#1 Jacket - Produce 45




Main Cast : Mark Lee, Nam Chaerin (OC)
Genre : Romance
Length : Drabble (1842 words)
Author : Salsa


**********


Namanya Mark Lee. Ketua kelas paling absurd tapi juga paling bisa diandalkan di kelasku, X IPA 1. Dia gemar menyeletukkan hal konyol pada saat yang tak terduga dan membuat semua orang tertawa.


Tak ada yang tahu apa isi kepala Mark Lee. Detik pertama ia sedang sibuk memandangi buku dan detik selanjutnya ia sudah menukar-nukar Tupperware seisi kelas tanpa sepengetahuan pemiliknya. Atau membuat panik kami semua dengan berkata ‘selamat siang’ dengan suara diberat-beratkan, meniru guru seni budaya kami yang horornya bukan main. Dia juga gemar mendorong botol minum Jisung saat anak malang itu hendak minum, atau menarik bangkunya saat ia mau duduk. Semua itu ia lakukan dengan wajah datar dan pada waktu yang tak terduga, sampai-sampai Jisung nampak agak trauma setiap kali mau minum atau duduk atau melakukan hal sesederhana apa pun di sebelah Mark Lee.


Tapi ada kalanya Mark Lee menunjukkan sisinya yang lain—yang serius dan bertanggung jawab. Dia selalu jadi orang pertama yang berdiri tiap kali kelasnya tertimpa masalah. Selalu jadi yang pertama mengacungkan tangan tiap kali gurunya meminta sukarelawan; untuk mengisi tinta spidol, memanggil janitor, memfotokopi modul atau sekadar menghidupkan proyektor. Dia juga jago bermain musik dan aktif dalam berbagai macam ekskul. Intinya, Mark Lee bukan seseorang yang amat memalukan untuk ditaksir. Dan walaupun tak ada yang terang-terangan menunjukkan itu padanya, aku yakin aku bukan satu-satunya.


Ya. Aku, Nam Chaerin, menyukai Mark Lee, si ketua kelas sekaligus class clown yang penuh kejutan itu, dalam kadar suka yang wajar selama dua bulan belakangan ini.


“Mark.”


Dia mengangkat kepalanya dari ponselnya dan menoleh padaku, mengedikkan dagu seolah berkata ‘apa’.


“Jaket.”


Tanpa bertanya apa-apa lagi, ia langsung mengambil jaket hitam yang ia sampirkan di punggung kursi dan menggulungnya seperti bola.


“Tangkap,” serunya sementara jaket itu melayang dari kubikelnya menuju kubikelku.


Ya, meja di kelas kami berbentuk kubikel, berderet nyaris rapi memenuhi ruang kelas. Aku duduk di barisan belakang, sejajar dengan AC—yang katupnya sengaja diturunkan demi kesejahteraan kubikel sebelah. Tapi bagaimanapun juga, kubikelku jadi kena imbasnya. Mejaku jadi sedikit lebih dingin karena embusan anginnya jatuh tepat di sekat milikku.


Tempat dudukku memang dingin dan yah, mungkin Mark mengira aku meminjam jaketnya karena alasan itu. Dia tidak salah, tentu saja. Hanya saja itu jelas bukan alasan satu-satunya. Logikanya, untuk apa aku selalu meminjam jaket milik Mark Lee kalau ada 26 orang lain di kelas ini? Atau jika memang sebegitu dinginnya, kenapa aku tak membawa jaketku sendiri?


Maka apa alasanku?


Alasanku, tentu saja, karena jaket Mark Lee berbeda.


Jaketnya berwarna hitam, terbuat dari campuran katun dan wol. Bulunya halus, teksturnya lembut dan bahannya mampu menahan panas tubuh sehingga membuat penggunanya merasa hangat. Dan yang paling penting, jaket itu beraroma Mark Lee. Perpaduan aroma busway di pagi hari serta black musk dan vanili. Aku tak tahu apa pendeskripsianku sudah cukup jelas untuk menggambarkan betapa nyamannya jaket Mark Lee. Tapi begitulah adanya. Aku tak pernah mengira sepotong jaket bisa membawa begitu banyak kedamaian di tubuhku sampai aku menemukan jaket Mark Lee.


