#9 The Lunch Box - Produce 45





Cast :


Ten / Chittaphon Leechaiyapornkul  ~  Nam Chaerin




Genre :


Romance (AU - Alternate Universe)





o  O  O  O  o






Jadi hari ini adalah hari pertama dimana aku harus mengurus semua kebutuhan diriku dan juga adikku selama kedua orang tua kami pergi mengunjungi nenek di Busan. Kepergian yang memang telah direncanakan ini sama sekali tidak memberikan pengaruh apa pun bagi ku mau pun adik perempuan ku. Kami malah merasa senang karena tidak akan ada yang mengomel saat kami lupa membuang sampah, menyuruh untuk tidur cepat sekali pun besok adalah akhir pekan, dan masih banyak lagi hal yang sulit kami lakukan jika ada kedua orang tua kami.




Pagi ini sama seperti pagi sebelumnya, aku bangun dan bersiap untuk pergi sekolah. Mandi, menggosok gigi, mengeringkan badan, memakai seragam, memasang atribut sekolah, memakai sepatu, dan berangkat ke sekolah. Semua urutannya masih sama, tidak ada yang berubah. Hanya pada bagian berangkat ke sekolah, biasnya Ayah yang mengantar ku dan adik ku bergantian tetapi sampai beliau kembali nanti kami akan di antar oleh kenalan Ayah yang menawarkan jasa untuk mengantar dan menjemput kami.



Perjalanan ku hari ini tidak menghabiskan terlalu banyak waktu. Sekitar 15 menit dan aku telah sampai di depan gerbang sekolah. Aku mengucapkan terima kasih kepada Paman Shin sebelum beliau bergegas pergi untuk mengantar adik ku.



Aku bergerak memasuki sekolah menuju kelas ku yang berada di lantai 2. Belum banyak temanku yang datang. Tentu saja. Ini masih terlalu pagi untuk siswa seperti kami. Pagi yang tidak terlalu pagi adalah saat jam menunjukkan pukul 6:25, atau 5 menit sebelum bell berbunyi.



Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Rasanya lelah jika harus diam menunggu kedatangan yang lain. Karena itu aku berencana berselancar di dunia maya untuk membunuh waktu lenggang yang tidak bisa dikatakan lenggang juga. Namun aku urung melakukannya karena sebuah pesan yang ku terima 5 menit lalu.



From: Ten

Ku dengar orang tuamu sedang pergi. Apakah itu benar?



Aku segera mengetikan balasan untuk pesan tersebut.



To: Ten

Iya. Meraka berangkat semalam, memangnya kenapa?



Tidak butuh waktu yang lama, sebuah pesan kembali ku terima. Dan itu berasal dari Ten.



From: Ten

Lalu sekarang kamu bagaimana? Maksud ku siapa yang mengurus dan menemani kamu dan adik mu?



To: Ten

Tenang saja, setiap malam sepupu jauh Ibu ku akan menginap di rumah. Jadi secara otomatis dia yang akan menemani kami.



Aku menunggu balasan darinya. Kali ini cukup lama hingga membuat aku bisa membaca kembali pesan-pesan yang kami kirimkan.



Ponselku kembali bergetar dan sebuah pesan baru saja ku terima.



From: Ten

Emm.. lalu bagaimana dengan makan? Maksud ku siapa yang akan memasak dan menyiapkan makanan kalian saat sarapan dan makan siang? Karena aku yakin kamu tidak mungkin melakukan itu, benarkah Nam Chaerin?



Oke, rasanya aku ingin memukul Ten karena pesannya. Ia seperti meremehkan kemampuan memasak ku. Aku tidak memasak bukan karena tidak bisa, tetapi memang karena tidak sempat saja. Terlalu lelah jika aku harus bangun sangat lebih awal hanya untuk membuat sarapan yang tentunya bisa ku beli saat akan berangkat. Sunggu, membaca pesannya membuat aku jengkel setengah mati.



Dengan hati yang kesal, aku membalas pesannya.



To: Ten

Kami membeli sarapan saat akan berangkat ke sekolah. Sedangkan untuk makan siang, kami akan membeli makanan di kantin. Sementara makan malam, sepupu Ibu ku yang menyiapkannya.




Ponsel ku kembali bergetar. Ya, pesan baru yang tentunya berasal dari seorang Ten. Pria yang ku kenal melalui Jin dan juga merupakan mantan kekasih tetangga ku. Oh.. dunia sangat sempit bukan? Ya begitulah kenyataannya.



From: Ten

Em.. apakah kamu tidak keberatan jika aku menyiapkan bekal makan siang mu?




