#7 False Hope - Produce 45




Main Cast : Jeon Wonwoo, Nam Chaerin (OC)
Genre : Romance
Length : Drabble (2062 words)
Author : Salsa

**********


Selagi masih hangat, hari ini mari kita bicarakan hubungan asmara virtualku dengan Jeon Wonwoo, cowok yang Sora cetuskan kemarin.


Sebagaimana yang kusebut sebelumnya, aku adalah gadis pemilik pergaulan super luas karena keaktifanku di jejaring sosial. Sudah tak terhitung berapa banyak kenalan yang kudapat karena situs-situs itu. Jeon Wonwoo adalah salah satunya.



Caraku berkenalan dengannya amatlah unik. Kim Na Hee Eonnie, seorang fotografer sekaligus desainer muda yang keren (yang bisa kukenal berkat sosial media juga) mengupload foto dirinya bersama seorang pria berseragam SMA yang terbilang tampan. Dia punya senyum kalem yang membuat hati tenang dan yang terpenting, kami seumuran.


‘Tak sengaja bertemu anak ini lagi. Huff,’ captionnya.


Seperti biasa aku meninggalkan komentar. ‘Wah.. Siapa, Eonnie? Kenalkan padaku, dong’. Itu cuma komentar main-main tentu saja, tapi siapa sangka Na Hee Eonnie malah langsung me-mention-nya di bawah komentarku.


‘@Jwonwoo ada yang mau kenalan nih.’ 


Aku terkejut sekali melihat notifikasi itu dan lebih terkejut lagi saat Wonwoo membalasnya sedetik kemudian.


‘Boleh,’ katanya, tak lupa menyelipkan emot senyum.


Dan begitulah awalnya. Kami saling mengikuti di jejaring sosial dan mulai bertukar id LINE. Aku berbincang dengannya nyaris tiap malam, mengenal satu sama lain dan memperdalam hubungan. Walaupun cuma lewat aplikasi pengirim pesan, Jeon Wonwoo dengan magisnya mampu membuatku berbunga-bunga. Maksudku, harus kuakui selera humornya memang agak kering, tapi itu sama sekali tak mengurangi kesempurnaannya di mataku. Jeon Wonwoo benar-benar tipikal cowok ideal yang dimimpikan semua perempuan. Dia baik, sopan, rupawan, pintar, lucu, cemerlang dan semuanya. Jika dilihat dari jumlah pengikut di jejaring sosialnya, bisa dipastikan Jeon Wonwoo merupakan murid populer di SMA-nya sekarang, SMA swasta tersohor di kota Chungju, kira-kira 50 mil jauhnya dari kota tempat tinggalku, Seoul.


Hubungan asmara virtualku dengan Jeon Wonwoo berlanjut hingga kami sama-sama lulus SMA dan mulai menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswa. Wonwoo di SMA sudah sangat cemerlang, tapi ternyata ia—entah bagaimana—mampu membuat dirinya lebih cemerlang lagi di kampusnya. Cowok itu aktif di UKM dan terpilih jadi ketua BEM.


Dia beberapa kali memposting kegiatannya di kampus; menjadi MC untuk talkshow ilmiah, berfoto bersama timnya di ruang rapat, mempersiapkan pertunjukkan seni akbar dan sebagainya. Dia amat bersinar di setiap foto yang diuploadnya. Di kepalaku, Jeon Wonwoo adalah sosok panutan teladan bagi seluruh Mahasiswa se-Korea. Semua sifat baik ada padanya. Pengikutnya di Instagram pun makin melonjak lagi beberapa tahun terakhir ini. Kolom komentarnya jadi lebih ramai (kebanyakan junior-junior centil yang terang-terangan memuji atau minta follback) dan tak dipungkiri itu membuatku agak risih.


Imbasnya, hubungan kami jadi merenggang. Kesibukan Wonwoo membuatnya makin sering terlambat membalas LINE-ku. Jika dulu cuma terlambat 3 jam, sekarang dia bisa terlambat sampai 3 hari. Aku benar-benar tak mengerti dengannya. Dia online di mana-mana, mengupload foto di Instagram dan menyukai postingan orang-orang, tapi bisa-bisanya mengabaikanku sampai seharian. Hebat.


Ini sudah memasuki tahun kelima sejak aku mengenalnya dan perasaan sukaku pada Jeon Wonwoo kerap kali timbul tenggelam dimakan waktu. Kadang dia mengabaikan pesanku dan membuatku kesal, lalu hari selanjutnya (setelah aku mengganti foto profilku dengan quote insinuasi), dia akan langsung bilang,


Kau marah?
Maafkan aku hehe


Lalu mengirimkan stiker imut.


Dan tiba-tiba saja hatiku luluh. Jungkir balik dan kasmaran lagi. Seperti orang bodoh. Maksudku, kemungkinan besar dia bahkan tak tahu apa yang membuatku marah, tapi hanya karena ‘maafkan aku’ dan ‘hehe’ dan stiker bodohnya, aku begitu saja memaafkan. Kurang bodoh apa coba?


Kontras dengan kehidupan kampusnya, Wonwoo dalam hubungan kami justru benar-benar pasif, dia jarang memulai percakapan duluan. Saking jarangnya, kurasa tak berlebihan jika kubilang dia hanya melakukannya pada bulan purnama ketiga di tahun kabisat—atau mungkin lebih jarang lagi. Dia juga tak pernah mau ditelepon. Selain itu, kami juga hampir tak pernah bertengkar, tapi sekalinya bertengkar, itu amat membuat frustrasi. Wonwoo adalah tipikal orang yang akan mengirimkan esai maha panjang padamu, menjelaskan siapa yang benar dan siapa yang salah dengan bahasa baku dan penjelasan mendetail. Seolah-olah pesannya itu akan dinilai. Aku sejujurnya tak akan terkejut jika dia mengirimiku powerpoint beserta grafik dan diagram-diagram rinci jikalau kami bertengkar lagi suatu hari. Yeah, punya pacar pintar memang keren sampai kau berdebat dengannya, dia akan berubah menjadi sangat sok dan bertingkah seolah paling rasional sedunia. Menjengkelkan.


Oh, benar. Aku salah. Dia bukan pacarku. Aku sudah menunjukkan ketertarikanku selama lima tahun dan dia belum juga menembakku, kalau itu tidak menjelaskan betapa pasifnya dia dalam hubungan ini maka aku tak tahu apa lagi. Seperti yang kubilang, dia bahkan tak pernah mau ditelepon. Dan alasannya konyol sekali.


Hahaha kau serius? Itu gila! – Wonwoo

Aku tahu. Ya ampun aku bahkan belum menceritakan setengahnya. Dosenku memang agak gila. Kau tak akan percaya apa yang dia lakukan pada kami di hari Selasa.

Apa yang dia lakukan? - Wonwoo

Bisakah kita video call saja? Ini akan sangat panjang, melelahkan jika harus diketik.

Uh, bagaimana ya? Penampilanku sedang agak… - Wonwoo

Ya sudah, tidak usah video call, telepon saja.

Jangan, deh. – Wonwoo

Kenapa?

Aku malu hehe - Wonwoo


Saat aku bercerita pada Sora keesokan harinya, dia cuma mendesah dan berkata, “Kau tahu kan aku selalu berpikir Jeon Wonwoo itu agak introvert? Nah, informasi untukmu, orang introvert benci ditelepon,” dengan nada sok tahu andalannya, lantas kembali memainkan ponsel. Yeah, mungkin dia benar soal orang introvert. Tapi siapa bilang Jeon Wonwoo introvert? Ya ampun, Wonwoo jelas-jelas hidup untuk bersosialisasi. Kalau boleh kuingatkan, dia adalah ketua BEM, dia sering menjadi MC dan memberi sambutan di depan orang banyak, dia tergabung setidak-tidaknya di 8 organisasi dan ya Tuhan, temannya banyak sekali. Dia melakukan live di instagram dan terlihat nyaman-nyaman saja ditonton ratusan orang. Tak mungkin anak seaktif itu seorang introvert.


Lalu ketika aku mengeluhkan perihal kefrustrasianku atas Jeon Wonwoo pada Cheonsa (bukan hanya soal tidak mau ditelepon, tapi juga kepasifannya yang lain, seperti respons terlalu singkat, selalu terlambat menjawab, tidak pernah mengirim pesan duluan, belum menembakku juga, dan lain-lain), dia sambil memutar mata bilang, “Yang aneh itu kau atau Wonwoo? Kalau kau yang menyukainya, kenapa malah dia yang harus menembakmu? Untuk sekarang, kau harus ingat kalau kalian itu cuma teman, dan tidak seharusnya kau menuntut sebanyak itu dari seorang teman. Dan serius, Nam Chaerin, ini sudah lima tahun, bukankah sudah jelas kalau perasaanmu tidak timbal balik?”


Komentar Hara pun sama saja. Dia bilang, “Mungkin Jeon Wonwoo cuma ingin berteman. Lebih baik kau berhenti menyalahartikan kebaikannya sebagai rasa suka.”


Dan sejak saat itu, aku berhenti menceritakan soal Jeon Wonwoo kepada mereka. Perasaan kami tidak timbal balik? Wonwoo tidak menyukaiku? Yang benar saja! Kenapa mereka seenak jidatnya menyimpulkan seperti itu?! Ketiga gadis itu sama sekali tak tahu menahu betapa manisnya Wonwoo memperlakukanku, atau betapa nyamannya kami satu sama lain. Bukan mereka yang menjalin hubungan asmara virtual dengan Jeon Wonwoo, bukan mereka yang saling bertukar cerita tiap malam dan bukan mereka yang mengenal Wonwoo selama lima tahun. Mereka cuma tahu Wonwoo dari ceritaku saja dan itu hanya 1% dari keseluruhan gambarnya. Wonwoo jelas-jelas memberiku harapan. Walau dia tak pernah bicara gamblang, tapi ada sesuatu dari caranya memperlakukanku yang seolah-olah sedang menyuruhku menunggu. Maka itulah yang kulakukan. Menunggu.


Tapi sampai kapan aku harus menunggu?


Seperti yang kubilang, perasaanku terhadap Jeon Wonwoo sering kali timbul tenggelam. Dan sekarang, saat kami sama-sama memasuki semester akhir, perasaanku ini sedang berada di fase tenggelam yang riskan.


Dia tidak pernah mengirimiku pesan duluan dan itu artinya, jika aku sedang sibuk, kami bisa tidak saling berkomunikasi sampai sebulan.


Oh, kau akan ke Seoul minggu depan? Aku membaca statusmu..

Ya. Kebetulan ada urusan di sana. - Wonwoo

Hebat. Akhirnya bisa ketemuan ^^

Benar. - Wonwoo

Hubungi aku kalau sudah di sini, ya~

Oke. – Wonwoo


Tubuhku langsung bergairah senang hanya karena membayangkan kami akan bertemu. Sebenarnya aku sudah beberapa kali menyusun rencana untuk menemuinya di Chungju. Aku berencana untuk datang di hari ulang tahunnya sambil membawa kue dan membuatnya terkejut, tapi entah mengapa rencana itu selalu urung kulakukan di detik terakhir.


Uh, mungkin, jika aku berbesar hati sedikit, aku akan bilang aku tahu penyebabnya. Yeah, penyebabnya adalah rasa takutku sendiri. Rasa takutku akan reaksinya. Bagaimana jika dia tidak senang? Terlebih mengingat SMS-nya di malam itu, malam ulang tahunnya yang ke-20.


Bagaimana jika tiba-tiba aku muncul di depan rumahmu besok pagi?

Aku akan sangat senang. – Wonwoo

Sungguh? Mungkin aku benar-benar akan melakukannya. Cuma butuh 2 kali transit dengan bus, kan?

Jangan melakukan sesuatu yang merepotkan. – Wonwoo


Aku tak pernah benar-benar mengerti apa maksud pesannya itu. Merepotkan siapa? Apa dia khawatir? Apa dia takut perjalanan jauh akan merepotkanku? Atau justru dialah yang tak mau direpotkan akan kedatanganku?


Salah satu kelemahan besar dari hubungan kami adalah kami hanya berbincang lewat tulisan. Tanpa sadar, aku jadi menentukan nada bicaranya semauku sendiri. Aku tak tahu apa ia benar-benar tertawa saat mengetik ‘haha’. Aku tak tahu apa dia benar-benar tersipu saat menggunakan emoji malu-malu. Aku tak tahu bagaimana ekspresi wajahnya saat membalas pesanku. Saat memikirkan itu, tiba-tiba aku sadar mungkin aku tidak pernah benar-benar mengenal Jeon Wonwoo. Yang kukenal hanyalah Jeon Wonwoo dalam pesan singkat, bukan Jeon Wonwoo di dunia nyata.


Aku serius saat aku bilang aku menyukainya. Aku bahkan menganggap gaya menulis pesannya yang aneh itu lucu. Dia sering menggunakan kata-kata baku, rajin mengirimkan stiker dan selalu mengakhiri kalimatnya dengan titik. Tapi bagaimana jika gaya menulisnya yang seperti itu justru adalah pertanda untuk menyuruhku berhenti? Dia sengaja mengakhiri kalimatnya dengan titik supaya terkesan dingin dan tak peduli. Lalu mengirimkan stiker sebagai jawaban karena malas bicara denganku, mungkin diam-diam berharap aku tak menemukan topik baru dan menyudahi obrolan malam kami lebih cepat. Atau mungkin dia sengaja menggunakan kata baku supaya aku risih.


