Vampire Bride - Part 7




Setibanya di kamar, Yuta langsung membuka lebih banyak kancing kemejanya dan berbaring telentang di atas ranjang. Selama beberapa saat, ia hanya melamun memandang langit-langit sebelum akhirnya menghela napas putus asa dan memanggil Yanan serta Edawn dalam telepatinya.


[Bagaimana?] tanya Yanan tanpa basa-basi.
“Dia belum menyukaiku,” jawab Yuta lesu.
[Apa? Kenapa? Dia tak suka hadiahnya?]
“Dia suka hadiahnya,” Yuta memijit keningnya, “entahlah. Mungkin belum cukup.”
[Oke, bisakah kau cerita lebih detail tentang apa yang terjadi semalam jadi kami—maksudku aku—bisa menganalisanya sedikit.]


[Dan aku,] tekan Edawn, [bisa menganalisanya banyak.]


Yuta bisa mendengar Yanan mendengus di telinga kanannya, kemudian Edawn segera menyambar membela diri. [Apa? Mau kau akui atau tidak, akulah yang paling ahli soal perempuan di sini.]


[Yeah, masa bodo,] gumam Yanan, kemudian kembali menyuruh Yuta bicara. [Kau bisa mulai sekarang.]
“Yah, intinya ini lebih sulit dari yang kukira.” Yuta berusaha terdengar tabah. “Semuanya berjalan sempurna sekali sampai aku berpikir aku akan menjalankan ritual malam itu juga. Dia suka hadiahnya, dia banyak tertawa, dia kelihatan bahagia. Kita ngobrol panjang lebar sampai ketiduran di tenda. Lalu saat aku bangun, lehernya ada di depan wajahku.”


Yuta terdiam.


[Lalu?] pancing Edawn tak sabar.
“Yeah, lalu kupikir ini waktunya. Aku sangat siap, maksudku, aku bahkan sudah bisa merasakan denyut nadinya di hidungku. Tapi sebelum sempat menyentuhnya, aku mendengarnya menangis. Jadi aku menengadah, menatap wajahnya, dan baru sadar ternyata ini belum waktunya. Keningnya berkerut dalam, berkeringat, dan tak diragukan lagi dia memang sedang menangis dalam tidurnya.”


[Nona Pengantin masih mimpi buruk,] gumam Yanan menyimpulkan.
“Ya. Dia belum menyukaiku.”
[Sabarlah sedikit lagi.]
“Sabar sedikit lagi kau bilang? Harus sesabar apa lagi aku, huh?” Yuta terpancing perkataan Edawn dan langsung mengomel tak terima. “Aku sudah memberikan semuanya. Aku sudah pontang-panting seperti orang bodoh, teleportasi ke sana kemari demi mendapatkan semua hadiah yang ditulis Ji Won. Aku bahkan rebutan album musik dengan anak SMP. Aku juga sampai ke London untuk dapatkan action figure Sirius apalah itu… Malah aku juga sengaja mencuci rambutku hanya demi terlihat keren di matanya. Dan ini balasan yang kudapat? Kurang apa lagi pengorbananku, eh? Aku tak pernah sampai sebegininya hanya untuk dicintai pengantin.”


[Heh, tenangkan dirimu!]
“Bagaimana bisa aku tenang? Dia jelas-jelas kelihatan suka padaku!” keluh Yuta, bangkit ke posisi duduk dengan penuh emosi. “Dia memandang wajahku sambil tersipu sekurang-kurangnya seratus kali semalam. Dia cengengesan sambil memainkan tangannya tiap aku bicara. Dia bahkan terang-terangan bilang kalau dia bahagia mendengarku bilang suka padanya. Jadi aku mengulanginya lagi. Aku memujinya, aku bilang aku sungguh-sungguh suka padanya, aku bilang dia cantik, aku bilang aku suka senyumnya, aku bilang semua hal konyol yang ingin didengarnya. Aku melakukannya. Dan dia tidak diam saja, dia merespon, maksudku, kalau sebenarnya belum suka kenapa harus membuat harapanku melambung, eh? Aku bahagia sekali semalam berpikir tugasku di sini sudah selesai. Aku bahkan sok-sokan memaksa ikut acara keluarganya di Jeonnam, padahal aku bilang begitu hanya karena aku yakin tidak akan ada besok lusa bagi kami. Aku bersumpah aku tak tahan lagi. Aku benar-benar mau pulang.”


Baik Yanan maupun Edawn sama-sama terdiam kehilangan kata.


“Kalian masih di sana?”
[Ya.]
[Ya, tentu.]


Jawab keduanya bersahutan.


“Jadi bagaimana analisanya? Dia berbohong? Semua reaksi malu-malu dan wajah memerahnya itu bohong?”


