The Scoundrel, Heartbreaker Part 1




Side story :



Previous story :




*  *  *  *




Akhirnya setelah sekian lama aku tak bisa merasakan kenyamanan kamar ku, hari ini, menit ini, detik ini, aku bisa kembali merasakannnya. Ya Tuhan... terimakasih karena Engkau telah membuat para dekan untuk menyelesaikan masa perkuliahan lebih cepat dari apa yang tertera di papan pengumuman. Walaupun nilai akhir ku belum keluar, setidaknya aku bisa melakukan segala yang ingin aku lakukan tanpa harus memikirkan berbagai macam tugas yang datang silih berganti.



Mengingat tugas-tugas memuakan itu membuat kepala ku kembali berdenyut. Sungguh para doesn itu sangat tak berperikemanusiaan! Bagaimana bisa dalam satu hari mereka secara bersama-sama memberikan tugas dengan waktu pengumpulan yang sama pula?! Membuat makalah. Melakukan presentasi. Penelitian. Membaca jurnal. Berdiskusi. Semua itu mereka berikan dengan tenggang waktu satu minggu. Ya satu minggu. Hanya satu minggu.



Kalian tahu bukan satu minggu hanya terdiri dari 7 hari dimana 1 harinya hanya memiliki 24 jam. Jika tugas yang diberikan tidak memiliki banyak keturunan mungkin aku dapat menyelesaikannya secepat aku bisa dan tanpa mengurangi waktu istirahat ku yang sangat berharga ini. Tapi kenyataannya, tugas-tugas itu memiliki banyak keturunan setelah mereka memiliki lebih dari dua keturunan. Kalian dapat bayangkan itu??? Sungguh rasanya ingin sekali aku berkata kasar jika saja nilai yang mereka berikan bukanlah penilaian subjektif.



Ku helakan napas beratku.



Lupakan masalah tugas dan dosen-dosen yang menyebalkan itu. Aku sudah tidak ingin memikirkannya. Bukankah masa lalu lebih baik di simpan dan tak diingat kembali? Jadi lebih baik ku buka lembaran baru hidup dan menutup buku lama yang penuh dengan hal-hal menyebalkan dan melelahkan itu.



Tapi jika berbicara mengenai tugas, aku jadi teringat dengan teman-teman ku. Bagaimana keadaan mereka? Rasanya sudah cukup lama aku tidak bercengkrama dengan mereka. Rasanya hari ku begitu penuh dengan lembaran demi lembaran tugas sampai-sampai untuk menguhubungi mereka saja tidak sempat. Ah.. lebih baik ku hubungi saja mereka. Rasanya mengundang mereka ke rumah ku bukanlah hal yang buruk. Apalagi hari ini akhir pekan.



Baiklah aku akan memulai dari Park Eun Ra, kemudian Shin Seul Bin, dan yang terakhir adalah Kang Minhyo.



Ku raih benda putih yang tersimpan di atas nakas kecil dan mulai mengoperasikannya. Ku mainkan jari jemari ku di atas layar benda tersebut sampai pemberitahuan pesan ku muncul. Setelahnya aku kembali merebahkan diri ku di atas ranjang dan mulai mendengarkan alunan musik kesukaan ku yang sudah tidak pernah ku dengar lagi sejak masa krisis datang.



Lagu terbaru dair SHINee mengalun menemani pagi menjelang siang ku ini. Semua masih dalam keadaan baik sampai tiba-tiba saja ketukan pada pintu kamar ku merusak semuanya. Andai jika yang mengetuk bukanlah Ibu, sudah ku pastikan bahwa orang itu akan menerima makian serta sumpah serapah dari ku.



Dengan malas, ku hampiri pintu bercat putih itu dan membukanya. Sudah bisa ku tebak jika Ibu pasti akan tersenyum manis pada ku dan mengusap puncak kepala ku begitu aku muncul di hadapannya. Ya bisa dibilang, hal itu adalah hal yang wajib dilakukannya jika ia bertemu dengan kedua anaknya, ah mungkin lebih tepatnya hanya aku yang diperlakukan seperti itu, karena sepertinya Ibu tak melakukan hal itu pada Jonghyun, kakak ku.



“Ada apa Bu?”



“Ada Paman dan Bibi Tuan. Ayo temui mereka..”



Paman dan Bibi Tuan? Siapa mereka? Bahkan namanya begitu asing di telinga ku. Tapi kenapa wajah Ibu begitu senang, seperti baru saja memenangkan undian. Lalu kenapa aku harus bertemu dengannya? Dan kenapa pula aku harus mengikuti Ibu yang telah berjalan terlebih dulu di depan ku.



Argh Hwang Jiyeong!!!



“Ayo Jiyeongie..”



Aku sedikit tersentak begitu tangan Ibu tiba-tiba menarik tangan ku.  Kembali naoasku terhela. Sepertinya ibu sangat bersemangat untuk mempertemukan aku dengan, siapa tadi.. Tu-? Tu-??? Ya siapa pun namanya, yang jelas mereka telah membuat aku harus meninggalkan ranjang kesayangan ku dan membuat SHINee oppa berhenti bernyanyi di telinga ku. Tsk!