Aku biasa menghabiskan waktu kosong atau jam istirahat di kubikelku, menenggelamkan wajah di jaketnya, entah untuk tidur atau sekadar mendengarkan lagu. Begitu setiap hari. Meminjamnya saat Mark baru datang dan mengembalikannya lagi saat dia mau pulang.


Hingga akhirnya, Mark Lee berhasil memahami pola yang kubuat.


Di Rabu pagi, tepat setelah aku meletakkan tasku di meja, ia berdiri dari kursinya dan menyerahkan jaketnya sambil nyengir. Meletakkannya begitu saja di mejaku tanpa harus kuminta dulu.


Kamis pagi pun sama.


“Kau mau jaketku sekarang?” Dia bertanya tepat saat aku hendak keluar lagi—baru sadar kunciku ketinggalan di motor.


“Ya. Taruh saja di meja,” balasku natural, seolah jaket itu sudah menjadi milik bersama, seolah jaket itu dibeli dengan uangku juga.


Kebiasaan itu berlanjut selama berhari-hari selanjutnya, hanya berhenti kalau salah satu dari kami tidak masuk atau saat jaketnya sedang dicuci.


Hingga pada suatu sore di hari Senin, tepatnya di minggu keempat sejak aku meminjam jaketnya pertama kali, Mark menolak jaketnya dikembalikan. “Buat kau saja,” katanya, lantas mengeluarkan jaket lain dari dalam tas dan memakainya sembari berjalan keluar bersama rombongannya.


Sejujurnya aku tak tahu harus merasa apa. Ada rasa senang yang menelusup karena bisa menikmati kenyamanan jaketnya lebih lama, tapi di satu sisi aku segan, takut dia salah paham. Aku bukan menginginkan jaket Mark Lee, aku menginginkan Mark Lee.


Hari demi hari pun berlalu. Aku selalu membawa jaketnya ke sekolah, dengan harapan bisa memaksanya mengambil jaket itu lagi tiap sore. Tapi Mark selalu menolak, dengan kukuh mengatakan ‘aku sudah punya jaket baru’.


Hingga akhirnya aku tak tahan lagi.


Karena sudah tak pernah disentuh oleh pemilik aslinya selama seminggu lebih, jaket itu jadi kehilangan bau khasnya. Jaket Mark Lee sudah tidak berbau Mark Lee. Tidak ada aroma wangi busway di pagi hari. Tidak ada aroma black musk dan vanili. Tidak ada aroma Mark Lee. Mendadak, jaket Mark Lee menjadi tidak spesial lagi. Cuma jaket hitam berbahan fleece yang bisa siapa saja beli.


Hari itu, Jum’at pukul 5 sore, Cheonsa memberitahuku Mark sudah pulang bersama rombongannya sejak 10 menit lalu. Aku yang terlambat turun dari lab komputer karena harus piket bersama Hara dan Sora langsung menyandang tas dan menyambar jaket Mark, lantas berlari kencang menuju lapangan parkir.


Aku melajukan motorku menuju halte bus, mengamati jalur pedestrian dengan teliti hingga akhirnya menemukan Mark Lee. Tengah berjalan santai di antara rombongannya, teman-teman sekelasku yang tak kalah absurd.


Tanpa berpikir dua kali aku langsung memutar motorku, mengendarainya memanjat undakan jalur pedestrian dan berhenti di hadapan Mark. Mark dan seluruh temannya melotot terkejut sembari menghindar ke segala arah, berusaha menyelamatkan diri, menyangka aku adalah pengendara gila yang sedang cari mati.


Aku membuka helmku. Dan ekspresi mereka langsung melunak sedikit.


“Chaerin.”
“Aku mau bicara denganmu.”
“Sekarang?”
“Ya.”


Teman-teman Mark (yang juga teman-temanku, jika mau kuakui) berpandangan selama bebeapa saat sebelum akhirnya Haechan membuka mulut, “Kami tunggu di halte.”


Mark mengangguk. Dan mereka semua pun pergi.


