Good Criminals #2



Sekembalinya ke tempat persembunyian, Doyoung langsung mendapat hardikan keras dari Jaehyun—yang mengaku akan terbang ke Seoul tiga jam yang lalu.


“Ke mana saja kau! Sudah kubilang jangan keluar dari sini!”
“Kenapa kau belum pergi?”
“Doyoung, serius. Kau harusnya mengerti serumit apa posisi kita sekarang. Mentang-mentang kau tak tahu berita, kau merasa…”


“Aku cuma keluar beli kopi, oke?” sela Doyoung tak tahan. “Aku membayarnya dengan uangku, aku tidak mencuri.”

“Kau tidak mengerti. Wajahmu ada di mana-mana. Bagaimana kalau ada yang mengenalimu di luar sana?”


Doyoung tersenyum miring sambil menarik lepas jaket denimnya, menjatuhkannya di lantai sebelum mengenyakkan diri di sofa di sebelah Jaehyun.


“Bagaimana jika…,” katanya lambat-lambat, sudut bibirnya tertarik liar, “…seseorang memang baru saja mengenaliku?”


“APA!!”


Teriakkan Jaehyun membuat Yuta—yang berada di ruangan lain di gedung itu, entah sedang apa—merasa terpanggil.


“Yeah, seseorang mengenaliku.”
“Siapa?”
“Kau mengenalnya.”
“Siapa?” desak Jaehyun.
“Son Hwa Min.”
“Hwa Min?” ulang Jaehyun terkejut.
“Siapa Hwa Min?” Suara Yuta tiba-tiba terdengar dari belakang mereka.


Jaehyun menoleh padanya dan menjawab sekenanya, “Teman kuliah Doyoung.”


“Dia kuliah?!” pekik Yuta syok, kepalanya berpaling cepat pada Doyoung dan mengamatinya dengan bola mata nyaris keluar. “Kau sungguh-sungguh pernah kuliah?” Pria itu berjalan lebih cepat memasuki ruangan dan melompat ke dekat perapian untuk duduk di lengan sofa.


“Bukan hanya teman kuliah, dia juga pacarku.” Doyoung mengoreksi, ekspresi dan nada suaranya terdengar sedikit terlalu bangga.


“Kau punya pacar?!” Yuta terdengar makin syok lagi. “Serius?! Orang sepertimu? Astaga!”
“Kau tahu aku tak langsung terlahir jadi buronan, kan? Aku pernah punya kehidupan normal sebelum ini,” ujar Doyoung jengkel. Mereka berdua sudah hidup bersama selama lima belas bulan dan fakta bahwa Yuta sama sekali tidak mengetahui apa pun soal masa lalu Doyoung (yang sehat walafiat, tidak menderita amnesia sebagaimana dirinya) benar-benar menyedihkan. Itu bukan salah Yuta, tentu saja. Doyoung memang amat tertutup soal kehidupan pribadinya. Namun entah bagaimana tetap saja merasa berhak untuk tersinggung saat orang lain tidak memahaminya.


“Oke, lalu, apa yang terjadi?” Jaehyun segera meluruskan pembicaraan mereka yang sempat berubah haluan.


“Dia menyuruhku pergi.”
“Dia pasti tahu statusmu sekarang dan takut padamu. Kuharap anak itu tutup mulut dan tidak melapor polisi atau apa.”


“Justru dialah polisinya.”
“Son Hwa Min?” Jaehyun menegaskan. “Polisi?”


Yuta ingat Jaehyun pernah bercerita padanya bahwa dirinya dan Doyoung sudah saling kenal sejak balita. Ayah angkat Doyoung bekerja untuk ayah Jaehyun atau semacamnya, jadi Yuta tak bertanya lagi saat melihat Jaehyun bicara seolah ia mengenal si ‘Hwa Min’ ini. Doyoung dan Jaehyun pasti mengenal orang-orang di hidup satu sama lain dengan baik.


Doyoung mengangkat bahu. “Sepertinya begitu. Dia bilang seharusnya aku tak bertemu dengannya.”


“Tunggu? Kalau teman kuliah sekaligus pacarmu itu benar-benar polisi, kenapa dia malah menyuruhmu pergi?”


“Karena dia masih mencintaiku, tentu saja,” sahut Doyoung yakin. “Dia jelas tak mau aku dipenjara.”


Jaehyun mendesah. “Jangan temui dia lagi.”


