Vampire Bride - Part 10



Kebahagiaan yang dirasakan Ye Eun setelah agenda belanja bulanan—sekaligus kencan bersama Yuta—di Selasa malam telah lama menguap. Selagi hari demi hari berlalu (yang cuma ia habiskan dengan bekerja dan kuliah), hubungannya dengan Yuta tampaknya kembali lagi seperti semula, kembali menjadi deretan keambiguan dan perasaan hampa yang tak berujung.


Semenjak pulang dari Times Square, mereka nyaris tak pernah bicara. Sebenarnya, tiap ada kesempatan, Ye Eun terus mencoba mengajaknya bicara, tapi Yuta entah mengapa selalu menghindar. Dan berhubung Ji Won masih setia menemani gadis itu tidur tiap malam, maka tak ada alasan bagi Ye Eun untuk masuk ke kamar Yuta lagi. Tak ada alasan untuk dekat dengannya lagi.


Situasi ini benar-benar aneh, terutama bagi Ye Eun. Yuta bersikap seolah apa yang terjadi dua hari kemarin tak ada artinya. Seolah jika Ye Eun mau mengobrol atau menyentuhnya dengan bebas lagi, maka ia harus mengulang segalanya dari awal. Melalui fase-fase ganjil, tarik ulur bak layang-layang dan saling meneriaki lagi. Ye Eun penasaran setengah mati apa yang akan terjadi jika saja Ji Won tak datang malam itu. Akan sejauh apa Yuta membawanya?


Tak ada yang terjadi selama berhari-hari. Sampai akhirnya, saat Ji Won tiba-tiba melonjak bangun di dini hari, menjerit dan menangis nyaring dengan ekspresi ngeri, Ye Eun tahu itu pertanda ia harus melepas Ji Won dari rumah ini. Ye Eun bergegas menyalakan lampu dan Ji Won memandangnya beberapa saat dengan matanya yang bengkak menghitam, bersimpuh di ranjang, gemetar. Kemudian tampaknya ia menguasai diri.


“Maaf Ye Eun~a, maafkan aku, kau tahu aku sangat menyayangimu, kan?” katanya parau, “tapi aku benar-benar tak sanggup harus dihantui mimpi seperti ini tiap hari.”


Ye Eun merasa hatinya berhenti berdetak mendengar Ji Won bicara seperti itu. Semua ini salahnya. Ji Won sebenarnya tidak perlu tinggal di sini lagi sejak beberapa lama, tapi dirinya terlalu egois untuk membiarkan sahabatnya itu pergi. Dia merangkak ke hadapan Ji Won dan menggenggam tangannya erat-erat. “Aku mengerti.”


“Maafkan aku.”
“Tidak. Jangan minta maaf. Sebenarnya aku yang harus minta maaf.”
“Apa maksudmu?” Ji Won mengernyit.
“Moon Ji Won, aku senang tinggal denganmu, aku tak mau kau pergi, jadi aku tak pernah bilang.”
“Bilang apa?”
“Maafkan aku.”
“Maaf kenapa?” Gemetar di tubuh Ji Won berangsur-angsur menghilang. Sekarang dia lebih terlihat kesal dibanding takut. “Bilang apa? Bicaralah yang jelas!”


“Aku sudah tidak mimpi buruk lagi.”


Ji Won nampak tertegun. Ia memandang Ye Eun sejenak sebelum menghela napas, lantas bertanya dengan agak jengkel. “Sejak kapan?”


“Sepulang dari Jeonnam,” jawab Ye Eun. “Waktu itu aku tidur di kamar Yuta dan…”
“KAU TIDUR DI MANA?!” Ji Won berteriak memotong ucapan Ye Eun sampai gadis itu berjengit kaget.
“Yah! Kau yang menyuruhku tidur di kamarnya.” Ye Eun membela diri. Memegangi dadanya yang berdebar kencang.


“Sudah gila, ya? Kapan aku menyuruhmu begitu?”
“Di SMS!! Kau bilang ‘kalau kau benar-benar takut, ada Yuta di bawah’. Perlu aku tunjukkan SMS-nya?”
“Ya ampun, maksudku, kalau misalnya kau mimpi buruk lagi, atau kau benar-benar takut sampai tak bisa tidur, kau harus ingat bahwa kau tidak sendirian, karena ada Yuta di bawah.”


Ye Eun terdiam. Ia berusaha mencari cela dari kalimat Ji Won supaya bisa mendebatnya, namun pada akhirnya ia menyerah. Merasa konyol sekali karena tak memikirkan kemungkinan itu. Dia benar-benar berpikir Ji Won menyuruhnya tidur di bawah, di kamar Yuta.


“Begitu?” gumamnya lugu.
“Kau itu benar-benar, ya!”
“Jangan salahkan aku! Pesanmu ambigu.”
“Lalu reaksinya apa?”
“Dia biasa saja.”
“Aku tak percaya kau tidur di kamarnya dan tak bercerita padaku sama sekali. Sekarang katakan dengan detail apa yang terjadi!” tuntutnya.