“Aku mau kau mengambil ini.” Aku menyodorkan jaketnya.


Mark mendesah lelah.


“Dengar, kalau kau mengembalikannya karena tidak enak padaku, maka lupakan saja. Aku tahu kau butuh jaket itu, lagian aku sudah punya jaket baru.”


Aku benar. Dia memang salah paham. Dia berkata ‘aku tahu kau butuh jaket itu’ dengan nada bijaksana seolah aku memang mengincar jaketnya dari sebulan yang lalu. Seolah aku memang punya niat untuk mencurinya di saat ia lengah, dan dia dengan arifnya menggagalkan rencana jahatku itu dengan memberikannya terlebih dahulu.


“Aku mengembalikan jaketmu bukan karena tidak enak padamu.”
“Lalu kenapa?”


Karena jaketmu sudah tidak berbau sepertimu, batinku, berpikir akan konyol sekali jika aku benar-benar menuturkannya.


Aku terdiam sesaat, berpikir keras sebelum memutuskan benar-benar mengucapkannya. “Karena jaketmu sudah tidak berbau sepertimu.”


Mark nampak bingung. Ia mencium lengan dan bahunya, mengernyit, tak bisa menentukan seperti apa tepatnya baunya.


“Bauku?”
“Ya.”


Aku menyodorkan jaketnya semakin dekat padanya. “Jadi kumohon ambilah jaketmu. Sejak awal aku tak pernah menginginkannya begini. Tolong jangan salah paham.”


Ingin sekali kukatakan padanya bahwa, jaket itu bisa terasa spesial karena mereka adalah milikmu, kalau diberikan padaku, maka tak akan spesial lagi. Jadi tolong ambilah jaketmu ini dan alih-alih diberikan padaku, izinkan aku untuk meminjamnya saja. Seperti biasa.


Dengan wajah bingung, Mark pun mengambil jaketnya.


Aku memandangnya sesaat sebelum kembali menaiki motorku. Pamit singkat dan pergi meninggalkannya.



**********



Dua hari berlalu. Sesuai perkiraanku, Mark terlihat lebih dingin dari biasanya. Kami sama-sama menghindar karena tak tahu bagaimana harus bersikap. Saat aku tanpa sadar memandangnya pada pertengahan materi sistem periodik di lab kimia, Mark tiba-tiba saja menoleh dan balik memandangku. Seperti yang kubilang, Mark adalah orang yang peka, tentu mendeteksi tatapan orang dari belakang kepalanya bukanlah hal yang sulit baginya. Aku tak memutus pandangan kami. Dan entah semuram apa wajahku saat memandangnya, yang pasti ekspresiku itu berhasil membuat raut wajah Mark berubah menjadi amat bersalah. Melihatnya seperti itu, aku praktis berpaling lagi mengamati tabel periodikku. Dan baru berani memandangnya lagi saat semua orang—termasuk dia—sudah sibuk mengerjakan soal.



**********



Ujian akhir semakin dekat dan hal itu membuat waktuku untuk merenungi Mark Lee dan jaketnya berkurang secara signifikan. Ini sudah hari kelima sejak terakhir kami saling sapa dan buatku, itu adalah pencapaian besar.


Pukul setengah enam sore, latihan drama untuk tugas kelompok bahasa Korea akhirnya selesai. Yang tersisa di sekolah hanya anak-anak dari kelompokku dan beberapa anggota ekskul, atau anak-anak lain yang nongkrong sambil ngobrol di selasar kelas.


Saat berjalan menuju parkiran, aku bisa merasakan seseorang mengikutiku dari belakang, langkahnya pelan dan hati-hati. Sekalipun penasaran, aku tetap enggan untuk menoleh dan memeriksanya. Sebab mungkin saja, dia—siapapun itu—tidak bermaksud mengikutiku dan memang hanya mau ke parkiran juga. Aku berusaha mengenyahkan paranoiaku dan berjalan lebih cepat.


Karena jam pulang sudah lewat dari 45 menit yang lalu, lapangan parkir pun sudah sepi saat kudatangi. Aku segera menghampiri motorku dan buru-buru menaikinya. Baru saja aku menstarternya, sosok Mark Lee muncul dan berdiri persis di depan motorku, menghalangi jalan.