Seketika aku terdiam. Ini kali pertama aku mendapatkan penawaran seperti ini dari seorang pria. Menyiapkan bekal? Untuk aku makan siang? Manis sekali!



Selama beberapa saat aku hanya membaca ulang pesan yang ia kirimkan. Tidak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya aku merasa senang dengan penawarannya. Aku merasa seperti ia memberikan perhatian lebih untuk ku. Selain itu juga, aku mendengar dari Jin bahwa salah satu sahabatnya ini sangat ahli dalam urusan dapur. Dan aku sangat penasaran dengan keahliannya itu. Apakah bisa menandingi nikmatinya rasa mi instan saat baru matang?



Namun di sisi lain hati ku, tepatnya bagian dalam dan sangat dalam dari hati ku, aku merasa tidak enak. Bagaimana pun ia pasti akan bangun lebih awal untuk membuatkan ku bekal makan siang. Sedangkan aku tahu persis bahwa ia juga memiliki kewajiban sebagai seorang mahasiswa. Hal itulah yang akhirnya mendasari aku untuk menolak tawarannya.



To: Ten

Tidak perlu repot-repot Ten. Aku bisa membelinya di kantin sekolah.



From: Ten

Tidak repot Chaerin, karena itu aku menawari mu. Kalau begitu mulai besok aku akan membuatkan mu bekal makan siang dan mengatarkannya ke rumah mu sebelum kamu berangkat.
Oh iya, aku tidak menerima penolakan apa pun dari mu.



Begitulah awal dari pertemuan setiap hari kami sebelum aku berangkat ke sekolah. Awal dari perhatian kecil tetapi manis yang diberikannya untuk ku. Ralat, tidak manis tetapi sangat manis. Sebuah bekal makan siang yang ia buat di pagi hari hanya untuk ku. Ya untuk Nam Chaerin seorang.




*   *   *   *




Sudah selama 2 minggu ini aku selalu membawa bekal ke sekolah. Bekal khusus yang disiapkan Ten untuk ku. Bekal yang selalu terasa hangat saat ia memberikannya di depan rumah ku sebelum aku berangkat. Bekal yang disiapkan di dalam sebuah kotak berwarna biru atau kuning. Bekal yang sempat membuat Sora terkejut bukan main saat aku mengeluarkannya di jam istirahat. Dan tentunya bekal yang membuat ku tidak dapat berhenti tersenyum saat sedang menikmatinya.



Namun bekal itu tiba-tiba saja menghilang. Selama 1 minggu belakangan tidak ada lagi sosok pria yang datang di pagi hari dengan menekan klakson motornya sembari menunggu ku keluar. Saat kami bertemu, dengan kedua sudut bibirnya yang tertarik ia menyerahkan kotak bekal yang masih hangat kepada ku. Tidak lupa ucapan semangat untuk ku dan harapan bahwa aku menyukai apa yang dibuatkannya.



Tanpa perlu dia berucap seperti itu, aku pun sudah sangat yakin bahwa aku akan menyukai apa yang ada di dalam kotak bekal ku selama itu berasal darinya.



Aku melirik sekilas pada pagar rumah yang masih belum menunjukkan tanda kedatangannya. Ini sudah hampir waktunya untuk aku berangkat ke sekolah, tetapi lagi-lagi Ten tidak muncul. Ugh.. kemana sebenarnya pria itu? Apakah dia sudah bosan untuk membuatkan aku bekal? Kalau bosan, mengapa sebelumnya ia memaksa? Kalau seperti ini kan aku yang merasa sakit.



Aku menghela kasar. Sepertinya ia tidak akan datang, dan aku menyerah untuk menunggunya. Aku tidak ingin membuat diri ku terlambat atau adik ku terlambat. Biarkan saja dia mau datang atau tidak.



Karena kesal, aku menarik tas ku yang berada di kursi dengan kasar. Kemudian berjalan menghampiri Paman Shin yang baru saja tiba dan segera menaiki motornya untuk berangkat ke sekolah.



Rasa kesal karena lagi-lagi tidak mendapatkan bekal dari Ten, tunggu bukan bekal yang ku tunggu, tetapi pria itu. Ya.. sejujurnya tidak masalah jika ia tidak membuatkan aku bekal, asalkan dia tetap memberikan kabar kepada ku. Tidak seperti sekarang ini. Menghilang bagai di telan bumi. Tidak datang ke rumah ku. Tidak menghubungi ku. Bahkan pesan ku juga tidak di balas. Sebenarnya kemana dia? Apakah sesusah itu untuk mengabari ku??



Tanpa sadar aku mengacak rambutku. Frustasi. Dan tanpa sadar lagi, Sora dan Hara telah berdiri di samping mejaku. Tidak ketinggalan Cheonsa yang sedang menatap ku aneh dari depan pintu.



Oke, lengkap sudah!



“Ada apa?” Tanya ku malas. Aku melipat kedua tangan ku di atas meja dan merebahkan kepala ku di sana.


Dari posisi ku, aku bisa melihat Cheonsa yang menarik kursi ke dekat meja dan kemudian menyetarakan posisinya dengan kepala ku. Dia sedikit menunduk untuk bisa melihat ku. Cih, apa-apaan anak ini? Mengganggu pemandangan saja.



“Kenapa lagi?” Itu suara Sora. Ia duduk di depan ku.



Aku tidak menjawab. Hanya diam memandang entah kemana dengan kepala yang masih berada di atas meja.



“Pasti Ten. Pria baik dengan makanan nikmat itu bukan?” Tebak Cheonsa yang telah kembali menegakkan tubuhnya dan bersandar pada kursi yang ia duduki.



“Apakah dia tidak datang lagi hari ini?” Dan itu adalah Hara.



Aku menghela. Kemudian mengangkat kepala ku hingga dapat melihat ketiga sahabat ku secara bergantian.



“Tidak.” Jawab ku dengan kepala yang menggeleng lemah.



Cheonsa menarik salah satu sudut bibirnya dan berkata, “Aku sudah memperingati mu untuk jangan terlalu berharap pada pria itu. Kau tidak tahu alasan sebenarnya mengapa dia mau repot-repot menyiapkan bekal untuk mu. Namun kau bersikeras dengan pikiran mu yang mengatakan bahwa ia menaruh perasaan lebih kepada mu. Itu namanya bunuh diri Nam Chaerin.”



“Sudah jangan bersedih. Kau bisa membeli makan siang di kantin bersama kami. Bukankah ada dan tidak ada bekal pun tidak akan membuat mu mati.” Sambung Sora dengan wajahnya yang setenang aliran air di laut.



Aku memutar bola mata ku. Malas. Kesal. Frustasi. Namun tidak tahu harus melakukan apa. Semua rasanya seperti mengambang di otak ku.



Ingin marah? Kepada siapa?



Berteriak? Tidak mungkin. Bisa-bisa aku diomeli satu kelas.



Memaki? Aku yakin aku akan berakhir di ruang BK.



Jadi aku hanya bisa merebahkan kembali kepala ku di atas meja dan membiarkan ketiga sahabat ku berbincang hingga bell berbunyi nyaring.




*   *   *   *




Aku baru saja selesai mandi dan hendak menghidupkan televisi saat ponsel ku bergetar. Sebuah pesan baru saja ku terima dengan nama pengirimnya adalah Ten. Melihat nama sang pengirim, jantung ku langsung bergemuruh. Napas ku terasa memendek. Dan perlahan aku mulai merasa panas.



Apa-apan ini? Aku baru saja mandi tetapi sudah kembali merasa gerah?



Tanpa membuang banyak waktu, aku segera membuka pesan tersebut dan membacanya.



From: Ten

Hai...



To: Ten

Hai.



Aku harap-harap cemas menunggu pesan balasan darinya. Sampai tidak sadar bahwa tangan ku telah meremas handuk yang sebelumnya ku pakai dengan begitu keras.



From: Ten

Aku ingin meminta maaf karena seminggu ini tidak bisa membuatkan mu bekal makan siang. Ada banyak tugas yang harus ku kerjakan karena sebenatar lagi ujian akhir semester. Dan maaf juga karena tidak menghubungi mu atau membalas pesan mu.



Napasku terhela seketika itu juga. Lega. Seperti beban berat yang sebelumnya ku pikul menghilang begitu saja. Aku pun segera mengetikan balasan untuknya dan mengirimkan kembali.



To: Ten

Tidak apa. Lagi pula aku kan sudah bilang tidak perlu repot-repot. Aku bisa membeli makan siang di kantin. Lihat sekarang, kamu jadi kerepotan karena ku. Maaf Ten.



From: Ten

Tidak, aku sama sekali tidak merasa direpotkan oleh mu. Oh iya, apakah aku boleh datang ke rumah mu, malam ini?



Aku merasa seperti kehilangan pasokan oksigen. Rasanya sulit sekali bernapas setelah membaca pesan Ten. Tidak hanya paru-paru ku yang sepertinya mengalami masalah. Jantung ku, pembuluh darah ku. Keduanya bekerja tidak seperti biasanya. Aku merasa jantung ku berdetak sangat cepat seakan ingin melompat keluar. Sementara darah ku seperti berdesir begitu cepat di dalam salurannya.



