Vampire Bride - Part 5
Ye Eun berjalan masuk ke dalam
rumah megah Yuta sambil menyeret kopernya. Gadis itu benar-benar sudah dalam
mode pasrah sekarang. Dia sama sekali tak tahu apa yang direncanakan Yuta, atau
apakah pria itu punya rencana. Tapi setidaknya, Ye Eun sudah menuliskan semua
yang ia inginkan di surat perjanjian kemarin dan entah mengapa, hanya dengan
secarik kertas itu saja, ia merasa lebih aman melangkahkan kakinya di rumah
ini.
Perjanjian
Kami yang bertanda tangan di
bawah ini, sepakat dan berjanji bahwa, selama pernikahan berlangsung, Tuan
Nakamoto Yuta akan mematuhi hal-hal yang ditulis oleh Nona Shin Ye Eun sebagai
berikut:
- Tidak boleh menyentuh
- Tidak boleh melarangku bertemu Ji Won (atau temanku yang lain, jika suatu saat temanku bertambah)
- Tidak boleh melarangku kuliah
- Tidak boleh mengatur hidupku (dalam artian luas)
- Tidak ada jam malam (aku bebas pulang kapan pun aku mau, atau bahkan tidak pulang sekalipun)
- PRIVASI!!!
- Aku tidak punya kewajiban untuk bangun pagi apalagi memasak sarapan untukmu
- Aku tidak punya kewajban untuk mencuci atau menyetrika baju-bajumu
- Tepati janjimu untuk membiayai sekolah Yeon Ju
- Tepati janjimu untuk membantu perekonomian keluargaku (berikan aku uang kapan pun aku minta)
- Tidak boleh mengomel apalagi memukulku
- Tidak boleh jatuh cinta padaku
Seoul,
26 Agustus 2018
Nakamoto
Yuta - Shin
Ye Eun
“Datang juga akhirnya.” Ye Eun
tersadar dan langsung berbalik. Entah dengan kekuatan magis apa, Yuta sudah berdiri
dekat sekali di belakangnya sampai gadis itu harus mundur.
“Kutunjukkan kamarmu,” katanya
datar, lantas memimpin menaiki tangga menuju lantai dua.
Ye Eun merasa rumah ini menjadi lebih
besar dibanding kunjungan pertamanya. Ia mengekor di belakang Yuta, ditemani
dengan suara koper yang diseret, dan derap langkah yang menggema.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan
malam, tak ada suara apa pun di bangunan ini selain roda koper dan derap
langkah mereka. Sesaat Ye Eun merasa sedang membintangi film horor. Suasananya
persis sekali. Rumah yang luas, kosong nan sepi, dengan lampu-lampu besar berwarna
merah jingga. Semua dekorasi di rumah ini terlihat amat elegan dan berkelas
saat dilihat di pagi hari, tapi sekarang, Ye Eun benar-benar berubah pikiran.
Dia baru saja mengalihkan pandang dari patung laki-laki setengah badan yang
matanya seolah hidup. Karena semua pikiran nyelenehnya itu, Ye Eun jadi sedikit
tertinggal.
“Heh, jangan cepat-cepat, dong,” teriaknya.
Namun Yuta tak menghiraukan.
Yuta terus berjalan naik,
sementara di belakangnya, Ye Eun nyaris terguling karena tak kuat mengangkat
koper besarnya menaiki anak tangga.
Yuta yang mendengar suara berisik
dari koper Ye Eun yang terus-menerus beradu dengan tralis tangga pun akhirnya mendesah dan berhenti. Pria itu
menoleh memandangnya, nampak tak sabar sekaligus geram. Ye Eun masih di anak
tangga kelima tapi dia sudah terengah-engah seperti baru saja mendaki gunung Everest.
Ye Eun melirik Yuta, mengharapkan
pria itu menawarkan bantuan. Namun yang dilirik nampaknya sudah mati rasa.
Alih-alih menunjukkan simpati, dia malah bersandar di tembok sambil menghela
napas, memandang Ye Eun dengan pandangan ‘dasar cewek lambat’ dan menggelengkan
kepala.
“Aku akan tunggu di atas,”
katanya dengan nada lelah, kemudian lanjut berjalan.
Ye Eun benar-benar tak habis
pikir. Yuta sudah meninggalkannya. Gadis itu melirik sekitarnya dan lagi-lagi
merasa semua perabot di lantai satu tengah memerhatikannya. Alhasil, Ye Eun
memaksa dirinya sendiri untuk mengangkat koper itu dan memeluknya sambil
berjalan naik pelan-pelan.
Begitu Ye Eun berhasil sampai di
lantai dua, tanpa basa-basi Yuta langsung mengajaknya menyusuri koridor panjang
lagi. Gadis itu lelah sekali, ingin rasanya ia berkata ‘bisakah kita istirahat
sebentar?’, tapi Yuta sudah kelihatan benar-benar muak sampai Ye Eun tak
berani mengajaknya bicara. Ye Eun mencabut semua kekagumannya akan kemegahan
rumah ini dan serta-merta membencinya. Rumah ini benar-benar sinting, persis
seperti pemiliknya.
“Ini kamarmu,” kata Yuta sambil
membuka pintu.
Ye Eun masuk dengan mata melebar, berpikir mungkin seharusnya ia tidak menyimpulkan untuk membenci sesuatu terlalu cepat. Kamar itu menyambutnya dengan interior minimalis dan lantai berpenghangat yang
terasa nyaman. Ye Eun melepaskan pegangannya dari koper dan segera menyerbu
ranjang yang terletak di tengah-tengah ruangan. Saat sedang melompat-lompat
norak di situ, ia tak sengaja menengok ke jendela dan kembali terkagum-kagum,
balkonnya luas sekali sampai ia bisa mendirikan tenda di situ.