Seperti biasa, Doyoung tak mendebat ucapannya, namun bukan artinya ia akan menurut. “Sekarang, bisa kau jelaskan apa yang membuatmu belum kembali ke Seoul?”


“Aku mendapatkan info baru.” Jaehyun menyodorkan map cokelat yang sedari tadi berada di pangkuannya kepada Doyoung. “PAMYU. Perusahaan perdagangan kelapa sawit terbesar di kota ini. Salah satu perusahaan paling korup yang kutahu. Sudah berkali-kali melakukan korupsi tapi tak pernah digubris. Tahun 2016 mereka melakukan suap demi perizinan dan langsung ekspansi besar-besaran di selatan. Dampaknya benar-benar besar, bukan hanya untuk lingkungan tapi juga perekonomian rakyat kecil di sana. Kalau kau setuju, aku ingin mereka dijarah habis-habisan sebelum kalian meninggalkan kota ini.”


Doyoung baru membuka map itu setengah jalan saat ia mendengar kalimat terakhir Jaehyun dan sontak menoleh. “Kita baru seminggu di Busan, apa maksudmu meninggalkan kota ini?”


“Mau bagaimana lagi? Kau sudah bertemu dengan seseorang yang mengenalimu.”
“Hwa Min? Astaga, dia sama sekali bukan ancaman.”
“Kau jelas-jelas bilang dia polisi, bagaimana mungkin dia bukan ancaman?”
“Itu baru dugaanku.”
“Aku akan tetap carikan tempat baru.”
“Tch, intinya aku harus membersihkan gedung kosong lagi dalam waktu dekat ini?” keluh Yuta tak terima.


Jaehyun berdiri dan memakai mantelnya sembari mengumumkan, “Omong-omong, misi untuk minggu depan tidak ditunda, tapi batal sepenuhnya. Lee Seung Ma baru saja berdonasi dua ratus juta won untuk yayasan kanker anak. Tindakan mulianya diliput besar-besaran oleh media. Jelas cuma mau cari muka mengingat pencalonan walikota makin dekat, tapi kukira kita semua sepakat untuk tidak mengganggu orang yang beramal, jadi yeah, dia aman.”


Selagi Jaehyun bicara, Doyoung memusatkan perhatiannya pada nyala api di perapian, mendesah dan melamun. Yuta menyambar dokumen di tangan Doyoung dan mulai membaca informasi soal seluk beluk bangunan perusahaan PAMYU. Pria itu cuma mengangguk sesekali saat mendengarkan cerita Jaehyun soal Lee Seung Ma—intinya itu batal, dia tak peduli lagi sisanya.


“Sebelum aku pergi, ada yang mau kalian tanyakan?”
“Yeah, kapan Mark akan kembali dari pertukaran pelajar ke Jepangnya? Kami jelas butuh dia untuk perencanaan strategi memasuki PAMYU ini,” sahut Yuta, sesaat menurunkan kertasnya untuk menatap Jaehyun.


“Lusa, kalau aku tak salah ingat. Tenang saja, aku akan menyuruhnya segera ke sini begitu dia pulang. Tapi selagi menunggu, lebih baik perhitungkan dulu risikonya dari segi kecakapan kalian, jika menurutmu risiko memasuki PAMYU terlalu besar, maka tidak usah.”


Yuta mengangguk paham, sementara Doyoung masih kukuh memandangi perapian.


“Aku sudah belikan satu dus makanan untuk persediaan seminggu, jadi tak ada alasan bagi kalian untuk keluar.”


“Kami juga butuh minum.” Doyoung akhirnya menoleh, dengan tampang super geram, hanya untuk mengajukan protes.


“Aku juga sudah beli,” sambar Jaehyun, lantas mengalihkan perhatiannya pada Yuta. “Tolong awasi dia agar tidak keluar dari sini.”


Yuta mengangguk dengan ekspresi seolah ia bisa diandalkan.


Doyoung tertawa tak percaya melihat situasi menggelikan itu dan langsung berdiri sambil menunjuk Yuta. “Kau minta dia mengawasiku? Yang benar saja! Asal kau tahu kemarin dia hampir membawa kabur jeep kita untuk kembali ke Seoul, menemui pelayan restoran yang ditaksirnya itu. Seo Ye Eun.”


