Vampire Bride - Part 6


Ye Eun membelitkan rantai tasnya erat-erat ke tangannya, sementara matanya memicing geram ke proyektor tak bersalah di depan kelas. Kejadian pagi ini masih terus terbayang di kepalanya. Bukankah Ji Won berkali-kali mengatakan bahwa Yuta tidak menarik? Bahwa mukanya berbentuk heksagon? Bahwa pria itu benar-benar kurang ajar? Bukankah Yuta juga memikirkan hal yang sama? Bukankah dia selalu sinis pada Ji Won? Bahkan ia bertanya ‘siapa Ji Won’ kemarin pagi dengan tampang tak acuh? Lalu kenapa tiba-tiba mereka jadi sedekat itu?


Ye Eun menyesal sudah ketiduran duluan sebelum Ji Won. Dia benar-benar penasaran apa yang terjadi semalam. Apa Yuta keluar lagi? Apa mereka mengobrolkan sesuatu? Sejak kapan Ji Won tidur di kamar Yuta? Apa ia sungguh tidur di kamar Yuta? Atau apa? Sebenarnya apa yang mereka lakukan? 


Setelah kelasnya usai, Ye Eun baru sadar bahwa tangannya masih terbelit rantai tas. Hati-hati ia melepasnya, meninggalkan bekas lilitan serta denyutan menyakitkan di kulit tangannya. Ia beranjak keluar kelas sambil mengecek ponsel dengan tangannya yang berdenyut itu, notifikasi pesan dari Ji Won terpampang di layar, seperti biasa menyuruhnya agar sampai ke restoran sebelum jam makan siang.


Ye Eun memutar mata melihat pesan itu. Dia tak mau begitu saja diperintah oleh Ji Won—walaupun sebenarnya ia tahu Ji Won merupakan atasannya, dan gadis itu punya segala hak untuk memerintah dirinya, tapi uhh.. tidak, tidak sekarang. Jadi, alih-alih pergi ke restoran, sebagai bentuk pemberontakan Ye Eun justru pergi ke supermarket plus, membeli tiga bungkus mie instan, menyeduhnya, dan memakan tiga-tiganya di situ. Ia makan perlahan-lahan sambil merenung dengan tampang kecewa, lantas menemukan selusin kejanggalan di acara movie marathon semalam.


Dia bersumpah melihat Yuta flirting dengan Ji Won dari ekor matanya, mereka saling menyeringai dan tersenyum di film pertama.


Dia juga bersumpah melihat Yuta mengulurkan kakinya ke sofa tempat mereka duduk, mungkin mengelus kaki Ji Won dari balik selimut tanpa sepengetahuannya.


Semakin dipikirkan, semuanya mulai masuk akal—atau setidaknya itulah yang Ye Eun rasa. Gadis itu membuat teori sendiri berdasarkan apa yang diingatnya.


Bukankah Yuta keluar kamar sambil membawa kertas dan pena? Mungkin ia menulis, ‘bisakah kau ke kamarku setelah cewek itu tidur?’, kemudian memberikannya pada Ji Won. Ji Won membacanya dan mereka saling melempar seringai jail. Ji Won kemudian menjawab ‘tentu saja, siap-siaplah di kamar’, lalu Yuta pura-pura mengantuk padahal dia sedang bersiap-siap di kamar.


Darah Ye Eun mendidih karena analisa berlebihannya sendiri. Gadis itu tahu kemungkinannya untuk keliru amatlah besar, tapi kepalanya benar-benar tak bisa berpikir jernih sekarang. Ia bertahan di supermarket sampai jam lima sore, menganalisa lebih banyak kejadian dan membuat dirinya makin marah lagi. Lantas pulang ke rumah Yuta dengan kepala yang diisi teori-teori konyol dan hati yang dipenuhi dendam.


“Kukira kau pulang jam sepuluh?” Yuta menyambutnya di ruang tengah, sedang menyemprotkan pengharum ruangan berbau lavender dengan kuantitas berlebihan.


Ye Eun benar-benar tak tahan dengan baunya dan langsung menutup hidung. Dia mau meracuniku, ya? Dia mau aku mati supaya bisa tinggal berdua dengan Ji Won, begitu?


“Kenapa kau tidak bersama Ji Won?” tanya Yuta lagi.


Ye Eun menyeringai dan memandangnya mencela. “Kenapa? Kau kecewa dia tidak pulang cepat?”


“Tidak, aku cuma..”
“Yeah, simpan untuk dirimu sendiri,” potong Ye Eun, berjalan cepat ke lantai dua.


Ia langsung membanting pintu kamar dan melempar tas selempangnya ke ranjang, lantas berjalan murung ke kamar mandi.


Ye Eun menghabiskan berjam-jam untuk berendam air hangat di bathtub. Teori-teori baru terus bermunculan. Apa sebenarnya mereka saling suka, Ye Eun bertanya-tanya. Kalau saling suka, kenapa mereka tidak bilang dari awal? Apa mereka baru mulai suka setelah dirinya dan Yuta menikah? Kalau memang begitu, mereka sebenarnya tinggal bilang saja dan Ye Eun bersumpah dia akan dengan senang hati mundur dari hubungan aneh ini.


Karena terlalu serius membuat teori, tanpa sadar ia sudah menghabiskan dua jam sendiri hanya untuk berendam. Ye Eun baru keluar kamar mandi saat langit sudah gelap. Ia langsung memakai piamanya, mematikan lampu dan masuk ke balik selimut. Badannya terasa rileks sehabis mandi air hangat, tapi kepalanya semrawut luar biasa.


Aku bertingkah seperti ini bukan karena cemburu. Tidak sama sekali. Aku begini karena tak suka dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh.


Kenapa cowok sialan itu malah ngotot menikah denganku jika sebenarnya dia menginginkan Ji Won?


Lalu kenapa Ji Won juga….


Saat itu, pintu kamarnya didorong membuka. Ji Won menyalakan lampu sambil mengomel, “Yah! Shin Ye Eun! Kau sudah di sini?” serunya melengking. “Benar-benar! Kenapa kau tak datang ke restoran? Tahu tidak sih, mengarang cerita tentang urusan mendadakmu itu susah. Manager sampai menegurku tadi. Lalu kenapa kau tak jawab teleponku? Aku sudah menelepon seharian tapi… uh, Ye Eun? Apa kau sudah tidur?” Omelannya terhenti di tengah-tengah. “Tapi ini kan masih jam delapan.” Ji Won melepas mantelnya sambil mengernyit heran.


“Apa anak ini sakit?” gumamnya, berjalan mendekat ke arah Ye Eun dan menempelkan punggung tangannya di kening sang gadis. “Suhu tubuhnya normal, kok.”