Detik berikutnya, ia menghampiri
meja rias kuno berwarna cokelat keemasan dan duduk di hadapannya sambil
tersenyum lebar. Saat itu, pantulan bayangan Yuta nampak di cermin dan Ye Eun
baru ingat kalau pria itu masih di sana, berdiri di ambang pintu, memerhatikan
betapa kampungan istrinya ini.
“Nah,” kata Ye Eun sambil menoleh
padanya, “aku sudah sampai di kamarku. Terima kasih.”
“Yeah, tidur yang nyenyak.”
“Pasti,” sambarnya yakin. “Ini
akan menjadi tidurku yang paling nyenyak.”
Ye Eun benar-benar menyukai kamar
ini.
“Baguslah. Selamat malam,” pamit
Yuta, lantas menutup pintu.
**********
Berbanding terbalik dengan perkiraannya, tidur Ye Eun
justru gelisah. Bayangan hitam datang dan pergi dalam mimpinya, mencoba
menangkapnya. Kemudian ia melihat Ji Won menangisi mayat seseorang, disaksikan
oleh lusinan orang yang berpakaian serba hitam. Alih-alih menengok siapa
gerangan mayat tersebut, di mimpinya, ia malah berjalan menyusuri koridor yang
berakhir di pintu raksasa yang kenopnya berbentuk taring dari zamrud. Pintu
yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Saat tangannya mengulur membuka pintu itu,
sesuatu keluar dari sana dan menerkamnya dengan cepat. Ye Eun terbangun
mendadak dengan peluh yang membanjiri kening dan napas tersengal-sengal.
Ia memandang sekeliling ruangan.
Sunyi dan gelap. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa ia sudah
pindah dari apartemennya ke rumah Yuta. Ye Eun berusaha menormalkan detak
jantungnya. Ia menarik napas dari hidung, mengembusnya pelan-pelan dan mengganti
posisi. Matanya ia paksa untuk memejam. Gadis itu benar-benar berusaha sekuat
tenaga untuk mengabaikan rasa takut di dadanya. Tapi, semakin diabaikan, rasa
takut itu malah semakin besar hingga akhirnya membeludak. Tubuhnya sudah gemetar
tak keruan saat ia melompat keluar secepat kilat. Ia berlarian di
lorong, sekali lagi menduga bahwa rumah ini semakin luas saja tiap detiknya.
Ye Eun berlari turun
terbirit-birit, melangkahi dua anak tangga sekaligus. Akibatnya, ia tak sengaja
menginjak gaun tidurnya sendiri dan jatuh terguling tiga tangga sampai ke lantai satu.
Ye Eun menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar ketakutan, sekaligus kesakitan.
*********
Yuta bangun keesokan paginya dan
terheran-heran melihat Ye Eun tidur di depan tangga. Ia berjongkok di hadapan sang
gadis, merasa déjà vu dengan situasi ini.
Ini bukan kali pertama ia
mendapati Ye Eun tertidur di tempat yang ganjil. Di hari pernikahannya, ia dan
Edawn menemukan Ye Eun tidur di lantai empat apartemennya, di antara jemuran
dan pot-pot tanaman. Yuta dengan tulus berharap gadis ini menemukan hobi lain
yang lebih wajar.
Setelah berjongkok hampir tiga
menit, Yuta masih belum bisa menentukan apa ia harus membangunkannya dan
meminta penjelasan atau membiarkannya dan pura-pura tidak tahu saja. Saat akhirnya
Yuta sudah menentukan pilihan, Ye Eun malah bangun sendiri. Yuta yang semula
ingin meninggalkannya pun membatu. Gadis itu mengerjap sebentar, memandang Yuta
dengan mata sipit sebelum akhirnya terbelalak dan bergegas bangun.
“Kenapa kau di sini?”
“Harusnya aku yang tanya kenapa
kau…”
“Aku tak mau tidur di sana lagi!”
Ye Eun menyela. Yuta menatapnya tak mengerti. Gadis itu jelas-jelas bahagia
sekali dengan kamarnya semalam. Hal mengerikan apa yang membuatnya berubah
pikiran secepat ini?
“Kau mau tukar kamar denganku?”
“Aku tak mau tidur sendiri.”
“Eh?” Yuta mengangkat sebelah
alisnya, “mau tidur denganku?”
“Aku mau tidur dengan Ji Won.”
“Ji Won? Siapa Ji Won?”
“Idiot! Dia temanku!”
“Oh, benar. Cewek itu.”
“Biarkan dia tinggal di sini!”
“Tidak.”
“Kenapa tidak?”
“Temanku saja tidak tinggal di
sini untuk apa temanmu tinggal di sini?”
“Kalau begitu suruh Yamyam dan
Edwin tinggal di sini. Rumah ini keterlaluan besarnya untuk dihuni kita berdua
saja.”
“Aku tidak mau mereka tinggal di
sini! Dan nama mereka bukan itu. Yamyam? Edwin? Jaga mulutmu!”
“Persetan siapa nama mereka! Aku
mau Ji Won. Aku mau dia tidur denganku, setidaknya sampai aku bisa beradaptasi
dengan rumahmu yang sinting ini.”
Yuta mendecak dan berdiri.
“Heh, mau ke mana kau!”
“Aku tanya dulu.”
“Tanya siapa?”
“Yamyam dan Edwin,” balas Yuta
ketus. Ia berjalan ke kamarnya sementara Ye Eun berteriak, “untuk apa tanya
mereka? Sebenarnya ini rumah siapa, eh?” disusul oleh suara pintu kamar Yuta
yang berdebum.
“Yah, di mana kalian? Ke sini sekarang!”