Aku mulai menyeimbangi langkah Ibu yang semakin cepat begitu kami telah sampai di lantai satu. Ia semakin bersemangat begitu kami telah hampir sampai di ruang tengah dimana sepertinya orang-orang yang ingin Ibu pertemukan dengan ku tengah menunggu. Sampai ketika kami telah benar-benar berada di ruang tengah dan aku telah ikut duduk bergabung di sana, Ibu masih saja memegangi tangan ku seakan ia masih merasa bahwa kami masih berjalan seperti tadi.



Sungguh meyebalkan!!, batin ku.



“Jiyoung ini Paman dan Bibi Tuan.” Ibu menunjuk sepasang suami-istri yang duduk tepat di depan kami.



Aku yang melihatnya, menganggukkan kepala dan memberikan hormat kepada mereka.



“Dan ini Mark.”



Ku ikuti arah tangan Ibu dan kemudian kembali menganggukkan kepala. Rasanya begtiu enggan untuk berada di tempat ini, bahkan untuk melihat Mark, yang entahlah siapa itu. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak memiliki cara untuk pergi selain jika teman-teman ku datang sekarang.



Tunggu.. tadi siapa namanya? Ahhh kenapa aku tidak memerhatikannya?! Bodoh.



“Jiyeong kamu tumbuh menjadi gadis yang cantik. Bahkan sangat cantik..”



“Sebelumnya terimaksih Bi, tetapi Bibi terlalu berlebihan.” Balas ku sedikit canggung. Jujur aku merasa tidak nyaman dengan pujian Bibi itu yang terdengar begitu aneh di telinga ku.



“Tidak, Bibi telah memperkirakan bahwa kamu akan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik saat kamu masih berusia  satu tahun. Dan benar saja, kamu telah menjadi kupu-kupu yang cantik Jiyeongie..”



Aku tersenyum dengan semakin canggung begitu menedengar penuturan wanita itu. Tasanya sangat aneh tetapi aku tidak mungkin membantah ucapannya.



“Ku rasa Mark juga tumbuh menjadi pria yang tampan. Lihat saja, ia tinggi, kulit yang bersih, dengan tubuhnya yang atletis.”



“Ah kau bisa saja. Mark menjadi seperti saat ini karena ia mendapatkan gen ku. Coba kau lihat aku, aku dan anak ku ini tak jauh berbeda bukan?”



“Ya.. ya, kau benar. Kau dan Mark tak jauh berbeda. Yang berbeda hanya umur kalian saja. Kau sudah begitu cukup bahkan sangat cukup, sedangkan Mark, usianya bahkan sama seperti Jiyeong.”



Ya Tuhan.. sebenarnya pertemuan apa ini? Kenapa para orang tua senang sekali untuk saling memuji? Kenapa rasanya begitu menjijikan berada di tempat ini? Mendengarkan pujian-pujian yang mereka lontarkan rasanya seperti berada di dunia lain.


Tanpa sadar aku menghela kasar. Beruntung dengan suara yang pelan karena jika tidak pasti seluruh atensi akan mengarah kepada ku.



Tapi tunggu, apakah tadi mereka menyebut... menyebut nama Mark? Apakah yang aku dengar tidak salah? Kenapa nama Mark terasa begitu pasaran?



“Mark kenapa kau diam saja, katanya kau ingin berbicara dengan Jiyeong? Kini Jiyeong ada di depan mu. Ayo..”



Aku mengangkat kepala dan mengalihkan pandangan ku pada pria yang duduk berada di samping Paman Tuan. Saat melihat wajahnya untuk pertama kali, mata ku langsung membulat. Jadi sedari tadi nama Mark yang mengalun ke dalam telinga ku adalah Mark. Bagaimana bisa Mark? Kenapa dia bisa ada di sini??!?!



“Hai-”



Ku balas sapaannya dengan lengkungan di bibir ku. Selama beberapa saat ia diam dan tidak melanjutkan kalimatnya. Ia terlihat seperti tengah mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ucapannya itu. Melihat sulitnya ia dalam melanjutkan ucapannya membuat diri ku sendiri menjadi bingung. Sebenarnya apa yang tengah ia pikirkan?



Mark bergumam pelan sebelum membuka kembali suaranya dan berucap, “Akhirnya aku bisa bertemu dengan mu. Maksud ku sebelumnya kita hanya berpapasan dan tidak saling menyapa, tapi hari ini kita malah bertemu di antara keluarga kita. Bukankah ini menarik?”



Rasa canggung kembali menyerang ku. Kali ini semakin hebat hingga tengkuk ku terasa memanas dan bulu halus di tangan ku berdiri. Aku hanya mampu tersenyum kaku sebagai respon ucapannya. Tidak berniat untuk membalasnya karena rasanya sangat aneh sampai membuat diri ku benar-benar ingin pergi meninggalkan tempat ini. Ya Tuhan...



“Oh jadi kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?”



Aku menoleh pada wanita yang tadi diperkenalkan sebagai Bibi Tuan, atau untuk lebih jelasnya adalah Ibu dari Mark.



Mark menganggukkan kepalanya. “Iya.. kami belajar di universitas dan fakultas yang sama. Hanya saja kami jarang bahkan hampir tidak pernah berbicara.”