“Yah! Shin Ye Eun, Bangun! Keringkan dulu rambutmu sebelum tidur. Aish.”


Ye Eun bergeming. Walaupun begitu, ia masih bisa mendengar Ji Won duduk di depan meja rias, menghapus riasan wajahnya sambil meracau khawatir, “Apa jangan-jangan ada masalah di kampus, ya? Kenapa tiba-tiba sikapnya aneh begini? Kenapa sih anak itu kalau ada apa-apa tidak pernah cerita? Dasar! Bikin khawatir saja.”


Setelah beberapa lama, Ji Won bangkit dan masuk ke kamar mandi. Suara air yang jatuh dari shower terdengar amat menenangkan, Ye Eun yang sedang berpura-pura tidur demi menghindari Ji Won pun pada akhirnya terlelap sungguhan.


Dia di ruangan itu lagi. Ruangan suram di mana Ji Won tengah menangisi jasad seseorang. Karena penasaran, Ye Eun berusaha mendekatinya. Namun semakin didekati, jarak mereka malah semakin jauh. Saking jauhnya, tangisan Ji Won kini tak lagi bisa ia dengar. Ye Eun berteriak memanggil gadis itu sambil mencoba berlari menggapainya, tapi ia malah terperosok ke lubang super gelap yang berlendir dan berbau busuk.


Di lubang itu, ia mendengar suara kepakan sayap, makin lama makin memekakkan. Ye Eun menoleh dan melihat ribuan titik merah datang mendekat, yang ternyata berasal dari mata sesuatu—kelelawar—yang praktis saja membuat gadis itu terbeliak. Ye Eun menjerit, refleks melindungi dirinya dengan kedua tangan hingga koloni kelelawar itu terbang melewatinya.


Ye Eun tahu pasti kalau semua ini cuma mimpi. Tapi sekeras apa pun ia mencoba untuk bangun, ia tak bisa. Rasanya seperti terkurung di mimpimu sendiri. Ye Eun berlutut di tanah berlendir itu, menampar-nampar pipinya sambil menjerit memaksa dirinya untuk bangun. Dia benar-benar ketakutan. Di ruangan gelap nan bau itu, ia bisa mendengar suara-suara aneh bermunculan dari segala penjuru. Ada suara jeritan, kepakan sayap kelelawar, suara gong yang nyaring membahana dan banyak lagi, tapi sejauh mata memandang, yang ada hanya gelap.


Ye Eun merasa amat kacau. Badannya kotor oleh tanah, wajahnya dipenuhi keringat dan bajunya basah karena lendir. Saat ia sudah nyaris hilang harapan, berpikir akan terkurung di sana selamanya, tiba-tiba saja suasana mencekam khas kehadiran Yuta terasa. Udara di sekitarnya mendadak dingin sekali sampai Ye Eun merasa tulangnya membeku.


Perlahan ia mendongak, dan senyum lega otomatis tersungging di bibirnya. Yuta berdiri di sana, beberapa langkah di hadapannya, menatapnya. Kehadiran Yuta tak pernah membuat Ye Eun sebahagia itu.


Memang sulit untuk dijelaskan, tapi bahkan di dalam mimpi, Ye Eun bisa merasakan suasana hatinya berubah menjadi tenteram, seolah ia baru saja menemukan jalan keluar dari labirin terumit di dunia, seolah tim evakuasi berhasil menemukan dirinya setelah tersesat berhari-hari di sebuah gua, seolah pelangi akhirnya muncul setelah badai yang dahsyat.


Saat Ye Eun—dengan senyum lega dan semua ketenteraman yang memenuhi hatinya—berdiri untuk menghampiri Yuta, Ji Won masuk entah dari mana dan Yuta serta merta berpaling padanya. Yuta menggenggam tangan Ji Won, tersenyum pada gadis itu dan membawanya keluar, meninggalkan Ye Eun sendiri.


Ye Eun terpaku. Senyumnya luruh dan perasaannya porak poranda. Ji Won merenggut semuanya. Jalan keluarnya, tim evakuasinya, pelanginya, Yuta-nya. Dan ia tak terima.


Saat akhirnya Ye Eun berhasil membuka mata, hatinya terasa hampa bukan main. Ia melihat Ji Won berada persis di depan matanya, masih berbalut baju tidur tapi sudah memakai mantel tebal seperti ingin pergi keluar.


“Aku tak bisa berangkat ke restoran denganmu, aku harus pulang ke rumah dulu,” katanya.


Ye Eun tak menjawab. Melihat Ji Won membuatnya sedih sekali. Air matanya berlinang tanpa ia sadari.


“Kau baik-baik saja?” tanya Ji Won khawatir.
“Apa kau tidur denganku semalam?” Ye Eun malah balik bertanya. Walaupun matanya berkaca-kaca, tapi ia bicara dengan wajah datar. Ia memandangi Ji Won dengan perasaan kecewa yang ganjil, dan lebih kecewa lagi begitu ia berhasil menangkap perubahan air muka sang gadis. Ye Eun bisa melihat bagaimana bibir gadis di depannya tertarik tegang, bagaimana wajahnya memucat, serta bagaimana bola matanya bergetar berusaha menghindari mata Ye Eun.


“T-tidak,” katanya jujur, “aku tidur di bawah.”
“Begitu.”
“Ya,” balas Ji Won serak, menghindari matanya lagi. “Sampai ketemu di tempat kerja.”



*********



Yuta keluar dari kamarnya tepat saat Ye Eun turun. Mereka berpandangan selama beberapa saat sebelum Yuta teringat bahwa ia harus memberi kesan baik dan tersenyum. Ye Eun mendengus dan langsung membuang muka.


“Kau mimpi buruk lagi?” tanya Yuta, sejujurnya tak senang senyumnya dibalas dengan pandangan mencela seperti itu.


“Ya. Sangat buruk,” jawab Ye Eun ketus. “Kau pasti mimpi indah semalam, kan?”
“Uh, entahlah, aku sejujurnya tak ingat aku mimpi apa.”
“Begitu.” Ye Eun tersenyum sinis, memandangnya penuh dengki.
“Kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Menatapku begitu.”
“Begitu bagaimana?”
“Yah, begitu, seolah aku ada salah denganmu.”
“Jadi kau tak ada salah denganku?” Ye Eun terus membalik pertanyaan Yuta sampai membuat pria itu kesal. Yuta memicing padanya, persetan dengan sikap baik.