Bagaimana jika sebenarnya Hara benar? Jeon Wonwoo masih membalas pesanku sampai sekarang hanya karena dia tak enak? Karena, seperti yang kita semua tahu, Jeon Wonwoo adalah orang baik. Dia tak mungkin tega menunjukkan rasa terganggunya dan membuatku sakit hati. Bagaimana jika sebenarnya dia tak pernah memberi harapan? Bagaimana jika aku saja yang kelewat berharap? Bagaimana jika sebenarnya ia tak pernah menyiratkan supaya aku menunggu? Bagaimana jika itu hanya imajinasiku?


Aku memikirkan semua itu semalaman dan membuat diriku resah selama berhari-hari, sampai akhirnya keresahan itu menguap sendiri.


Tanpa terasa, hari itu pun tiba. Hari di mana Jeon Wonwoo berada di Seoul.


Aku sibuk seharian. Bersama teman-teman sekelompokku, aku mengerjakan proyek kreativitas dari pagi sampai petang. Aku baru punya waktu untuk mengecek instagram saat sedang beristirahat sejenak kira-kira pukul 5 sore. Ternyata Wonwoo mengupload foto. Dia sedang menghadiri seminar, lokasinya di Seoul. Foto itu sudah bertengger di instagramnya sejak pukul 11 siang.


Aku mengecek notifikasi LINE-ku dan jengkel karena tak menemukan namanya. Sudah kubilang hubungi aku kalau sudah sampai di Seoul. Benar-benar, deh.


Jemariku bergerak cepat menuliskan pesan.


Kau di mana?


Aku menunggu jawabannya dengan sabar sampai teman sekelompokku memanggil lagi.


“Nam Chaerin, bisa bantu aku angkat kayu ini? Aku harus mengecat bagian bawahnya.”
“Ah, oke,” kataku, terpaksa berdiri, meninggalkan ponselku yang masih menyantol di chargeran.


Aku baru mengecek ponselku lagi saat sedang berjalan menuju motorku di parkiran. Wonwoo belum menjawab LINE-ku, tapi dia sudah mengupload foto baru di instagramnya. Kali ini gambar berbotol-botol soda dan kentang goreng, dia menandai empat orang, semuanya berdomisili di Seoul, dan lokasi restorannya hanya berjarak 30 menit dari rumahku. Foto itu sudah diupload sejak satu setengah jam yang lalu, dengan caption, ‘Hari yang menyenangkan. Rasanya tak mau kembali saja’.


Aku menyurukkan ponselku ke tas dan menstarter motor, berkendara pulang dengan hati gelisah. Ini sudah terlalu malam untuk ketemuan. Mungkin besok, pikirku mencoba positif. Mungkin dia mau bertemu denganku besok.


Aku sampai di rumah pukul Sembilan lebih. Setelah mandi dan bersih-bersih, aku kembali mengecek ponselku sambil berbaring. Jeon Wonwoo akhirnya membalas LINE-ku.


Aku di bus. – Wonwoo

Bus? Ke mana?

Ke Chungju. - Wonwoo

APA? KAU SUDAH PULANG LAGI?

Iya. Cuma sehari. - Wonwoo

Kenapa kau tak menghubungiku? Kubilang kan hubungi aku kalau sudah sampai di Seoul.

Ah, benar. Aku lupa.
Maaf hehe. – Wonwoo


Aku mendengus membacanya. Sebegitu mudahnya bilang maaf? Dia pikir aku akan memaafkannya begitu saja? Jangan gila. Mungkin kalau ini pertama kalinya dia datang ke Seoul dan ‘lupa’ menghubungiku, aku akan memaafkannya. Tapi ini sudah yang ketiga kali dan tak masuk akal rasanya kalau seseorang sebrilian Jeon Wonwoo selalu saja ‘lupa’. Ini menjelaskan betapa tidak berartinya aku di matanya.


Mungkin ini adalah akhir dari hubungan asmara virtual kami. Tunggu, aku tidak bisa menyebut ‘kami’ kalau cuma aku yang melibatkan perasaan di sini.


Baiklah, ralat, mungkin ini adalah akhir dari hubungan asmara virtual sepihakku. Sebagaimana kata Cheonsa, perasaanku kemungkinan besar tidak bertimbal balik.


Perasaan sukaku pada Jeon Wonwoo yang kerap kali timbul tenggelam pada akhirnya benar-benar tenggelam, sepenuhnya bersemayam di dasar, terkubur pasir dan mencelus ke inti bumi. Dan kupastikan perasaan bodoh itu tak akan pernah timbul ke permukaan lagi. Semuanya selesai. Kalau dia mau bicara denganku, dia harus menghubungiku duluan, karena aku bersumpah aku tidak akan melakukannya lagi.



END


Comments

Popular Posts