#4 Cheater - Produce 45
Main Cast : Kim Jinhwan, Nam Chaerin (OC)
Minor Cast : Kim Jungwoo
Genre : Romance
Length : Drabble (1607 words)
Author : Salsa
**********
āKau mau kelapa muda?ā
āBoleh.ā
āItu pohonnya. Panjat sana.ā
āYAH!ā
Kami berdua tertawa. Jinhwan Oppa
kembali mengangkat kameranya dan mengambil gambarku.
āBerhenti memotretku sembarangan.
Aku jelek kalau sedang tertawa.ā
āKata siapa?ā
Jinhwan Oppa memotretku lagi.
āYah! Oppa!ā Aku langsung
mengulurkan tangan, mencoba merebut kameranya, tapi Jinhwan Oppa dengan cekatan
menghindar.
āBeruntung ya dia,ā katanya,
tersenyum miring menatapku.
āSiapa?ā
āKim Jungwoo,ā jawabnya ketus, nampak begitu iri. āPacarnya secantik ini.ā
Aku mendenguskan senyum malu.
Mustahil untuk tidak merona, bukan hanya karena perkataannya, tapi juga
tatapannya. Tatapan seorang Kim Jinhwan sama berbahayanya dengan busur panah. Tajam
dan menancap langsung ke hati. Ya, manusia tengil yang bersamaku sekarang
adalah Kim Jinhwan, cowok flamboyan super jail, super romantis, super
pengertian, tapi juga super tak tahu diri. Bagaimana tidak? Dia jelas-jelas
menggodaku, yang notabene merupakan pacar teman dekatnya sendiri, Kim Jungwoo.
Baiklah, aku tidak akan pura-pura
lugu di sini. Mungkinā¦. yeah, mungkin,
aku juga sama tak tahu dirinya dengan Kim Jinhwan. Sebab aku menerima semua
sikap manisnyaārayuan, gombalan, hadiah, rekaman lagu akustik dan lain-lain
darinyaādengan tangan terbuka.
Sesalah apa pun semua yang
kulakukan ini, aku tetap menyukainya. Aku tetap menyukai Kim Jinhwan beserta
segala perhatiannya. Aku tetap menikmati adrenalin yang menggelora di tiap-tiap
pertemuan rahasia kami, atau percakapan yang tak kalah rahasianya di malam hari.
Aku menyukainya, aku menikmatinya, dan aku tak mau mengakhirinyaābelum, tepatnya, apalagi sekarang, saat kesibukan
Kim Jungwoo melebihi kesibukan menteri.
Selingkuh itu baik asal tidak
ketahuan, begitu kan teorinya? Asalkan tidak ada yang tersakiti, maka tidak
apa-apa. Itu yang kucamkan kuat-kuat sampai sekarang.
Semua ini bermula sejak dua
minggu yang lalu, tepatnya sehari sebelum ulang tahunku. Hari di mana Jungwoo
Oppa membuat kesalahan besar. Dia yang sedang berada di luar kota menitipkan
kado ulang tahunku kepada temannya, Kim Jinhwan. Kami bertemu di minimarket dan
ngobrol sebentar. Lalu obrolan yang sebentar itu berlanjut via telepon, awalnya
cuma basa-basi, tapi lama-lama rasa nyaman mulai menelusup ke hati, dan kami
sama-sama tak bisa berhenti.
Segalanya berjalan kelewat
sempurna sampai rasanya semua ini tidak nyata. Aku benar-benar dicintai oleh
dua orang sekaligus. Jungwoo Oppa dengan segala kedewasaannya dan Jinhwan Oppa
dengan segala romantisme klisenya.
Hingga akhirnya hari itu tiba.
Hari bersejarah. Hari di mana semesta berpihak pada kebenaran. Hari di mana aku ketahuan.
Aku menelepon Jungwoo Oppa,
mengobrol sebentar sebagaimana rutinitas kami tiap malam. Diam-diam berharap
obrolan ini cepat berakhir supaya aku bisa bertukar pesan dengan temannya yang
klise dan tak kalah rupawan.
āJam segini masih di kampus?ā
[Ya. Rapatnya belum selesai.]
āAda Jinhwan Oppa juga?ā
[Iya, tapi dia sedang keluar.
Beli makan.]
āOh.ā
Saat itu aku berpikir betapa
sempurnanya kesempatan ini. Jinhwan Oppa sedang di luar jadi aku bisa
mengiriminya pesan dan dia bisa langsung menjawabnya tanpa menimbulkan curiga.
Aku berpikir begini karena biasanya dia selalu mengulur-ulur waktu untuk
membalas pesanku saat sedang di kampus, terlebih saat sedang bersama Jungwoo
Oppa, dan itu agak menyebalkan.
āOppa.ā
[Ya?]
āAku harus belajar.ā
[Ah, benar. Kau bilang besok
ulangan sosiologi, kan?]
Sebenarnya ulangannya diundur,
tapiā¦ āIya.ā
[Kalau begitu selamat belajar.
Tapi jangan paksakan diri. Kalau sudah lelah, lebih baik segera sikat gigimu
dan tidur,] kata Jungwoo Oppa dengan suara lembutnya yang khas.
Aku mengulum senyum, sejujurnya
agak risih mendengarnya bicara begitu. Dia benar-benar tak tahu caranya merayu.
Siapa yang akan tersipu jika tiap malam hanya disuruh sikat gigi dan cepat
tidur? Sebenarnya dia pacarku atau ayahku?
Kalau dengan Jinhwan Oppa, setiap
kali mengakhiri sambungan telepon dia akan bilang āmimpikan akuā dengan suara
seraknya yang menggoda. Kalimat bodoh yang sukses besar membuatku merona dari
ujung kaki sampai ujung kepala.
āOke. Selamat malam.ā
[Selamat malam.]
Aku mematikan sambungannya dan
dengan antusias melompat ke kasur, mengetikkan pesan kepada Jinhwan Oppa.
Sedang beli makan, ya? Beli apa?
Ya. Jinhwan Oppa memang sedang
beli makan di luar, tapi ponselnya entah bagaimana tertinggal di ruang rapat,
dan sebagai teman yang baik, Jungwoo Oppa tentu saja mengamankannya. Jika aku
boleh mengira-ngira apa yang terjadi, maka aku bisa membayangkan pesanku masuk
dan membuat ponsel Jinhwan Oppa berkedip persis di hadapan Jungwoo Oppa. Dan di
situlah ia mulai ikut bermain. Membalas pesanku selama sepuluh menit lebih,
berpura-pura menjadi Jinhwan Oppa, sebelum akhirnya merasa sudah cukup membaca
situasi. Dia juga pasti membaca percakapan kami sebelumnya, yang terlalu intens
untuk ukuran āsebatas temanā.
Jungwoo Oppa meneleponku dengan
ponsel Jinhwan Oppa dan sukses besar membuatku terkena serangan jantung.
Dan begitulah akhirnya.
Kami putus.
Hubungan Jinhwan Oppa dan Jungwoo
Oppa pun otomatis renggang.
Mungkin, karena aku terlalu
percaya diri bahwa hubunganku dengan Jinhwan Oppa tak akan pernah ketahuan,
karena aku amat yakin kami menyembunyikannya dengan baik, aku tak pernah
sekalipun membayangkan situasi macam ini akan datang. Aku tak tahu pada
akhirnya aku akan kehilangan seseorang sesempurna Kim Jungwoo dan mengalami
sakit hati sedalam ini.
Hari-hari berlalu dan Jinhwan
Oppa dengan setianya berusaha menghiburku.
[Tidak apa-apa,] katanya, saat
kami melakukan skype di suatu malam.
[Bukankah itu bagus, kita tak perlu sembunyi-sembunyi lagi?]
Dia benar. Kami tak perlu
sembunyi-sembunyi lagi.
Tapi mungkin itulah yang membuat
hubungan kami justru agak hampa belakangan ini.
Maksudku, ini bukan lagi hubungan
terlarang. Tak ada yang harus ditutupi. Tak ada yang harus dibohongi. Tak ada
pertemuan rahasia yang memompa adrenalin.
Tak ada percikan lagi.
Aku pasti bukan satu-satunya yang
merasakan ini. Sebab, seminggu setelah aku putus dengan Jungwoo Oppa, Jinhwan
Oppa pun jadi agak berbeda. Bisa kubilang, dia jadi lebih sensitif.
āApa susahnya sih bilang suka?
Masalahnya jadi runyam gara-gara dia bersikap seperti pecundang. Benar-benar
tolol, deh,ā komentarku, menanggapi satu adegan film yang kami tonton berdua di
bioskop.
Tanganku sudah masuk ke kantong
popcorn di pangkuannya saat Jinhwan Oppa tiba-tiba bicara dengan nada menegur.
āJangan bilang begitu lagi.ā Dia menoleh padaku dengan tatapan tidak senang.
Wajahnya yang tertimpa pantulan cahaya dari film nampak begitu kesal. āAku tak
suka perempuan yang bicara kasar.ā
āKasar?ā
Jinhwan Oppa tak menjawab. Ia
kembali menoleh ke depan, membenarkan posisi duduknya dengan dingin.
Aku memutar mata. Itu benar-benar
tidak beralasan. Gaya bicaraku sudah begini sejak lama dan biasanya dia tak
pernah keberatan. Kenapa baru protes sekarang? Dia terlihat sekali sedang
mencari-cari kesalahanku dan itu membuatnya tampak menyedihkan.
Dua hari setelah itu, keanehan
Kim Jinhwan makin menjadi-jadi. Ia memborbardir ponselku dengan banyak sekali
gambar screencapture laman
facebook-ku sendiri, dan itu masih jam dua pagi, di malam Selasa, sama sekali
tak peduli kalau besok aku sekolah.
Bisakah kau berhenti mengucapkan kata-kata sampah dan belajar jadi
perempuan yang lebih bermartabat sedikit?
Aku risih melihatmu bicara begitu. Kau pikir menyisipkan kata āfuckā
di setiap kalimatmu membuatmu tampak keren?
Benar-benar memalukan.
Aku membuka pesan itu setengah
sadar. Dia menandai semua kata yang menurutnya kasar dan menyuruhku
menghapusnya.
āApa-apaan, sih? Sudah gila, ya!ā
gerutuku tak habis pikir. Dia sungguh mengajakku bertengkar jam dua pagi?
Karena hal bodoh ini? Ya ampun! Bukankah mengumpat sedikit adalah hal normal?
Semua orang di kelasku juga mengumpat, kok. Sejujurnya anak SMA mana sih yang
bisa bicara lurus-lurus saja di sosial medianya tanpa sama sekali mengumpat?
Apa-apaan sih Kim Jinhwan tiba-tiba kolot begini?
Aku segera membuka laman facebook-nya, bermaksud balas dendam dan
balik meng-capture kata-kata kasar
yang pernah ia ucapkan, tapi nihil. Aku baru sadar ternyata Jinhwan Oppa adalah
orang yang taat pada prinsipnya untuk tidak berkata kasar.
Aku pun kembali pada pesannya.
Dasar sok suci! Kencanilah putri raja kalau kauā¦ Baru setengah
jalan dan aku menghapusnya kembali, berpikir ini bukan saatnya melempar korek
api ke atas bensin. Apalagi jika aku masih mau mempertahankan hubungan ini. Dan
ya, aku masih mau.
Akan kuhapus, tulisku singkat. Mengirimnya dan langsung mematikan
ponsel.
Saat aku menyalakan ponselku lagi
di pagi hari, ada rasa mencelos aneh di dada saat tahu ia tak merespons apa-apa.
Pada malam harinya, kami
melakukan skype seperti biasa, pura-pura
mengobrol dan tertawa ria seolah tak ada yang terjadi. Seolah hubungan kami
tidak menyedihkan sama sekali. Seolah kami adalah pasangan sempurna dan
segalanya terasa indah seperti mimpi. Namun, tak bisa dipungkiri durasi
perbincangan kami makin terpangkas tiap harinya. Bahan obrolan mendadak menjadi
sulit sekali dicari. Dan walau sama-sama tak mengakui, kami berdua sadar akan
betapa rapuhnya hubungan ini. Seolah kami hanya diikat oleh seutas benang saja, yang tipis, tak berarti.
Tapi kami tetap berusaha untuk
bertahan. Akan sangat memalukan jadinya kalau kami
putus hanya selisih sebulan dari terkuaknya hubungan perselingkuhan kami.
Seolah aku dan Jinhwan Oppa tak pernah saling suka sejak awal. Seolah kami
hanya ingin mempermainkan Jungwoo Oppa saja.
Tapi ini melelahkan. Hubungan ini
terlampau aneh untuk bisa dinikmati.
Dan kami berdua sama-sama tahu,
cepat atau lambat, hari ini akan terjadi.
Hari ini. Yeah, hari bersejarah yang
lain.
Kami terhubung dalam skype. Jinhwan Oppa memetik senar
gitarnya sambil menggumamkan lagu romantis, sementara aku menghadap laptopku
dalam posisi telungkup. Kepalaku kubaringkan miring di bantal, memandang timeline twitter di ponsel sambil
mendengarkannya bernyanyi.
Hingga tiba-tiba saja alunan
gitarnya berhenti.
[Nam Chaerin,] panggilnya dengan
nada tak biasa.
Aku menoleh ke kamera laptop,
lalu memandang layarnya, menatap mata Jinhwan Oppa yang bergetar putus asa. Rasanya,
tanpa harus mendengar lanjutan perkataannya pun, aku sudah tahu apa yang akan
terjadi.
[Kitaā¦ sampai sini saja, ya.]
Yeah, tentu. Aku tahu ini akan
terjadi. Aku sudah membayangkan skenario ini selama seminggu lebih.
Satu-satunya hal yang kurasakan sekarang
hanyalah kehampaan. Hatiku kebas. Aku menatapnya beberapa lama sebelum akhirnya
mengangguk singkat.
āOke.ā
[Tidurlah. Selamat malam.]
āYa.ā
Sisa malamku habis dengan curahan
air mata yang tak jelas untuk siapa. Keserakahanku menghancurkan segalanya.
Andai saja waktu itu aku bersyukur sedikit, mungkin aku masih bisa mendengar
suara lembut Jungwoo Oppa yang menyuruhku sikat gigi. Aku tak menyangka pada
akhirnya aku merindukan hal konyol itu setengah mati. Benar-benar menyedihkan.
Kalau sudah begini, siapa yang
bisa kusalahkan selain diriku sendiri?
Jinhwan Oppa tidak salah, tentu
saja.
Dia cumaā¦ datang di saat yang
kurang tepat, merayuku untuk bermain api, membuatku terbakar, lantas kewalahan
sendiri.
Siapa yang bisa kusalahkan selain
diriku sendiri?
Yeah, siapa suruh bermain api?
END
Comments
Post a Comment