“Shin Ye Eun.” Yuta meralat ofensif.
“Apa itu benar?” tanya Jaehyun tak senang.
“Begini,” Yuta berusaha menjelaskan dengan nada bijaksana, “aku cuma tak mau dia salah paham jika tiba-tiba aku berhenti datang ke restorannya, apalagi…”


“Tidak ada alasan untuk kembali ke Seoul,” sela Jaehyun dingin. “Tidak untuk cewek mana pun. Tidak sampai situasinya mereda.”


“Tapi bukan aku buronannya. Aku tidak dicari polisi.”
“Tak ada yang tahu apa wajahmu benar-benar tidak tertangkap cctv! Mungkin polisi sengaja memberi informasi abu-abu untuk membuat kita merasa aman? Percaya padaku, hal terbaik yang bisa kalian lakukan sekarang hanyalah sembunyi.”


Jaehyun memberikan tatapan tegas kepada keduanya sebelum memutar badan dan mengancing mantelnya sambil berlalu. Meninggalkan atmosfer panas dan tak menyenangkan di seisi gedung.



**********



Esoknya, setelah memperoleh tidur cukup, suasana hati Seongjoon nampaknya mulai membaik. Ia bermurah hati memberi tahu Hwa Min mengenai informasi yang diberikan polisi Busan kepadanya. Hwa Min berusaha menampilkan ekspresi serius, sigap dan fokus sebagaimana lazimnya seorang jaksa. Namun itu sulit sekali. Bagaimana tidak? Orang yang mereka sedang bicarakan—buronan selicin belut yang mati-matian dicari polisi di sekurang-kurangnya lima distrik tersebut, Kim Doyoung—berada persis di depan matanya semalam dan alih-alih menangkapnya, ia malah menyuruhnya kabur.


Hwa Min tak bisa menebak apa persisnya perasaan yang menguasai hatinya sekarang, penyesalan karena melepaskan Doyoung, atau malah kegelisahan karena takut Doyoung tertangkap.


Saat pikiran Hwa Min yang sempat melanglang buana itu kembali ke meja, Seongjoon tengah mengutarakan kesungguhannya bahwa mereka pasti bisa menemukan Kim Doyoung apabila menyisir semua bangunan kosong di Busan.


“Dia selalu bersembunyi di rumah kosong,” katanya selagi sarapan, melambaikan sumpitnya yang telah menjepit telur goreng. “Aku sudah minta tolong pada kepolisian lokal untuk memberikan daftar rumah kosong di Busan secepatnya.”


“Kenapa kau yakin sekali dia ada di Busan? Maksudku, ya, delapan jam setelah penggerebekan itu Busan memang merupakan salah satu kota di mana perhiasan yang dicuri dari Kissy Diamond ditemukan, tapi perhiasan itu juga tersebar di dua kota lain, kan? Dia tak mungkin ada di tiga kota sekaligus.”


“Maka dari itu kita berpencar,” balas Seongjoon lancar.
“Kenapa kau tak memikirkan kemungkinan lain?”
“Seperti?”
“Dia masih di Seoul? Maksudku, dia bisa saja melakukan transaksi gelapnya di malam yang sama dengan malam ia mencurinya? Dari seoul? Kita mungkin sedang dijebak.”


“Yeah, tentu dia akan menjual semua barang curiannya secepat mungkin. Tapi aku tak mengerti apa yang membuatmu berpikir kita dijebak. Kau ingin kita diam saja di Seoul? Menunggu cecunguk itu berulah lagi? Lalu kehilangannya lagi detik berikutnya?” balas Seongjoon sengit. “Setidaknya pencarian kita di kota ini membuktikan bahwa kita mencoba, kan?”


“Tapi aku yakin dia tak ada di Busan. Kota ini terlalu jauh dari Seoul. Logikanya, jika ia benar-benar harus cari tempat sembunyi dengan cepat, maka ia pasti akan memilih kota-kota di sekitar Seoul. Lagi pula…”


“Sebenarnya apa yang kau sembunyikan?” sela Seongjoon curiga. Ia meletakkan sumpitnya di atas mangkuk nasi dan menatap Hwa Min dengan tatapan menginterogasi. “Argumenmu benar-benar bodoh dan semua kegelisahanmu ini membuatku makin yakin kalau Kim Doyoung memang sedang berada di kota ini. Apa kau berkomplot dengannya?”