Aku harus membalas apa? Aku sangat senang jika ia datang. Tetapi ada perasaan takut yang ku rasakan entah karena apa.



Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian menghembuskannya perlahan. Mencoba untuk tenang demi bisa mengambil keputusan yang tepat.



Aku kembali menatap layar ponsel ku. Dengan keberanian yang entah darimana datangnya, aku mulai mengetikan balasan yang ku kira pas untuk ku berikan.



To: Ten

Tentu, aku tunggu.



From: Ten

Baiklah. Kalau begitu tolong bukakan pintu pagar mu karena aku sudah berada di depan.



Tanpa aku sadari aku melempar ponsel ku ke atas ranjang dan berlari menuju jendela. Membuka sedikit tirai dan melihat apakah benar pria itu berada di depan. Dan ternyata benar! Mata ku langsung membulat begitu melihat sosok pria ber-helm yang selalu datang saat pagi hari. Tanpa berpikir lama, aku segera berlari keluar.



“Sudah berapa lama kamu ada di sini?” Tanya ku saat pintu pagar telah ku buka dan mempersilahkan Ten untuk masuk.



Ten membuka helm-nya dan meletakkannya di atas motor sebelum menjawab pertanyaan ku.



“Saat aku mengirimi mu pesan, aku sudah sampai.”



Mataku kembali membulat dan jantung ku berdetak cepat.



“Duduk, aku akan buatkan minum.” Aku mempersilahkannya dan kemudian kembali memasuki rumah untuk membuatkan minum.



Tidak lama, aku kembali ke luar dengan 2 gelas sirup yang ku letakkan di atas meja. Aku menarik kursi di depannya dan mendudukkan bokongku di sana.



“Jadi kenapa kamu datang malma-malam?”



Ten memasang senyumnya. Ugh... senyum itu. Senyum yang selalu membuat aku merasa lebih bersemangat untuk pergi ke sekolah. Senyum yang selalu terbayang dimana pun aku berada. Senyum yang bisa membuat aku ikut tersenyum sekali pun aku hanya berada di kamar sendirian.



Dia meletakkan sebuah tas kain di atas meja. Kemudian mengeluarkan isinya dan mentatanya.



“Aku membuatkan mu makan malam, sebagai permintaan maaf karena selama 1 minggu ini aku tidak bisa membuatkan bekal makan siang untuk mu.”



Lagi, untuk kesekian kalinya mata ku membulat. Terkejut. Dan seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perut sampai membuat aku merasa ingin tersenyum dengan sangat lebar. Tetapi dengan kekuatan dan kesadaran yang ku miliki, aku menahan kedua sudut bibirku untuk tertarik lebih lebar lagi.



Aku menatapnya. Ia masih sama. Menatap ke arah ku dengan senyum andalannya. Sungguh, aku merasa sangat senang. Untuk pertama kalinya aku bisa merasakan perasaan sesenang ini hanya karena sebuah makanan. Tidak.. aku tampaknya sudah gila.



Gila karena seorang Ten. Pria yang baru ku kenal melalui Jin.



“Te-Terima kasih.”



Ia menyodorkan sumpit ke hadapan ku. Aku mengambilnya dan mulai mengambil makanan yang ia siapkan. Sebuah telur dadar berwarna kuning dengan potongan kacang polong menjadi pilihan pertama ku. Ku suapkan ke dalam mulut. Mengunyahnya perlahan. Menikmati kelembutan yang dipadukan dengan berbagai macam bumbu hingga menciptakan gulungan telur dadar yang sangat lezat.



Aku tidak dapat menyembunyikan rasa senang ku. Aku senang karena rasa makanannya sangat lezat. Dan aku senang karena ia datang malam ini. Ia seakan tahu bahwa aku merasa kesal padanya. Ia seperti membujuk ku dengan makanannnya.



Romantis. Sangat manis!



“Kamu tidak makan?” Tanyaku saa t aku akan menyuapkan makanan lainnya ke dalam mulut.



Ten menggeleng. “Tidak, aku sudah makan. Lagi pula melihat mu makan sudah cukup membuat ku senang.”



Blush. Aku sadar dan tahu bahwa kini pipi ku pasti telah berubah merah. Entah semerah apa yang jelas aku bisa merasakan hawa panas yang mulai menyerang seluruh tubuhku terutama wajahku.