“Benarkah? Jadi...” Bibi Tuan terlihat begitu senang hingga membuat dirinya menjeda ucapannya dan memilih untuk melebarkan senyumnya. Namun keterdiaman Bibi Tuan tidak berlangsung lama karena setelahnya ia kembali berucap, “Ini adalah kabar yang membahagiakan. Jadi kita tidak usah membahas hal ini di lain waktu.”



Aku menatapnya bingung.



“Hal ini? Memangnya hal apa yang Bibi maksud itu?” Kini aku membuka suara ku. Ucapan wanita di depan ku ini begitu ambigu. Saat mendengarnya saja berbagai spekulasi langsung muncul di benak ku. Dan hampir semua spekulasi itu mengarah pada sesuatu yang tidak baik untuk diri ku.



Bibi Tuan terlihat menarik napasnya sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan ku. “Jadi Jiyeongie, kamu tahu bukan kalau kami sudah berteman sejak masih sekolah dulu. Dan saat kalian masih kecil, kami berjanji untuk...”



Untuk kesekian kalinya, Bibi Tuan menjeda ucapannya. Apakah keluarga Tuan ini memang suka sekali menjeda ucapannya hingga membuat orang lain penasaran? Sebelumnya Mark melakukan hal itu, dan kini sang Ibu melakukannya juga. apakah mereka tidak tahu bahwa kebiasaan mereka malah membuat perasaan ku semakin memburuk. Berbagai spekulasi yang awalnya tidak terlalu membuat ku khawatir kini malah membuat rasa khawatir itu mengambil alih kerja otak ku. Tsk.. sebenarnya janji apa yang mereka maksud?



 “Jadi saat Mark berulang tahun yang pertama, Ibu dan Bibi Tuan berjanji untuk...”



“Untuk apa Bu?” Tanya ku menuntut, tidak sabar.



“Kami akan menjodohkan kalian.”



“Dijodohkan?” Ulang ku mencoba untuk memastikan bahwa yang baru saja aku dengar tidak salah.



Ibu dan Bibi Tuan sama-sama mengangguk.



“Iya, dan karena kalian sebenarnya sudah saling mengenal jadi Bibi rasa pertemuan hari ini kita bisa jadikan sebagai pertemuan untuk membahas kapan kalian akan bertunangan. Bagaimana?”




“APA? TUNANGAN?? Ya! Ah.. eemmm.. maaf. Maksud ku, bertunangan, secepat ini??”




Wanita bertubuh sedikit gemuk itu kembali menganggukkan kepalanya. “Kenapa tidak? Bukankah lebih cepat itu lebih baik. Lagipula, dari dulu Bibi sangat ingin memiliki anak perempuan. Kamu kan tahu, tak satu pun anak Bibi yang berjeniskelamin perempuan. Jadi jika kalian bertunangan, otomatis Jiyeongie, kamu sudah pasti akan menjadi anak Bibi. Bahkan bibi harap, sekarang ini kamu sudah mau menganggap Bibi sebagai Ibu mu juga.”



Terkejut.



Aku tidak tahu harus berkata apa. Otak ku tiba-tiba saja seperti berhenti bekerja. Membuat aku kehilangan kemampuan berbicara bahkan bergerak. Hingga membuat tubuh ku mengaku. Walau dalam hati terus meronta untuk berkata tidak dan menunjukkan gerakan penolakan. Namun semua sia-sia karena rasa terkejut yang terlalu mendominasi ini.



Masih di dalam hati ku, aku terus mempertanyakan isi pikiran Ibu dan juga Bibi Tuan. Sebenarnya apa yang mereka pikirkan saat kami masih kecil? Kenapa mereka seenaknya saja merencanakan perjodohan ini? Mereka bukan Tuhan yang tahu dan bisa menetapkan jalan hidup seseorang, tapi kenapa?



Dan juga kenapa pria yang, tsk aku benci mengatakannya, apa pun itu kenapa dia? Apakah tidak ada pria lain di muka bumi ini? Apakah dunia ini begitu sempit sampai-sampai kedua orang tua kami berteman?? Argh.. kenapa hal seperti ini harus terjadi pada ku? Memang Mark itu tampan. Aku tidak pungkiri karismanya yang begitu memesona hingga membuat banyak wanita langsung berpaling menatapnya. Tapi jika kalian lihat bagaimana tingkahnya bersama teman-temannya. Kalian pasti juga akan merasakan apa yang sekarang ini tengah aku rasakan.



Mereka, maksud ku Mark dan teman-temannya, mereka itu dapat dikatakan seperti F4 dengan tambahan tiga anggota lain. Kalian tahukan drama yang sangat booming yang diperankan oleh Lee Min Ho. Ya seperti itulah mereka. Memang kalau dipikir-pikir, sosok Mark bukanlah seperti Goo Jun Pyo sang ketua group yang amat disegani. Tapi dia itu bagai titisan dari Song Yijeong, si pria casanova yang telah membuat banyak hati wanita tersakiti. Dan itulah yang dilakukan Mark. Ia membuat hati wanita luluh dan setelah itu meninggalkannya begitu saja. Karena itulah aku enggan untuk berhubungan dengannya. Tapi kini, astaga bagai sudah jatuh tertimpa tangga lalu dijatuhkan dari tempat tinggi.



“Jadi bagaimana kalau pertunangan kalian dilaksanakan minggu depan, sabtu malam dengan hanya mengundang keluarga?”



