Do You Want Some Fluff? Vol.8

Genre : Fluff
Author : Salsa


***


#1. Teddy Bear Jelly (Taeyong – Hana)



Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam saat Hana kembali dari kampusnya. Matanya berkunang-kunang ngantuk dan kakinya terasa tak menapak di lantai saking lelahnya.


Saat memasuki ruang tengah, Hana melihat Taeyong tengah duduk bersila di sofa, memangku buku yang sudah ditekuninya selama dua hari terakhir—A Little History of Science, karya William F. Bynum. Taeyong bilang itu buku dari ayahnya, Profesor Baek. Beliau sudah beberapa kali mengajak Taeyong untuk ikut bekerja di Stein Lab; menjadi asistenku, katanya. Namun Taeyong masih bimbang. Selain karena nepotisme (sebab ayahnya adalah salah satu pimpinan di laboratorium sains tersebut), Taeyong juga tak mau meninggalkan ibunya di Mungyeong.


“Hei,” sapa Hana selembut mungkin, berusaha untuk tidak mengejutkannya.


Taeyong praktis menoleh dan seketika otot-otot di wajahnya terangkat ke atas. Sambutan manis itu membuat sebagian rasa lelah yang dirasakan Hana menguap ke langit-langit. Tak ada seorang pun yang pernah terlihat sebahagia itu dengan kedatangannya. Bahkan ibunya sendiri pun tidak.


“Kenapa kau belum tidur?”
“Aku menunggumu,” jawab Taeyong seraya menutup buku.
“Kau selalu menungguku.”
“Ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganmu. Kau menungguku 5 tahun.”


Hana menggeleng dan tersenyum. Ia mengenyakkan diri di kursi meja makan di belakang sofa yang diduduki Taeyong dan menunduk membuka tali sepatunya.


“Apa kau sudah mau tidur?” tanya sang pria.
“Tidak,” jawab Hana lesu. “Aku masih harus mengerjakan tugas.”
“Mau kutemani?”
“Tidak usah. Ini akan lama.” Hana menendang sepatunya ke pojok tembok dan langsung mengeluarkan modul-modul dari dalam tasnya. Membebernya di meja makan yang kosong.


“Kau serius tidak mau kutemani?”
“Tidak usah, terima kasih.”
“Tapi aku akan kembali ke Mungyeong besok pagi.”


Hana yang sedang membuka tempat pensilnya sontak membeku. Ia segera menoleh pada Taeyong dengan mata melebar. “Besok?”


“Ya. Ini sudah tiga hari,” kata Taeyong muram. Memang begitu kesepakatan awalnya. Bunda Sejeong hanya memberinya izin untuk menginap di rumah Hana selama tiga hari. Dan walaupun keberatan, baik Hana maupun Taeyong tak punya pilihan lain selain menyetujuinya.


“Astaga. Maafkan aku. Kita bahkan belum sempat jalan-jalan.”
“Tidak masalah. Aku senang ada di sini. Tadi siang aku diajak ke swalayan oleh ibumu. Aku menghabiskan banyak waktu dengannya.”


“Tapi denganku belum,” balas Hana iri. “Aku janji akan berkunjung ke rumah singgah minggu depan, setelah laporanku selesai.”


Taeyong tersenyum cerah dan mengangguk. “Anak-anak asuh pasti akan senang melihatmu.”


“Ya,” jawab Hana lemah. “Kalau begitu, karena kau akan pulang besok, mau temani aku mengerjakan tugas sebentar? Hanya beberapa menit. Setelah itu kau bisa tidur duluan.”


“Dengan senang hati,” sambut Taeyong. Ia segera beranjak dari sofa, meninggalkan bukunya di nakas dan menghampiri Hana di meja makan. Ia sengaja mengambil tempat duduk terjauh supaya tidak mengganggu sang gadis.


Beberapa menit terlewat, Taeyong yang sedari tadi hanya memerhatikan Hana mengerjakan tugas kini mencondongkan badannya ke kiri dan mengulurkan tangannya untuk membuka kulkas. Ia mengambil dua buah bungkusan kecil dan meletakkannya di meja di hadapannya.


“Han, kau suka warna apa?”
“Pink,” jawa Hana cepat, tanpa mengalihkan pandang dari artikel bacaannya sama sekali. Hana benar-benar sudah terbiasa dengan Taeyong yang suka mencetuskan pertanyaan mendadak hingga ia tidak merasa heran lagi.


“Tidak ada warna itu,” keluh Taeyong. “Selain itu?”
“Uh, merah?”
“Okay,” jawab Taeyong puas.
“Sebenarnya apa sih yang kau lakukan?” Hana akhirnya penasaran juga.
Teddy bear jelly,” gumam sang lawan bicara, nampak tak berniat untuk memperjelas ucapannya sama sekali.


Hana melirik ke ujung meja dengan desah tawa bingung sebelum kembali mengarahkan perhatiannya pada bukunya.


Untuk beberapa menit selanjutnya, kedua orang di meja makan itu sama-sama fokus. Hana fokus pada tugasnya (yang bahkan belum seperempatnya selesai), sementara di ujung meja, Taeyong sibuk dengan hal lain. Dengan telaten, pria itu memisahkan gummy bear yang ia beli di swalayan tadi siang. Ia meletakkan gummy bear yang merah ke atas tisu sementara warna yang lain masuk ke mulutnya.


Begitu dua bungkus selesai terbagi, Taeyong berdiri dari duduknya dan menyorongkan tisu berisi gummy bear merah ke sebelah Hana.


Hana berhenti menulis. Ia menatap beruang-beruang kecil di sebelah bukunya itu sebelum mendongak pada wajah mengantuk Taeyong.


“Wooseok Hyung akan menjemputku jam delapan pagi. Setel alarm-mu, jadi aku bisa bilang sampai jumpa sebelum pergi.”


Hana tersenyum haru padanya dan mengangguk. “Terima kasih beruangnya.”


“Mereka bisa dimakan.” Taeyong memberi tahu.
“Aku tahu.”
“Aku menemukannya di swalayan. Ibumu membolehkanku membelinya.”
“Terima kasih sudah membelinya.”
“Aku cuma mengambilnya dari rak, ibumu yang beli,” gumam Taeyong, matanya terus mengerjap sekalipun ia sudah menahannya. “Aku akan tidur sekarang.”


“Oke. Sampai ketemu besok.”


Taeyong mengangguk tipis seraya berjalan menuju kamarnya.


“Setel alarm-mu, Han! Jangan lupa.” Ia memperingatkan seraya membuka pintu.
“Oke.”
“Dan makan Teddy Bear Jelly-nya.”


Hana terkikik kemudian mengoreksi. “Namanya gummy bear.”


Namun Taeyong nampaknya sudah terlalu lelah untuk membenarkan diri. Ia melambaikan tangannya dengan lembut sebelum menutup pintu.



“Setel alarm-mu!”
“Iya.”


#2. Armwrestling (Changjo – Wendy)



Aroma lezat burger dan ayam goreng serta gemuruh percakapan pengunjung langsung menyambut Wendy dan Changjo begitu mereka membuka pintu.


“Tripple burger with cheese,” kata Changjo kepada Wendy seraya duduk.
“Maaf?”
“Triple burger with cheese.” Changjo mengulangi. Pria itu sudah bersandar nyaman di kursi dan meletakkan ponselnya di meja, sementara Wendy hanya berdiri di depannya dengan tampang berang.


“Apa lagi yang kau tunggu? Cepat pesan.”
“Kenapa selalu aku yang pesan?”
“Karena aku sudah duduk dan kau masih berdiri.”


Wendy cepat-cepat duduk. “Sekarang kita sama-sama duduk,” katanya. “Aku mau kau yang pesan.”


“Wen, apa-apaan! Aku duduk duluan.”
“Memangnya kenapa? Kau tinggal berdiri lagi. Apa susahnya?”
“Kau juga tinggal berdiri lagi, apa susahnya?”
“Aku tidak mau.”
“Aku juga tidak mau.”
“Apa jangan-jangan kau takut memesan makanan? Fobia sosial?”
“Jangan gila! Mana mungkin orang sepertiku fobia sosial?”
“Lalu kenapa? Ada orang yang kau suka, ya? Makanya malu-malu.” Setelah bicara begitu, Wendy langsung menoleh penasaran pada beberapa pelayan wanita di restoran cepat saji tersohor itu. Mencari-cari siapa kiranya yang paling mendekati tipe ideal sang sahabat. Namun Changjo mendecakkan lidahnya keras-keras dan mencondongkan badan pada Wendy.


“Aku tidak menyukai siapa pun di sini. Bukannya kau yang suka?” Changjo mengedikan dagunya pada satu-satunya kasir cowok di balik konter. “Itu kan incaranmu.”


Mata Wendy langsung membelalak.


“Apa? Kata siapa!”
“Tck, ayolah Wen! Aku sudah berpengalaman soal ini. Kau sudah merahasiakan perasaanmu pada Wonwoo serapat mungkin tapi aku tetap mengetahuinya. Kau pikir ada yang bisa kau tutupi dariku? Aku punya deteksi radar super akurat soal cowok-cowok yang kau suka.”


“Aku tidak menyukainya,” bantah Wendy tak habir pikir. Dia bersumpah dia baru melihat cowok itu hari ini. Bagaimana bisa suka?


“Kau menyukainya,” Changjo meyakinkan. “Kau selalu memesan di barisannya sambil bersikap centil.”
“A-apa? Heh, bisakah kau berhenti mengada-ada!”
“Aku tidak mengada-ada. Mungkin kau tidak menyadarinya, tapi kau selalu melembut-lembutkan suara saat bicara dengannya. Kemudian menyelipkan rambut di belakang telinga seperti ini. Lalu kau juga suka minta tambahan tisu sambil mengedip-ngedip.”


Wendy memang selalu minta tambahan tisu, tapi ia tak pernah melakukannya sambil mengedip-ngedip. Gadis itu menatap lawan bicaranya dengan takjub. Dia benar-benar kehilangan kata. Changjo pandai sekali mengarang, dia harusnya membuat novel. Dia amat piawai membalik keadaan dan menyudutkannya dengan membuat-buat gosip yang sebenarnya tidak ada. Wendy tahu fakta itu sepenuh hati tapi entah bagaimana tetap saja emosi.


“Padahal aku sengaja mengalah dan membiarkanmu pergi memesan supaya kau bisa menggodanya, tapi…”


“Tutup mulutmu dan cepat pesan.”
“Aku tak mau.”
“Kalau tidak mau, berarti kita tidak makan.”
“Wen, aku lapar.”
“YA PESAN SANA!” teriaknya tak tahan. Wendy benar-benar tak mengerti kenapa mereka harus seribut ini hanya untuk memesan makanan.


“Begini saja,” kata Changjo sambil mengatupkan tangannya sok bijak, “kita adu panco, yang kalah harus pesan.”


“Sekaligus bayar,” sambar Wendy.


Changjo mendengus mencemooh, “sekaligus bayar,” ulangnya sepakat. “Kuharap kau bawa uang tambahan, Wen.”


Wendy segera memosisikan sikunya di atas meja. “Jangan banyak omong! Ayo lakukan!”


Changjo menyemburkan tawa. Nampak terhibur sekali. Lantas menyelipkan jemarinya di jemari Wendy. “Kau siap?”


“Ya.”
“Satu…“ Changjo mulai menghitung, “dua… tiga.”


Pertarungan harga diri yang sama sekali tak bisa disebut sengit pun dimulai. Wendy berjuang sekuat tenaga sementara di sisi lain Changjo jelas-jelas meremehkannya. Pria itu terus memandangnya sambil tersenyum geli. Dia hanya memberikan tenaga secukupnya untuk menahan perlawanan Wendy, membuat tautan tangan mereka tetap berada di tengah, seolah-olah tak bergerak.


“Serius? Tenagamu cuma segini? Padahal aku belum mengeluarkan sepersepuluh dari tenagaku. Aku jadi tak enak. Kukira kau tidak sepayah ini.”

“Wen, astaga! Ayo yang semangat, dong! Malu dilihat orang.”

“Kau belum makan dari pagi, ya? Adu panco dengan nenekku bahkan lebih sulit dari ini.”


Saat Changjo tengah sombong-sombongnya, berceloteh sembari cekikikan meledek, Wendy yang tak tahan akhirnya mengulurkan kepalanya untuk mencium punggung tangan sang lawan. Changjo yang tak menduga hal tersebut praktis terkejut dan kehilangan fokus. Wendy tak menyia-nyiakan kesempatan itu dan BRAKKK.


Tangan Changjo terdorong begitu mudahnya sampai menjeblak keras di meja.


“Yeaaaaaayyy.” Wendy menjerit puas sampai membuat orang di sekeliling mereka menoleh.
“Kau curang.”
“Tidak aku tidak curang.”
“Ya, kau curang. Kenapa kau menciumku?”
“Memangnya kenapa? Ada aturannya tidak boleh cium?” sergah Wendy tak mau kalah. “Lagian sadar diri, dong! Lihat bisepmu sebesar apa!! Setiap menentukan sesuatu selalu saja adu panco. Sinting!”


“Kalau tidak mau adu panco kan bisa bilang dari awal.” Changjo mendumel dengan muka memerah. Entah karena benar-benar tidak terima sudah kalah dalam olahraga favoritnya atau karena fakta bahwa punggung tangannya baru saja dicium perempuan. Sebagai manusia super rigid yang tak pernah terlibat hubungan romantis dengan insan mana pun di muka bumi, hal sesederhana barusan nampaknya sanggup membuat seorang Choi Changjo panik dan tersipu sampai telinganya merah.


“Cepat pesan! Kita sudah 10 menit di sini.”


Changjo mau tak mau berdiri seraya mengeluarkan dompetnya. Dia mengintip isinya dengan gerakan dramatis dan langsung menggeleng sambil meremas dada. Wendy memutar mata melihat sikap berlebihannya itu.


“Aku mau big mac. Tidak pakai acar.”
“Bodo!”
“YAH!”
“Kupesankan air mineral saja,” katanya sambil berlalu.
“YAH! CHANGJO! BIG MAC!”
“Air mineral.”
“CHANGJO!”



#3. Confession Drinker (Yuta – Ye Eun)




Yuta bisa merasakan kegugupan menggelayut di dadanya saat sang pelayan kafe yang ia mintai tolong melangkah pergi sambil membawa gulungan kertasnya.


“Aku akan memasukkannya sedemikian rupa sampai pasanganmu tak tahu.” Pelayan itu berkata dengan penuh semangat sebelum pergi.


Yuta mengangguk dan berterima kasih padanya.


Setelah beberapa lama, yang ditunggu-tunggu pun datang. Dari belakang, Ye Eun mencondongkan kepalanya di bahu Yuta dan menampilkan ekspresi lugu dibuat-buat.


“Permisi, Tuan. Apa kursi di depanmu kosong?”


Yuta menoleh dan tersenyum mengikuti sandiwaranya. “Maaf, Nona. Aku menyimpannya untuk teman perempuanku.”


“Sayang sekali.”
“Yeah, sayang sekali,” balas Yuta. “Tapi pangkuanku kosong jika kau mau.”


Yuta mengangkat sebelah alisnya dengan jail sambil mengedikan dagunya ke pangkuannya. Ye Eun sontak tergelak. Gadis itu memutar bola matanya sembari mengambil posisi duduk di seberang Yuta, mengakhiri sandiwara mereka.


“Serius? Begitu caramu merayu perempuan? Dengan menyuruh mereka duduk di pangkuanmu?”
“Aku tidak menyuruh,” sergah Yuta. “Aku mengucapkan ‘kalau kau mau’, itu jelas penawaran.”
“Okay, terserah. Sekarang dengar, aku minta maaf karena datang seterlambat ini. Akan ada inspeksi gudang di restoran, aku harus membantu Ji Won menyortir persediaan yang kurang layak.”


“Tidak masalah,” kata Yuta santai, melirik arlojinya. “Cuma lewat sepuluh menit. Aku tidak akan menyebutnya terlambat.”


“Tetap saja aku minta maaf. Kau tahu, aku bahkan berlari ke sini karena tak mau membuatmu menunggu. Lihat, bahkan napasku masih agak tersengal sekarang.” Ye Eun memegangi dadanya yang berdebar kencang sembari menarik napas panjang untuk meredakannya. “Bisakah kita pesan minuman sekarang? Aku haus.”


“Minuman?” Yuta mengulangi, sementara matanya melirik pelayan di samping bar, memberikan isyarat agar ia memberikan minumannya sekarang.


“Aku sudah pesan,” kata Yuta, dan selang beberapa detik saja, sebuah gelas tinggi berisi minuman dingin diletakkan persis di hadapan Ye Eun.


Pelayan pria yang membawakannya berkata ‘silahkan dinikmati’ dengan ramah pada Ye Eun dan mengangkat ibu jarinya dari balik nampannya kepada Yuta untuk memberi semangat, lantas pergi dengan senyum lebar.


“Minuman apa ini?” tanya Ye Eun, mengamati gelas berembunnya dari berbagai sisi dengan pandangan asing.


“Shin Ye Eun-ssi,” mulai Yuta serius, menyatukan kedua tangannya di meja sementara jantungnya bertalu-talu tak keruan.


“Aku tahu kita baru kenal lima bulan. Bukan waktu yang lama, memang. Tapi aku merasa itu sudah cukup untuk—YAH! Shin Ye Eun, kau meminum pengakuanku!”


Ye Eun mengernyit sebelum merasakan sesuatu yang aneh melewati tenggorokannya. Gadis itu segera memegangi lehernya yang terasa tidak nyaman dan membelalak pada Yuta, “Aku minum APA?!”


“Kertasnya! Harusnya kau minum pelan-pelan! Kenapa tiba-tiba menenggaknya begitu?”
“AKU MENELAN KERTAS?”
“Itu bukan kertas biasa! Itu pengakuanku! Aku menulis ‘maukah kau jadi pacarku’ dengan bahasa inggris, dan tulisan sambung! Aku menulisnya berjam-jam dengan tinta khusus di kertas tahan air dan kau malah meminumnya!”


“Ya ampun!”
“Shin Ye Eun! Benar-benar!”
“Dasar idiot! Aku bisa mati keracunan tinta dan kau malah memarahiku!”
“AKU TIDAK MEMARAHIMU. AKU MARAH KARENA SEMUANYA JADI BERANTAKAN KARENAMU.”
“AKU MENELAN KERTAS DAN KAU MEMARAHIKU.”
“AKU TIDAK MEMARAHIMU ASTAGA.”
“BERHENTI MARAH PADAKU.”
“AKU TIDAK MARAH PADAMU.”


Beberapa pengunjung lain serta pelayan yang penuh dedikasi tadi menatap mereka dengan kaget. Namun baik Yuta maupun Ye Eun tak memedulikannya. Mereka mendecakkan lidah dan saling membuang muka satu sama lain. Ye Eun terus memegangi tenggorokannya dengan ekspresi syok sementara di seberangnya Yuta nampak begitu terpukul.


Saat itu, ponsel Ye Eun berbunyi, Ji Won memintanya kembali ke restoran untuk membantunya menyambut petugas inspeksi.


“Aku harus kembali ke restoran,” katanya seraya menyambar tas dan berdiri.


Yuta ikut berdiri. Dengan ketus berkata, “Kuantar.”


Ye Eun memutar mata dan berjalan mendahuluinya keluar kafe.


Yuta merogoh sakunya, mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar minuman beserta uang tipnya, lantas melangkah keluar menyusul Ye Eun.


Mereka berjalan dalam diam sampai keduanya tiba di restoran tempat Ye Eun bekerja.


Sebelum masuk ke dalam, Ye Eun menghela napas dan berbalik pada Yuta. Walaupun masih agak kesal, namun gadis itu tak mau berpisah dari sang pria dan melanjutkan sisa harinya dengan perasaan terganjal seperti ini. “Aku minta maaf sudah mengacaukan rencanamu.”


Yuta yang sejak tadi berjalan di belakangnya dengan muka tertekuk seketika terbeliak. Raut kerasnya melunak dan ia dengan cepat menggeleng, menolak mentah-mentah permintaan maaf itu. “Aku yang harusnya minta maaf. Maaf sudah membuatmu berpotensi keracunan.”


Ye Eun mendenguskan senyum.


Yuta menatapnya dan ikut mendenguskan senyum.


“Baiklah. Sampai jumpa besok,” kata Yuta. Ia melambaikan tangannya seraya menyunggingkan senyum tipis, lantas berbalik pergi.


“Yuta,” panggil Ye Eun. Sang pemilik nama pun menoleh.
“Aku mau,” kata sang gadis.
“Mau apa?”
“Jadi pacarmu.”


Yuta membatu. “Kau serius?”


“Serius.”
“Ah,” gumam Yuta, sepenuhnya kehilangan kata. “Oke.”
“Kumohon jangan pernah memasukkan apa pun ke minumanku lagi.”
“Lain kali akan kumasukkan ke makananmu.”
“Yuta!”
“Aku bercanda.”


Ye Eun tersenyum canggung padanya dan Yuta membalasnya dengan kecanggungan yang sama.


“Sampai ketemu besok,” kata Yuta akhirnya, meremas tengkuknya dengan gerakan kikuk. Wajahnya berubah merah jambu dan ia berpikir untuk kembali ke kafe tadi dan memberikan tip tambahan kepada pelayannya. Rencana hari ini tidak sepenuhnya gagal. Mereka pacaran. Rencananya melenceng jauh dari bayangannya dan mereka tetap pacaran. Itu luar biasa. Semesta benar-benar menyayanginya.


“Sampai jumpa besok.”
“Sampai jumpa besok.”
“Aku pergi.”
“Ya.”
“Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
“Aku benar-benar akan pergi.”
“Hati-hati di jalan.”
“Aku akan pergi.”
“Ya.”
“Aku benar-benar pergi.”
“Yuta astaga!”


Yuta tertawa. “Aku tiba-tiba tak mau pergi.”


“Kalau begitu pesanlah sesuatu di restoran dan tunggu aku sampai pulang.”
“Boleh?”
“Boleh.”
“Kita akan kencan setelah itu.”
“Serius?”
“Serius.”
“Baiklah, kutunggu.”


#4. Just The Way We Are (Wonwoo – Hyo Jin)
  


Hyo Jin menyesap limunnya sambil menggeleng dramatis sebelum kembali merajuk.


“Apa sih gunanya punya handphone kalau tidak bisa dihubungi!” katanya, dengan intonasi super merana dan wajah kecewa. Wonwoo yang perkataannya terus diselak selama lima belas menit terakhir cuma bisa memandangnya.


Mereka duduk di restoran seafood Anseong pada pukul tiga sore di hari Minggu. Suasana di luar nampak cerah sekali dan suasana di dalam pun tak kalah cerah. Setiap meja diisi oleh keluarga atau pasangan yang bahagia, semuanya.. kecuali meja mereka. Hyo Jin terus mengeluh soal apa pun yang Wonwoo lakukan dan betapa ia tidak menyukai sikapnya. Dia terus bicara dengan ekspresi setengah menangis kemudian menghela napas nelangsa dan bicara lagi, tanpa memberi jeda alih-alih kesempatan bagi Wonwoo untuk membela diri.


“Kau bahkan tak pernah mengirimiku pesan duluan! Aku penasaran sesibuk apa sih UKM Radio itu sampai mengecek handphone saja tidak bisa. Dan jangan bilang kau jarang buka handphone. Ya ampun, memangnya ada ya manusia di generasi ini yang seperti itu? Jujur saja, sikapmu membuatku lelah. Rasanya seperti menjalin hubungan dengan tembok. Kalau begini terus…”


“Dia mau keluar.” Wonwoo tiba-tiba berdiri.


Hyo Jin mengernyit. “Siapa?” tanyanya, namun lawan bicaranya sudah pergi duluan.


“Wah!” Hyo Jin merasa hatinya mencelos. Ia kesal sekali sampai rasanya ia ingin membalik semua meja di ruangan ini. “Benar-benar! Cowok macam apa sih dia! Aku sedang bicara serius dan anak itu malah…” Gerutuannya langsung terhenti begitu ia menoleh. Ternyata, yang pria itu maksud dengan ‘dia’ adalah seorang nenek tua yang jalannya sudah bungkuk. Wanita itu melangkah pelan sekali sementara Wonwoo tersenyum sambil menahan pintu untuknya.


“Maaf, Nak. Aku tak bisa lebih cepat dari ini.”
“Tak usah cepat-cepat. Aku tak akan ke mana-mana,” balas Wonwoo, lengkap dengan senyum seperempat khasnya.


Begitu sang nenek berhasil melewatinya, ia menyentuh pipi Wonwoo dan berkata, “Tuhan memberkatimu,” sambil mengumbar senyum tulus. Semua guratan di pipi wanita itu melengkung ke atas dan dia terlihat benar-benar berterima kasih. Hyo Jin bisa merasakan hatinya mencelos (lagi) untuk alasan yang berbeda.


Wonwoo membalas ucapan itu sembari membungkukkan badan, lantas menutup pintunya kembali.


Hyo Jin cepat-cepat berpaling dan menunduk menatap makanannya. Perasaannya terasa aneh. Ia mendorong rambutnya ke belakang, menyesap limunnya banyak-banyak lalu menunduk lebih dalam.


“Oke, kau bisa lanjut sekarang,” kata Wonwoo begitu ia kembali.


Hyo Jin mendongak sekilas, lalu kembali memalingkan wajah.


“Kenapa tak bicara? Kau sudah selesai?”


Hyo Jin tetap bergeming.


“Baiklah. Jadi ini giliranku?”


Hyo Jin lagi-lagi tak menjawab, maka Wonwoo menganggapnya sebagai persetujuan.


Wonwoo menghirup napas banyak-banyak seolah sedang mempersiapkan diri untuk berpidato panjang, lantas benar-benar bicara, “Dengar, Park Hyo Jin, pertama-tama, aku minta maaf. Aku tak pernah punya pacar sebelumnya jadi aku tak tahu kalau memberi kabar empat kali sehari adalah kewajiban pokok orang pacaran. Kemudian, kau tak perlu melimpahkan kesalahanku pada UKM Radio, ini bukan soal UKM, akunya saja yang memang jarang periksa handphone. Sebagaimana perkataanmu tadi, kau pasti sedang berpikir bagaimana mungkin ada manusia di generasi ini yang jarang periksa handphone?” Hyo Jin mendengus kesal melihat Wonwoo meniru-niru gaya bicaranya. Pria itu lantas mengembalikan suaranya ke mode normal, “jawabannya ada. Yeah, aku. Sebab percaya atau tidak, aku punya kehidupanku sendiri di luar sana. Aku punya tugas yang harus dikerjakan, aku punya teman untuk diajak ke kantin, aku punya keluarga yang harus ditelepon dan aku juga punya kelas yang harus kuhadiri. Gedung fakultas kita bahkan berbeda. Dan yeah, aku tahu cowokmu yang dulu juga anak musik, dia juga punya kelas, juga punya teman, juga punya keluarga, dan dia bisa meneleponmu seratus kali sehari, dia selalu ada di depan pintu kelasmu tiap kau keluar, menyambutmu dengan jaket kulit dan lolipop di mulut, bertingkah seolah dia orang paling keren sekampus. Dia bahkan selalu punya waktu untuk diajak makan siang berdua di kantin rektorat, tapi…” Wonwoo berusaha mengontrol emosinya, kemudian menatap Hyo Jin tepat di mata, “aku bukan dia.”


Hyo Jin merasa tertampar, tapi berhasil menahan wajahnya untuk tidak mengeluarkan ekspresi berlebihan.


“Kau terus bilang ke semua orang kalau kau membencinya, tapi di saat yang sama kau mati-matian mengubahku serupa dengannya. Kontras, bukan?”


Senyuman mencibir tersungging di bibir sang pria sementara tatapannya mengarah pada es limun yang Hyo Jin pesankan untuknya, “Nah, bukti nyatanya di sini. Aku sudah tak sanggup menghitung berapa kali aku bilang padamu aku tak suka minuman asam, tapi kau terus membelikan minuman ini padaku. Kenapa? Karena cowok itu menyukainya.”


Hyo Jin turut memandang es limun itu dan otomatis menunduk lagi. Wonwoo benar. Hyo Jin tak pernah merasa sebodoh ini seumur hidupnya. Dan ia bersyukur Wonwoo mengingatkannya sekarang, sebelum semuanya terlalu jauh. Ia juga bersyukur Wonwoo menyela ucapannya untuk membukakan pintu bagi wanita lansia tadi, ia bersyukur Wonwoo mengingatkannya pada alasan utama ia bisa jatuh hati padanya.


“Tapi aku milikmu, Hyo. Mengingat segila apa aku mengejarmu dulu, aku tak mungkin melepasmu begitu saja hanya karena kita punya pandangan yang agak berbeda. Jadi ubahlah aku semaumu, tak masalah,” kata Wonwoo, begitu pasrahnya hingga membuat ia kehilangan semua wibawanya. “Tapi menurutku, alangkah hebatnya jika… kau tahu, jika kita belajar bersama-sama. Aku akan menerimamu apa adanya, dan kau akan menerima lelaki membosankan ini, menerimaku, apa adanya.”


Wonwoo menunggu Hyo Jin meresponsnya tapi gadis itu terus saja bergeming. Wonwoo pun mendesah, “Oke, aku mengerti,” simpulnya, mengartikan sikap diam Hyo Jin sebagai jawaban. “Jadi sekarang, bisa beri tahu aku apa yang harus kulakukan? Bisa ajari aku bagaimana caranya membuatmu senang?”


Karena Hyo Jin masih tak mau buka mulut, Wonwoo pun mengeluarkan ponselnya dari saku celana. “Aku suka lupa waktu, jadi lebih baik kita buat alarmnya sekarang. Jam berapa saja kau mau kutelepon?”


“Wonwoo.”
“Wah, akhirnya kau bicara.”
“Wonwoo serius.”
“Dan kau pikir semua ucapanku tadi main-main? Jadi aku harus apa, eh? Aku tak tahu lagi harus apa. Bagaimana tepatnya aku harus bersikap supaya tidak terus-terusan salah di matamu? Apa kau mau aku pakai jaket kulit dan mengisap lolipop mulai besok?”


“Tidak.”
“Tidak apa?”
“Kau tidak salah,” jawab Hyo Jin. “Tidak pernah salah. Aku yang salah. Maafkan aku.”


Kali ini gantian Wonwoo yang bergeming. Raut wajahnya serta-merta melunak.


“Aku tak tahu kalau tingkahku selama ini membuatmu tertekan. Maafkan aku.”
“Tidak, tunggu,” sela Wonwoo panik. “Aku yang minta maaf.”
“Wonwoo, diamlah.”
“Tidak, aku tidak bermaksud…”
“Wonwoo,” sela Hyo Jin. “Tolong tegur aku kalau aku salah atau bertingkah kelewat batas. Jangan diam saja. Jangan tersenyum dan menuruti semua permintaanku kalau itu membuatmu tak nyaman. Ya, hubungan ini memang baru untukmu, tapi ini juga baru untukku. Aku tak pernah punya cowok yang begitu… pendiam.”


Mereka berdua terdiam. Suara pengunjung-pengunjung lain di restoran itu terdengar riang dan membahana, membuat keduanya semakin terlihat menyedihkan.


“Aku mencintaimu, benar-benar cinta. Aku mau semuanya sempurna, jadi aku berusaha mewujudkannya. Tapi tanpa kusadari aku berjalan ke arah yang salah, dan kau, walaupun kau tahu aku salah jalan, kau malah mengikutiku begitu saja.” Hyo Jin menatap Wonwoo seolah sedang menyalahkan, kemudian mengubah ekspresinya menjadi memohon, “Tarik saja aku! Tidak apa-apa. Katakan padaku jalan mana yang harusnya kita tempuh. Jangan menimbun semuanya di hati lalu tiba-tiba meledak seperti tadi. Semua ucapanmu membuatku terkejut.”


“Aku tak bermaksud…”
“Jadi,” sela Hyo Jin lantang, membuat Wonwoo terdiam. “Apa boleh kita akhiri saja?”
“Apa?”
“Aku malu denganmu.”
“Malu?”
“Ya. Ayo putus!”
“Tunggu. Apa!”
“Kau mendengarku.”
“Kita bahkan belum pacaran secara resmi.”
“Ah, benar. Itu lebih baik.”
“Apanya yang lebih baik?” tukas Wonwoo tak senang. “Aku tak peduli kita belum pacaran. Aku tidak mau putus.”


“Aku juga tidak. Tapi kalau begini, bukankah kita hanya akan menyakiti satu sama lain? Maksudku, mungkin aku dan kau terlalu… bertolak belakang. Tipe idealmu dan tipe idealku… tidak cocok.”


“Dan sejak kapan aku punya tipe ideal?”
“Kau selalu muak dengan telepon-telepon dariku.”
“Aku cuma tak tahu harus bicara apa? Dan kadang kau menelepon sampai berjam-jam, ibuku jadi tak bisa menelepon.”


“Maafkan aku, jadi ayo putus saja!”
“Apa ini caramu menyelesaikan masalah?” tanya Wonwoo dengan suara tak percaya. Kemudian mengulanginya lagi dengan nada mencibir, “Apa ini caramu dengan mantanmu menyelesaikan masalah? Itu konyol.”


“Wonwoo….”
“Kau denganku sekarang, dan bukan begini caraku menyelesaikan masalah,” Wonwoo memotongnya tegas, rahangnya mengeras lagi. “Kita tidak akan putus. Kita akan cari jalan keluarnya.”


“Tidak ada jalan keluarnya.”
“Ada,” balas Wonwoo cepat. “Sekarang, mumpung kita ada waktu, mau buat jadwal baru denganku?” Jemarinya bergulir ke aplikasi memo. “Aku bisa menghubungimu setidaknya satu kali setiap hari, saat aku mau tidur. Dan aku bisa menjemputmu pada hari Kamis dan Jum’at, setelah kelasku usai, kalau kau tak keberatan menunggu.”


Hyo Jin menggeleng. Wonwoo mendesah dan menirunya menggeleng. “Apa maksudnya itu?” tanyanya. Ia mengulurkan tangannya yang bebas untuk menyentuh tangan Hyo Jin.


“Bagaimana kalau kau beri aku waktu seminggu?" Wonwoo menawarkan. "Kalau kau benar-benar tak tahan dengan sifatku maka oke, kita putus.”


“Seminggu?”
“Ya, aku akan meneleponmu tiap hari, aku bersumpah.”
“Kau tidak suka ditelepon.”
“Aku tidak suka ditelepon, tapi kau suka ditelepon, jadi aku akan melakukannya.”
“Itu tidak adil.”
“Bagaimana caranya supaya adil?”
“Cukup telepon aku kalau kau sedang merindukanku,” kata Hyo Jin, “maksimal tiga hari. Kalau sudah tiga hari dan ternyata kau tidak merindukanku juga, kau tetap harus meneleponku.”


Wonwoo tertawa. Meremas tangan Hyo Jin dan mengangguk setuju, “Oke.”


“Wonwoo, aku benar-benar berharap hubungan kita akan berhasil.”
“Aku juga.” Wonwoo membawa telapak tangan Hyo Jin ke mulutnya, menciumnya sekilas dan tersenyum penuh pengertian. “Aku akan berusaha sekuat mungkin, aku janji.”


“Aku juga akan berusaha sekuat mungkin. Aku janji.”
 

FIN



Makasih para pembaca sekalian....


wasalam^^

Comments

Popular Posts