Ye Eun menelan ludah. “Moon Ji Won.”


“Ada apa? Kenapa nada suaramu begitu?”
“Sepertinya…,” kata Ye Eun cemas, “aku mulai menyukainya.”
“Menyukai Yuta?”


Ye Eun menggigit bibirnya, mengangguk.



**********



Pada Sabtu malam yang tenang, saat Yuta sedang melakukan rutinitasnya—melamun memandang gorden jendela—pintunya tiba-tiba saja diketuk. Itu adalah Ye Eun. Rupanya Ji Won sudah menyerah untuk menetap di rumah ini.


Mereka saling berpandangan selama beberapa saat sebelum akhirnya, dengan malu-malu, gadis itu menawarkan untuk tidur bersama lagi. Yuta bergeming di tempatnya. Ia tak mungkin menerima tawaran itu. Tidak dalam kondisi seperti ini.


Tak punya pilihan lain, Yuta pun menolak. Ia menutup pintu kamarnya, meninggalkan Ye Eun yang memandangnya dengan tampang syok tepat setelah ia dengan dinginnya berkata ‘bukankah kau sudah tidak mimpi buruk lagi? Kenapa mau tidur denganku?’.


Walau begitu, Yuta merasa sangat putus asa ketika berjalan kembali ke ranjangnya. Ia sudah stres berat dan kurang tidur sejak Selasa, dan melihat betapa terlukanya Ye Eun karena perkataannya barusan hanya akan menambah depresinya saja. Yanan dan Edawn benar, dirinya memang ‘tersesat’ dan ‘hilang akal’. Itu sebabnya ia tak menghubungi salah satu dari mereka sama sekali sejak dari Jeonnam. Tak ada gunanya, mereka tak mengerti perasaannya.


Yuta berusaha mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini bukan kali pertama ia harus melakukan ritual, ia sudah melakukannya berkali-kali. Yuta berusaha mengingatkan dirinya bahwa ritual pengantin vampir tak pernah membuatnya seragu ini dan seharusnya, ia memang tidak perlu merasa ragu sama sekali. Semua ini sudah menjadi konsekuensi dari hak istimewanya untuk hidup abadi. Tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini. Jika dia masih mau hidup untuk seratus tahun ke depan, maka ia harus melawan perasaan tolol di dadanya dan menjalankan ritual sebagaimana seharusnya.


Tapi perasaannya tak mau hilang. Justru karena terlalu sering dipikirkan, perasaannya malah makin menguat dan menguat lagi. Dan Yuta benar-benar tak tahu harus apa.



**********



“Tapi kenapa dia tiba-tiba bersikap begitu?”
“Mana kutahu,” sahut Ye Eun. “Pokoknya aku tak akan kembali ke sana lagi.”
“Tapi jangan seenaknya pindah ke rumah orang begini, dong. Sudah kubilang rumahku sempit.”
“Maaf, tapi dia membuatku kesal sekali,” kata Ye Eun, yang benar-benar langsung mengemas barang dan angkat kaki setelah dipermalukan oleh suaminya yang kurang ajar.


Ji Won menatap Ye Eun dan mendesah. Ini sudah pukul 11 malam dan yang masih terjaga di dalam rumahnya cuma dirinya dan adik laki-lakinya, Wooseok. Ia tak mungkin menyuruh ketiga adik perempuannya yang lain untuk bangun dan mengubah formasi tidur supaya Ye Eun bisa ikut muat di kasur.


“Bukankah See Ra sudah pindah ke sekolah asrama yang di Anyang? Harusnya ada satu tempat tersisa untukku, kan?”


“See Ra biasanya tidur di kamar Ibu. Dan sekarang tak ada yang menggantikan posisinya di situ.”
“Oh.”
“Tapi kau benar. Tidak ada cara lain,” putus Ji Won. “Aku akan tidur bersama ibuku. Kau bisa tidur di kamarku bersama adik-adikku yang lain.”


“J-jangan begitu,” tolak Ye Eun tak enak. Dia tahu sekali betapa tidak akurnya Ji Won dengan ibunya. Ye Eun tak mau sahabatnya itu berkorban sampai seperti ini hanya untuk dirinya. “Kau tidurlah di kamarmu. Aku tidur di ruang tengah saja.”


“Jangan! Wooseok masih sering mondar-mandir di ruang tengah sampai jam tiga.”
“Apa?”
“Yah, pokoknya jangan. Walaupun kau menyebut anak itu kalem, pendiam, terlalu polos atau apalah, tapi dia tetap laki-laki dewasa, dan kau juga perempuan dewasa. Jadi lebih baik tidak ada yang tidur di luar. Apalagi kau ini anaknya mesum.”


“Yah!!”


Ji Won terkekeh. “Sebenarnya aku ingin sekali menyuruh Wooseok mengalah dan tidur di ruang tengah, jadi kita bisa menggunakan kamarnya. Tapi anak itu agak egois kalau urusan privasi. Dia tak suka kamarnya dimasuki siapa pun. Jadi aku minta maaf.”


Ye Eun benar-benar tidak enak. Harusnya dialah yang minta maaf. Baru juga kemarin dia bilang pada Ji Won untuk kembali ke rumahnya dan tidur dengan tenang, sekarang ia malah merepotkan gadis itu lagi.


“Ayo masuk.”
“Moon Ji Won.” Ye Eun menahannya, kemudian bicara dengan nada sedih. “Maafkan aku, ya. Sebenarnya dosa apa sih kau ini sampai punya teman sepertiku?”


“Itu yang kupikirkan dari dulu,” desah Ji Won sambil mengangguk dengan ekspresi yang tak kalah sedihnya. Kemudian memutar bola mata, berucap ketus, “Jangan buat drama, deh! Ayo masuk.”



**********



Yuta baru menyadari bahwa Ye Eun tidak lagi pulang ke rumahnya setelah tiga hari. Dan mungkin, jika ia tidak mengamati volume air di galon dan persediaan camilan yang tetap utuh, ia tidak akan menyadari kepergian gadis itu lebih lama lagi.


Matahari sudah naik cukup tinggi saat Yuta melangkah masuk ke restoran tempat Ye Eun bekerja. Matanya beredar mencari sosok yang ia kenal sebelum akhirnya berjalan mendekati pria di belakang kasir.


“Aku ingin bertemu Shin Ye Eun.”
“Dia keluar dengan Ji Won Noona.”
“Ke mana?”
“Mereka izin cari apartemen.”
“Cari apartemen? Buat apa?”
“Maaf, apa aku terlihat seperti Google? Berhentilah bertanya padaku! Aku tidak digaji untuk ini. SELANJUTNYA!—ya, nona, silahkan.”


Seseorang di belakang Yuta maju dan menyebutkan pesanannya. Yuta menunggu di sebelahnya sampai pembeli itu selesai lalu kembali berdiri di hadapan si kasir.


“Lee Donghyuck-ssi,” kata Yuta, membaca nametag-nya.
“Aku akan telepon polisi.” Donghyuck meraih pesawat telepon hitam di sebelah mesin kasir.
“Aku suami Shin Ye Eun.”


Donghyuck berhenti memencet nomor (nomor rumahnya, dia tentu saja tak benar-benar menghubungi polisi). Teleponnya perlahan-lahan ia letakkan kembali. Penjaga kasir itu memandang Yuta dengan pandangan sinis sebelum menyunggingkan senyum mencemooh. “Jadi kau orangnya. Nakamoto Yuta. Kalian bahkan belum sebulan menikah, apa yang kau lakukan pada Ye Eun Noona sampai dia membencimu seperti itu?”


“Dia membenciku?”
“Astaga, kau tak tahu? Katanya kau sakit jiwa.”
“Sakit jiwa?”
“Bisakah kau berhenti mengulang ucapanku?” sahut Donghyuck jengkel.
“Tapi aku tidak sakit jiwa. Aku cuma… maaf, aku tak bisa menjelaskannya padamu.”
“Aku juga tidak mau tahu,” Donghyuck nampak bosan. “Bisakah kau pergi sekarang, Nakamoto Yuta-ssi? Kau membuat aura di ruangan ini jadi suram.”


“Tunggu, mungkin kau bisa membantuku.”
“Tidak. Aku tidak bisa. Sekalipun bisa, aku tak mau. Sudah kubilang aku tidak digaji untuk ini.”


Yuta mengeluarkan dompet dari saku belakang jinsnya dan mengulurkan beberapa lembar uang yang mampu diraupnya. Donghyuck terperanjat. Bola matanya terlihat seperti akan melompat keluar.


“Apa yang bisa saya bantu, Paduka?” kata Donghyuck dengan nada teramat sopan. Tangannya mengulur cepat menyambar uang di tangan Yuta. Itu gajinya sebulan.


“Apa kau pernah merasakan dadamu sesak?”
“Tidak. Aku tidak punya asma.”
“Asma?”
“Maafkan aku, tapi asma adalah penyakit dan itu artinya kau harus konsultasi ke Dokter. Walaupun aku terlihat pintar, tapi aku cuma lulusan SMA.”


“Tunggu, tidak. Aku tidak sakit. Ini soal Shin Ye Eun, aku bersumpah ada debaran aneh yang membuatku sesak saat melihatnya. Aku tak tahan lagi, ini sudah berlangsung seminggu. Aku sudah merasakan ini sejak kami masih di Jeonnam. Pertanyaanku…”


“Uangmu cuma cukup untuk satu kali pertanyaan,” sela Donghyuck.


Yuta mengambil seraup uang di dompetnya lagi. Mata Donghyuck langsung bersinar dan bagai sudah terprogram ia kembali ke mode ramahnya lagi.