Dia membawa bungkusan kertas berisi sesuatu berwarna hitam—yang kuyakini sebagai jaket yang selalu kupinjam.


Aku mengamati pria itu sambil mengernyit. Kenapa dia belum pulang? Bukankah kelompoknya latihan hari Sabtu?


“Kenapa belum pulang?”
“Menunggumu,” jawabnya begitu saja. “Maaf aku butuh waktu seminggu untuk mengerti apa maksudmu,” kata Mark lagi, suaranya diulur-ulur sementara tangannya bergerak menggantungkan bungkusannya di bawah speedometer motorku.


“Aku tak pernah menggantinya sejak SMP. Jadi aku yakin kali ini aku tak salah. Tapi tenang, itu baru kok.” Ia menambahkan, nyengir.


Aku cuma memandangnya. Tak mengerti.


“Aku duluan. Hati-hati di jalan.” Dan dia pun berlalu.


Setelah melihatnya melewati gerbang dan berjalan semakin jauh, aku baru tersadar dari lamunanku dan segera membuka bungkusannya.


Seperti yang kuduga, ia memberikan jaketnya lagi. Tapi kali ini dengan tambahan sesuatu. Sesuatu yang kecil, berbentuk tabung dengan warna hitam senada. Aku mengambil benda itu dan seketika mencelos marah. Itu botol parfum. Aku benar-benar merasa terbakar saking kesalnya. Dia sungguh berkata ‘aku butuh seminggu untuk mengerti apa maksudmu’ dengan wajah cerah penuh percaya diri tapi tetap saja tidak mengerti apa maksudku.


Aku berkata ‘jaketmu sudah tidak berbau sepertimu’ bukan berarti aku menginginkan parfummu. Bau jaketmu lebih dari sekadar parfum. Bau jaketmu adalah ceritamu, hidupmu, segala hal yang kau lalui dari pagi sampai pagi lagi. Itu percampuran aroma kendaraan yang kau tumpangi, jalanan yang kau lalui, aroma tubuhmu di bawah terik matahari, harum sabun dan sampo saat kau mandi, wangi parfum yang kau pakai setelahnya, dan semuanya. Itu percampuran banyak hal.


Kukira ‘meminjam jaket’ sudah menjadi bahasa universal dari ‘aku menyukaimu’. Tapi Mark jelas tidak tahu-menahu.


Aku menyurukkan parfum itu kembali ke bungkusannya, lalu segera melajukan motorku menyusul Mark.


Untungnya Mark belum terlalu jauh dari sekolah. Aku berhasil menemukannya dan mengerem tajam persis di sampingnya sampai membuat pria itu terkejut.


“Aku tak bisa menerima ini,” kataku sambil menyodorkan bungkusannya lagi.
“Kenapa ti…”
“Aku tidak mau,” selaku tegas. “Aku tidak butuh jaketmu. Aku tidak butuh parfummu. Aku tidak...” Aku mengembuskan napas pelan, berusaha mengusir keraguan yang masih bersemayam, “…membutuhkanmu.”


Mark menampilkan ekspresi bingungnya lagi. Dan sesaat aku merasa muak sekali.


Segera setelah ia mengambil kembali bungkusannya, aku melajukan motorku begitu saja. Meliuk pergi dan menambah kecepatannya supaya bisa lekas menjauh dari Mark Lee.


Aku menyerah.


Dan sepertinya monologku harus diperbaiki.


Dia Mark Lee, ketua kelas paling absurd tapi juga paling bisa diandalkan di kelas X IPA 1. Dia tahu kapan waktunya bercanda dan kapan waktunya serius. Dia seperti ventilasi yang baik, mengatur sirkulasi suasana belajar-mengajar yang kondusif, disertai kadar humor yang tak berlebih. Intinya, Mark Lee adalah ketua kelas yang amat peka. Dia peka terhadap situasi, rangsangan, kondisi dan semuanya. Semuanya kecuali perasaanku.



END

Comments

Popular Posts