Vampire Bride - Part 7
Setibanya di kamar, Yuta langsung
membuka lebih banyak kancing kemejanya dan berbaring telentang di atas ranjang.
Selama beberapa saat, ia hanya melamun memandang langit-langit sebelum akhirnya
menghela napas putus asa dan memanggil Yanan serta Edawn dalam telepatinya.
[Bagaimana?]
tanya Yanan tanpa basa-basi.
āDia belum menyukaiku,ā jawab
Yuta lesu.
[Apa?
Kenapa? Dia tak suka hadiahnya?]
āDia suka hadiahnya,ā Yuta
memijit keningnya, āentahlah. Mungkin belum cukup.ā
[Oke,
bisakah kau cerita lebih detail tentang apa yang terjadi semalam jadi
kamiāmaksudku akuābisa menganalisanya sedikit.]
[Dan
aku,] tekan Edawn, [bisa menganalisanya banyak.]
Yuta bisa mendengar Yanan
mendengus di telinga kanannya, kemudian Edawn segera menyambar membela diri. [Apa? Mau kau akui atau tidak, akulah yang paling ahli soal
perempuan di sini.]
[Yeah,
masa bodo,] gumam Yanan, kemudian kembali menyuruh Yuta bicara. [Kau bisa mulai sekarang.]
āYah, intinya ini lebih sulit
dari yang kukira.ā Yuta berusaha terdengar tabah. āSemuanya berjalan sempurna
sekali sampai aku berpikir aku akan menjalankan ritual malam itu juga. Dia suka
hadiahnya, dia banyak tertawa, dia kelihatan bahagia. Kita ngobrol panjang
lebar sampai ketiduran di tenda. Lalu saat aku bangun, lehernya ada di depan
wajahku.ā
Yuta terdiam.
[Lalu?]
pancing Edawn tak sabar.
āYeah, lalu kupikir ini waktunya.
Aku sangat siap, maksudku, aku bahkan sudah bisa merasakan denyut nadinya di hidungku. Tapi
sebelum sempat menyentuhnya, aku mendengarnya menangis. Jadi aku menengadah,
menatap wajahnya, dan baru sadar ternyata ini belum waktunya. Keningnya
berkerut dalam, berkeringat, dan tak diragukan lagi dia memang sedang menangis
dalam tidurnya.ā
[Nona
Pengantin masih mimpi buruk,] gumam Yanan menyimpulkan.
āYa. Dia
belum menyukaiku.ā
[Sabarlah sedikit lagi.]
āSabar sedikit lagi kau bilang? Harus sesabar apa lagi aku, huh?ā
Yuta terpancing perkataan Edawn dan langsung mengomel tak terima. āAku sudah memberikan semuanya. Aku sudah
pontang-panting seperti orang bodoh, teleportasi ke sana kemari demi
mendapatkan semua hadiah yang ditulis Ji Won. Aku bahkan rebutan album musik dengan
anak SMP. Aku juga sampai ke London untuk dapatkan action figure Sirius apalah
ituā¦ Malah aku juga sengaja mencuci rambutku hanya demi terlihat keren di
matanya. Dan ini balasan yang kudapat? Kurang apa lagi pengorbananku, eh? Aku
tak pernah sampai sebegininya hanya untuk dicintai pengantin.ā
[Heh,
tenangkan dirimu!]
āBagaimana bisa aku tenang? Dia
jelas-jelas kelihatan suka padaku!ā keluh Yuta, bangkit ke posisi duduk dengan
penuh emosi. āDia memandang wajahku sambil tersipu sekurang-kurangnya seratus
kali semalam. Dia cengengesan sambil memainkan tangannya tiap aku bicara. Dia
bahkan terang-terangan bilang kalau dia bahagia mendengarku bilang suka
padanya. Jadi aku mengulanginya lagi. Aku memujinya, aku bilang aku
sungguh-sungguh suka padanya, aku bilang dia cantik, aku bilang aku suka
senyumnya, aku bilang semua hal konyol yang ingin didengarnya. Aku
melakukannya. Dan dia tidak diam saja, dia merespon, maksudku, kalau sebenarnya
belum suka kenapa harus membuat harapanku melambung, eh? Aku bahagia sekali
semalam berpikir tugasku di sini sudah selesai. Aku bahkan sok-sokan memaksa
ikut acara keluarganya di Jeonnam, padahal aku bilang begitu hanya karena aku
yakin tidak akan ada besok lusa bagi kami. Aku bersumpah aku tak tahan lagi.
Aku benar-benar mau pulang.ā
Baik Yanan maupun Edawn sama-sama terdiam kehilangan kata.
āKalian masih di sana?ā
[Ya.]
[Ya,
tentu.]
Jawab keduanya bersahutan.
āJadi bagaimana analisanya? Dia
berbohong? Semua reaksi malu-malu dan wajah memerahnya itu bohong?ā
[Apa
untungnya dia memalsukan reaksi? Pura-pura bahagia dan tersipu? Itu tidak masuk
akal.]
āJadi?ā
[Jadi,
menurutku, dia memang bahagia semalam. Bahagia karena semua kejutan dan perhatian
yang ia dapat. Bahagia karena diperlakukan begitu spesial. Kau bilang kau
bahkan mencuci rambutmu, kan? Aku yakin dia menghargai usahamu itu.]
[Intinya
dia hanya menyukai sikapmu, bukan dirimu.]
āLalu aku harus bagaimana?ā
[Entahlah.
Berusaha lebih keras?]
āMau sekeras apa lagi? Cewek
itu bahkan sudah cemburu pada sahabatnya yang galak hanya karena alasan sepele.
Kukira aku sudah menang.ā
[Mungkin
bukan cemburu, kan? Mungkin dia hanya merasa dipermainkan olehmu, wajar kalau
marah.]
Yuta mendengus, menolak
mentah-mentah gagasan Yanan. āDia jelas-jelas cemburu.ā
[Oke,
katakanlah dia cemburu, lalu sekarang kau mau apa?]
āAku tak tahu. Minta daftar
hadiah baru dari Ji Won?ā
[Mungkin
kali ini lebih ke perhatian.]
āBagaimana caranya?ā
[Entahlah,
tanyakan bagaimana harinya? Ajak dia jalan-jalan ke luar? Bersikap lembut,
tersenyum, dan lebih banyak memuji, mungkin?]
Yuta tertawa mencela, kemudian
mengacak-acak rambutnya dengan bringas. āYeah, sekalian saja bunuh aku.ā
[Yuta,
kendalikan dirimu! Jangan terlalu terbawa emosi, kalau kau bersikap beginiā¦]
āOke, oke sudah cukup. Aku harus
pergi.ā
[Ke
mana?]
āKe mana lagi? Tentu saja memberi pengantinku perhatian,ā
dengusnya mencibir. āPerhatian yang sangat banyak sampai dia tak tahu harus diapakan semua perhatian itu.ā
**********
[Aku ke rumahmu kok semalam, tapi
pulang lagi.]
āKenapa?ā tanya Ye Eun sembari
memasukkan hadiah-hadiahnya kembali ke bungkusan. Gadis itu baru saja
terbangun. Ia terkejut karena ketiduran di luar dan segera membereskan tenda
beserta hadiahnya sembari menelepon Ji Won.
[Ya ampun, masih tanya?] seru Ji
Won melengking. [Saat buka pintu kamar, aku lihat kau sedang berduaan di balkon
dengan Yuta. Mana mungkin aku masuk? Takutnya kan ada yang salah paham lagi.]
āHarusnya masuk saja! Kami cuma
ngobrol asal, kok. Tahu tidak sih aku ditinggal sendiri di luar?ā
[Tidak mau. Aku tidak mau
berhubungan dengan Yuta lagi. Sudah trauma dituduh selingkuh.]
āYah! Moon Ji Won, sampai kapan
kau akan mencemoohku terus? Aku kan sudah minta maaf.ā
[Tapi kan belum ditraktir.]
āDasar.ā Ye Eun mendenguskan
senyum. āNanti kutraktir.ā
[Nah, begitu dong. Omong-omong,
kau jadi ambil cuti besok?]
Saat sedang menjawab pertanyaan
Ji Won di telepon, pintunya tiba-tiba saja diketuk. āSebentar,ā katanya pada Ji
Won. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga, lantas berseru, āYa, masuk.ā
Yuta membuka pintu kemudian
melangkah masuk dengan canggung. āAda yang bisa kubantu? Melipat tendanya,
mungkin?ā
āTidak usah. Aku bisa sendiri.ā
āBegitu?ā
āYa.ā
Yuta mengusap lehernya, terlihat
sekali ingin diajak bicara. āOke,ā katanya kemudian, sadar bahwa sikapnya itu
membuat Ye Eun tak nyaman. āKalau kau butuh bantuanku, aku di bawah,ā katanya
lagi, kemudian berbalik hendak pergi.
Ye Eun bisa melihat kekecewaan
dari balik punggung sang pria. Pundaknya turun dan dia berjalan lesu menuju
pintu. Tak tega melihatnya begitu, Ye Eun pun memanggil. āYuta-ssi.ā
Dan cowok itu berbalik lebih
cepat dari cahaya. āYa.ā
āKalau kau tak keberatan,ā kata
Ye Eun hati-hati, ābisa cek penerbangan paling pagi ke Jeonnam?ā
āAh.ā Yuta terdiam, terlihat
berpikir sejenak sebelum mengangguk seperti maniak. āTentu bisa. Itu saja?ā
āYa.ā
āKau mau aku sekalian beli
tiketnya?ā
āKalau kau tak keberatanā¦..ā
āAku tak keberatan,ā sela Yuta.
āAh.ā Ye Eun mengangguk. āTerima
kasih.ā
**********
Setelah mendapat pengarahan dari Yanan
soal serba-serbi membeli tiket pesawat, Yuta memakai kaus hitam favoritnya dan
membuka pintu kamar.
Bersamaan dengan itu, Ye Eun
turun dari tangga untuk berangkat kerja.
āAku mau beli tiketnya langsung
di bandara.ā Yuta memberi tahu saat gadis itu berjalan mendekatinya.
āHuh?ā Ye Eun mengerjap. āKenapa
tidak online saja?ā
āAku sekalian ada urusan di sana,ā
kilah Yuta, jelas berbohong. Asosiasi cuma memberikan uang tunai.
āBegitu?ā
āYa.ā
āBaiklah,ā Ye Eun membungkuk singkat,
āaku jalan duluan.ā
āKuantar.ā
āEh? Tidak usah.ā
āKenapa?ā
āā¦.ā
āKuantar,ā ulang Yuta, kemudian
berjalan duluan.
**********
Ye Eun baru saja memasukkan
apronnya ke loker ketika Ji Won lagi-lagi memberitahunya dia akan pulang telat
malam itu.
āTapi kau janji akan pulang ke
rumah Yuta, kan?ā
āIya.ā
āJangan seperti kemarin.ā
āSudah kubilang aku ke rumah
kalian kemarin, aku bahkan sudah membuka pintu kamar.ā
āIya, tapi kan kau malah pergi
lagi. Pokoknya jangan pergi lagi. Seram sekali mimpi buruk sendiri.ā
āSebenarnya ada apa sih dengan
rumah itu?ā Ji Won yang sudah memakai mantel dan menjinjing tasnya bersedekap pada dinding di sebelah loker, menunggu Ye Eun
bersiap-siap. āKenapa kita terus-terusan mimpi buruk?ā
āAku tak tahu.ā
āApa Yuta mimpi buruk juga?ā
Ye Eun mengeluarkan tasnya dari
loker lalu memandang Ji Won dengan kening berkerut. Benar juga. Dia tak pernah
menanyakan itu.
āKau tahu, aku bisa gila jika setiap hari mimpi
aneh-aneh begitu. Siapa sih yang senang memimpikan orang mati? Apalagi orangnya
ada di depanku.ā
āYah, tak usah sebut-sebut itu
lagi. Menyeramkan.ā
āLebih baik kau tanya Yuta
bagaimana cara mengatasinya. Aku tak mungkin tinggal di rumah kalian selamanya,
kan?ā
āNanti kalau aku sudah terbiasaā¦.ā
āTerbiasa?ā ulang Ji Won nyaring.
āSudah gila, ya? Kau tak boleh terbiasa dengan mimpi buruk.ā
Ye Eun mendesah. Ji Won memang
benar, tapi ironisnya, dia sudah lumayan terbiasa dengan mimpi-mimpi buruk itu
hingga saat ia terbangun pagi tadi, Ye Eun cuma mengelap keringat di keningnya
dengan santai dan merangkak keluar dari tenda untuk mencari Yuta.
āOmong-omong,ā kata Ye Eun,
sementara ia menggembok loker dan menyelipkan kuncinya di saku mantel. āApa
masalah keluargamu benar-benar serius?ā
Ji Won menghela napas. āYa. Aku
sudah bosan menghitung berapa kali mereka teriak-teriak minta cerai.ā
Ji Won baru sempat bercerita
sedikit tentang pertengkaran orangtuanya saat istirahat makan siang. Saat Ji Won dengan tegarnya berkata āsebagai
anak tertua, mau tak mau akulah yang harus menengahiā, Ye Eun bisa melihat
bagaimana matanya berkaca-kaca dan dia pun tak tega bertanya lebih jauh lagi.
āAku tak tahu harus menghiburmu
seperti apa,ā kata Ye Eun apa adanya, ia merangkul Ji Won dan mereka berjalan
melewati konter dapur menuju pintu keluar. āTapi jangan ragu untuk meneleponku
kalau ada apa-apa. Tidak. Sekalipun tidak ada apa-apa, tetap jangan ragu untuk
meneleponku. Anggap aku sebagai buku harian berjalanmu.ā
āTentu.ā Ji Won tersenyum. āPasti
banyak sekali yang bisa kutulis di jidatmu yang lebar itu.ā
āYah, Moon Ji Won! Aku serius!ā
Ji Won tertawa geli melewati
pintu, āIya, iya, lagian siapa suruh bilang buku harian.ā
āTerus saja hina semua
perkataanku.ā
āPasti.ā
āYah, Moon Ji Won! Benar-benar.ā
Saat sedang berjalan bersisian
melewati bagian samping restoran, Ye Eun menyelipkan tangannya di lengan Ji Won
dan berkata, āNaik apa kau hari ini? Kutemani pulang, ya.ā
āTidak usah. Wooseok menjemputku
di supermarket.ā
Wooseok adalah adik laki-laki Ji
Won yang baru masuk kuliah. Dia tinggi, tampan, pendiam dan sama sekali tidak
mirip Ji Won.
āAh, sudah lama aku tidak melihat
Wooseok. Bagaimana kabarnya? Masih menyukaiku?ā
āDia tak pernah menyukaimu,ā bantah
Ji Won mencela. āOmong-omong, sepertinya anak itu sudah punya pacar. Kemarin
aku menemukan parfum perempuan di kamarnya.ā
āMungkin selera parfumnya memang
begitu.ā
āTidak. Wanginya terlalu feminin.
Tingkahnya akhir-akhir ini juga aneh, dia suka keluar sembunyi-sembunyi saat
malam lalu menggunakan sandi yang rumit untuk ponselnya. Anak itu sekarang sudah sama sekali tak bisa
lepas dari ponsel. Bahkan ke kamar mandi punāYa
Tuhan, apa dia pikir dia sedang syuting Twilight?ā
āWooseok syuting Twilight?ā
āBukan, bodoh. Lihat siapa di
sana!ā
Ye Eun mengikuti arah pandang Ji
Won dan serta-merta tertegun melihat Yuta. Pria itu tengah duduk melamun di
ayunan, di bawah penerangan suram dan pakaian serba hitam bak malaikat kematian.
āKau minta dijemput?ā
Ye Eun menggeleng. Ia menoleh
lagi pada Yuta, tak tahu apa adrenalin yang melonjak di tubuhnya sekarang
adalah reaksi dari rasa senang atau malah takut. Situasi ini mengingatkannya
dengan pertemuan pertama mereka di depan kampus, Yuta bahkan memakai jaket
hitam yang sama, dan mungkin jins yang sama juga.
Yuta yang sadar bahwa Ji Won dan
Ye Eun tengah memerhatikannya pun bangkit berdiri.
āKalau begitu,ā Ji Won mengedikan
kepalanya ke arah Yuta, ātemuilah pangeran kegelapanmu. Suruh dia pakai baju
yang cerah sesekali. Aku takut orang-orang mengira dia mau menculikmu bukannya
menjemput.ā
Ye Eun tersenyum tipis. āKau juga. Sampaikan
salamku pada Wooseok. Suruh dia kembalikan parfumku.ā
āYah, jangan sinting!ā
Mereka saling menyikut dan
tersenyum geli, āSampai ketemu lagi. Jaga dirimu.ā
āJaga dirimu.ā Ji Won meninju
lengan atas Ye Eun, menganggukkan kepalanya ke arah Yuta (yang masih berdiri di
depan ayunan), lalu setengah berlari menuju supermarket di seberang jalan.
Dan kini tinggalah mereka berdua.
Saling memandang dari kejauhan.
Tangan Ye Eun sekarang
berkeringat banyak sekali. Ia mau pura-pura baik-baik saja dan berjalan dengan riang menghampiri Yuta, tapi kakinya terasa tertancap di aspal.
Di sisi lain, Yuta terus
memandangnya dengan tajam. Aura mencekam ala penjahat di film kriminal menyergap. Ye Eun tahu Yuta tak bermaksud mengintimidasinya, tapi
tetap saja, agak sulit bagi gadis itu untuk menyuruh dirinya sendiri supaya
tidak terintimidasi. Memang begitulah cara Yuta menatap; begitu dingin dan angkuh. Dan memang begitulah auranya, seolah angin berembus lebih dingin
dari yang seharusnya, dunia menjadi hening, membuat merinding.
Ye Eun memalingkan wajahnya dari
Yuta menuju jalanan kosong di depan, mengepalkan tangan berusaha menahan keringat
maupun rasa takutnya.
Yuta akhirnya menghampirinya.
āAku baru selesai dari urusanku
dan kebetulan lewat sini,ā katanya tanpa ditanya. Suara Yuta jernih seperti
air, benar-benar enak didengar. Ye Eun meliriknya dan mengangguk. āDan ini.ā
Yuta mengulurkan dua lembar tiket pesawat. āBesok. Jam 11 siang. Kau saja yang
simpan.ā
āBaik.ā Ye Eun mengangguk lagi,
memaksa sudut bibirnya terangkat sedikit. āTerima kasih.ā
Ia memasukkan tiket itu ke dalam
tas dan sebagaimana Yuta mengantarnya kerja pagi ini, mereka pun berjalan dalam
kecanggungan. Yuta berjalan dua langkah di depannya. Diam tanpa kata.
**********
Sinar matahari menerobos masuk
lewat jendela-jendela besar, menimpa kepala Yuta yang tengah menunduk di atas
kopernya, berkilau hitam dalam cahaya.
āTaksinya sudah di depan. Kau sudah
siap?ā tanya Ye Eun, baru saja turun dari lantai dua sambil menggotong koper
dengan bantuan Ji Won.
Yuta terkejut dan langsung
menutup koper miliknya, seolah-olah ia menyembunyikan sesuatu. āYa.ā
Ji Won memicing curiga padanya
sebelum mendekatkan wajah pada Ye Eun, berbisik, āAku bersumpah aku tak lihat
warna selain hitam di kopernya. Jangan-jangan celana dalamnya juga hitam.ā
Ye Eun melirik Ji Won menyuruh
gadis itu berhenti. āKau ikutlah dengan kami. Aku bisa menurunkanmu di
restoran.ā
āTidak usah. Aku wanita mandiri."
"Yakin?"
"Tentu saja. Aku duluan. Kalau bisa pulanglah lebih cepat. Mau apa sih lama-lama di Jeonnam.ā
"Yakin?"
"Tentu saja. Aku duluan. Kalau bisa pulanglah lebih cepat. Mau apa sih lama-lama di Jeonnam.ā
āKuusahakan.ā
āSampaikan salamku pada
orangtuamu dan serius, cepatlah pulang.ā
Ye Eun tersenyum dan mengangguk.
Ia mengawasi Ji Won sampai gadis itu keluar, baru kemudian mengarahkan fokusnya
kembali pada Yuta. Dia mengenakan jaket hitam yang sama dengan yang kemarin dan
bahkan tak mau repot-repot menyisir rambutnya. Ye Eun mendesah. Dengan
penampilan seperti itu, siapa yang akan percaya kalau dia orang kaya.
Yuta yang merasa dipandangi
praktis menoleh pada Ye Eun, namun hanya sekilas, karena detik selanjutnya ia sudah berbalik memunggungi gadis itu lagi lalu menyeret kopernya
keluar dengan langkah malas.
**********
Tak ada yang terjadi selama
perjalanan menuju Jeonnam. Yuta tak banyak bicara, malah mungkin sama sekali tak
bicara. Entah karena gugup atau memang karena sebenarnya ia tak pernah
menginginkan perjalanan ini. Ye Eun tak bisa berhenti memikirkan betapa
kukuhnya Yuta memaksa untuk ikut, apalagi saat melihat betapa tidak
menyenangkannya sikapnya sekarang. Mungkin jika Ye Eun pergi sendiri, ia bisa menikmati
perjalanan ini lebih baik.
Sesampainya di bandara tujuan,
mereka kembali menaiki taksi untuk mencapai rumah orangtua Ye Eun di Selatan. Sepanjang perjalanan, Yuta terus memandang ke luar jendela dengan gusar.
Ladang yang luas terhampar di mana-mana. Dan dalam waktu dekat, ia tentunya
akan berada di suatu tempat di sanaā¦ dengan topi jelek dan cangkul.
Satu jam kemudian, mereka pun
sampai. Ye Eun dan sang sopir taksi bahu-membahu menurunkan koper di bagasi,
sementara Yuta hanya berdiri di samping mobil, memandang rumah panggung di
hadapannya dengan tampang merana. Kenangan terakhirnya dengan rumah ini tidak
terlalu baik. Saat meminta tanda tangan persetujuan menikah, ia sempat
dilempari ember oleh ayah Ye Eun karena dituduh berbohong. Ia juga disuruh
mencangkul tanah keras dan menebar pupuk di ladang maha luas sampai pinggangnya
rematik, lalu dipaksa menelan kue beras sebesar kepalan tangan yang nyaris
membuatnya pingsan. Yuta bisa merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya
hanya dengan mengingatnya saja.
Saat pria itu tersadar dari
lamunannya, taksinya sudah menghilang dan Ye Eun sudah berdiri di sebelahnya
sambil menyeret dua buah koper di masing-masing tangan, menganggukkan kepala mengajaknya
masuk.
Mereka disambut oleh teriakkan
nyaring ibu Ye Eun dan pelukan kelewat erat dari sang ayah. Yeon Ju yang
berdiri di ambang pintu dapur melambaikan tangannya yang berlumuran bumbu
pedasārupanya sedang mengaduk Kimchi. Ye Eun memaksa untuk ikut membantu tapi
sang ibu kukuh menyuruhnya istirahat saja. Jadi di sinilah mereka sekarang. Di
kamar Ye Eun semasa SMA.
āKau istirahat saja. Aku akan
bantu ibu dan adikku di luar,ā kata Ye Eun sembari melepas mantel dan kaos kakinya.
Ia menyeret koper mereka ke sudut sebelum kembali menoleh pada Yuta, ābuat
dirimu senyaman mungkin.ā
Yuta mengangguk. Ye Eun
menggulung lengan bajunya dan berlalu keluar.
Selama beberapa saat, Yuta hanya terpaku
di tempatnya berdiri, memandangi sekeliling kamar mungil tersebut dengan
cermat. Tidak ada ranjang di sana. Yang ada cuma lemari kayu yang tingginya
nyaris menyentuh langit-langit, meja belajar yang penuh dengan stiker norak
berbentuk hati, serta dinding berlapis belasan poster boy group bernama U-KISS.
Yuta mengernyit pada orang-orang di poster itu sembari melangkah pelan
mendekati mereka. Ia duduk di kursi pendek di depan meja belajar, mengamati
quotes-quotes sok bijak dan foto-foto sok imut Ye Eun bersama teman-teman
sekelasnya. Semuanya tertempel tak beraturan di sisi rak.
Yuta mengalihkan pandangannya
pada buku-buku yang berjejer, lalu untuk membunuh waktu, ia mengambil salah
satu dan mulai membaca. Ye Eun ternyata suka sekali komik. Dan seleranya amat luar biasa.
Jam demi jam pun berlalu. Matahari tergelincir perlahan-lahan dan langit pun berubah menjadi gelap gulita.
Saat Ye Eun kembali ke kamar, ia
langsung terperanjat melihat Yuta tengah membaca komiknya. Tanpa berpikir,
gadis itu segera melompat, meluncur ke atas meja dan merebut komik berjudul
ākontrak cintaā di tangan Yuta dengan wajah memerah.
āIni untuk 17 tahun ke atas,ā
seru Ye Eun galak. Sama sekali tak peduli kalau Yuta jelas-jelas sudah sangat
di atas dari 17. Dia sudah 423 tahun.
Yuta memandang Ye Eunāyang
mendarat persis di hadapannya dengan pose anehādengan pandangan heran.
āI-ini bukan punyaku.ā Gelagapan Ye Eun membela diri. Ia buru-buru turun dari meja seraya mengambil semua komik
romantisnya dari rak, lantas berjalan ke lemari baju dan melempar semuanya ke dalam.
Salah satu komiknya yang berjudul āsuamiku terlalu liarā merosot turun ke
lantai saat ia sedang menggabrukkan pintu lemari. Dengan wajah bersemu padam, Ye
Eun memungut komik itu dalam cengkraman kasar dan melemparnya sekuat tenaga ke
dasar lemari lalu menggabrukkan pintunya lagi. Jika bisa, saking malunya Ye Eun mungkin akan
sekalian melilitkan lemarinya dengan rantai dan gembok, lalu menghanyutkannya
di sungai.
Yuta yang masih duduk di depan
meja belajar memutar kursinya dan memandang Ye Eun datar. Ye Eun balas
memandangnya, lalu berkata sambil menahan malu, āMandilah dulu, lalu makan
malam dengan kami.ā
Air muka Yuta langsung berubah. Pucat.
āKenapa? Tak mau mandi? Kalau
begitu langsung makan saja. Ayo.ā
āTidak,ā sergah Yuta cepat, kue
beras yang dicekokkan ke tenggorokannya minggu lalu tiba-tiba saja terbayang
membuatnya mual. āAku mandi saja.ā
āKalau begitu ambil handuk dan
baju gantimu. Kamar mandinya di luar.ā
āHuh?ā
āKukira kau sudah tahu. Kau kan pernah ke sini.ā
āSaat itu aku tak pakai kamar
mandi.ā
āKalau begitu ayo kutunjukkan.ā
Dengan enggan Yuta pun membuka
kopernya. Ia mengambil semua perlengkapan mandinya lalu mengikuti Ye Eun keluar kamar. Bau makanan yang bermacam-macam langsung saja menyerbu indra
penciumannya. Yuta praktis menahan napas.
āDuduklah di meja makan. Sebentar
lagi sup lobaknya jadi,ā ujar ibu Ye Eun riang. Yuta menatap panci yang
meletup-letup di kompor dan seketika mau menangis.
āDia mau mandi dulu katanya,ā Ye
Eun memberi tahu.
Saat itu, ayah Ye Eun keluar dari
kamar tidurnya dan berjalan ke meja makan sambil berteriak ke arah dapur,
āCepat siapkan makanannya!ā. Pria itu kemudian menoleh pada Yuta dan Ye Eun
yang sudah setengah jalan menuju pintu belakang dan berteriak lagi menyuruh
mereka duduk.
āDia mau mandi,ā Ye Eun berseru
lantang untuk yang kedua kalinya, kali ini sambil mendengus.
Gadis itu membuka pintu belakang
dan langsung menyalakan lampu. āItu kamar mandinya.ā Dia menunjuk bilik mungil
lima meter di sebelah bilik lain yang sedikit lebih besar, yang belakangan Yuta
ketahui merupakan gudang penyimpanan perkakas ladang.
āSetelah mandi langsung masuk
saja ke dalam. Kita makan sama-sama.ā
Yuta memandangnya seolah ingin
mengatakan sesuatu.
āAda apa?ā
āā¦.ā
āKau tak mau makan?ā
Yuta mengangguk tipis.
Ye Eun sudah tahu ini akan
terjadi. Ia memandang Yuta dengan malas, āKau belum makan dari pagi. Makanlah
walau sedikit. Masakan ibuku tidak seburuk itu, kok.ā
āBukan begitu. Akuā¦ā
āKutunggu di dalam,ā potongnya
jengkel, mengangguk singkat pada Yuta dan berbalik masuk.
Yuta menghela napas.
Tak punya pilihan lain, ia pun
berjalan menuju bilik yang ditunjuk Ye Eunāyah mari sebut kamar mandi. Kamar
mandinya sangat sempit, lampunya berkedip-kedip dan lantainya terbuat dari
semen. Yuta yang pada dasarnya sudah malas mandi tentu saja makin malas lagi
melihat kondisi kamar mandi yang seperti itu. Jadi, alih-alih mandi, Yuta cuma
membasuh muka dan tengkuknya dengan sejumput air lalu keluar lagi.
Sambil mengalungkan handuk di
leher kausnya yang basah, ia berjalan santai mengitari halaman belakang sebelum
memutuskan untuk duduk di undakan pendek di depan pintu. Ia menyandarkan
punggungnya di mesin cuci tua yang tak terpakai dan melamun memandang langit.
Berpikir apa sebaiknya ia kabur saja. Tapi kalau dia kabur, Ye Eun akan
membencinya. Kalau gadis itu membencinya, maka akan makin lama ia bisa menjalankan ritual dan makin lama pula ia terperangkap di
dunia ini.
Dua puluh menit kemudian, pintu
di belakangnya terbuka. Ye Eun melangkah keluar dan berdiri di hadapannya
dengan tatapan tak suka, āKenapa tidak masuk?ā
Yuta mendongak menatapnya, tapi
tak berkata apa-apa.
āKau sungguh tak mau makan?ā
āYa. Aku tidak mau.ā
āKenapa?ā
Yuta tak menjawab.
Dengusan mencela lolos dari bibir
sang gadis. Ia memicing geram pada Yuta, nampak tersinggung. āAku tahu kau tak nyaman di sini,
makanya sejak awal aku tak mau kau ikut. Tapi kau memaksa, kan? Dan lihat
sikapmu sekarang, menyendiri di halaman rumahku seperti anak kecil.ā Yuta
memalingkan wajahnya ke arah lain. āBisa tidak sih tanggung jawab sedikit?
Kalau kau bilang mau ikut ke sini ya berusahalah sedikit untuk berbaur dengan
keluargaku. Aku tahu kau tak biasa makan masakan kampung, tapi masakan itu
buatan orangtuaku. Hargailah mereka sedikit. Ibu dan Yeon Ju sudah masak banyak
sekali buatmu. Mereka seharian di dapur buat ini-itu karena senang melihatmu
ikut. Kau kira mereka tak akan sakit hati jika aku kembali masuk ke dalam dan
bilang kau tak mau makan?ā
Yuta bergeming.
āOke, terserah padamu,ā kata Ye
Eun menyerah, lantas kembali masuk ke dalam, tak lupa membanting pintu di
belakangnya.
Yuta kembali menyandarkan
punggungnya di mesin cuci. Mendongak lebih tinggi menghadap langit. Menghela
napas.
**********
Ye Eun tidak mau memberi tahu
keluarganya bahwa Yuta tak mau makanāitu akan menyakiti hati merekaāmaka dia
berbohong bilang Yuta masih mandi dan mungkin tak bisa ikut makan malam karena
sedang mual. Meskipun begitu, saat Ye Eun selesai menata sumpit di meja makan
dan duduk di kursinya, Yuta tiba-tiba saja menarik kursi di sebelahnya dan
duduk di sana.
Mereka saling berpandangan.
āApa sudah tidak mual?ā tanya ibu
Ye Eun khawatir.
Pandangan mereka pun terputus.
Yuta menoleh memandang ibu Ye Eun, nampak bingung sejenak sebelum memutuskan
untuk mengangguk saja.
āYeon Ju, ambilkan satu mangkuk
nasi lagi untuk kakak iparmu,ā teriak ayah Ye Eun begitu bersemangat.
Tak lama kemudian, Yeon Ju pun
datang sambil membawa semangkuk nasi hangat.
āKau kelihatan pucat,ā kata
perempuan berumur 15 tahun itu saat meletakkan mangkuknya di depan Yuta.
Yuta cuma menatapnya, tak tahu
harus menjawab apa. Hingga ayah Ye Eun kembali bicara dengan suaranya yang
menggelegar. āNah, ayo dimakan!ā
āKau!ā Dia menunjuk Yuta.
āMakanlah yang banyak! Lihat badanmu kurus begitu! Laki-laki itu harus kuat!
Ini, makan ini!ā Ia menyumpit sepotong ikan layur dan meletakkannya di mangkuk
Yuta.
Yuta menahan napas dan mengambil
sumpitnya. Ayah Ye Eun mencoba mengajaknya ngobrol, tapi Yuta terlalu pusing
untuk bisa mendengarnya. Jika ini film kartun, hidungnya pasti sudah meleleh
sekarang. Semua bau busuk makanan manusia membuatnya tak bisa berpikir jernih
alih-alih merangkai kata.
Dengan pasrah, Yuta menyumpit
sejumput nasi lalu memasukkannya ke mulut.
Aku tak akan mati gara-gara ini, kan?
Ibu Ye Eun turut berkomentar soal
betapa kurusnya Yuta sebelum menambahkan tahu ke mangkuk milik pria itu.
Yuta diam saja.
Dia sudah mau pingsan.
āCepat dimakan tahunya, tidak enak kalau dingin,ā kata ibu Ye Eun menggebu-gebu.
Yuta menyumpit tahu itu dan
langsung menelannya.
Tidak ada sejarahnya vampir mati karena tahu, kan? Aku akan baik-baik
saja, kan?
Yuta menyumpit nasi lagi,
menelannya lagi.
Yuta terus menyumpit makanan dan
menelannya sambil mengangguk menguatkan diri.
Perutnya bergejolak luar biasa.
Ia tahu sistem pencernaannya pasti sedang terkejut melihat makanan-makanan aneh
masuk ke dalam perutnya, lalu sebagai bentuk pertahanan diri, mereka berupaya
mendorongnya lagi keluar.
Yuta menelan suapan nasi yang
lain.
Sekarang perutnya serasa terbelah
dua.
Lehernya juga ikut meradang.
Rasanya panas seperti terbakar. Yuta tak bisa menyalahkan lehernya.
Kerongkongannya yang biasa cuma dilewati enam liter darah segar seratus tahun
sekali itu jelas saja tak terbiasa dengan semua benda asing ini.
Yuta menahan semua penderitaannya
seorang diri, sementara keringat dingin membasahi keningnya.
Ayah Ye Eun kembali memasukkan
lauk ke dalam mangkuknya sambil mengomentari betapa leletnya dia makan.
Yuta menatap lauk itu dengan mata
berkunang-kunang, menyumpitnya susah payah dan memasukkannya ke mulut dengan
gerakan perlahan.
Yuta sejujurnya tak tahan lagi.
Sistem pencernaannya sudah
berhasil mendorong semua makanannya kembali naik ke kerongkongan. Yuta mual
luar biasa, pandangannya semakin kabur dan sekujur tubuhnya gemetar tak
terkendali.
āEonnie, lihat suamimu,ā bisik
Yeon Ju.
Ye Eun yang sejak tadi sengaja
mengabaikan Yuta karena kesal pun mau tak mau menoleh. Pria itu terlihat amat
pucat dan ia memegang sumpitnya dengan tangan gemetar. Ye Eun terperangah.
āY-yuta.ā
Dan akhirnya dia menyerah. Yuta
membanting sumpitnya ke meja sampai membuat seisi ruang makan terkejut, lalu
bangkit berdiri dan berlari tergopoh-gopoh melewati pintu keluar.
āK-kurasa dia masih agak mual,ā
kata Ye Eun sembari ikut berdiri.
āKau temani dia, biar Ibu carikan
obat.ā Ibunya bergegas ke dapur.
Saat Ye Eun sudah meninggalkan
meja makan, sang ayah berlari menyusulnya sambil membawa seteko air. āBawakan
dia minum. Cepat.ā
Ye Eun mengambil teko itu lantas
berlari menyusul Yuta yang sudah hilang entah ke mana.
***********
Yuta benar-benar mengira dia akan
mati. Pria itu berdiri di samping tiang, memuntahkan semua makanan yang sempat
masuk ke dalam mulutnya di selokan. Ia sudah muntah berkali-kali, tapi perutnya
masih tak berhenti bergejolak perih. Pria itu berusaha muntah lagi, tapi tak
ada yang keluar. Perutnya sudah kosong. Lalu
kenapa masih sakit?, batinnya. Yuta berpikir mungkin perutnya sedang balas
dendam, mungkin marah padanya karena sudah dengan tololnya makan sembarangan.
Ia mencengkeram perutnya yang semakin sakit itu sambil meringis. Berharap ia
segera pingsan saja.
Tangan Yuta masih gemetar tak
keruan saat Ye Eun menemukannya. Gadis itu berlari ke arahnya. Kelihatan panik
sekali.
āY-yuta, kau baik-baik saja?ā
Yuta menoleh pada gadis itu
dengan wajah murka dan mata memerah, āApa di matamu aku terlihat baik-baik
saja?ā desisnya menggeram. Ia merebut teko di tangan Ye Eun dan menuangkan air
ke mulutnya untuk berkumur. Ia mengunakan sisa air di dalamnya untuk membasuh
muka lalu melempar teko kosong itu ke aspal di depan Ye Eun.
Ye Eun berjengit kaget.
āYah! Kenapa kau melemparnya
padaku!ā seru gadis itu tak terima.
āSudah bagus tak kulempar ke
mukamu!ā Yuta menggerung sengit. āSekarang pergi!ā Lututnya lemas luar biasa dan
perutnya serasa dicincang dari dalam.
āYuta, aku minta maaf. Dari mana
aku tahu kalau kau punya alergi makanan kalau kau tak bilang? Memang apa
susahnya sih bilang padaku kalauā¦.ā
āKau puas sekarang, huh?ā bentak
Yuta marah. āPuas melihatku begini?ā
āYuta, berhenti!ā
āKau yang berhenti!ā Napasnya
tersengal-sengal. Wajahnya yang basah tampak amat mengerikan di bawah sinar
lampu jalan yang temaram. Di balik rambut hitamnya yang kuyu, ia menatap Ye Eun
dengan matanya yang merah tajam, berkilat penuh kebencian, kemudian
berkata dengan nada mengancam dan gigi bergemelatuk, āPergi dari hadapanku
sekarang atau kubunuh kau.ā
Ye Eun mencelos.
āPERGI!ā
TBC
Comments
Post a Comment