Good Criminals #2
Sekembalinya ke tempat
persembunyian, Doyoung langsung mendapat hardikan keras dari Jaehyun—yang
mengaku akan terbang ke Seoul tiga jam yang lalu.
“Ke mana saja kau! Sudah kubilang
jangan keluar dari sini!”
“Kenapa kau belum pergi?”
“Doyoung, serius. Kau harusnya
mengerti serumit apa posisi kita sekarang. Mentang-mentang kau tak tahu berita,
kau merasa…”
“Aku cuma keluar beli kopi, oke?”
sela Doyoung tak tahan. “Aku membayarnya dengan uangku, aku tidak mencuri.”
“Kau tidak mengerti. Wajahmu ada
di mana-mana. Bagaimana kalau ada yang mengenalimu di luar sana?”
Doyoung tersenyum miring sambil
menarik lepas jaket denimnya, menjatuhkannya di lantai sebelum mengenyakkan
diri di sofa di sebelah Jaehyun.
“Bagaimana jika…,” katanya
lambat-lambat, sudut bibirnya tertarik liar, “…seseorang memang baru saja
mengenaliku?”
“APA!!”
Teriakkan Jaehyun membuat
Yuta—yang berada di ruangan lain di gedung itu, entah sedang apa—merasa
terpanggil.
“Yeah, seseorang mengenaliku.”
“Siapa?”
“Kau mengenalnya.”
“Siapa?” desak Jaehyun.
“Son Hwa Min.”
“Hwa Min?” ulang Jaehyun
terkejut.
“Siapa Hwa Min?” Suara Yuta
tiba-tiba terdengar dari belakang mereka.
Jaehyun menoleh padanya dan
menjawab sekenanya, “Teman kuliah Doyoung.”
“Dia kuliah?!” pekik Yuta syok,
kepalanya berpaling cepat pada Doyoung dan mengamatinya dengan bola mata nyaris
keluar. “Kau sungguh-sungguh pernah kuliah?” Pria itu berjalan lebih cepat
memasuki ruangan dan melompat ke dekat perapian untuk duduk di lengan sofa.
“Bukan hanya teman kuliah, dia
juga pacarku.” Doyoung mengoreksi, ekspresi dan nada suaranya terdengar sedikit
terlalu bangga.
“Kau punya pacar?!” Yuta
terdengar makin syok lagi. “Serius?! Orang sepertimu? Astaga!”
“Kau tahu aku tak langsung
terlahir jadi buronan, kan? Aku pernah punya kehidupan normal sebelum ini,”
ujar Doyoung jengkel. Mereka berdua sudah hidup bersama selama lima belas bulan
dan fakta bahwa Yuta sama sekali tidak mengetahui apa pun soal masa lalu
Doyoung (yang sehat walafiat, tidak menderita amnesia sebagaimana dirinya)
benar-benar menyedihkan. Itu bukan salah Yuta, tentu saja. Doyoung memang amat
tertutup soal kehidupan pribadinya. Namun entah bagaimana tetap saja merasa berhak untuk tersinggung saat orang lain tidak memahaminya.
“Oke, lalu, apa yang terjadi?”
Jaehyun segera meluruskan pembicaraan mereka yang sempat berubah haluan.
“Dia menyuruhku pergi.”
“Dia pasti tahu statusmu sekarang
dan takut padamu. Kuharap anak itu tutup mulut dan tidak melapor polisi atau
apa.”
“Justru dialah polisinya.”
“Son Hwa Min?” Jaehyun
menegaskan. “Polisi?”
Yuta ingat Jaehyun pernah
bercerita padanya bahwa dirinya dan Doyoung sudah saling kenal sejak balita.
Ayah angkat Doyoung bekerja untuk ayah Jaehyun atau semacamnya, jadi Yuta tak
bertanya lagi saat melihat Jaehyun bicara seolah ia mengenal si ‘Hwa Min’ ini.
Doyoung dan Jaehyun pasti mengenal orang-orang di hidup satu sama lain dengan
baik.
Doyoung mengangkat bahu. “Sepertinya
begitu. Dia bilang seharusnya aku tak bertemu dengannya.”
“Tunggu? Kalau teman kuliah
sekaligus pacarmu itu benar-benar polisi, kenapa dia malah menyuruhmu pergi?”
“Karena dia masih mencintaiku,
tentu saja,” sahut Doyoung yakin. “Dia jelas tak mau aku dipenjara.”
Jaehyun mendesah. “Jangan temui
dia lagi.”
Seperti biasa, Doyoung tak
mendebat ucapannya, namun bukan artinya ia akan menurut. “Sekarang, bisa kau
jelaskan apa yang membuatmu belum kembali ke Seoul?”
“Aku mendapatkan info baru.”
Jaehyun menyodorkan map cokelat yang sedari tadi berada di pangkuannya kepada
Doyoung. “PAMYU. Perusahaan perdagangan kelapa sawit terbesar di kota ini.
Salah satu perusahaan paling korup yang kutahu. Sudah berkali-kali melakukan
korupsi tapi tak pernah digubris. Tahun 2016 mereka melakukan suap demi
perizinan dan langsung ekspansi besar-besaran di selatan. Dampaknya benar-benar
besar, bukan hanya untuk lingkungan tapi juga perekonomian rakyat kecil di
sana. Kalau kau setuju, aku ingin mereka dijarah habis-habisan sebelum kalian meninggalkan
kota ini.”
Doyoung baru membuka map itu
setengah jalan saat ia mendengar kalimat terakhir Jaehyun dan sontak menoleh.
“Kita baru seminggu di Busan, apa maksudmu meninggalkan kota ini?”
“Mau bagaimana lagi? Kau sudah
bertemu dengan seseorang yang mengenalimu.”
“Hwa Min? Astaga, dia sama sekali
bukan ancaman.”
“Kau jelas-jelas bilang dia
polisi, bagaimana mungkin dia bukan ancaman?”
“Itu baru dugaanku.”
“Aku akan tetap carikan tempat
baru.”
“Tch, intinya aku harus
membersihkan gedung kosong lagi dalam waktu dekat ini?” keluh Yuta tak terima.
Jaehyun berdiri dan memakai
mantelnya sembari mengumumkan, “Omong-omong, misi untuk minggu depan tidak
ditunda, tapi batal sepenuhnya. Lee Seung Ma baru saja berdonasi dua ratus juta
won untuk yayasan kanker anak. Tindakan mulianya diliput besar-besaran oleh
media. Jelas cuma mau cari muka mengingat pencalonan walikota makin dekat, tapi
kukira kita semua sepakat untuk tidak mengganggu orang yang beramal, jadi yeah,
dia aman.”
Selagi Jaehyun bicara, Doyoung
memusatkan perhatiannya pada nyala api di perapian, mendesah dan melamun. Yuta
menyambar dokumen di tangan Doyoung dan mulai membaca informasi soal seluk
beluk bangunan perusahaan PAMYU. Pria itu cuma mengangguk sesekali saat
mendengarkan cerita Jaehyun soal Lee Seung Ma—intinya itu batal, dia tak peduli
lagi sisanya.
“Sebelum aku pergi, ada yang mau
kalian tanyakan?”
“Yeah, kapan Mark akan kembali
dari pertukaran pelajar ke Jepangnya? Kami jelas butuh dia untuk perencanaan
strategi memasuki PAMYU ini,” sahut Yuta, sesaat menurunkan kertasnya untuk
menatap Jaehyun.
“Lusa, kalau aku tak salah ingat.
Tenang saja, aku akan menyuruhnya segera ke sini begitu dia pulang. Tapi selagi
menunggu, lebih baik perhitungkan dulu risikonya dari segi kecakapan kalian,
jika menurutmu risiko memasuki PAMYU terlalu besar, maka tidak usah.”
Yuta mengangguk paham, sementara
Doyoung masih kukuh memandangi perapian.
“Aku sudah belikan satu dus
makanan untuk persediaan seminggu, jadi tak ada alasan bagi kalian untuk
keluar.”
“Kami juga butuh minum.” Doyoung
akhirnya menoleh, dengan tampang super geram, hanya untuk mengajukan protes.
“Aku juga sudah beli,” sambar
Jaehyun, lantas mengalihkan perhatiannya pada Yuta. “Tolong awasi dia agar
tidak keluar dari sini.”
Yuta mengangguk dengan ekspresi
seolah ia bisa diandalkan.
Doyoung tertawa tak percaya
melihat situasi menggelikan itu dan langsung berdiri sambil menunjuk Yuta. “Kau
minta dia mengawasiku? Yang benar saja! Asal kau tahu kemarin dia hampir
membawa kabur jeep kita untuk kembali ke Seoul, menemui pelayan restoran yang
ditaksirnya itu. Seo Ye Eun.”
“Shin Ye Eun.” Yuta meralat
ofensif.
