Beloved Star








Huang Zitao – Kim Sora (OC)

Bersamamu, aku tidak perlu memandang langit malam untuk melihat bintang




Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagaimana ruangan berantakan seperti kapal pecah itu. Sora pikir kata itu hanya digunakan para pengarang untuk menambah efek dramatis dalam cerita mereka.  Namun beberapa waktu belakangan ini ia sudah akrab dengan kondisi tersebut.



Sora menatap sekelilingnya dengan miris. Ruangan itu menjadi lebih berantakan dari kemarin. Kaleng-kaleng bir kosong dan plastik makanan ringan yang tergeletak di meja ruang TV semakin banyak jumlahnya. Dia berjalan lebih jauh, menemukan tumpukan plastik makanan siap saji di meja makan, piring dan gelas kotor menggunung di bak cuci, bantal sofa berceceran di lantai, dan pastinya kamar Tao tidak kalah kacau.


Kecurigaannya itu terbukti begitu melihat sendiri keadaan di dalam kamar tunangannya. Seprai ranjangnya sudah tak beraturan. Sora meneliti seluruh sudut, merasa geram begitu tahu Tao belum juga merapikan barang-barangnya yang berserakan di lantai. Buku-buku, laptop yang sudah hancur, jam yang juga sudah pecah, pokoknya begitu banyak pecahan kaca berserakan.


Kalau membersihkan seluruh penjuru apartemennya terlalu berat untuk Tao, setidaknya pria itu cukup merapikan pecahan kaca itu. Dia bisa saja terluka karena tak sengaja menginjaknya.


Tao keluar keluar dari kamar mandi. Tak seperti orang pada umumnya yang terlihat lebih segar atau menunjukkan ekspresi lega, pria itu nampak muram dan diselimuti awan hitam. Walau begitu Sora tidak mengurungkan niatnya untuk menceramahi pria itu.


“Awas! Ya ampun! Kau hampir menginjak beling. Kau sudah buta atau memang gila?” pekiknya panik.

Tao melirik barang-barangnya yang sudah hancur dan tergeletak  menyedihkan seperti barang rongsokan.

“Benar! Semua kekacauan ini ulahmu! Lihat apa yang telah kau lakukan pada laptop malangmu dan barang-barang lainnya.”


Namun seperti sebelumnya Tao tidak menunjukkan ekspresi apapun, dia melenggang keluar dari kamarnya. Sora mengekor di belakangnya, agak jengah karena langkah Tao begitu lambat.


Awalnya Sora kira pria itu akan membenamkan dirinya di ruang TV, menyetel salah satu film yang menarik maupun tidak menarik. Toh pria itu tidak menontonnya. Tapi Tao malah berbelok ke kanan menuju dapur.


Pria itu membuka kulkasnya, mendengus kesal karena tidak menemukan birnya.
“Kau belum bercukur juga?” ujar Sora.
 “Kemana semua birku?”

Sora memutar bola matanya kemudian melipat tangan di depan dada. “Kau sudah menghabiskan semuanya semalam,” ujarnya dengan tajam.


“Jangan menampakkan wajah heran seperti itu. Belakangan ini kau memang bertingkah seperti pemabuk yang menjijikkan, Huang Zitao.” Sora menatap Tao yang tengah menatap lama pintu kulkasnya.


“Aku senang semua bir sialanmu itu sudah habis. Kau tidak akan bisa meminumnya lagi karena aku tahu kau tidak mau keluar dari apartemenmu yang luar biasa indah ini,” katanya dengan nada menyindir.


Tao berjalan gontai sambil sesekali mendenguskan napasnya keras-keras. Pria itu mengerahkan semua tenaganya untuk menyeret tungkainya yang semakin berat setiap harinya. Ia berhenti tepat di depan jendela, tangannya bersandar di bingkai jendela.


Ia menatap jauh pemandangan di luar kaca jendelanya. Tidak banyak yang ia pikirkan karena selama hampir dua minggu otaknya mulai tumpul. Ia sudah tidak memikirkan bagaimana caranya memastikan laporannya sudah benar atau bagaimana membuat asistennya tidak ceroboh lagi. Tao sudah tidak peduli lagi dengan cara dunia bekerja.


“Hari ini agak mendung. Cocok dengan suasana hatimu belakangan ini.” Sora berdiri di samping Tao, mengamati wajah pria itu dari samping.


Lingkaran hitam di bawah mata pria itu semakin jelas, pipinya lebih tirus dari yang pernah Sora ingat sebagai sosok Tao dalam keadaan waras. Walaupun Tao memang tidak pernah punya badan yang terlalu berisi, tapi Sora ingat pria itu tidak sekurus sekarang. Apalagi penampilannya yang berantakan, matanya kuyu, belum bercukur, membuat pria itu nampak seperti orang depresi yang mau bunuh diri.


Tentu saja Sora berharap Tao tidak melakukan itu pada dirinya sendiri.
“Aku tidak bisa begini terus,” ujar Tao.
Ia menyugar rambutnya, suara helaan napas berat terdengar bersamaan dengan gelengan kepala.
“Kau sudah sadar sekarang? Kau memang–“
“Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus keluar dari sini.” Dalam sorot mata Tao terlihat sebuah tekad yang selama hampir sebulan ini tidak terlihat.


Sora merasa lega bercampur bahagia. Mungkin inilah waktunya Tao menyadari kekacauan yang telah ia perbuat dan bertekad untuk menyudahi peratapannya.
“Aku harus mengisi kulkasku. Ya, aku harus keluar dan membeli bir di minimarket seberang jalan.”
WHAT THE F– ARGGHHH!!!”

Rupanya Sora terlalu naif untuk berpikir Tao akan berubah. Nyatanya pria itu malah ingin menambah kekacauan dengan menenggelamkan dirinya sendiri dengan alkohol.

“Aku tidak bisa hidup tanpa minuman itu.” Ucapan Tao begitu cepat, ia terkesan panik dan bergetar.

Demi Tuhan semoga kekhawatiran Sora tidak benar. Tidak. Pria itu tidak boleh kecanduan alkohol. Sora mengenal beberapa orang yang menggantungkan hidupnya pada alkohol. Ia bersumpah tak seorang pun dari mereka hidup dengan benar.

“Kau tidak akan bisa hidup kalau tidak ada oksigen, air, dan makanan!” jerit Sora histeris.

Tao mengambil dompetnya yang tergeletak di atas meja ruang TV. Ia berjalan cepat melintasi ruangan. Pikiran pria itu sudah dipenuhi dengan cara memenuhi kulkasnya dengan bir dan teman-temannya. Ia tak peduli lagi untuk mengganti baju dan celana pendeknya.

Napasnya tercekat setelah ia membuka pintunya. Seorang pria baya berdiri di hadapannya. Tao menatap sosok di depannya tanpa berkedip, begitu terkejut dengan kunjungan mendadak itu.

Seharusnya pria tua itu tidak tahu ia ada di sini. Dua minggu yang lalu ia pergi dari Seoul, menghilang tanpa jejak. Seperti kepergiannya, kepulangannya pun sama misteriusnya. Ia mengembuskan napas perlahan, tindakan itu membuat sekujur tubuhnya nyeri.

“Aku baru mau memencet belnya. Baguslah kau begitu berbaik hati–“
“Siapa yang datang?” Sora baru ingin melihat sosok yang membuat Tao membatu di depan pintu, namun pintu langsung tertutup di depan wajahnya.

Tao keluar dari apartemennya dan menutup pintu di belakangnya secepat mungkin. Ia ingat betapa gigihnya pria tua itu yang bisa saja menerobos masuk.

Ia melewati pria tua itu, berjalan secepat mungkin walau rasanya agak sulit. Namun siapa yang mau ia bohongi? Pria di belakangnya meskipun memiliki usia dua kali usianya, berjalan lebih cepat.

Tentu saja. Pria tua itu memang terkenal gigih, juga sangat sehat dan waras. Pria tua itu jauh kelihatan lebih bugar daripada dirinya.

“Mau sampai kapan kau kabur?” ujar pria itu di sampingnya.
Tao tak menghiraukannya, bahkan tak sedikitpun menoleh ke arahnya.
“Kau bersembunyi seperti seorang pengecut,” tukas pria tua itu dengan nada mencemooh.
Tao masih tidak menggubris, namun ia tidak bisa mencegah hatinya yang merasa nyeri. Ia mungkin bisa mengabaikan pria beruban itu, tapi telinganya masih bisa mendengar dengan baik.

“Setelah nyawa anakku melayang, sekarang kau ingin menghancurkan hidupmu sendiri?”
Langkah Tao terhenti. Sekejap tubuhnya menjadi kaku, napasnya menjadi berantakan. Tatapan matanya yang kosong menjadi panik.


“Apa sih yang kau lakukan? Anakku tidak akan kembali sekalipun hidupmu berantakan.”

Pertahanan Tao runtuh saat itu. tangannya yang dari terkepal dihentakkan ke udara. Ketenangan yang berusaha ia pertahankan mati-matian langsung lenyap. Gelombang emosi menghantam dadanya. Apa yang ia hindari selama hampir sebulan akhirnya kembali, menamparnya dengan keras.

***


Tao tidak ingat bagaimana caranya ia bisa duduk satu meja dengan pria tua menyebalkan di depannya. Ia hanya ingat beberapa menit yang lalu ia masih ada di dalam apartemennya yang penuh ketenangan dan kesedihan. 


Ia meremas tangannya, berulangkali mengubah posisi duduknya. Ia tidak merasa tenang berada di dalam kafe yang hanya berjarak satu blok dari bangunan tempat tinggalnya. Padahal tidak banyak pengunjung yang datang, namun Tao merasa dirinya terintimidasi. Seolah seluruh manusia bahkan benda di kafe itu tengah menghakiminya, menyalahkannya, dan mengasihaninya.

Ia mengusap wajahnya.

“Aku tidak akan menanyakan kemana kau pergi menghilang waktu itu. Bukan itu yang kupedulikan.” Pria tua itu menatapnya lama, berusaha menebak isi pikirannya.

Kalau boleh jujur Tao akan bersyukur sekali kalau pria itu bisa menebaknya. Sudah cukup lama pikirannya berantakan dan Tao tidak bisa mengerti dirinya lagi.

“Kudengar kau mau mundur dari kasus itu. Kenapa?”

Ada jeda lama setelah pertanyaan itu terucapkan. Tao mengerjapkan matanya berulangkali, berdeham sampai tiga kali karena mulai merasa tersudut.

Tao ingin mengatakan sesuatu namun mulutnya hanya membuka lalu menutup lagi. Kata-kata itu menggumpal di ujung tenggorokannya. Ia tidak tahu bagaimana cara mengeluarkannya.

Ia melipat tangannnya di depan dada, mengalihkan pandangannya dari pria itu. Meskipun tidak menatap langsung pria di depannya, toh ia bisa merasakan kebencian yang terpancar dari mata pria itu.

“Kau mundur seperti pengecut, tidak bertanggung jawab.”
“Apa yang coba kau buktikan dengan mengurung diri dan menghancurkan hidupmu sendiri?”

Tao menggigit bibirnya, menahan rasa ngilu yang selama ini ia abaikan. Pria tua itu menguaknya begitu saja, tanpa ampun. Tapi Tao tidak bisa mencegahnya. Pria itu berhak melakukannya.
“Kau mau membuktikan pada dunia bahwa kau yang paling berduka?”


Pria tua itu menggelengkan kepala, menatapnya dengan miris.
“Aku ayahnya. Aku yang membesarkannya. Aku yang menunggu dan menemani ibunya selama sembilan bulan sebelum kelahirannya. Aku lebih pantas berduka.” Pria itu menghela napas pelan sebelum menambahkan.

“Aku berduka, tapi aku tidak bertindak seperti orang tolol yang dengan senang hati menghancurkan hidupnya sendiri.” Pria itu menekankan semua kata dalam ucapannya, menatapnya lebih dekat dan intens.

“Aku tidak bersembunyi di rumahku dan membiarkan seorang penjahat berkeliaran,” ujarnya yang membuat Tao tersentak, ia langsung menatap pria itu dengan sorot kemarahan.


“Bukan kau yang melihatnya ditembak di depan matamu sendiri. Bukan kau yang berlari dan menangkap tubuhnya yang berlumuran darah.” Tao menggertakkan giginya, napasnya berembus berat. Sangat berat hingga membuat dadanya sakit.

“Aku bisa melihat darahnya di tanganku.” Tao menatap kedua tangannya, lalu mengepalkannya erat-erat. “Setiap saat.”

“Kau tidak di sana  untuk memegangi tubuhnya yang mendingin. Kau tidak melihat bagaimana napasnya tersendat dan sorot matanya meredup. Kau tidak mendengar ucapannya yang terbata-bata sebelum akhirnya ia tidak berusaha bicara lagi.”

Tao merasakan sekujur tubuhnya memanas dan menegang. Semua sensasi yang selama ini ia abaikan bersama alkohol yang menumpulkan inderanya, semua kembali menyerangnya.

“Kaupun tidak di sana saat aku membesarkannya!” sergah pria tua itu tak kalah emosi.
“Itu tidak sama.” Tao menggelengkan kepala dan berulangkali menggumamkan hal yang sama. “Tidak sama.”