“Ada apa?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Tak ada apa-apa.”
“Aku serius.”
“Aku juga.”
“Kalau begitu bisakah kita bicaranya baik-baik saja?”
“Ya,” jawab Ye Eun tak acuh. Ia membenarkan letak tasnya dan berjalan melewati Yuta.
“Kalau begitu,” kata Yuta lantang, membuat langkah Ye Eun terhenti, “kau tak ada rencana apa-apa kan malam ini? Ada yang mau kutun…”


“Bisakah kau berhenti!” teriak Ye Eun tiba-tiba. Yuta bisa melihat bagaimana kedua tangannya yang mengepal erat itu bergetar. Gadis itu terlihat seperti sudah menahan-nahan amarahnya dan sekarang semua kemurkaannya itu meledak bak gunung api. Yuta masih berusaha meneliti situasi ini saat Ye Eun berbalik menghadapnya dengan wajah memerah. Benar-benar seperti gunung api.


Yuta menelan ludahnya, membatu.


“Minggu lalu, di ruangan ini, kau bilang padaku kau melihatku di jalan dan serta-merta jatuh cinta. Aku tak pernah mendengar kalimat semacam itu dari cowok mana pun di dunia ini, jadi bisakah kau bayangkan sesenang apa aku saat mendengarnya dari mulutmu? Tapi hari selanjutnya kau benar-benar dingin padaku. Kau bahkan tak memandangku dua kali saat aku memakai gaun yang cantik, kau tak memujiku sama sekali hari itu, kau juga tak bertanya apa aku gugup sebelum berjalan di altar, kau tak bertanya bagaimana perasaanku setelah menikah, kau sama sekali tak terlihat peduli padaku. Kau bahkan tak komentar saat aku menulis ‘tidak boleh jatuh cinta’ di kertas perjanjian kita. Aku sengaja menulisnya untuk melihat reaksimu, tahu tidak! Tapi kau malah tanda tangan begitu saja. Sebenarnya kau benar jatuh cinta padaku atau tidak, eh? Kalau tidak, kenapa harus mengumbar ucapan seperti itu? Aku memang butuh uang tapi tak tahukah kau ucapan cintamu itu memengaruhi setengah dari keputusanku!


“Kau adalah pernyataan cinta pertamaku, altar pertamaku, pernikahan pertamaku,” Ye Eun terisak tertahan, “suami pertamaku. Yeah, mungkin terlalu lancang bagiku untuk mengharapkan semuanya terasa spesial. Tapi apa menurutmu terlalu lancang juga bagiku jika aku minta padamu untuk tidak merusaknya? Apalagi dengan cara seperti ini.”


Ye Eun bicara dengan begitu emosional. Ia mengeluarkan segenap keluh kesahnya sampai napasnya tersengal, namun Yuta cuma berdiri di hadapannya, diam seperti batu dengan wajah keheranan setengah mati, berpikir mimpi apa lagi yang menghantui Ye Eun semalam sampai membuatnya sehisteris ini.


“Aku tak mengerti kenapa dari awal kau tidak menikahi Ji Won saja. Kenapa harus menempatkanku di posisi yang sulit seperti ini!”


“Ji Won katamu?”
“Aku akan membereskan barang-barangku nanti malam, setelah itu kau bisa tinggal bersamanya dengan tenang.”


“Huh?”
“Sungguh, aku tak tahu kenapa kau menikahiku. Aku tak tahu apa yang sebenarnya kau rencanakan. Aku tak tahu apa ucapanmu ada yang tulus atau memang bohong semua, termasuk penyakitmu. Bukankah kalau seseorang punya tumor di kepala dia akan berobat ke dokter? Bukankah seharusnya kau minta dioperasi? Kau punya uang untuk itu, kenapa tidak melakukannya? Kenapa malah diam saja di rumah, keluar masuk kamar seperti orang bodoh? Kenapa kau ada di sini dan bukan di rumah sakit? Kenapa kau masih baik-baik saja? Kenapa kau tidak sekarat dan cepat mati saja, huh?”


Segera setelah meneriakkan kalimat terakhirnya, Ye Eun terdiam. Itu terdengar sangat keterlaluan, bahkan bagi dirinya sendiri. Ye Eun langsung memalingkan mukanya dari Yuta, lantas berlalu pergi.



**********



Shift kerjanya siang itu terasa lebih panjang dari biasanya. Jarum jam terasa berhenti sementara pikiran-pikiran buruk berputar-putar membelit otaknya. Terlepas Yuta benar sakit atau tidak, ucapannya tadi benar-benar salah, dia baru saja menyuruh pria itu mati. Ye Eun tak bisa berhenti membayangkan betapa syoknya Yuta saat mendengarnya mengomel tadi. Begitu meledak-ledak. Begitu tiba-tiba. Ye Eun sendiri pun malu mengingatnya.


/Praanng/


“YAH! Shin Ye Eun!”


Ye Eun tersadar dari lamunannya saat suara pecahan piring yang tergelincir dari tangannya dan suara melengking Ji Won bersahutan.


“Kau kenapa, sih! Ya ampun!” Ji Won langsung berlutut di depannya dan memungut pecahan piring itu. Ye Eun refleks melakukan hal yang sama. Ia mengumpulkan beling-beling besar di telapak tangannya sementara Ji Won tak henti-henti memarahinya.


“Apa sih yang kau pikirkan? Dari tadi tak bisa fokus. Tolong jangan melamun saat kerja! Kau tahu tidak sih melihatmu begini aku jadi…”


Hati Ye Eun saat ini sedang sama hancurnya dengan piring yang pecah dan mendengar Ji Won tak henti-henti menggerutu mendikte kesalahannya pada akhirnya membuat Ye Eun tak tahan. “Menjauhlah dariku!” Ia tiba-tiba menjerit seraya menjatuhkan kembali semua beling di tangannya, membuat pecahan itu terpecah belah lagi menjadi serpihan yang lebih kecil.


“Kau kenapa, sih!” Ji Won balas berteriak karena terkejut. Semua pelayan yang ada di dapur membatu di posisi masing-masing, sama terkejutnya dengan Ji Won.


“Kubilang menjauh dariku!” Ye Eun berusaha menjerit lebih kencang lagi, tapi suaranya pecah, dan dia menangis terisak-isak sampai membuat semua orang bingung.


“Ye Eun~a.” Ji Won mengulurkan tangannya ke pundak Ye Eun, tapi gadis itu segera menepisnya dan bangkit berdiri, lantas keluar begitu saja lewat pintu belakang.


Ji Won meletakkan pecahan piring yang ia kumpulkan di konter dapur, menyapu serpihan kecil kaca yang menempel di betisnya, lalu menginstruksikan Donghyuck untuk membereskan semua kekacauan di sana sebelum mengikuti Ye Eun keluar pintu.


Matahari sangat terik di luar dan Ye Eun terlihat duduk berteduh di kursi usang di sisi restoran, persis di sebelah bak sampah. Ji Won sama sekali tak mengerti apa yang terjadi; harusnya dia yang marah, dialah yang akan kena omel manager habis ini.