“Ku rasa itu bagus. Aku setuju-”



“Tunggu, apakah kalian tak ingin menanyakan pendapat kami? Maksud ku, kami baru saja bertemu dan sepertinya sangat butuh waktu untuk kami bisa menjadi akrab. Terlebih kami juga masih berusia sembilan belas tahun. Jadi bukankah sebaiknya pertunangan ini diundur? Kau berpikiran yang sama dengan ku jugakan, Mark?” Tutur ku cepat, secepat aku ingin mendengar kata ‘iya’ terlontar dari mulut mereka semua terutama Mark.



Mark terlihat tengah berpikir. Dalam hati aku berharap bahwa pria itu tengah memikirkan alasan lain yang mendukung alasan ku. Namun dugaan ku salah. Jawaban yang ia berikan malah membuat jantung ku seperti berdetak.



“Kurasa tidak apa, karena ini hanya pertunangan. Kita masih bisa mengenal setelahnya. Masih banyak waktu sebelum kita benar-benar menikah. Jadi aku setuju-setuju saja.”



“A-Apa? Apakah ka-u,”



“Bagaimana Jiyeong? Mark sudah setuju. Jadi...”




*  *  *  *




Hari itu tiba. Hari dimana semua aura buruk datang. Hari dimana hidup ku akan berubah seratus delapan puluh derajat. Hari dimana aku bukan lagi seekor burung yang bebas terbang kemana pun. Dan hari dimana aku telah diberitanda kepemilikan.



Argh aku benci. Aku benci hari ini. Aku benci semuanya!!



Kenapa dunia harus berputar? Kenapa waktu harus berjalan? Kenapa hari harus berganti? Terlebih kenapa hari ini harus ada? Dan kenapa harus aku? Kenapa? Tolong jelaskan pada ku!



Kenapa aku harus memakai gaun seperti ini dan berdiri berdampingan dengan Mark? Kenapa aku dan kenapa Mark? Tidak bisakah orang lain saja? Tak bisakah? Aku benci. Aku tidak suka. Aku.. aku....



“Jiyeong, ayo sematkan cincinnya.”



Aku mengerjap cepat saat suara Ibu mengalun pelan di samping telinga ku. Tsk, aku lupa. Aku harus menyematkan cincin keparat ini ke tangan pria keparat itu. Rasanya ini seperti mimpi. Sebentar lagi cincin ini akan tersemat di jari manisnya, dan itu berarti aku dan Mark...



Aku menatap pria itu dan kemudian menghembuskan napas pelan. Melihat wajahnya yang tengah menyunggingkan senyum syarat makna itu membuat ku ingin sekali menampar wajahnya. Membuat ia merasakan rasa sakit di wajahnya yang tampan itu.



“Hei.. kenapa kau diam?” Bisik pria itu. Ia menatap mata ku dan lagi-lagi dengan tatapan yang syarat akan makna. Yang bahkan aku sendiri tidak dapat menebak maksud dari tatapan dan senyumnya yang menurut ku begitu menyebalkan.



“Iya..” Desis ku tertahan dengan suara yang ku coba sepelan hembusan angin yang berhembus di ruangan ini.



Lantas aku mulai menggerakkan tangan ku dan mengarahkannya pada jari manis Mark. Ya Tuhan sebentar lagi. Tidak sebentar lagi,  semua akan.........



“Akhirnya! Selamat kepada Mark dan Jiyeong. Sekarang kalian telah resmi bertunangan.”




*  *  *  *




Malam ini berakhir dengan begitu menggembirakan untuk mereka. Mereka tidak henti-hentinya memasang senyum bahagia dan mengucapkan selamat atas acara malam ini. Sungguh semua ini sangat bertolak belakang dengan ku. Aku sama sekali tidak gembira maupun senang. Jadi ku mohon berhenti memasang wajah bahagia kalian dan berhenti mengucapkan selamat pada ku. Karena acara hari ini tidak pantas untuk diberikan ucapan selamat.



“Akhirnya kita sebentar lagi bisa menjadi keluarga. Tidak kusangka janji delapan belas tahun yang lalu dapat diwujudkan.”



“Iya aku juga senang. Akhirnya kedua anak kita bisa dipersatukan.”



“Ah iya Mark, apakah kalian tengah menjalani masa libur?”



“Iya Bu. Memangnya kenapa?”



Mata Bibi Tuan kembali berbinar. Entah sudah berapa kali wanita itu terlihat berbinar hanya selama acara ini berlangsung. Pertama saat Mark menyematkan cincinnya pada ku hingga aku menyematkan pada Mark. Kedua saat beberapa keluarganya memberikan ucapan selamat, ketiga dan seterusnya terus terjadi tanpa bisa aku ingat. Dan sekarang, hanya karena jawaban dari Mark mata Ibunya kembali berbinar.



“Beruntungnya! Kalau begitu ini untuk kalian.” Bibi Tuan menyerahkan satu buah amplop putih kepada Mark. Amplop putih yang tidak menarik. Bahkan tidak semenarik lantai marmer yang ku pijaki untuk mengalihkan seluruh kekacauan dalam diri ku.



“Apa ini?”



“Itu adalah tiket penerbangan ke Jepang untuk kalian berdua. Anggap saja liburan kali ini untuk kalian saling mengenal.”