“Apa! Tentu saja tidak! Aku cuma… perasaanku bilang dia tak mungkin ada di sini.”
“Kita tak bekerja dengan perasaan, Son Hwa Min-ssi.”
“Aku tahu.”
“Kalau begitu bertingkahlah seolah kau tahu!” Seongjoon mendecakkan lidahnya. “Sudahlah! Ketimbang bicara omong kosong, lebih baik kau beri tahu aku siapa teman-teman dekatnya waktu kalian pacaran dulu. Anak itu tak mungkin kerja sendiri. Pasti ada orang besar di belakangnya. Seseorang yang punya uang, punya kuasa.”


“Benar.”
“Benar apa?”
“Benar pasti ada seseorang di belakangnya. Doyoung yang kukenal tak mungkin berbuat kriminal.”
“Doyoung yang kau kenal sudah mati bertahun-tahun yang lalu,” sahut Seongjoon tak peduli. “Sekarang jawab pertanyaanku, kira-kira siapa saja teman dekatnya yang tergolong kaya dan punya kuasa? Ini akan sangat membantu penyelidikan.”


“Aku sudah bilang padamu berkali-kali, aku tak tahu! Kami cuma pacaran empat bulan dan dia amat tertutup. Aku bahkan tak mengenal keluarganya.”


Seongjoon mendesah, mengangkat sumpitnya lagi dan bergumam pelan sebelum kembali memasukkan telur gorengnya ke mulut. “Keluarga, ya? Akta lahirnya bahkan tak menyebut nama orangtua sama sekali.”


“Benar. Aku melihat foto aktanya di bundel bukti yang kau berikan padaku kemarin lusa. Aku tak tahu ada akta lahir semacam itu.”


“Ya, umumnya pada anak temuan yang tidak diketahui data kelahirannya,” jawab Seungjoon. “Dia tinggal bersama orangtua angkatnya sampai lulus SMA lalu memutuskan untuk hidup sendiri saat kuliah. Berdasarkan informasi dari kepolisian Hanam, saat mereka mendatangi kediaman lamanya, orangtua angkat Doyoung mengaku tak pernah berhubungan dengan anak itu lagi sejak dia pergi. Doyoung memutus hubungan dengan orangtua angkatnya begitu saja. Mungkin sakit hati saat mengetahui ternyata dirinya bukan anak kandung, entahlah, tapi apa menurutmu itu sikap yang pantas? Setelah dibesarkan susah payah, disekolahkan, dikasih makan, dan sebagainya, dia malah bersikap seperti bajingan.”


Hwa Min rasanya tak bisa memercayai semua cerita itu sama sekali. Tapi dia menahan mulutnya untuk berkomentar.


“Apa dia punya pekerjaan selama kuliah?” tanya Seongjoon lagi. “Pasti punya, kan? Toh dia membiayai segalanya sendiri. Apa pekerjaannya?”


Hwa Min menggeleng tak tahu menahu.


“Kau tak tahu?”
“Tidak.”
“Astaga! Ini pertama kalinya aku bertemu seseorang yang tidak mengetahui apa pun soal pacarnya sendiri. Bagaimana bisa kau memacari seseorang yang tak kau kenal sama sekali?”


Pertanyaan itu menyentak tepat di hati Hwa Min. Dia melirik sang atasan dengan pandangan mencela sebelum memejamkan mata dan menarik napas panjang, mengukuhkan diri untuk melawan, “Maaf Pak Jaksa senior yang terhormat, tapi Doyoung yang kukenal adalah cowok baik super brilian yang selalu membantuku di kelas antropologi. Dia manis, dia memanggilku dengan panggilan manis dan memberiku makanan-makanan manis. Dia juga keren dan punya aura misterius yang khas sejak dulu. Aku yakin semua gadis di kampusku menginginkannya. Jadi intinya, hanya perempuan sinting yang akan menolak Kim Doyoung dan aku tidak sinting. Belum lagi dia lucu, okay? Dia lucu dan tidak emosian seperti seseorang. Dan walau rasanya amat singkat, walau dia tak pernah menghubungiku sama sekali saat liburan semester, walau kita cuma ketemu di kampus tiga kali seminggu, namun dia selalu membuat setiap pertemuan kami berkesan. Dan dulu, aku merasa semua itu sudah lebih dari cukup.”