Ji Won duduk di sebelahnya dan Ye Eun segera menggeser menjauh. Ji Won menggeleng melihat betapa kekanakannya tingkah sahabatnya itu.


“Heh, kau kenapa! Jangan tiba-tiba bersikap menyeramkan begini, dong! Kalau ada masalah…”
“Kenapa harus dengannya?” sela Ye Eun. Ia menoleh pada Ji Won dan melanjutkan dengan dingin, “aku melihatmu keluar dari kamarnya kemarin.”


“Kamar?”
“Yuta.”
“Ah, kau melihatnya?”
“Ya. Jadi tak usah pura-pura bodoh lagi.”


Ji Won mengerutkan kening. Ia memandangi Ye Eun, meneliti ekspresi wajahnya sejenak sebelum berkata dengan tampang waswas, “Jadi? Apa kau sudah tahu apa yang Yuta rencanakan?”


“Rencana?”
“Tunggu! Kau tidak tahu? Jadi apa yang membuatmu….” Mata Ji Won mendadak melebar. “Jangan bilang kau berpikir aku selingkuh dengan Yuta!”


“Lalu apa lagi yang harus kupikirkan, eh? Kau keluar dari sana sambil bilang ‘berhubung sekarang aku tinggal di sini, kau bebas memanggilku kapan saja’, kalau sudah begitu apa namanya kalau bukan selingkuh? Kau pikir aku ini bodoh, ya!”


“Kau tidak bodoh, kau tolol kuadrat!” maki Ji Won kesal.
“Sudah berapa kali kau tidur dengannya?”
“Tutup mulutmu, Shin Ye Eun! Aku ingin sekali merobek mulutmu tahu tidak! Ya, aku memang masuk ke kamarnya. Tapi itu cuma untuk membantunya memilih sesuatu.”


“Memilih apa?”
“Aku tak bisa bilang. Aku sudah janji padanya.”


Ye Eun langsung mengeluarkan senyum sinisnya lagi dan Ji Won yang tak tahan akhirnya menjerit geram. “Dia ingin membuat kejutan padamu, bodoh! Dia bertanya padaku saat kita nonton film, dia tanya apa saja hal yang kau suka. Lalu paginya dia memintaku memilih beberapa produk di komputernya.”


“Dan kau pikir aku akan percaya begitu saja?”
“Terserah. Aku di sini bukan untuk meyakinkanmu. Memangnya kau pikir aku tidak sakit hati dituduh melakukan hal serendah itu dengan suami orang? Apalagi suamimu.”


“Lalu kenapa semalam kau tidak tidur denganku?”


Ji Won terdiam lagi. Perasaan tidak enak langsung saja membekap dadanya. Dia menatap Ye Eun sambil memohon dalam hati agar gadis itu tidak usah menanyakannya. Namun Ye Eun malah semakin penasaran, “kenapa?”


Ji Won memejamkan matanya frustrasi. “Aku mimpi buruk.”


“Lalu apa urusannya kau mimpi buruk dengan tidak tidur denganku? Aku minta kau tinggal di sana supaya menemaniku.”


“Aku tidur denganmu,” sambar Ji Won geram. Dia tak mengerti kenapa harus menjelaskan semua ini seperti tersangka padahal ia tak bersalah sama sekali. “Awalnya aku tidur di sebelahmu tapi terbangun karena mimpi buruk. Lalu aku mencoba memecahkannya, aku berpikir apa jangan-jangan penyebab mimpi buruk kita adalah kamarmu? Karena malam sebelumnya kita tidur di bawah dan tidak mimpi buruk, kan? Jadi aku mencoba membuktikan teoriku, aku ke bawah, tidur di ruang tamu….”


Ji Won menjeda ucapannya untuk menghela napas, “dan mimpiku malah makin buruk lagi.”


Ye Eun mendengus, “Jadi kau tidur di ruang tamu, eh? Kalau memang tidur di ruang tamu, kenapa kau gugup sekali saat melihatku tadi pagi?”


“Aku sungguh tak mau membicarakannya.”
“Kenapa?” Ye Eun berkeras. “Kenapa kau kelihatan begitu bersalah?”


Ji Won bangkit berdiri. Emosinya sudah membuncah sampai ubun-ubun dan melihat Ye Eun yang menginterogasinya dengan membabi buta membuatnya makin marah lagi. “Ini bukan jam istirahat jadi sebaiknya kau cepat ke dalam,” katanya setenang mungkin, lantas berjalan begitu saja melewati Ye Eun menuju restoran.


Ye Eun tak tinggal diam. Ia segera menyusul, lalu menarik tangan Ji Won tepat sebelum gadis itu menyentuh kenop pintu.


“Kalau kau tak mau dituduh macam-macam, belajarlah jujur padaku!” seru Ye Eun, “Apa yang terjadi, huh? Kau tak mengerti sekusut apa pikiranku sekarang, Moon Ji Won. Tolong katakan saja apa alasanmu bersikap begitu bersalah padaku! Aku mohon!”


Ji Won kehilangan pengendalian diri dan langsung meraung, “KARENA KAU MATI DI MIMPIKU!” Air matanya meleleh tiba-tiba dan membuat Ye Eun terkejut. “Aku melihatmu terkapar di lantai, mati kehabisan darah. Aku melihat betapa mengerikannya dirimu dan tak bisa berbuat apa-apa. Matamu terbelalak, kulitmu nyaris ungu, jemarimu hancur, dan tubuhmu keterlaluan kurusnya. Itu benar-benar menyeramkan, Ye Eun~a. Aku melihatnya dengan sangat jelas sampai-sampai aku takut itu bukan mimpi. Aku terbangun dengan wajah basah dan untuk beberapa saat kupikir itu nyata. Dan itu semua membuatku merasa bersalah. Aku jadi tak berani menatapmu karena aku merasa begitu berdosa memimpikan hal seperti itu tentang sahabatku. Kau puas sekarang, eh?” Ji Won menyeka air matanya dengan kasar lalu menatap Ye Eun penuh kebencian, “Demi Tuhan aku tak akan memaafkanmu. Kau sungguh mengenalku empat tahun dan masih tak bisa percaya padaku? Kau sungguh memanggilku sahabatmu tapi seenaknya berprasangka buruk dan menuduhku? Apa gunanya kau punya mulut kalau tak dipakai? Harusnya kau tanya baik-baik padaku, tanya kenapa aku masuk ke kamar Yuta, bukannya langsung menyimpulkan sembarangan. Ini sebabnya kau tak punya teman, kau tahu. Tak akan ada yang tahan dengan orang egois sepertimu.”



Ye Eun mencelos. Hatinya remuk redam dan sesak oleh rasa bersalah. Ia melepas lengan Ji Won, yang lekas masuk ke dalam restoran sambil membanting pintu.



*********



Setelah saling meneriaki dan membuat sumpah 'tidak akan memaafkanmu selamanya', sekitar pukul sepuluh malam, saat pelayan-pelayan lain mulai bersiap pulang, Ye Eun dan Ji Won yang emosinya sudah surut duduk berhadapan di lantai gudang penyimpanan. Mereka berbicara lagi, kali ini tanpa teriakan dan sumpah serapah.


“Aku minta maaf sudah menuduhmu macam-macam.”
“Yeah, aku juga minta maaf sudah membuatmu salah paham.” Ji Won mengulurkan plester luka kepada Ye Eun. “Pakai ini untuk telapak tanganmu.”


Ye Eun mengambil plester itu.


“Kau benar. Aku memang tolol kuadrat. Aku masih tak habis pikir bagaimana bisa aku menyimpulkan hal sebesar ‘perselingkuhan’ hanya karena sesuatu sesepele itu,” kata Ye Eun, merobek pembungkus plesternya sambil menggeleng. Ia membalut luka gores (karena pecahan piring tadi) di telapak tangannya lalu kembali menatap Ji Won. “Tapi aku memang sebegitu takutnya. Aku tak mau Yuta merebutmu dariku.”


“Atau,” kata Ji Won, memandangnya penuh arti, “kau takut aku merebut Yuta darimu.”


Ye Eun menatap Ji Won dengan mata membeliak sebelum meloloskan tawa mengejek, “Sudah gila, ya? Ingat, aku menikahinya cuma karena uangnya.”


Ji Won mendenguskan senyum tipis seraya berdiri. “Yeah, aku juga akan secemburu itu kalau cowok yang kunikahi karena uangnya didekati cewek lain, iya kan?”


“Apa, sih?”
“Omong-omong, aku akan telat pulang hari ini, jadi jangan tunggu aku. Selesaikanlah urusanmu dengan Yuta lalu segera tidur.”


Ye Eun ikut berdiri. “Mau ke mana?”


“Ada masalah di rumah.”
“Masalah?”
“Ya. Kuceritakan nanti,” katanya. “Sudah ya, aku duluan.” Ji Won melambai padanya sebelum berjalan sedikit tergesa menuju pintu.


“Tunggu.” Ye Eun menahannya. “Kau sungguh sudah memaafkanku, kan? Aku…”
"Kalau kau tak berhenti menanyakan itu, maka aku benar-benar tak akan memaafkanmu sampai mati."
"Terima kasih."
“Ah, benar. Kalau nanti Yuta memberimu hadiah, tolong pura-pura terkejut. Aku jadi tak enak sudah membocorkan rencananya.”


“Aku tak yakin dia masih mau memberiku hadiah setelah kuteriaki seperti tadi.”
“Benar, kalau aku jadi dia, aku pasti sudah mengusirmu sekarang,” kata Ji Won enteng, “tapi Yuta kan bukan aku, jadi pulanglah dan pastikan sendiri.”



**********



Ye Eun cukup tahu diri untuk tidak mengharapkan sambutan yang lebih hangat setelah kejadian tadi pagi. Begitu membuka pintu, tak seperti biasanya, semua lampu kini sudah dimatikan. Ye Eun berusaha menghibur diri, berpikir mungkin Yuta sengaja mematikan lampu karena sekarang sudah lewat jam sebelas malam. Tapi, sepositif apa pun pikirannya, Ye Eun tetap tak bisa mengenyahkan rasa khawatirnya sama sekali.


Dengan tangannya yang basah karena hujan, gadis itu meraba dinding, menyalakan lampu ruang tengah kemudian berjalan mendekati kamar Yuta. Ia berdiri di sana beberapa lama, menimbang apakah ia harus mengetuknya atau tidak, harus minta maaf malam ini juga atau tidak.


Setelah merenung panjang, akhirnya Ye Eun sadar ia tak punya cukup nyali untuk mengulurkan tangannya ke pintu, apalagi meminta maaf pada Yuta. Jadi, diiringi dengan suara petir dan deburan hujan di luar, ia berjalan ke ruang tengah dan duduk di sofa tunggal sambil terus memandangi pintu kamar sang pria. Berharap dengan begitu Yuta bisa tahu kalau dia sudah pulang dan barangkali berkenan menemuinya sebentar.


Setelah hampir lima belas menit duduk di sana, Ye Eun akhirnya menyerah. Ia tahu pasti tak akan ada permintaan maaf apalagi kejutan malam ini. Dengan langkah berat, ia berjalan ke kaki tangga dan naik menuju lantai dua.


Tak berbeda dengan suasana di bawah maupun di luar, kamarnya pun terasa tak kalah suram. Ye Eun melengoskan tas selempangnya dari kepala sambil menyalakan lampu. Perasaannya terus memberat dan memberat setiap kali menghela napas, rasanya seperti ia sudah berada di mimpi buruk langganannya bahkan sebelum tidur.


Ye Eun sedang melepas mantel setengah basahnya saat ia berbalik dan melihat gaun hitam super cantik tergantung di depan lemarinya. Matanya membeliak. Ia menghampiri gaun itu dengan tergesa-gesa sampai tak sengaja menendang kotak sepatu. Kotak itu terguling membuka dan sepasang stiletto berlapis mutiara langsung saja mencuri perhatiannya. Ye Eun terkesima luar biasa. Ia mengambil stiletto itu dengan sangat hati-hati, kemudian mendekatkannya ke muka supaya bisa mengaguminya lebih dekat.


Saat Ye Eun menoleh ke gaunnya lagi, ia baru sadar ada sticky notes yang menempel di gantungannya.


Pakai dress dan sepatunya,
lalu naiklah ke lantai 3.
Kutunggu di sana


Ye Eun tak tahu sejak kapan sticky notes itu ada di sana. Tak tahu sudah berapa lama Yuta menunggu atau apakah pria itu masih menunggu. Tapi walaupun begitu ia tetap tak mau membuang waktu. Ye Eun segera menanggalkan bajunya dan memakai gaun itu, kemudian menurunkan skinny jeans dari pinggulnya begitu buru-buru hingga nyaris terjerembab mencium lantai. Berkat ketergesaannya, Ye Eun pun berhasil bersiap-siap hanya dalam waktu dua menit saja.


Ia menyempatkan diri untuk memeriksa riasan wajahnya di cermin, lalu meringis sedikit melihat betapa kumal wajah dan rambutnya sekarang. Tapi gadis itu merasa tak punya waktu lagi untuk menghias diri. Jadi, sebagai gantinya, ia hanya menutulkan bedak seadanya lalu menjepit rambutnya tinggi-tinggi. Ia menyambar sticky notes di gantungan lalu segera berlari keluar sambil memeriksa kembali instruksi di dalamnya.


“Lantai tiga?” Ye Eun menggumam membaca, baru sadar kalau ternyata di rumah ini ada lantai tiganya.