“Kau bisa menyalahkan orang lain karena kematiannya, karena begitulah kenyataannya. Tapi tidak denganku.” Tao menggigit bagian dalam pipinya, mencoba menahan ledakan kemarahan yang selama ini ia sembunyikan.

“Kau mau tahu kenapa anakmu meninggal?” Tao menatap sengit pria tua di hadapannya, tatapannya agak kabur karena air mata sudah menggenang di pelupuk mata.
“Ia terbunuh karena aku. Seseorang membunuhnya untuk melawanku.”

Pria tua itu menatapnya tanpa berkedip maupun bersuara. Tatapannya penuh duka. Benar, seseorang harus tahu kebenarannya.


Tao mengangguk, menjawab semua keraguan dan pertanyaan sosok di hadapannya.
“Seseorang meneleponku sebelumnya,  ia memintaku mundur dari kasus itu dan menyerahkan semua bukti yang kupunya. Tentu saja aku menolaknya.” Tao mengembuskan napas perlahan, bibirnya bergetar dan air mata yang ditahannya dari tadi akhirnya mengalir.

“Ia mengancam akan membuatku menyesal. Kupikir itu cuma ancaman seperti biasanya. Aku pernah menangani kasus lain dan sudah banyak orang  mengancamku namun tak satupun ancaman itu terbukti.”

Tao mendesah, lalu tertawa kering.
“Tapi aku terlalu menyepelekannya. Hanya berselang beberapa menit bagi orang itu untuk membuktikan ancamannya.” Tao kembali memutar kejadian itu di kepalanya.

Ia masih bisa mengingat dengan baik semua yang terjadi pada hari itu. Ingatan akan kejadian itu terlihat sangat jelas, seolah baru terjadi kemarin. Seolah baru kemarin Tao melewati menit-menit paling mencekam dalam hidupnya.

“Aku keluar untuk makan siang. Aku berjalan menghampirinya yang sedang menungguku di seberang jalan. Ia melambaikan tangannya ke arahku, mengulas senyum tipis dan menatap lampu lalu lintas dengan tidak sabar.”

“Aku hendak mengatakan sesuatu padanya namun berhenti begitu ledakan keras itu terdengar. Dua kali. Semua orang panik dan sebuah motor melaju kencang meninggalkan lokasi. Aku melihat tubuhnya terkapar di pinggir jalan, bersimbah darah, dan orang-orang hanya menatapnya dengan ngeri.”

“Setelah itu ponselku berdering, nomor yang sama dengan sebelumnya. Ia bilang turut berduka cita.” Tao mengubur wajahnya di kedua tangan, terisak.
“Secara tidak langsung aku yang mendorongnya ke mulut maut.”
“Itukah yang kaupikirkan?” Tao mengangkat wajahnya, menatap pria tua yang masih menatapnya dengan ketegasan yang sama.
“Bukankah memang seperti itu?” balas Tao.


“Kalau kau pikir begitu, bukankah kau berhutang dengan anakku?”
“Nyawanya terkorbankan dan kau harus memastikan itu tidak sia-sia. Selesaikan kasusmu dan selanjutnya kita akan mencari penjahat yang telah membunuh anakku.”

Pandangan mereka beradu, Tao merasa jantungnya berdebar terlalu kencang. Nyawa seseorang melayang karena dirinya. Kalimat itu terus mengiang di benaknya.

Kalau bukan untuk diriku, aku akan melakukan itu demi dirinya. Tao terkejut dengan pikirannya sendiri.

***


Sora mengamati sosok Tao yang baru saja kembali. Tidak ada plastik belanjaan di tangannya. Ia merasa sedikit lega karena pria itu tidak membawa bir. Namun sesuatu di mata pria itu membuatnya agak cemas. Sebenarnya tatapan Tao belakangan ini selalu membuatnya cemas, namun kali ini mata pria itu sembab.  


Tao mengempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia melepaskan suara yang mirip erangan. Sora mendekat ke arahnya, menatap pria itu dengan penasaran.
“Ada apa?”

Pria itu menyugar rambutnya, mengusap wajahnya dengan hentakan kasar. Napasnya bergemuruh bersamaan dengan air mata yang jatuh mengalir di pipinya.
“Sialan, tua bangka itu,” katanya dengan nada getir.

Kedua kaki Tao dinaikkan ke atas sofa lalu dirapatkan ke dada. Ia memeluk dirinya dengan erat. “Aku membencinya dan semakin membencinya karena yang ia katakan benar.”

Tao membenamkan wajahnya, merasakan sensasi pusing, dada bergemuruh, dan matanya yang memanas. Pria itu sangat menderita. Sora ikut menderita melihatnya.