Begitu mendengar Jepang, mata ku langsung membelalak dan menatap bibi Tuan penuh tanya. Apa? Aku dan Mark? Jepang? Berdua? Apakah para orang tua ini sudah gila? Bagaimana bisa mereka...?



Mark membuka amplop itu dan mengeluarkan salah satu tiket yang terseimpan di sana. Ia membaca tiket tersebut dan kemudian menatap sang Ibu dengan tatapan yang penuh dengan terimakasih. Oh.. apakah hanya aku yang sepertinya tidak menyukai rencana mereka? Sepertinya memang begitu.



“Penerbangannya besok pagi. Jadi kalian bersiaplah malam ini.”



“Apa? Besok pagi?”



Aku benar-benar terkejut! Sebesar itukah keiinginan mereka untuk mempersatukan 2 keluarga ini?!



Bibi Tuan menganggukkan kepalanya. Ia kemudian menghampiri ku dan memeluk tubuh ku yang hanya berbalutkan gaun berwarna tosca selutut dengan potongan yang hanya menutupi dada ku dan tidak dengan pundak ku.



“Terimakasih karena kamu sudah mau menerima pertunangan ini Jiyeongie. Terimakasih karena kamu telah bersedia menjadi calon anak perempuan Bibi.”



Aku hanya dapat mengangguk lemah. Aku sudah tidak tahu harus berkata apa. Terlebih saat wanita setengah baya ini meneteskan air matanya. Ya Tuhan.. apakah pertunangan ini begitu membuat Bibi Tuan bahagia?




*  *  *  *




Jepang
12.56 PM



Suasana musim gugur menyambut kedatangan ku dan juga pria menyebalkan yang terus saja mengoperasikan ponselnya sejak kami tiba di negeri sakura ini. Tidak ada angin dingin serta langit yang gelap serta tidak ada pula hawa panas dan sinar mentari yang terik. Begitu nyaman untuk suasana hati ku yang tidak terlalu baik dan akan terus tidak baik karena perubahan status ku kini.



Tanpa ku sadari napas ku terhela. Menyedihkan. Adakah cara untuk mengembalikan keadaan seperti sedia kala?



Adakah cara untuk membuat pertunangan gila ini batal?



Adakah??



“Hei Jiyeong, kenapa kau diam saja? Ayo..”



Aku menolehkan kepala ku pada sosok pria yang kini tengah menyunggingkan senyumnya walaupun setelahnya ia kembali fokus pada layar datar yang ada digenggamannya. Melihat wajahnya membuat rasa kesal dalam diriku semakin bertambah saja. Tsk.. sungguh menyebalkan.



Kami berjalan menghampiri seorang pria yang tengah membawa papan bertuliskan nama Mark dan istrinya. Begitu melihat kami, pria itu tersenyum dan menganggukan kepalanya. Di lihat dari penampilan, sepertinya pria ini adalah pria Jepang dengan kisaran usia 45 tahun. Tapi entahlah, aku tidak tahu dan bukan urusan ku. Toh berapa pun umur pria ini tidak ada hubungannya ini dengan ku.



Tapi tunggu.. tulisan tadi. Tulisan pada papan itu, apakah tidak salah?



Ku lirik pria di samping ku ini dengan hati-hati. Kenapa ia tak bereaksi apa pun? Apakah ia tidak menyadari tulisan pada papan itu? Istri? Siapa istrinya? Aku? Memangnya sejak kapan kami menikah?



“Hei.. apakah dia benar orangnya?” Bisik ku pelan begitu mobil yang kami tumpangi ini telah melaju pergi meninggalkan bandara.



Ia melirik pada ku dengan pandangan yang tidak megerti. Oh ayolah.. apakah ia sebodoh itu sampai-sampai tidak mengerti dengan maksud ku?



“Itu, papan yang dibawanya. Apakah kau tidak merasa aneh?”



Masih dengan menatap ku, dahinya mulai berkerut. Sepertinya ia tengah mencoba mengingat tulisan pada papan itu.



“Maksud mu.. istri?”



Aku menganggukkan kepala ku. Sepertinya pria ini tidak sebodoh yang ku bayangkan. Dan memorinya juga tidak buruk-buruk sekali. Buktinya ia bisa mengerti maksud ucapan ku, ya.. walaupun perlu waktu yang cukup lama untuk ia mengertinya.



Lantas kepalanya menggeleng. “Tidak. Tidak ada yang aneh.”



Mata ku membulat begitu mendengar jawabannya. Apa? Tidak ada? Apakah pria itu buta atau bodoh?



“Kenapa? Apakah ada yang salah Jiyeongie?” Tanyanya lagi dengan tatapan yang sangat ku benci. Tatapan menggoda yang selalu ia tunjukan pada ku.



Aku tidak lantas menjawabnya. Kelakuannya yang begitu menyebalkan membuat ku ingin sekali memukulinya dengan tas yang ku bawa ini. Ya Tuhan.. bagaimana bisa ada manusia seperti pria ini? Dan kenapa harus aku yang dijodohkan dengan pria macam dia?



“Bukankah kau memang istri ku. Ah maksud ku, secepatnya kau akan menjadi istri ku. Jadi itak ada yang salah bukan?”




*  *  *  *




Aku baru saja selesai menyimpan beberapa pakaian ku ke dalam lemari. Merapihkan semua barang-barang yang ku bawa dan menyimpannya ke tempat yang tepat. Tapi entah kenapa, tubuh ku ini terasa begitu lelah. Ah.. mungkin karena perjalanan yang ku tempuh juga cukup panjang dan lama.



Ya.. bisa jadi itu salah satu faktornya. Kalau begitu lebih baik aku membersihkan tubuh ku. Mungkin dengan begitu dapat mengurangi rasa lelah dan penat ini.




Author POV



Jiyeong baru saja selesai dengan kegiatannya di dalam kamar mandi dan kini ia tengah menururni tangga menuju dapur untuk menghilangkan rasa dahaga yang ia rasakan. Ia mengeluarkan satu botol jus dari dalam lemari pendingin dan menuangkannya ke dalam gelas tinggi yang ia ambil dari dalam lemari di sampingnya. Segera setelah ia menuangkannya, cairan berwarna jingga itu langsung mengalir ke dalam kerongkongannya dan seketika menghilangkan rasa dahaga yang sebelumnya dirasakan.



Masih dengan memegangi gelas tinggi tersebut, gadis itu kini beralih meuju sofa yang berada di tengah ruangan. Sembari berjalan, tangannya terus bergerak mengoperasikan perangkat elektronik miliknya. Ia mulai menjelajahi hal-hal menarik yang ia gemari. Mulai dari mencari lagu-lagu baru hingga mencari lirik dari lagu tersebut.



Ketika ia masih asyik dengan kegiatannya, suara aneh mulai mengganggunya. Suara itu ia yakini berasal dari bagian belakang rumah. Suara yang terdengar seperti percikan air itu mulai mengganggu konsentrasinya dan membuat ia akhirnya meletakkan ponsel kesayangannya itu ke atas meja dan beralih menghampiri sumber suara.



Kakinya melangkah dengan begitu pelan. Tepat di balik pintu dorong sebagai pemisah bagian halaman belakang dengan bagian dalam rumah, gadis itu menghentikan langkahnya dan berdiri di sana. Ia menyenderkan tubuhnya pada pintu tersebut dan bersiap untuk melakukan pengintaian dari sana.



Seharusnya ia tidak usah melakukan hal seperti itu. Tingkahnya terlalu berlebihan hanya untuk sekedar mencari tahu dari mana suara percikan itu berasal dan siapa yang menimbulkan suara tersebut. Tapi itulah Jiyeong, obsesi masa kecilnya untuk menjadi seorang detektif membuat ia kerap melakukan hal-hal seperti itu.



Suara percikan itu semakin kencang dan membuat gadis itu kian penasaran. Ia pun mulai mencondongkan badannya dan mengedarkan matanya memerhatikan setiap sisi halaman. Matanya terus memicing tapi ia tidak kunjung menemukan asal suara percikan yang kini tiba-tiba saja menghilang.



Jiyeong kembali menegakkan tubuhnya. Ia mulai melangkah keluar dari balik pintu tersebut. Menyelidiki dari balik pintu dan ternyata tidak mendapatkan hasil apa pun membuat rasa penasarannya semakin bertambah.



Perlahan ia mulai melangkahkan kakinya dengan tetap memerhatikan setiap sisi halaman dengan seksama. Sampai ketika langkahnya terhenti saat ia telah berdiri tepat di tepi kolam berenang, sumber suara itu belum juga ditemukannya. Walaupun begitu, gadis itu masih tetap berusaha untuk mencari sumber suara itu. Matanya masih mengedar dan pikirannya masih terus memunculkan berbagai spekulasi mengenai sumber suara tersebut.



Begitu penasarannya gadis itu terhadap suara yang sebenarnya hanya sekedar suara percikan air, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa kini sepasang kaki tengah berjalan menghampirinya. Kaki yang cukup jenjang dan besar jika dibandingkan dengan kakinya. Kaki itu terus melangkah sampai tepat berada di belakang gadis itu. Mark –sang pemilik kaki– tidak  melakukan apa pun di sana. Ia hanya diam dan terus diam sampai ketika Jiyeong berbalik dan nyaris saja terjatuh ke dalam kolam andai saja tangannya tidak merangkul pinggang gadis itu.



Dalam posisi yang tidak lazim itu, keduanya hanya diam dan mata mereka saling memandang. Jiyeong masih terkejut dengan keberadaan sosok itu serta dirinya yang hampir saja basah kuyup, sedangkan Mark, entahlah apa yang tengah ia pikirkan. Begitu membingungkan jika ingin mengetahui apa yang ada di dalam pikiran pria itu.



Mark begitu penuh teka-teki. Tidak ada yang tahu apa yang pria itu pikirkan. Bahkan orang tuanya sendiri pun bagai tidak mengenali anaknya. Karena Mark sangat idtak dapat ditebak. Pria itu begitu penuh dengan kejutan.



Bahkan kini, setelah hanya saling menatap dan terlarut dalam diam, Mark tiba-tiba saja memotong jarak yang ada di antara dirinya dengan Jiyeong dengan semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah gadis itu. Perlahan jarak itu mulai menghilang dan tanpa disadari kini kedua bibir mereka telah bertemu.



Mark yang nampaknya memang telah berniat untuk melakukan hal itu, maksudnya mencium gadis yang merupakan tunangannya itu, mulai memejamkan matanya. Namun Jiyeong, gadis itu masih terpaku dan bahkan belum dapat mencerna apa saja yang baru dan tengah terjadi.



Gadis itu masih belum menyadari bahwa Mark kini tengah menciumnya. Atau lebih tepatnya, pria itu tengah merebut ciuman pertamanya.



Bahkan saat Mark semakin memperdalam ciumannya, Jiyeong masih saja terpaku dengan matanya juga tetap terbuka dan membulat. Matanya membulat bukan karena ia terkejut dengan aksi gila yang tengah Mark lakukan, tetapi karena ia masih terkejut dengan Mark yang tiba-tiba saja berdiri di belakangnya dengan jarak yang begitu dekat.



Sementara itu, Mark masih terus berusaha untuk membuat Jiyeong tersadar dengan mulai menggigit bibir gadis itu. Gigitan pertama ia lakukan pada bibir bawah gadis itu. Tidak kencang karena ia takut bibir gadis itu akan mengeluarkan cairan merah yang sedikit kental. Lalu ia kembali melakukannya dengan kembali menggigit bibir bawah Jiyeong. Namun Jiyeong tetap belum sadar dengan apa yang tengah terjadi di antara mereka.



Beberapa kali Mark mengulangi percobaannya itu tapi gadis yang kini tengah berada di dalam rangkulannya itu belum juga bisa kembali ke dalam dunia nyatanya. Sampai akhirnya pria itu mulai menggunakan tangan kanannya untuk menekan tengkuk gadis itu dan tangan kirinya untuk semakin merangkul erat pinggang gadis itu.



Namun usahanya itu tetap belum bisa membuat Jiyeong tersadar. Di tengah melakukan askinya, Mark merasa tidak habis pikir dengan gadis itu. Ia masih tidak menyangkan bahwa Jiyeong sangat sulit untuk disadarkan. Namun bukan Mark jika ia menyerah begitu cepat. Pria itu begitu cerdas untuk memikirkan hal-hal unik yang mampu membantunya.



Setelah menggigit bibir gadis itu gagal. Menekan tengkuk gadis itu serta mengeratkan rangkulannya juga gagal. Ia masih memiliki satu cara yang menurutnya akan sangat berhasil untuk membuat Jiyeong tersadar. Cara yang menurutnya akan sangat berhasil untuk membuat gadis itu tersadar adalah dengan memberikan sentuhan pada bagian tubuh lain gadis itu dengan tangannya. Memang idenya ini terlalu gila. Tapi ia juga tak mau mengakhiri cumbuannya karena ia masih sangat menginginkan bibir gadis itu.



Hingga akhirnya, Mark pun mulai menjalankan aksinya. Tangan kanannya tetap berada pada tengkuk gadis itu dan tetap menekannya. Sedangkan tangan kirinya, mulai bergerak menyentuh punggung sang gadis dengan perlahan. Sentuhan yang terbilang lembut tetapi dapat menimbulkan perasaan tersengat setiap kali tangan besar itu bergerak.



Tangannya terus bergerak menyentuh setiap sisi dari punggung Jiyeong. Bahkan perlahan ia mulai menggerakan tangannya menyentuh tangan gadis itu. Dimulai dari pundak hingga berakhir pada jemari gadis itu. Ia terus mengulanginya sampai tiba-tiba saja tangan gadis itu bergetar dan setelahnya ia mulai merasa ada sesuatu yang mendorong tubuhnya menjauh.



Dalam aksinya, ia tersenyum. Tersenyum menang karena akhrinya ia berhasil membuat gadis itu tersadar dari rasa keterkejutannya sendiri.



Sementara Jiyeong, setelah ia benar-benar tersadar dengan apa yang tengah Mark lakukan, ia mulai berusaha untuk menjauhkan tubuh pria itu dan menghentikan aksi gila pria itu. Ia mulai mendorong tubuh pria itu dengan kedua tangannya. Tapi tenaga yang ia miliki tidak sebesar tenaga pria itu. Hal itu terlihat dari betapa sulitnya ia menjauhkan tubuhnya yang berkahir pada tubuh Mark yang tetap tidak bergerak.



Usaha yang sia-sia.



Merasa lelah karena Mark yang tidak kunjung menghentikan aksinya, Jiyeong pun kini kembali berusaha degan memukuli tubuh pria itu. Dengan tangannya yang terkepal, ia pun memukuli dada bidang pria itu. Namun tetap saja usahanya tidak membuahkan hasil apa pun.



Jiyeong sudah mulai kehilangan akal sehatnya karena rasa kesal yang begitu besar. Tapi kembali, tanpa ia sadari kini Mark mulai membopong tubuhnya dengan tetap mengulum bibirnya. Ia begitu terkejut dan begitu takut sampai-sampai tanpa disengaja ia mengalungkan tangannya pada leher pria itu serta memejamkan matanya.



Mark yang memang telah merencanakan semua aksi gilanya itu mulai membawa tubuh ‘gadisnya’ masuk ke dalam rumah. Ketika sampai di ruang tengah, ia pun membaringkan tubuh Jiyeong di atas sofa dengan perlahan dan tanpa menghentikan aksinya. Dan di sanalah ia kembali melanjutkan aksi yang menurutnya sangat menyenangkan itu.



Bagaimana tidak, pertama, ia sudah merencanakan aksinya itu sejak semalam. Kedua, ia memang sangat menginginkan bibir gadis itu yang menurutnya begitu menggiurkan. Ia tidak ingin ada orang lain yang merasakan bibir Jiyeong selain dirinya.



Tidak tahu setan apa yang ada di dalam dirinya, sampai-sampai memiliki pikiran seperti itu. Yang jelas, setiap kali ia melihat Jiyeong bahkan berada dekat dengannya, pikiran serta keinginan untuk memilki gadis itu seutuhnya selalu muncul dan setiap harinya semakin bertambah besar.



Lupakan tentang pikiran pria bermarga Tuan itu.



Karena keinginan untuk memiliki Jiyeong seutuhnya benar-benar tengah ia wujudkan dengan semakin memperdalam cumbuannya pada bibir Jiyeong. Sebelumnya ia hanya menggigit dan mengulum kedua bibir Jiyeong, tapi kini lidahnya tengah berusaha untuk memasuki bagian dalam mulut gadis itu.



Jiyeong yang menyadari bahwa kini lidah pria itu tengah berusaha memasuki bagian mulutnya, berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghentikannya. Tapi pria itu begitu licik sampai-sampai akhirnya Jiyeong menggeram begitu bibirnya terasa sakit saat pria itu menggigitnya. Disaat itulah Mark mulai menjelajahi bagian dalam mulut gadis itu dengan lidahnya.



Setiap gerakan pria itu menunjukkan betapa berkuasanya ia pada tubuh mungil yang kini tengah terhimpit di antara tubuhnya serta sofa hitam yang menjadi tempat gadis itu berbaring. Bahkan hanya dengan melihat bagaiaman kepalanya bergerak di tengah menikmati manisnya bibir Jiyeong sudah cukup memberikan gambaran akan pria itu.



Ya.. pria itu adalah pria yang mempu membuat banyak wanita jatuh hati padanya. Ia adalah pria yang sangat mempesona yang mampu membuat banyak wanita menginginkannya. Menginginkan setiap sentuhannya, baik itu sentuhan tangannya ataupun sentuhan dari bagian tubuh lainnya. Dan ia juga pria yang sangat mampu membuat wanita berhenti melakukan penolakan hanya dalam kurun waktu singkat.



Semua itu benar-benar terjadi. Ia benar-benar membuktikan bahwa ia adalah pria casanova yang sangat digilai oleh banyak wanita. Pria yang mampu membuat wanita bertekuk lutut di hadapannya. Karena Jiyeong, gadis yang merupakan tunangannya itu kini benar-benar membiarkan pria itu mendominasi dirinya. Membiarkan pria itu melakukan segala hal terhadap bibirnya. Membiarkan pria itu memberikan sentuhan ringan pada lengannya. Membiarkan pria itu memonopoli dirinya.



Jiyeong bukanlah gadis murahan. Tapi setiap sentuhan pria itu begitu memabukkan dan mematikan seluruh sarafnya. Ia tidak bisa menghentikan aksi gila pria itu dengan mudah. Karena semakin ia berusaha keras untuk menjauhkan tubuh pria itu, maka pria itu akan semakin gencar menyentuh tubuhnya dengan jemari yang penuh dengan mantra itu. Jika hal itu sampai terjadi, bukan tidak mungkin hal yang lebih jauh dari sekedar bercumbu ini akan terjadi.



Masih dengan lidahnya yang tetap bergerilya di dalam sana, suara ketukan pintu membuat mata pria itu terbuka. Begitu juga dengan Jiyeong yang langsung membelalakkan matanya begitu ketukan pada pintu tersebut menggema ke dalam rumah.



Awalnya Mark ingin mengabaikan sang pengetuk pintu dan membiarkan orang itu mengira bahwa tidak ada siapa pun di dalam. Tapi Jiyeong kembali memukuli dadanya dan menggerakkan bola matanya sebagai penanda untuk menyingkir serta pria itu harus membukakan pintu tersebut.



Mark pun akhirnya menuruti perintah gadis itu. Ia menjauhkan wajahnya namun tetap berada pada posisi tubuhnya yang berada di atas tubuh Jiyeong.



“Ingat ini belum berakhir Jiyeongie..” Ucapnya dengan seduktif. Ia mengusap pipi Jiyeong sebelum meninggalkan gadis itu di sana dengan napas yang memburu.




To be continued




Selamat hari minggu!

Di tahun yang masih terbilang baru ini, aku membawa series baru yang akan menemani kalian dan menggantikan Goodbye Baby yang resmi berakhir di akhir 2018 kemarin. Semoga series kali ini bisa memenuhi ekspektasi imajinasi kalian.

Oh iya, kalau kalian buka previous story, pasti kalian kaget karena teasernya udah di publish sejak 2016 dan hei sekarang 2019! Bener-bener ngaret ya... maaf.
Tapi tenang untuk next partnya enggak akan memakan waktu selama itu kok. Jadi mohon ditunggu ya

Spertinya cukup sekian. Sampai bertemu di lain kesempatann. Bye!
감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts