#3 Relationship - Produce 45



Nam Chaerin – Kim Jungwoo 

.

.
Itu dia. Kataku pada diri sendiri setelah menemukan Jungwoo Oppa yang sedang duduk di sebuah sofa panjang berlapis kulis sintetis warna hitam. Dia sedang menunduk, membaca dengan serius buku tebal yang bisa beralih fungsi menjadi pengganjal pintu. 



Langkahku semakin cepat, apalagi begitu tahu ada beberapa orang perempuan yang sedang mengamati pacarku itu dengan penuh kekaguman yang tidak segan untuk ditunjukkan. Aku harus melakukan sesuatu untuk menunjukkan ke mereka, cowok yang sedang mereka pandangi sudah ada yang punya.


Sebelumnya mari kuperkenalkan dengan Jungwoo oppa, yang bernama lengkap Kim Jungwoo, mahasiswa jurusan jurnalistik di Universitas Seoul. Dan yang paling penting dia adalah pacarku. Aku mengenalnya dari kakak sepupuku. 


Kami diperkenalkan saat aku datang ke acara konser musik di kampus mereka. Aku merasa tertarik, walau tidak yakin Jungwoo oppa merasa begitu juga terhadapku. Namun keraguan itu langsung terbantahkan saat Jungwoo oppa mengirimiku pesan pada keesokan harinya. Kami melakukan pendekatan selama sebulan sampai akhirnya dia menyatakan perasaannya padaku dan memintaku untuk jadi pacarnya. Tentu saja aku jawab iya.

Aku sudah gila kalau menjawab sebaliknya.


“Kau mau bertingkah sok keren ya dengan baca buku di sini?” kataku saat berdiri tepat di hadapannya.


Dia mendongak, menatapku bingung lalu tersenyum ragu sambil mengangkat bahu. Ya Tuhan, kenapa tingkahnya menggemaskan sekali? Jungwoo Oppa menepuk tempat kosong di sampingnya, aku menurut dan duduk di sana.


“Jam berapa filmnya dimulai?” tanyaku. Sengaja menjulurkan kepalaku, supaya bisa menghirup aroma mint di kaosnya.
“Jam enam.” Dia menyelipkan kembali dua lembar tiket bioskop ke dalam saku di bagian samping tasnya. “Masih harus menunggu setengah jam lagi. Kau mau minum?”
“Nanti saja, sekalian beli popcorn.”
“Oke,” katanya.


Aku merasa jauh lebih tenang begitu mendengar suaranya yang lembut. Seharian ini aku merasa sangat lelah. Setelah tiga jam mata pelajaran matematika yang masih membahas tentang logaritma, kemudian sorenya ditambah penambahan materi kimia, aku mau meledak rasanya. Untung saja Jungwoo oppa mau menemuiku di sini. Padahal kegiatannya di kampus lebih banyak daripada kegiatanku di sekolah, tapi dia kelihatan normal, beda dengan tampangku yang mirip tisu bekas pakai.


“Jadi gimana di sekolah? Seru?” Dia meledek.
“Apanya yang seru? Kepalaku mau meledak.” Aku mengeluh sambil mengerang, apalagi saat mengingat ujian tinggal dua minggu lagi.
“Aku sudah tidak sabar untuk lulus dan mulai kuliah. Setelah itu hidupku akan jauh lebih menyenangkan,” kataku penuh keyakinan.


Dia mendecak sambil menggelengkan kepala. “Kau pikir kuliah lebih enak daripada SMA?”
Aku langsung mengangguk, “Tentu saja. Kalau sudah kuliah aku bisa pergi kemana saja, pesta minum-minum, kerja kelompok di kafe, bisa pulang kapan saja, jadi panitia festival–“
“Polos amat sih anak ini.” Tangannya  mengacak-acak rambutku, lalu merambat turun untuk mencubit kedua pipiku.
“Memangnya tidak begitu? Kalau dari ceritamu kehidupan anak kuliah seribu, bukan, sejuta kali lebih menyenangkan daripada di SMA.”

Dia tergelak, “Di bagian mananya?”
“Dengar ya, saat kuliah nanti kau memang jauh lebih bebas, tapi tidak semudah di SMA,”ungkapnya dengan sabar. Pandangannya yang tegas namun lembut menyita seluruh perhatianku. Dia mengulas senyum tipis, tangannya menepuk-nepuk tanganku di atas pangkuan.


“Saranku, nikmati saja waktu SMA-mu saat ini. Bermain sepuas-puasnya, nikmati sulitnya dan banyaknya ulangan yang akan kau hadapi, dan bergaul dengan teman-temanmu. Pokoknya jalani masa SMA dengan sukacita karena saat kuliah nanti kau harus siap untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab atas semua pilihan-pilihan yang sudah kau ambil.”


Aku mengangguk-angguk, sengaja meliriknya dengan mata terbelalak dan tersenyum meledek. “Iya deh, aku nurut saja sama yang lebih tua,” kataku dengan nada jahil.


“Harus dong. Apalagi kalau yang kasih nasihat itu mahasiswa teladan kayak aku,” ujarnya penuh percaya diri. Dia mengedipkan mata seraya bahunya menabrak bahuku dengan sengaja. Aku berniat membalasnya, namun kalah cepat karena ia langsung berkilah.


Setelah puas mengejek fantasiku tentang kehidupan anak kuliah, dia mulai menceritakan kegelisahannya setelah resmi menyandang status sebagai mahasiswa. Dia bilang terkadang merindukan ibunya yang sering mengomel karena dia kebanyakan main video game atau lupa makan, dia juga suka merasa kesepian saat pulang malam dan hanya sendirian di kamar kost-annya. Belum lagi keresahan mengenai hal-hal seputar masa depan.

Dia menatapku lalu mengusap kepalaku sekali lagi. Dia berkata dengan suara rendah dan sabar andalannya. “Setiap masa dalam hidup manusia itu punya tantangan sendiri. Jadi jalani dan nikmati masa SMA-mu saat ini. Jangan sampai menyesal. Dan aku serius.”


Ini konyol, tapi aku harus mengakui kalau untuk kesekian kalinya aku terpesona olehnya. Padahal kami sudah pacaran selama empat bulan, tapi rasanya sihir Kim Jungwoo masih belum memudar. Dia masih mempengaruhiku dan membuatku seperti cewek-cewek tolol yang mengaguminya. Kurasa bukannya memudar, sihir Kim Jungwoo malah makin kuat.


Kalau boleh pamer sedikit, Kim Jungwoo adalah definisi dari percampuran aneh yang indah. Wajahnya manis dan imut, tapi dia bisa kelihatan sangat maskulin ketika sedang serius mengerjakan sesuatu. Dia tidak banyak bicara dan lebih suka mendengarkan, tapi dia bisa mengejutkanku dengan ocehannya setiap kali aku butuh nasihat.


Sosoknya yang seperti cowok cantik–oke, dia memang cowok cantik–membuatnya  terkesan lemah, tapi nyatanya dia mampu memindahkan galon air tanpa mengeluh dan cukup andal untuk membetulkan sendiri sepeda motornya yang suka mogok tiba-tiba. Dia juga punya suara lembut yang menenangkan, namun juga terkesan protektif saat bicara panjang lebar padaku.


Aku menyukai semua yang ada pada diri Kim Jungwoo. Mulai dari wajah bingung menggemaskannya, kulit putihnya, senyum manisnya, suara lembutnya, lengan kurus dengan urat-urat menonjol yang membuatnya kelihatan lebih macho, serta kebiasaan-kebiasaan anehnya.


Aku berharap hubungan kami bisa terus berlanjut untuk yang lebih lama. Bukan harapan yang muluk, kan?

***


Aku memang berharap agar hubungan kami bertahan lama. Biar bagaimanapun Jungwoo Oppa adalah pacar pertamaku yang serius. Namun nyatanya menjaga sebuah hubungan tidak semudah dan seindah yang kupikirkan. Menjelang lima bulan, cobaan datang silih berganti. 


Cobaan? Apa aku berlebihan? Tidak. Aku hanya seorang remaja yang menganggap semua masalah dalam hidupku sangat berat.


Berawal dari sebuah komentar di foto unggahannya di Facebook. Sebagai seorang pacar yang tingkat penasarannya menyamai sherlock Holmes, aku menyelidiki pemilik akun bernama CherryPerry. 

Nama apa coba itu?


Setelah semalam suntuk aku menjelajah Facebook, kemudian menemukan banyak petunjuk yang membawaku hijrah ke Twitter. Akhirnya aku menemukan satu fakta mengejutkan. Pemilik akun CherryPerry itu adalah mantan pacar Jungwoo oppa, nama aslinya adalah Park Shinyeong.


Di unggahan-unggahannya setahun sampai dua tahun yang lalu, dia mengumbar foto-fotonya bersama Jungwoo oppa, pesan-pesan manja (yang bikin aku makin naik darah), serta kutipan-kutipan bijak tentang hubungan. Sayangnya dia tidak menulis jelas alasan kenapa hubungan mereka berakhir. Namun di salah satu unggahannya dia menulis kata maaf karena tidak cukup pengertian. Hal itu membuatku semakin penasaran dan akhirnya penyelidikan terus berlanjut hingga keesokan harinya.


Bukan merasa lebih tenang, perasaanku justru malah semakin kacau. Hal itu membuatku mudah marah dan menangis tiba-tiba. Aku jadi meluapkan kegelisahan tidak beralasan itu tidak pada tempatnya. Puncaknya aku membalas pesan Jungwoo oppa dengan nada jengkel dan menyebalkan.   

Setelah pesan itu dia langsung menelepon, bertanya apa masalahku.


“Ada apa denganmu?” katanya dengan nada khawatir sekaligus mendesak.
“Menurutmu gimana?” balasku cuek.
Dia mengesah pelan sebelum kembali berbicara, “Aku tidak akan bertanya kalau sudah tahu.” Nada suaranya menjadi jengkel.


Hal itu jelas membuatku semakin emosi. Bukan tanggapan seperti itu yang kuharapkan darinya. Tiba-tiba wajah jengkel Jungwoo oppa terbayang, dia pernah sesekali merasa jengkel padaku atau temannya. Dia kelihatan judes dan dingin. Tidak seperti Kim Jungwoo yang manis dan penuh perhatian.


“Dengar, aku sudah beli tiket konser untuk kita. Kau bilang ingin melihat Urban Zakapa, kan?”
Hening. Aku sudah lupa dengan konser yang sangat ingin kudatangi karena urban zakapa –band indie favoritku–tampil di acara itu. Kepalaku sudah dipenuhi dengan prasangka buruk dan kemarahan. 

Yang ada di kepalaku hanya pertanyaan seperti ‘apa alasan Park Shinyeong meninggalkan komentar di laman Facebook Jungwoo oppa setelah sekian lama?’.

Dan yang membuatku semakin marah adalah kenyataan bahwa Jungwoo oppa membalas komentar perempuan itu, percakapan mereka juga berlangsung dengan seru.

Apa sih maksud perempuan itu?

“Aku benar-benar tidak mengerti apa alasanmu marah-marah terus belakangan ini. Aku cuma ingin hari Minggu nanti kita ketemu dan membicarakannya.”
“Kenapa harus tunggu Minggu, kalau bisa dibicarakan sekarang?”


Dia terdiam sebentar, berusaha menahan amarahnya. Yah, mungkin aku memang cewek kekanakan yang tidak masuk akal dan berhasil membuatnya hilang kesabaran. Lalu dia akan sadar betapa baik dan berharganya mantan pacarnya yang cantik dan tampak pintar itu.

Ya, aku sudah lihat foto-foto Park Shinyeong. Dia cantik dan manis, serta badannya tinggi langsing. Bagus, alasan lain untuk merasa kesal.

“Kau yang bilang sedang tidak mau diganggu, kan?”
“Terus kau mau menyerah gitu aja?”
“Jadi apa yang kau inginkan sebenarnya?”
“Aku mau tahu kenapa Park Shinyeong terus berusaha menghubungimu?” Akhirnya kekesalan itu terucap juga. Aku seperti meledak dan lava kemarahanku mulai membakarnya.
“Kau marah karena itu? Kau bisa lihat sendiri dia cuma tanya kabarku.”


Betul. Tanya kabar yang berlanjut pada tawaran untuk bertemu kapan-kapan kalau perempuan itu pulang dari Ilsan.


“Buat apa? Kalian sudah putus. Kenapa dia mau tahu kabarmu? Dan kenapa kau menanggapi ajakannya untuk bertemu?”

Jungwoo oppa tidak menutupi kekesalannya, dia meringis kemudian menjawab, “Memangnya kenapa? Maksudku itu haknya untuk bertanya pada siapapun termasuk aku. Dan untuk pertanyaanmu yang terakhir, aku hanya bersikap sopan.”

Aku mendecih, tak percaya dengan jawabannya. Bersikap sopan? Untuk apa?

“Aku tidak melakukan sesuatu yang tidak wajar, kau bisa lihat sendiri.”
“Mungkin kau tidak melakukan apa-apa, tapi karena sikapmu yang kelewat ramah itu bisa membuatnya salah paham.”
“Dia tahu aku sudah punya pacar, Chaerin.  Kalau mungkin baginya kurang jelas aku mengunggah foto-foto kita di media sosialku.”

“Bisa saja dia pikir kau masih belum melupakannya.”
“Kau punya pikiran seperti itu terhadapku? Itu tidak masuk akal,” katanya defensif.
“Ya, pikiranku memang tidak masuk akal. Kau baru menyadarinya?”
“Dan kekanakan sekali.”


Setelah itu akal sehatku benar-benar sudah tidak bekerja, mereka tenggelam oleh perasaan tidak aman, cemburu buta, dan kekesalan tidak jelas.


Akhirnya aku bilang, “Maafkan aku karena tidak bersikap sedewasa Park Shinyeong. Kau menyesal kan pacaran denganku?” lalu mematikan sambungan telepon dengan perasaan emosi yang membakar ubun-ubunku.


***


Dua minggu setelah itu kami akhirnya berbaikan setelah Jungwoo oppa meminta maaf dan aku pun melakukan hal yang sama. Sejak itu nama Park Shinyeong tidak pernah disinggung, bahkan Jungwoo oppa menghapus komentar perempuan itu dari laman Facebooknya. Aku merasa agak puas dengan kenyataan itu, namun tidak cukup puas karena aku mengharapkan dia berhenti bertemanan dengan perempuan itu. Walau begitu aku menahan diri untuk mengatakan apapun tentang keinginanku itu.


Sudah cukup beruntung kami bisa kembali normal. Aku tidak mau mengacaukan apapun. 


Siapa yang mau mengungkit-ungkit hal seperti itu saat tanganku terasa hangat dalam genggamannya? Aku menatap tangan kami yang bertaut selama perjalanan dari halte menuju rumahku. Aku merasa kecewa saat kami tiba di depan rumah dan genggamannya terlepas.


“Aku pulang dulu, ya. Semangat untuk ulangannya besok!” katanya sebelum berbalik pergi.
Aku menatap kepergiannya sambil berharap minggu ini cepat berlalu. Setelah ujian akhir selesai, kami berencana untuk pergi ke suatu tempat. Sebelum hal itu terjadi aku tidak akan bertemu dengan Jungwoo oppa selama dua minggu ke depan. Dia bilang dia juga tidak akan menghubungiku karena tidak ingin mengganggu waktu belajarku.


Ya, memang betul juga. Aku bisa saja menelantarkan buku pelajaran demi membalas pesan Jungwoo oppa.


***



Namun ternyata rencana itu tidak berjalan sesuai yang kuharapkan. Jungwoo oppa tidak bisa datang untuk menjemputku di hari terakhir ujian karena dia harus pergi ke luar kota untuk meliput berita. Aku menggeram dan nyaris menangis saat membaca pesannya setelah keluar dari ruang ujian. Kenapa dia baru memberi kabar saat aku sudah kepalang senang? Kenapa mendadak? Aku merasa sangat menyedihkan karena sudah banyak berharap.


Satu hal yang lupa aku katakan mengenai Jungwoo oppa, dia amat sangat sibuk. Kadang seharian tidak bisa dihubungi karena dia harus menulis laporan berita, bisa juga membatalkan acara kencan kami karena harus bertemu dengan narasumber untuk rubrik majalah kampusnya. Dia semakin sibuk setelah magang di sebuah perusahaan surat kabar sebagai jurnalis junior.


Aku bangga dengan itu. Aku bangga punya pacar tampan, pintar, dan sudah punya pekerjaan, tapi aku tidak bisa terus-terusan sabar karena kesibukannya.


Ponselku bergetar, pesan baru saja masuk. Aku menatap emosi nama pengirim pesan itu. Siapa lagi kalau bukan Kim Jungwoo.


Jangan marah, oke? Begini, aku benar-benar minta maaf dan janji kita akan pergi lain kali. (aku mendengus saat membaca bagian ini)

Tadinya aku sudah menyiapkan kado untuk ulang tahunmu besok. Tapi aku baru pulang minggu depan, jadi aku tidak bisa memberikan langsung padamu. Kabar baiknya aku sudah menitipkan kado itu ke Jinhwan sebelum pergi. Temanku yang suka pinjam kameraku itu.

Kau ingat, kan? Mungkin sebentar lagi dia sampai di minimarket dekat sekolahmu.


Aku makin meradang membaca pesannya. Apa sih maunya?


Aku baru ingin meneleponnya saat panggilan dari nomor tak dikenal masuk. Aku menerima panggilan dan bicara agak judes pada siapapun di seberang sana.


“Chaerin, kan?”
Aku mendengus, “Ya, maaf ini siapa?”
“Ini aku Jinhwan temannya Jungwoo.”
Aku memutar bola mata, tidak senang mendengar nama Jungwoo disebut-sebut.
“Aku sudah di depan minimarket. Kau dimana?”
“Aku masih di sekolah. Aku akan ke sana sebentar lagi. Maaf membuatmu menunggu.”



***



Sore itu mengubah semuanya. Bukan, aku tidak putus dengan Jungwoo oppa. Jujur saja dia selalu bisa membuatku memaafkannya dengan usaha-usaha manisnya. Dia bersungguh-sungguh minta maaf dan aku tidak punya alasan untuk tidak memaafkannya.


“Kalau minggu?” katanya memelas.
Aku bisa membayangkan wajah memelasnya dan langsung terkekeh.
“Tidak bisa. Aku sudah janji akan ikut ibu ke rumah nenek. Minggu depan, ok?”
“Kau mau balas dendam ya karena waktu itu aku membatalkan rencana kita?”
“Tidak kok. Aku benar-benar sudah ada janji. Salah sendiri bikin janji mendadak begini. Aku kan juga orang sibuk,”  kataku sambil terkikik.


“Ya..ya..ya.. baiklah. Nikmati akhir pekanmu tanpa aku kalau begitu,” katanya merajuk.
“Jadi kau marah? Kita kan bakal ketemu minggu depan.”
Aku menatap langit-langit kamar dengan perasaan puas. “Ya, itupun kalau kau tidak sibuk,” ujarku menyindir.
“Tuhkan, kau memang mau balas dendam soal yang waktu itu.”
“Tidak kok. Aku cuma bercanda. “
“Baiklah, selamat malam. Jangan lupa gosok gigi.”
“Apa sih? Dah, selamat malam.”


KLIK


Aku tidak mematikan ponsel dan meletakkannya jauh di atas meja belajar. Aku membuka satu pesan yang sudah masuk dari sepuluh menit lalu. Dengan semangat dan tersenyum girang aku membalas pesan itu. Ini yang kumaksud telah berubah. Biasanya bicara dengan Jungwoo oppa adalah kegiatan terakhirku sebelum tidur, tapi sejak sore itu kebiasaan malamku berubah. Setelah bicara dengan Jungwoo oppa aku akan bertukar pesan dengan Jinhwan oppa.


Ya, Jinhwan yang temannya pacarku itu.



Sejak sore itu kami jadi sering bertukar pesan dan sudah dua minggu ini kami melakukannya, dan makin intens. Aku memang gila. Tapi ini terasa menyenangkan. Awalnya dia mengirimiku pesan untuk mengucapkan selamat ulang tahun, kemudian berlanjut dengan kalimat-kalimat penenang supaya sabar menghadapi Jungwoo oppa, dan akhir-akhir ini kami membicarakan apapun. Bahkan hal-hal seputar sekolah yang biasa kuceritakan pada Jungwoo oppa, kini kubicarakan dengan Jinhwan oppa.


Suaranya tidak selembut milik Jungwoo oppa, suaranya lebih maskulin dan aku suka mendengarkan rekaman suara yang dia kirimkan padaku. Sudah tiga kali dia mengirimiku rekaman menyanyinya. Dia pandai menyanyi dan bermain gitar. Awalnya aku pikir dia hanya mau sekadar pamer saja, tapi setelah mendengar rekaman ketiga aku tidak bisa tidak merona.


Semua lagu yang dia nyanyikan untukku seperti puzzle-puzzle yang sengaja dia hamparkan di hadapanku. Dia menyampaikan perasaannya tanpa membuatnya terlalu kentara.


Lagu pertama yang dia nyanyikan adalah lagu milik Lauv yang I Like Me Better. Dua hari berikutnya, Say You Won’t Let Go-nya James Arthur. Dan kemarin malam dia mengirimkan rekaman dirinya yang menyanyikan You Are The Reason milik Calum Scott.


There goes my heart beating
Cause you are the reason I’m losing my sleep
I’d climb every mountain and swim every ocean
Just to be with you..



Jujur saja perasaanku melambung setelah mendengar rekaman itu. Aku tidak mungkin salam paham, apalagi setelah dia mengajakku pergi hari minggu. Katanya makan siang sekalian jalan-jalan menemaninya ke pantai. Dia ingin memotret, sekalian mengasah instingnya.


Aku memang berbohong pada Jungwoo oppa. Tapi aku tidak bohong sepenuhnya kok. Aku menolak ajakan pergi di hari Sabtu karena aku memang benar-benar pergi dengan teman-temanku. Aku hanya menutupi kebenaran di hari Minggu.


Aku tahu yang kulakukan itu salah, namun aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri. Lagipula aku dan Jinhwan oppa tidak pacaran. Kami hanya...hanya saling menggoda satu sama lain? Flirting?


Let’s be honest. Gadis mana yang tidak senang saat ada orang yang membuatnya merasa lebih cantik?


Bukan berarti Jungwoo oppa tidak membuatku merasa begitu. Hanya saja dia bukan tipe orang yang suka bernyanyi untukku atau mengatakan kata-kata rayuan. Sementara Jinhwan melakukan semua itu dengan sangat baik. Dia memujaku.


Bukankah menyenangkan ada seorang pria yang membuatmu aman (maksudku Jungwoo oppa) dan hangat, lalu ada pria lainnya yang membuatmu merasa seperti dewi?



*** 



Semuanya berjalan lancar selama sebulan belakangan, baik hubunganku dengan Jungwoo oppa maupun Jinhwan oppa. Sampai saat ini hubunganku dengan Jinhwan oppa hanya sekadar teman dengan tambahan kata ‘mesra’ di belakangnya. Sementara hubunganku dengan Jungwoo oppa cukup stabil. Berkat keberadaan Jinhwan oppa, aku tidak banyak mengeluh dengan kesibukan Jungwoo oppa.


Ada bagusnya, kan? Mari menjadi orang yang melihat segala hal dari sisi baiknya.


Aku terkikik membaca pesan balasan dari Jinhwan oppa.

Mungkin minum susu membuatmu cepat tinggi hanya mitos. Buktinya aku minum susu setiap hari waktu kecil dan kau bisa lihat sendiri betapa tingginya aku sekarang.


Aku baru mau membalas pesannya, Jinhwan oppa justru meneleponku. Aku menyapanya duluan dengan tawa yang belum usai.


“Ya, kurasa itu hanya mitos yang dijual para penjual susu supaya banyak yang beli susu mereka.”

“Ya, kurasa juga alasanmu pergi ke rumah nenekmu waktu itu pun hanya mitos.”


DEG.


Tawaku menghilang saat itu juga. Dadaku mulai berdebar kencang, sedangkan tubuhku langsung menegang. Itu bukan suara Jinhwan oppa.

Itu suara Jungwoo oppa. Bagaimana bisa?


Tunggu, apa aku salah lihat nama di layar ponseku? Aku buru-buru menatap layar ponselku dan melihat nama Jinhwan oppa di sana. Gemuruh di dadaku makin ramai dan otakku mulai bekerja dua kali lebih keras.



“Oh iya..mungkin alasan-alasanmu yang lain juga cuma mitos. Coba kuingat, kau pernah bilang tidak bisa bertemu karena ada kerja kelompok, terus kau bilang ikut les privat di rumah Hara di hari Minggu.”


Aku menelan ludah dengan susah payah. Tiba-tiba kerongkonganku terasa sangat kering. Napasku memburu dan rasa takut mulai menyelimutiku.

“Kok diam saja? Atau kau cuma mau bicara dengan Jinhwan?”
Aku menggeleng walau tahu Jungwoo oppa tidak bisa melihatnya.
“Jinhwan sedang pergi membeli makan malam. Dia mungkin baru akan kembali setengah jam lagi.”
“Sejak kapan?”
“Apanya? Sejak kapan ponsel Jinhwan ada padaku?”
“Sejak lima belas menit yang lalu? Ponselnya ketinggalan di ruang rapat dan aku menyimpannya.”


Air mata mulai menggenang di pelupuk mata dan hawa panas mulai menyerbu wajahku.
“Maafkan aku, oppa. Aku tidak bermaksud melakukan ini.”
Hening. Jungwoo oppa hanya menghela napas panjang lalu berdeham. Dia kemudian mendengus.
“Jadi maksudnya kau khilaf? Tidak sadar? Kalau dari percakapan kalian...wow sudah cukup lama ya? Aku terkejut.”


“Aku tidak bermaksud untuk bohong. Aku...”
“Kau hanya tidak bisa jujur. Aku masih ingat betapa marahnya dirimu saat melihat komen Shinyeong di laman Facebook-ku atau saat kau cemburu tidak beralasan dengan teman-teman perempuanku. Kau menuduhku macam-macam dan sekarang kau yang malah melakukan macam-macam.”
Akhirnya air mataku jatuh juga. Nada suara Jungwoo terdengar sangat dingin. Membuatku merasa bersalah, sekaligus malu.
“Kenapa kau melakukan ini?”


Aku menggigit bawahku dengan gusar. Tidak benar-benar yakin ada alasan untuk membenarkan perbuatanku ini. Namun aku masih ingin membela diri, maka itu aku bilang, “Kau yang memberikan nomorku padanya.”