Selama beberapa saat ruangan itu hening, hanya terdengar suara helaan napas dan ringisan lirih.
Sora menunggu pria itu, seperti yang biasa ia lakukan. Ia akan mengamati pria itu dengan penuh kasih dan rasa sedih.
Tao mengangkat kepalanya, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya meraih remote tv yang ada di bawah tumpukan sampah di atas meja.

Kali ini Tao tidak menyetel film, ia justru mencari stasiun televisi nasional. Sora melayangkan tatapan bingung ke arah pria itu. Tao biasanya menghindari stasiun televisi nasional karena ada kemungkinan ia melihat tayangan berita yang tidak menyenangkan.
Dan pria itu sepertinya memang sedang mencari tayangan berita.

“Sidang kasus dugaan pencabulan anak di bawah umur yang terjadi lima bulan lalu kembali ditunda pada selasa lalu.” Suara seorang reporter pria memenuhi ruangan.

Tao menghentikan pencariannya, ia sudah menemukan apa yang ia inginkan. Berita yang selama ini ia hindari.

“Diduga sidang ini ditunda karena Huang Zitao, jaksa yang menangani kasus ini belum diketahui keberadaannya. Kabar ini membuat banyak warga marah dan berdemo di depan kantor pengadilan tinggi negeri hari ini. Mereka menuntut keadilan untuk Wonhee, bocah yang diduga sebagai korban dalam kasus ini.”

Sora bisa mendengar suara napas Tao yang bergetar. Pria itu terlihat begitu tersiksa, namun tak kunjung mematikan televisinya.

“Mungkinkah mangkirnya Huang Zitao dari sidang hari selasa lalu merupakan pertanda ia mundur dari kasus ini?”


Reporter yang melaporkan langsung dari depan pengadilan tempat massa berkumpul, menghampiri salah satu peserta demo. Memberikan pertanyaan mengenai pendapatnya seputar penundaan jadwal sidang yang sudah terjadi dua kali.


Mikrofon diarahkan kepada seorang mahasiswa yang menatap kamera dengan penuh kemarahan, “Ini tidak bisa terus dibiarkan. Kasus ini harus segera mendapat kepastian. Keadilan harus ditegakkan!” katanya yang memancing peserta demo lainnya terprovokasi.

“Menghilangnya jaksa itu menimbulkan keresahan pada masyarakat. Setumpul itukah hukum di negeri kita untuk rakyat kecil?” kata mahasiswa lainnya.

“Timbul dugaan di tengah masyarakat bahwa Huang Zitao mundur karena sudah menerima uang suap dari pihak tertentu,” tambah seorang mahasiswi bertubuh mungil, namun penuh kebencian.

“Petugas korup sepertinya pasti akan dengan mudah menyerah setelah menerima sogokan dari Myungyeol Group. Yah, orang tua Hong Minjae pasti tidak akan membiarkan putra mereka membusuk di penjara.”


Sora mendengus, merasa kesal dengan tuduhan sok tahu gadis muda di layar televisi. “Kau tidak menerima uang dari siapapun! Demi Tuhan! Kenapa mereka mudah sekali menyimpulkan sesuatu!”
Sora menatap layar televisi dan wajah Tao bergantian. Merasa heran karena melihat Tao justru menyunggingkan senyum miring.


“Harusnya aku terima saja uang suapnya saat orang tua bajingan itu menyodorkan koper uang di hadapanku. Itu akan lebih mudah,” kata Tao setengah bergurau.

Sora melayangkan tatapan tidak terima ke arah Tao. Pria itu sudah gila, ya? Tao adalah salah satu orang yang begitu memegang teguh prinsipnya. Ia tidak pernah tergoda dengan tawaran suap selama kariernya.

Sora selalu bangga dengan keteguhan Tao untuk menegakkan keadilan. Namun pria itu baru saja membuatnya amat kecewa.

“Kalau aku menerima uang itu, hidupku akan jauh lebih mudah. Uang di tabunganku akan berlimpah jumlahnya, aku bisa membeli apa saja.” Tatapan Tao tidak lagi mengarah pada layar televisi, ia menerawang jauh ke dimensi lain. Dunia dimana semuanya baik-baik saja.

“Aku akan mengadakan pesta pernikahan yang megah, kemudian berbulan madu keliling eropa, membeli mobil sport yang selama ini kudambakan.” Ia tersenyum getir, lalu mendesah.

“Aku akan hidup bahagia dan tenang bersama keluarga kecilku,” katanya dengan penuh harap.


Sora tak percaya Tao mau bahagia di atas penderitaan orang lain. Kalau pria itu memilih hidup bahagia dengan menerima uang suap dari keluarga Hong Minjae, pria itu menghancurkan hidup seorang gadis kecil dan keluarganya.

“Kau bisa ambil uang itu, tapi aku tidak akan pernah menikahimu. Aku tidak akan mau melihatmu lagi,” ujar Sora tegas.

Pria itu mengusap kasar wajahnya, air mata kembali mengalir di pipinya yang tirus.
“Yang paling penting tidak akan ada orang yang harus kehilangan nyawanya. Ini tidak sepadan. Aku tidak sanggup menanggung semua ini.”


Tangis Tao pecah, pertahanan pria itu akhirnya runtuh bersama dengan isakan yang meluncur keluar dari mulutnya.


Pria itu meraih sesuatu di pinggir sofanya. Ia menarik keluar selembar foto. Ia sengaja menyembunyikannya di antara bantalan sofa supaya ia bisa mengambilnya sewaktu-waktu ia merindukan gadis itu.

Jemarinya mengusap wajah di dalam foto, terisak lebih kencang meratapi dukanya.

“Aku tidak sanggup menanggung semua ini sekaligus. Tanggung jawab ini, kebencian dari orang-orang, dan duka ini.” Napasnya sesak, menjadi lebih pendek dari sebelumnya.

“Kau pasti masih ada di dunia ini kalau aku menerima uangnya. Kau pasti masih bersamaku jika saja aku tidak menangani kasus ini.” Tao mengusap foto itu lagi, berharap bisa merasakan keberadaan gadis itu.


“Ini tidak sepadan, Sora. Harusnya hari itu aku tidak mengajakmu makan siang bersama. Harusnya aku.....” suara Tao menghilang karena gumpalan kesedihan yang selama ini ia pendam akhirnya meledak.


Kesedihan, kemarahan, kebencian, dan penyesalan. Semuanya bercampur menjadi satu memenuhi dadanya, membungkam mulutnya yang mengeluarkan suara isakan lebih keras.


Ingin rasanya Sora mengusap kepala pria itu, meredakan kesedihan itu dengan memeluknya dan mengusap punggung Tao. “Ssttt..semua akan baik-baik saja.” Ia berharap bisa mengatakan itu pada Tao.

Namun tak ada yang bisa ia lakukan. Pria itu tidak akan bisa mendengarnya maupun merasakan kehadirannya lagi.

“Kau tahu? Tua bangka itu..” Tao tergelak sambil menggelengkan kepala, ia segera mengoreksi ucapannya. “Maksudku ayahmu. Ia tadi menemuiku. Ia bilang kalau memang kau meninggal karena diriku, maka seharusnya aku tidak akan membiarkan nyawamu terbuang sia-sia.”


“Ia ingin aku menangani kasus ini, menyelesaikannya. Aku benci mengatakan ini, tapi ia memang benar.”

Sora mengangguk, menyetujui ucapan ayahnya. Tao harus kembali menghadapi kenyataan dan menguak semua bukti yang telah ia dapatkan.

“Tapi aku tidak bisa melakukanya. Itu egois sekali. Nyawamu terenggut karena ambisiku.”


Kali ini Sora menggelengkan kepalanya, “Tidak. Kau tidak tahu itu akan terjadi, tak seorangpun bisa menebaknya. Kau pasti akan melindungiku kalau tahu itu akan terjadi,” sergahnya.

“Kau harus menguak kebenarannya Tao. Orang itu harus dihukum untuk perbuatannya, kalau tidak pasti akan ada anak lainnya yang menjadi korban.”

Isakan Tao mulai mereda, pria itu menatap fotonya tanpa bersuara.

“Kau adalah pria yang hebat dan jujur. Aku ingin pergi dengan membawa kenangan baik tentangmu. Lakukanlah Tao,” kata Sora lirih.

“Aku ingat kau pernah bilang kalau ayahmu sangat ahli dalam memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai kehendaknya. Kurasa ia berhasil mengendalikan diriku,” ucapnya sambil tertawa lirih.

“Aku selalu mencintaimu dan bangga padamu, Huang Zitao. Kuharap kau bisa mendengar itu.” Sora menatap tunangannya dengan rasa kasih bercampur sedih.



***



Tiga minggu kemudian...


Ketukan palu itu menjadi akhir dari semua kisah menyedihkan ini. Tao menatap satu persatu anggota keluarga Hong Minjae yang tampak begitu terkejut dengan hukuman yang dijatuhkan kepada putranya. Hukuman mati.

Pria itu memang pantas mati.

Dan Tao akan memastikan pria itu mendapatkannya.


Bukan karena dendam pribadi, tapi murni karena kejahatan yang telah pria itu lakukan selama ini. Pria itu adalah seorang penjahat kelamin. Ia sudah mencabuli dan menyiksa lima orang anak di bawah umur. Kisaran usia korbannya dari lima sampai delapan tahun. Tiga orang di antaranya meninggal dunia karena infeksi, satu orang lagi masih berjuang  melalui terapi mingguan bersama seorang psikiater, dan korban terakhirnya, Kim Wonhee...


Tao mengedarkan pandangannya. Tatapannya jatuh ke arah gadis kecil yang duduk didampingi kedua orangtuanya dan anggota keluarganya yang lain. Gadis itu balas menatapnya, tidak menampakkan ekspresi apapun. Hanya mengerjapkan matanya sebelum menjatuhkan kembali pandangannya pada boneka kelinci di pangkuannya.

Suasana ruang sidang menjadi gaduh begitu sidang ditutup. Orang tua Hong Minjae berlari ke tengah ruangan dan meneriaki sang hakim, sementara seorang pria yang Tao ketahui adalah kakak Hong Minjae menghampirinya. Dari matanya terpancar kelicikan.


“Aku tidak tahu kau bisa seteguh ini. Tapi rupanya kau lebih peduli pada pekerjaanmu daripada tunanganmu,” kata pria itu mengejek.

Tao merasakan dadanya bergemuruh. Namun dengan cepat ia mengendalikan emosinya. Ia balik menatap tajam pria itu. “Kau tunggu saja giliranmu,” katanya sebelum berjalan melewati pria itu.

Ini belum selesai. Ia akan menegakkan keadilan untuk Kim Sora, untuk tunangannya. Dan ia akan memastikan semua yang terlibat akan mendapatkan hukuman yang setimpal.


***  



Dua minggu sebelum kejadian penembakan..


Tao menepikan mobilnya tepat di depan rumah Sora. Ia melirik gadis di sebelahnya yang tampak begitu sumringah. Hari ini ulang tahunnya dan gadis itu pantas mendapatkan semua kebahagiaan. Tao bisa memberikan apa saja untuk melihat gadis itu bahagia, walaupun nyatanya ia hanya mengajak gadis itu makan malam dan pergi ke bioskop untuk merayakan ulang tahunnya.
Yah, betapa tidak kreatifnya itu.


“Aku bisa melihat semua gigimu kalau kau tersenyum selebar itu,” katanya meledek.
Gadis itu memutar matanya namun sama sekali tidak mengurangi rona bahagia di wajahnya.
“Kau boleh mengatakan apapun dan aku akan pura-pura tidak mendengarnya. Aku tidak mau merusak kebahagianku hari ini dengan mendebatmu.” Gadis itu mengerutkan hidungnya, membuat Tao tertarik untuk mencubit hidung mungilnya.


“Aku punya hadiah untukmu di sana.” Tao menunjuk ke arah dashboard.
Instruksinya membuat Sora menjadi lebih bersemangat. Gadis itu menatapnya dengan kilat jail, “Aku terkejut kau bisa romantis,” ucapnya girang.

“Kau harusnya lihat dulu apa yang ada di dalam sana sebelum memutuskan itu romantis atau–“
“Kotak yang ini, kan?” Gadis itu meraih sebuah kotak berbentuk pipih yang berbalut beludru warna abu-abu tua.

Gadis itu membuka kotaknya lalu terkesiap melihat kalung berbandul bintang dengan taburan permata kecil di dalammnya. Bukan kalung yang terlihat begitu mencolok, sederhana namun elegan.

“Bintang?”
“Ya, karena kau sering mengeluh tidak bisa melihat bintang di malam hari. Kau suka?”

Gadis itu menatapnya lama, senyumnya terulas dan gadis itu langsung memeluknya.
“Ini indah. Aku suka sekali. Terimakasih,” kata Sora. Gadis itu mendaratkan kecupan di pipinya, kecupan ringan namun paling manis.
“Baguslah. Mulai dari sekarang kau cukup menundukkan kepalamu untuk melihat bintang.”

“Kau memetik bintang untuk hadiah ulang tahunku. Aku sangat terharu.”
Tao terkekeh, “Aku tidak memetiknya, aku memesannya dari toko perhiasan.”

