bosan karena dumelannya tidak ditanggapi, Ji Won pun akhirnya protes terang-terangan. “Yuta-ssi, bisakah kau jalan lebih cepat? Kau tak lihat barusan nenek-nenek itu berjalan membalapmu?”


Yuta berhenti dan menoleh. “Oh, apakah aku terlalu lambat?” Dia tersenyum. “Maaf, hanya saja... cuacanya bagus sekali, sayang kalau dilewatkan begitu saja.”


Ji Won dan Ye Eun menatapnya dengan aneh. Jelas-jelas tak ada yang spesial dengan cuaca hari ini. Anginnya bertiup terlalu kencang dan mataharinya ketutupan awan kelabu. Yuta tahu maksud tatapan kedua gadis itu, tapi ia tetap melanjutkan actingnya. Pria itu menarik napas panjang-panjang dan tersenyum lebar sambil meregangkan tangan, seolah ini adalah hari tercerah sepanjang masa.


“Bisakah kita lanjut jalan?” tanya Ye Eun dengan nada sopan yang dibuat-buat.
“Oh, benar. Aku tak sadar kita sedang berhenti.” Yuta menyelipkan senyum bodoh. “Ayo,” ajaknya, lantas berjalan sama pelannya dengan sebelumnya.


Ye Eun dan Ji Won mendesah, namun mau tak mau tetap berjalan mengikutinya walau dengan tampang frustasi.



**********



Edawn dan Yanan sudah menunggu di depan rumah untuk menyambut kedatangan rombongan Yuta. Semuanya sudah beres. Televisi yang pecah mereka sembunyikan di kolong meja dan bekas pecahannya mereka tutup dengan karpet. Kucing di lantai 2 sudah dikunci di kamar mandi dan lemari es Yuta sudah penuh dengan permen karet beserta rak-raknya yang mereka teleportasi langsung dari supermarket. Yanan dan Edawn saling pandang saat membukakan pintu, nampak bangga sekali dengan pekerjaan mereka.


“Kulkasnya sudah diisi makanan, kan?” bisik Yuta saat ia berjalan melewati Yanan.
“Sudah, dong,” jawab Yanan cerah. “Silahkan masuk.”


Edawn berdiri di ambang pintu dengan dada membusung, memandang rendah pada Ji Won dan Ye Eun seolah ingin mengatakan ‘temanku ini sungguh kaya’.


Ji Won membalas tatapan Edawn dengan berang, kemudian berjalan masuk sambil menahan diri untuk tidak terperanjat. Rumahnya besar sekali dan desainnya benar-benar cantik. Semua perabot di sana nampak amat berkelas dan dindingnya dipenuhi ukiran yang elegan. Ye Eun sampai tak bisa mengatupkan mulutnya.


“Kalian mau berkeliling?” ajak Yuta. Ji Won dan Ye Eun tersadar kemudian mengangguk patah-patah.
“Bagaimana bisa aku tak pernah melihat rumah ini sebelumnya? Aku sudah tinggal di sini 10 tahun,” bisik Ji Won.


“Benar. Aku juga tak pernah lihat. Kau percaya aku akan tinggal di sini saat aku menikahinya? Aku merasa seperti Cinderella,” balas Ye Eun terkagum-kagum. “Ini bukan rumah tapi istana. Aku penasaran berapa luasnya.”


“1.800 m2,” Edawn menjawab. Kepalanya menyembul tiba-tiba di antara kedua gadis itu dan membuat mereka terpekik kaget. Dengan santai, ia mendorong lengan Ji Won dan Ye Eun supaya minggir dan memberinya jarak untuk berjalan di tengah-tengah mereka dengan tampang sok.


“Serius?”
“Ya, aku sendiri yang ukur.”
“Apa orangtuanya juga tinggal di sini?”
“Tidak.”
“Jadi,” Ye Eun kembali bertanya, lebih hati-hati dan lebih penuh antisipasi, seolah jawaban Edawn untuk pertanyaan ini akan sangat memengaruhi jawabannya nanti, “dengan siapa dia tinggal?”


“Sendiri.”
“Wah daebak!” pekik Ji Won. “Kau tak perlu berurusan dengan mertua cerewet. Punya rumah sendiri adalah life goal semua calon istri!”


“Aku tahu! Daebak! Daebak! Aku akan menguasai rumah ini.”


Ji Won memegang kedua tangan Ye Eun dan mereka berdua melompat-lompat di depan Edawn dengan wajah berseri-seri.


“Di lantai satu hanya ada…” Yuta menghentikan ucapannya begitu berbalik dan mendapati Ye Eun, Ji Won dan Edawn tertinggal jauh di belakangnya.


Kedua gadis itu segera berlari-lari kecil menghampiri Yuta dan Yanan yang berdiri menunggu mereka di depan tangga. Sementara Edawn berjalan santai di belakangnya. Begitu semuanya sudah berkumpul, Yuta melanjutkan ucapannya, “Di lantai satu cuma ada sofa, dan sofa lagi, dan lebih banyak sofa,” Yuta menunjuk setiap sofa yang tertangkap matanya. “Dan juga dapur beserta ruang makan—yang selalu kudatangi tiap mau makan,” Yuta menekankan hal itu supaya terdengar sangat ‘manusia’. Yanan mengangguk bangga di sebelahnya. “Dan di sebelah sana juga ada danau buatan.”


“Kolam renang,” ralat Yanan.
“Itu maksudku, kolam renang.” Yuta mengikuti. “Kurasa lebih baik kita langsung ke lantai 2 untuk….”
“Apakah itu TV di bawah meja makanmu?” Ye Eun menyela. Sambil mengernyit, ia dan Ji Won memiringkan kepalanya untuk melihat kolong meja lebih jelas, tapi Edawn yang panik refleks menarik rambut mereka berdua sampai kedua gadis itu berdiri tegak lagi. Ye Eun dan Ji Won memekik kesakitan dan langsung memegangi rambut masing-masing.


“YAH! Kenapa menjambak kami!”
“Sori, tadi ada binatang di rambut kalian.”
“Binatang apanya! Dasar! Otakmu terbuat dari kotoran, ya!”
“Sudahlah, ayo, lebih baik kita langsung ke atas saja!” Yanan memanfaatkan situasi itu dan menggiring mereka semua ke tangga.


Ji Won dan Ye Eun masih mengomel sambil mengeluh sakit, tapi tetap berjalan di belakang Yuta ke lantai atas.


“Sudah kubilang harusnya kita sembunyikan di belakang lemari,” bisik Edawn pada Yanan.


Yanan menepuk pundaknya, “Yeah, nanti kita pindahkan.”



*********



Agenda tur keliling rumah Yuta berlangsung kurang lebih setengah jam. Kini mereka berlima duduk di sofa lantai 1 lengkap dengan satu rak permen karet di atas meja.


“Jadi,” mulai Yuta, menyela kebingungan Ye Eun dan Ji Won atas suguhan yang tidak biasa—mereka bahkan tidak dikasih minum. “Sudah siap memberiku jawaban?”


“J-jawaban?”
“Jangan mengelak lagi! Cepat jawab!” sungut Edawn.
“Yah! Jangan berteriak pada temanku!”
“Dan jangan membuat temanku makin gugup!” balas Edawn tak kalah galak.
“Beri waktu bagi Ye Eun untuk berpikir!”
“Ya ampun, memangnya dari kemarin apa yang dia lakukan?” keluh Edawn, “Apa lagi yang mau dipikirkan? Jawabannya sudah jelas! Dia sudah gila kalau berani bilang….”


“Tidak,” Ji Won menyela. “Jawabannya tidak.”


Ye Eun refleks menoleh padanya. Ia mencengkram lutut temannya itu agar berhenti bicara. Tapi Ji Won tetap bicara dengan lantang, “Karena kalian terus mendesaknya begini, maka jawabannya tidak.”


“Maaf, tapi yang mau diajak menikah adalah nona pengantin, maksudku Shin Ye Eun-ssi,” kata Yanan, tetap berusaha sopan di antara kepanikannya.


Ji Won memandangnya dengan beringas. “Aku tahu. Aku cuma menyuarakan pemikirannya.”


“Aku yakin Ye Eun tak berpikir begitu,” Yuta menyanggah, kemudian menoleh pada Ye Eun seolah minta konfirmasi.


Ye Eun meringis. “Sebenarnya,” katanya pelan, kemudian menghela napas dan bicara dengan suara mencicit, “aku tak bisa.”


“Apa maksudmu!”
“Bukankah harusnya aku yang menanyakan itu? Apa maksudmu! Apa maksud ini semua!”
“Bagian mana yang tak kau pahami? Aku mau menikah denganmu.”
“Tapi kenapa? Kenapa aku? Aku bahkan tak mengenalmu.”
“Aku sudah bilang kemarin, namaku Nakamoto Yuta.”
“Bukan namamu,” sambar Ye Eun, “tapi jati dirimu.”
“Jati diri?”
“Ya. Apa pekerjaanmu? Apa tujuanmu menikahi orang asing sepertiku? Di mana keluargamu dan semuanya. Aku mau tahu semua tentang dirimu sebelum bisa menjawab.”


“Maaf, tapi kan kesepakatan sebelumnya tidak begitu,” kata Yanan halus, sementara keringat dingin mengucur di keningnya. Yuta tak punya pekerjaan, tujuannya menikah adalah untuk menyambung hidupnya sampai seabad ke depan, dan tak ada vampir yang peduli dari mana asal usul mereka jadi jangan tanya soal keluarga.


“Aku tahu, tapi setelah kupikir lagi…”
“Enteng amat bicaramu! Setelah kemauanmu kami turuti lalu seenaknya berubah pikiran!” Edawn benar-benar habis kesabaran dan berdiri.


“Heh, bisakah kau diam dan biarkan Yuta menjawab pertanyaan Ye Eun saja? Itu bukan pertanyaan sulit.”


“Yuta tak akan menjawabnya.”
“Aku akan jawab,” sambar Yuta. “Tapi tidak sekarang. Kita harus menikah dulu.”
“Mana bisa begitu?” hardik Ji Won emosi.


Edawn kesal sekali melihat teman seperjuangannya—yang 3 hari lagi jadi debu—dibentak-bentak. Ia menendang rak permen karet di meja dan berteriak, “Jangan teriak-teriak di rumah temanku!”


“Kau juga teriak.”
“Kalau aku boleh!”
“Itu curang!” Ji Won tiba-tiba saja berdiri dan menjambak rambut Edawn. Edawn berusaha menarik tangan gadis itu dari rambutnya dan mereka mulai berkelahi seperti anak kecil. “Dasar otak kotoran! Cowok mabuk bajingan keparat jelek pendek bau!”


“Jauhkan tangan busukmu dariku!”
“Jangan teriak di telingaku!”
“Ini rumah temanku terserah aku mau teriak di mana!”
“Tapi ini telingaku, Sialan!”
“Kalau begitu letakkan telingamu di luar!”


Melihat semua kekacauan itu, Yanan yang cinta damai terpaksa harus turun tangan. “Teman-teman, please, cukup!” Ia berusaha melerai kedua orang itu sambil berkata ‘hentikan hentikan’, namun suaranya terlalu lembut. Ye Eun ikut berdiri untuk membantunya, sedangkan Yuta sudah kelihatan terlalu frustasi untuk memikirkan orang lain selain dirinya sendiri.


Namun sekeras apa pun usaha Ye Eun dan Yanan, Ji Won dan Edawn tetap saja saling maki, jambak dan tendang. Hingga akhirnya Yanan yang habis kesabaran mengambil rak permen karet di lantai lalu menggebrakkannya ke meja kayu di depan mereka sampai meja itu terbelah dua. Berhasil. Semua orang seketika terdiam. Menatapnya sambil melotot.


Di tengah ruangan yang porak-poranda itu (permen karet berserakan di mana-mana, meja terbelah dua, rak besi yang patah), Yanan menghela napas dan berdeham sok bijak, “Nah, akhirnya kalian tenang juga,” katanya kalem.


“Sekarang, Nona pengantin, bisakah aku bicara?”
“Nona pengantin? Maksudmu aku?”
“Ah, ya, maaf, maksudku Ye Eun-ssi. Begini, alih-alih menanyakan jati diri atau apalah tadi, bisakah kau pertimbangkan semua keuntungan yang akan kau miliki saja? Kau akan tinggal di rumah ini dan hidup bergelimang harta. Yuta juga akan menjamin kesejahteraan keluargamu dan dia bahkan berjanji tak akan menyentuhmu kalau kau tak suka. Jadi aku mohon dengan sangat, tolong jangan mengulur-ulur jawabanmu begini.”


“Aku bukannya mengulur-ulur jawaban. Bukankah jati diri adalah hal paling dasar untuk diketahui satu sama lain sebelum menikah?”


Ji Won mengangguk-angguk. Yanan mulai kelihatan sama putus asanya dengan Yuta, sementara Edawn masih memegangi kepalanya yang pening sehabis dijambak.


“Ini semua terlalu ganjil bagiku. Rasanya seperti dapat hadiah dari langit, kau tahu maksudku? Ini tidak masuk akal. Apa kau berdiri di jalanan, melihat gadis-gadis yang lewat lalu memilih siapa yang mau kau nikahi secara acak? Itu…”


“Ya,” Yuta yang sedari tadi diam dengan tampang frustasi tiba-tiba menyela. Ia menegakkan badannya dan mendongak memandang Ye Eun. “Ya, aku berdiri di pinggir jalan, melihatmu keluar dari gerbang kampus dan serta-merta jatuh cinta. Apa itu salah?”


Ye Eun tersedak ludahnya sendiri, sedangkan Ji Won melotot makin lebar.


“Maaf jika kedengaran aneh bagimu, tapi itulah yang terjadi. Aku sama sekali tak bermaksud membuatmu takut atau apa, aku hanya… ingin membuat sisa hidupku lebih berarti,” tambahnya. Wajah Yuta saat mengatakan semua itu kelihatan serius sekali. Nada sendu dan mata sayunya bahkan berhasil membuat Yanan dan Edawn ikut terdiam dan memandangnya iba.


Yuta terus menatap Ye Eun dengan lembut sampai wajah gadis itu merona. Ini pertama kalinya ada pria yang bilang jatuh cinta padanya seblak-blakan ini dan Ye Eun merasa jantungnya mau melompat dari dada.


“A-apa kau punya penyakit serius?” tanya Ye Eun hati-hati.
“Yeah, parah sekali. Dia punya penyakit bodoh,” jawab Edawn.
“Maksudnya,” Yanan menyela dengan suara keras sambil melotot melirik Edawn, menyuruh pria itu tutup mulut saja, “Yuta ini bodoh sekali karena tidak periksa ke dokter lebih awal. Sekarang semuanya sudah terlambat.” Yanan menoleh pada Yuta dan mencari bagian tubuh mana yang pantas untuk disebut ‘sakit’.


“Kepalanya,” putusnya kemudian. “Di kepalanya ada…” Yanan tak bisa memikirkan nama penyakit kronis ala manusia. Pria itu menggigit bibirnya, berharap kedua temannya—yang sekalipun ia tahu tak bisa diandalkan—untuk hari ini saja mendapat mukjizat. Hingga akhirnya suara Ji Won yang penuh simpati terdengar.


“Tumor?”
“Benar!” sambut Yanan girang. “Tumor. Aku sedih sekali sampai tak berani mengatakannya. Tumor.”


Ye Eun dan Ji Won menghela napas berbarengan, kemudian saling memandang satu sama lain. Mereka berpandangan penuh arti selama beberapa saat sebelum saling bertukar anggukan. Yanan terheran-heran dan nyaris mengira kalau mereka baru saja bertelepati.


“Aku menerima pernikahan ini,” kata Ye Eun tanpa aba-aba, sontak membuat ketiga cowok di depannya melotot kaget. Sesaat kemudian ketiga pria itu saling berpandangan dan langsung bersorak sorai dengan tampang semringah berlebihan. Edawn merentangkan kedua tangannya ke langit dan berteriak penuh syukur, Yanan dan Yuta saling berpelukan. Kemudian Yuta berdiri dan mereka bertiga bertukar tos sambil tertawa girang seolah tim kesayangan mereka baru saja memenangkan piala dunia.


“Tapi dengan satu syarat,” Ye Eun menginterupsi kegembiraan mereka dengan suara yang lebih keras. Ketiganya berhenti dan menatapnya waspada. “Kita baru akan menikah setelah kau mendapat restu dari orangtuaku.”


“Orangtua?”
“Ya. Pernikahan kan bukan cuma antara kau dan aku saja, tapi juga melibatkan keluarga.”
“Baiklah.”
“Aku akan membuat surat pernyataan kalau kau mau menikahiku dan terserah bagaimana caranya, kau harus bisa meyakinkan orangtuaku kalau kau ini cowok baik-baik dan membuat mereka bersedia menandantangani surat pernyataan itu.”


Yuta mengangkat sebelah alisnya, “Itu saja?”


“Ya.”
“Oke. Buatlah surat pernyataannya sekarang!”



**********



Ye Eun semula mengira idenya soal surat pernyataan itu amatlah brilian. Mustahil sekali orangtuanya akan menandatangani surat antah berantah itu begitu saja. Ye Eun tak pernah mengatakan punya pacar dan tiba-tiba saja ada cowok yang mendatangi mereka dan minta tanda tangan untuk menikahi putrinya. Konyol sekali. Pun seandainya ia berhasil (walau kemungkinan ini nyaris nol), Yuta butuh waktu yang tidak sebentar untuk perjalanan pulang-pergi Seoul-Jeonnam, dan jangan lupakan proses pendekatan dengan ayahnya dulu.


Puku 10 malam, Ye Eun dan Ji Won keluar dari restoran sambil cekikikan membahas Yuta dan rombongan sirkusnya.


“Apa menurutmu mereka ikut?” tanya Ji Won selagi menyeberang. Mereka berjalan bersisian di trotoar yang gelap sambil menggandeng tangan satu sama lain.


“Yanan dan Edawn?”
“Siapa lagi?”
“Entahlah. Mungkin iya,” Ye Eun mengangkat bahu. “Aku masih tak percaya Yanan sampai mendatangimu ke restoran dan mengarang semua cerita rentenir itu hanya demi informasi tentangku.”


“Aku tahu. Mereka kompak sekali, cecunguk sinting itu.”
“Apa menurutmu Yuta akan berhasil?”
“Ketimbang itu, aku malah takut dia mati duluan gara-gara disuruh mengerjakan ladang oleh ayahmu,” kata Ji Won geli.


“Yah! Kau tak boleh bilang begitu,” tukas Ye Eun, tapi dia sendiri pun tertawa. “Sejujurnya aku kasihan dengan anak itu, mustahil aku menolak di depan wajah memelasnya.”


“Aku juga kasihan. Kurasa menyerahkan penolakannya pada orangtuamu adalah hal yang benar. Kau sudah telepon mereka, kan?”


“Ya, kubilang ada orang aneh yang akan datang. Jangan bukakan pintu!”


Ji Won menyemburkan tawa. “Kau jahat sekali! Dia punya tumor di kepala.”


“Apa menurutmu itu benar?”
“Aku tak tahu. Tapi dia memang kelihatan sakit.”
“Apa lebih baik aku telepon orangtuaku lagi?”
“Wah, kau mudah sekali berubah pikiran, ya! Sebenarnya kau mau menikah dengannya atau tidak?”
“Aku tak tahu. Jika ternyata dia berhasil, yah, aku akan menunaikan janjiku.”
“Serius?”


Ye Eun mengangguk mantap. “Toh aku sama sekali tidak rugi apa pun, kan? Justru sebaliknya, aku akan kaya mendadak. Aku tidak akan kerja di restoran bau itu lagi dan tidak usah pusing soal biaya kuliah semester  depan.”


“Iya, sih.”
“Dan kalau dilihat dengan saksama, dia lumayan.”
“Apanya yang lumayan? Jangan bilang kau mulai suka dengan si muka heksagon itu!”
“Aku akui dia memang punya aura yang menyeramkan, tapi dia tidak jelek.”
“Siapa yang bilang dia jelek? Aku cuma bilang mukanya berbentuk heksagon, dan dia terlalu kurus untuk ukuran cowok. Sama sekali bukan tipeku. Eh, aku akan lewat jalan ini untuk ke halte. Sampai ketemu besok, ya.”


“Kau tak mau menginap di apartemenku saja?”


Ji Won mengulum senyumnya dan menggeleng, “Tidak, terima kasih. Lagi pula apa yang kau takutkan? Penguntitmu sedang menguntit orangtuamu di Jeonnam. Tak akan ada yang mengganggumu malam ini,” guraunya.


Ye Eun mendenguskan tawa. Keduanya saling melambaikan tangan kemudian mengambil jalan yang berbeda.


Tak butuh waktu lama bagi Ye Eun untuk sampai di apartemennya. Saat sedang merunduk memasukkan kode kunci, ia bisa merasakan lehernya bergidik lagi. Seseorang sepertinya tengah berdiri tepat di belakangnya—dan itu aneh sekali mengingat jalanan di sekelilingnya nyaris kosong selagi ia berjalan ke sini. Ye Eun segera berbalik. Dan hal pertama yang diihatnya adalah kertas—yang buram karena diulurkan terlalu dekat dengan wajahnya. Kertas itu ditarik menjauh dan tampaklah wajah heksagon Yuta yang sedang menyeringai. “Aku berhasil.”


“A-apa?” Ye Eun langsung merampas kertas itu dan mengecek apa tanda tangannya palsu. Matanya bergerak liar ke bagian tanda tangan, kemudian lemas sendiri karena menyadari tanda tangan itu memang asli, lengkap dengan tulisan tangan ibunya yang berkata ‘ah anakku sudah dewasa’ dan foto polaroid super akrab antara Yuta, ayahnya, ibunya serta adik perempuannya, Yeon Ju.


“B-bagaimana bisa? Aku kan baru memberimu kertas ini jam 1 siang.”
“Ya,” jawab Yuta, “dan itu waktu yang lebih dari cukup bagiku.”
“Bagaimana bisa kau ke sana dan ke sini begitu cepat?” gumam Ye Eun, mengamati tanda tangan dan foto itu lagi, berharap bisa menemukan celah untuk menuduhnya curang.


“Besok kujemput jam 7 pagi,” kata Yuta.


Ye Eun mendongak dari kertasnya dan mengernyit galak. “Jemput? Mau apa?”


“Menikah.”
“Apa?”
“Sampai ketemu besok.”


TBC

Comments

Popular Posts