Selama aku menghabiskan makanan yang dibawanya, selama itu juga Ten terus menatap ku. Selain itu aku juga sesekali melihat dirinya tengah tersenyum ke arah ku. Entah apa yang membuatnya tersenyum seperti itu, yang jelas hal itu berhasil membuat jantung ku semakin berdetak cepat. Membuat tubuh ku semakin terasa panas.



Aku berdeham. Berusaha untuk mengembalikan pikiran ku ke tempat yang semestinya. Sekaligus agar menghentikan Ten dari kegiatannya menatap ku. Namun pria di depan ku ini sama sekali tidak memedulikannya. Ia terus saja menatap ku sekali pun aku sudah balik menatapnya.



“Ada apa? Apakah ada sesuatu di wajah ku?”



Ten menggeleng. “Tidak ada apa-apa.”



“Lalu?”



Ia menegakkan tubuhnya. Kemudian mendekatkan wajahnya hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya yang menyapu permukaan wajah ku.



“Aku hanya senang melihat wajah mu Chaerin.”



Oh Tuhan.. aku tidak tahu jika seorang Ten bisa membuat jantung ku bekerja dengan sangat tidak normal hanya karena ucapan, senyum, bahkan makanannya. Aku merasa tidak kuat jika harus seperti ini terus. Maksud ku adalah, berada di dekatnya dengan debaran jantung yang begitu keras kemudian berusaha mati-matian menghentikannya agar ia tidak mendengar suara jantung ku.



Aku lelah. Aku tidak bisa lagi menahannya.



Karena malu, aku menundukkan kepala ku.
“Oh iya..” Ia kembali membuka suaranya. Membuat kepala ku yang tertunduk langsung kembali terangkat dan kembali menghadirkan atensi ku untuknya.



Ia menggaruk tengkuknya yang dapat ku pastikan tidak gatal.



“Aku sudah menyelesaikan semua tugas ku, jadi aku bisa membuatkan bekal lagi untuk mu....”



“Em.. itu,” Aku menyelaknya. Aku lupa mengatakan hal penting ini padanya. Tampaknya terlalu menikmati seorang Ten membuat kerja otak ku juga mengalami gangguan.



“Besok Ayah dan Ibu sudah kembali dari Busan. Jadi kamu tidak perlu repot-repot untuk membuatkan aku bekal, karena pasti Ibu yang akan kembali membuatkannya.”



Aku menduduk. Entah kenapa rasanya berat sekali untuk menatap matanya. Jika boleh jujur, sebenarnya aku tidak ingin menyudahi aksi kirim bekal makan siang buatannya. Namun apa yang harus aku katakan kepada orang tua ku jika saat Senin nanti mereka melihat seorang laki-laki muda datang ke rumah dengan membawa kotak bekal yang ditujukan untuk anak mereka.



Aku mendengar ia menghela napasnya dan kemudian sebuah tangan menyentuh puncak kepala ku dan mengusapnya.



Dengan memberanikan diri, ku angkat kepala ku dan saat itu juga mata ku di sambut dengan senyumnya yang menenangkan itu.



“Sebenarnya aku tidak ingin berhenti membuatkan mu makanan. Karena jika boleh jujur, aku selalu merasa senang saat tengah memasak dan memikirkan mu. Tapi sepertinya tidak ada pilihan lain, dan aku bisa memahami itu.”



Mendengar kalimatnya entah kenapa ada perasaan tidak rela yang aku rasakan. Namun melihat bagaimana ia tersenyum, aku tidak bisa untuk tidak ikut tersenyum.



Dia berbeda. Dia mengerti. Dia... dia......



“Tapi...”



Aku menatapnya bingung sekaligus harap-harap cemas. Aku tidak bisa menebak apa yang akan ia katakan, karena tatapan matanya begitu membingungkan untuk ku artikan sendiri.



“Apakah aku masih boleh mengantarkan makanan lagi? Maksud ku sesekali datang ke rumah mu dan membawa makanan seperti saat ini?”



Aku tersenyum. Tersenyum cukup lebar karena perasaan senang yang terlalu besar ku rasakan. Kepalaku pun ikut mengangguk antusias, sebagai jawaban atas pertanyaannya.



Sungguh aku baru merasakan perasaan senang seperti saat ini. Dan semua itu berkat seorang Ten Chittaphon Leechaiyapornkul. Berkat perhatian kecil yang ia berikan belakangan ini dalam bentuk bekal makan siang. Bekal yang berhasil membuat hidup ku sedikit berubah. Sejujurnya aku tidak tahu pasti apa yang berubah dalam hidup ku. Yang jelas aku merasakan, karena bekal itu hidup ku terasa lebih hidup bila dibandingkan dengan sebelum adanya bekal makan siang Ten.




E . N . D




감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts