Vampire Bride - Part 10
Kebahagiaan yang dirasakan Ye Eun
setelah agenda belanja bulanan—sekaligus kencan bersama Yuta—di Selasa malam
telah lama menguap. Selagi hari demi hari berlalu (yang cuma ia habiskan dengan
bekerja dan kuliah), hubungannya dengan Yuta tampaknya kembali lagi seperti
semula, kembali menjadi deretan keambiguan dan perasaan hampa yang tak berujung.
Semenjak pulang dari Times Square,
mereka nyaris tak pernah bicara. Sebenarnya, tiap ada kesempatan, Ye Eun terus
mencoba mengajaknya bicara, tapi Yuta entah mengapa selalu menghindar. Dan
berhubung Ji Won masih setia menemani gadis itu tidur tiap malam, maka tak ada
alasan bagi Ye Eun untuk masuk ke kamar Yuta lagi. Tak ada alasan untuk dekat
dengannya lagi.
Situasi ini benar-benar aneh,
terutama bagi Ye Eun. Yuta bersikap seolah apa yang terjadi dua hari kemarin
tak ada artinya. Seolah jika Ye Eun mau mengobrol atau menyentuhnya dengan
bebas lagi, maka ia harus mengulang segalanya dari awal. Melalui fase-fase
ganjil, tarik ulur bak layang-layang dan saling meneriaki lagi. Ye Eun
penasaran setengah mati apa yang akan terjadi jika saja Ji Won tak datang malam
itu. Akan sejauh apa Yuta membawanya?
Tak ada yang terjadi selama
berhari-hari. Sampai akhirnya, saat Ji Won tiba-tiba melonjak bangun di dini
hari, menjerit dan menangis nyaring dengan ekspresi ngeri, Ye Eun tahu itu
pertanda ia harus melepas Ji Won dari rumah ini. Ye Eun bergegas menyalakan
lampu dan Ji Won memandangnya beberapa saat dengan matanya yang bengkak menghitam,
bersimpuh di ranjang, gemetar. Kemudian tampaknya ia menguasai diri.
“Maaf Ye Eun~a, maafkan aku, kau
tahu aku sangat menyayangimu, kan?” katanya parau, “tapi aku benar-benar tak
sanggup harus dihantui mimpi seperti ini tiap hari.”
Ye Eun merasa hatinya berhenti
berdetak mendengar Ji Won bicara seperti itu. Semua ini salahnya. Ji Won
sebenarnya tidak perlu tinggal di sini lagi sejak beberapa lama, tapi dirinya
terlalu egois untuk membiarkan sahabatnya itu pergi. Dia merangkak ke hadapan Ji
Won dan menggenggam tangannya erat-erat. “Aku mengerti.”
“Maafkan aku.”
“Tidak. Jangan minta maaf.
Sebenarnya aku yang harus minta maaf.”
“Apa maksudmu?” Ji Won
mengernyit.
“Moon Ji Won, aku senang tinggal
denganmu, aku tak mau kau pergi, jadi aku tak pernah bilang.”
“Bilang apa?”
“Maafkan aku.”
“Maaf kenapa?” Gemetar di tubuh
Ji Won berangsur-angsur menghilang. Sekarang dia lebih terlihat kesal dibanding
takut. “Bilang apa? Bicaralah yang jelas!”
“Aku sudah tidak mimpi buruk
lagi.”
Ji Won nampak tertegun. Ia
memandang Ye Eun sejenak sebelum menghela napas, lantas bertanya dengan agak
jengkel. “Sejak kapan?”
“Sepulang dari Jeonnam,” jawab Ye
Eun. “Waktu itu aku tidur di kamar Yuta dan…”
“KAU TIDUR DI MANA?!” Ji Won
berteriak memotong ucapan Ye Eun sampai gadis itu berjengit kaget.
“Yah! Kau yang menyuruhku tidur
di kamarnya.” Ye Eun membela diri. Memegangi dadanya yang berdebar kencang.
“Sudah gila, ya? Kapan aku
menyuruhmu begitu?”
“Di SMS!! Kau bilang ‘kalau kau
benar-benar takut, ada Yuta di bawah’. Perlu aku tunjukkan SMS-nya?”
“Ya ampun, maksudku, kalau
misalnya kau mimpi buruk lagi, atau kau benar-benar takut sampai tak bisa
tidur, kau harus ingat bahwa kau tidak sendirian, karena ada Yuta di bawah.”
Ye Eun terdiam. Ia berusaha
mencari cela dari kalimat Ji Won supaya bisa mendebatnya, namun pada akhirnya
ia menyerah. Merasa konyol sekali karena tak memikirkan kemungkinan itu. Dia
benar-benar berpikir Ji Won menyuruhnya tidur di bawah, di kamar Yuta.
“Begitu?” gumamnya lugu.
“Kau itu benar-benar, ya!”
“Jangan salahkan aku! Pesanmu
ambigu.”
“Lalu reaksinya apa?”
“Dia biasa saja.”
“Aku tak percaya kau tidur di
kamarnya dan tak bercerita padaku sama sekali. Sekarang katakan dengan detail
apa yang terjadi!” tuntutnya.
Ye Eun menelan ludah. “Moon Ji
Won.”
“Ada apa? Kenapa nada suaramu
begitu?”
“Sepertinya…,” kata Ye Eun cemas, “aku
mulai menyukainya.”
“Menyukai Yuta?”
Ye Eun menggigit bibirnya,
mengangguk.
**********
Pada Sabtu malam yang tenang,
saat Yuta sedang melakukan rutinitasnya—melamun memandang gorden
jendela—pintunya tiba-tiba saja diketuk. Itu adalah Ye Eun. Rupanya Ji Won
sudah menyerah untuk menetap di rumah ini.
Mereka saling berpandangan selama
beberapa saat sebelum akhirnya, dengan malu-malu, gadis itu menawarkan untuk
tidur bersama lagi. Yuta bergeming di tempatnya. Ia tak mungkin menerima
tawaran itu. Tidak dalam kondisi seperti ini.
Tak punya pilihan lain, Yuta pun menolak.
Ia menutup pintu kamarnya, meninggalkan Ye Eun yang memandangnya dengan tampang
syok tepat setelah ia dengan dinginnya berkata ‘bukankah kau sudah tidak mimpi
buruk lagi? Kenapa mau tidur denganku?’.
Walau begitu, Yuta merasa sangat
putus asa ketika berjalan kembali ke ranjangnya. Ia sudah stres berat dan
kurang tidur sejak Selasa, dan melihat betapa terlukanya Ye Eun karena
perkataannya barusan hanya akan menambah depresinya saja. Yanan dan Edawn
benar, dirinya memang ‘tersesat’ dan ‘hilang akal’. Itu sebabnya ia tak menghubungi
salah satu dari mereka sama sekali sejak dari Jeonnam. Tak ada gunanya, mereka
tak mengerti perasaannya.
Yuta berusaha mengingatkan
dirinya sendiri bahwa ini bukan kali pertama ia harus melakukan ritual, ia
sudah melakukannya berkali-kali. Yuta berusaha mengingatkan dirinya bahwa
ritual pengantin vampir tak pernah membuatnya seragu ini dan seharusnya, ia
memang tidak perlu merasa ragu sama sekali. Semua ini sudah menjadi konsekuensi
dari hak istimewanya untuk hidup abadi. Tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini.
Jika dia masih mau hidup untuk seratus tahun ke depan, maka ia harus melawan
perasaan tolol di dadanya dan menjalankan ritual sebagaimana seharusnya.
Tapi perasaannya tak mau hilang.
Justru karena terlalu sering dipikirkan, perasaannya malah makin menguat dan
menguat lagi. Dan Yuta benar-benar tak tahu harus apa.
**********
“Tapi kenapa dia tiba-tiba
bersikap begitu?”
“Mana kutahu,” sahut Ye Eun.
“Pokoknya aku tak akan kembali ke sana lagi.”
“Tapi jangan seenaknya pindah ke
rumah orang begini, dong. Sudah kubilang rumahku sempit.”
“Maaf, tapi dia membuatku kesal
sekali,” kata Ye Eun, yang benar-benar langsung mengemas barang dan angkat kaki
setelah dipermalukan oleh suaminya yang kurang ajar.
Ji Won menatap Ye Eun dan
mendesah. Ini sudah pukul 11 malam dan yang masih terjaga di dalam rumahnya
cuma dirinya dan adik laki-lakinya, Wooseok. Ia tak mungkin menyuruh ketiga
adik perempuannya yang lain untuk bangun dan mengubah formasi tidur supaya Ye
Eun bisa ikut muat di kasur.
“Bukankah See Ra sudah pindah ke
sekolah asrama yang di Anyang? Harusnya ada satu tempat tersisa untukku, kan?”
“See Ra biasanya tidur di kamar
Ibu. Dan sekarang tak ada yang menggantikan posisinya di situ.”
“Oh.”
“Tapi kau benar. Tidak ada cara
lain,” putus Ji Won. “Aku akan tidur bersama ibuku. Kau bisa tidur di kamarku
bersama adik-adikku yang lain.”
“J-jangan begitu,” tolak Ye Eun
tak enak. Dia tahu sekali betapa tidak akurnya Ji Won dengan ibunya. Ye Eun tak
mau sahabatnya itu berkorban sampai seperti ini hanya untuk dirinya. “Kau
tidurlah di kamarmu. Aku tidur di ruang tengah saja.”
“Jangan! Wooseok masih sering
mondar-mandir di ruang tengah sampai jam tiga.”
“Apa?”
“Yah, pokoknya jangan. Walaupun
kau menyebut anak itu kalem, pendiam, terlalu polos atau apalah, tapi dia tetap
laki-laki dewasa, dan kau juga perempuan dewasa. Jadi lebih baik tidak ada yang
tidur di luar. Apalagi kau ini anaknya mesum.”
“Yah!!”
Ji Won terkekeh. “Sebenarnya aku
ingin sekali menyuruh Wooseok mengalah dan tidur di ruang tengah, jadi kita
bisa menggunakan kamarnya. Tapi anak itu agak egois kalau urusan privasi. Dia
tak suka kamarnya dimasuki siapa pun. Jadi aku minta maaf.”
Ye Eun benar-benar tidak enak.
Harusnya dialah yang minta maaf. Baru juga kemarin dia bilang pada Ji Won untuk
kembali ke rumahnya dan tidur dengan tenang, sekarang ia malah merepotkan gadis
itu lagi.
“Ayo masuk.”
“Moon Ji Won.” Ye Eun menahannya,
kemudian bicara dengan nada sedih. “Maafkan aku, ya. Sebenarnya dosa apa sih
kau ini sampai punya teman sepertiku?”
“Itu yang kupikirkan dari dulu,”
desah Ji Won sambil mengangguk dengan ekspresi yang tak kalah sedihnya. Kemudian
memutar bola mata, berucap ketus, “Jangan buat drama, deh! Ayo masuk.”
**********
Yuta baru menyadari bahwa Ye Eun
tidak lagi pulang ke rumahnya setelah tiga hari. Dan mungkin, jika ia tidak
mengamati volume air di galon dan persediaan camilan yang tetap utuh, ia tidak
akan menyadari kepergian gadis itu lebih lama lagi.
Matahari sudah naik cukup tinggi
saat Yuta melangkah masuk ke restoran tempat Ye Eun bekerja. Matanya beredar
mencari sosok yang ia kenal sebelum akhirnya berjalan mendekati pria di
belakang kasir.
“Aku ingin bertemu Shin Ye Eun.”
“Dia keluar dengan Ji Won Noona.”
“Ke mana?”
“Mereka izin cari apartemen.”
“Cari apartemen? Buat apa?”
“Maaf, apa aku terlihat seperti
Google? Berhentilah bertanya padaku! Aku tidak digaji untuk ini.
SELANJUTNYA!—ya, nona, silahkan.”
Seseorang di belakang Yuta maju
dan menyebutkan pesanannya. Yuta menunggu di sebelahnya sampai pembeli itu
selesai lalu kembali berdiri di hadapan si kasir.
“Lee Donghyuck-ssi,” kata Yuta,
membaca nametag-nya.
“Aku akan telepon polisi.”
Donghyuck meraih pesawat telepon hitam di sebelah mesin kasir.
“Aku suami Shin Ye Eun.”
Donghyuck berhenti memencet nomor (nomor rumahnya, dia tentu saja tak benar-benar menghubungi polisi). Teleponnya perlahan-lahan ia letakkan kembali. Penjaga kasir itu memandang Yuta dengan pandangan sinis sebelum menyunggingkan senyum mencemooh. “Jadi kau orangnya. Nakamoto Yuta. Kalian bahkan belum sebulan menikah, apa yang kau lakukan pada Ye Eun Noona sampai dia membencimu seperti itu?”
“Dia membenciku?”
“Astaga, kau tak tahu? Katanya
kau sakit jiwa.”
“Sakit jiwa?”
“Bisakah kau berhenti mengulang
ucapanku?” sahut Donghyuck jengkel.
“Tapi aku tidak sakit jiwa. Aku
cuma… maaf, aku tak bisa menjelaskannya padamu.”
“Aku juga tidak mau tahu,”
Donghyuck nampak bosan. “Bisakah kau pergi sekarang, Nakamoto Yuta-ssi? Kau
membuat aura di ruangan ini jadi suram.”
“Tunggu, mungkin kau bisa
membantuku.”
“Tidak. Aku tidak bisa. Sekalipun
bisa, aku tak mau. Sudah kubilang aku tidak digaji untuk ini.”
Yuta mengeluarkan dompet dari
saku belakang jinsnya dan mengulurkan beberapa lembar uang yang mampu
diraupnya. Donghyuck terperanjat. Bola matanya terlihat seperti akan melompat
keluar.
“Apa yang bisa saya bantu,
Paduka?” kata Donghyuck dengan nada teramat sopan. Tangannya mengulur cepat
menyambar uang di tangan Yuta. Itu gajinya sebulan.
“Apa kau pernah merasakan dadamu
sesak?”
“Tidak. Aku tidak punya asma.”
“Asma?”
“Maafkan aku, tapi asma adalah
penyakit dan itu artinya kau harus konsultasi ke Dokter. Walaupun aku terlihat
pintar, tapi aku cuma lulusan SMA.”
“Tunggu, tidak. Aku tidak sakit.
Ini soal Shin Ye Eun, aku bersumpah ada debaran aneh yang membuatku sesak saat
melihatnya. Aku tak tahan lagi, ini sudah berlangsung seminggu. Aku sudah
merasakan ini sejak kami masih di Jeonnam. Pertanyaanku…”
“Uangmu cuma cukup untuk satu
kali pertanyaan,” sela Donghyuck.
Yuta mengambil seraup uang di
dompetnya lagi. Mata Donghyuck langsung bersinar dan bagai sudah terprogram ia
kembali ke mode ramahnya lagi.
“Baiklah, Paduka. Silahkan
lanjutkan pertanyaan Anda—maaf Ahjussi, kami sudah tutup. Yeah aku tahu ini
masih siang, tapi kumohon.. cari restoran lain saja—maaf atas gangguannya.
Silahkan bicara.”
Seorang pria berkemeja rapi (yang
nampaknya merupakan karyawan swasta yang hendak makan siang) di belakang Yuta
pun berbalik pergi dengan tampang bingung. Rekan-rekannya yang sudah duduk di
meja terpaksa berdiri lagi sambil berbisik-bisik heran.
Yuta mengabaikan semua itu dan
bicara dengan khawatir, “Satu-satunya yang kupikirkan saat melihat Ye Eun
adalah aku ingin membuatnya bahagia. Aku ingin melindunginya dari orang ceroboh
yang suka menumpahkan kopi dan memeluknya sambil tidur dan mengobrol semalaman
dan bercanda sambil mendorong troli dan menciumnya setiap hari. Aku benar-benar
ingin melakukan banyak hal bersamanya sampai-sampai aku tak ingin membuatnya
mati.”
Donghyuck yang semula
mendengarkan semua keluh kesah Yuta sambil tersenyum ramah tak bisa menahan
keterkejutannya di kalimat terakhir. “Wah,” katanya kehabisan kata. “Yang
terakhir agak tak terduga, haha.”
“Jadi apa sebenarnya yang terjadi
padaku? Aku tak pernah merasakan perasaan seajaib ini sebelumnya, aku tak
pernah merasa wajahku menghangat saat berhadapan dengan pengantin-pengantinku
yang terdahulu. Dan aku tak bisa cerita pada teman-temanku karena mereka tak akan
mengerti.”
Donghyuck mengernyit dalam,
terlalu banyak hal ganjil dari ucapan Yuta sampai ia tak tahu harus mulai
bertanya dari mana. Dan Yuta sejujurnya sadar akan betapa anehnya dirinya
sekarang. Bagaimana bisa ia bicara begitu blak-blakan pada orang asing yang
jelas-jelas manusia? Tapi dia tak punya pilihan lain. Yuta benar-benar sudah
sefrustrasi itu. Dia sudah merenung hampir seminggu tanpa menemukan titik temu.
Dia benar-benar harus tahu apa yang terjadi padanya supaya bisa segera
menentukan sikap.
“Oke, kalau kita mengabaikan
bagian ‘membuatnya mati’ itu (dan bagian selanjutnya yang benar-benar membuatku
bingung), maka bisa dipastikan kau jatuh cinta.”
“Aku? Jatuh cinta?”
“Yeah. Haha.” Donghyuck
benar-benar heran melihat reaksi berlebihan Yuta. Pria itu terbelalak dengan
wajah tegang seolah baru saja divonis mati. “Kau jatuh cinta pada istrimu
sendiri. Kejutan. Haha. Benar-benar tak terduga, ya.”
“Tidak mungkin.” Yuta mengabaikan
ejekan Donghyuck dan bergumam pada dirinya sendiri. Tubuhnya meremang dan
dadanya terasa disentak dari dalam. “B-baiklah. Aku harus pergi.”
“Yeah, bagus.”
“Terima kasih atas bantuanmu, Lee
Donghyuck-ssi.” Dengan wajah pucat, Yuta berbalik dan segera keluar dari
restoran.
Donghyuck mengamati Yuta yang masih
terlihat dari dinding kaca sembari mengernyit, “Dasar orang kaya sakit jiwa.”
Pria itu lantas mengalihkan perhatiannya pada uang di tangannya dan praktis
tersenyum lebar. “Aku suka orang kaya yang sakit jiwa.”
**********
Langit sudah hampir gelap ketika
Ye Eun dan Ji Won akhirnya menemukan apartemen yang cocok hari itu. Keduanya
duduk sambil minum teh di ruang tamu bibi pemilik apartemen, nampak lelah
sekali karena sudah berkeliling sejak siang. Ye Eun tentu tak mau membebani Ji
Won lebih lama dengan menumpang di rumahnya, dan ia pun sama sekali tak punya
niat untuk melangkahkan kaki di istana Yuta lagi, jadi mencari apartemen baru
adalah satu-satunya solusi untuk saat ini.
“Apa kalau saya bayar uang
mukanya sekarang, saya bisa langsung pindah malam ini?”
“Tentu saja. Apa kau mau bayar
sekarang?”
“Iya.”
“Sebentar, saya ambilkan buku
kuitansinya.” Bibi itu tersenyum ramah seraya bangkit berdiri.
Ji Won menunggu sampai wanita itu
menghilang di balik sekat sebelum duduk menyerong ke arah Ye Eun dan meremas
tangannya. “Kau yakin dengan pilihanmu?”
“Apa maksudmu? Tentu saja yakin.
Apartemennya bagus, jauh lebih bagus dari apartemenku yang dulu, harganya juga
sesuai dengan kantongku. Iya sih lumayan jauh dari kampus tapi…”
“Bukan apartemennya, tapi Yuta,”
sela Ji Won. “Kau yakin mau meninggalkannya?”
Ye Eun memutar bola matanya.
“Baru saja kau bilang padaku
kalau kau menyukainya. Apa hubungan kalian sama sekali tidak bisa diperbaiki?
Harusnya kalian bicarakan baik-baik apa masalahnya.”
“Tidak, terima kasih. Aku
benar-benar muak dengan sikapnya. Dia terus-menerus berubah jadi orang berbeda
dan aku tak mau hidup dengan orang aneh seperti itu.”
“Intinya kau marah karena tidak
diperbolehkan tidur di kamarnya,” gumam Ji Won mengejek.
“Yah! Moon Ji Won! Sudah kubilang
aku marah karena caranya bicara. Kalau memang tidak mau, bisa kan bilangnya
baik-baik saja? ‘Maaf, aku sedang ingin
sendiri dulu’ atau apalah… eh, si berengsek ini malah ‘kenapa mau tidur denganku?’
dengan muka kesal lalu mendengus padaku. Dasar gila. Memangnya aku salah apa!”
“Oke, oke, tidak usah
teriak-teriak, kita di rumah orang.”
“Kau duluan yang mulai!”
“Iya, terserah. Yang pasti, aku
benar-benar ingin kau bahagia,” kata Ji Won tulus. “Kalau menurutmu menjauhi
Yuta adalah yang terbaik untukmu maka sebisa mungkin aku akan mendukung
keputusanmu itu. Tapi aku tetap berpikir alangkah lebih baik jika kalian bertemu dulu. Kalian berdua harus belajar menggunakan metode mujarab yang biasa disebut 'komunikasi'. Itu sangat ampuh.”
Saat itu, bibi pemilik apartemen
datang dan kembali duduk di hadapan mereka.
“Ini,” katanya penuh semangat,
mengulurkan kuitansi ke arah Ye Eun, “tanda tangan di sini.”
Ye Eun membubuhkan tanda
tangannya kemudian mengambil sejumlah uang dari dalam dompet dan
mengulurkannya.
“Semoga betah ya, Nona Shin. Ini
kuncinya. Kau bisa langsung…”
BRAKK
Tiba-tiba saja seseorang
menyeruak masuk hingga membuat seisi ruang tamu terkejut. Itu Yuta. Peluh
membasahi wajahnya dan dia kelihatan berantakan sekali. Matanya yang memerah
melirik kunci yang tengah disodorkan ke arah Ye Eun dan tanpa basa-basi
langsung merebutnya, kemudian melemparnya begitu saja ke luar.
“APA YANG KAU LAKUKAN!” jerit Ye
Eun.
“HARUSNYA AKU YANG BERTANYA
BEGITU PADAMU! APA YANG KAU LAKUKAN! KENAPA KAU TAK PULANG!”
“Kau baru sadar sekarang, huh?
Aku sudah tidak pulang sejak lama.”
“Kenapa?”
“Ya ampun,” erang Ye Eun. “Kau
masih bisa-bisanya tanya kenapa?”
Ji Won yang tak tahan dengan
situasi ini langsung menarik Ye Eun dan mendorong Yuta keluar, sementara
kepalanya terus ia bungkukkan dan bibirnya terus menggumamkan permintaan maaf
kepada bibi pemilik apartemen yang masih syok. “Saya akan carikan kuncinya, Bi.
Tenang saja.”
Ji Won baru mengempas siku Ye Eun
begitu mereka sampai di teras. “Nah, cecunguk sinting, silahkan lanjut
berteriak. Selesaikan masalah kalian. Biar aku yang cari kuncinya,” kata Ji
Won, tak lupa mendengus keras sebelum berlalu.
Namun alih-alih berteriak, mereka
justru tak membuka mulut sama sekali. Keduanya memalingkan wajah ke arah yang
berlawanan, menolak untuk saling memandang. Yuta menggenggam jaket kulitnya sedikit
terlalu kuat sementara suara napasnya yang terengah berangsur-angsur normal.
“Bagaimana bisa kau menemukanku?”
tanya Ye Eun akhirnya.
“Kasir di restoranmu, Lee
Donghyuck, dia bilang kau sedang cari apartemen. Jadi aku mencari di setiap
tempat di kota ini yang ada penyewaan apartemennya. Jadi, yeah… kenapa kau
kabur dariku?”
“Karena kau bajingan, tentu saja.”
“Apa salahku?”
“Apa salahmu? Serius, apa
menghindariku berhari-hari tidak salah di matamu? Apa bersikap dingin tanpa
alasan dan mendengus padaku tidak salah, huh?”
“Maafkan aku. Aku tak tahu kau
sepemarah itu.”
“YAH!”
“Aku cuma sedang berpikir. Ada
sesuatu yang menggangguku.”
“Kalau begitu lanjutkan saja
berpikirnya. Aku akan tinggal di apartemen baruku sampai kau selesai.”
“Aku sudah selesai.”
“Kau yakin?” Ye Eun bertanya
dengan nada menyindir sambil menyedekapkan tangannya. “Aku benar-benar muak dengan
sikap bipolarmu. Kalau kau tidak menyukaiku, maka ayo berpegang pada perjanjian
awal kita. Tapi kalau kau suka, aku amat berharap kita bisa jadi pasangan
normal.”
Yuta tahu ‘pasangan normal’
terdengar amat fana dan tak terjangkau untuk makhluk sepertinya, tapi dia masih
punya dua setengah bulan untuk menikmati itu, untuk menikmati rasanya menjadi
normal dengan Shin Ye Eun. Dan Yuta berharap semesta membiarkannya menjadi
egois untuk kali ini. Hanya untuk dua setengah bulan ini.
“Yeah.” Suara Yuta terdengar
lebih rendah. “Ayo jadi pasangan normal.”
“Jangan sembarangan memutuskan. Pikirkan
baik-baik! Ayo bertemu lagi lusa atau…”
“Tidak ada yang harus dipikirkan.”
Yuta menyambar. “Aku.. jatuh cinta padamu,” lanjutnya sungguh-sungguh, seolah
hidupnya bergantung pada itu. Nada bicara Yuta yang tulus serta-merta membuat
Ye Eun terenyuh. Gadis itu sudah berkali-kali mendengar Yuta berkata ‘aku
menyukaimu’ tapi tak pernah setulus ini. Dan ia rasa, mungkin satu kesempatan
lagi tidak akan menyakiti siapa pun.
Ye Eun memandang Yuta dan
mendesah. Mengulur-ulur waktu sebelum akhirnya berkata, “baiklah.” Ia menghela napas. “Tapi aku benar-benar akan
membunuhmu jika kau tiba-tiba bersikap aneh dan menghindariku lagi.”
Yuta merasakan tali yang membelit
dadanya akhirnya terlepas mendengar perkataan itu. Ia tersenyum lega. Wajahnya
terangkat dan tatapannya melembut. “Yeah, bunuhlah aku,” dia bergumam,
mengulurkan tangannya menggenggam tangan Ye Eun. “Toh sejak awal nyawaku memang
bergantung padamu.”
**********
Pada akhirnya, Yuta dan Ye Eun
membantu Ji Won mencari kuncinya. Ye Eun mengembalikan kunci itu pada bibi
pemilik apartemen dan menolak uang mukanya dikembalikan sebagai bentuk
permintaan maaf.
Ye Eun kemudian mengikuti Yuta
pulang, bergenggaman tangan sepanjang jalan dengan perasaan tenteram.
Dan mulai malam itu, tidak
berlebihan rasanya jika ia bilang segalanya berubah. Tidak ada lagi tarik ulur
dan kecanggungan konyol. Ye Eun benar-benar bisa leluasa menyentuh Yuta, dia
membaringkan kepalanya di pangkuan pria itu sembari menonton drama di TV.
Sebelah tangan Yuta memainkan rambutnya sementara sebelahnya lagi bertautan
dengan jemarinya. Pria itu lebih sering menunduk mengamatinya daripada
memerhatikan drama di TV. Rambutnya yang hitam menjuntai di kening dan ia akan
menyunggingkan senyum lima menit sekali. “Ada apa?” Yuta menggeleng. “Bukan
apa-apa. Aku cuma bahagia.”
*********
Hari demi hari berlalu begitu
indahnya sampai-sampai Ye Eun mengira mereka sudah berada di surga. Ye Eun
mengajari Yuta bermain kartu, jadi mereka bisa bermain semalaman, lalu tidur
dengan muka penuh coretan (yang kalah dicoret dengan lipstik, itu aturannya).
Dan kala pagi datang, hal pertama yang dilihatnya adalah Yuta, dan walau pria
itu selalu bangun lebih awal, ia tak akan bergerak dulu sampai Ye Eun buka
mata.
Rutinitas mereka seketika
berubah. Sekarang, Yuta selalu ikut keluar kamar dan menemani Ye Eun sarapan.
Dia akan tersenyum selagi gadis itu menceritakan sesuatu yang lucu sembari
mengoleskan rotinya dengan mentega. Dan setiap itu terjadi, setiap senyumnya
muncul, Ye Eun selalu ingin menariknya melewati meja dan menempelkan bibirnya
di senyum sang pria. Itu adalah respon standar dari melihat senyuman Yuta sejak
mereka di Jeonnam. Lalu sebelum Ye Eun—terpaksa—harus berpisah dari Yuta (di
depan restoran, atau di gerbang kampus) ia akan menghela napas. Helaan napas
untuk menguatkan diri. Lalu mencuri satu-dua kecupan sebelum benar-benar
memulai hari.
Dan saat akhir pekan, mereka akan
menghabiskan sepanjang pagi untuk duduk di pinggir kolam renang, kaki menjulur
ke dalam air. Mengobrol berjam-jam atau cuma diam menikmati kehadiran satu sama lain.
Tak ada satu detik pun yang membosankan jika
sedang bersama. Ye Eun suka memutar lagu dan bersenandung kecil saat mereka
duduk di rumput sintetis di lantai tiga. Memandang langit gelap yang nampak
gemerlapan karena kerlap-kerlip bintang. Atau, mereka akan membangun tenda,
berbaring bersebelahan di dalamnya sementara Ye Eun membacakan bab favoritnya
di novel seri Harry Potter (dia punya banyak sekali bab kesukaan di buku
keempat). Yuta tak pernah punya hobi maupun obsesi terhadap sesuatu, dan ia
tahu Ye Eun sedang mencoba membuatnya menyukai apa yang dia sukai (seperti
lagu-lagu BTS yang diputar berulang-ulang, serial elementary, tokoh-tokoh di
Harry Potter dan semuanya), tapi suara Ye Eun begitu menenangkan, begitu enak
didengar dan matanya berpijar penuh gairah setiap kali ia membicarakan
hobi-hobinya itu, dan semua pancaran kebahagiaan yang meledak-ledak tersebut
membuat Yuta gelap mata sampai-sampai dirinya tidak keberatan jika pada
akhirnya ia benar-benar menyukai semua hobi Ye Eun juga.
Kadang, saat gadis itu merasa dia
terlalu banyak bicara, ia akan balik bertanya pada Yuta tentang apa yang
disukainya. Tapi Yuta sungguh tak punya apa-apa untuk diceritakan. Jadi ia akan
bilang, “aku cuma menyukaimu,” dan Ye Eun akan langsung memutar bola mata,
seakan-akan ia jengah, namun lantas tersenyum sambil menyikut rusuknya.
Ye Eun bicara tentang banyak hal.
Dia selalu punya sesuatu untuk dikatakan. Saat Yuta pertama kali melihat tanda
lahir di punggung Ye Eun, gadis itu mendesah frustrasi dan bercerita sebenci
apa dia pada tanda lahir itu. Ukurannya memang cukup besar dan Ye Eun bilang ia
ingin sekali menutupinya dengan tato, tapi ia tak tahu harus membuat tato
apa—serta tak tahu punya nyali untuk melakukannya atau tidak. “Mungkin inisial
namamu,” katanya, entah bergurau atau serius. Yuta cuma tersenyum, menyentuhkan
ujung jarinya lembut ke tanda lahir itu. Sama sekali tak mengerti kenapa Ye Eun
begitu membencinya. “NYT. Bagaimana?” Yuta tersenyum lebih lebar dan mengangkat
bahu. “Terserah padamu.”
Sore itu, mereka sedang berada di
dalam tenda di lantai tiga. Langit di luar berona merah dan oranye, menuntun
matahari untuk tenggelam. Ye Eun sudah memuji-muji Sirius Black sejak makan
siang (karakter fiksi terbaik yang pernah
ada, katanya, tak lupa menceritakan bagaimana hebatnya ia menangis saat
Sirius Black mati) dan sekarang tengah membacakan bab ketiga puluh empat dari
buku kelima. Yuta yang berbaring di sebelahnya terbangun (dia tertidur tanpa
sepengetahuan Ye Eun) dan agak terkesima begitu sadar bahwa gadis itu masih
membaca—walau suaranya jadi lebih serak, lebih parau, dan mendengarnya bicara
seperti itu membuat tenggorokan Yuta ikut terasa sakit sampai ia harus
membasahi bibirnya.
Yuta mengulurkan tangannya untuk
menutup buku di tangan Ye Eun, lalu berguling ke atasnya sebelum gadis itu
sempat protes.
“Apa yang kau lakukan? Yah! Aku
belum menandai halamannya,” serunya dengan suara berbisik seperti sedang flu.
Rambut Yuta—yang sudah lebih halus karena rajin dipakaikan
kondisioner—menjuntai di keningnya dan ia menyeringai terhibur sementara Ye Eun
terus mengomel di bawahnya, menggerutu dengan suara nyaris habis bahwa sebentar
lagi mereka akan sampai di bab 35 (bab di mana Sirius mati) dan atmosfer
menegangkannya akan hilang jika ia berhenti membaca di bagian tadi.
“Istirahat dulu, Princess. Kau akan kehilangan suaramu.”
“Tapi…”
“Kau boleh lanjut bacakan aku
lagi nanti. Setelah 30 menit.”
“Kenapa 30 menit?”
Yuta tersenyum. Mendekatkan
wajahnya dan mengatakan, “karena aku akan selesai dalam 30 menit,” dengan suara
rendah sebelum menarik lepas bajunya melewati kepala dan memagut bibir Ye Eun
dengan bibirnya. Berbaik hati membasahi bibir Ye Eun yang kering dengan itu.
*********
“Tunggu, apa aku salah lihat?”
Itu adalah hari libur yang lain.
Ye Eun membeli bath bomb yang di dalamnya tertanam kelopak bunga (hanya karena
itu terlihat cantik) dan menggunakannya bersama Yuta untuk berendam. Wangi
mawar menguar memenuhi kamar mandi. Sementara kelopak-kelopak bunga mengambang
di permukaan air. Mereka mengobrol malas, saling bertukar senyum lembut dan memejamkan
mata dengan rileks.
“Salah lihat apa?” gumam Yuta,
matanya masih memejam, dan keningnya masih menempel di bahu Ye Eun.