[Apa untungnya dia memalsukan reaksi? Pura-pura bahagia dan tersipu? Itu tidak masuk akal.]
“Jadi?”
[Jadi, menurutku, dia memang bahagia semalam. Bahagia karena semua kejutan dan perhatian yang ia dapat. Bahagia karena diperlakukan begitu spesial. Kau bilang kau bahkan mencuci rambutmu, kan? Aku yakin dia menghargai usahamu itu.]


[Intinya dia hanya menyukai sikapmu, bukan dirimu.]
“Lalu aku harus bagaimana?”
[Entahlah. Berusaha lebih keras?]
“Mau sekeras apa lagi? Cewek itu bahkan sudah cemburu pada sahabatnya yang galak hanya karena alasan sepele. Kukira aku sudah menang.”


[Mungkin bukan cemburu, kan? Mungkin dia hanya merasa dipermainkan olehmu, wajar kalau marah.]


Yuta mendengus, menolak mentah-mentah gagasan Yanan. “Dia jelas-jelas cemburu.”


[Oke, katakanlah dia cemburu, lalu sekarang kau mau apa?]
“Aku tak tahu. Minta daftar hadiah baru dari Ji Won?”
[Mungkin kali ini lebih ke perhatian.]
“Bagaimana caranya?”
[Entahlah, tanyakan bagaimana harinya? Ajak dia jalan-jalan ke luar? Bersikap lembut, tersenyum, dan lebih banyak memuji, mungkin?]


Yuta tertawa mencela, kemudian mengacak-acak rambutnya dengan bringas. “Yeah, sekalian saja bunuh aku.”


[Yuta, kendalikan dirimu! Jangan terlalu terbawa emosi, kalau kau bersikap begini…]
“Oke, oke sudah cukup. Aku harus pergi.”
[Ke mana?]
“Ke mana lagi? Tentu saja memberi pengantinku perhatian,” dengusnya mencibir. “Perhatian yang sangat banyak sampai dia tak tahu harus diapakan semua perhatian itu.”



**********



[Aku ke rumahmu kok semalam, tapi pulang lagi.]
“Kenapa?” tanya Ye Eun sembari memasukkan hadiah-hadiahnya kembali ke bungkusan. Gadis itu baru saja terbangun. Ia terkejut karena ketiduran di luar dan segera membereskan tenda beserta hadiahnya sembari menelepon Ji Won.


[Ya ampun, masih tanya?] seru Ji Won melengking. [Saat buka pintu kamar, aku lihat kau sedang berduaan di balkon dengan Yuta. Mana mungkin aku masuk? Takutnya kan ada yang salah paham lagi.]


“Harusnya masuk saja! Kami cuma ngobrol asal, kok. Tahu tidak sih aku ditinggal sendiri di luar?”
[Tidak mau. Aku tidak mau berhubungan dengan Yuta lagi. Sudah trauma dituduh selingkuh.]
“Yah! Moon Ji Won, sampai kapan kau akan mencemoohku terus? Aku kan sudah minta maaf.”
[Tapi kan belum ditraktir.]
“Dasar.” Ye Eun mendenguskan senyum. “Nanti kutraktir.”
[Nah, begitu dong. Omong-omong, kau jadi ambil cuti besok?]


Saat sedang menjawab pertanyaan Ji Won di telepon, pintunya tiba-tiba saja diketuk. “Sebentar,” katanya pada Ji Won. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga, lantas berseru, “Ya, masuk.”


Yuta membuka pintu kemudian melangkah masuk dengan canggung. “Ada yang bisa kubantu? Melipat tendanya, mungkin?”


“Tidak usah. Aku bisa sendiri.”
“Begitu?”
“Ya.”


Yuta mengusap lehernya, terlihat sekali ingin diajak bicara. “Oke,” katanya kemudian, sadar bahwa sikapnya itu membuat Ye Eun tak nyaman. “Kalau kau butuh bantuanku, aku di bawah,” katanya lagi, kemudian berbalik hendak pergi.


Ye Eun bisa melihat kekecewaan dari balik punggung sang pria. Pundaknya turun dan dia berjalan lesu menuju pintu. Tak tega melihatnya begitu, Ye Eun pun memanggil. “Yuta-ssi.”


Dan cowok itu berbalik lebih cepat dari cahaya. “Ya.”


“Kalau kau tak keberatan,” kata Ye Eun hati-hati, “bisa cek penerbangan paling pagi ke Jeonnam?”
“Ah.” Yuta terdiam, terlihat berpikir sejenak sebelum mengangguk seperti maniak. “Tentu bisa. Itu saja?”


“Ya.”
“Kau mau aku sekalian beli tiketnya?”
“Kalau kau tak keberatan…..”
“Aku tak keberatan,” sela Yuta.
“Ah.” Ye Eun mengangguk. “Terima kasih.”



**********



Setelah mendapat pengarahan dari Yanan soal serba-serbi membeli tiket pesawat, Yuta memakai kaus hitam favoritnya dan membuka pintu kamar.