“Baiklah, Paduka. Silahkan lanjutkan pertanyaan Anda—maaf Ahjussi, kami sudah tutup. Yeah aku tahu ini masih siang, tapi kumohon.. cari restoran lain saja—maaf atas gangguannya. Silahkan bicara.”


Seorang pria berkemeja rapi (yang nampaknya merupakan karyawan swasta yang hendak makan siang) di belakang Yuta pun berbalik pergi dengan tampang bingung. Rekan-rekannya yang sudah duduk di meja terpaksa berdiri lagi sambil berbisik-bisik heran.


Yuta mengabaikan semua itu dan bicara dengan khawatir, “Satu-satunya yang kupikirkan saat melihat Ye Eun adalah aku ingin membuatnya bahagia. Aku ingin melindunginya dari orang ceroboh yang suka menumpahkan kopi dan memeluknya sambil tidur dan mengobrol semalaman dan bercanda sambil mendorong troli dan menciumnya setiap hari. Aku benar-benar ingin melakukan banyak hal bersamanya sampai-sampai aku tak ingin membuatnya mati.”


Donghyuck yang semula mendengarkan semua keluh kesah Yuta sambil tersenyum ramah tak bisa menahan keterkejutannya di kalimat terakhir. “Wah,” katanya kehabisan kata. “Yang terakhir agak tak terduga, haha.”


“Jadi apa sebenarnya yang terjadi padaku? Aku tak pernah merasakan perasaan seajaib ini sebelumnya, aku tak pernah merasa wajahku menghangat saat berhadapan dengan pengantin-pengantinku yang terdahulu. Dan aku tak bisa cerita pada teman-temanku karena mereka tak akan mengerti.”


Donghyuck mengernyit dalam, terlalu banyak hal ganjil dari ucapan Yuta sampai ia tak tahu harus mulai bertanya dari mana. Dan Yuta sejujurnya sadar akan betapa anehnya dirinya sekarang. Bagaimana bisa ia bicara begitu blak-blakan pada orang asing yang jelas-jelas manusia? Tapi dia tak punya pilihan lain. Yuta benar-benar sudah sefrustrasi itu. Dia sudah merenung hampir seminggu tanpa menemukan titik temu. Dia benar-benar harus tahu apa yang terjadi padanya supaya bisa segera menentukan sikap.


“Oke, kalau kita mengabaikan bagian ‘membuatnya mati’ itu (dan bagian selanjutnya yang benar-benar membuatku bingung), maka bisa dipastikan kau jatuh cinta.”


“Aku? Jatuh cinta?”
“Yeah. Haha.” Donghyuck benar-benar heran melihat reaksi berlebihan Yuta. Pria itu terbelalak dengan wajah tegang seolah baru saja divonis mati. “Kau jatuh cinta pada istrimu sendiri. Kejutan. Haha. Benar-benar tak terduga, ya.”


“Tidak mungkin.” Yuta mengabaikan ejekan Donghyuck dan bergumam pada dirinya sendiri. Tubuhnya meremang dan dadanya terasa disentak dari dalam. “B-baiklah. Aku harus pergi.”


“Yeah, bagus.”
“Terima kasih atas bantuanmu, Lee Donghyuck-ssi.” Dengan wajah pucat, Yuta berbalik dan segera keluar dari restoran.


Donghyuck mengamati Yuta yang masih terlihat dari dinding kaca sembari mengernyit, “Dasar orang kaya sakit jiwa.” Pria itu lantas mengalihkan perhatiannya pada uang di tangannya dan praktis tersenyum lebar. “Aku suka orang kaya yang sakit jiwa.”



**********



Langit sudah hampir gelap ketika Ye Eun dan Ji Won akhirnya menemukan apartemen yang cocok hari itu. Keduanya duduk sambil minum teh di ruang tamu bibi pemilik apartemen, nampak lelah sekali karena sudah berkeliling sejak siang. Ye Eun tentu tak mau membebani Ji Won lebih lama dengan menumpang di rumahnya, dan ia pun sama sekali tak punya niat untuk melangkahkan kaki di istana Yuta lagi, jadi mencari apartemen baru adalah satu-satunya solusi untuk saat ini.


“Apa kalau saya bayar uang mukanya sekarang, saya bisa langsung pindah malam ini?”
“Tentu saja. Apa kau mau bayar sekarang?”
“Iya.”
“Sebentar, saya ambilkan buku kuitansinya.” Bibi itu tersenyum ramah seraya bangkit berdiri.


Ji Won menunggu sampai wanita itu menghilang di balik sekat sebelum duduk menyerong ke arah Ye Eun dan meremas tangannya. “Kau yakin dengan pilihanmu?”


“Apa maksudmu? Tentu saja yakin. Apartemennya bagus, jauh lebih bagus dari apartemenku yang dulu, harganya juga sesuai dengan kantongku. Iya sih lumayan jauh dari kampus tapi…”


“Bukan apartemennya, tapi Yuta,” sela Ji Won. “Kau yakin mau meninggalkannya?”


Ye Eun memutar bola matanya.


“Baru saja kau bilang padaku kalau kau menyukainya. Apa hubungan kalian sama sekali tidak bisa diperbaiki? Harusnya kalian bicarakan baik-baik apa masalahnya.”


“Tidak, terima kasih. Aku benar-benar muak dengan sikapnya. Dia terus-menerus berubah jadi orang berbeda dan aku tak mau hidup dengan orang aneh seperti itu.”


“Intinya kau marah karena tidak diperbolehkan tidur di kamarnya,” gumam Ji Won mengejek.
“Yah! Moon Ji Won! Sudah kubilang aku marah karena caranya bicara. Kalau memang tidak mau, bisa kan bilangnya baik-baik saja? ‘Maaf, aku sedang ingin sendiri dulu’ atau apalah… eh, si berengsek ini malah ‘kenapa mau tidur denganku?’ dengan muka kesal lalu mendengus padaku. Dasar gila. Memangnya aku salah apa!”


“Oke, oke, tidak usah teriak-teriak, kita di rumah orang.”
“Kau duluan yang mulai!”
“Iya, terserah. Yang pasti, aku benar-benar ingin kau bahagia,” kata Ji Won tulus. “Kalau menurutmu menjauhi Yuta adalah yang terbaik untukmu maka sebisa mungkin aku akan mendukung keputusanmu itu. Tapi aku tetap berpikir alangkah lebih baik jika kalian bertemu dulu. Kalian berdua harus belajar menggunakan metode mujarab yang biasa disebut 'komunikasi'. Itu sangat ampuh.”


Saat itu, bibi pemilik apartemen datang dan kembali duduk di hadapan mereka.


“Ini,” katanya penuh semangat, mengulurkan kuitansi ke arah Ye Eun, “tanda tangan di sini.”


Ye Eun membubuhkan tanda tangannya kemudian mengambil sejumlah uang dari dalam dompet dan mengulurkannya.


“Semoga betah ya, Nona Shin. Ini kuncinya. Kau bisa langsung…”


BRAKK


Tiba-tiba saja seseorang menyeruak masuk hingga membuat seisi ruang tamu terkejut. Itu Yuta. Peluh membasahi wajahnya dan dia kelihatan berantakan sekali. Matanya yang memerah melirik kunci yang tengah disodorkan ke arah Ye Eun dan tanpa basa-basi langsung merebutnya, kemudian melemparnya begitu saja ke luar.


“APA YANG KAU LAKUKAN!” jerit Ye Eun.
“HARUSNYA AKU YANG BERTANYA BEGITU PADAMU! APA YANG KAU LAKUKAN! KENAPA KAU TAK PULANG!”


“Kau baru sadar sekarang, huh? Aku sudah tidak pulang sejak lama.”
“Kenapa?”
“Ya ampun,” erang Ye Eun. “Kau masih bisa-bisanya tanya kenapa?”


Ji Won yang tak tahan dengan situasi ini langsung menarik Ye Eun dan mendorong Yuta keluar, sementara kepalanya terus ia bungkukkan dan bibirnya terus menggumamkan permintaan maaf kepada bibi pemilik apartemen yang masih syok. “Saya akan carikan kuncinya, Bi. Tenang saja.”


Ji Won baru mengempas siku Ye Eun begitu mereka sampai di teras. “Nah, cecunguk sinting, silahkan lanjut berteriak. Selesaikan masalah kalian. Biar aku yang cari kuncinya,” kata Ji Won, tak lupa mendengus keras sebelum berlalu.


Namun alih-alih berteriak, mereka justru tak membuka mulut sama sekali. Keduanya memalingkan wajah ke arah yang berlawanan, menolak untuk saling memandang. Yuta menggenggam jaket kulitnya sedikit terlalu kuat sementara suara napasnya yang terengah berangsur-angsur normal.


“Bagaimana bisa kau menemukanku?” tanya Ye Eun akhirnya.
“Kasir di restoranmu, Lee Donghyuck, dia bilang kau sedang cari apartemen. Jadi aku mencari di setiap tempat di kota ini yang ada penyewaan apartemennya. Jadi, yeah… kenapa kau kabur dariku?”


“Karena kau bajingan, tentu saja.”
“Apa salahku?”
“Apa salahmu? Serius, apa menghindariku berhari-hari tidak salah di matamu? Apa bersikap dingin tanpa alasan dan mendengus padaku tidak salah, huh?”


“Maafkan aku. Aku tak tahu kau sepemarah itu.”
“YAH!”
“Aku cuma sedang berpikir. Ada sesuatu yang menggangguku.”
“Kalau begitu lanjutkan saja berpikirnya. Aku akan tinggal di apartemen baruku sampai kau selesai.”
“Aku sudah selesai.”
“Kau yakin?” Ye Eun bertanya dengan nada menyindir sambil menyedekapkan tangannya. “Aku benar-benar muak dengan sikap bipolarmu. Kalau kau tidak menyukaiku, maka ayo berpegang pada perjanjian awal kita. Tapi kalau kau suka, aku amat berharap kita bisa jadi pasangan normal.”


Yuta tahu ‘pasangan normal’ terdengar amat fana dan tak terjangkau untuk makhluk sepertinya, tapi dia masih punya dua setengah bulan untuk menikmati itu, untuk menikmati rasanya menjadi normal dengan Shin Ye Eun. Dan Yuta berharap semesta membiarkannya menjadi egois untuk kali ini. Hanya untuk dua setengah bulan ini.


“Yeah.” Suara Yuta terdengar lebih rendah. “Ayo jadi pasangan normal.”
“Jangan sembarangan memutuskan. Pikirkan baik-baik! Ayo bertemu lagi lusa atau…”
“Tidak ada yang harus dipikirkan.” Yuta menyambar. “Aku.. jatuh cinta padamu,” lanjutnya sungguh-sungguh, seolah hidupnya bergantung pada itu. Nada bicara Yuta yang tulus serta-merta membuat Ye Eun terenyuh. Gadis itu sudah berkali-kali mendengar Yuta berkata ‘aku menyukaimu’ tapi tak pernah setulus ini. Dan ia rasa, mungkin satu kesempatan lagi tidak akan menyakiti siapa pun.


Ye Eun memandang Yuta dan mendesah. Mengulur-ulur waktu sebelum akhirnya berkata, “baiklah.” Ia  menghela napas. “Tapi aku benar-benar akan membunuhmu jika kau tiba-tiba bersikap aneh dan menghindariku lagi.”


Yuta merasakan tali yang membelit dadanya akhirnya terlepas mendengar perkataan itu. Ia tersenyum lega. Wajahnya terangkat dan tatapannya melembut. “Yeah, bunuhlah aku,” dia bergumam, mengulurkan tangannya menggenggam tangan Ye Eun. “Toh sejak awal nyawaku memang bergantung padamu.”



**********



Pada akhirnya, Yuta dan Ye Eun membantu Ji Won mencari kuncinya. Ye Eun mengembalikan kunci itu pada bibi pemilik apartemen dan menolak uang mukanya dikembalikan sebagai bentuk permintaan maaf.


Ye Eun kemudian mengikuti Yuta pulang, bergenggaman tangan sepanjang jalan dengan perasaan tenteram.


Dan mulai malam itu, tidak berlebihan rasanya jika ia bilang segalanya berubah. Tidak ada lagi tarik ulur dan kecanggungan konyol. Ye Eun benar-benar bisa leluasa menyentuh Yuta, dia membaringkan kepalanya di pangkuan pria itu sembari menonton drama di TV. Sebelah tangan Yuta memainkan rambutnya sementara sebelahnya lagi bertautan dengan jemarinya. Pria itu lebih sering menunduk mengamatinya daripada memerhatikan drama di TV. Rambutnya yang hitam menjuntai di kening dan ia akan menyunggingkan senyum lima menit sekali. “Ada apa?” Yuta menggeleng. “Bukan apa-apa. Aku cuma bahagia.”



*********



Hari demi hari berlalu begitu indahnya sampai-sampai Ye Eun mengira mereka sudah berada di surga. Ye Eun mengajari Yuta bermain kartu, jadi mereka bisa bermain semalaman, lalu tidur dengan muka penuh coretan (yang kalah dicoret dengan lipstik, itu aturannya). Dan kala pagi datang, hal pertama yang dilihatnya adalah Yuta, dan walau pria itu selalu bangun lebih awal, ia tak akan bergerak dulu sampai Ye Eun buka mata.


Rutinitas mereka seketika berubah. Sekarang, Yuta selalu ikut keluar kamar dan menemani Ye Eun sarapan. Dia akan tersenyum selagi gadis itu menceritakan sesuatu yang lucu sembari mengoleskan rotinya dengan mentega. Dan setiap itu terjadi, setiap senyumnya muncul, Ye Eun selalu ingin menariknya melewati meja dan menempelkan bibirnya di senyum sang pria. Itu adalah respon standar dari melihat senyuman Yuta sejak mereka di Jeonnam. Lalu sebelum Ye Eun—terpaksa—harus berpisah dari Yuta (di depan restoran, atau di gerbang kampus) ia akan menghela napas. Helaan napas untuk menguatkan diri. Lalu mencuri satu-dua kecupan sebelum benar-benar memulai hari.


Dan saat akhir pekan, mereka akan menghabiskan sepanjang pagi untuk duduk di pinggir kolam renang, kaki menjulur ke dalam air. Mengobrol berjam-jam atau cuma diam menikmati kehadiran satu sama lain.


Tak ada satu detik pun yang membosankan jika sedang bersama. Ye Eun suka memutar lagu dan bersenandung kecil saat mereka duduk di rumput sintetis di lantai tiga. Memandang langit gelap yang nampak gemerlapan karena kerlap-kerlip bintang. Atau, mereka akan membangun tenda, berbaring bersebelahan di dalamnya sementara Ye Eun membacakan bab favoritnya di novel seri Harry Potter (dia punya banyak sekali bab kesukaan di buku keempat). Yuta tak pernah punya hobi maupun obsesi terhadap sesuatu, dan ia tahu Ye Eun sedang mencoba membuatnya menyukai apa yang dia sukai (seperti lagu-lagu BTS yang diputar berulang-ulang, serial elementary, tokoh-tokoh di Harry Potter dan semuanya), tapi suara Ye Eun begitu menenangkan, begitu enak didengar dan matanya berpijar penuh gairah setiap kali ia membicarakan hobi-hobinya itu, dan semua pancaran kebahagiaan yang meledak-ledak tersebut membuat Yuta gelap mata sampai-sampai dirinya tidak keberatan jika pada akhirnya ia benar-benar menyukai semua hobi Ye Eun juga.


Kadang, saat gadis itu merasa dia terlalu banyak bicara, ia akan balik bertanya pada Yuta tentang apa yang disukainya. Tapi Yuta sungguh tak punya apa-apa untuk diceritakan. Jadi ia akan bilang, “aku cuma menyukaimu,” dan Ye Eun akan langsung memutar bola mata, seakan-akan ia jengah, namun lantas tersenyum sambil menyikut rusuknya.


Ye Eun bicara tentang banyak hal. Dia selalu punya sesuatu untuk dikatakan. Saat Yuta pertama kali melihat tanda lahir di punggung Ye Eun, gadis itu mendesah frustrasi dan bercerita sebenci apa dia pada tanda lahir itu. Ukurannya memang cukup besar dan Ye Eun bilang ia ingin sekali menutupinya dengan tato, tapi ia tak tahu harus membuat tato apa—serta tak tahu punya nyali untuk melakukannya atau tidak. “Mungkin inisial namamu,” katanya, entah bergurau atau serius. Yuta cuma tersenyum, menyentuhkan ujung jarinya lembut ke tanda lahir itu. Sama sekali tak mengerti kenapa Ye Eun begitu membencinya. “NYT. Bagaimana?” Yuta tersenyum lebih lebar dan mengangkat bahu. “Terserah padamu.”


Sore itu, mereka sedang berada di dalam tenda di lantai tiga. Langit di luar berona merah dan oranye, menuntun matahari untuk tenggelam. Ye Eun sudah memuji-muji Sirius Black sejak makan siang (karakter fiksi terbaik yang pernah ada, katanya, tak lupa menceritakan bagaimana hebatnya ia menangis saat Sirius Black mati) dan sekarang tengah membacakan bab ketiga puluh empat dari buku kelima. Yuta yang berbaring di sebelahnya terbangun (dia tertidur tanpa sepengetahuan Ye Eun) dan agak terkesima begitu sadar bahwa gadis itu masih membaca—walau suaranya jadi lebih serak, lebih parau, dan mendengarnya bicara seperti itu membuat tenggorokan Yuta ikut terasa sakit sampai ia harus membasahi bibirnya.


Yuta mengulurkan tangannya untuk menutup buku di tangan Ye Eun, lalu berguling ke atasnya sebelum gadis itu sempat protes.


“Apa yang kau lakukan? Yah! Aku belum menandai halamannya,” serunya dengan suara berbisik seperti sedang flu. Rambut Yuta—yang sudah lebih halus karena rajin dipakaikan kondisioner—menjuntai di keningnya dan ia menyeringai terhibur sementara Ye Eun terus mengomel di bawahnya, menggerutu dengan suara nyaris habis bahwa sebentar lagi mereka akan sampai di bab 35 (bab di mana Sirius mati) dan atmosfer menegangkannya akan hilang jika ia berhenti membaca di bagian tadi.


“Istirahat dulu, Princess. Kau akan kehilangan suaramu.”
“Tapi…”
“Kau boleh lanjut bacakan aku lagi nanti. Setelah 30 menit.”
“Kenapa 30 menit?”


Yuta tersenyum. Mendekatkan wajahnya dan mengatakan, “karena aku akan selesai dalam 30 menit,” dengan suara rendah sebelum menarik lepas bajunya melewati kepala dan memagut bibir Ye Eun dengan bibirnya. Berbaik hati membasahi bibir Ye Eun yang kering dengan itu.



*********



“Tunggu, apa aku salah lihat?”


Itu adalah hari libur yang lain. Ye Eun membeli bath bomb yang di dalamnya tertanam kelopak bunga (hanya karena itu terlihat cantik) dan menggunakannya bersama Yuta untuk berendam. Wangi mawar menguar memenuhi kamar mandi. Sementara kelopak-kelopak bunga mengambang di permukaan air. Mereka mengobrol malas, saling bertukar senyum lembut dan memejamkan mata dengan rileks.


“Salah lihat apa?” gumam Yuta, matanya masih memejam, dan keningnya masih menempel di bahu Ye Eun.


“Tanda lahirmu.”
“Aku tidak punya tanda lahir.”
“Kau punya. Tiga titik di tanganmu.”


Yuta sontak menarik kepalanya dari bahu Ye Eun dan menoleh pada pergelangan tangannya—yang sedang berada dalam kuasa gadis itu.


Ye Eun mengguyurkan air dan membersihkan pergelangan tangan Yuta dari buih, kemudian bicara lagi dengan nada semakin bingung. “Aku bersumpah waktu itu titiknya ada tiga. Kenapa tinggal dua?”


Yuta memicing heran melihat titik-titik itu sebelum akhirnya tersentak sendiri. Yuta merasa perutnya melesat ke tenggorokannya. Dia terlalu bahagia akhir-akhir ini sampai lupa ia punya batas waktu. Menghilangnya satu titik di pergelangan tangannya menandakan bulan purnama yang pertama sudah terlewat, entah kapan, dan itu artinya waktunya makin menipis.


Wajah Yuta seketika memucat.


“Kau baik-baik saja?” tanya Ye Eun khawatir.
“Ya,” jawab Yuta, mencoba tersenyum, dan gagal. Ia benar-benar gelisah sampai tak mampu lagi memalsukan senyum maupun duduk diam lebih lama. Yuta mengulurkan kepalanya untuk mengecup kening Ye Eun, lantas keluar begitu saja dari bathtub.


“Kau sudah selesai?”


Yuta tak menjawab dan langsung merenggut handuk, melingkarkannya di pinggangnya.


“Yuta, kau tak mau bilas dulu? Ada bubuk mengilap di punggungmu,” seru Ye Eun, tapi pria itu sudah melewati pintu dan keluar dari kamar mandi.


Saat Ye Eun keluar dengan terburu-buru lima menit kemudian, Yuta sudah tak ada di kamar. Dan dia bahkan tak ada di rumah. Ye Eun sudah mengelilingi bangunan tiga tingkat itu sampai tiga kali, berteriak-teriak memanggil namanya. Dan tak ada yang menyahut. Maka tak ada yang bisa ia lakukan selain menghela napas khawatir. Menunggu.



***********



Yanan baru saja mengambil buku baru (masih seputar pengetahuan tentang manusia, kali ini buku yang hendak dibacanya berjudul ‘1000 Hal yang Harus Kau Tahu tentang Manusia’), ia melewati rak demi rak menuju tempat duduknya yang biasa saat ekor matanya menangkap sekelebat sosok familier di antara rak-rak buku peraturan. Alis Yanan bertaut selagi ia berhenti dan mundur beberapa langkah, kemudian refleks berseru. “YUTA!!”


Yuta yang hidungnya terbenam di antara lembaran buku sontak terkejut dan langsung menutup bukunya. Ia mendongak dan lebih terkejut lagi.


“H-hei,” katanya seraya berdiri.
“Jadi kau sudah melakukan ritual, eh? Kenapa tak bilang padaku? Apa Edawn sudah tahu?”


Yanan kelihatan bahagia sekali sampai Yuta tak mampu menjawab. Wajahnya menunduk cemas dan tangannya terus meremas gugup.


“Kenapa kau baca aturan asosiasi?” Yuta segera menyembunyikan bukunya di belakang punggung. Aksi yang bodoh sekali, karena Yanan jelas-jelas sudah tahu.


“Tunggu! Apa… apa kau belum melakukan ritual?” tebak Yanan. “Apa Nona Pengantin belum menyukaimu juga?”


“Y-yeah, begitulah,” sahut Yuta dengan suara diulur-ulur, “dia masih agak… kau tahu, susah ditebak.”


Yanan mengangguk prihatin, tapi ia lantas mengamati wajah panik Yuta dan alisnya bertaut lagi. “Kau yakin dia belum jatuh cinta padamu?”


Yuta segera mengangguk, sedikit terlalu cepat, terlalu berlebihan, seolah ia menyembunyikan sesuatu. “Dengar, Yanan, senang bertemu denganmu, tapi aku harus pergi. Aku tak bisa lama-lama di dunia vampir, aku akan mengabarimu lagi nanti.”


Yanan mengamatinya penuh arti.


“Aku akan menghubungimu,” Yuta meyakinkannya sekali lagi, lantas berjalan melewati Yanan dan berlalu pergi.



TBC



Ahoyy apa kabar semuaaa^^


Pengumuman!!!


Sebelumnya aku minta maaf banget, tapi aku mau hiatus selama sisa tahun ini (yang cuma tinggal beberapa minggu, jadi yaahhh, g lama). Dan diusahakan akan kembali di awal taun 2019 barengan part terakhir VB. Yup, vampire bride bakalan abis di part 11. Dan ‘MUNGKIN’ bakalan lanjut upload series baru lagi. So.. I hope yall have a nice day, nice week, nice month, nice year..


Sampe ketemu lagi taun depan~

Comments

Popular Posts