“Itu kiasan. Sudahlah jangan banyak protes! Kau memang memetik bintang dan merangkainya dengan rantai berwarna rose gold untuk hadiah ulang tahunku,” kata gadis itu berkeras.
“Sekarang bantu aku untuk memakai kalung ini,” perintah Sora. Gadis itu langsung memunggunginya.

Ia mengambil kalung itu dari kotaknya, memposisikannya di sekeliling leher Sora, lalu berusaha untuk memasang kaitannya.

“Aku mencintaimu,” ungkap gadis itu.
“Aku tahu,” balasnya sambil lalu. Ia masih berusaha mengaitkan kalungnya.
“Kau juga harus mengatakannya. Ya Tuhan, ini ulang tahunku dan kau menolak mengatakan itu.”
Tao mengembuskan napas panjang, merasa puas karena berhasil memasang kaitannya.

“Aku sudah memetik bintang untuk ulang tahunmu. Bukankah itu lebih dari cukup untuk menunjukkan perasaanku?”
Gadis itu mendengus, “Apa susahnya sih mengatakan itu?” ujarnya jengkel.

Tao menggelengkan kepala, menatap gadis itu dengan terhibur. Bukan pertama kalinya mereka berdebat hanya karena ia tidak balas mengatakan ‘aku mencintaimu’ pada gadis itu. Ia selalu merasa senang bisa membuat gadis itu memutar matanya dan mendengus kesal.

Namun hari ini–seperti yang gadis itu katakan–adalah hari ulang tahun gadis itu. Tao akan melakukan apa saja untuknya.

Ia meraih tangan Sora, mengusap bagian dalam lengannya. Pandangan mereka bertemu dan sekejap dunia menjadi lebih indah.
“Aku mencintaimu. Bersamamu, aku tidak perlu memandang langit malam untuk melihat bintang.”



END

Horee!!!!!!! Akhirnya FF pertamaku di tahun 2019 kelar juga.
Dan akhirnya ide lama ini bisa ditulis sampai kelar.

Ide FF ini udah ada dari zaman majapahit gaess.. Bohong deng..
Ide ini muncul waktu zamannya aku berangkat ke kampus naik kopaja warna kuning-ijo yang jalannya ugal-ugalan kayak udah bosen hidup. Berarti udah ada dari aku semester 3 atau 4 karena setelah ada transjakarta jurusan Kp.Rambutan – Ciputat, aku meninggalkan kebiasaan naik kopaja dengan senang hati. Tapi bukan itu intinya.

Masih inget banget waktu itu aku duduk di sela-sela perseneling (namanya juga kopaja ada ruang sekecil apapun akan digunakan untuk menampung penumpang) sebelahan sama abang sopir yang terlalu semangat nginjek gasnya.

Waktu itu lagi hujan aku bisa lihat betapa kelabunya langit dan air hujan menerpa kaca depan bus. Aku dengerin lagunya Adam Levine yang ‘Lost Stars’ terus terhanyut karena air hujannya masuk ke dalam bus  aku kebayang perasaan kehilangan. Terus kebayang deh muka Sora sama Tao, lalu ide ff ini muncul.

Aku langsung nulis ide ini di notes hp biar gak lupa. Dan entah kenapa walaupun udah tau alur ceritanya dari awal sampai akhir, tapi gak langsung diketik jadi ff. Padahal feelnya dapet banget, aku bahkan sampe gak ngerasa jengkel karena jalanan macet waktu ngebayangin ide ini.

Tiba-tiba beberapa hari ini aku kepingin nulis ff ini. Kangen Sora-Tao. Dengan semangat yang pasang surut, aku mulai dengan bikin posternya, terus mulai ngetik besoknya, lalu ditinggal seharian karena gak bisa memunculkan feelnya, besoknya lagi juga masih didiemin, lalu keesokannya lagi aku lanjutin walaupun gak dapet banyak, tapi lumayan. Dan hari ini dengan tekad yang sangat besar aku melanjutkan apa yang telah kumulai.

Awalnya berat, gak berasa apa-apa, terus di bagian Tao ketemu bapaknya Sora baru deh ngerasain masuk ke ffnya, hingga akhirnya aku berhasil menuliskan kata terakhir ff ini. Aku terharu *lari ke pelukan Cha Eunwoo*

Jadi seperti itulah kisah perjalanan ide ff ini. Semoga kalian suka dan menikmati. Dan sekian dulu dariku. Terimakasih buat kalian yang udah baca. Sampai ketemu kapan-kapan.



Best Regards,


GSB


Comments

Popular Posts