Bersamaan dengan itu, Ye Eun turun dari tangga untuk berangkat kerja.


“Aku mau beli tiketnya langsung di bandara.” Yuta memberi tahu saat gadis itu berjalan mendekatinya.
“Huh?” Ye Eun mengerjap. “Kenapa tidak online saja?”
“Aku sekalian ada urusan di sana,” kilah Yuta, jelas berbohong. Asosiasi cuma memberikan uang tunai.
“Begitu?”
“Ya.”
“Baiklah,” Ye Eun membungkuk singkat, “aku jalan duluan.”
“Kuantar.”
“Eh? Tidak usah.”
“Kenapa?”
“….”
“Kuantar,” ulang Yuta, kemudian berjalan duluan.



**********



Ye Eun baru saja memasukkan apronnya ke loker ketika Ji Won lagi-lagi memberitahunya dia akan pulang telat malam itu.


“Tapi kau janji akan pulang ke rumah Yuta, kan?”
“Iya.”
“Jangan seperti kemarin.”
“Sudah kubilang aku ke rumah kalian kemarin, aku bahkan sudah membuka pintu kamar.”
“Iya, tapi kan kau malah pergi lagi. Pokoknya jangan pergi lagi. Seram sekali mimpi buruk sendiri.”
“Sebenarnya ada apa sih dengan rumah itu?” Ji Won yang sudah memakai mantel dan menjinjing tasnya bersedekap pada dinding di sebelah loker, menunggu Ye Eun bersiap-siap. “Kenapa kita terus-terusan mimpi buruk?”


“Aku tak tahu.”
“Apa Yuta mimpi buruk juga?”


Ye Eun mengeluarkan tasnya dari loker lalu memandang Ji Won dengan kening berkerut. Benar juga. Dia tak pernah menanyakan itu.


“Kau  tahu, aku bisa gila jika setiap hari mimpi aneh-aneh begitu. Siapa sih yang senang memimpikan orang mati? Apalagi orangnya ada di depanku.”


“Yah, tak usah sebut-sebut itu lagi. Menyeramkan.”
“Lebih baik kau tanya Yuta bagaimana cara mengatasinya. Aku tak mungkin tinggal di rumah kalian selamanya, kan?”


“Nanti kalau aku sudah terbiasa….”
“Terbiasa?” ulang Ji Won nyaring. “Sudah gila, ya? Kau tak boleh terbiasa dengan mimpi buruk.”


Ye Eun mendesah. Ji Won memang benar, tapi ironisnya, dia sudah lumayan terbiasa dengan mimpi-mimpi buruk itu hingga saat ia terbangun pagi tadi, Ye Eun cuma mengelap keringat di keningnya dengan santai dan merangkak keluar dari tenda untuk mencari Yuta.


“Omong-omong,” kata Ye Eun, sementara ia menggembok loker dan menyelipkan kuncinya di saku mantel. “Apa masalah keluargamu benar-benar serius?”


Ji Won menghela napas. “Ya. Aku sudah bosan menghitung berapa kali mereka teriak-teriak minta cerai.”


Ji Won baru sempat bercerita sedikit tentang pertengkaran orangtuanya saat istirahat makan siang. Saat Ji Won dengan tegarnya berkata ‘sebagai anak tertua, mau tak mau akulah yang harus menengahi’, Ye Eun bisa melihat bagaimana matanya berkaca-kaca dan dia pun tak tega bertanya lebih jauh lagi.


“Aku tak tahu harus menghiburmu seperti apa,” kata Ye Eun apa adanya, ia merangkul Ji Won dan mereka berjalan melewati konter dapur menuju pintu keluar. “Tapi jangan ragu untuk meneleponku kalau ada apa-apa. Tidak. Sekalipun tidak ada apa-apa, tetap jangan ragu untuk meneleponku. Anggap aku sebagai buku harian berjalanmu.”


“Tentu.” Ji Won tersenyum. “Pasti banyak sekali yang bisa kutulis di jidatmu yang lebar itu.”
“Yah, Moon Ji Won! Aku serius!”


Ji Won tertawa geli melewati pintu, “Iya, iya, lagian siapa suruh bilang buku harian.”


“Terus saja hina semua perkataanku.”
“Pasti.”
“Yah, Moon Ji Won! Benar-benar.”


Saat sedang berjalan bersisian melewati bagian samping restoran, Ye Eun menyelipkan tangannya di lengan Ji Won dan berkata, “Naik apa kau hari ini? Kutemani pulang, ya.”


“Tidak usah. Wooseok menjemputku di supermarket.”


Wooseok adalah adik laki-laki Ji Won yang baru masuk kuliah. Dia tinggi, tampan, pendiam dan sama sekali tidak mirip Ji Won.


“Ah, sudah lama aku tidak melihat Wooseok. Bagaimana kabarnya? Masih menyukaiku?”
“Dia tak pernah menyukaimu,” bantah Ji Won mencela. “Omong-omong, sepertinya anak itu sudah punya pacar. Kemarin aku menemukan parfum perempuan di kamarnya.”


“Mungkin selera parfumnya memang begitu.”
“Tidak. Wanginya terlalu feminin. Tingkahnya akhir-akhir ini juga aneh, dia suka keluar sembunyi-sembunyi saat malam lalu menggunakan sandi yang rumit untuk ponselnya. Anak itu sekarang sudah sama sekali tak bisa lepas dari ponsel. Bahkan ke kamar mandi pun—Ya Tuhan, apa dia pikir dia sedang syuting Twilight?”


“Wooseok syuting Twilight?”
“Bukan, bodoh. Lihat siapa di sana!”


Ye Eun mengikuti arah pandang Ji Won dan serta-merta tertegun melihat Yuta. Pria itu tengah duduk melamun di ayunan, di bawah penerangan suram dan pakaian serba hitam bak malaikat kematian.


“Kau minta dijemput?”


Ye Eun menggeleng. Ia menoleh lagi pada Yuta, tak tahu apa adrenalin yang melonjak di tubuhnya sekarang adalah reaksi dari rasa senang atau malah takut. Situasi ini mengingatkannya dengan pertemuan pertama mereka di depan kampus, Yuta bahkan memakai jaket hitam yang sama, dan mungkin jins yang sama juga.


Yuta yang sadar bahwa Ji Won dan Ye Eun tengah memerhatikannya pun bangkit berdiri.


“Kalau begitu,” Ji Won mengedikan kepalanya ke arah Yuta, “temuilah pangeran kegelapanmu. Suruh dia pakai baju yang cerah sesekali. Aku takut orang-orang mengira dia mau menculikmu bukannya menjemput.”


Ye Eun tersenyum tipis. “Kau juga. Sampaikan salamku pada Wooseok. Suruh dia kembalikan parfumku.”


“Yah, jangan sinting!”


Mereka saling menyikut dan tersenyum geli, “Sampai ketemu lagi. Jaga dirimu.”


“Jaga dirimu.” Ji Won meninju lengan atas Ye Eun, menganggukkan kepalanya ke arah Yuta (yang masih berdiri di depan ayunan), lalu setengah berlari menuju supermarket di seberang jalan.


Dan kini tinggalah mereka berdua. Saling memandang dari kejauhan.


Tangan Ye Eun sekarang berkeringat banyak sekali. Ia mau pura-pura baik-baik saja dan berjalan dengan riang menghampiri Yuta, tapi kakinya terasa tertancap di aspal.


Di sisi lain, Yuta terus memandangnya dengan tajam. Aura mencekam ala penjahat di film kriminal menyergap. Ye Eun tahu Yuta tak bermaksud mengintimidasinya, tapi tetap saja, agak sulit bagi gadis itu untuk menyuruh dirinya sendiri supaya tidak terintimidasi. Memang begitulah cara Yuta menatap; begitu dingin dan angkuh. Dan memang begitulah auranya, seolah angin berembus lebih dingin dari yang seharusnya, dunia menjadi hening, membuat merinding.


Ye Eun memalingkan wajahnya dari Yuta menuju jalanan kosong di depan, mengepalkan tangan berusaha menahan keringat maupun rasa takutnya.


Yuta akhirnya menghampirinya.


“Aku baru selesai dari urusanku dan kebetulan lewat sini,” katanya tanpa ditanya. Suara Yuta jernih seperti air, benar-benar enak didengar. Ye Eun meliriknya dan mengangguk. “Dan ini.” Yuta mengulurkan dua lembar tiket pesawat. “Besok. Jam 11 siang. Kau saja yang simpan.”


“Baik.” Ye Eun mengangguk lagi, memaksa sudut bibirnya terangkat sedikit. “Terima kasih.”


Ia memasukkan tiket itu ke dalam tas dan sebagaimana Yuta mengantarnya kerja pagi ini, mereka pun berjalan dalam kecanggungan. Yuta berjalan dua langkah di depannya. Diam tanpa kata.



**********



Sinar matahari menerobos masuk lewat jendela-jendela besar, menimpa kepala Yuta yang tengah menunduk di atas kopernya, berkilau hitam dalam cahaya.


“Taksinya sudah di depan. Kau sudah siap?” tanya Ye Eun, baru saja turun dari lantai dua sambil menggotong koper dengan bantuan Ji Won.


Yuta terkejut dan langsung menutup koper miliknya, seolah-olah ia menyembunyikan sesuatu. “Ya.”


Ji Won memicing curiga padanya sebelum mendekatkan wajah pada Ye Eun, berbisik, “Aku bersumpah aku tak lihat warna selain hitam di kopernya. Jangan-jangan celana dalamnya juga hitam.”


Ye Eun melirik Ji Won menyuruh gadis itu berhenti. “Kau ikutlah dengan kami. Aku bisa menurunkanmu di restoran.”


“Tidak usah. Aku wanita mandiri."
"Yakin?"
"Tentu saja. Aku duluan. Kalau bisa pulanglah lebih cepat. Mau apa sih lama-lama di Jeonnam.”
“Kuusahakan.”
“Sampaikan salamku pada orangtuamu dan serius, cepatlah pulang.”


Ye Eun tersenyum dan mengangguk. Ia mengawasi Ji Won sampai gadis itu keluar, baru kemudian mengarahkan fokusnya kembali pada Yuta. Dia mengenakan jaket hitam yang sama dengan yang kemarin dan bahkan tak mau repot-repot menyisir rambutnya. Ye Eun mendesah. Dengan penampilan seperti itu, siapa yang akan percaya kalau dia orang kaya.


Yuta yang merasa dipandangi praktis menoleh pada Ye Eun, namun hanya sekilas, karena detik selanjutnya ia sudah berbalik memunggungi gadis itu lagi lalu menyeret kopernya keluar dengan langkah malas.



**********



Tak ada yang terjadi selama perjalanan menuju Jeonnam. Yuta tak banyak bicara, malah mungkin sama sekali tak bicara. Entah karena gugup atau memang karena sebenarnya ia tak pernah menginginkan perjalanan ini. Ye Eun tak bisa berhenti memikirkan betapa kukuhnya Yuta memaksa untuk ikut, apalagi saat melihat betapa tidak menyenangkannya sikapnya sekarang. Mungkin jika Ye Eun pergi sendiri, ia bisa menikmati perjalanan ini lebih baik.


Sesampainya di bandara tujuan, mereka kembali menaiki taksi untuk mencapai rumah orangtua Ye Eun di Selatan. Sepanjang perjalanan, Yuta terus memandang ke luar jendela dengan gusar. Ladang yang luas terhampar di mana-mana. Dan dalam waktu dekat, ia tentunya akan berada di suatu tempat di sana… dengan topi jelek dan cangkul.


Satu jam kemudian, mereka pun sampai. Ye Eun dan sang sopir taksi bahu-membahu menurunkan koper di bagasi, sementara Yuta hanya berdiri di samping mobil, memandang rumah panggung di hadapannya dengan tampang merana. Kenangan terakhirnya dengan rumah ini tidak terlalu baik. Saat meminta tanda tangan persetujuan menikah, ia sempat dilempari ember oleh ayah Ye Eun karena dituduh berbohong. Ia juga disuruh mencangkul tanah keras dan menebar pupuk di ladang maha luas sampai pinggangnya rematik, lalu dipaksa menelan kue beras sebesar kepalan tangan yang nyaris membuatnya pingsan. Yuta bisa merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya hanya dengan mengingatnya saja.


Saat pria itu tersadar dari lamunannya, taksinya sudah menghilang dan Ye Eun sudah berdiri di sebelahnya sambil menyeret dua buah koper di masing-masing tangan, menganggukkan kepala mengajaknya masuk.


Mereka disambut oleh teriakkan nyaring ibu Ye Eun dan pelukan kelewat erat dari sang ayah. Yeon Ju yang berdiri di ambang pintu dapur melambaikan tangannya yang berlumuran bumbu pedas—rupanya sedang mengaduk Kimchi. Ye Eun memaksa untuk ikut membantu tapi sang ibu kukuh menyuruhnya istirahat saja. Jadi di sinilah mereka sekarang. Di kamar Ye Eun semasa SMA.


“Kau istirahat saja. Aku akan bantu ibu dan adikku di luar,” kata Ye Eun sembari melepas mantel dan kaos kakinya. Ia menyeret koper mereka ke sudut sebelum kembali menoleh pada Yuta, “buat dirimu senyaman mungkin.”


Yuta mengangguk. Ye Eun menggulung lengan bajunya dan berlalu keluar.


Selama beberapa saat, Yuta hanya terpaku di tempatnya berdiri, memandangi sekeliling kamar mungil tersebut dengan cermat. Tidak ada ranjang di sana. Yang ada cuma lemari kayu yang tingginya nyaris menyentuh langit-langit, meja belajar yang penuh dengan stiker norak berbentuk hati, serta dinding berlapis belasan poster boy group bernama U-KISS. Yuta mengernyit pada orang-orang di poster itu sembari melangkah pelan mendekati mereka. Ia duduk di kursi pendek di depan meja belajar, mengamati quotes-quotes sok bijak dan foto-foto sok imut Ye Eun bersama teman-teman sekelasnya. Semuanya tertempel tak beraturan di sisi rak.


Yuta mengalihkan pandangannya pada buku-buku yang berjejer, lalu untuk membunuh waktu, ia mengambil salah satu dan mulai membaca. Ye Eun ternyata suka sekali komik. Dan seleranya amat luar biasa.


Jam demi jam pun berlalu. Matahari tergelincir perlahan-lahan dan langit pun berubah menjadi gelap gulita.


Saat Ye Eun kembali ke kamar, ia langsung terperanjat melihat Yuta tengah membaca komiknya. Tanpa berpikir, gadis itu segera melompat, meluncur ke atas meja dan merebut komik berjudul ‘kontrak cinta’ di tangan Yuta dengan wajah memerah.


“Ini untuk 17 tahun ke atas,” seru Ye Eun galak. Sama sekali tak peduli kalau Yuta jelas-jelas sudah sangat di atas dari 17. Dia sudah 423 tahun.


Yuta memandang Ye Eun—yang mendarat persis di hadapannya dengan pose aneh—dengan pandangan heran.


“I-ini bukan punyaku.” Gelagapan Ye Eun membela diri. Ia buru-buru turun dari meja seraya mengambil semua komik romantisnya dari rak, lantas berjalan ke lemari baju dan melempar semuanya ke dalam. Salah satu komiknya yang berjudul ‘suamiku terlalu liar’ merosot turun ke lantai saat ia sedang menggabrukkan pintu lemari. Dengan wajah bersemu padam, Ye Eun memungut komik itu dalam cengkraman kasar dan melemparnya sekuat tenaga ke dasar lemari lalu menggabrukkan pintunya lagi. Jika bisa, saking malunya Ye Eun mungkin akan sekalian melilitkan lemarinya dengan rantai dan gembok, lalu menghanyutkannya di sungai.


Yuta yang masih duduk di depan meja belajar memutar kursinya dan memandang Ye Eun datar. Ye Eun balas memandangnya, lalu berkata sambil menahan malu, “Mandilah dulu, lalu makan malam dengan kami.”


Air muka Yuta langsung berubah. Pucat.


“Kenapa? Tak mau mandi? Kalau begitu langsung makan saja. Ayo.”
“Tidak,” sergah Yuta cepat, kue beras yang dicekokkan ke tenggorokannya minggu lalu tiba-tiba saja terbayang membuatnya mual. “Aku mandi saja.”


“Kalau begitu ambil handuk dan baju gantimu. Kamar mandinya di luar.”
“Huh?”
“Kukira kau sudah tahu. Kau kan pernah ke sini.”
“Saat itu aku tak pakai kamar mandi.”
“Kalau begitu ayo kutunjukkan.”


Dengan enggan Yuta pun membuka kopernya. Ia mengambil semua perlengkapan mandinya lalu mengikuti Ye Eun keluar kamar. Bau makanan yang bermacam-macam langsung saja menyerbu indra penciumannya. Yuta praktis menahan napas.


“Duduklah di meja makan. Sebentar lagi sup lobaknya jadi,” ujar ibu Ye Eun riang. Yuta menatap panci yang meletup-letup di kompor dan seketika mau menangis.


“Dia mau mandi dulu katanya,” Ye Eun memberi tahu.


Saat itu, ayah Ye Eun keluar dari kamar tidurnya dan berjalan ke meja makan sambil berteriak ke arah dapur, “Cepat siapkan makanannya!”. Pria itu kemudian menoleh pada Yuta dan Ye Eun yang sudah setengah jalan menuju pintu belakang dan berteriak lagi menyuruh mereka duduk.


“Dia mau mandi,” Ye Eun berseru lantang untuk yang kedua kalinya, kali ini sambil mendengus.


Gadis itu membuka pintu belakang dan langsung menyalakan lampu. “Itu kamar mandinya.” Dia menunjuk bilik mungil lima meter di sebelah bilik lain yang sedikit lebih besar, yang belakangan Yuta ketahui merupakan gudang penyimpanan perkakas ladang.


“Setelah mandi langsung masuk saja ke dalam. Kita makan sama-sama.”


Yuta memandangnya seolah ingin mengatakan sesuatu.


“Ada apa?”
“….”
“Kau tak mau makan?”


Yuta mengangguk tipis.


Ye Eun sudah tahu ini akan terjadi. Ia memandang Yuta dengan malas, “Kau belum makan dari pagi. Makanlah walau sedikit. Masakan ibuku tidak seburuk itu, kok.”


“Bukan begitu. Aku…”
“Kutunggu di dalam,” potongnya jengkel, mengangguk singkat pada Yuta dan berbalik masuk.


Yuta menghela napas.


Tak punya pilihan lain, ia pun berjalan menuju bilik yang ditunjuk Ye Eun—yah mari sebut kamar mandi. Kamar mandinya sangat sempit, lampunya berkedip-kedip dan lantainya terbuat dari semen. Yuta yang pada dasarnya sudah malas mandi tentu saja makin malas lagi melihat kondisi kamar mandi yang seperti itu. Jadi, alih-alih mandi, Yuta cuma membasuh muka dan tengkuknya dengan sejumput air lalu keluar lagi.


Sambil mengalungkan handuk di leher kausnya yang basah, ia berjalan santai mengitari halaman belakang sebelum memutuskan untuk duduk di undakan pendek di depan pintu. Ia menyandarkan punggungnya di mesin cuci tua yang tak terpakai dan melamun memandang langit. Berpikir apa sebaiknya ia kabur saja. Tapi kalau dia kabur, Ye Eun akan membencinya. Kalau gadis itu membencinya, maka akan makin lama ia bisa menjalankan ritual dan makin lama pula ia terperangkap di dunia ini.


Dua puluh menit kemudian, pintu di belakangnya terbuka. Ye Eun melangkah keluar dan berdiri di hadapannya dengan tatapan tak suka, “Kenapa tidak masuk?”


Yuta mendongak menatapnya, tapi tak berkata apa-apa.


“Kau sungguh tak mau makan?”
“Ya. Aku tidak mau.”
“Kenapa?”


Yuta tak menjawab.


Dengusan mencela lolos dari bibir sang gadis. Ia memicing geram pada Yuta, nampak tersinggung. “Aku tahu kau tak nyaman di sini, makanya sejak awal aku tak mau kau ikut. Tapi kau memaksa, kan? Dan lihat sikapmu sekarang, menyendiri di halaman rumahku seperti anak kecil.” Yuta memalingkan wajahnya ke arah lain. “Bisa tidak sih tanggung jawab sedikit? Kalau kau bilang mau ikut ke sini ya berusahalah sedikit untuk berbaur dengan keluargaku. Aku tahu kau tak biasa makan masakan kampung, tapi masakan itu buatan orangtuaku. Hargailah mereka sedikit. Ibu dan Yeon Ju sudah masak banyak sekali buatmu. Mereka seharian di dapur buat ini-itu karena senang melihatmu ikut. Kau kira mereka tak akan sakit hati jika aku kembali masuk ke dalam dan bilang kau tak mau makan?”


Yuta bergeming.


“Oke, terserah padamu,” kata Ye Eun menyerah, lantas kembali masuk ke dalam, tak lupa membanting pintu di belakangnya.


Yuta kembali menyandarkan punggungnya di mesin cuci. Mendongak lebih tinggi menghadap langit. Menghela napas.



**********





Ye Eun tidak mau memberi tahu keluarganya bahwa Yuta tak mau makan—itu akan menyakiti hati mereka—maka dia berbohong bilang Yuta masih mandi dan mungkin tak bisa ikut makan malam karena sedang mual. Meskipun begitu, saat Ye Eun selesai menata sumpit di meja makan dan duduk di kursinya, Yuta tiba-tiba saja menarik kursi di sebelahnya dan duduk di sana.


Mereka saling berpandangan.


“Apa sudah tidak mual?” tanya ibu Ye Eun khawatir.


Pandangan mereka pun terputus. Yuta menoleh memandang ibu Ye Eun, nampak bingung sejenak sebelum memutuskan untuk mengangguk saja.


“Yeon Ju, ambilkan satu mangkuk nasi lagi untuk kakak iparmu,” teriak ayah Ye Eun begitu bersemangat.


Tak lama kemudian, Yeon Ju pun datang sambil membawa semangkuk nasi hangat.


“Kau kelihatan pucat,” kata perempuan berumur 15 tahun itu saat meletakkan mangkuknya di depan Yuta.


Yuta cuma menatapnya, tak tahu harus menjawab apa. Hingga ayah Ye Eun kembali bicara dengan suaranya yang menggelegar. “Nah, ayo dimakan!”


“Kau!” Dia menunjuk Yuta. “Makanlah yang banyak! Lihat badanmu kurus begitu! Laki-laki itu harus kuat! Ini, makan ini!” Ia menyumpit sepotong ikan layur dan meletakkannya di mangkuk Yuta.


Yuta menahan napas dan mengambil sumpitnya. Ayah Ye Eun mencoba mengajaknya ngobrol, tapi Yuta terlalu pusing untuk bisa mendengarnya. Jika ini film kartun, hidungnya pasti sudah meleleh sekarang. Semua bau busuk makanan manusia membuatnya tak bisa berpikir jernih alih-alih merangkai kata.


Dengan pasrah, Yuta menyumpit sejumput nasi lalu memasukkannya ke mulut.


Aku tak akan mati gara-gara ini, kan?


Ibu Ye Eun turut berkomentar soal betapa kurusnya Yuta sebelum menambahkan tahu ke mangkuk milik pria itu.


Yuta diam saja.


Dia sudah mau pingsan.


“Cepat dimakan tahunya, tidak enak kalau dingin,” kata ibu Ye Eun menggebu-gebu.


Yuta menyumpit tahu itu dan langsung menelannya.


Tidak ada sejarahnya vampir mati karena tahu, kan? Aku akan baik-baik saja, kan?


Yuta menyumpit nasi lagi, menelannya lagi.


