Good Criminals #1



Main Cast : Kim Doyoung – Son Hwa Min
Minor Cast : Nakamoto Yuta, Jung Jaehyun, Mark Lee
Genre : Romance
Length : Series
Author : Salsa


**********


Kasus pertama yang ditangani Hwa Min di kantor kejaksaan tempatnya bekerja benar-benar brutal. Dia tak bisa menceritakan kepada atasan maupun rekan kerjanya yang lain tentang hubungannya dengan Kim Doyoung, si pencuri ulung yang sudah setahun ini berstatus buron, yang kebetulan juga merupakan kekasihnya selama tahun ketiga di universitas Hongik—sebelum pria itu tiba-tiba menghilang di pertengahan semester enam dan tak pernah kembali.


Jadi coba bayangkan betapa syoknya Hwa Min pagi ini. Ia duduk di barisan paling belakang sembari membawa buku catatan kecil dan secangkir teh, lalu terkesiap sampai dadanya sakit begitu atasannya, Jaksa Song, menampilkan wajah Doyoung di layar sambil bilang, “Dia berulah lagi. Kali ini pencuriannya terjadi di Seoul.” Hwa Min memang selalu berharap ia bisa melihat Doyoung lagi, tapi dia tak pernah membayangkan akan melihatnya di depan layar kantor kejaksaan—yang baru dua minggu ia tempati—seperti ini.



**********



Angin bertiup amat kencang. Pohon-pohon melambai rendah di sepanjang aspal, membuat takut para pengguna jalan yang hendak lewat. Kabut tebal menutupi sebagian besar kota dan hal itu membuat para polisi perlu waktu sedikit lebih lama daripada biasanya untuk menemukan gedung teater tua yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Kim Doyoung.


“Wow. Hampir saja.” Yuta baru bernapas lega ketika Doyoung melajukan jeep-nya (yang sengaja diparkir di belakang bangunan) menjauh dari jalanan utama. Doyoung melirik spionnya dan mendesah melihat begitu banyak mobil polisi di pelataran rumah kosong yang belum genap dua bulan mereka tinggali itu.


“Bagaimana bisa polisi-polisi itu tahu?”
“Entahlah, mungkin Marmut melewatkan satu cctv?”
“Di toko perhiasan itu? Kissy Diamond?”


Doyoung mengangkat bahu. Ia melirik spionnya lagi, memastikan mereka tidak sedang diikuti sebelum memperlambat laju jeep-nya.


“Jadi ke mana kita sekarang?” tanya Yuta lagi. Doyoung mencondongkan badannya ke laci dasbor di depan Yuta dan mulai mengaduk, mencari ponsel bututnya yang sudah layak dimuseumkan; layarnya sudah retak, casing belakangnya hilang entah ke mana, baterainya sudah menggembung sehingga harus dililit karet supaya tidak copot. Mungkin museum pun tidak akan mau menerimanya.


“Telepon Rich Boy,” suruhnya seraya melempar benda rongsok itu pada Yuta, lantas membanting laci dasbornya menutup.


“Kita tidak sedang dalam misi. Kurasa takkan ada yang terluka jika kita memanggilnya Jaehyun,” kata Yuta malas sembari mengguncang-guncang ponsel mengenaskan Doyoung seperti selembar foto Polaroid, menunggunya menyala.


“Kita sedang dalam pelarian,” kilah Doyoung.


Yuta memutar mata.


Begitu ponsel Doyoung yang seharusnya sudah masuk liang lahat itu menyala, Yuta tak perlu susah-susah mencari nomor Jaehyun karena hanya ada dua kontak yang tersimpan di sana. Jaehyun dan Mark, yang berturut-turut disimpan dengan nama Rich Boy dan Marmut. Doyoung benar-benar terobsesi dengan nama-nama samaran dan itu amat memuakkan.


Teleponnya diangkat di dering kedua.


“Hei.”
[Ada apa?]
“Aku tak tahu. Aku cuma disuruh meneleponmu.”


Doyoung mendecih. “Beri tahu dia kita nyaris tertangkap polisi.”


“Yeah, jadi polisi datang pagi ini, tapi kami berhasil kabur,” cerita Yuta singkat.
[Oh,] kata Jaehyun, sama sekali tak terkejut. [Aku akan carikan tempat tinggal baru.]
“Oke.”
[Kuhubungi lagi nanti.]
“Yeah.”


Yuta menurunkan ponsel dari telinganya ke pangkuannya sembari memberi tahu Doyoung. “Dia bilang akan carikan tempat baru.”


“Suruh dia cepat.”
“Aku sudah mematikan teleponnya.”
“Telepon lagi dan suruh dia cepat.”
“Apa kau serius?”
“Ya.”


Yuta menghela napas penuh rasa sabar dan mengangkat ponselnya lagi, mencari nomor Rich Boy lagi.



**********



Sangat letih, namun puas dengan tempat terbengkalai baru yang Jaehyun temukan, Doyoung dan Yuta—terlebih Doyoung yang sudah menyetir hampir lima jam—berjalan memasuki pabrik penggilingan super besar di hadapan mereka dengan lutut lemas. Bangunan itu terllihat benar-benar tua dan angker dan amat cocok jadi lokasi uji nyali. Halamannya dipenuhi ilalang setinggi dada. Dindingnya terbuat dari batako kasar yang sudah mulai keropos. Ada sarang lebah raksasa yang menyambut mereka di depan pintu. Dan pastilah ada hewan-hewan liar lain yang turut membangun sarang mereka di dalam sana, entah di bagian yang mana. Intinya, gedung ini adalah tempat persembunyian yang bagus. Firasat Doyoung mengatakan mereka mungkin bisa tinggal lebih lama dari tiga bulan di sini. Kehidupan nomaden benar-benar melelahkan. Selain itu, Jaehyun juga menjamin bahwa satu-satunya makhluk yang mungkin menggerebek mereka di bangunan itu hanyalah hantu. Jadi lengkaplah sudah. Ini sempurna.


Begitu masuk, Doyoung dan Yuta langsung berpencar mencari spot terbaik untuk ditinggali. Doyoung menemukan sebuah ruangan dengan rak-rak gantung, dua sofa dan sebuah meja rapat besar. Mungkin dulunya ini ruang milik pimpinan pabrik saat masih beroperasi. Ia berjalan ke dalam untuk membuka jendelanya yang berdebu dan dililit tanaman liar sebelum berteriak memanggil Yuta.


“Ada apa?” Yuta menyahut dari atas, entah dari lantai berapa.
“Aku sudah menemukannya. Bersihkan bagian yang ini,” teriak Doyoung.
“Kenapa aku?” keluh Yuta, balas berteriak, tapi tetap menurut dan turun menghampiri asal suara.


Doyoung berbalik begitu Yuta akhirnya masuk ke ruangan itu. “Ayo rapikan bersama,” ajak Yuta.


“Tutup mulutmu dan bersihkan!” suruh Doyoung dengan nada mengancam.
“Bagaimana kalau aku tak mau?”
“Jadi kau mau aku yang membersihkannya untukmu?”


Yuta langsung menggerung. Dia benar-benar benci—dan trauma—mendengar nada bicara itu; suara rendah, keputusasaan yang dibuat-buat, manipulatif. Terakhir kali ia menantang Doyoung saat pria itu mengeluarkan nada andalannya, dia terbangun dalam keadaan terborgol di teralis tangga sementara Doyoung pergi bersama Jaehyun dan Mark ke bar mahal. Selama mereka bertiga bersenang-senang, Yuta harus menahan lapar dan buang air selama dua belas jam, dan sejak saat itu ia bersumpah ia tak akan membantah Doyoung lagi—terlebih jika nada manipulatifnya keluar. Hari ini adalah salah satu hari di mana ia membuktikan sumpahnya.


“Lihat saja nanti kalau aku sudah bisa melepas borgol sendiri,” gerutu Yuta sembari melempar pandang dengki ke arah Doyoung di pintu.


Doyoung mendengus sinis. “Kau sudah bersamaku selama lima belas bulan dan masih belum bisa menguasai hal sesederhana itu. Itu menjelaskan banyak hal,” katanya sembari menyeret kursi kayu dengan kakinya dan duduk di sana, memerhatikan Yuta menyingkirkan berbagai perkakas rongsok—bekas peninggalan kegiatan operasional pabrik—tanpa sedikit pun terbersit niat untuk membantu.


“Menjelaskan apa?” Yuta bertanya asal sembari melempar barang terakhir ke lantai dan kini mulai berkutat mendorong sofa dengan lututnya. Pria itu melompat sedikit begitu seekor kadal keluar dari selipan sofa dan loncat ke bajunya.


“Kau tak akan bisa hidup di luar sana tanpa aku,” jawab Doyoung. “Sehari pun tak bisa.”


Yuta tersenyum tipis mendengarnya. Selesai dengan sofa, ia berbalik ke meja-meja di belakangnya, menarik semua kain-kain putih polos yang menutupi perabotan sebelum bibirnya melengkung lebih lebar lagi. Mencemooh. “Kau tahu peluangku untuk meninggalkanmu semakin besar, kan? Itulah alasan mengapa akhir-akhir ini kau jadi sering bicara begitu padaku,” katanya. “Kau sudah sangat terbiasa dengan kehadiranku sampai-sampai kau takut kesepian lagi.”


“Kesepian?” ulang Doyoung dengan suara meninggi, hampir-hampir tak memercayai telinganya.
“Aku akan cari sapu.” Yuta mengabaikannya. Kemudian saat berjalan melewati Doyoung, ia menambahkan dengan nada sok, seolah memang sengaja cari mati. “Aku tidak punya rencana untuk meninggalkanmu dalam waktu dekat ini. Jadi tenang saja.”


Doyoung merasakan darahnya mendidih. Ia tertawa tak percaya dan berdiri dengan cepat hingga kursinya berderak, dan saat ia hendak meneriaki Yuta, ponsel butut di genggamannya berbunyi. Nama Rich Boy memenuhi layar. Yuta tersenyum penuh kemenangan dan mengambil kesempatan itu untuk segera menyelamatkan dirinya dari Doyoung.


Doyoung mendecakkan lidah dan mengangkat panggilannya. “Ada apa?”


[Kalian sudah sampai?]
“Ya.”
[Aku akan segera ke sana. Ada yang perlu kubicarakan.]
“Soal apa?”
[Soal polisi-polisi itu. Soal bagaimana mereka bisa mengetahui tempat persembunyianmu,] kata Jaehyun.


“Kami pasti tertangkap CCTV.”
[Yeah, di Kissy Diamond. Mark juga terkejut, penjagaannya lebih ketat dari yang kita semua kira. Ada satu CCTV yang tidak diketahui oleh Mark, jadi dia tak bisa meretasnya.]


“Yang penting kita aman sekarang.”
[Tidak juga,] kata Jaehyun. [Sekarang kasusmu dilimpahkan dari kepolisian Hanam ke kepolisian Seoul. Dan aku tak tahu apa yang terjadi tapi mereka melibatkan orang-orang dari kejaksaan juga.]


“APA!”
[Menurutku lebih baik misi untuk minggu depan ditunda dulu.]
“Kau benar.”
[Dan untuk jaga-jaga, jangan keluar dari tempat persembunyianmu dulu. Sampai semuanya aman.]
“Yeah, aku tahu.”
[Pesawatku akan lepas landas sekarang. Aku akan sampai ke tempatmu dalam tiga jam.]
“Bawa makanan.”
[Oke.]
“Aku juga butuh listrik.”
[Akan kuurus.]



**********



Di manakah Kim Doyoung dan apakah yang dilakukannya sekarang? Terakhir Hwa Min melihatnya sudah tiga setengah tahun yang lalu, saat mereka sama-sama mengambil kelas antropologi di kampus. Doyoung bukanlah tipikal mahasiswa serampangan, tapi dia juga bukan seorang kutu buku yang kaku. Mereka berpacaran sejak akhir semester lima dan selalu duduk bersebelahan di barisan terdepan di kelas antropologi pada semester berikutnya.