“Tanda lahirmu.”
“Aku tidak punya tanda lahir.”
“Kau punya. Tiga titik di
tanganmu.”
Yuta sontak menarik kepalanya
dari bahu Ye Eun dan menoleh pada pergelangan tangannya—yang sedang berada dalam
kuasa gadis itu.
Ye Eun mengguyurkan air dan
membersihkan pergelangan tangan Yuta dari buih, kemudian bicara lagi dengan
nada semakin bingung. “Aku bersumpah waktu itu titiknya ada tiga. Kenapa
tinggal dua?”
Yuta memicing heran melihat
titik-titik itu sebelum akhirnya tersentak sendiri. Yuta merasa perutnya
melesat ke tenggorokannya. Dia terlalu bahagia akhir-akhir ini sampai lupa ia
punya batas waktu. Menghilangnya satu titik di pergelangan tangannya menandakan
bulan purnama yang pertama sudah terlewat, entah kapan, dan itu artinya
waktunya makin menipis.
Wajah Yuta seketika memucat.
“Kau baik-baik saja?” tanya Ye
Eun khawatir.
“Ya,” jawab Yuta, mencoba
tersenyum, dan gagal. Ia benar-benar gelisah sampai tak mampu lagi memalsukan
senyum maupun duduk diam lebih lama. Yuta mengulurkan kepalanya untuk mengecup
kening Ye Eun, lantas keluar begitu saja dari bathtub.
“Kau sudah selesai?”
Yuta tak menjawab dan langsung merenggut
handuk, melingkarkannya di pinggangnya.
“Yuta, kau tak mau bilas dulu?
Ada bubuk mengilap di punggungmu,” seru Ye Eun, tapi pria itu sudah melewati
pintu dan keluar dari kamar mandi.
Saat Ye Eun keluar dengan
terburu-buru lima menit kemudian, Yuta sudah tak ada di kamar. Dan dia bahkan
tak ada di rumah. Ye Eun sudah mengelilingi bangunan tiga tingkat itu sampai
tiga kali, berteriak-teriak memanggil namanya. Dan tak ada yang menyahut. Maka
tak ada yang bisa ia lakukan selain menghela napas khawatir. Menunggu.
***********
Yanan baru saja mengambil buku
baru (masih seputar pengetahuan tentang manusia, kali ini buku yang hendak
dibacanya berjudul ‘1000 Hal yang Harus Kau Tahu tentang Manusia’), ia melewati
rak demi rak menuju tempat duduknya yang biasa saat ekor matanya menangkap
sekelebat sosok familier di antara rak-rak buku peraturan. Alis Yanan bertaut
selagi ia berhenti dan mundur beberapa langkah, kemudian refleks berseru.
“YUTA!!”
Yuta yang hidungnya terbenam di
antara lembaran buku sontak terkejut dan langsung menutup bukunya. Ia mendongak
dan lebih terkejut lagi.
“H-hei,” katanya seraya berdiri.
“Jadi kau sudah melakukan ritual,
eh? Kenapa tak bilang padaku? Apa Edawn sudah tahu?”
Yanan kelihatan bahagia sekali
sampai Yuta tak mampu menjawab. Wajahnya menunduk cemas dan tangannya terus
meremas gugup.
“Kenapa kau baca aturan
asosiasi?” Yuta segera menyembunyikan bukunya di belakang punggung. Aksi yang
bodoh sekali, karena Yanan jelas-jelas sudah tahu.
“Tunggu! Apa… apa kau belum
melakukan ritual?” tebak Yanan. “Apa Nona Pengantin belum menyukaimu juga?”
“Y-yeah, begitulah,” sahut Yuta
dengan suara diulur-ulur, “dia masih agak… kau tahu, susah ditebak.”
Yanan mengangguk prihatin, tapi ia
lantas mengamati wajah panik Yuta dan alisnya bertaut lagi. “Kau yakin dia
belum jatuh cinta padamu?”
Yuta segera mengangguk, sedikit
terlalu cepat, terlalu berlebihan, seolah ia menyembunyikan sesuatu. “Dengar,
Yanan, senang bertemu denganmu, tapi aku harus pergi. Aku tak bisa lama-lama di
dunia vampir, aku akan mengabarimu lagi nanti.”
Yanan mengamatinya penuh arti.
“Aku akan menghubungimu,” Yuta
meyakinkannya sekali lagi, lantas berjalan melewati Yanan dan berlalu pergi.
TBC
Ahoyy apa kabar semuaaa^^
Pengumuman!!!
Sebelumnya aku minta maaf banget, tapi aku mau hiatus selama sisa tahun
ini (yang cuma tinggal beberapa minggu, jadi yaahhh, g lama). Dan diusahakan akan kembali di awal taun 2019 barengan part terakhir VB. Yup, vampire bride bakalan
abis di part 11. Dan ‘MUNGKIN’ bakalan lanjut upload series baru lagi. So.. I
hope yall have a nice day, nice week, nice month, nice year..
Sampe ketemu lagi taun depan~
Comments
Post a Comment