Yuta terus menyumpit makanan dan menelannya sambil mengangguk menguatkan diri.


Perutnya bergejolak luar biasa. Ia tahu sistem pencernaannya pasti sedang terkejut melihat makanan-makanan aneh masuk ke dalam perutnya, lalu sebagai bentuk pertahanan diri, mereka berupaya mendorongnya lagi keluar.


Yuta menelan suapan nasi yang lain.


Sekarang perutnya serasa terbelah dua.


Lehernya juga ikut meradang. Rasanya panas seperti terbakar. Yuta tak bisa menyalahkan lehernya. Kerongkongannya yang biasa cuma dilewati enam liter darah segar seratus tahun sekali itu jelas saja tak terbiasa dengan semua benda asing ini.


Yuta menahan semua penderitaannya seorang diri, sementara keringat dingin membasahi keningnya.


Ayah Ye Eun kembali memasukkan lauk ke dalam mangkuknya sambil mengomentari betapa leletnya dia makan.


Yuta menatap lauk itu dengan mata berkunang-kunang, menyumpitnya susah payah dan memasukkannya ke mulut dengan gerakan perlahan.


Yuta sejujurnya tak tahan lagi.


Sistem pencernaannya sudah berhasil mendorong semua makanannya kembali naik ke kerongkongan. Yuta mual luar biasa, pandangannya semakin kabur dan sekujur tubuhnya gemetar tak terkendali.


“Eonnie, lihat suamimu,” bisik Yeon Ju.


Ye Eun yang sejak tadi sengaja mengabaikan Yuta karena kesal pun mau tak mau menoleh. Pria itu terlihat amat pucat dan ia memegang sumpitnya dengan tangan gemetar. Ye Eun terperangah.


“Y-yuta.”


Dan akhirnya dia menyerah. Yuta membanting sumpitnya ke meja sampai membuat seisi ruang makan terkejut, lalu bangkit berdiri dan berlari tergopoh-gopoh melewati pintu keluar.


“K-kurasa dia masih agak mual,” kata Ye Eun sembari ikut berdiri.
“Kau temani dia, biar Ibu carikan obat.” Ibunya bergegas ke dapur.


Saat Ye Eun sudah meninggalkan meja makan, sang ayah berlari menyusulnya sambil membawa seteko air. “Bawakan dia minum. Cepat.”


Ye Eun mengambil teko itu lantas berlari menyusul Yuta yang sudah hilang entah ke mana.



***********



Yuta benar-benar mengira dia akan mati. Pria itu berdiri di samping tiang, memuntahkan semua makanan yang sempat masuk ke dalam mulutnya di selokan. Ia sudah muntah berkali-kali, tapi perutnya masih tak berhenti bergejolak perih. Pria itu berusaha muntah lagi, tapi tak ada yang keluar. Perutnya sudah kosong. Lalu kenapa masih sakit?, batinnya. Yuta berpikir mungkin perutnya sedang balas dendam, mungkin marah padanya karena sudah dengan tololnya makan sembarangan. Ia mencengkeram perutnya yang semakin sakit itu sambil meringis. Berharap ia segera pingsan saja.


Tangan Yuta masih gemetar tak keruan saat Ye Eun menemukannya. Gadis itu berlari ke arahnya. Kelihatan panik sekali.


“Y-yuta, kau baik-baik saja?”


Yuta menoleh pada gadis itu dengan wajah murka dan mata memerah, “Apa di matamu aku terlihat baik-baik saja?” desisnya menggeram. Ia merebut teko di tangan Ye Eun dan menuangkan air ke mulutnya untuk berkumur. Ia mengunakan sisa air di dalamnya untuk membasuh muka lalu melempar teko kosong itu ke aspal di depan Ye Eun.


Ye Eun berjengit kaget.


“Yah! Kenapa kau melemparnya padaku!” seru gadis itu tak terima.
“Sudah bagus tak kulempar ke mukamu!” Yuta menggerung sengit. “Sekarang pergi!” Lututnya lemas luar biasa dan perutnya serasa dicincang dari dalam.


“Yuta, aku minta maaf. Dari mana aku tahu kalau kau punya alergi makanan kalau kau tak bilang? Memang apa susahnya sih bilang padaku kalau….”


“Kau puas sekarang, huh?” bentak Yuta marah. “Puas melihatku begini?”
“Yuta, berhenti!”
“Kau yang berhenti!” Napasnya tersengal-sengal. Wajahnya yang basah tampak amat mengerikan di bawah sinar lampu jalan yang temaram. Di balik rambut hitamnya yang kuyu, ia menatap Ye Eun dengan matanya yang merah tajam, berkilat penuh kebencian, kemudian berkata dengan nada mengancam dan gigi bergemelatuk, “Pergi dari hadapanku sekarang atau kubunuh kau.”


Ye Eun mencelos.


“PERGI!”


TBC



Comments

Popular Posts