Ia berjalan menyusuri lorong lantai dua sambil melongok-longok mencari tangga. Selama pencariannya, ia menemukan banyak sekali perabot konyol dan lemari-lemari super besar yang tak punya nilai guna. Ye Eun terus mengernyit pada semua barang itu hingga akhirnya ia tersadar bahwa tujuan awalnya berjalan di lorong ini bukanlah untuk menghina selera Yuta.


Ye Eun baru menemukan tangga menuju lantai tiga setelah ia melewati setidaknya lima lemari raksasa berisi pajangan-pajangan aneh. Letaknya tersembunyi di sudut dan kemiringannya amat berbahaya—nyaris tegak lurus. Tangga itu jauh lebih kecil dari tangga utama dan pegangannya terasa dingin. Dengan hati-hati, Ye Eun menaiki satu per satu anak tangganya yang sempit. Ia harus berjalan menyerong karena memakai stiletto.


Sesampainya di atas, Ye Eun disambut oleh padang rumput super luas dan hujan lebat yang masih setia mengguyur Seoul sejak pukul sepuluh. Ia berdecak kagum, berpikir tempat ini akan sangat sempurna untuk pesta barbeque—jika saja langitnya lebih ramah sedikit.


Saat ia menoleh ke sisi yang lain, tepatnya ke area perkakas di sebelah kanan, Ye Eun akhirnya melihat Yuta, tengah duduk di lantai, memandang nanar ke langit dengan wajah begitu frustrasi. Ia memakai kemeja satin hitam dengan dua kancing atas terbuka dan lengan yang digulung sampai siku. Rambut hitamnya sedikit lebih rapi. Walau kelihatan sekali ia hanya meratakannya dengan tangan alih-alih sisir, tapi Ye Eun tetap merasa perlu mengapresiasi usahanya itu mengingat betapa berantakannya dia sehari-hari.


“Yuta-ssi.”


Yuta yang terkejut refleks menoleh, kemudian lebih terkejut lagi begitu melihat Ye Eun dan segera bangkit berdiri.


“Kau pulang.”
“Ya.”
“Dan kau memakainya.” Yuta melirik gaun Ye Eun, kemudian menunduk dalam-dalam, menyembunyikan wajah tersenyumnya yang memalukan. Ini aneh, tapi Yuta merasa begitu bahagia. Bahagia karena gaun dan sepatunya dipakai, bahkan terlihat secocok itu di badan Ye Eun.


“Cantik,” puji Yuta, merasa perlu untuk menuturkan isi kepalanya sebagai pembelajaran dari omelan Ye Eun pagi ini-'kau bahkan tak memujiku saat aku pakai gaun yang cantik'. Tapi kali ini Yuta bersumpah dia tulus memuji. Mungkin ini efek karena gaunnya berwarna hitam (warna kesukaannya) dan dia memilih gaun itu sendiri, berjam-jam, penuh pertimbangan.


Ye Eun praktis tersenyum, lalu segera menunduk untuk menyembunyikan wajah meronanya.


Beruntung hujan malam itu terdengar keras sekali, kecanggungan di antara mereka jadi tak begitu terasa, digantikan dengan bunyi deburan hujan yang menenangkan dan romantis.


“Ah, omong-omong, ini,” Yuta menoleh ke langit. “Aku sedang menunggu hujan.”
“Menunggu hujan?”
“Ya, aku mau dirikan tenda.”
“Buat apa?”
“Ji Won bilang kau suka tenda.”
“Ah.” Ye Eun melirik kantong parasut di tangan Yuta lalu tak enak hati mengangguk, “Ya, aku memang suka berkemah. Tapi tidak usah, maksudku, kita kan ada di dalam rumah, untuk apa pakai tenda.”


“Tidak apa-apa. Aku sudah beli tendanya, aku juga mau tahu rasanya duduk di tenda.”
“Memangnya belum pernah berkemah?”


Yuta menggeleng.


“Waktu sekolah?”


Yuta menggeleng lagi.


Ye Eun jadi merasa semakin tidak enak. “Kalau begitu bangunlah tendanya di kamarku.”


“Maaf?”
Balkonnya cukup luas untuk membangun tenda—itu hal pertama yang kupikirkan setelah melihat kamarku, jadi,” Ye Eun mengangguk seolah sedang mempersilakan, “dirikan saja di balkon kamarku. Lagi pula kalau di balkon kita masih bisa lihat langit tanpa takut kehujanan.”


“Tidak apa-apa?”
“Ini rumahmu, kenapa tanya padaku?”
“Tapi itu kamarmu.”
“Lalu?”
“Tidak apa-apa?” ulang Yuta.


Ye Eun mendenguskan senyum, “tidak apa-apa.”



**********



Pukul satu lewat sepuluh menit, Ye Eun dan Yuta akhirnya berhasil mendirikan tenda dan kini tengah duduk canggung di dalamnya. Ye Eun mencoba membuka mulut untuk membahas kejadian pagi tadi, untuk meminta maaf, untuk bertanya kenapa kau tak marah padaku, tapi sebelum pita suaranya bergetar, Yuta tiba-tiba merangkak keluar.


“Sebentar,” katanya, “hadiahmu ketinggalan di atas.”
“Hadiah apa lagi?” Ye Eun bertanya, tapi Yuta sudah keburu pergi dan tak mendengarnya. Rupanya, gaun cantik, stiletto berlapis mutiara, tenda yang nyaman dan Yuta yang memakai kemeja satin yang seksi bukan termasuk ke dalam hadiah.


Ye Eun menarik napas gugup, memikirkan benda apa saja yang diberitahukan Ji Won sampai membuat Yuta serepot ini.


Saat sedang berpikir begitu, ia mendengar pintu kamarnya terbuka lagi. Tak lama, Yuta merangkak masuk ke tenda sambil membawa bungkusan besar. Ye Eun sungguh kehabisan kata. Ia bahkan tak sanggup untuk sekadar mengira-ngira apa saja yang ada di dalam sana.


Pertama-tama, pria itu mengeluarkan sebuket bunga, “Mawar putih,” katanya, seraya mengulurkan buket itu pada Ye Eun.


“Terima kasih.”
“Lalu ini, Coco Mademoiselle.” Kemudian ia mengeluarkan botol parfum keluaran Chanel yang selama ini cuma bisa Ye Eun kagumi dari balik etalase kaca. Gadis itu melotot lebar sekali begitu Yuta mengulurkan parfum itu ke arahnya. “Ah, benar. Harusnya aku meletakkan ini bersama gaunmu. Sori.”


Ye Eun melotot makin lebar, tak mengerti kenapa cowok ini masih bisa-bisanya bilang ‘sori’ di saat ia menggenggam bungkusan besar berisi entah-berapa-lusin hadiah layaknya Sinterklas versi modern.


Seolah tak ada habisnya, Yuta terus mengeluarkan barang-barang menawan dari bungkusan ajaibnya; beberapa jenis kosmetik kesukaan Ye Eun, jam tangan bvlgari, album limited edition BTS yang sudah Ye Eun buru sejak awal tahun dan action figure tokoh kesukaannya—Sirius Black—di film Harry Potter.


Ye Eun tengah memeluk semua hadiahnya itu dengan mata berkaca-kaca dan dada mencelos saat Yuta mengeluarkan hadiah terakhirnya.


Botol obat pembersih kuman alkohol antiseptik.


Ye Eun bergeming. Ia mengerutkan kening menatap botol plastik itu hingga Yuta menjelaskan, “Ji Won juga menuliskan alkohol di daftar hal yang kau suka.”


“Begitu? Tapi aku tidak…” Saat itu, Ye Eun akhirnya mengerti. Dia menaikkan pandangannya ke wajah Yuta sebelum menyemburkan tawa. Ye Eun melepas semua hadiah di tangannya dan mengambil botol alkohol itu dari tangan Yuta, kemudian tertawa semakin lepas. “Kau pasti bercanda, kan?” Ia bicara di sela-sela tawanya.


Sesaat gadis itu berhenti, namun tak sampai dua detik setelahnya, ia memukul pundak Yuta dengan buket bunga lalu tertawa lebih geli lagi. Yuta, yang walau tak tahu apa salahnya, praktis terbawa suasana dan ikut tertawa. Ye Eun yang kesulitan mengontrol diri itu nampak begitu bahagia dan gilang gemilang, mustahil rasanya untuk tidak tertular aura bahagianya.


“Yeah, aku memang sangat suka alkohol. Aku bisa minum tiga botol besar tanpa mabuk,” jelas Ye Eun begitu akhirnya ia bisa mengendalikan diri.


“Ah, maksudmu minuman?”
“Jadi kau serius mengira aku suka obat antiseptik?”


Yuta tak menjawab, merasa begitu bodoh sampai tak tahu harus berbuat apa.


“Astaga.” Muka Ye Eun berubah menjadi merah jambu. “Itu bahkan lebih lucu lagi,” katanya geli. Ia menyembunyikan mukanya di telapak tangan dan tertawa tertahan. Entah sudah berapa kali ia berhenti tertawa lalu tiba-tiba tergelak lagi hanya karena Yuta dan obat antiseptiknya.     


“Aku pasti kelihatan sangat bodoh sekarang,” kata Yuta, terkekeh sedikit sambil mendorong rambutnya salah tingkah. “Maafkan aku. Aku tak tahu kenapa bisa-bisanya berpikir kau suka obat antiseptik.”


Ye Eun tersenyum memandang Yuta, mati-matian menahan diri agar tidak tiba-tiba menyemburkan tawa lagi. Ini mulai tidak lucu. “Saat beli alkohol antiseptik, kau juga pasti bingung dan berpikir aku ini orang aneh, ya.”


Yuta menggigit lidahnya seraya mengangguk.


Ye Eun mendenguskan tawa sekali lagi lalu menatap Yuta sambil menghela napas dalam, nampak berterima kasih sekali. “Rasanya seperti kau sedang menebus semua kado ulang tahun yang belum sempat kau berikan padaku selama 22 tahun terakhir. Sungguh, aku tak tahu bagaimana caranya membalas semua ini.”


“Kau suka?”
“Sangat suka,” balas Ye Eun. Wajahnya berseri-seri. “Terima kasih banyak.”
“Yeah, tak masalah. Senang mendengarnya.”


Untuk sesaat, Ye Eun dan Yuta yang tak tahu harus apa hanya terdiam canggung sambil memandang ke luar tenda. Langitnya masih terlihat muram walau hujannya sudah tak selebat tadi. Tak ada bintang yang bisa dilihat dan angin berembus sedikit terlalu kencang untuk bisa dinikmati.


“Tapi untuk apa?” tanya Ye Eun hati-hati. “Kenapa tiba-tiba memberiku... semua ini?”
“Yah, tidak apa-apa.” Yuta berkata lambat-lambat. Ia menoleh pada Ye Eun dan memandangnya dengan kernyit bingung, jelas sekali dibuat-buat, “memangnya salah memberi hadiah ke istri sendiri?”


Ye Eun langsung tersedak.


“Kau baik-baik saja?”
“Ya." Ye Eun terbatuk-batuk keras. “Ya, ya, aku baik.”
“Shin Ye Eun-ssi, omong-omong, soal ucapanmu tadi pagi…” Yuta akhirnya mengungkit topik sentitif itu dan mengubah nada bicaranya menjadi lebih serius. Ye Eun seketika berhenti terbatuk. “Kau benar. Aku minta maaf karena sikapku membuatmu bingung. Tapi aku bersumpah aku tidak bohong, aku memang,” ia menarik napas gugup, “suka padamu.”


Ye Eun tak tahu harus bereaksi seperti apa, yang ia tahu, sekarang hatinya sedang jungkir balik di dalam dada dan bunga sakura tengah bermekaran di sana. Ia merasa tersanjung bukan main sampai pipinya ikut terasa hangat.


Untuk beberapa menit setelahnya, Yuta terus mengakui kenapa ia tak bereaksi saat melihat Ye Eun dengan gaun pengantin—aku agak gugup, katanya, entah bohong atau tidak, yang pasti sanggup membuat bunga sakura di dada Ye Eun mekar lagi.


Selama Yuta bicara, Ye Eun berulang-ulang melempar pandang malu-malu ke wajahnya. Ye Eun tak bisa berkonsentrasi dengan apa yang Yuta bicarakan dan hanya senyam-senyum sendiri menatapnya. Ia melihat tulang pipi pria itu lalu menunduk tersenyum, ia menoleh lagi melihat rahang tegasnya lalu tersenyum lagi, ia melihat hidung tingginya lalu tersenyum lagi, dan begitu ia tersadar dari tingkah menggelikan ala remaja pubernya, Yuta ternyata tengah membahas Ji Won.


“Aku tak tahu kalau menanyai Ji Won soal barang-barang kesukaanmu bisa menyebabkan kesalahpahaman seperti tadi. Aku sempat takut kau tak akan pulang, tapi.. melihat kau di sini sekarang, sepertinya Ji Won sudah menjelaskannya dengan baik. Syukurlah,” kata Yuta dengan nada lega dibuat-buat. Faktanya, dia berteleportasi ke restoran siang ini untuk menanyai Ji Won tentang apa yang terjadi (sebab walalupun Ye Eun sudah mengomel histeris padanya hampir sepuluh menit, ia tetap tak mengerti apa yang sedang ia bicarakan), lalu ia tak sengaja mendengar kedua gadis itu bicara di sebelah bak sampah dan praktis pulang lagi karena merasa masalahnya sudah selesai.


“Ya. Ji Won sudah... menjelaskan… padaku,” jawab Ye Eun segan. Dia benar-benar merasa seperti tokoh protagonis bodoh di drama picisan yang cemburu buta pada sahabatnya sendiri dan membuat seluruh penonton gemas ingin menempeleng kepalanya. Tak ada yang lebih memalukan dari itu.


“Harusnya aku yang minta maaf padamu. Maaf sudah mengomel tak jelas, maaf sudah berkata kasar dan membuatmu tak nyaman. Kau harusnya balas meneriakiku saja.”


“Tak apa.” Yuta tersenyum menyeringai, “sejujurnya aku senang.”
“Senang?”
“Ya, kau cemburu pada Ji Won karena aku.”
“Maaf, tapi aku cemburu padamu karena Ji Won.” Ye Eun mengoreksi. “Aku sudah bersahabat dengan Ji Won sejak masuk kuliah. Aku tak mau kau merebutnya dariku.”


“Oh, begitu?” Yuta berpaling padanya dengan tampang meledek.
“Ya.”
“Kalau begitu, asalkan bukan dengan Ji Won, kau tak akan cemburu?”
“Tentu saja tidak,” sergah Ye Eun yakin.


Yuta memutar mata.


"Yah! Aku tak suka reaksimu."
"Yah! Aku juga tak suka jawabanmu."
"Jadi kau mau aku jawab apa?"
"Aku mau kau sedikit lebih jujur dan bilang kau cemburu."
"Tapi aku tidak cemburu."


Yuta memutar matanya lagi. Ye Eun terkekeh singkat melihat reaksinya itu sebelum menggelengkan kepala tak habis pikir.


“Yuta-ssi,” panggil Ye Eun beberapa saat kemudian.
“Ya?”
“Jawab jujur, ya.”
“Oke.”
“Apa kau benar sakit?”


Yuta yang tak menyangka akan mendapat pertanyaan itu di saat mereka sedang bercanda soal cemburu buta jelas saja terkejut. Badannya yang semula sudah rileks mendadak tegang lagi.


“Aku bersumpah tak akan tanya apa pun soal jati dirimu; di mana keluargamu, dari mana semua kekayaanmu atau apa alasan kau menikahiku benar hanya karena jatuh cinta semata. Tapi kumohon, jujurlah padaku soal penyakitmu. Tolong beri tahu aku apa tumor itu memang ada?”


“Aku mohon padamu,” ujar Ye Eun untuk kesekian kali. “Aku cuma ingin tahu apa…”
“Tidak,” jawab Yuta, berpaling padanya dengan raut menyesal. “Maaf sudah membohongimu. Tapi aku tidak sakit.”


Ye Eun bergeming memandangnya, sebelum perlahan-lahan wajahnya dihiasi senyum lega, “baru kali ini aku senang mendengar seseorang bilang dia bohong padaku. Terima kasih.”


“Jangan sembarangan bilang terima kasih. Apalagi untuk hal yang bodoh seperti itu. Terima kasih untuk apa? Terima kasih karena sudah dibohongi?”


“Terima kasih karena tidak sakit.”
"Kau berterima kasih karena itu?"
"Ya."
"Kalau begitu terima kasih juga padamu. Terima kasih karena tidak marah.”
“Aku tak akan tanya alasanmu berbohong, tapi…”
“Bukannya sudah jelas?” sela Yuta. “Aku takut kau menolakku. Itu alasanku berbohong.”
“Yeah, tapi kau bicara seolah akan mati jika tak menikahiku.”
“Aku memang akan mati.”


Ye Eun mendengus, “kau mulai lagi.”


Yuta cuma tersenyum.


“Yuta-ssi.”
“Ya?”
“Hari Minggu besok akan ada peringatan satu tahun kematian kakekku di Jeonnam. Biasanya semua keluarga hadir untuk melakukan persembahan, jadi… aku izin padamu untuk pergi. Besok lusa aku akan berangkat dan mungkin baru pulang empat hari setelahnya, sekitar Selasa atau Rabu, tergantung harga tiket.”


“Kau bilang semua keluarga hadir?”
“Ya.”
“Bukankah aku juga keluarga?”
"..."
"Apa aku bukan keluarga?"
“Ah, ya, tentu saja kau... keluarga."
"Lalu? Bukankah aku harus ikut juga?"
"Tidak perlu, maksudku, ya, harusnya kau ikut. Tapi tenang saja, aku bisa menanganinya. Aku akan bilang kau sedang sibuk. Aku tak mau ayah menyuruhmu mengerjakan ladang lagi. Dia benar-benar tak bisa lihat cowok sedikit, selalu begitu. Biasanya…”


“Ye Eun-ssi,” sela Yuta, membuat Ye Eun yang tengah menggerutu tentang sifat ayahnya itu terdiam, berpaling memandangnya, “boleh aku ikut denganmu?” tanyanya, “ke Jeonnam?”


“Tidak usah. Kau pasti akan capek di sana.”
“Jadi tidak boleh?”
“Bukan begitu, tapi kau tak mengenal ayahku, dia…”
“Boleh atau tidak?” sela Yuta keras kepala.


Ye Eun menghela napas dan berusaha menjelaskan dengan sabar, “Yuta, begini…”


“Aku mau ikut denganmu,” katanya kukuh. “Aku sudah menghadapi ayahmu sekali, aku bisa melakukannya lagi. Lagi pula sekarang aku bersamamu.”


Ye Eun sudah siap menggeleng untuk menolaknya lagi. Tapi Yuta tiba-tiba saja menggenggam tangannya dan memaksa gadis itu memandang matanya yang berpendar penuh kesungguhan. “Aku akan baik-baik saja.” 


Sentuhan tiba-tiba itu membuat kesadaran Ye Eun menguap untuk sesaat. Ia bisa merasakan hatinya bergetar, kemudian perlahan-lahan menunduk menatap tangannya yang digenggam. “Baiklah.”


“Boleh?”
“Boleh,” katanya, terpaksa. “Tapi aku tak mau tanggung jawab kalau punggungmu sakit atau apa, ya. Ayah mungkin akan memintamu memindahkan gunung. Aku bahkan tidak melebih-lebihkan, dia pasti akan menyuruhmu macam-macam dan kau akan…”


“Terima kasih,” sela Yuta manis.

“Ah.” Ye Eun yang jarang sekali mendengar Yuta bicara dengan nada seperti itu mendadak terhipnotis. Wajahnya langsung tersipu, “ya.”


TBC


Sampe ketemu di jeonnam~ 

Comments

Popular Posts