Hwa Min terengah begitu ia menyelesaikan pembelaannya. Dan Seongjoon nampak syok bukan main, ia  berhenti mengunyah. Wajahnya benar-benar membeku seperti tanah liat dan ia menatap Hwa Min seolah gadis itu sudah gila. “Wah,” desahnya seraya menggeleng. “Baiklah, aku mengerti.” Seongjoon menggeleng sekali lagi dengan tampang horor. “Lebih baik kau habiskan makananmu dan jangan bicara lagi.”


Seongjoon mengeluarkan suara yang kedengarannya seperti ‘tch!’ sebelum memandang Hwa Min seolah kebodohannya sudah tak tertolong. “Bikin sakit kepala.”



**********



“Maaf, tapi selama ini tidak pernah dilakukan pendataan resmi soal jumlah bangunan kosong di Busan.”


Seongjoon mendecakkan lidahnya keras-keras pada anggota kepolisian yang memberitahunya informasi itu sebelum melangkah keluar sambil menggerutu. Hwa Min persis di belakangnya. “Apa-apaan! Waktu kuminta tiga hari lalu mereka langsung bilang siap. Sekarang tiba-tiba bilang tidak ada. Benar-benar. Pantas saja tingkat kejahatan di Negara ini meningkat, toh polisinya payah semua. Sekarang apa coba yang bisa kita lakukan? Kita jadi buang-buang waktu di sini sampai empat hari. Memangnya kasusku cuma Kim Doyoung saja! Kalau begini caranya maka bisa apa lagi kita di sini? Tak ada bukti yang bisa diselidiki lagi.”


Seongjoon benar. Mereka memang menghadapi jalan buntu. Perihal perhiasan curian, benda itu ditemukan di toko lelang kecil di Busan dan nyaris dibeli dengan harga tinggi oleh pengusaha lokal sebelum ketahuan polisi. Dan setelah ditelusuri, pemilik toko lelang mengaku mendapatkan perhiasan tersebut dari pialang daring gelap di internet. Permainan mereka amatlah rapi hingga tidak berlebihan rasanya jika ia mengatakan bahwa mustahil bagi polisi untuk mengungkap identitas pialang itu. Akunnya tak bisa diakses lagi. Mereka sudah menghapus segalanya.


Tim dari kota lain pun menemui jalan buntu yang sama. Alhasil, seluruh tim inti pun memutuskan kembali ke Seoul untuk mencari lebih banyak bukti. Mengingat betapa minimnya bukti yang dimiliki, pada akhirnya mereka semua mengakui betapa gegabahnya rencana pengejaran Doyoung ini. Riak semangat yang mereka rasakan hanya timbul karena euforia nyaris menggerebek sang buronan tersohor di tempat persembunyiannya di Seoul pada Sabtu pagi. Selebihnya cuma delusi.


“Aku lebih senang perjalanan malam. Jalanan lebih lengang dan kita bisa sampai lebih cepat. Kuharap kau sudah turun ke lobi pukul sebelas malam ini,” kata Seongjoon setibanya di motel.


Hwa Min tak langsung menjawab. Sejujurnya ia benar-benar risih dan tak nyaman jika harus melewati perjalanan darat sampai lima jam dengan Seongjoon lagi. Gadis itu trauma. Seongjoon luar biasa menyebalkan saat dalam kondisi tertekan. Belum lagi mereka pulang dengan tangan hampa, tak terbayang akan segalak apa Seongjoon nantinya.


Hwa Min membayangkan dirinya diturunkan di pinggir jalan untuk mencari kopi dan langsung menggeleng pada dirinya sendiri. Saat pikirannya kembali ke lobi, Seongjoon tengah menatapnya menunggu jawaban.


“Maaf, aku agak mual kalau harus naik mobil lagi. Aku akan cari tiket pesawat sendiri besok pagi.”
“Begitu?”
“Ya.”
“Baiklah, sampai jumpa di Seoul.” Dan pria itu pun pergi melewatinya begitu saja.



**********



Seperti telah direncanakan, Doyoung, Yuta dan Mark pergi ke gedung perusahaan Pamyu pada pukul dua pagi di hari Senin. Targetnya adalah ruang Direktur sekaligus ruang bendahara yang sama-sama berada di lantai tiga.


Mark berhasil membunyikan alarm di gudang penyimpanan sehingga membuat seluruh petugas keamanan berbondong-bondong ke sana. Ia mengunyah es batu di mulutnya sambil berjalan kembali menuju mobil. Sambil lalu, tangannya yang berbalut sarung tangan menurunkan tuas listrik di pos penjaga yang kosong sehingga membuat bangunan di belakangnya seketika gelap gulita, lalu bicara lewat walkie-talkie kepada Doyoung. “Steril. Silahkan masuk.”


Doyoung dan Yuta pun beraksi. Menyelinap masuk dan membobol kunci-kunci dengan mulus seperti biasa. Mark memonitor semuanya dari mobil sambil menyenandungkan lagu-lagu Radiohead dengan santai.


Dua puluh menit kemudian, Yuta mendorong tasnya yang penuh sesak melewati jendela mobil, lantas mengambil alih kemudi dari Mark. Doyoung masuk beberapa detik setelahnya. Mendorong Mark dari pintu penumpang dan membuatnya terhimpit di antara tas-tas berisi uang curian sebelum pria itu berhasil menyelipkan badannya ke jok belakang. Yuta menginjak pedal gas dan di detik yang sama, listrik perusahaan Pamyu kembali menyala terang.


Keesokan paginya, berita pencurian itu ada di mana-mana. Disusul dengan kesaksian beberapa tunawisma dan ratusan warga miskin di sekitarnya bahwa mereka bangun dengan segepok uang di depan pintu rumah masing-masing, atau di dalam kantung mengemis bagi mereka yang tak punya rumah.


Reputasi Doyoung sebagai Robin Hood modern sudah tersohor nyaris di seluruh negeri. Satu setengah tahun yang lalu, saat tindakan kriminalnya pertama kali tertangkap cctv di kota Hanam, penduduk berekonomi rendah di sekitar lokasi pencurian mendapat sekantung uang yang digantung di kenop pintu rumah masing-masing. Saat diselidiki, uang-uang itu memiliki seri yang sama dengan uang yang hilang dari bank, hal tersebut jelas membuat para penduduk mau tak mau diwajibkan untuk mengembalikan uang-uang itu agar tidak dituntut pidana. Kepolisian Hanam menetapkan status Doyoung sebagai buronan dan memulai pencarian besar-besaran di seluruh kota.


Terlepas dari statusnya itu, nama Doyoung justru malah menjadi harum bagi orang-orang yang mengetahui beritanya, dia dielu-elukan layaknya pahlawan nasional. Dan dari sanalah semuanya berawal. Sejak itu, semua pencurian yang diikuti dengan pembagian uang secara misterius bagi penduduk miskin, baik sebelum maupun sesudah tertangkapnya wajah Doyoung di cctv saat menjalankan aksinya pada Bank swasta di kota Hanam, otomatis menjadikan nama Kim Doyoung masuk ke jajaran tersangka. Pola pencurian di Kissy Diamond dua minggu lalu pun sama. Membuat ketenarannya yang sempat redam menjadi kembali naik ke permukaan. Kali ini tidak hanya terbatas di Hanam, namun sudah menyebar hampir ke seluruh negeri.


Dan sekarang, belum reda berita soal pencurian di Seoul, wajah Kim Doyoung kembali menghiasi televisi. Kendati tak ada bukti yang mengarah padanya, semua saluran berita tetap saja tak segan mengait-ngaitkan pencurian itu dengan Kim Doyoung. Semata-mata hanya karena polanya. Hwa Min yang sedang membereskan kopernya di kamar motel menatap layar televisi itu sambil melipat bajunya. Ia tak bisa membayangkan sekesal apa Seongjoon sekarang. Tiga jam setelah ia pergi, orang yang dicari-carinya justru berbuat kekacauan hanya dua puluh menit dari motel mereka.


Hwa Min hendak meritsleting kopernya saat ia teringat bahwa peralatan mandinya masih tertinggal di toilet. Gadis itu pun segera memasuki bilik semi-transparan di belakangnya, memasukkan botol sabun, sikat gigi, sampo beserta keperluan mandi lainnya ke dalam tas kecil secepat yang ia bisa lantas kembali ke luar.


“Kau sudah mau pergi?”


Hwa Min terkejut mendengar suara itu dan makin terkejut lagi begitu menemukan Doyoung tengah bersandar nyaman di tempat tidurnya.


“B-bagaimana bisa kau masuk ke sini?”
“Jendela,” sahutnya santai, lalu berdiri. Gerakannya begitu ringan dan anggun seolah tubuhnya terbuat dari kapas. Dia berjalan mendekati Hwa Min dengan langkah pelan dan tatapan memohon, “My dear,” katanya lambat-lambat, “maukah kau…” ia berhenti tepat di hadapan Hwa Min, “…ikut denganku?”


“I-ikut denganmu?”
“Ya.”
“Ke mana?”
“Ke sebuah pulau. Hanya kau dan aku.”
“Bodoh. Mana mungkin aku pergi denganmu! Apa yang kau pikirkan? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini? Dan kenapa kau ke sini?”


“Sudah kubilang aku ingin bertemu denganmu. Sudah kubilang aku,” katanya, melangkah makin dekat lagi, “amat-amat merindukanmu.”


“Berhenti di situ!” sergah Hwa Min tegas. “Jangan mendekat lagi atau aku akan teriak.” Gadis itu mengawasi Doyoung sembari melangkah mundur menuju kopernya dan mengambil borgol dari sana. “Sudah kubilang kau tak akan mau bertemu denganku lagi.”


“Kau mau memborgolku?”
“Tentu saja. Aku bekerja di kejaksaan sekarang. Aku menangani kasusmu.”
“Begitu?”


Hwa Min tak menjawab dan langsung menarik tangan Doyoung ke belakang punggungnya, memborgolnya dengan tangan gemetar. “Kau sudah dicari oleh seluruh petugas kepolisian selama bertahun-tahun dan justru akulah, seorang anak baru, yang pada akhirnya menangkapmu. Bayangkan bonus yang akan kudapat.”


Doyoung cuma tersenyum.


“Kau tahu aku sudah memperingatkanmu, kan? Jadi jangan salahkan aku.”
“Aku tak menyalahkanmu,” kata Doyoung tenang.


Hwa Min berjalan ke nakas di samping ranjang untuk mengambil ponselnya yang sedang di-charge. Doyoung mengikutinya.


“Apa yang kau lakukan?”
“Menelepon polisi, tentu saja. Aku tak bisa membawamu sendiri.”
“Benar.”
“Berhenti meremehkanku! Aku sungguh akan menelepon mereka sekarang.”
“Silahkan.” Doyoung duduk di sebelah Hwa Min di tepi tempat tidur dan praktis membuat gadis itu bergeser menjauh. “Kau tak mau tahu apa yang terjadi pada hidupku? Kau tak mau tahu kenapa tiba-tiba aku meninggalkan kuliah? Meninggalkanmu?”


“Kau bisa langsung mengatakannya pada polisi,” jawab Hwa Min berusaha tak acuh. Walau sejujurnya ia amat penasaran, walau sejujurnya jantungnya berdetak amat kencang sekarang, Hwa Min merasa ia tak boleh kehilangan wibawanya sebagai aparatur Negara, apalagi di depan Doyoung.


Hwa Min menempelkan ponselnya di telinga begitu panggilannya terhubung, ia sengaja menoleh dan menatap lurus-lurus pada Doyoung selagi bicara. “Selamat siang, ini Son Hwa Min dari kejaksaan Seoul, aku butuh petugasmu ke Dawn Motel sekarang, kamar nomor delapan. Kim Doyoung ada di sini.”


Doyoung tak memutus pandangan mereka sampai Hwa Min menutup teleponnya. Nampak tak gentar sama sekali.


“Mereka akan datang kurang dari sepuluh menit.”
“Yeah, tentu.”
“Astaga, kau masih meremehkanku? Kenapa kau bersikap begini? Sebentar lagi semuanya selesai.”
“Kau mau aku panik?”
“Itu lebih baik.”
“Maafkan aku, tapi sulit sekali merasakan hal lain di situasi seperti ini.”
“Situasi saat kau akan tertangkap?”
“Situasi saat aku dan kau saling bertatapan lagi, seperti masa lalu.” Hwa Min terdiam. “Aku benar-benar tak punya pilihan, kau tahu itu? Meninggalkanmu sama sekali bukan mauku.”


Doyoung terus beringsut mendekatinya, matanya berseri-seri dan pemandangan itu serta merta membuat dada Hwa Min bergemuruh, namun ia berusaha menampik semua perasaan itu dan menggeleng pada Doyoung. “Berhenti.”


“Aku masih mencintaimu.”
“Aku tidak.”
“Jangan bohong!”
“Aku tidak bohong. Itu cuma hubungan empat bulan, tak ada artinya.”
“Begitu?”
“Ya.”
“Kalau begitu mau buktikan?”


Doyoung mencondongkan wajahnya dan Hwa Min tahu pria itu bermaksud menciumnya. Dengan cepat ia memalingkan wajah.


“Kenapa?” tanya Doyoung dengan suara rapuh. “Aku tahu kau menginginkannya.”


Hwa Min bergeming. Jika ia bicara satu kata saja, maka Doyoung akan mendengar segemetar apa dirinya sekarang. Mungkin, Hwa Min memang menginginkannya, namun ia tahu ia tak mungkin melakukannya. Dia tidak segila itu.


“Tanganku diborgol, kuncinya jauh di kopermu. Polisi datang dalam lima menit dan aku akan dibawa pergi kemudian dipenjara entah berapa lama. Kau tahu ini kesempatan terakhir kita, kan?”


Godaan itu terdengar begitu menggiurkan di telinga Hwa Min. Terlebih Doyoung yang ada di sebelahnya sekarang terlihat berkali-kali lipat lebih menawan ketimbang Doyoung yang dipacarinya di semester lima. Rambutnya lebih lebat. Matanya lebih tajam. Tubuhnya lebih tegap. Doyoung tak ubahnya tanda bahaya yang diberi detak jantung dan jiwa. Begitu tampan, begitu misterius dan memesona. Hwa Min menggigit bibirnya, berusaha menguasai diri. Sebesar apa pun hasratnya sekarang, Hwa Min bersumpah akan mengutuk dirinya seumur hidup jika ia sampai lengah dan menyetujui hal yang Doyoung tawarkan. Dia tidak mengidap hybristophilia, jadi seharusnya akal sehatnya masih berfungsi.


“Kau tak mau? Baiklah, polisi mungkin sudah ada di lobi sekarang. Aku akan…”


Oke, mungkin Hwa Min memang mengidap sedikit hybristophilia.


Hwa Min menarik kerah kemeja Doyoung sampai berhadapan dengan wajahnya dan mencium bibirnya. Doyoung membalas ciuman Hwa Min sambil tersenyum. Mereka memiringkan kepala ke arah berlawanan dan memperdalam ciuman tersebut dengan penuh gairah. Hingga akhirnya sesuatu yang ganjil terjadi. Hwa Min merasakan tangan Doyoung membelai dagunya, membuat wajahnya menghangat dan makin menghangat lagi sebelum ia tersadar dan langsung terperanjat. Tangan Doyoung seharusnya terborgol di belakang punggungnya. Gadis itu menjauhkan wajahnya, membuka mata dan tersentak begitu melihat Doyoung tengah tersenyum simpul padanya.


“Kau benar. Kita sebaiknya tidak bertemu lagi,” kata pria itu, lantas berdiri. Hwa Min berusaha menangkap tangan Doyoung dan berdiri mengikutinya, namun ia malah terjerembab ke posisi semula, bersamaan dengan suara besi yang beradu nyaring di belakangnya. Hwa Min menoleh dan menemukan tangan kirinya terborgol di kepala tempat tidur.


“Maafkan aku, tapi itu akan menjadi ciuman perpisahan kita.” Doyoung menendang ponsel Hwa Min jauh ke pojok kamar, lalu bicara sambil melangkah mundur mendekati jendela, tirai putih berendanya melambai-lambai tertiup angin. “Kecuali kalau kau bersumpah tak akan mengkhianatiku seperti tadi lagi, aku mungkin akan mempertimbangkannya. Hatiku sakit, kau tahu. Tapi bagaimanapun terima kasih. Dan selamat atas pekerjaan barumu.”


Dia memanjat naik dan kini menatap Hwa Min sambil berpijak di bingkai jendela. “Jangan repot-repot mencariku di Busan. Aku pergi hari ini.” Suara sirine polisi bergaung dari jalan raya, Doyoung memandang mereka dengan bosan sebelum mengucapkan selamat tinggal terakhir pada Hwa Min dan menghilang.



TBC


Seems like this series would be a lot shorter (and shittier) than I expected?? Also im sorry for all the wrong informations in this series… please remember that all my works (especially this one) are pure fiction. Kalian tau g mungkin ada pabrik kelapa sawit di Busan, kan? Busan sama sekali bukan tempat perkebunan jadi maafkan aku huhu..


Sampe ketemu di part selanjutnya yah… babay

Comments

Popular Posts