Do You Want Some Fluff? Vol.8
Genre : Fluff
Author : Salsa
***
#1. Teddy Bear Jelly (Taeyong – Hana)
Jam dinding sudah menunjukkan
pukul 10 malam saat Hana kembali dari kampusnya. Matanya berkunang-kunang
ngantuk dan kakinya terasa tak menapak di lantai saking lelahnya.
Saat memasuki ruang tengah, Hana
melihat Taeyong tengah duduk bersila di sofa, memangku buku yang sudah
ditekuninya selama dua hari terakhir—A
Little History of Science, karya William F. Bynum. Taeyong bilang itu buku
dari ayahnya, Profesor Baek. Beliau sudah beberapa kali mengajak Taeyong untuk
ikut bekerja di Stein Lab; menjadi
asistenku, katanya. Namun Taeyong masih bimbang. Selain karena nepotisme
(sebab ayahnya adalah salah satu pimpinan di laboratorium sains tersebut),
Taeyong juga tak mau meninggalkan ibunya di Mungyeong.
“Hei,” sapa Hana selembut
mungkin, berusaha untuk tidak mengejutkannya.
Taeyong praktis menoleh dan
seketika otot-otot di wajahnya terangkat ke atas. Sambutan manis itu membuat sebagian
rasa lelah yang dirasakan Hana menguap ke langit-langit. Tak ada seorang pun yang
pernah terlihat sebahagia itu dengan kedatangannya. Bahkan ibunya sendiri pun
tidak.
“Kenapa kau belum tidur?”
“Aku menunggumu,” jawab Taeyong
seraya menutup buku.
“Kau selalu menungguku.”
“Ini tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan denganmu. Kau menungguku 5 tahun.”
Hana menggeleng dan tersenyum. Ia
mengenyakkan diri di kursi meja makan di belakang sofa yang diduduki Taeyong
dan menunduk membuka tali sepatunya.
“Apa kau sudah mau tidur?” tanya
sang pria.
“Tidak,” jawab Hana lesu. “Aku
masih harus mengerjakan tugas.”
“Mau kutemani?”
“Tidak usah. Ini akan lama.” Hana
menendang sepatunya ke pojok tembok dan langsung mengeluarkan modul-modul dari
dalam tasnya. Membebernya di meja makan yang kosong.
“Kau serius tidak mau kutemani?”
“Tidak usah, terima kasih.”
“Tapi aku akan kembali ke
Mungyeong besok pagi.”
Hana yang sedang membuka tempat
pensilnya sontak membeku. Ia segera menoleh pada Taeyong dengan mata melebar.
“Besok?”
“Ya. Ini sudah tiga hari,” kata Taeyong
muram. Memang begitu kesepakatan awalnya. Bunda Sejeong hanya memberinya izin
untuk menginap di rumah Hana selama tiga hari. Dan walaupun keberatan, baik
Hana maupun Taeyong tak punya pilihan lain selain menyetujuinya.
“Astaga. Maafkan aku. Kita bahkan
belum sempat jalan-jalan.”
“Tidak masalah. Aku senang ada di
sini. Tadi siang aku diajak ke swalayan oleh ibumu. Aku menghabiskan banyak
waktu dengannya.”
“Tapi denganku belum,” balas Hana
iri. “Aku janji akan berkunjung ke rumah singgah minggu depan, setelah
laporanku selesai.”
Taeyong tersenyum cerah dan
mengangguk. “Anak-anak asuh pasti akan senang melihatmu.”
“Ya,” jawab Hana lemah. “Kalau
begitu, karena kau akan pulang besok, mau temani aku mengerjakan tugas sebentar?
Hanya beberapa menit. Setelah itu kau bisa tidur duluan.”
“Dengan senang hati,” sambut
Taeyong. Ia segera beranjak dari sofa, meninggalkan bukunya di nakas dan menghampiri Hana di meja makan. Ia sengaja mengambil tempat duduk terjauh
supaya tidak mengganggu sang gadis.
Beberapa menit terlewat, Taeyong yang
sedari tadi hanya memerhatikan Hana mengerjakan tugas kini mencondongkan
badannya ke kiri dan mengulurkan tangannya untuk membuka kulkas. Ia mengambil
dua buah bungkusan kecil dan meletakkannya di meja di hadapannya.
“Han, kau suka warna apa?”
“Pink,” jawa Hana cepat, tanpa
mengalihkan pandang dari artikel bacaannya sama sekali. Hana benar-benar sudah
terbiasa dengan Taeyong yang suka mencetuskan pertanyaan mendadak hingga ia
tidak merasa heran lagi.
“Tidak ada warna itu,” keluh
Taeyong. “Selain itu?”
“Uh, merah?”
“Okay,” jawab Taeyong puas.
“Sebenarnya apa sih yang kau
lakukan?” Hana akhirnya penasaran juga.
“Teddy bear jelly,” gumam sang lawan bicara, nampak tak berniat
untuk memperjelas ucapannya sama sekali.
Hana melirik ke ujung meja dengan
desah tawa bingung sebelum kembali
mengarahkan perhatiannya pada bukunya.
Untuk beberapa menit selanjutnya,
kedua orang di meja makan itu sama-sama fokus. Hana fokus pada tugasnya (yang
bahkan belum seperempatnya selesai), sementara di ujung meja, Taeyong sibuk
dengan hal lain. Dengan telaten, pria itu memisahkan gummy bear yang ia beli di swalayan tadi siang. Ia meletakkan gummy bear yang merah ke atas tisu sementara
warna yang lain masuk ke mulutnya.
Begitu dua bungkus selesai
terbagi, Taeyong berdiri dari duduknya dan menyorongkan tisu berisi gummy bear merah ke sebelah Hana.
Hana berhenti menulis. Ia menatap
beruang-beruang kecil di sebelah bukunya itu sebelum mendongak pada wajah
mengantuk Taeyong.
“Wooseok Hyung akan menjemputku
jam delapan pagi. Setel alarm-mu, jadi aku bisa bilang sampai jumpa sebelum
pergi.”
Hana tersenyum haru padanya dan
mengangguk. “Terima kasih beruangnya.”
“Mereka bisa dimakan.” Taeyong
memberi tahu.
“Aku tahu.”
“Aku menemukannya di swalayan.
Ibumu membolehkanku membelinya.”
“Terima kasih sudah membelinya.”
“Aku cuma mengambilnya dari rak,
ibumu yang beli,” gumam Taeyong, matanya terus mengerjap sekalipun ia sudah
menahannya. “Aku akan tidur sekarang.”
“Oke. Sampai ketemu besok.”
Taeyong mengangguk tipis seraya
berjalan menuju kamarnya.
“Setel alarm-mu, Han! Jangan
lupa.” Ia memperingatkan seraya membuka pintu.
“Oke.”
“Dan makan Teddy Bear Jelly-nya.”
Hana terkikik kemudian
mengoreksi. “Namanya gummy bear.”
Namun Taeyong nampaknya sudah
terlalu lelah untuk membenarkan diri. Ia melambaikan tangannya dengan lembut sebelum menutup pintu.
“Setel alarm-mu!”
“Iya.”
#2. Armwrestling (Changjo – Wendy)
Aroma lezat burger dan ayam
goreng serta gemuruh percakapan pengunjung langsung menyambut Wendy
dan Changjo begitu mereka membuka pintu.
“Tripple burger with cheese,”
kata Changjo kepada Wendy seraya duduk.
“Maaf?”
“Triple burger with cheese.”
Changjo mengulangi. Pria itu sudah bersandar nyaman di kursi dan meletakkan
ponselnya di meja, sementara Wendy hanya berdiri di depannya dengan tampang
berang.
“Apa lagi yang kau tunggu? Cepat
pesan.”
“Kenapa selalu aku yang pesan?”
“Karena aku sudah duduk dan kau
masih berdiri.”
Wendy cepat-cepat duduk.
“Sekarang kita sama-sama duduk,” katanya. “Aku mau kau yang pesan.”
“Wen, apa-apaan! Aku duduk
duluan.”
“Memangnya kenapa? Kau tinggal
berdiri lagi. Apa susahnya?”
“Kau juga tinggal berdiri lagi,
apa susahnya?”
“Aku tidak mau.”
“Aku juga tidak mau.”
“Aku juga tidak mau.”
“Apa jangan-jangan kau takut
memesan makanan? Fobia sosial?”
“Jangan gila! Mana mungkin orang
sepertiku fobia sosial?”
“Lalu kenapa? Ada orang yang kau
suka, ya? Makanya malu-malu.” Setelah bicara begitu, Wendy langsung menoleh
penasaran pada beberapa pelayan wanita di restoran cepat saji tersohor itu.
Mencari-cari siapa kiranya yang paling mendekati tipe ideal sang sahabat. Namun
Changjo mendecakkan lidahnya keras-keras dan mencondongkan badan pada Wendy.
“Aku tidak menyukai siapa pun di
sini. Bukannya kau yang suka?” Changjo mengedikan dagunya pada satu-satunya
kasir cowok di balik konter. “Itu kan incaranmu.”
Mata Wendy langsung membelalak.
“Apa? Kata siapa!”
“Tck, ayolah Wen! Aku sudah
berpengalaman soal ini. Kau sudah merahasiakan perasaanmu pada Wonwoo serapat
mungkin tapi aku tetap mengetahuinya. Kau pikir ada yang bisa kau tutupi
dariku? Aku punya deteksi radar super akurat soal cowok-cowok yang kau suka.”
“Aku tidak menyukainya,” bantah
Wendy tak habir pikir. Dia bersumpah dia baru melihat cowok itu hari ini.
Bagaimana bisa suka?
“Kau menyukainya,” Changjo
meyakinkan. “Kau selalu memesan di barisannya sambil bersikap centil.”
“A-apa? Heh, bisakah kau berhenti
mengada-ada!”
“Aku tidak mengada-ada. Mungkin
kau tidak menyadarinya, tapi kau selalu melembut-lembutkan suara saat bicara
dengannya. Kemudian menyelipkan rambut di belakang telinga seperti ini. Lalu
kau juga suka minta tambahan tisu sambil mengedip-ngedip.”
Wendy memang selalu minta
tambahan tisu, tapi ia tak pernah melakukannya sambil mengedip-ngedip. Gadis
itu menatap lawan bicaranya dengan takjub. Dia benar-benar kehilangan kata.
Changjo pandai sekali mengarang, dia harusnya membuat novel. Dia amat piawai
membalik keadaan dan menyudutkannya dengan membuat-buat gosip yang sebenarnya
tidak ada. Wendy tahu fakta itu sepenuh hati tapi entah bagaimana tetap saja emosi.
“Padahal aku sengaja mengalah dan
membiarkanmu pergi memesan supaya kau bisa menggodanya, tapi…”
“Tutup mulutmu dan cepat pesan.”
“Aku tak mau.”
“Kalau tidak mau, berarti kita
tidak makan.”
“Wen, aku lapar.”
“YA PESAN SANA!” teriaknya tak
tahan. Wendy benar-benar tak mengerti kenapa mereka harus seribut ini hanya
untuk memesan makanan.
“Begini saja,” kata Changjo
sambil mengatupkan tangannya sok bijak, “kita adu panco, yang kalah harus pesan.”
“Sekaligus bayar,” sambar Wendy.
Changjo mendengus mencemooh,
“sekaligus bayar,” ulangnya sepakat. “Kuharap kau bawa uang tambahan, Wen.”
Wendy segera memosisikan sikunya
di atas meja. “Jangan banyak omong! Ayo lakukan!”
Changjo menyemburkan tawa. Nampak
terhibur sekali. Lantas menyelipkan jemarinya di jemari Wendy. “Kau siap?”
“Ya.”
“Satu…“ Changjo mulai
menghitung, “dua… tiga.”
Pertarungan harga diri yang sama
sekali tak bisa disebut sengit pun dimulai. Wendy berjuang sekuat tenaga sementara di sisi lain Changjo jelas-jelas meremehkannya. Pria itu terus memandangnya sambil tersenyum geli. Dia hanya memberikan
tenaga secukupnya untuk menahan perlawanan Wendy, membuat tautan tangan mereka
tetap berada di tengah, seolah-olah tak bergerak.
“Serius? Tenagamu cuma segini? Padahal aku belum mengeluarkan
sepersepuluh dari tenagaku. Aku jadi tak enak. Kukira kau tidak sepayah ini.”
“Wen, astaga! Ayo yang semangat, dong! Malu dilihat orang.”
“Kau belum makan dari pagi, ya? Adu panco dengan nenekku bahkan lebih
sulit dari ini.”
Saat Changjo tengah
sombong-sombongnya, berceloteh sembari cekikikan meledek, Wendy yang tak tahan
akhirnya mengulurkan kepalanya untuk mencium punggung tangan sang lawan.
Changjo yang tak menduga hal tersebut praktis terkejut dan
kehilangan fokus. Wendy tak menyia-nyiakan kesempatan itu dan BRAKKK.
Tangan Changjo terdorong begitu
mudahnya sampai menjeblak keras di meja.
“Yeaaaaaayyy.” Wendy menjerit
puas sampai membuat orang di sekeliling mereka menoleh.
“Kau curang.”
“Tidak aku tidak curang.”
“Ya, kau curang. Kenapa kau
menciumku?”
“Memangnya kenapa? Ada aturannya
tidak boleh cium?” sergah Wendy tak mau kalah. “Lagian sadar diri, dong! Lihat
bisepmu sebesar apa!! Setiap menentukan sesuatu selalu saja adu panco.
Sinting!”
“Kalau tidak mau adu panco kan
bisa bilang dari awal.” Changjo mendumel dengan muka memerah. Entah karena
benar-benar tidak terima sudah kalah dalam olahraga favoritnya atau karena
fakta bahwa punggung tangannya baru saja dicium perempuan. Sebagai manusia
super rigid yang tak pernah terlibat hubungan romantis dengan insan mana pun di
muka bumi, hal sesederhana barusan nampaknya sanggup membuat seorang Choi
Changjo panik dan tersipu sampai telinganya merah.
“Cepat pesan! Kita sudah 10 menit
di sini.”
Changjo mau tak mau berdiri
seraya mengeluarkan dompetnya. Dia mengintip isinya dengan gerakan dramatis dan
langsung menggeleng sambil meremas dada. Wendy memutar mata melihat sikap berlebihannya itu.
“Aku mau big mac. Tidak pakai
acar.”
“Bodo!”
“YAH!”
“Kupesankan air mineral saja,”
katanya sambil berlalu.
“YAH! CHANGJO! BIG MAC!”
“Air mineral.”
“CHANGJO!”
#3. Confession Drinker (Yuta – Ye Eun)
Yuta bisa merasakan kegugupan
menggelayut di dadanya saat sang pelayan kafe yang ia mintai tolong melangkah
pergi sambil membawa gulungan kertasnya.
“Aku akan memasukkannya sedemikian
rupa sampai pasanganmu tak tahu.” Pelayan itu berkata dengan penuh semangat
sebelum pergi.
Yuta mengangguk dan berterima
kasih padanya.
Setelah beberapa lama, yang
ditunggu-tunggu pun datang. Dari belakang, Ye Eun mencondongkan kepalanya di
bahu Yuta dan menampilkan ekspresi lugu dibuat-buat.
“Permisi, Tuan. Apa kursi di
depanmu kosong?”
Yuta menoleh dan tersenyum
mengikuti sandiwaranya. “Maaf, Nona. Aku menyimpannya untuk teman perempuanku.”
“Sayang sekali.”
“Yeah, sayang sekali,” balas
Yuta. “Tapi pangkuanku kosong jika kau mau.”
Yuta mengangkat sebelah alisnya
dengan jail sambil mengedikan dagunya ke pangkuannya. Ye Eun sontak tergelak.
Gadis itu memutar bola matanya sembari mengambil posisi duduk di seberang Yuta,
mengakhiri sandiwara mereka.
“Serius? Begitu caramu merayu
perempuan? Dengan menyuruh mereka duduk di pangkuanmu?”
“Aku tidak menyuruh,” sergah
Yuta. “Aku mengucapkan ‘kalau kau mau’, itu jelas penawaran.”
“Okay, terserah. Sekarang dengar,
aku minta maaf karena datang seterlambat ini. Akan ada inspeksi gudang di
restoran, aku harus membantu Ji Won menyortir persediaan yang kurang layak.”
“Tidak masalah,” kata Yuta
santai, melirik arlojinya. “Cuma lewat sepuluh menit. Aku tidak akan
menyebutnya terlambat.”
“Tetap saja aku minta maaf. Kau tahu, aku bahkan berlari ke sini karena tak mau membuatmu menunggu.
Lihat, bahkan napasku masih agak tersengal sekarang.” Ye Eun memegangi dadanya
yang berdebar kencang sembari menarik napas panjang untuk meredakannya. “Bisakah
kita pesan minuman sekarang? Aku haus.”
“Minuman?” Yuta mengulangi,
sementara matanya melirik pelayan di samping bar, memberikan isyarat agar ia
memberikan minumannya sekarang.
“Aku sudah pesan,” kata Yuta, dan selang beberapa detik saja, sebuah gelas tinggi berisi minuman dingin
diletakkan persis di hadapan Ye Eun.
Pelayan pria yang membawakannya
berkata ‘silahkan dinikmati’ dengan ramah pada Ye Eun dan mengangkat ibu
jarinya dari balik nampannya kepada Yuta untuk memberi semangat, lantas pergi dengan
senyum lebar.
“Minuman apa ini?” tanya Ye Eun,
mengamati gelas berembunnya dari berbagai sisi dengan pandangan asing.
“Shin Ye Eun-ssi,” mulai Yuta
serius, menyatukan kedua tangannya di meja sementara jantungnya bertalu-talu
tak keruan.
“Aku tahu kita baru kenal lima
bulan. Bukan waktu yang lama, memang. Tapi aku merasa itu sudah cukup
untuk—YAH! Shin Ye Eun, kau meminum pengakuanku!”
Ye Eun mengernyit sebelum
merasakan sesuatu yang aneh melewati tenggorokannya. Gadis itu segera memegangi
lehernya yang terasa tidak nyaman dan membelalak pada Yuta, “Aku minum APA?!”
“Kertasnya! Harusnya kau minum
pelan-pelan! Kenapa tiba-tiba menenggaknya begitu?”
“AKU MENELAN KERTAS?”
“Itu bukan kertas biasa! Itu
pengakuanku! Aku menulis ‘maukah kau jadi pacarku’ dengan bahasa inggris, dan
tulisan sambung! Aku menulisnya berjam-jam dengan tinta khusus di kertas tahan
air dan kau malah meminumnya!”
“Ya ampun!”
“Shin Ye Eun! Benar-benar!”
“Dasar idiot! Aku bisa mati
keracunan tinta dan kau malah memarahiku!”
“AKU TIDAK MEMARAHIMU. AKU MARAH
KARENA SEMUANYA JADI BERANTAKAN KARENAMU.”
“AKU MENELAN KERTAS DAN KAU
MEMARAHIKU.”
“AKU TIDAK MEMARAHIMU ASTAGA.”
“BERHENTI MARAH PADAKU.”
“AKU TIDAK MARAH PADAMU.”
Beberapa pengunjung lain serta
pelayan yang penuh dedikasi tadi menatap mereka dengan kaget. Namun baik Yuta
maupun Ye Eun tak memedulikannya. Mereka mendecakkan lidah dan saling membuang
muka satu sama lain. Ye Eun terus memegangi tenggorokannya dengan ekspresi syok
sementara di seberangnya Yuta nampak begitu terpukul.
Saat itu, ponsel Ye Eun berbunyi,
Ji Won memintanya kembali ke restoran untuk membantunya menyambut petugas
inspeksi.
“Aku harus kembali ke restoran,”
katanya seraya menyambar tas dan berdiri.
Yuta ikut berdiri. Dengan ketus
berkata, “Kuantar.”
Ye Eun memutar mata dan berjalan
mendahuluinya keluar kafe.
Yuta merogoh sakunya,
mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar minuman beserta uang tipnya, lantas
melangkah keluar menyusul Ye Eun.
Mereka berjalan dalam diam sampai
keduanya tiba di restoran tempat Ye Eun bekerja.
Sebelum masuk ke dalam, Ye Eun menghela napas dan
berbalik pada Yuta. Walaupun masih agak kesal, namun
gadis itu tak mau berpisah dari sang pria dan melanjutkan sisa harinya dengan
perasaan terganjal seperti ini. “Aku minta maaf sudah mengacaukan rencanamu.”
Yuta yang sejak tadi berjalan di
belakangnya dengan muka tertekuk seketika terbeliak. Raut kerasnya melunak dan
ia dengan cepat menggeleng, menolak mentah-mentah permintaan maaf itu. “Aku
yang harusnya minta maaf. Maaf sudah membuatmu berpotensi keracunan.”
Ye Eun mendenguskan senyum.
Yuta menatapnya dan ikut mendenguskan senyum.
“Baiklah. Sampai jumpa besok,”
kata Yuta. Ia melambaikan tangannya seraya menyunggingkan senyum tipis, lantas
berbalik pergi.
“Yuta,” panggil Ye Eun. Sang
pemilik nama pun menoleh.
“Aku mau,” kata sang gadis.
“Mau apa?”
“Jadi pacarmu.”
Yuta membatu. “Kau serius?”
“Serius.”
“Ah,” gumam Yuta, sepenuhnya
kehilangan kata. “Oke.”
“Kumohon jangan pernah memasukkan
apa pun ke minumanku lagi.”
“Lain kali
akan kumasukkan ke makananmu.”
“Yuta!”
“Aku bercanda.”
Ye Eun tersenyum canggung padanya
dan Yuta membalasnya dengan kecanggungan yang sama.
“Sampai ketemu besok,” kata Yuta
akhirnya, meremas tengkuknya dengan gerakan kikuk. Wajahnya berubah merah jambu
dan ia berpikir untuk kembali ke kafe tadi dan memberikan tip tambahan kepada
pelayannya. Rencana hari ini tidak sepenuhnya gagal. Mereka pacaran. Rencananya melenceng jauh dari bayangannya dan mereka tetap pacaran. Itu luar
biasa. Semesta benar-benar menyayanginya.
“Sampai jumpa besok.”
“Sampai jumpa besok.”
“Aku pergi.”
“Ya.”
“Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
“Aku benar-benar akan pergi.”
“Hati-hati di jalan.”
“Aku akan pergi.”
“Ya.”
“Aku benar-benar pergi.”
“Yuta astaga!”
Yuta tertawa. “Aku tiba-tiba tak
mau pergi.”
“Kalau begitu pesanlah sesuatu di
restoran dan tunggu aku sampai pulang.”
“Boleh?”
“Boleh.”
“Kita akan kencan setelah itu.”
“Serius?”
“Serius.”
“Baiklah, kutunggu.”
#4. Just The Way We Are (Wonwoo – Hyo Jin)
Hyo Jin menyesap limunnya sambil
menggeleng dramatis sebelum kembali merajuk.
“Apa sih gunanya punya handphone kalau
tidak bisa dihubungi!” katanya, dengan intonasi super merana dan wajah kecewa.
Wonwoo yang perkataannya terus diselak selama lima belas menit terakhir cuma
bisa memandangnya.
Mereka duduk di restoran seafood
Anseong pada pukul tiga sore di hari Minggu. Suasana di luar nampak cerah
sekali dan suasana di dalam pun tak kalah cerah. Setiap meja diisi oleh
keluarga atau pasangan yang bahagia, semuanya.. kecuali meja mereka. Hyo Jin
terus mengeluh soal apa pun yang Wonwoo lakukan dan betapa ia tidak menyukai
sikapnya. Dia terus bicara dengan ekspresi setengah menangis kemudian menghela
napas nelangsa dan bicara lagi, tanpa memberi jeda alih-alih kesempatan bagi
Wonwoo untuk membela diri.
“Kau bahkan tak pernah
mengirimiku pesan duluan! Aku penasaran sesibuk apa sih UKM Radio itu sampai
mengecek handphone saja tidak bisa. Dan jangan bilang kau jarang buka
handphone. Ya ampun, memangnya ada ya manusia di generasi ini yang seperti itu?
Jujur saja, sikapmu membuatku lelah. Rasanya seperti menjalin hubungan dengan
tembok. Kalau begini terus…”
“Dia mau keluar.” Wonwoo
tiba-tiba berdiri.
Hyo Jin mengernyit. “Siapa?”
tanyanya, namun lawan bicaranya sudah pergi duluan.
“Wah!” Hyo Jin merasa hatinya
mencelos. Ia kesal sekali sampai rasanya ia ingin membalik semua meja di
ruangan ini. “Benar-benar! Cowok macam apa sih dia! Aku sedang bicara serius
dan anak itu malah…” Gerutuannya langsung terhenti begitu ia menoleh. Ternyata,
yang pria itu maksud dengan ‘dia’ adalah seorang nenek tua yang jalannya sudah
bungkuk. Wanita itu melangkah pelan sekali sementara Wonwoo tersenyum sambil
menahan pintu untuknya.
“Maaf, Nak. Aku tak bisa lebih
cepat dari ini.”
“Tak usah cepat-cepat. Aku tak
akan ke mana-mana,” balas Wonwoo, lengkap dengan senyum seperempat khasnya.
Begitu sang nenek berhasil
melewatinya, ia menyentuh pipi Wonwoo dan berkata, “Tuhan memberkatimu,” sambil
mengumbar senyum tulus. Semua guratan di pipi wanita itu melengkung ke atas dan
dia terlihat benar-benar berterima kasih. Hyo Jin bisa merasakan hatinya
mencelos (lagi) untuk alasan yang berbeda.
Wonwoo membalas ucapan itu
sembari membungkukkan badan, lantas menutup pintunya kembali.
Hyo Jin cepat-cepat berpaling dan menunduk menatap makanannya. Perasaannya terasa aneh. Ia mendorong
rambutnya ke belakang, menyesap limunnya banyak-banyak lalu menunduk lebih
dalam.
“Oke, kau bisa lanjut sekarang,”
kata Wonwoo begitu ia kembali.
Hyo Jin mendongak sekilas, lalu
kembali memalingkan wajah.
“Kenapa tak bicara? Kau sudah
selesai?”
Hyo Jin tetap bergeming.
“Baiklah. Jadi ini giliranku?”
Hyo Jin lagi-lagi tak menjawab, maka Wonwoo menganggapnya sebagai persetujuan.
Wonwoo menghirup napas banyak-banyak seolah sedang mempersiapkan diri untuk berpidato panjang, lantas benar-benar bicara, “Dengar, Park Hyo Jin, pertama-tama, aku minta maaf. Aku tak pernah punya pacar sebelumnya jadi aku tak tahu kalau memberi kabar empat kali sehari adalah kewajiban pokok orang pacaran. Kemudian, kau tak perlu melimpahkan kesalahanku pada UKM Radio, ini bukan soal UKM, akunya saja yang memang jarang periksa handphone. Sebagaimana perkataanmu tadi, kau pasti sedang berpikir bagaimana mungkin ada manusia di generasi ini yang jarang periksa handphone?” Hyo Jin mendengus kesal melihat Wonwoo meniru-niru gaya bicaranya. Pria itu lantas mengembalikan suaranya ke mode normal, “jawabannya ada. Yeah, aku. Sebab percaya atau tidak, aku punya kehidupanku sendiri di luar sana. Aku punya tugas yang harus dikerjakan, aku punya teman untuk diajak ke kantin, aku punya keluarga yang harus ditelepon dan aku juga punya kelas yang harus kuhadiri. Gedung fakultas kita bahkan berbeda. Dan yeah, aku tahu cowokmu yang dulu juga anak musik, dia juga punya kelas, juga punya teman, juga punya keluarga, dan dia bisa meneleponmu seratus kali sehari, dia selalu ada di depan pintu kelasmu tiap kau keluar, menyambutmu dengan jaket kulit dan lolipop di mulut, bertingkah seolah dia orang paling keren sekampus. Dia bahkan selalu punya waktu untuk diajak makan siang berdua di kantin rektorat, tapi…” Wonwoo berusaha mengontrol emosinya, kemudian menatap Hyo Jin tepat di mata, “aku bukan dia.”
Hyo Jin lagi-lagi tak menjawab, maka Wonwoo menganggapnya sebagai persetujuan.
Wonwoo menghirup napas banyak-banyak seolah sedang mempersiapkan diri untuk berpidato panjang, lantas benar-benar bicara, “Dengar, Park Hyo Jin, pertama-tama, aku minta maaf. Aku tak pernah punya pacar sebelumnya jadi aku tak tahu kalau memberi kabar empat kali sehari adalah kewajiban pokok orang pacaran. Kemudian, kau tak perlu melimpahkan kesalahanku pada UKM Radio, ini bukan soal UKM, akunya saja yang memang jarang periksa handphone. Sebagaimana perkataanmu tadi, kau pasti sedang berpikir bagaimana mungkin ada manusia di generasi ini yang jarang periksa handphone?” Hyo Jin mendengus kesal melihat Wonwoo meniru-niru gaya bicaranya. Pria itu lantas mengembalikan suaranya ke mode normal, “jawabannya ada. Yeah, aku. Sebab percaya atau tidak, aku punya kehidupanku sendiri di luar sana. Aku punya tugas yang harus dikerjakan, aku punya teman untuk diajak ke kantin, aku punya keluarga yang harus ditelepon dan aku juga punya kelas yang harus kuhadiri. Gedung fakultas kita bahkan berbeda. Dan yeah, aku tahu cowokmu yang dulu juga anak musik, dia juga punya kelas, juga punya teman, juga punya keluarga, dan dia bisa meneleponmu seratus kali sehari, dia selalu ada di depan pintu kelasmu tiap kau keluar, menyambutmu dengan jaket kulit dan lolipop di mulut, bertingkah seolah dia orang paling keren sekampus. Dia bahkan selalu punya waktu untuk diajak makan siang berdua di kantin rektorat, tapi…” Wonwoo berusaha mengontrol emosinya, kemudian menatap Hyo Jin tepat di mata, “aku bukan dia.”
Hyo Jin merasa tertampar, tapi
berhasil menahan wajahnya untuk tidak mengeluarkan ekspresi berlebihan.
“Kau terus bilang ke semua orang
kalau kau membencinya, tapi di saat yang sama kau mati-matian mengubahku serupa
dengannya. Kontras, bukan?”
Senyuman mencibir tersungging di
bibir sang pria sementara tatapannya mengarah pada es limun yang Hyo Jin pesankan
untuknya, “Nah, bukti nyatanya di sini. Aku sudah tak sanggup menghitung berapa
kali aku bilang padamu aku tak suka minuman asam, tapi kau terus membelikan
minuman ini padaku. Kenapa? Karena cowok itu menyukainya.”
Hyo Jin turut memandang es limun
itu dan otomatis menunduk lagi. Wonwoo benar. Hyo Jin tak pernah merasa sebodoh
ini seumur hidupnya. Dan ia bersyukur Wonwoo mengingatkannya sekarang, sebelum
semuanya terlalu jauh. Ia juga bersyukur Wonwoo menyela ucapannya untuk
membukakan pintu bagi wanita lansia tadi, ia bersyukur Wonwoo mengingatkannya
pada alasan utama ia bisa jatuh hati padanya.
“Tapi aku milikmu, Hyo. Mengingat
segila apa aku mengejarmu dulu, aku tak mungkin melepasmu begitu saja hanya
karena kita punya pandangan yang agak berbeda. Jadi ubahlah aku semaumu, tak
masalah,” kata Wonwoo, begitu pasrahnya hingga membuat ia kehilangan semua
wibawanya. “Tapi menurutku, alangkah hebatnya jika… kau tahu, jika kita belajar
bersama-sama. Aku akan menerimamu apa adanya, dan kau akan menerima lelaki
membosankan ini, menerimaku, apa adanya.”
Wonwoo menunggu Hyo Jin
meresponsnya tapi gadis itu terus saja bergeming. Wonwoo pun mendesah, “Oke,
aku mengerti,” simpulnya, mengartikan sikap diam Hyo Jin sebagai jawaban. “Jadi
sekarang, bisa beri tahu aku apa yang harus kulakukan? Bisa ajari aku bagaimana
caranya membuatmu senang?”
Karena Hyo Jin masih tak mau buka
mulut, Wonwoo pun mengeluarkan ponselnya dari saku celana. “Aku suka lupa
waktu, jadi lebih baik kita buat alarmnya sekarang. Jam berapa saja kau mau
kutelepon?”
“Wonwoo.”
“Wah, akhirnya kau bicara.”
“Wonwoo serius.”
“Dan kau pikir semua ucapanku
tadi main-main? Jadi aku harus apa, eh? Aku tak tahu lagi harus apa.
Bagaimana tepatnya aku harus bersikap supaya tidak terus-terusan salah di
matamu? Apa kau mau aku pakai jaket kulit dan mengisap lolipop mulai besok?”
“Tidak.”
“Tidak apa?”
“Kau tidak salah,” jawab Hyo Jin.
“Tidak pernah salah. Aku yang salah. Maafkan aku.”
Kali ini gantian Wonwoo yang
bergeming. Raut wajahnya serta-merta melunak.
“Aku tak tahu kalau tingkahku
selama ini membuatmu tertekan. Maafkan aku.”
“Tidak, tunggu,” sela Wonwoo
panik. “Aku yang minta maaf.”
“Wonwoo, diamlah.”
“Tidak, aku tidak bermaksud…”
“Wonwoo,” sela Hyo Jin. “Tolong
tegur aku kalau aku salah atau bertingkah kelewat batas. Jangan diam saja.
Jangan tersenyum dan menuruti semua permintaanku kalau itu membuatmu tak
nyaman. Ya, hubungan ini memang baru untukmu, tapi ini juga baru untukku. Aku
tak pernah punya cowok yang begitu… pendiam.”
Mereka berdua terdiam. Suara
pengunjung-pengunjung lain di restoran itu terdengar riang dan membahana,
membuat keduanya semakin terlihat menyedihkan.
“Aku mencintaimu, benar-benar
cinta. Aku mau semuanya sempurna, jadi aku berusaha mewujudkannya. Tapi tanpa
kusadari aku berjalan ke arah yang salah, dan kau, walaupun kau tahu aku salah
jalan, kau malah mengikutiku begitu saja.” Hyo Jin menatap Wonwoo seolah sedang
menyalahkan, kemudian mengubah ekspresinya menjadi memohon, “Tarik saja aku!
Tidak apa-apa. Katakan padaku jalan mana yang harusnya kita tempuh. Jangan
menimbun semuanya di hati lalu tiba-tiba meledak seperti tadi. Semua ucapanmu
membuatku terkejut.”
“Aku tak bermaksud…”
“Jadi,” sela Hyo Jin lantang,
membuat Wonwoo terdiam. “Apa boleh kita akhiri saja?”
“Apa?”
“Aku malu denganmu.”
“Malu?”
“Ya. Ayo putus!”
“Tunggu. Apa!”
“Kau mendengarku.”
“Kita bahkan belum pacaran secara
resmi.”
“Ah, benar. Itu lebih baik.”
“Apanya yang lebih baik?” tukas
Wonwoo tak senang. “Aku tak peduli kita belum pacaran. Aku tidak mau putus.”
“Aku juga tidak. Tapi kalau
begini, bukankah kita hanya akan menyakiti satu sama lain? Maksudku, mungkin
aku dan kau terlalu… bertolak belakang. Tipe idealmu dan tipe idealku… tidak
cocok.”
“Dan sejak kapan aku punya tipe
ideal?”
“Kau selalu muak dengan
telepon-telepon dariku.”
“Aku cuma tak tahu harus bicara
apa? Dan kadang kau menelepon sampai berjam-jam, ibuku jadi tak bisa
menelepon.”
“Maafkan aku, jadi ayo putus
saja!”
“Apa ini caramu menyelesaikan
masalah?” tanya Wonwoo dengan suara tak percaya. Kemudian mengulanginya lagi
dengan nada mencibir, “Apa ini caramu dengan mantanmu menyelesaikan masalah?
Itu konyol.”
“Wonwoo….”
“Kau denganku sekarang, dan bukan
begini caraku menyelesaikan masalah,” Wonwoo memotongnya tegas, rahangnya
mengeras lagi. “Kita tidak akan putus. Kita akan cari jalan keluarnya.”
“Tidak ada jalan keluarnya.”
“Ada,” balas Wonwoo cepat.
“Sekarang, mumpung kita ada waktu, mau buat jadwal baru denganku?” Jemarinya bergulir ke aplikasi memo. “Aku bisa menghubungimu
setidaknya satu kali setiap hari, saat aku mau tidur. Dan aku bisa menjemputmu
pada hari Kamis dan Jum’at, setelah
kelasku usai, kalau kau tak keberatan menunggu.”
Hyo Jin menggeleng. Wonwoo
mendesah dan menirunya menggeleng. “Apa maksudnya itu?” tanyanya. Ia mengulurkan tangannya yang bebas untuk menyentuh tangan Hyo Jin.
“Bagaimana kalau kau beri aku waktu seminggu?" Wonwoo menawarkan. "Kalau
kau benar-benar tak tahan dengan sifatku maka oke, kita putus.”
“Seminggu?”
“Ya, aku akan meneleponmu tiap hari,
aku bersumpah.”
“Kau tidak suka ditelepon.”
“Aku tidak suka ditelepon, tapi
kau suka ditelepon, jadi aku akan melakukannya.”
“Itu tidak adil.”
“Bagaimana caranya supaya adil?”
“Cukup telepon aku kalau kau
sedang merindukanku,” kata Hyo Jin, “maksimal tiga hari. Kalau sudah tiga hari
dan ternyata kau tidak merindukanku juga, kau tetap harus meneleponku.”
Wonwoo tertawa. Meremas tangan
Hyo Jin dan mengangguk setuju, “Oke.”
“Wonwoo, aku benar-benar berharap
hubungan kita akan berhasil.”
“Aku juga.” Wonwoo membawa
telapak tangan Hyo Jin ke mulutnya, menciumnya sekilas dan tersenyum penuh
pengertian. “Aku akan berusaha sekuat mungkin, aku janji.”
“Aku juga akan berusaha sekuat
mungkin. Aku janji.”
FIN
Makasih para pembaca sekalian....
wasalam^^
Comments
Post a Comment