“Apa itu benar?” tanya Jaehyun
tak senang.
“Begini,” Yuta berusaha
menjelaskan dengan nada bijaksana, “aku cuma tak mau dia salah paham jika
tiba-tiba aku berhenti datang ke restorannya, apalagi…”
“Tidak ada alasan untuk kembali
ke Seoul,” sela Jaehyun dingin. “Tidak untuk cewek mana pun. Tidak sampai
situasinya mereda.”
“Tapi bukan aku buronannya. Aku
tidak dicari polisi.”
“Tak ada yang tahu apa wajahmu
benar-benar tidak tertangkap cctv! Mungkin polisi sengaja memberi informasi
abu-abu untuk membuat kita merasa aman? Percaya padaku, hal terbaik yang bisa
kalian lakukan sekarang hanyalah sembunyi.”
Jaehyun memberikan tatapan tegas
kepada keduanya sebelum memutar badan dan mengancing mantelnya sambil berlalu.
Meninggalkan atmosfer panas dan tak menyenangkan di seisi gedung.
**********
Esoknya, setelah memperoleh tidur
cukup, suasana hati Seongjoon nampaknya mulai membaik. Ia bermurah hati memberi
tahu Hwa Min mengenai informasi yang diberikan polisi Busan kepadanya. Hwa Min
berusaha menampilkan ekspresi serius, sigap dan fokus sebagaimana lazimnya
seorang jaksa. Namun itu sulit sekali. Bagaimana tidak? Orang yang mereka sedang
bicarakan—buronan selicin belut yang mati-matian dicari polisi di
sekurang-kurangnya lima distrik tersebut, Kim Doyoung—berada persis di depan
matanya semalam dan alih-alih menangkapnya, ia malah menyuruhnya kabur.
Hwa Min tak bisa menebak apa
persisnya perasaan yang menguasai hatinya sekarang, penyesalan karena
melepaskan Doyoung, atau malah kegelisahan karena takut Doyoung tertangkap.
Saat pikiran Hwa Min yang sempat
melanglang buana itu kembali ke meja, Seongjoon tengah mengutarakan
kesungguhannya bahwa mereka pasti bisa menemukan Kim Doyoung apabila menyisir
semua bangunan kosong di Busan.
“Dia selalu bersembunyi di rumah
kosong,” katanya selagi sarapan, melambaikan sumpitnya yang telah menjepit
telur goreng. “Aku sudah minta tolong pada kepolisian lokal untuk memberikan
daftar rumah kosong di Busan secepatnya.”
“Kenapa kau yakin sekali dia ada
di Busan? Maksudku, ya, delapan jam setelah penggerebekan itu Busan memang
merupakan salah satu kota di mana perhiasan yang dicuri dari Kissy Diamond ditemukan, tapi perhiasan
itu juga tersebar di dua kota lain, kan? Dia tak mungkin ada di tiga kota
sekaligus.”
“Maka dari itu kita berpencar,”
balas Seongjoon lancar.
“Kenapa kau tak memikirkan
kemungkinan lain?”
“Seperti?”
“Dia masih di Seoul? Maksudku, dia
bisa saja melakukan transaksi gelapnya di malam yang sama dengan malam ia
mencurinya? Dari seoul? Kita mungkin sedang dijebak.”
“Yeah, tentu dia akan menjual
semua barang curiannya secepat mungkin. Tapi aku tak mengerti apa yang
membuatmu berpikir kita dijebak. Kau ingin kita diam saja di Seoul? Menunggu
cecunguk itu berulah lagi? Lalu kehilangannya lagi detik berikutnya?” balas
Seongjoon sengit. “Setidaknya pencarian kita di kota ini membuktikan bahwa kita
mencoba, kan?”
“Tapi aku yakin dia tak ada di
Busan. Kota ini terlalu jauh dari Seoul. Logikanya, jika ia benar-benar harus
cari tempat sembunyi dengan cepat, maka ia pasti akan memilih kota-kota di
sekitar Seoul. Lagi pula…”
“Sebenarnya apa yang kau
sembunyikan?” sela Seongjoon curiga. Ia meletakkan sumpitnya di atas mangkuk
nasi dan menatap Hwa Min dengan tatapan menginterogasi. “Argumenmu benar-benar
bodoh dan semua kegelisahanmu ini membuatku makin yakin kalau Kim Doyoung
memang sedang berada di kota ini. Apa kau berkomplot dengannya?”
“Apa! Tentu saja tidak! Aku cuma…
perasaanku bilang dia tak mungkin ada di sini.”
“Kita tak bekerja dengan
perasaan, Son Hwa Min-ssi.”
“Aku tahu.”
“Kalau begitu bertingkahlah
seolah kau tahu!” Seongjoon mendecakkan lidahnya. “Sudahlah! Ketimbang bicara
omong kosong, lebih baik kau beri tahu aku siapa teman-teman dekatnya waktu
kalian pacaran dulu. Anak itu tak mungkin kerja sendiri. Pasti ada orang besar
di belakangnya. Seseorang yang punya uang, punya kuasa.”
“Benar.”
“Benar apa?”
“Benar pasti ada seseorang di
belakangnya. Doyoung yang kukenal tak mungkin berbuat kriminal.”
“Doyoung yang kau kenal sudah
mati bertahun-tahun yang lalu,” sahut Seongjoon tak peduli. “Sekarang jawab
pertanyaanku, kira-kira siapa saja teman dekatnya yang tergolong kaya dan punya
kuasa? Ini akan sangat membantu penyelidikan.”
“Aku sudah bilang padamu
berkali-kali, aku tak tahu! Kami cuma pacaran empat bulan dan dia amat
tertutup. Aku bahkan tak mengenal keluarganya.”
Seongjoon mendesah, mengangkat
sumpitnya lagi dan bergumam pelan sebelum kembali memasukkan telur gorengnya ke
mulut. “Keluarga, ya? Akta lahirnya bahkan tak menyebut nama orangtua sama
sekali.”
“Benar. Aku melihat foto aktanya
di bundel bukti yang kau berikan padaku kemarin lusa. Aku tak tahu ada akta
lahir semacam itu.”
“Ya, umumnya pada anak temuan
yang tidak diketahui data kelahirannya,” jawab Seungjoon. “Dia tinggal bersama
orangtua angkatnya sampai lulus SMA lalu memutuskan untuk hidup sendiri saat
kuliah. Berdasarkan informasi dari kepolisian Hanam, saat mereka mendatangi
kediaman lamanya, orangtua angkat Doyoung mengaku tak pernah berhubungan dengan
anak itu lagi sejak dia pergi. Doyoung memutus hubungan dengan orangtua
angkatnya begitu saja. Mungkin sakit hati saat mengetahui ternyata dirinya bukan
anak kandung, entahlah, tapi apa menurutmu itu sikap yang pantas? Setelah
dibesarkan susah payah, disekolahkan, dikasih makan, dan sebagainya, dia malah
bersikap seperti bajingan.”
Hwa Min rasanya tak bisa
memercayai semua cerita itu sama sekali. Tapi dia menahan mulutnya untuk berkomentar.
“Apa dia punya pekerjaan selama
kuliah?” tanya Seongjoon lagi. “Pasti punya, kan? Toh dia membiayai segalanya
sendiri. Apa pekerjaannya?”
Hwa Min menggeleng tak tahu
menahu.
“Kau tak tahu?”
“Tidak.”
“Astaga! Ini pertama kalinya aku
bertemu seseorang yang tidak mengetahui apa pun soal pacarnya sendiri.
Bagaimana bisa kau memacari seseorang yang tak kau kenal sama sekali?”
Pertanyaan itu menyentak tepat di
hati Hwa Min. Dia melirik sang atasan dengan pandangan mencela sebelum
memejamkan mata dan menarik napas panjang, mengukuhkan diri untuk melawan,
“Maaf Pak Jaksa senior yang terhormat, tapi Doyoung yang kukenal adalah cowok
baik super brilian yang selalu membantuku di kelas antropologi. Dia manis, dia
memanggilku dengan panggilan manis dan memberiku makanan-makanan manis. Dia
juga keren dan punya aura misterius yang khas sejak dulu. Aku yakin semua gadis
di kampusku menginginkannya. Jadi intinya, hanya perempuan sinting yang akan
menolak Kim Doyoung dan aku tidak sinting. Belum lagi dia
lucu, okay? Dia lucu dan tidak emosian seperti seseorang. Dan walau rasanya
amat singkat, walau dia tak pernah menghubungiku sama sekali saat liburan
semester, walau kita cuma ketemu di kampus tiga kali seminggu, namun dia selalu
membuat setiap pertemuan kami berkesan. Dan dulu, aku merasa semua itu sudah
lebih dari cukup.”
Hwa Min terengah begitu ia
menyelesaikan pembelaannya. Dan Seongjoon nampak syok bukan main, ia berhenti mengunyah. Wajahnya benar-benar
membeku seperti tanah liat dan ia menatap Hwa Min seolah gadis itu sudah gila.
“Wah,” desahnya seraya menggeleng. “Baiklah, aku mengerti.” Seongjoon
menggeleng sekali lagi dengan tampang horor. “Lebih baik kau habiskan makananmu dan jangan
bicara lagi.”
Seongjoon mengeluarkan suara yang
kedengarannya seperti ‘tch!’ sebelum memandang Hwa Min seolah kebodohannya
sudah tak tertolong. “Bikin sakit kepala.”
**********
“Maaf, tapi selama ini tidak
pernah dilakukan pendataan resmi soal jumlah bangunan kosong di Busan.”
Seongjoon mendecakkan lidahnya
keras-keras pada anggota kepolisian yang memberitahunya informasi itu sebelum
melangkah keluar sambil menggerutu. Hwa Min persis di belakangnya. “Apa-apaan!
Waktu kuminta tiga hari lalu mereka langsung bilang siap. Sekarang tiba-tiba bilang
tidak ada. Benar-benar. Pantas saja tingkat kejahatan di Negara ini meningkat,
toh polisinya payah semua. Sekarang apa coba yang bisa kita lakukan? Kita jadi
buang-buang waktu di sini sampai empat hari. Memangnya kasusku cuma Kim Doyoung
saja! Kalau begini caranya maka bisa apa lagi kita di sini? Tak ada bukti yang
bisa diselidiki lagi.”
Seongjoon benar. Mereka memang
menghadapi jalan buntu. Perihal perhiasan curian, benda itu ditemukan di toko
lelang kecil di Busan dan nyaris dibeli dengan harga tinggi oleh pengusaha
lokal sebelum ketahuan polisi. Dan setelah ditelusuri, pemilik toko lelang
mengaku mendapatkan perhiasan tersebut dari pialang daring gelap di internet.
Permainan mereka amatlah rapi hingga tidak berlebihan rasanya jika ia mengatakan
bahwa mustahil bagi polisi untuk mengungkap identitas pialang itu. Akunnya tak
bisa diakses lagi. Mereka sudah menghapus segalanya.
Tim dari kota lain pun menemui
jalan buntu yang sama. Alhasil, seluruh tim inti pun memutuskan kembali ke
Seoul untuk mencari lebih banyak bukti. Mengingat betapa minimnya bukti yang
dimiliki, pada akhirnya mereka semua mengakui betapa gegabahnya rencana
pengejaran Doyoung ini. Riak semangat yang mereka rasakan hanya timbul karena
euforia nyaris menggerebek sang buronan tersohor di tempat persembunyiannya di
Seoul pada Sabtu pagi. Selebihnya cuma delusi.
“Aku lebih senang perjalanan
malam. Jalanan lebih lengang dan kita bisa sampai lebih cepat. Kuharap kau
sudah turun ke lobi pukul sebelas malam ini,” kata Seongjoon setibanya di
motel.
Hwa Min tak langsung menjawab.
Sejujurnya ia benar-benar risih dan tak nyaman jika harus melewati perjalanan
darat sampai lima jam dengan Seongjoon lagi. Gadis itu trauma. Seongjoon luar
biasa menyebalkan saat dalam kondisi tertekan. Belum lagi mereka pulang dengan
tangan hampa, tak terbayang akan segalak apa Seongjoon nantinya.
Hwa Min membayangkan dirinya
diturunkan di pinggir jalan untuk mencari kopi dan langsung menggeleng pada
dirinya sendiri. Saat pikirannya kembali ke lobi, Seongjoon tengah menatapnya
menunggu jawaban.
“Maaf, aku agak mual kalau harus
naik mobil lagi. Aku akan cari tiket pesawat sendiri besok pagi.”
“Begitu?”
“Ya.”
“Baiklah, sampai jumpa di Seoul.” Dan pria itu pun pergi
melewatinya begitu saja.
**********
Seperti telah direncanakan,
Doyoung, Yuta dan Mark pergi ke gedung perusahaan Pamyu pada pukul dua pagi di
hari Senin. Targetnya adalah ruang Direktur sekaligus ruang bendahara yang
sama-sama berada di lantai tiga.
Mark berhasil membunyikan alarm
di gudang penyimpanan sehingga membuat seluruh petugas keamanan
berbondong-bondong ke sana. Ia mengunyah es batu di mulutnya sambil berjalan
kembali menuju mobil. Sambil lalu, tangannya yang berbalut sarung tangan
menurunkan tuas listrik di pos penjaga yang kosong sehingga membuat bangunan di
belakangnya seketika gelap gulita, lalu bicara lewat walkie-talkie kepada Doyoung. “Steril.
Silahkan masuk.”
Doyoung dan Yuta pun beraksi.
Menyelinap masuk dan membobol kunci-kunci dengan mulus seperti biasa. Mark
memonitor semuanya dari mobil sambil menyenandungkan lagu-lagu Radiohead dengan
santai.
Dua puluh menit kemudian, Yuta
mendorong tasnya yang penuh sesak melewati jendela mobil, lantas mengambil alih
kemudi dari Mark. Doyoung masuk beberapa detik setelahnya. Mendorong Mark dari
pintu penumpang dan membuatnya terhimpit di antara tas-tas berisi uang curian
sebelum pria itu berhasil menyelipkan badannya ke jok belakang. Yuta menginjak
pedal gas dan di detik yang sama, listrik perusahaan Pamyu kembali menyala
terang.
Keesokan paginya, berita
pencurian itu ada di mana-mana. Disusul dengan kesaksian beberapa tunawisma dan
ratusan warga miskin di sekitarnya bahwa mereka bangun dengan segepok uang di
depan pintu rumah masing-masing, atau di dalam kantung mengemis bagi mereka yang
tak punya rumah.
Reputasi Doyoung sebagai Robin Hood modern sudah tersohor nyaris
di seluruh negeri. Satu setengah tahun yang lalu, saat tindakan kriminalnya pertama
kali tertangkap cctv di kota Hanam, penduduk berekonomi rendah di sekitar lokasi
pencurian mendapat sekantung uang yang digantung di kenop pintu rumah masing-masing.
Saat diselidiki, uang-uang itu memiliki seri yang sama dengan uang yang hilang
dari bank, hal tersebut jelas membuat para penduduk mau tak mau diwajibkan untuk
mengembalikan uang-uang itu agar tidak dituntut pidana. Kepolisian Hanam
menetapkan status Doyoung sebagai buronan dan memulai pencarian besar-besaran
di seluruh kota.
Terlepas dari statusnya itu, nama
Doyoung justru malah menjadi harum bagi orang-orang yang mengetahui beritanya,
dia dielu-elukan layaknya pahlawan nasional. Dan dari sanalah semuanya berawal.
Sejak itu, semua pencurian yang diikuti dengan pembagian uang secara misterius
bagi penduduk miskin, baik sebelum maupun
sesudah tertangkapnya wajah Doyoung di cctv saat menjalankan aksinya pada Bank
swasta di kota Hanam, otomatis menjadikan nama Kim Doyoung masuk ke jajaran
tersangka. Pola pencurian di Kissy
Diamond dua minggu lalu pun sama. Membuat ketenarannya yang sempat redam menjadi
kembali naik ke permukaan. Kali ini tidak hanya terbatas di Hanam, namun sudah
menyebar hampir ke seluruh negeri.
Dan sekarang, belum reda berita
soal pencurian di Seoul, wajah Kim Doyoung kembali menghiasi televisi. Kendati
tak ada bukti yang mengarah padanya, semua saluran berita tetap saja tak segan
mengait-ngaitkan pencurian itu dengan Kim Doyoung. Semata-mata hanya karena
polanya. Hwa Min yang sedang membereskan kopernya di kamar motel menatap layar
televisi itu sambil melipat bajunya. Ia tak bisa membayangkan sekesal apa
Seongjoon sekarang. Tiga jam setelah ia pergi, orang yang dicari-carinya justru
berbuat kekacauan hanya dua puluh menit dari motel mereka.
Hwa Min hendak meritsleting
kopernya saat ia teringat bahwa peralatan mandinya masih tertinggal di toilet.
Gadis itu pun segera memasuki bilik semi-transparan di belakangnya, memasukkan
botol sabun, sikat gigi, sampo beserta keperluan mandi lainnya ke dalam tas
kecil secepat yang ia bisa lantas kembali ke luar.
“Kau sudah mau pergi?”
Hwa Min terkejut mendengar suara
itu dan makin terkejut lagi begitu menemukan Doyoung tengah bersandar nyaman di
tempat tidurnya.
“B-bagaimana bisa kau masuk ke
sini?”
“Jendela,” sahutnya santai, lalu
berdiri. Gerakannya begitu ringan dan anggun seolah tubuhnya terbuat dari kapas.
Dia berjalan mendekati Hwa Min dengan langkah pelan dan tatapan memohon, “My dear,” katanya lambat-lambat, “maukah
kau…” ia berhenti tepat di hadapan Hwa Min, “…ikut denganku?”
“I-ikut denganmu?”
“Ya.”
“Ke mana?”
“Ke sebuah pulau. Hanya kau dan
aku.”
“Bodoh. Mana mungkin aku pergi
denganmu! Apa yang kau pikirkan? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini? Dan
kenapa kau ke sini?”
“Sudah kubilang aku ingin bertemu
denganmu. Sudah kubilang aku,” katanya, melangkah makin dekat lagi, “amat-amat
merindukanmu.”
“Berhenti di situ!” sergah Hwa
Min tegas. “Jangan mendekat lagi atau aku akan teriak.” Gadis itu mengawasi
Doyoung sembari melangkah mundur menuju kopernya dan mengambil borgol dari
sana. “Sudah kubilang kau tak akan mau bertemu denganku lagi.”
“Kau mau memborgolku?”
“Tentu saja. Aku bekerja di
kejaksaan sekarang. Aku menangani kasusmu.”
“Begitu?”
Hwa Min tak menjawab dan langsung
menarik tangan Doyoung ke belakang punggungnya, memborgolnya dengan tangan
gemetar. “Kau sudah dicari oleh seluruh petugas kepolisian selama
bertahun-tahun dan justru akulah, seorang anak baru, yang pada akhirnya
menangkapmu. Bayangkan bonus yang akan kudapat.”
Doyoung cuma tersenyum.
“Kau tahu aku sudah
memperingatkanmu, kan? Jadi jangan salahkan aku.”
“Aku tak menyalahkanmu,” kata
Doyoung tenang.
Hwa Min berjalan ke nakas di samping
ranjang untuk mengambil ponselnya yang sedang di-charge. Doyoung mengikutinya.
“Apa yang kau lakukan?”
“Menelepon polisi, tentu saja.
Aku tak bisa membawamu sendiri.”
“Benar.”
“Berhenti meremehkanku! Aku
sungguh akan menelepon mereka sekarang.”
“Silahkan.” Doyoung duduk di
sebelah Hwa Min di tepi tempat tidur dan praktis membuat gadis itu bergeser
menjauh. “Kau tak mau tahu apa yang terjadi pada hidupku? Kau tak mau tahu
kenapa tiba-tiba aku meninggalkan kuliah? Meninggalkanmu?”
“Kau bisa langsung mengatakannya
pada polisi,” jawab Hwa Min berusaha tak acuh. Walau sejujurnya ia amat
penasaran, walau sejujurnya jantungnya berdetak amat kencang sekarang, Hwa Min
merasa ia tak boleh kehilangan wibawanya sebagai aparatur Negara, apalagi di
depan Doyoung.
Hwa Min menempelkan ponselnya di
telinga begitu panggilannya terhubung, ia sengaja menoleh dan menatap
lurus-lurus pada Doyoung selagi bicara. “Selamat siang, ini Son Hwa Min dari
kejaksaan Seoul, aku butuh petugasmu ke Dawn Motel sekarang, kamar nomor
delapan. Kim Doyoung ada di sini.”
Doyoung tak memutus pandangan
mereka sampai Hwa Min menutup teleponnya. Nampak tak gentar sama sekali.
“Mereka akan datang kurang dari
sepuluh menit.”
“Yeah, tentu.”
“Astaga, kau masih meremehkanku? Kenapa
kau bersikap begini? Sebentar lagi semuanya selesai.”
“Kau mau aku panik?”
“Itu lebih baik.”
“Maafkan aku, tapi sulit sekali
merasakan hal lain di situasi seperti ini.”
“Situasi saat kau akan tertangkap?”
“Situasi saat aku dan kau saling
bertatapan lagi, seperti masa lalu.” Hwa Min terdiam. “Aku benar-benar tak
punya pilihan, kau tahu itu? Meninggalkanmu sama sekali bukan mauku.”
Doyoung terus beringsut
mendekatinya, matanya berseri-seri dan pemandangan itu serta merta membuat dada
Hwa Min bergemuruh, namun ia berusaha menampik semua perasaan itu dan
menggeleng pada Doyoung. “Berhenti.”
“Aku masih mencintaimu.”
“Aku tidak.”
“Jangan bohong!”
“Aku tidak bohong. Itu cuma
hubungan empat bulan, tak ada artinya.”
“Begitu?”
“Ya.”
“Kalau begitu mau buktikan?”
Doyoung mencondongkan wajahnya
dan Hwa Min tahu pria itu bermaksud menciumnya. Dengan cepat ia memalingkan
wajah.
“Kenapa?” tanya Doyoung dengan suara rapuh.
“Aku tahu kau menginginkannya.”
Hwa Min bergeming. Jika ia bicara
satu kata saja, maka Doyoung akan mendengar segemetar apa dirinya sekarang.
Mungkin, Hwa Min memang menginginkannya, namun ia tahu ia tak mungkin melakukannya.
Dia tidak segila itu.
“Tanganku diborgol, kuncinya jauh
di kopermu. Polisi datang dalam lima menit dan aku akan dibawa pergi kemudian
dipenjara entah berapa lama. Kau tahu ini kesempatan terakhir kita, kan?”
Godaan itu terdengar begitu
menggiurkan di telinga Hwa Min. Terlebih Doyoung yang ada di sebelahnya
sekarang terlihat berkali-kali lipat lebih menawan ketimbang Doyoung yang dipacarinya
di semester lima. Rambutnya lebih lebat. Matanya lebih tajam. Tubuhnya lebih
tegap. Doyoung tak ubahnya tanda bahaya yang diberi detak jantung dan jiwa. Begitu
tampan, begitu misterius dan memesona. Hwa Min menggigit bibirnya, berusaha
menguasai diri. Sebesar apa pun hasratnya sekarang, Hwa Min bersumpah akan
mengutuk dirinya seumur hidup jika ia sampai lengah dan menyetujui hal yang
Doyoung tawarkan. Dia tidak mengidap hybristophilia, jadi seharusnya akal
sehatnya masih berfungsi.
“Kau tak mau? Baiklah, polisi
mungkin sudah ada di lobi sekarang. Aku akan…”
Oke, mungkin Hwa Min memang
mengidap sedikit hybristophilia.
Hwa Min menarik kerah kemeja
Doyoung sampai berhadapan dengan wajahnya dan mencium bibirnya. Doyoung
membalas ciuman Hwa Min sambil tersenyum. Mereka memiringkan kepala ke arah
berlawanan dan memperdalam ciuman tersebut dengan penuh gairah. Hingga akhirnya
sesuatu yang ganjil terjadi. Hwa Min merasakan tangan Doyoung membelai dagunya,
membuat wajahnya menghangat dan makin menghangat lagi sebelum ia tersadar dan
langsung terperanjat. Tangan Doyoung seharusnya terborgol di belakang
punggungnya. Gadis itu menjauhkan wajahnya, membuka mata dan tersentak begitu melihat
Doyoung tengah tersenyum simpul padanya.
“Kau benar. Kita sebaiknya tidak
bertemu lagi,” kata pria itu, lantas berdiri. Hwa Min berusaha menangkap tangan
Doyoung dan berdiri mengikutinya, namun ia malah terjerembab ke posisi semula,
bersamaan dengan suara besi yang beradu nyaring di belakangnya. Hwa Min menoleh
dan menemukan tangan kirinya terborgol di kepala tempat tidur.
“Maafkan aku, tapi itu akan
menjadi ciuman perpisahan kita.” Doyoung menendang ponsel Hwa Min jauh ke pojok kamar, lalu bicara sambil melangkah mundur mendekati jendela, tirai putih
berendanya melambai-lambai tertiup angin. “Kecuali kalau kau bersumpah tak akan
mengkhianatiku seperti tadi lagi, aku mungkin akan mempertimbangkannya. Hatiku
sakit, kau tahu. Tapi bagaimanapun terima kasih. Dan selamat atas pekerjaan
barumu.”
Dia memanjat naik dan kini
menatap Hwa Min sambil berpijak di bingkai jendela. “Jangan repot-repot
mencariku di Busan. Aku pergi hari ini.” Suara sirine polisi bergaung dari
jalan raya, Doyoung memandang mereka dengan bosan sebelum mengucapkan selamat
tinggal terakhir pada Hwa Min dan menghilang.
TBC
Seems like this series would be a lot shorter (and shittier)
than I expected?? Also im sorry for all the wrong informations in this series…
please remember that all my works (especially this one) are pure fiction.
Kalian tau g mungkin ada pabrik kelapa sawit di Busan, kan? Busan sama sekali
bukan tempat perkebunan jadi maafkan aku huhu..
Sampe ketemu di part selanjutnya yah… babay
Comments
Post a Comment