Aku bisa mendengar dia tertawa singkat dan aku tahu itu bukan jenis tawa terhibur.

“Kau sangat sibuk dan hampir tidak punya waktu untukku. Dia selalu ada di saat kau sibuk.”
“Aku berusaha semampuku. Aku punya kewajiban di sini. Dan maaf kalau melakukan apa yang harus kulakukan itu salah di matamu. Kupikir kita saling berusaha memahami kesibukan satu sama lain.”
“Dan aku minta maaf karena ulahku kau jadi selingkuh dengan temanku sendiri.”


Kemudian panggilan itu terputus. Aku menatap kosong meja belajarku yang berantakan, di atasnya buku-buku berserakan. Kepalaku langsung pusing dan air mata terus mengalir membasahi wajah. Tangisku pecah dan aku merasa sangat hancur.


Apa yang telah kulakukan?


Aku yang ingin hubungan ini berlangsung lama, aku yang ingin kami terus bersama, tapi justru aku yang menghancurkan hubungan ini.



***


 
Setelah malam itu aku berusaha untuk menghubungi Jungwoo oppa, tapi tidak ada satupun yang mendapat respons darinya. Dia menolak semua bentuk komunikasi denganku. Dari cerita Jinhwan oppa, hubungan keduanya merenggang setelah malam itu. Jungwoo oppa menjaga jarak dan hanya bicara padanya untuk kepentingan organisasi saja. Secara tidak resmi pertemanan mereka telah usai.

Ya, malam itu memang sangat bersejarah. Berkat ulahku dua hubungan rusak di malam itu.


Aku mencermati foto di layar, tiba-tiba aku tersenyum. “Dia sudah mau menikah?”


“Siapa?” tanya Cheonsa yang berusaha melihat foto di ponselku.
“Jungwoo oppa.” Aku memperlihatkan foto itu pada ketiga temanku.


“Jungwoo itu siapa?” Sora mulai menunjukkan tanda-tanda kepikunannya. Lagi.
“Mantan pacarnya Chaerin,” jawab Hara membantu.
“Ituloh yang putus gara-gara si Chaerin selingkuh sama temannya Jungwoo. Siapa nama selingkuhannya?” Cheonsa menjabarkan sejarah kelamku seperti wikipedia berjalan. Dan aku bertaruh dia sebenarnya ingat nama cowok yang dia maksud.
“Jinhwan,” sahut Hara.
“Ah, iya cowok pendek itu.” Tuhkan.


“Ya ampun. Kau benar-benar parah, Nam Chaerin. Maksudku, kenapa kau selingkuh? Sama temannya lagi!” 


Aku meringis mendengar perkataan Sora. Setelah enam tahun berlalu aku pun masih tidak habis pikir dengan tindakanku waktu itu. Padahal Jungwoo oppa itu punya kualitas untuk jadi calon suami idaman. Dia bahkan tetap setia dan sabar menghadapi tingkah kekanakanku. Apalagi sejak tiga tahun lalu dia resmi bekerja sebagai juru kamera sebuah acara variety show di salah satu stasiun televisi dalam negeri. Lalu apa alasannya?


Kurasa tidak ada alasan yang bisa membenarkan tindakanku waktu itu. Aku hanya bisa bilang, mungkin aku terlalu egois waktu itu. Aku merasa paling benar dan menderita dalam hubungan itu tanpa berpikir pihak lain juga melakukan pengorbanannya. Dan di sanalah aku, menghancurkan hubungan itu, bahkan menghancurkan hati Kim Jungwoo.



END


Amanah dari cerita ini adalah syukuri dan hargai apa yang sudah kita miliki. Rumput tetangga emang terkadang kelihatan lebih sedap dipandang, tapi itu cuma ilusi gaess.. Please pake banget jangan dicontoh ya si Chaerin ini. Jangan menyakiti kalau gak mau disakiti. 


Best Regards,

GSB

Comments

Popular Posts