Yuta tak membuang-buang waktu dan langsung memanggil mereka dengan telepati.
Tidak sampai semenit setelahnya, Edawn dan Yanan muncul di kamarnya.
“Ada apa?” tanya Yanan.
“Apa kalian melakukan sesuatu
pada Ye Eun?”
“Sesuatu apa?” Yanan mengerutkan
kening. “Kami bahkan tak meninggalkan dunia vampir sejak malam pernikahanmu.”
“Lalu apa yang membuatnya setakut
itu?”
“Bukannya dia memang selalu takut?” sindir Edawn, melompat ke ranjang dan meletakkan kedua tangannya dengan
nyaman di belakang kepala.
“Dia bilang dia takut tidur
sendiri.”
“Bodoh.”
“Dia ingin mengajak Ji Won
tinggal di sini.”
“Apa?”
“Aku harus bagaimana?”
“Tentu saja jangan diizinkan,”
sergah Edawn. “Dia pikir ini panti sosial, ya!”
“Aku sudah bilang tidak. Tapi dia terus meneriakiku.”
“Teriak saja lebih kencang. Jangan biarkan dirimu diinjak-injak.”
“Kau benar. Dia kan cuma manusia.”
Yanan kelihatan tidak begitu
setuju. Ia menghela napas dan menyela dengan intonasi serius, “Apa kau sudah
memikirkan bagaimana cara membuat Nona Pengantin jatuh cinta padamu?”
Yuta dan Edawn yang sedang bersahut-sahutan itu pun sontak terdiam. Yuta bergerak tak nyaman di kursinya,
tak mampu menjawab. Sementara Edawn berguling ke sisi yang lain, memunggungi
Yanan pura-pura tak dengar.
“Jika itu bisa membuat Nona
Pengantin nyaman, tidak masalah jika Ji Won harus tinggal di sini,” tambahnya.
“Sekarang coba kau pikir, bagaimana jika dia kabur dari sini sebelum kau sempat
menjalankan ritual. Habislah kau!” Yanan memperingatkan.
“Maksudku, kalian tahu kan rumah ini tak
nyata? Bangunan ini ada hanya untuk membantumu menjalankan tugasmu di dunia
manusia. Segalanya akan lenyap begitu kau menyelesaikan ritual dan tak ada satu
pun manusia yang akan ingat kalau pernah ada rumah 2.000 m2 di sini.
Rumah ini berdiri dari energi yang berbeda, manusia paling tidak peka sekalipun
pasti akan merasakannya. Apalagi di malam hari.
“Aku yakin Nona Pengantin cuma
mimpi buruk. Tapi jika ia terus-terusan dihantui mimpi-mimpi semacam itu, aku
tak bisa jamin ia sanggup bertahan.”
“Lalu aku harus apa supaya dia
tak mimpi buruk lagi?”
“Buat dia jatuh cinta padamu, itu
akan meredakan mimpinya.”
“Ya ampun.”
“Berhentilah mengeluh! Lakukan
sesuatu! Buat dia terkesan sampai jatuh cinta lalu jalankan ritual!
Fokuslah pada itu! Jangan buang waktu dengan urusan sesepele ini, melarangnya
mengajak Ji Won tinggal di sini justru malah membuatnya makin membencimu. Lagi
pula memangnya kenapa, sih? Toh Ji Won tak akan betah. Ji Won juga manusia. Dan
dia bukan pengantinmu. Untuk gadis itu, tidak ada yang bisa meredakan mimpi
buruk dan semua energi negatif di sini bagaimanapun caranya. Dia pasti akan
menyerah sendiri. Kau bisa manfaatkan Ji Won untuk membuat Nona Pengantin
beradaptasi. Lagi pula kau juga bisa menggali informasi darinya, kan? Tanya
bagaimana tipe ideal Nona Pengantin, apa barang kesukaannya dan apa yang
membuatnya senang. Berhentilah bertingkah tanpa berpikir! Kau itu membuat kaum
vampir terlihat seperti tak punya otak.”
“Woah, bisakah kau santai
sedikit? Ada apa denganmu!” Yuta benar-benar terkejut dan refleks menaikkan
nada bicaranya juga. Dia benar-benar tak mengerti kenapa Yanan mendadak kelihatan
geram sekali padanya. Dia salah apa?
“Maafkan aku,” kata Yanan,
menghela napas. “Ini cuma… membuatku khawatir.”
“Apa semua itu juga ada di buku
panduan asosiasi?” tanya Edawn, terlepas dari betapa berapi-apinya Yanan
bicara, semua informasi itu membuatnya terkesima.
“Soal rumah yang akan lenyap? Ya.
Tapi kalau soal mimpi buruk? Uh,.. mungkin?” jawab Yanan tak yakin. “Tebalnya
sampai 5000 halaman, aku tak sanggup baca semua. Aku bisa bilang begini karena
pengalaman. Di ruangan ini, hanya aku yang pernah mengalami itu. Pengantin
terakhirku belum jatuh cinta padaku setelah kami menikah, dan dia terus-terusan
mimpi buruk sampai aku harus mengajaknya jalan-jalan keluar tiap malam. Setelah
beberapa malam, dia akhirnya bisa tidur tanpa mimpi buruk lagi dan aku
menyimpulkan dia sudah mulai jatuh cinta padaku dan langsung menjalankan
ritual.”
“Bagaimana kau melakukannya?”
tanya Yuta.
“Melakukan apa?”
“Kau membuatnya jatuh cinta hanya
karena jalan-jalan malam?”
“Yuta, please, aku menuruti semua permintaannya.”
“Permintaan seperti apa?”
Yanan tak langsung menjawab,
sejujurnya ia sudah lupa. Setelah mencoba mengingat-ingat selama beberapa saat,
ia menggelengkan kepala, menyerah.
“Coba nyalakan benda itu.” Yanan
mengedikan dagunya ke arah komputer di sudut ruangan sebelum berjalan
mendekatinya.
“Kau mau main games di saat seperti ini?” cetus Yuta tak percaya.
“Fungsi benda ini bukan hanya
untuk bermain games saja,” jelas
Yanan jengkel. “Dia bisa menjawab semua pertanyaanmu,” tambahnya, duduk di
kursi komputer dan membuka mesin pencari dengan lihai bak manusia sungguhan.
Yuta menyeret kursinya ke sebelah
Yanan, memandang gerakan jemari di atas keyboard
dan layar komputernya dengan ekspresi ingin tahu. Sementara Edawn merangkak
ke ujung ranjang, turut memerhatikan.
Yanan mengetikkan ‘cara mudah
membuat wanita jatuh cinta’ dan kurang lebih dua juta artikel keluar dalam
waktu kurang dari 0.5 detik.
“Woaaah,” koor Yuta dan Edawn,
terperangah.
Yanan memutar mata, lalu membuka
artikel paling atas.
“Bagaimana kau bisa tahu soal
ini?” tanya Yuta terpesona.
“Namanya internet.”
“Kalau internet sudah ada dua
abad yang lalu, semua manusia pasti akan menyembahnya seperti dewa,” komentar
Edawn, masih membuat suara-suara kagum dari sudut bibirnya.
“Bagaimana kau bisa tahu soal
internet?” Yuta mengulangi pertanyaannya yang terabaikan.
“Aku membacanya di perpustakaan
dunia vampir,” jawab Yanan. Yuta dan Edawn membuat ekspresi aneh seolah berkata
‘kami tahu kau lumayan rajin tapi sejak kapan kau jadi serajin ini?’.
“Yeah, aku mulai sering ke
perpustakaan sejak kemarin,” katanya, menjawab tatapan itu.
“Kenapa?”
“Entahlah. Aku cuma ingin tahu
lebih banyak tentang manusia.”
Itu tidak menjawab pertanyaan
mereka. Kenapa kau mau tahu?
“Dengar,” Yanan berbalik menatap
mereka, “walaupun kubilang aku tidak apa-apa, tapi perlahan-lahan aku mulai
khawatir juga dengan giliran mencari pengantinku. Dunia manusia cepat sekali
berubah, kau tahu. Mungkin mereka sudah punya mesin waktu 60 tahun lagi dan siapa yang tahu jika pengantinku memutuskan untuk pergi ke tahun 1914 dan tak pernah kembali.”
“Kenapa 1914?” tanya Edawn heran.
“Aku tidak tahu. Aku cuma asal
sebut,” balas Yanan sewot. Itu bukan poin dari ucapannya. “Intinya aku takut.”
“Ah, benar. Waktu mencari pengantinnya
dikurangi 6 bulan oleh asosiasi.” Edawn tiba-tiba teringat dan memberi tahu
Yuta.
Yuta mengangguk tahu.
“Aku hanya merasa aku harus
mempersiapkan semuanya dari sekarang,” kata Yanan, yang waktu mencari
pengantinnya masih 60 tahun lagi.
“Woah, kau sedang menyindirku,
ya?” Yuta yang baru turun ke dunia manusia sebulan sebelum waktu pencarian
pengantinnya berakhir dan membuat repot semua orang merasa tersindir.
“Aku tak menyindirmu tapi
baguslah kalau kau sadar diri,” sahut Yanan tak acuh. Edawn nampak terkesan
sekali dengan jawaban itu dan tergelak puas sementara muka Yuta memerah.
Sebelum ada yang sempat bicara
lagi, Yanan berdeham dan membaca hasil pencariannya dengan suara lantang.
“Pertama, beri perhatian, bahkan pada hal kecil sekalipun.”
“Hei, tunggu dulu. Kita harus
membicarakan ini. Bagaimanapun kau mempertaruhkan waktu pencarian pengantinmu demi aku dan itu membuatku tak enak. Mungkin jika yang dikurangi adalah waktunya Edawn, aku
tak akan merasa sekhawatir ini. Walaupun dia yang paling jelek di antara kita
bertiga, tapi dia selalu berhasil membuat pengantinnya jatuh cinta paling
cepat.”
“Selera manusia memang luar biasa
bagusnya,” kata Edawn.
“Bukan bagus,” bantah Yuta. “Kurasa
asosiasi sengaja memilihkan manusia-manusia dengan selera aneh untukmu.”
“Yeah, terserah. Yang pasti, aku
sanggup menemukan, menikahi dan menjalankan ritual dengan pengantinku delapan
bulan sebelum jangka waktunya berakhir. Kalau menurutmu itu bukan prestasi,
maka aku tak tahu apa lagi,” katanya sombong. Yuta cuma melirik Edawn tanpa
minat, dia yakin dia juga bisa melakukan itu andai saja ia tidak terlalu santai
dan memulai pencariannya lebih awal.
“Itu benar-benar mengesankan,”
gumam Yanan.
“Aku dan Edawn akan membantumu,
jadi tenang saja.” Yuta berusaha menenangkan.
“Kau sedang tidak berada di posisi yang tepat untuk mengatakan itu, jadi lebih baik jangan khawatirkan aku,
khawatirkanlah dirimu sendiri. Kau tak akan bisa membantuku jika kau jadi debu
duluan. Tiga bulan itu bukan waktu yang lama, kau tahu.”
“Apa ini perasaanku saja atau kau
memang bersikap lebih dingin padaku hari ini?”
“Maafkan aku.”
“Kau kenapa, sih?”
“Sudah kubilang aku benar-benar
stres sekarang,” keluhnya. “Berjanjilah padaku kau tak akan gagal.
Kekhawatiranku pada hidupmu sama besarnya dengan rasa khawatirku pada masa
depanku sendiri. Bagaimana kalau kita semua jadi debu di umur semuda ini?”
“Woah, tahan di situ. Kenapa
bawa-bawa aku? Dengan wajah seperti ini, aku baru akan jadi debu saat batas
akhir usia kita, 1000 tahun.” Edawn menambahkan dengan congkak, “kalau kalian
berniat mati duluan sih silahkan, tapi jangan harap aku mau ikut.”
“Nah, kedua,” Yanan lanjut
membaca, sudah muak mendengar ucapan Edawn. “Buat dia bahagia. Lalu Ketiga…”
“Bukankah semua itu terlalu
abstrak?” sela Yuta frustrasi. “Maksudku, bagaimana caranya? Bagaimana wujud konkrit dari memberi perhatian dan membuat seseorang bahagia?”
“Intinya, kau harus memperlakukannya
dengan baik. Kau juga harus memperlakukan orang-orang yang dia sayang dengan
baik, Ji Won misalnya. Kalau kau terus menunjukkan rasa tidak sukamu pada Ji
Won, Ye Eun juga pasti akan menilaimu dengan buruk.”
Saat itu, pintunya diketuk dengan
kasar. Yuta segera berdiri dan membuka pintunya sedemikian rupa agar Yanan dan
Edawn tak kelihatan, lantas cepat-cepat menyeloskan badannya keluar. Ye Eun
berdiri di depannya sambil bersedekap angkuh, penampilannya sudah rapi, siap
untuk keluar.
“Aku akan sarapan bersama Ji Won
dan aku juga akan mengajaknya tinggal di sini, tak peduli kau mengizinkan
atau…”
“Ya,” sela Yuta, tersenyum.
“Ajaklah dia ke sini jika itu bisa membuatmu nyaman. Aku cuma mau kau senang.”
Ye Eun tercenung. Dalam hati
berpikir, kenapa sikapnya selalu berubah-ubah tiap 15 detik sekali. Dia punya gangguan kepribadian, ya?
Gadis itu tak bicara dan cuma
menatap Yuta dengan aneh selama beberapa saat.
“Terima kasih,” katanya setelah beberapa lama. “Baiklah, aku pergi.”
“Hati-hati di jalan.”
“Yeah,” Ye Eun nyaris saja berbalik
sebelum, “Umm, kau mau kubelikan sarapan?”
Yuta refleks berjengit dan
langsung menggeleng. Gagasan itu membuatnya mual. Tidak, terima kasih. Aku tidak makan makanan manusia. Aku tak sanggup
mencium baunya, bahkan aku tak sanggup memikirkannya.
“Tapi kulkasmu kosong.”
“Kulkasnya kosong?”
“Tidak bisa disebut kosong, sih,”
gumam Ye Eun. “Tapi cuma ada permen karet.”
“Dan kau tak makan permen karet?”
“Yuta, aku belum sarapan, aku
bahkan tak makan malam. Aku tak mungkin cuma makan permen karet.”
Yuta terdiam sebentar sebelum
mengangguk sok setuju. “Kau benar. Selamat sarapan,” katanya salah tingkah,
lantas mengulurkan tangannya ke kenop pintu.
“Kau yakin tidak mau dibelikan
apa-apa?”
“Ya,” kata Yuta cepat.
“Baiklah. Aku pergi.”
Yuta mengangguk. Ia menunggu Ye
Eun beranjak dari hadapannya sebelum bergegas masuk dan
mengumumkan informasi itu ke seisi kamar. “Dia tak makan permen karet.”
“Apa itu permen karet?” tanya
Edawn.
“Makanan tipis yang memenuhi
kulkasku?”
“Ah, benar.” Yanan berseru seolah
baru teringat sesuatu. “Awalnya kukira manusia sudah berevolusi dan menciptakan permen karet sebagai pengganti makanan mereka yang menjijikan. Tapi ternyata itu cuma makanan basa-basi.”
“Kenapa kalian membeli makanan
basi?”
“Bukan basi, tapi basa-basi,”
koreksinya sabar. “Maksudnya, itu makanan yang biasa dimakan manusia
saat mereka sedang iseng. Aku menemukannya di bab tentang makanan di buku
perpustakaan dunia vampir.”
“Yeah, terserah. Pertanyaanku,
kenapa kalian membeli itu?”
“Jangan salahkan kami. Itu
satu-satunya makanan manusia yang baunya bisa ditolerir hidung kita. Kau mau
aku dan Yanan beli makanan macam-macam dan membuat rumahmu berbau busuk?” Edawn
membela diri.
“Lalu aku harus bagaimana
sekarang? Kukira urusanku dengan makanan sudah selesai.”
“Yah, mau bagaimana lagi? Kau
harus beli makanan sungguhan mulai sekarang.”
“Kau gila? Aku tak bisa hidup
tenang dengan bau-bau itu.”
“Kau di sini memang bukan untuk
hidup tenang,” komentar Edawn.
“Dia benar. Semoga bau-bau itu
bisa memotivasimu untuk segera menyelesaikan tugasmu dan kembali ke dunia
vampir. Jangan buat dirimu terlalu nyaman di sini. Ini bukan tempat kita.”
**********
“Tidak mau. Apa-apaan, sih? Kenapa
aku harus tinggal dengan kalian?”
Ji Won merepet sambil berusaha
melepaskan diri dari Ye Eun, yang terus mengikutinya ke mana pun ia berjalan.
Mereka terus mondar-mandir di sekeliling meja, Ye Eun merajuk sambil
memandanginya penuh harap, disaksikan oleh pelayan lain dan pelanggan-pelanggan
restoran.
“Kau akan baik-baik saja. Itu
cuma mimpi buruk,” tambah Ji Won geram.
“Tapi rasanya nyata sekali,” kilah
Ye Eun. “Aku bangun dengan wajah basah dan napas tersengal-sengal seolah habis
lari betulan. Ayolah, aku juga tak minta kau tinggal di sana selamanya, kan?
Cuma sampai aku tidak takut. Lagi pula, bukannya kau bilang sendiri kau mau
tahu rasanya tinggal di rumah sebesar itu?”
“Tch, aku pasti akan menginap,
sungguh. Tapi tidak sekarang.”
“Kenapa?”
“Karena ini masih malam ketiga
sejak kalian menikah. Entahlah. Aku hanya berpikir itu tidak etis.”
“Tidak etis apa? Kau kan yang
paling tahu kalau hubunganku dan Yuta tidak seperti itu. Ji Won, kumohon, kalau
kau tidak mau tinggal denganku, aku bersumpah akan kabur dari sana.”
“Idiot! Memangnya kau mau kabur
ke mana, eh?”
“Ke rumahmu.”
“Dasar sinting!” sembur Ji Won,
langsung berbalik dan menatapnya sambil berkacak pinggang. “Kalau kau kabur,
apa kau pikir Yuta akan diam saja? Dia pasti akan menarik semua uang yang sudah
diberikan pada orangtuamu.”
“Kalau begitu temani aku beberapa
malam ini. Ji Won, aku bersumpah, rumah itu ada hantunya.”
“Tch, kubilang tidak ya tidak.
Lihat jam berapa sekarang! Ke mana seragam kerjamu? Kau mau resign hari ini, eh?” Ji Won kembali ke mode
junior supervisor-nya.
Ye Eun mendecak, lantas berlalu
ke kamar mandi untuk ganti baju.
Seharian itu, baik Ye Eun maupun
Ji Won tak saling bicara. Bak sedang perang dingin, kedua perempuan itu dengan
kompak menghindari dan mengabaikan keberadaan satu sama lain.
Hingga tibalah saatnya pulang.
Ye Eun keluar dari kamar mandi
setelah berganti pakaian. Tanpa berpamitan pada pelayan lain, ia menyandang
tasnya dan langsung mendorong pintu keluar. Gadis itu berjalan dengan langkah cepat
nan dingin menuju halte bus, tak sadar kalau Ji Won sedang mengikutinya.
“Kau bilang di rumah Yuta tak ada
makanan, kan?” Ye Eun terkejut mendengar suara di belakangnya dan langsung
menoleh. “Ayo beli jajangmyeon dan snack dulu.”
Ye Eun tak langsung menjawab. Ia
hanya berdiri di sana, memerhatikan Ji Won dengan waspada seolah berkata ‘apa
maksudnya itu?’.
“Ya, Nona Pengantin, aku akan
menginap di rumah kalian.”
Mata Ye Eun serta-merta berbinar, ia refleks
menjerit senang. Seluruh amarah yang ditahan-tahan seharian ini luruh seketika
dan ia langsung melompat memeluk sahabatnya itu. “Kau sahabatku yang paling baik. Aku
benar-benar menyayangimu.”
“Aku juga menyayangimu, Nona
Pengantin.”
“Jangan panggil aku Nona
Pengantin, ya ampun.”
“Yanan selalu memanggilmu
begitu.”
“Omong-omong soal itu, aku
sengaja memanggil mereka ‘Yamyam dan Edwin’ tadi pagi dan Yuta kelihatan
sangat kesal padaku.”
Ji Won terkikik geli. “Benar-benar
ya rombongan sirkus itu! Kenapa mereka bertiga posesif sekali satu sama lain?”
“Aku tak tahu.” Ye Eun ikut tertawa.
“Jadi,” katanya, “mau beli jajangmyeon
di mana?”
“Lebih baik kita beli snack dulu di seberang. Ayo, Nona Pengantin.”
“YAH Moon Ji Won!”
**********
Dari kamarnya, Yuta bisa
mendengar suara Ye Eun dan teman kesayangannya sedang mengobrol sambil
cekikikan menaiki tangga. Mereka berisik sekali sampai Yuta mempertimbangkan untuk mengusirnya. Tapi seperti kata Yanan, dia harus memperlakukan Ji Won
dengan baik agar bisa mendapat penilaian positif dari Ye Eun.
Yuta sempat mendengar mereka berdebat
soal film apa yang akan mereka tonton sebelum suara itu makin lama makin jauh
dan sepenuhnya menghilang.
“Aku mau romcom. Terserah dari
Negara apa. Film Filipina yang itu juga bagus.”
“Yang itu yang mana?”
“Love you to the stars and back.”
“Kita sudah nonton itu tiga
kali.”
“Memangnya kenapa?”
“Ampun, aku bosan. Ayo nonton
genre thriller saja.”
“Tidak mau.”
“Kalau begitu film horor.”
“Apalagi itu!!”
Yuta bergumam pada dirinya
sendiri, “haruskah aku belikan mereka makanan?” kemudian bergumam lagi, “tapi
makanan apa?”
Setelah melamun beberapa lama, ia
mendadak teringat pada ‘internet’. Kata Yanan, internet bisa menjawab semua
pertanyaannya.
Yuta langsung beranjak ke kursi
komputer dan mengetikkan ‘makanan yang tepat untuk menemani nonton’ di mesin pencari.
Detik selanjutnya, berbagai jenis makanan pun muncul, mulai dari ramyeon,
tteokpoki, ayam goreng sampai popcorn, tak lupa minuman-minuman dingin seperti
cola dan bir. Yuta tak tahu harus menuruti artikel yang mana, jadi ia menyambar
jaketnya, berteleportasi keluar, dan membeli semuanya.
Tangannya dipenuhi plastik
makanan dari berbagai restoran saat ia naik ke lantai dua dan mengetuk pintu
kamar Ye Eun.
Ji Won membukakan pintu.
“Ada sedikit makanan untuk
kalian,” kata Yuta dengan napas tertahan. Dia benar-benar tersiksa dengan semua
aroma itu, tapi di saat yang sama ia sudah tak sanggup lagi menahan napas.
“Sedikit apanya?” seru Ji Won
terkejut. “Padahal kau tak perlu repot-repot begini. Aku dan Ye Eun sudah beli jajangmyeon.” Ye Eun yang sudah siap
dengan posisi binge watch-nya di
ranjang mengangkat jajangmyeon mereka
sebagai pemberitahuan pada Yuta.
“Jadi bagaimana? Kalian mau aku membuangnya?”
“Apa? Jangan bodoh! Tentu saja
tidak.” Ji Won segera menyambar kantong-kantong itu. “Untuk menghargai
ketulusanmu, kami akan memakannya.”
“Baiklah.” Yuta kembali menahan
napas. “Kalau begitu selamat bersenang-senang.”
“Heh, tunggu!” tahan Ji Won. Ia
beradu pandang dengan Ye Eun seolah meminta izin, kemudian menawarkan, “Kau mau
ikut nonton dengan kami?”
“Eh?” Itu namanya bunuh diri, pikir Yuta, dengan cepat menggeleng.
“Tidak. Tidak usah. Aku sudah mau tidur, kok.”
“Oh, ayolah. Satu film saja.
Kalau kau tak nyaman nonton di kamar ini, kita bisa pindah ke bawah.”
“Ya, ada LCD besar di ruang tamu.
Akan lebih seru kalau kita nonton sama-sama di sana,” imbuh Ye Eun, memang
sudah mengincar televisi itu—tapi urung karena tak mau mengganggu Yuta yang
letak kamarnya persis di seberang ruang tengah.
“Lagi pula makanannya terlalu
banyak kalau cuma untuk berdua,” hasut Ji Won lagi.
Yuta rasanya ingin menangis saja.
Jika mereka pindah ke ruang tengah, maka semua aroma busuk itu akan tercium
sampai ke kamarnya.
“Diam artinya iya,” sambar Ji Won
tiba-tiba, kemudian berseru dengan semangat, “Ayo pindah ke bawah!”
“Ayo!!” Ye Eun ikut berseru
sambil beranjak dari ranjang.
“Eh?? T-tunggu, aku benar-benar
tidak bisa. Lebih baik kalian nonton di sini saja,” kata Yuta memohon, tapi Ji
Won malah melesakkan plastik bir ke dadanya dan melangkah duluan menuju lantai
satu. Ye Eun turut berjalan mendahuluinya sambil membawa laptop dan mangkok jajangmyeon. Kedua gadis itu memimpin di
depan dan heboh sendiri dengan agenda pindahan mereka, seratus persen tak
peduli dengan ucapan Yuta.
Yuta pun mengalah dan mau tak mau mengekor di belakang.
Setibanya di ruang tamu,
sementara yang lain sibuk menyambungkan film dan menata makanan di meja, Yuta
masuk ke kamarnya dan muntah-muntah. Pria itu tak percaya ia harus melewati malamnya
persis di sebelah makanan manusia. Saat ini ia hanya bisa berdoa agar kedua
gadis sinting itu tak akan memaksanya memasukkan salah satu dari barang
menjijikan itu ke mulutnya.
Yuta duduk di lantai kamar mandi,
mengatur napas dan berpikir bagaimana caranya ia bertahan sampai besok pagi.
Dia menyesal setengah mati sudah sok perhatian dan membelikan makanan sialan
itu.
Saat sedang merenungi nasibnya,
Yuta—untuk yang kelima kalinya hari ini—mendadak teringat ucapan Yanan. Dia
bisa bertanya pada Ji Won soal apa yang disukai Ye Eun, apa barang favoritnya dan
apa yang membuatnya bahagia.
“Benar,” gumam Yuta. “Setidaknya
aku harus mendapatkan informasi itu malam ini.”
Filmnya sudah berjalan 20 menit
saat Yuta akhirnya keluar. Dia duduk di sofa tunggal di sebelah kiri sementara
Ye Eun dan Ji Won duduk dengan kaki tumpang tindih di sofa utama, berbalut
selimut. Ye Eun meletakkan kantong
popcorn di perutnya sementara kepalanya terkulai nyaman di lengan sofa.
Lima menit berlalu dan Yuta sudah
mau pingsan saking mualnya. Ia terus melirik Ji Won, berharap gadis itu balik
meliriknya. Namun jiwa Ji Won nampaknya sudah menyatu sempurna dengan para
aktor di televisi.
Lima menit yang lain pun berlalu,
Yuta benar-benar sudah tak tahan dan memutuskan melakukan aksi yang agak riskan.
Ia mengulurkan kakinya ke kaki yang tumpang tindih di balik selimut itu,
berharap kaki yang ia dorong adalah benar milik Ji Won. Dan ya, dewi fortuna
tengah berpihak padanya. Ji Won nampak terkejut dan langsung menoleh padanya. Yuta
memberikan isyarat agar gadis itu mengambil kertas dan pena yang sudah ia
persiapkan, yang sengaja ia letakkan persis di nakas di sebelah sofa. Ji Won
mengernyit heran, tapi tetap mengikuti arahannya.
Tolong bantu aku,
kau pasti tahu kan hal apa yang
Ye Eun suka?
Aku ingin memberinya kejutan.
Ji Won tersenyum membaca tulisan
itu. Ia balik melirik Yuta dengan seringaian jahil sebelum menuliskan
jawabannya sembunyi-sembunyi. Begitu selesai, ia meletakkan kertasnya kembali
ke nakas, lalu lanjut menonton seolah tak terjadi apa-apa.
Yuta lega sekali melihat
kertasnya sudah terjawab. Badannya sudah panas dingin karena menahan bau busuk
makanan dan ia rasa ini waktu yang tepat untuk mengevakuasi dirinya ke tempat
yang lebih aman.
Yuta berdiri, menoleh pada dua
gadis itu sambil menunjukkan ekspresi seolah dia sudah ngantuk berat. Ye Eun
mengangguk padanya. Yuta segera menyambar kertas di nakas dan berjalan cepat
menuju kamar.
*********
Keesokan paginya, Yuta terbangun dan mendapati dirinya meringkuk di
meja komputer. Sejak kembali ke kamarnya semalam, ia langsung duduk di sana dan
mencari semua hal yang ditulis Ji Won di kertas; mulai dari benda sesederhana
bunga hingga hal-hal rumit seperti make
up merek tertentu.
Badannya terasa pegal sekali
karena tidur dalam posisi duduk. Selagi meregangkan otot badan, matanya terus memandang
layar komputer dengan cemas. Yuta masih belum bisa menentukan bunga apa yang
harus ia beli, atau berapa size dress
yang sesuai di badan Ye Eun.
Mungkin aku harus bertanya lagi pada Ji Won, pikirnya.
Tepat setelah memikirkan itu,
Yuta mendengar suara-suara kecil dari luar. Yuta tak membuang waktu dan
langsung mengintip ke ruang tengah. Kebetulan sekali, hanya Ji Won yang sudah
bangun. Ia sedang memasukkan bekas-bekas makanan dan kaleng bir kosong ke dalam
kantong sampah.
“Ji Won~a,” bisik Yuta, sembari
berjalan mendekatinya. “Aku mau tanya lebih lanjut soal barang-barang yang kau
tulis kemarin.”
Ji Won cuma meliriknya tak acuh.
“Tanyakan saja.”
“Tidak di sini.” Yuta menunjuk Ye
Eun yang tengah tertidur pulas di sofa persis di belakang mereka. “Lagi pula
aku sudah memilih gambar di komputer kamarku. Bisa kau melihatnya?”
“Kenapa sih tak tanya langsung
pada Ye Eun saja? Barang-barang itu kan untuknya.”
“Aku mau beri kejutan.”
“Cih, apa ini akan lama? Aku
harus mandi dan pergi kerja.”
“Tidak lama,” Yuta meyakinkan.
“Aku mohon, ini kan demi temanmu juga.”
“Cih, benar-benar. Ya sudahlah, ayo
cepat.”
*********
Agenda movie-marathon di ruang tengah rumah Yuta malam itu adalah pengalaman
paling menyenangkan bagi Ye Eun selama setahun terakhir. Setelah Yuta pergi
tidur di pertengahan film pertama, ia dan Ji Won lanjut dengan tiga film lagi
sebelum akhirnya sama-sama ketiduran.
Ye Eun tak ingat apakah barusan
ia memimpikan sesuatu, yang pasti ia terbangun dalam keadaan segar bugar dan
tidak dibanjiri peluh lagi seperti kemarin.
Saat hendak bangkit ke posisi
duduk, Ye Eun mendengar pintu kamar Yuta terbuka dan ia melihat Ji Won keluar
dari sana. Gadis itu terkejut sekali. Ia refleks mengempas kepalanya ke posisi
semula dan pura-pura belum bangun.
“Terima kasih,” bisik Yuta dengan
suara yang begitu manis dari ambang pintu.
“Tak masalah. Aku senang
melakukannya.”
“Bolehkah aku minta bantuanmu
lagi lain kali? Kau tahu, agak sulit melakukannya sendiri.”
“Tentu. Berhubung aku masih akan
menginap di sini, kita bisa bebas melakukannya.”
“Benar,” kata Yuta, tersenyum
lagi. “Uh, apa dia masih tidur?”
“Ya, tenang saja. Dia tak akan
tahu.”
“Baguslah. Ini rahasia kita.”
“Yeah,” balas Ji Won. “Oke, aku
benar-benar harus mandi sekarang.”
“Ya, baiklah. Sampai ketemu.”
“Sampai ketemu.”
Ye Eun bisa mendengar suara
langkah kaki Ji Won yang menjauh, juga Yuta yang menutup pintu kamarnya. Dan
barulah saat itu ia berani membuka mata. Ye Eun perlahan-lahan bangkit ke
posisi duduk, ia bisa merasakan sekujur tubuhnya memanas dan hatinya mencelos.
“Aku memang tidak menyukainya,
tapi bukankah ini agak…” dia bergumam, “kelewatan?”
Ye Eun benar-benar merasa sakit
hati. Ia melirik pintu kamar Yuta, lalu melirik ke lantai dua dengan penuh
dengki.
“Sial.”
TBC
Haloo…
Btw kenapa ya aku ngerasa ff ini cursed? Kenapa dari sekian banyak anak
pentagon malah yanan sama edawn yang kena masalah sampe harus hiatus :’( i sincerely
hope masalahnya edawn kelar, trus yanan juga bisa cepet sembuh biar pentagon
bisa balik promosi bersepuluh lagi..
Huhu anyway, drama perselingkuhan pun dimulai *kasih musik tegang* /g
Sampai ketemu lagi di part 6 yes..
babay
Comments
Post a Comment