Hwa Min ingat benar apa yang terjadi di kelas antropologi mereka yang terakhir. Doyoung yang duduk di sebelahnya membuat bukunya berdiri di meja dan menggenggam tangannya di balik buku itu. Hwa Min berusaha berkonsentrasi mendengarkan ceramah dosen. Namun itu sulit sekali. Tangan kirinya ada di meja Doyoung dan tangan kanannya sibuk mencatat. Dia berhasil berkonsentrasi selama setengah SKS, sebelum ia memutuskan untuk menoleh ke meja sebelah dan terkesiap keras saat menemukan hampir seluruh kuku di jari tangan kirinya sudah diwarnai dengan pulpen biru oleh Doyoung.


Hwa Min tak sadar, ia kira ia cuma terkesiap pelan, namun ternyata suara kesiapnya keras dan melengking sekali. Saat ia kembali menoleh ke depan, dosennya sudah menatapnya dengan galak dan tanpa basa-basi segera mengajukan pertanyaan sulit. Ia tak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Namun Doyoung tahu. Ia melingkari jawabannya di buku dan menyerongkan bukunya pada Hwa Min. Sang dosen yang melihat aksi sok heroik itu nampak tak senang. Dia memindahkan objek kebenciannya pada Doyoung. ‘Menurutmu kau sudah sangat pintar?’ sang dosen bertanya dengan nada kasar sebelum mengajukan soal yang—menurut Hwa Min—dua kali lipat lebih sulit kepada Doyoung. Doyoung menjawab begitu saja. Dosennya bergeming kesal. Satu kelas bergeming terkesan. Hwa Min tersenyum bangga pada Doyoung dan menyelipkan jemarinya di jemari sang pria. Doyoung meliriknya dengan senyum miring dan sang dosen mau tak mau kembali melanjutkan ceramahnya dengan ekspresi ketus selama sisa pelajaran.


Hwa Min tak mengira itu akan jadi kenangan terakhirnya dengan Kim Doyoung. Bagaimana bisa pacarnya yang tampan dan brilian, yang selalu memanggilnya dengan sebutan ‘my dear’, tiba-tiba menghilang setelah kelas antropologi?


Apa kabarnya dia dan bagaimana bisa dia jadi buronan? Apa semua kenangannya bersamaku sudah lenyap dari kepalanya?


“Son Hwa Min-ssi.” Hwa Min tersadar dan praktis terkejut begitu menemukan atasannya yang menyebalkan sudah berdiri mencondongkan badan melewati mejanya, berteriak-teriak memanggil namanya sambil melambaikan tangan dengan ekspresi jengkel.


“I-iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Hwa Min segera berdiri.
“Astaga. Apa yang sedang kau lamunkan sampai seserius itu?” Sang atasan, lelaki berusia 40 tahun bernama Seong Joon itu menarik kembali badannya ke posisi semula sambil menggeleng sinis.


“A-aku memikirkan, uh—bukan apa-apa,” kata Hwa Min gelagapan. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Kau almameter Fakultas Hukum Universitas Hongik.”
“Benar.”
“Angkatan 2012.”
“Ya.”
“Kalau begitu seharusnya kau mengenalnya.”
“Huh?”
“Buronan yang dibicarakan dalam pertemuan kemarin lusa.”
“S-siapa?” Hwa Min berpura-pura tak tahu. Ia tak mau mengungkapkan bahwa ia mengenal Kim Doyoung. Lebih dari itu, mereka bahkan pernah berpacaran. Atau masih?


“Kim Doyoung.”
“Oh, uh, dia berkuliah di kampus itu juga?”


Seong Joon tersenyum mencela. “Kau bisa berhenti pura-pura bodoh sekarang. Aku sudah bertemu ribuan orang sepertimu.”


Hwa Min membatu.


“Lagi pula namamu sudah ditulis. Keputusannya sudah final. Aku ke sini cuma memberi tahu.”
“Memberi tahu?”
“Ya. Memberi tahu bahwa kau masuk dalam tim penyelidikan kasus Kim Doyoung.”
“APA?”


Seong Joon meletakkan setumpuk dokumen ke meja Hwa Min sampai meja itu bergetar. “Para polisi sudah mendatangi tempat yang diduga sebagai markas persembunyiannya Sabtu pagi, tapi dia tak ada di sana.”


Hwa Min menyentuh dokumen-dokumen itu dan seketika bergidik. Dia baru dua minggu bekerja di kejaksaan setelah menganggur selama delapan bulan, membuang-buang waktu dengan mendekam di rumah sambil menonton drama dan makan mie instan, tidak bertemu orang-orang, tidak berinteraksi sosial. Rasanya tak adil jika ia langsung dilimpahi kasus semacam ini. Otaknya masih dipenuhi oleh soundtrack drama dan aktor-aktor yang jago ciuman, ia belum siap untuk benar-benar bekerja.


“Walaupun begitu, jelas dia memang tinggal di sana sebelumnya. Ada gelas-gelas kopi yang masih hangat saat polisi datang.” Hwa Min nampak terlalu larut dalam rasa dukanya sampai tak mendengarkan perkataan Seong Joon lagi.


“Heh, bersyukurlah sedikit!” kata pria itu sambil mengetuk mejanya dengan keras. “Tak ada anak baru yang pernah dilimpahi kasus seperti ini. Mereka setidaknya harus menunggu satu-dua tahun sebelum diberi pekerjaan sungguhan. Kau beruntung.”


“Yeah, benar,” sahut Hwa Min murung, sama sekali tak merasa beruntung.
“Jujur padaku! Kau kenal Kim Doyoung, kan?”
“Uh? M-mungkin?”


Seong Joon memutar matanya dengan tampang mengejek. “Terserah. Pokoknya pelajari dokumennya, kita akan mengadakan rapat tim nanti sore.”


“Nanti sore?”
“Ya. Keberatan?”
“T-tidak.”
“Bagus.”



**********



Fakta bahwa Son Hwa Min mendapatkan kasus Kim Doyoung menarik perhatian banyak orang di kejaksaan. Sebagian besar di antaranya adalah sesama anak baru, sementara sebagian yang lain adalah mereka yang sudah bekerja setahun lebih namun belum juga dipercaya menangani kasus penting. Meskipun demikian, Hwa Min tak merasa bangga sama sekali. Dia punya firasat bahwa keberadaannya di situ hanyalah untuk tambahan informasi.


Begitu rapat tim diadakan, firasat Hwa Min terbukti benar, kini ia seratus persen yakin bahwa keberadaannya di situ hanyalah sebagai umpan. Bagaimanapun juga, seluruh anggota tim yang lain adalah penyidik-penyidik senior yang mampu mencongkel informasi dari gerakan seminim apa pun. Bahkan nampaknya mereka juga mampu mendeteksi kebohongan hanya lewat tatapan mata. Suasana dalam ruangan tersebut benar-benar panas, benar-benar mencekam. Hwa Min merasa amat takut dan terintimidasi seolah-olah dirinyalah buronannya.


Sebesar apa pun usaha Hwa Min untuk menyaring perkataannya dan bicara dengan hati-hati, pada akhirnya hubungan singkatnya dengan Kim Doyoung terkupas habis di meja rapat. Kami cuma pacaran empat bulan. Itu sungguh tidak ada artinya, Hwa Min sesekali membela diri. Namun pembelaannya menguap begitu saja seperti angin lalu.


“Jadi kau akan ke Busan?” tanya Jin Ah, teman seperjuangan Hwa Min sejak tes masuk tingkat pertama di kejaksaan. Hwa Min baru saja duduk di kursinya saat gadis itu menggeser kursi beroda miliknya persis ke sebelah Hwa Min. Benar-benar persis ke sebelahnya sampai-sampai bahu mereka beradu.


“Dari mana kau tahu?” Hwa Min menoleh dengan heran. Tatapannya sengit. Dia jelas-jelas baru keluar dari ruang rapat, bagaimana bisa anak ini tahu?


“Jonghwan menceritakannya pada kami semua.” Jin Ah mengedikan dagunya ke seluruh ruangan. Dan nampaknya hampir semua orang tengah mencuri-curi pandang ke mejanya. “Katanya ketua tim sedang membicarakan itu persis saat dia membawakan minum.”


“Dia menguping.”
“Dia tak sengaja masuk di saat yang tepat,” bela Jin Ah. “Intinya itu benar? Kau akan ke Busan?”
“Ya. Ada sekitar tiga kota yang dicurigai menjadi tempat persembunyian Kim Doyoung sekarang. Dan Busan merupakan salah satunya.” Hwa Min menjeda untuk menghela napas. “Kami memutuskan untuk berpencar demi mempercepat penyelidikan.”


“Dan kau dengan Pak Seong Joon.”
“Ya.”
“Berdua saja?”
“Ya.”
“Wah.”
“Apanya yang wah?”


Jin Ah cekikikan. “Pak Seong Joon kan anggota cowok termuda di tim-mu.”


“Jin Ah, apa-apaan!” Hwa Min bergidik geli pada wanita di sebelahnya. “Ya ampun, umur Pak Seong Joon itu dua kali umurku. Dia sudah tidak bisa dipanggil ‘cowok’ lagi.”


“Dia duda tanpa anak.”
“Im Jin Ah! Ya Tuhan!”
“Dan gayanya keren.”


Hwa Min bergidik lagi. “Lebih baik kau kembali ke mejamu sekarang!”


“Oke,” kata Jin Ah riang. “Kuharap sesuatu terjadi pada kalian di Busan.”
“Dan kuharap sesuatu terjadi pada otakmu begitu aku kembali.”
“Ya ampun, itu kasar sekali.”
“Pergi!”



**********



Bidang-bidang langit biru yang cerah memenuhi langit Busan di sore hari, namun keindahan alam itu tidak serta-merta membuat suasana hati Hwa Min lebih cerah. Walau baru mengenal Baek Seong Joon selama dua minggu, sifat arogan dan tingkah menyebalkan sang atasan sudah lebih dari cukup untuk membuat sang gadis muak. Fakta bahwa dia jauh lebih berumur di atas Hwa Min dan sudah bekerja di kejaksaan selama 15 tahun jelas membuat pria itu merasa begitu superior hingga enggan melibatkannya dalam pertemuan tadi siang dengan kepolisian Busan. Lalu untuk apa memasukkannya ke dalam tim inti dan membawanya jauh-jauh ke sini jika pada akhirnya diabaikan?


Hwa Min berpikir udara di kota ini mungkin kurang cocok bagi sang atasan. Baek Seong Joon di Seoul saja sudah sangat menyebalkan, tapi Baek Seong Joon di Busan ternyata jauh lebih menyebalkan lagi. Ketidaksukaan Hwa Min terhadapnya pun semakin menjadi-jadi. Hwa Min teringat ucapan Jin Ah tempo hari dan berpikir mungkin gadis itu benar. Mungkin memang akan terjadi sesuatu di antara mereka di Busan. Mungkin Hwa Min akan mencekik Seong Joon sampai kehabisan napas dan kembali ke Seoul dengan peti mati.


“Untuk terakhir kalinya, jangan kembali ke mobilku kalau kau tidak menemukan minuman itu.” Seong Joon tegas memberitahunya. Suaranya menggelegar, matanya merah, air mukanya keras. Itu adalah perpaduan dari rasa kantuk, lelah, stres dan kekurangan kafein.


Hwa Min ingin sekali balas meneriakinya, ‘INI BUKAN MOBILMU!’, tapi ia tak mau menyulut emosi seekor singa yang lapar. Dalam kasus ini, mungkin Seong Joon bahkan lebih mengerikan dari singa. Seong Joon mungkin akan langsung menembak keluar isi kepalanya jika ia berani membantah. Jadi, demi keselamatannya, Hwa Min hanya mengangguki perintah sang atasan dan keluar dari mobil.


Hwa Min berjalan memasuki supermarket dan langsung menghampiri lemari pendingin. Mencari minuman dengan merek, rasa bahkan ukuran yang amat spesifik. Dia sudah diturunkan di tiga supermarket berbeda sebelum ini dan entah apa karena seleranya terlalu pasaran atau karena Baek Seong Joon itu memang banyak dosanya, minuman dengan merek kesukaannya—rasa Smoovlatte ukuran 190 ml—selalu saja tak tersedia.


Hwa Min mengamati isi lemari pendingin di depannya dengan malas, sementara kepalanya sudah membayangkan dirinya akan kembali ke mobil dengan tangan kosong dan terpaksa merelakan telinganya digonggongi oleh Seong Joon lagi sampai ke supermarket berikutnya.


Saat itu, saat mata Hwa Min tengah memindai masing-masing merek kopi di baris keempat, tiba-tiba saja sebuah tangan menjulur di sebelah kepalanya, membuka lemari pendingin di depannya dan mengambil satu merek minuman yang sukses membuat bola mata Hwa Min nyaris keluar. Rasa bahagia timbul di dadanya selama sedetik, sebelum ia sadar bahwa botol kopi itu tinggal satu dan sekarang sudah ada dalam genggaman orang lain—orang di belakangnya.


Refleks Hwa Min berbalik, lengkap dengan raut paling memelas yang mampu dihasilkan otot-otot wajahnya, sudah siap untuk mengemis, memohon, meminta kepada orang di belakangnya untuk memberikan botol kopi itu padanya. Dia bahkan rela mencium kakinya jika perlu.


Namun setelah melihat siapa gerangan si pengambil kopi tersebut, alih-alih melakukan semua itu, Hwa Min justru membatu. Kendati 90% wajahnya tertutup masker, Hwa Min tetap bisa mengenali kekasihnya (jika ia masih boleh memanggilnya begitu) dengan baik.


My dear?” Dan nampaknya dia juga mengingatnya. “Hei, apa kabar?”


Hwa Min merasa jiwanya tersentak keluar dari raganya. Setelah beberapa detik melotot, ia akhirnya berhasil menguasai diri dan lekas menggeleng. “T-tidak baik.”


Pria di depannya, Kim Doyoung, sang buronan tersohor (setidaknya di kantornya), menurunkan maskernya sampai ke dagu dan menyeringai sembari menumpangkan sikunya pada permukaan kaca lemari pendingin, jelas-jelas mengira dirinya cukup keren bergaya seperti itu. “Dan boleh kutanya kenapa begitu?”


“Karena kau ada di sini,” jawab Hwa Min panik. “Ini bukan saat yang tepat.”
“Bukan saat yang tepat untuk apa?”
“Berikan kopinya padaku dan pergi dari sini!”
“Sejak kapan kau minum ko—“ Hwa Min merebut minuman di tangan Doyoung dan menatapnya mendesak.


“Kim Doyoung, kumohon pergi dari sini.”


Doyoung memandangi gadis di hadapannya selama beberapa saat sebelum rahangnya mengejang. Bola matanya bergetar, nampaknya ia mengerti.


“Sampai kapan kau akan di Busan? Aku mau bertemu lagi.”
“Kau seharusnya tidak bertemu denganku. Pergilah!”
“Begitu? Jadi kau bagian dari mereka?”


Hwa Min jelas tahu siapa yang Doyoung maksud dengan 'mereka' dan langsung mengangguk pahit. “Benar.”


“Aku tetap akan menemuimu.”
“Jangan bodoh! Aku menganggap diriku sedang khilaf sekarang. Menyuruhmu kabur seperti ini alih-alih menangkapmu,” kata Hwa Min, menggeleng tak percaya pada dirinya sendiri. “Tapi aku bersumpah aku tak akan khilaf dua kali.”


Doyoung tersenyum. “Yeah,” katanya, “mungkin kau akan khilaf tiga-empat kali.”


“Doyoung, serius. Cepat pergi.”


Doyoung tersenyum lagi. Dia melangkah mundur menjauhi Hwa Min, memimikkan ‘sampai jumpa’ sambil tersenyum penuh arti sebelum menaikkan maskernya dan berbalik lurus menuju pintu keluar.


Hwa Min mengikuti gerakan sang pria dengan matanya. Dadanya bergemuruh dan tangannya meremas botol kopi dalam genggamannya dengan panik. Dia benar-benar staf kejaksaan paling buruk di dunia.


TBC

Halooo

Jadi inilah series yang bakal nemenin aku di 2019

Semoga terhibur. Buh-bye..

Comments

Popular Posts